Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Rindi menemukan Nina bercinta FF dengan Calya, ... mereka bergabung FFF ... Rindi bercinta FF dengan Cayla, disaksikan Pram, ... akhirnya Pram pun ikut FFM dengan Rindi dan Cayla (kakaknya Pram) ...
Ditolak. He he he he

Kisah Ini tidak seliar itu. No incest.
 
mungkin sih akan lebih seru, lebih greget.

tapi.. lihat aja nanti deh, scara karakter kedua tokoh utama telah matang, telah terbentuk.

thanks anyway :ampun:
Udahlah jangan sampek ada yang tersakiti dan menyakiti.. Karakternya udah pas.. Mengalir aja lah ke jenjang yang lebih serius.. Nikah mungkin..

Dan jgn sampek kejadian di gudang terus ama sandi di rekam pake hape, buat nakut nakuti rindi.. Ini cerita udah berasa real.. Bukan sinetron.. Sandi mah anggap ampas aja lah ya...

Langgeng terus bu rindi dan pram.. Sampai kan salam saya ke adek nova ya..
 
Udahlah jangan sampek ada yang tersakiti dan menyakiti.. Karakternya udah pas.. Mengalir aja lah ke jenjang yang lebih serius.. Nikah mungkin..
Love it.. kusuka sama reply ini. Kalo tentang menikah, hhmmm... akan ada pernikahan. Pertanyaannya, siapa yg akan menikah dengan siapa. Kira-kira gitu.

Part 3 akan rilis besok, dan disitu ada sedikit, hhmmm.. petunjuk mungkin.



Dan jgn sampek kejadian di gudang terus ama sandi di rekam pake hape, buat nakut nakuti rindi.. Ini cerita udah berasa real.. Bukan sinetron.. Sandi mah anggap ampas aja lah ya...
No. Gak ada pemerasan atau drama ala sintron dimari. Mungkin seri-seri kedepannya sedikit membosankan karena akan .....

Tentang sandi.. hhmmm.. sejauh ini sih emang seperti ampas.. tapi... kita lihat di seri2 selanjutnya aja ya

Langgeng terus bu rindi dan pram.. Sampai kan salam saya ke adek nova ya..
The real Nova Andria, sekarang udah SMA, tetep nggemesin dan cantik seperti sang ibu.

Noted. Salam akan disampaikan
 
Love it.. kusuka sama reply ini. Kalo tentang menikah, hhmmm... akan ada pernikahan. Pertanyaannya, siapa yg akan menikah dengan siapa. Kira-kira gitu.

Part 3 akan rilis besok, dan disitu ada sedikit, hhmmm.. petunjuk mungkin.



No. Gak ada pemerasan atau drama ala sintron dimari. Mungkin seri-seri kedepannya sedikit membosankan karena akan .....

Tentang sandi.. hhmmm.. sejauh ini sih emang seperti ampas.. tapi... kita lihat di seri2 selanjutnya aja ya

The real Nova Andria, sekarang udah SMA, tetep nggemesin dan cantik seperti sang ibu.

Noted. Salam akan disampaikan
Ane suka nih TS selalu interest ama pembaca.. Sehat selalu sist @merah_delima ..semoga Selalu menuliskan seri seri terbaik untuk pram dan bu rindi.

Calya nikah ama SANDI bae lah atau ama nina..
Bu rindi tetep miliknya pram...TITIK!! 😁😁

Lhah adek nova its real toh..??, sukses ya.. Jaga bu rindi selalu..
 
part 3



Rindiani

Pram menggengam erat jemariku sambil melangkah menyusuri lorong kampus yang sepi. Sesekali ia tersenyum, sambil meremas tangankuku yang berada dalam genggamannya.

“Kok senyum-senyum gitu sih?” tanyaku heran.

“Gapapa kok bu. Seneng aja, hari ini bisa sama-sama ibu.”

Seberhaga itukah waktu yang ia habiskan bersamaku? Hingga membuatnya selalu tersenyum, menikmati setiap detiknya dengan penuh kebahagiaan.

Bagiku, menit yang berputar dan terlewati bersamanya sungguh membuat hari-hariku menjadi lebih bermakna. Ia membuatku bersemangat, membuatku memandang optimis tentang kehidupan. Sekali lagi, bukan sekedar seks. Apa yang ada diantara kami jauh lebih berharga dan lebih besar dari hal tersebut. Seks hanya sekedar pelengkap rasa hati yang kian hari bertumbuh diantara kami.

“Nanti malam mau ke hotel lagi?”

“Nunggu kabar dari mbak Aya aja bu, lagian ujan gerimis gini males banget mau keluar.”

“Ya udah, nanti istirahat aja dulu dirumah, sama ibu.”

Pram mengangguk, lalu tersenyum sambil meremas pantatku, hingga aku tersentak.

“Makin hari makin berani nakal sama ibu.” gumanku lalu tertawa kecil.

“Abisnya ibu nggemesin.”

Dari kejauhan, terlihat seorang laki-laki tengah duduk di bagian depan kampus, dan ketika langkah kami semakin dekat, aku bisa mengenali sosok itu. Dia adalah suamiku, dan entah apa yang ia lakukan disini.

“Aku ingin bicara.” gumannya ketika kami melewatinya.

Aku tahu, ia sedang berbicara denganku, oleh karena itu aku segera menghentikan langkahku, dan menatapnya.

Aku hanya mengangguk, dan Pram tetap berdiri disamping, sambil memegang tanganku.

“Bisa kita bicara berdua?” tanyanya.

Sekali lagi aku mengangguk, lalu melangkah mendekatinya.

“Pram, bisa tunggu ibu di mobil?” kataku pada Pram.

Pram nampak ragu, enggan meninggalkanku sendiri, walaupun hanya sekedar berbicara dengan suamiku. Aku memakluminya karena Pram telah memilikiku, dan ia merasa bertanggung jawab terhadap aku.

“Ibu gapap kok Pram. Kamu tenang aja. Tunggu ibu dimobil.” kataku lagi.

Dengan berat hati, Pram melangkah pergi, meninggalkanku, memberiku waktu untuk berbicara dengan suamiku.

“Maafkan aku.” kata suamiku sambil menundukkan wajah.

“Aku bersalah.”

Setelah berbulan-berbulan meninggalkanku dan putri kami, akhirnya ia sadar akan kesalahannya. Suaranya terdengar berat dan penuh penyesalan. Aku sangat yakin, suamiku mengucapjan permintaan maaf itu dengan kesungguhan hati. Ia benar-benar menyesai perbuatannya.

“Aku sudah memaafkanmu dan Anita, sejak berbulan-bulan lalu. Aku tak menyimpan dendam, dan aku tidak marah sedikitpun.”

“Aku sudah memaafkan dan melupakannya.” jawabku.

Setitik air mengalir, lalu jatuh dikakinya.

Suamiku menangis, walaupun tak mengeluarkan suara. Aku tahu ia telah terluka karena perbuatannya. Penyesalan yang datang di ujung perjalanan, saat aku telah menghapusnya dari lembar kehidupanku.

Ia selalu menundukkan wajah saat aku berbicara, seolah tak mampu membalas tatapan mataku.

Dari kejauhan, kulihat Pram berdiri disamping mobil, mengawasiku dengan pandangan yang tak pernah lepas padaku dan suamiku. Ia nampak was-was, khawatir.

“Beberapa hari yang lalu aku berniat ingin berbicara, dan menunggumu disini. Tapu aku terlalu pengecut untuk meminta maaf.”

Memoriku kembali berputar mengingat saat aku dan Pram melihat suamiku disini, saat sore hari ketika hendak pulang kerumah. Dan kemarin, saat tiba-tiba aku teringat suamiku, laki-laki yang kini tertunduk lesu dihadapanku.

“Mas, aku tidak mempersalahkanmu. Begitu juga dengan Anita. Aku hanya menganggap inilah garis takdirku, garis takdir kebersamaan kita. Hanya sampai disini jodoh dan ikatan hati kita.”

“Aku pun meminta maafmu, jika selama ini tidak bisa membahagiakanmu.”

Setetes air mata kembali jatuh ke lantai, dan diikuti oleh tetes-tetes berikutnya.

Suamiku, lelaki yang pernah menjadi belahan jiwa, seolah kehilangan sinar dijalan hidupnya. Aku sangat yakin, ia sedang terluka akibat perbuatannya sendiri. Ia sedang menuai karma yang ia tabur beberapa bulan lalu.

Ia maju selangkah, lalu dengan tiba-tiba bersimpuh di hadapanku. Aku terkejut dan merasa iba dengan keadaannya.

Segera kuraih lengannya dan memintanya untuk berdiri kembali, karena sungguh sangat tidak pantas untuknya bersimpuh dikakiku.

Namun usahaku sia-sia, suamiku tetap saja berdiam disana sambil memegang punggung tapak kakiku.

Sekilas aku melirik ke arah Pram karena khawatir jika saja ia berpikiran yang tidak-tidak dengan pemandangan ini. Ia masih saja berdiri disana, dibawah guyuran rintik-rintik, mengawasiku, menungguku.

“Mas, kita duduk dulu sambil bicara ya.” pintaku sambil kembali memegang lengannya.

Kali ini ia mendengarkanku, lalu perlahan berdiri dan mengikuti langkahku untuk duduk di bangku yang tersedia di dekat tempat kami berdiri.

“Gimana kabar mas, sehat?” tanyaku membuka perbincangan kami.

Ia hanya mengangguk pelan dan masih menundukkan wajah. Semoga saja ia jujur tentang keadaan dirinya, karena dari penglihatanku, tubuhnya kehilangan bobot, tampak lebih kurus dan seperti kehilangan semangat.

“Nova sehat?” tanyanya pelan.

“Iya mas, Nova sehat. Dia baik-baik aja kok.”

Suamiku menghela nafas panjang, seolah sedang memikul beban berat di hatinya.

“Mas jangan khawatirkan kami. Aku hanya memohon agar aku bisa tetap hidup bersama Nova. Aku tak ingin Nova diambil dari hidupku. Aku sudah kehilangan mas, dan itu sudah cukup. Jadi, kumohon, biarkan Nova bersamaku.” kataku lagi.

Suamiku kembali meneteskan air mata. Entah beban apa yang sedang ia pikul, namun aku sangat yakin, apa yang ia rasakan terlalu sakit, terlalu perih, dan ia tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menanggunya. Aku benar-benar merasa iba terhadapnya.

“Nova akan tetap bersamamu. Hidupnya akan lebih baik jika tetap bersamamu.”

Sejujurnya, aku merasa lega mendengar apa yang dikatakannya. Dan kuharap, ia tidak sedang berusaha menghiburku, berbohong padaku, karena bagiku, Nova adalah hidupku.

“Maaf, bagaimana kabar Anita, sehat?”

“Anita sehat, sekarang sedang mengandung, memasuki bulan ke tiga.”

Entah mengapa, aku merasa senang mendengar kabar tersebut.

“Syukurlah. Semoga dia selalu sehat, dan bayinya juga sehat.”

Suamiku mengangguk, lalu menatapku.

Dari kejauhan, Pram masih setia menungguku. Tak sedikitpun ia berpindah tempat, atau sekedar berteduh. Pakaiannya mulai basah karena rintik hujan.

“Keluarganya meminta agar kami segera menikah, sebelum ia melahirkan.”

Aku terdiam, tak tahu bagaimana harus merespon ucapannya. Inilah saat-saat terakhir ikatan pernikahan kami. Karena jika suamiku memenuhi permintaan keluarga Anita, maka kami akan bercerai secara resmi sebelum ia menikahi Anita.

Aku hanya bisa menghembuskan nafas, lalu menundukkan wajah. Satu kenyataan pahit yang selama ini kunantikan, akan segera terjadi. Aku benar-benar akan kehilangan suamiku.

“Kalo memang demikian, saya siap mas.” gumanku.

Hanya kalimat itu yang terlintas dalam pikiranku, walaupun didalam hati, sejujurnya, aku masih belum siap menerima kenyataan pahit ini.

“Jangan pernah menghianati Anita, Mas.”

“Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab.” kataku lagi.

Suamiku mengangguk, namun ada seberkas keraguan dari raut wajahnya.

“Saya yakin, kalian akan bahagia. Mas akan bahagia bersamanya.”

Suamiku tersenyum kecut, sebuah senyum keterpaksaan atas ucapanku.

“Mas..” kataku lagi sambil memegang telapak tangannya.”

“Lihat aku..” pintaku, karena sedari tadi ia menghindari menatapku.

Akhirnya ia menatapku. Bisa kulihat raut wajahnya nampak lelah dan kusut. Suamiku sedang dilanda kegusaran. Hidupnya sedang dilanda kegamangan.

“Cobalah untuk berdamai dengan hati mas sendiri. Dan percayalah, saya sudah mengikhlaskan mas untuk hidup bersama Anita.” kataku sambil memegang erat tangannya.

Sesaat, matanya memerah, dan bulir-bulir air mata kembali mengalir keluar melalui sudut matanya.

“Maaf..” gumannya lirih sambil menggengam erat tanganku, lalu kembali menundukkan wajah.

Aku yakin, suamiku sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia tersesat, dan kehilangan arah dalam lorong gelap kehidupan. Aku pernah merasakannya, dan teramat sangat sakit.

“Jangan khawarirkan hal itu. Saya sudah memaafkan mas dan Anita. Saya serius dan bersungguh-sungguh.”

“Mungkin, kita bisa tetap berhubungan sebagai teman, sebagai keluarga, karena biar bagaimana pun, Nova adalah anak kita, walaupun nanti kita telah bercerai.”

Suamiku mengangguk perlahan, lalu meremas lembut tanganku. Aku tak tahu, darimana datangnya pikiran seperti ini, namun aku bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya. Aku tidak sedang menghibur suamiku atau membohonginya, namun aku berkata jujur, dari lubuk hatiku.

Aku berharap, lelaki yang pernah membahagiakan dan menyakitiku ini menemukan kebahagiaan bersama Anita, perempuan pilihannya. Aku berharap kami masih bisa berteman, menjaga hubungan baik yang pernah ada, walaupun telah ternodai dengan pengkhianatannya.

“Terima kasih.” gumannya lembut.

Seutas senyum terlukis di wajahnya, senyum ketulusan dan kedamaian.

“Aku pamit.” katanya lagi, lalu berdiri.

Aku pun ikut berdiri, dan masih memegang tangannya. Sejurus kemudian, aku melepaskan tangannya.

“Bolehkah aku memelukmu?” tanya suamiku.

Aku mengangguk, walaupun sejujurnya aku tak enak hati karena Pram masih mengawasiku. Namun, biar bagaimana pun, lelaki ini tetaplah masih suamiku secara sah, karena kami belum resmi bercerai.

Akhirnya, kami berpelukan dengan sangat erat. Kuharap Pram tidak memikirkan hal negatif tentang apa yang sedang ia lihat.

“Terima kasih.” bisik suamiku ditengah pelukannya.

“Sama-sama mas.” balasku pelan sambil.menepuk lembut punggungnya.

Setelah beberapa saat, ia melepaskan pelukannya, lalu pamit undur diri. Ia melangkah dengan senyum terkembang dari wajahnya. Aku yakin, suamiku telah menemukan kedamaian dalam hatinya.

Ia menyempatkan diri untuk menghampiri Pram, lalu berbincang sejenak. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak mendengarnya karena masih berdiri di pendopo kampus. Ia lantas memeluk Pram, dan Pram pun membalas pelukannya sebelum akhirnya suamiku pergi.

Ia melambaikan tangan padaku dan juga Pram. Ia melangkah pasti dan penuh keceriaan diwajahnya dibawah guyuran rintik hujan.

Unik, dan sungguh diluar nalar. Dua pria dalam hidupku saling berjabat tangan, dalam suasana akrab. Tak ada dendam maupun amarah, namun hal itu adalah pembuka jalan bagi kedamaian dan ketenangan dalam langkah hidup selanjutnya.

Sambil tersenyum, aku melangkah mendatangi Pram. Ia pun membalas senyumanku, lalu memasuki mobil. Pakaiannya tampak basah, namun aku bisa melihat pancaran kebahagiaan dari raut wajahnya.

“Kita pulang?” tanyanya.

Aku mengangguk mantap.

“Sayang.. boleh minta cium gak?” tanyaku saat Pram telah menghidupan mesin mobil.”

Pram, lelakiku, tersenyum, lalu mencondongkan wajahnya ke arahku. Ia melumat bibirku dengan lembut, dan kubalas dengan lumatan yang lembut pula. Aku sedang berbahagia, karena telah memberikan kedamaian dan ketenagan hidup untuk suamiku.

Hampir satu menit kami berciuman, lalu meninggalkan kampus itu.

♡♡♡

Suamiku, lelaki yang pernah membahagiakanku, mungkin saja memendam rasa bersalahnya padaku dan Nova putri kami. Namun aku dengan besar hati memaafkannya.

Tiada guna bagiku menaruh dendam dan amarah dalam hati, karena hanya akan menambah beban hidupku.

Dengan memaafkan, aku meringkan langkah hidupku, dan mungkin juga meringankan beban hati suamiku dan Anita, perempuan selingkuhannya.

Bukan karena aku mengalah dan melepaskan suamiku untuk perempuan lain, namun aku memilih untuk berdamai, membiarkan garis takdir hidup kami berjalan sebagaimana yang telah terjadi.

Awalnya terasa berat, dan sangat menyiksaku, apalagi aku telah memiliki seorang putri kecil. Menjanda di usia yang terbilang muda, bukanlah hal yang pernah terlintas dalam benakku.

Seiring waktu berjalan, Pram membuka mataku, menuntuntku untuk kembali menata hidup yang hancur. Ia mengajarkan ketenangan dan kesabaran, memberiku semangat dalam kesederhanna hidup. Dan Pram berhasil.

Sesampainya dirumah, Pram mengajakku untuk mandi bersamanya, tentu saja aku menerima ajakannya dengan senang hati.

“Ada yang mau ibu bicarakan?” tanyanya sambil menyabuni punggungku.

Aku memutar tubuhku, menghadap ke arahnya, lalu melingkarkan tangan di lehernya.

“Ibu sedang bahagia. Ibu mohon, biarkan apa yang ibu alami tadi, ibu simpan sendiri. Ibu harap kamu mengerti.” kataku.

Pram, lelakiku mengangguk. Kedua tangannya memegang pinggangku lalu tersenyum. Ia memelukku dengan sangat erat. Tubuh telanjang kami menyatu, tak memperdulikan keadaannya yang tengah dibaluri oleh busa-busa sabun disekujurnya.

Hampir lima menit kami berpelukan dalam diam, menikmati damai yang masih terasa pasca pertemuan dan perbincangan suamiku. Kuharap ia pun demikian, menanggalkan beban dihatinya dan mulai menjalani hidup dengan tenang setelah berbicara dan mendengar kata maaf dariku.

“Tadi suami ibu bilang kalo dia titip ibu sama saya.” katanya setelah pelukan kami berakhir.

“Trus kamu jawab gimana?”

“Saya bilang iya. Saya menyanggupinya.”

Aku tersenyum, lantas melumat bibir Pram dengan lembut dan penuh rasa.

“Sebelum dia pergi dia bilang ‘Rindi perempuan hebat’.”

Sebuah kalimat yang, entah bagaimana aku menanggapainya. Pada akhirnya suamiku mengakui keberadaanku, dan mungkin merasa kehilanganku. Namun, hal itu telah terjadi, dan garis takdir mengharuskan kami berpisah. Inilah jalan kehidupan.

“Mungkin dia menyesal telah meninggalkan ibu.” guman Pram sambil kembali mengusap tubuhku yang penuh dengan busa sabun.

“Mungkin saja begitu. Tapi ibu harap dia bahagia bersama Anita.”

Pram tak melanjutkan percakapan itu, ia lantas memelukku dengan erat, dari arah belakang. Sebuah kecupan mendarat dikepalaku.

“Ibu memang perempuan hebat. Mampu memaafkan dan merelakan kepergiannya.”

“Karena ibu belajar kehidupan seperti ini dari kamu.” timpalku sambil mengecup pipinya yang berada di samping wajahku.

Perempuan hebat’ rasanya ungkapan itu terlalu berlebihan untuk disematkan padaku.

Untuk menjadi Rindiani yang sekarang, aku harus melewati jalan terjal dan berliku. Hatiku harus tertikam belati, berdarah-darah, menahan sesak didada, dengan tangis.

Aku harus tegar, tetap tersenyum, walaupun harus menanggung beban. Semua demi Nova, dan demi diriku sendiri. Lagipula, aku tak punya pilihan lain, selain harus melewati garis takdir yang kejam itu.

“Trus, sekarang kita mau ngapain?” tanyaku sambil mengenakan pakaian.

“Kita istirahat aja bu. Tiduran. Sambil nungguin kabar dari mbak Aya.”

Pram kedinginan karena kehujanan saat menungguku berbicara dengan suamiku, ditambah lagi dengan dinginnya air saat kami mandi. Tubuhnya gemetar, bersembunyi dibalik selimut diatas tempat tidurku.

Kupeluk erat tubuhnya, dan membiarkan wajahnya menempel erat di dadaku. Kedua tangannya melingkar eerat di pinggangku.

Berkali-kali kukecup kepalanya, sambil mengusap punggungnya, sekedar mencoba memberi kehangatan.

“Mau pakai minyak kayu putih?” tanyaku.

“Enggak bu, gini aja udah enak kok.” balasnya sambil menempelkan kepala didadaku dengan sangat erat.

Satu kakiku menumpang diatas pahanya, dan ia dengan mudah mengusap pahaku karena aku hanya mengenakan celana pendek untuk menutupi pinggulku. Di bagian atas, aku menutupi tubuhku dengan sehelai baju kaos, tanpa mengenakan bra, dan Pram dapat dengan mudah dan leluasa merasakan kehangatan tubuhku.

Tiba-tiba Pram meraih ujung bajuku, lalu menariknya keatas, ke arah leherku sehingga payudaraku terbuka.

“Sayang pengen?” tanyaku sambil mengusap kepalanya.

Pram menggelengkan kepala, lalu menyandarkan wajahnya di payudaraku. Tentu saja aku tidak keberatan dengan hal itu, sebaliknya, aku merasa senang jika bisa membuatnya nyaman bersamaku.

Tidak ada hal lain yang dilakukannya. Ia hanya ingin menyandarkan wajahnya disana, merasakan kenyamanan, dan tak lama kemudian, ia terlelap dalam tidurnya. Kukecup keningnya dengan penuh kasih sayang, sebelum akhirnya aku pun terlelap.

♡♡♡

bersambung

part 4 akan rilis beberapa jam kedepan.
terima kasih :rose:

have a great weekend teman-teman :rose:


selamat bermalam minggu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd