Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
karakter sudah terbentuk dengan matang, justru vanilla begini jauh lebih bermakna daripada sekadar mengumbar nafsu liar... tentu perlu adegan tambahan FFM sepertinya, karena jalur untuk itu sudah ada, tapi tetap no gb, orgy atau apapun yg tidak mngedepankan rasa
Setujuuuuuuuuuuu 100%. Love it banget dah. 3s FFM memang opsi yang terbuka, tapi... seperti yang diutarakan oleh Rindi, dlm perbincangannya bersama Nina, maupun saat berbincang bersama Pram, ada keraguan disana.

Kalo dibaca lagi, pembahasan tentang 3s seperti tarik ulur. Antara iya dan tidak, karena Rindi takut kehilangan Pram, kalo sampe Pram ketagihan sama Nina. Ada kebimbangan disana.

Tapi entahlah.. biarkan cerita mengalir dulu, dan lihat gimana jadinya nanti.

Makasih ya :rose:
 
Ane suka nih TS selalu interest ama pembaca.. Sehat selalu sist @merah_delima ..semoga Selalu menuliskan seri seri terbaik untuk pram dan bu rindi.

Calya nikah ama SANDI bae lah atau ama nina..
Bu rindi tetep miliknya pram...TITIK!! 😁😁

Lhah adek nova its real toh..??, sukses ya.. Jaga bu rindi selalu..
Calya sama sandi?
Sandi sama Nina?

Hhmmmm... sepertinya sih anu.. 😂

kalo Rindi dan Pram.. coba nanti lihat endingnya gimana..

makasih ya :rose:
 
part 4


Rindiani

Hampir dua jam lamanya kami tertidur. Benar-benar terlelap karena udara dingin dan tubuh lelah setelah bercinta di gudang kampus. Bahkan setelah membuka mata, kami masih memanjakan diri dengan bermalas-malasan, berpelukan diatas tempat tidurku.

“Hujannya udah berhenti.” gumanku, sambil memandang ke arah jendela.

“Tapi rasanya masih males. Masih pengen tiduran aja bu.”

“Tapi ibu harus masak, sayang. Kalo tiduran terus, kapan masaknya?”

Pram mempererat pelukannya, menenggelamkan wajahnya dipayudaraku. Aku membalasnya dengan merangkul lehernya, mendekapnya erat, lalu mengecup kepalanya. Terasa nyaman, bahagia, bisa menghabiskan waktu dengan lelakiku, walaupun hanya sekedar dengan berpelukan, bermalas-malasan diatas ranjang.

“Mbak Aya kok gak ada kabarnya?” tanyaku.

“Mungkin dia lagi tidur bu. Kalo lagi libur gini, dia kan males banget mau turun dari ranjang.”

Aku tertawa mendengar hal itu.

“Sama kayak kamu.”

Pram tertawa dalam pelukanku, dan masih menikmati empuknya payudaraku yang menjadi tempat wajahnya bersembunyi.

“Kayaknya kalo minum teh panas enak deh Pram.”

“Ibu mau minum teh?”

Aku mengangguk.

“Ya udah, ibu tunggu disini, saya buatin dulu.”

Pram bangkit dari tidurnya, lalu meninggalkanku.

Buru-buru kulucuti seluruh pakaianku, lalu menyusul lelakiku kedapur. Entah kegilaan apa yang merasuki, namun birahiku kembali bergejolak saat Pram bermanja-manja dipayudaraku.

Beberapa jam sebelumnya, kami telah bercinta, dan ia pun telah memuaskan hasratku. Namun kini, nafsuku kembali meninggi, dan melakukan kegilaan lain yang benar-benar diluar akal sehatku.

Pram sedang menuangkan air kedalam cerek ketika aku mengampiri dan memeluknya dari belakang. Ia tertawa sejenak, lalu kembali melanjutkan menaungkan air. Sepertinya lelakiku belum menyadari jika aku telah melucuti seluruh pakaianku.

“Kok gak nungguin dikamar aja sih bu?” tanyanya sambil bergeser kesamping dan menghidupkan kompor, sementara mengikuti langkahnya dan tetap memeluknya erat.

“Gapapa, bosen dikamar.” jawabku singkat, lalu menyelipkan tangan kedalam celananya.

Pram kembali tertawa, ketika aku mulai meremas kemaluannya dengan lembut. Hanya dalam waktu singkat, penis yang selalu mampu memuaskanku itu mengeras.

“Ibu pengen?” tanyanya.

Aku sengaja tak menjawabnya, namun mulai memberi kecupan-kecupan disekitar lehernya.

Pram sedikit terkejut ketika ia memutar tubuh dan mendapati aku telah telanjang. Lelakiku, Pram menggelengkan kepala melihat kenakalanku.

“Ibu gak capek? Tadi dikampus kan udah.”

Aku menggelengkan kepala, sambil melingkarkan tangan dilehernya lalu mendeketkan wajahku dan melumat bibirnya.

Pram membalas ciumanku, dan satu tangannya mulai menrayap perlahan dipermukaan kemaluanku.

“Sebentar ya bu, buat teh dulu. Nanti kita lanjutin dikamar.” gumannya sambil melepaskan lumatan dibibirku.

Aku menggelengkan kepala, lalu memarikan kompor yang masih berada dalam jangkauan tanganku.

“Udah gak pengen minum teh. Pingin minum sperma sayang” bisikku nakal sambil menyelipkan tangan kedalam celananya.

Tiba-tiba Pram memegang pipiku, lalu kembali melumat bibirku dengan kasar. Aku sedikit terkejut, namun dengan segera bisa mengimbangi permainannya yang mulai liar dan panas.

Sambil melumat bibirnya, kulucuti celananya dan membebaskan kemaluannya, agar tanganku bisa leluasa bergerak disana.

Hampir dua menit lelaki itu melahap bibirku, lalu beralih ke leher, hingga akhirnya kembali menghisap putingku.

Sepertinya aku berhasil menggodanya, memantik birahinya sehingga dalam waktu tak kurang dari lima menit, Pram telah terangsang dan mulai mengerjai tubuhku, lagi.

Dengan kasar, aku menjambak rambutnya, mendesakkan kepalanya ke arah dadaku. Aku ingin ia mengerjai payudaraku dengan lebih buas lagi.

Pram mengerti, lantas memghisap putingku dengan sedikit keras hingga aku merintih nikmat. Sekujur tubuhku merinding menyaksikan Pram mengerjai kedua payudaraku dengan buas secara bergantian.

Hanya dalam waktu singkat, sekujur dadaku telah dipenuhi oleh jejak air liurnya.

Setelah keinginan terpenuhi, aku kembali mengarahkan kepalanya kebawah, memaksanya hingga akhirnya Pram bersimpuh dihadapanku.

Kini, aku ingin ia menjilati kemaluanku, melahap vaginaku sebelum menyetubuhiku. Satu kakiku kutumpangkan diatas pundaknya dan kedua pahaku terbuka lebar. Dan terjadilah, sekali lagi ia memberiku kenikmatan, ketika hangat dan basah lidahnya mendarat diantara celah kemaluanku.

Sambil menjambak, mataku kembali disuguhkan pemandangan panas saat ia menyibak bibir kemaluanku dan mengirimkan lidahnya untuk menari diantara celah sempit itu.

Aku mulai mendesah, pinggulku bergerak mengikuti irama permainan lidahnya yang perlahan mulai terasa kasar dan buas.

Sesekali ia mencoba menerobos liang vaginaku, membuatkku merinding merasakan sensasi kenikmatannya.

Larut dalam kenikmatan membuatku lupa akan segala hal. Aku lupa bahwa kami melakukannya di dapur, dan pintu samping rumahku pun belum terkunci, walaupun telah terututp rapat.

Aku benar-benar gila, benar-benar menjadi perempuan liar penggila kenikmatan seks, dan Pram, lelakiku selalu mampu memenuhi keinginanku.

Setelah puas merasakan sentuhan lidahnya di vaginaku, aku memutar tubuhku. Kini, aku ingin ia mengerjai bagian tubuhku yang lain. Aku ingin merasakan sapuan lidahnya di belahan pantatku.

Pram hanya menurut tanpa memberi perlawanan. Jambakanku pada rambutnya pun tak dihiraukannya. Ia menuruti segala perlakuan kasarku.

Tubuhku tersentak saat ia kembali membelai pinggulku dengan lidahnya. Jilatannya terasa hangat memanjakan pinggul, kedua belah bukit dibawah pinggulku, hingga kebagian paha.

Ia membuat tubuhku merinding. Sekali lagi ia menelusuri lekuk pantatku, lalu mulai menyibak kedua belah gumpalan lemak yang menutupi celah sempit itu.

Lidahnya bergerak pelan, merayap, membasahi setiap bagian yang dilaluinya.


Akhirnya, sampailah ia di bagian yang paling kuinginkan. Permukaan liang anusku. Seketika, bibirku kembali melantumkan desahan ketika ujung lidahnya mulai menyentuhku, apalagi dibagian depan, tangannya kembali beraksi, mempermainkan vaginaku dengan kasar. Dua jarinya kembali mengunjungi liang kenikmatanku.

Ditengah buaian birahi yang menerpa, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Pram, dari arah kamar tidurku. Sekali lagi, percintaanku terhenti, terganggu oleh panggilan telfon tersebut.

Dengan setengah hati, aku menghentikan permainan kami, menjauhkan kepala lelakiku dari tubuhku.

“Sayang, telponya diangkat dulu.” gumanku.

Pram nampak kecewa, namun tetap menuruti perkataanku. Ia memegang tanganku, lalu mengajakku kembali ke kamar tidur.

Panggilan telfon itu berasal dari Calya, sang kakak yang cantik cantik jelita dan pernah menghentikan percintaan kami.

Setelah beberapa saat menerima telfon, Pram menghampiriku. Ia ikut merebahkan tubuhnya disampingku, diatas ranjang.

“Mbak Aya ngajak makan malam.”

“Sama ibu juga.” katanya lagi.

“Trus mau kesana jam berapa?” tanyaku.

“Sekarang. Mbak Aya mau ditemenin shoping dulu.”

Pram nampak tidak bersemangat dengan ajakan sang kakak. Wajahnya lesu.

“Kalo dia shoping lama banget, capek nemenin dia keliling dari toko ke toko.” keluhnya.

Aku bisa memaklumi apa yang Pram rasakan karena aku pun seperti Calya, menghabiskan waktu berjam-jam jika sedang berbelanja, terutama jika membeli pakaian.

“Biar nanti ibu yang temenin mbak Aya belanja. Kamu tunggu dimobil aja, atau di hotel.” kataku.

“Gak mungkin bu, pasti dia maksa saya ikut.” bantahnya.

“Ya udah, nanti kan bareng ibu juga, jadi kamu ada temennya.”

Pram menghela nafas panjang. Ia benar-benar tak bersemangat menyambut ajakan sang kakak untuk berbelanja.

“Mandi yuk, baru kita ke hotel.” kataku.

Pram hanya mengangguk, lalu mengikuti langkahku.

Pram tampak lesu, kehilangan semangat selama perjalanan menuju ke hotel. Ia benar-benar merasa tak nyaman dengan ajakan sang kakak.

Berbeda denganku, aku begitu bersemangat menantikan pertemuan dengan Calya dan berbelanja dengannya. Hal yang lumrah bagi kaum wanita.

“Senyum dong sayang.” kataku, mencoba menghiburnya.

Pram tersenyum, namun sebuah senyum keterpaksaan yang hadir di wajahnya.

“Ga asik.. senyumnya gak enak.” protesku.

Dan, akhirnya senyum manis kembali hadir di wajahnya. Walalupun mungkin nanti ia akan kembali bersungut-sungut saat menemani Calya berbelanja.

“Sayang.. jangan marah ya..” kataku lagi.

Pram menatapku heran. “Marah kenapa?”

Aku tersenyum, lalu mengecup pipinya. Pram semakin bingung dengan tingkahku, sesekali ia melirik ke arahku, lalu kembali mengawasi jalan didepannya karena sedang mengendalikan stir mobil.

“Tapi janji, gak boleh marah.” kataku lagi.

Pram menggeleng pelan, lalu tersenyum.

“Iya bu, saya janji.” jawabnya.

Sekali lagi, aku mengecup pipinya.

Tingkahku semakin membuatnya heran dan bingung. Perlahan aku menarik naik ujung rok panjang yang kukenakan, lalu memamerkan selangkanganku yang tak tertutupi celana dalam.


“Haaduuhhhhh…buuuuuu…” komentarnya, lalu tertawa.

“Ibu bener-bener nekat! Makin nakal..!” sambungnya.

“Gara-gara kamu, ngajarin ibu gak pakai celana dalam. Jadi ya ibu pengen nyoba aja.” balasku.

Pram seakan tak percaya dengan kenekatanku, kegilaanku.

“Nanti kalo ada yang lihat gimana?”

“Anggap aja yang lihat lagi beruntung.” jawabku.

Pram tersenyum, lalu menjulurkan tangannya dan mengusap kemaluanku. Tentu saja aku membiarkan lelakiku itu menyentuhku, karena aku menyukainya, menikmatinya.

“Sayang.. nyetir yang bener..” gumaku sambil menyandarkan tubuh di pintu, lalu membuka lebar pahaku, menghadap ke arahnya.

Sepertinya, aku berhasil mengusir ketidaknyaman Pram karena ajakan Calya, karena ia tersenyum sambil terus mempermainkan vaginaku.

Hanya beberapa saat kemudian, akhirnya kami tiba di area parkiran hotel.

“Jangan-jangan ibu juga gak pakai BH?” tanyanya sambil memarkirkan mobil, sementara aku membenahi rok.

“Coba sayang periksa.” balasku.

Lagi-lagi Pram tersenyum. Aku meraih tangannya dan meletakannya didadaku, dipayudaraku.

“Gimana? Ibu pakai atau enggak?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mematikan mesin mobil.

Aku belum cukup berani untuk melakukannya karena khawatir akan ukuran payudaraku yang sedikit besar, apalagi aku hanya mengenakan T-Shirt berukuran sedang sehingga payudaraku tercrtak jelas walaupun tertutupi oleh jilbabku.

Tiba-tiba Pram menarik ujung bajuku hingga ke bagian dada, lalu memaksa mengeluarkan payudaraku dari bra yang menutupinya. Dilahapnya putingku dengan keras hingga tubuhku tersentak.

Ada-ada saja kegilaan kami, layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk birahi. Secara bergantian, kedua putingku dihisapnya, bahkan kedua tangannya ikut meremas payudaraku, hingga memancing birahi.

Isepin terus sayang..” bisikku sambil mengusap kepalanya.

Pram bereaksi, dan menyelipkan satu tangannya kedalam rok panjangku. Ia mengerjai tubuhku dengan buas.

Hanya dalam waktu singkat, vaginaku dibuatnya basah. Cairan lubrikasi kembali keluar dari kemaluanku.

Namun, lagi-lagi permainan kami terhenti, ketika kulihat Calya keluar dari pintu utama lobi hotel dan berjalan ke arah kami.

“Sayang, ada mbak Aya.” bisikku.

Pram menyudahi permainannya dengan menghisap kulit payudaraku dengan keras hingga meninggalkan jejak kemerahan disana. Pram, lelakiku benar-benar menjadi lelaki pemuas nafsu yang hebat.

Kubenahi pakaianku, dan segera keluar dari mobil, demi menghindari kecurigaan Calya.

“Haloooo mbak Rin.” sapanya, lalu memelukku dan mengecup kedua pipiku.

“Duuhhh.. makin cantik aja.” sambungnya lagi.

Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Tentu saja aku merasa minder melihat penampilannya yang cukup modis dan seksi. Baju kaos dengan lengan tigaperempat, dipadu dengan celana pendek yang memaerkan jenjang pahanya, sangat cukup untuk menjadikannya pusat perhatian, walaupun wajahnya tampil tanpa polesan make-up.


Calya

Calya memandangi Pram, lalu menggelengkan kepala.

“Kamu ini..” gumannya, sambil melangkah mendekat ke arah Pram.

“Mau jalan sama mbak kok bajunya gini amat.” protesnya melihat baju kaos yang dikenakan Pram.

Pram hanya terdiam, menghela nafas, sementara aku tertawa melihat tingkah kakak beradik itu. Sebenarnya, pakaian yang dikenakan Pram cukup rapi, namun sepertinya tidak cukup memuaskan Calya.

“Nanti kita beli pakaianmu.” kata Calya.

“Mumpung masih sore, kita belanja dulu yuk. Abis itu baru makan di angkringan yang deket stasiun tugu.”

“Iya mbak.” jawab Pram singkat.

Akhirnya kami meninggalkan hotel tersebut, berjalan kaki menikmati keramaian Malioboro, tempat yang menjadi icon kota pelajar selama ini, dan terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia.

Aku dan Calya berjalan didepan, sementara Pram mengekor dibelakang kami. Dibalik rok panjang yang kukenakan, kurasakan cairan lubrikasi mulai mengalir perlahan hingga ke pahaku. Aku benar-benar lupa membersihkan kemaluanku karena melihat kehadiran Calya. Jantungku berdebar, was-was jika saja dari sekian banyak orang yang tumpah ruah dijalanan ini, ada yang menyadari dan mengetahui jika aku sedang tidak mengenakan celana dalam.

Aku yakin hal itu tidak akan terjadi karena rok panjang yang menutupi pinggul hingga mata kakiku berbahan cukup tebal, mampu melindungi tubuhku dengan sangat baik. Namun sekali lagi, rasa khawatir tetap saja melandaku, karena inilah pengalaman pertamaku keluar rumah dan ditengah keramaian tanpa mengenakan celana dalam. Sensasinya cukup mendebarkan, karena selalu menghadirkan rasa geli, namun bercampur dengan birahi dan khawatir. Dan sejauh ini aku cukup menikmatinya.

“Mbak Rin, temenin belanja ya.” kata Calya saat kami hendak memasuki sebuah toko yang terkenal dengan beragam koleksi pakaiannya yang mahal dan bermerk.

“Iya mbak.”

Beberapa langkah memasuki toko tersebut, Calya meraih dompet dari dalam tasnya.

“Ini kartu kredit mbak. Kamu bawa. Kamu beli pakaian yang kamu suka. Inget, jangan mikir harganya, jangan mikir uangnya. Pokoknya kamu harus beli pakaian.” kata Calya pada sang adik, Pram.

“Gak usah mbak, baju sama celana masih ada kok. Masih banyak.”

Calya menatap Pram beberapa saat, seolah sedang memaksa sang adik, hingga akhirnya Pram menerima kartu kredit itu dengan wajah lesu.

“Ya udah, mbak mau cari pakaian buat mbak, kamu cari sendiri. Mana yang kamu suka, beli! Inget, beli aja, jangan mikir harganya!” kata Calya lagi.

Pram hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah ruangan yang menyediakan koleksi pakaian pria, sedangkan Calya dan aku menuju ke bagian pakaian wanita.

“Dia itu paling susah kalo diajak belanja. Kadang bener-bener menyebalkan.” guman Calya.

Aku tertawa mendengar omelan Calya.

“Mbak pasti udah tahu kan, kalo Pram itu pribadi yang sederhana.” kataku.

“Iya sih, emang bagus juga kalo hidup sederhana kayak gitu, tapi masalahnya dia kelewat sederhana. Bajunya itu-itu aja. Celananya juga itu-itu aja.” keluhnya sambil melihat beragam koleksi blouse yang berjajar rapi disepanjang lorong yang kami lalui.

“Ngomong-ngomong, Pram udah ada pacarnya atau belum?” tanyanya.

Entah bagaimana aku menjawab pertanyaan itu. Aku dan Pram bukanlah sepasang kekasih, namun aku sangat yakin, kami telah terikat dalam satu hati.

“Kayaknya sih belum mbak.” jawabku singkat sambil melihat beragam koleksi celana panjang berbahan kain dihadapanku.

“Susahnya punya adik kayak dia. Gak gaul. Gak kayak anak muda lain yang hidupnya normal.”

“Kalo menurur saya, Pram cuman mau hidup sesuai dengan jati dirinya aja mbak.”

“Saya gak terlalu paham dengan bagaimana Pram mikirin hidup, tapi sejauh ini, saya salut sama dia. Dia sederhana dan gak terbawa arus lingkungan.”

“Betul begitu, tapi saya yang jadi pusing mbak Rin. Orang tua kami selalu menuntut saya untuk lebih perhatian ke Pram, padahal Pram baik-baik aja, gak butuh perhatian khusus.” timpal Calya.

“Tanpa diminta orang tua kami, saya pun pasti tetap akan memperhatikan dia, karena dia satu-satunya saudara saya. Saya kerja, ngumpulin duit ya buat dia juga. Tapi mbak lihat sendiri kan? Disuruh beli baju aja susahnya minta ampun.” gerutunya.

“Gimana kalo disuruh nyari calon istri?” sambungnya.

Aku tertawa mendengar keluhan Calya.

“Mbak Aya aja belum nikah, gimana Pram mau nyari calon istri?” gumanku.

“Iya sih, bener begitu. Tapi saya pingin Pram bahagia dulu, kuliahnya selesai. Nikah. Kerja. Atau nikah dulu, trus kerja. Kalo dia udah nikah, saya udah tenang, setidaknya tugas saya untuk mengurus dia menjadi lebih ringan.”

“Mbak Aya jangan Khawatir, Pram baik-baik aja kok. Kuliahnya baik-baik aja. Rajin belajar, rajin ke kampus. Temen-temennya juga baik-baik semua.”

“Kalo urusan pacar, mungkin Pram mau fokus kuliah dulu, gak mau dipusingkan dengan urusan asmara.” sambungku lagi.

“Saya gak pernah ngelarang dia untuk pacaran, tapi emang dasarnya Pram susah banget kalo disuruh deketin cewek.”

Aku menggelengkan kepala, membayangkan betapa perhatiannya Calya pada sang adik, namun sang adik memilih untuk menjalani hidupnya seauai dengan keinginannya sendiri.

Calya meraih tiga helai blazer dan memasukkannya kedalam kantong belanjaan, lalu kembali berjalan, mendekati beragam koleksi rok mini yang tergantung di tepian lorong.

“Mbak Rin mau?” tanyanya sambil memperlihatkan sehelai rok mini padaku.

Aku menggelengkan kepala, dan Calya kembali meletakkan rok tersebut.

“Mbak Rin mau apa? Baju? Celana? Tas? Sepatu?” tanyanya.

“Enggak mbak, pakaian saya masih ada kok. Masih banyak juga yang belum terpakai. Mbak belanja buat mbak sendiri aja.”

“Gak bisa. Pokoknya mbak Rin harus milih sesuatu disini.” bantahnya.

Aku tak punya pilihan lain selain harus mengalah dengannya, karena sikap keras kepala Calya memang benar-benar cukup membuatku tak enak hati.

Akhirnya kami memasuki area lantai dua yang berisi beragam koleksi pakaian dalam, hot pant, short pant, lingerie, dan sebagainya.

Aku mendampinginya melihat beragam contoh G-Sting yang terpajang di etalase, dibagian sudut ruangan tersebut. Dan setelah beberapa saat, Calya memanggil seorang wanita yang bertugas melayani pembeli. Ia menunjukkan pada wanita tersebut celana dalam yang hendak ia beli. Totalnya ada duapuluh lembar celana dalam G-String dengan beragam model yang ia beli.

“Kok banyak banget mbak?” tanyaku heran.

“Saya beli duapuluh, yang sepuluh buat mbak Rin.” jawabnya enteng.

Aku menggelengkan kepala. Dan selanjutnya, bukan hanya celana dalam yang ia berikan, namun ada banyak barang lainnya. Tas, sepatu, baju, rok mini, rok panjang, jilbab, bikini, celana pendek, dan beberapa barang lainnya. Penolakan demi penolakanku tak digubrisnya. Calya benar-benar keras kepala dan royal.

“Kita cari Pram dulu ya mbak Rin.” Katanya, setelah ia selesai membayar semua belanjaan kami.

Kami menemukan Pram tengah memilih baju kaos, dan tampaknya ia belum membeli satu pun barang yang terpajang di toko tersebut. Seperti biasa, Calya segera melayangkan omelannya terhadap sang adik.

“Mbak udah belanja sebanyak ini. Kamu belum beli apapun.” katanya, lalu menggelengkan kepala.

Ia meletakkan belanjaanya di lantai, lalu memilih baju untuk sang adik. Calya tahu ukuran tubuh sang adik, dan segera memilih beberapa lembar untuk Pram. Begitu juga dengan celana panjang, kemeja, bahkan celana dalam.

Pram hanya menghela nafas melihat kegesitan sang kakak dalam berbelanja.

“Itu banyak banget mbak.” gumannya ketika kembali bersama kami dengan beragam pakaian di tangannya.

Sekali lagi Calya menatap sang adik, membuatnya terdiam dan menuruti Calya.

Pram hanya ingin hidup sederhana, berpenampilan apa adanya, seperti yang aku kenal selama ini. Namun, disisi lain, Calya ingin menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya dalam bentuk materi, yang mana berbenturan dengan kepribadian Pram.

Tidak ada yang bisa disalahkan, karena mereka adalah kakak beradik dengan watak yang bertolak belakang. Aku bisa memaklumi Calya, dan bisa memahami Pram.

Keduanya memiliki keunikan dan jalan pikiran yang berbeda.

“Sekarang kita balik ke hotel, anterin belanjaan, trus kita makan. Mbak udah laper.” guman Calya dengan wajah ceria karena telah mendapatkan beragam barang keinginannya.

Dengan susah payah, Pram membawa hasil belanjaan sang kakak. Ada lima kantong belanjaan besar yang harus ia tenteng selama perjalanan menuju ke hotel. Aku hendak membantunya membawa kantong tersebut, namun Pram menolaknya.

Hanya dalam tempo dua jam, jutaan rupiah dikeluarkan Calya untuk berbelanja beragam pakaian kami bertiga. Ia sama sekali tak khawatir kehabisan uang. Pribadi yang sangat kontras dengan sang adik, dimana memilih untuk hidup sederhana dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uang.

Ketika sampai dikamar hotel, ia meletakkan seluruh belanjaan itu diatas meja dan menghempaskan tubuhnya si sofa. Pram nampak kelelahan.

“Pram, mau istirahat dulu, atau langsung makan?” tanya Calya.

“Istirahat dulu sebentar mbak. Pegel.”

“Iya, sekalian mbak mandi. Kalian istirahat dulu.”

Calya berlalu, memasuki kamar mandi, meninggalkan aku dan Pram. Pram benar-benar tak nyaman, tak bisa menikmati waktu bersama sang kakak karena kepribadiannya yang bertolak belakang.

“Nanti pulang ibu pijetin.” bisikku Pram mengangguk, lalu mengecup bibirku, ia duduk di tepian ranjang bersamaku.

“Gimana rasanya gak pakai celana dalam keluar rumah?” tanyanya sambil berbisik.

“Rasanya geli, enak, horni.” jawabku sambil mengusap kemaluannya.

Tiba-tiba Pram menarik naik rok panjang yang kukenakan dan menyentuh vaginaku.

“Basah banget.” bisiknya.

Aku mengangguk, menikmati sentuhannya. Kami benar-benar gila, tak memperdulikan jika Calya bisa sewaktu-waktu memergoki kami. Aku bahkan membuka pahaku sedikit lebar agar tangannya bisa bergerak bebas.

Hampir satu menit Pram mempermainkan kemaluanku, lalu menarik tangannya dari sana. Ia memamerkan empat jemarinya yang nampak basah dan dibaluri oleh cairan dari selangkanganku.

Entah kegilaan apa yang telah tumbuh dalam diriku, aku segera memegang pergelangan tangannya, dan menuntun jemarinya untuk mendekat kearah wajahku. Segera kuhisap jemarinya, membersihkannya dari cairan tersebut.

“Ibu makin gila.” bisiknya lalu tertawa.

“Iya.. abisnya kamu sih bikin ibu senang terus.”

Kami sama-sama tertawa, sebelum akhirnya Pram berdiri dan memilih untuk duduk di sofa, sementara aku membenahi rokku.

Beberapa saat kemudian, Calya telah selesai, dan keluar dari kamar mandi. Pakaian yang dikenakannya pun masih belum berganti, namun wajahnya terlihat lebih segar.

“Mbak Rin mau mandi juga?” tanyanya.

“Enggak mbak, makasih. Tadi udah mandi dirumah.”

“Pram? Mandi?” tanyanya lagi.

Pram menggelengkan kepala.

“Apa mau mbak mandiin?” sambung Calya.

Aku terkejut mendengar ucapan Calya, dan Pram hanya tersenyum, sambil menunduk malu.

“Dulu waktu dia masih kecil, males banget mandinya. Orang tua kami kami sampe nyerah kalo udah menyangkut urusan mandi. Pasti harus marah-marah dulu, ngomel dulu.” celotehnya sambil merias wajahnya didepan cermin.

“Kalo udah gitu, saya yang harus mandiin dia. Daripada dia diomelin terus, dimarahin. Gak tega saya mnak Rin.”

“Itu kan dulu mbak. Waktu masih kecil.” jawab Pram.

Aku tertawa, ternyata lelakiku pun memiliki kenangan masa kecil layaknya anak-anak lainnya, yang selalu rumit dan sulit jika berhubungan dengan mandi.

“Untungnya dia gak manja mbak Rin. Jadi saya gak terlalu ribet ngurusin dia.”

“Pram waktu kecil nakal juga ya mbak?” tanyaku.

Pram menunduk malu mendengar pertanyaanku.

“Lumayan nakal. Tapi nakalnya ke saya, bukan ke teman-temannya.”

“Sering gangguin saya kalo lagi belajar. Gangguin kalo lagi nonton tv, padahal dikamarnya sudah ada tvnya sendiri.”

Pram tersenyum. Aku yakin memori masa kecilnya kembali berputar di kepalanya.

“Sekarang udah gede. Udah gak manja lagi. Gak nakal lagi.” Kata Calya sambil mengacak-acak rambut Pram dan duduk disampingnya.

“Tapi gak tau, masih males mandi atau enggak.” lanjutnya.

“Udah enggak mbak. Sekarang rajin mandi kok.” jawab Pram.

Aku tertawa meliha kakak beradik itu. Kedekatan mereka begitu mengikat, terutama Calya, yang begitu menyayangi sang adik.

Sepanjang sore hingga malam, kami menghabiskan waktu dengan bersantai dan berbincang sambil menikmati makanan di angkringan yang dirindukan Calya.

Menu makanan sederhana yang tersaji disana merupakan kesukaannya, sehingga ia nampak lahap dalam menyantapnya. Tak ada rasa jijik maupun enggan.

Kami duduk bersama, di tepi jalan hanya dengan beralaskan tikar.

Kaya, pintar, usia muda, dan karir yang cemerlang, membuatnya menjadi wanita sempurna dimataku. Pram dan Calya pasti memiliki orang tua yang hebat, yang mampu mendidik dan membesarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang baik. Mereka pasti bangga terhadap kedua anaknya.

“Besok mbak terbang jam berapa?” tanya Pram.

“Malam jam tujuh.” jawab Calya singkat, lalu menyeruput jahe hangat pesanannya.

“Mau ikut pulang?” tanyanya lagi.

Pram menggelengkan kepala.

“Mbak Rin, kalo ada waktu, liburan ke jakarta. Tenang aja, kalo sampe disana, nginep ditempat saya aja.” kata Calya.

“Iya mbak, nanti kapan-kapan aja deh kalo ada waktu.”

Kami bertukar nomer ponsel, dan terus berbincang hangat sambil menikmati suasana senja kota pelajar.

“Saya titip Pram ya. Kabari saya kalo Pram sakit atau ada apa-apa. Kalo dia nakal, laporin ke saya.” kata Calya.

“Mbak….” Guman Pram sambil menunduk malu.

“Makanya kamu jangan nakal. Buruan cari pacar, biar mbak gak dikejar, disuruh nikah sama papah mama.” balas Calya.

Aku tertawa melihat kekonyolan Calya. Ia benar-benar tak ingin menikah dalam waktu dekat. Sebaliknya, ia ingin sang adik untuk segera memiliki pasangan demi menyelamatkan dirinya dari desakan menikah kedua orangtua mereka.

“Mbak Aya tenang aja. Saya akan mengawasi Pram. Saya akan menjaganya. Lagipula Pram gak macem-macem kok mbak. Dia baik kok.”

Calya tersenyum, lalu merangkul bahu lelakiku, Pram.

“Semester depan kamu skripsi. Sesudah itu, lulus. Emang gak terasa, sekarang kamu udah dewasa.” gumannya.

“Iya, mbak juga udah dewasa. Udah mapan. Buruan cari suami.” timpal Pram.

Seperti biasa, Calya hanya tertawa menghadapi pembahasan tentang pernikahan.

“Mbak nikah kalo kamu udah nikah. Biar mbak tenang, gak mikirin kamu lagi.”

Itulah bukti ikatan persaudaraan diantara mereka. Kepedulian Calya terhadap Pram sungguh luar biasa besar. Ia mengantikan peran kedua orang tua mereka sebagai penanggung jawab terhadap kehidupan sang adik.

Sungguh harmonis dan hangat jalinan persaudaraan mereka, membuatku semakin senang dan bangga mengenal kedua insan tersebut.

♡♡♡ Seri 8 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya. Terima kasih. :rose:
 
Flavor of vanilla is so strong.... And i love it..... It's a smooth story telling..... Really hard to capture the emotions in words... But you sis @merah_delima successfully done it.....

Can't wait for the update

Hope u always safe and healthy Sis... And don't forget to be happy
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd