Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RIWAYAT SESAT

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN III

-----

Beberapa hari selanjutnya berlalu seperti biasanya. Ano yang sudah jatuh cinta kepada Bu Atikah, sangat menyadari bahwa dia hanyalah sekedar pengagum tanpa akan pernah bisa memiliki perempuan yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya itu. Hanya dengan bersua, menikmati dapat memandang wajah Si Dia sepuasnya dan berkhayal kemudian diakhiri dengan onani, itu sudah cukup baginya. Mereka memang sering bertemu setiap hari dan pertemuan mereka sangat kaku, tidak seakrab seperti hari-hari yang lalu. Dan justru keadaan itulah yang membuat Ano tersiksa luar biasa. Kadang dia sengaja nongkrong berlama-lama dengan teman-temannya hingga ketika menjelang tengah malam, dia mengendap-endap kembali ke rumah Bu Atikah. Keadaan rumah dirinya sudah sangat hapal sekali. Bahkan dia sudah membuat jalan ke atas rumah dengan aman tanpa ada seorang pun yang akan memergokinya. Membuat celah intip ke dalam kamar utama, kamar tempat beristirahatnya Haji Sobirin dan Bu Atikah. Dan kegiatannya itu hanya membuatnya gereget. Tak ada kegiatan birahi yang terlihat. Haji Sobirin kadang lebih dulu tidur, sementara Bu Atikah kadang mengaji lebih dulu sebelum menyusul tidur. Dan keadaan tidur seperti itulah yang membuat Ano sangat parno. Kadang dia ingin nekad turun ke bawah, menaiki tubuh montok yang tengah terlelap itu, menuntaskan birahi dan rasa cinta sepuas-puasnya. Namun itu semua hanya sebatas angan-angannya saja. Angan-angan yang kembali dituntaskan dengan onani di atas kamar. Pernha juga dia mempunyai pikiran apakah kebiasaan pasangan itu untuk memadu berahi di dini hari. Akhirnya dia memutuskan untuk menyiksa diri menunggu sampai adzan shubuh menjelang. Tetap saja tidak ada kegiatan apa-apa, selain selajimnya orang yang bangun subuh. Hingga kemudian Ano membuat rute baru ke arah kamar mandi, membuat lubang intip di plafonnya. Begitulah kegiatan malam-malamnya dilalui.

Malam rabu, Ano sedang nongkrong di pos ronda yang terletak di antara rumah kontrakannya dan rumah Bu Atikah. Dia bukan sembarangan nongkrong. Tadi habis ashar, Bu Atikah idzin ke Pak Haji Sobirin untuk mengikuti undangan pengajian di salah satu rumah warga. Bu Atikah memang sering memberikan pengajian bukan rutin, tapi berdasarkan undangan. Tadinya Pak Haji menyuruh Ano untuk mengantar, namun diurungkan ketika melihat Ano sedang sibuk melayani pembeli beras beberapa karung. Hatinya jelas menyesal, tapi akan menimbulkan kecurigaan kalau dirinya menyanggupi mengantar Ustadzah itu ke pengajian di saat sedang sibuk seperti itu. Akhirnya Bu Atikah berangkat dengan menumpang ojol.

Cuaca yang sedari siang mendung, sekitar jam lima sore gerimis turun yang kemudian menjadi hujan yang luar biasa banyaknya. Lewat maghrib tetap deras disertai petir dan gelegar guntur. Dengan seijin Pak Haji Sobirin, Ano menutup toko lebih cepat dari biasanya. Dia memang berniat mencegat Bu Atikah sepulang dari pengajian. Dia mendengar percakapan teleponnya antara Bu Atikah dan Pak Haji, bahwa belum bisa pulang karena hujan.

Entah mendapat keyakinan darimana bahwa Bu Atikah akan melewati gang tersebut, siapa yang tahu perempuan itu menunggu hujan berhenti kemudian diantar jamaahnya mengendarai motor, atau bisa juga melalui gang yang lain. Siapa yang tahu ....

Lewat isya, hujan menyisakan gerimis. Gemuruh air keruh berbau busuk terdengar mengalir deras dari saluran air melewati kolong pos ronda dimana Ano duduk mencakung sendirian. Pos ronda yang samasekali jauh dari kata strategis. Diapit oleh dua dinding tembok tinggi. Pos itu seakan bersandar ke dinding tembok di belakangnya dengan mengolongi saluran air, menghadap ke jalan gang selebar satu meter setengah. Cukup untuk dua motor berlawanan arah berpapasan dengan hati-hati. Diapit dua tembok tinggi, jelas membuat penerangan di sepanjang gang itu praktis minimalis alakadarnya. Penerangan lampu bohlam dengan tiang yang dipantek ke dinding yang jarak antar lampu sekitar dua puluh meter.

Petugas ronda mana yang sudi berjaga di pos ronda semacam itu? Bahkan tukang nongkrong pun sepertinya berpikir berpuluh kali untuk nongkrong di situ. Kecuali, para pemabuk yang menginginkan tempat tersembunyi, atau pasangan-pasangan mesum yang kekurangan modal. Di situlah tempatnya mereka. Pos ronda yang letaknya di atas parit selebar satu meter, bersandar ke dinding tinggi rumah besar yang mengapit gang kecil di pemukiman padat penduduk di belantara beton utara Jakarta. Dinding pos ronda tersebut terbuat dari triplek setingggi remaja ditambah dengan ram kawat sebagai pelengkapnya. Pada saat-saat biasa, gang kecil tersebut lumayan ramai oleh lalu-lintas motor yang memotong arah untuk memperpendek jarak dari dua jalan protokol yang mengapit pemukiman tersebut.

Kembali ke Ano yang tengah menggil kedinginan dengan hanya ditemani entah berapa batang rokok sudah dihabiskannya demi menunggu Sang Pujaan. Begitulah keadaan yang sedang dimabuk cinta. Dia sebenarnya tak bermaksud mencegat, bahkan mungkin begitu Bu Atikah lewat, dirinya akan menyembunyikan diri ke dalam pos ronda, padahal niatnya, begitu sosok itu lewat, dia akan berpura-pura bertemu tak sengaja dan kalau diperbolehkan, akan mengawalnya sampai ke rumah. Cukup itu saja. Baru membayangkannya saja dadanya sudah bergetar bahagia. Cinta itu memang aneh, No. Ajaib. Dan tidak akan pernah masuk akal.

Sesekali ada motor melintas dan beberapa orang yang berjalan setengah terburu-buru takut hujan kembali turun, melintas silih berganti di depan pos ronda itu. Sebagian dikenal Ano, saling menyapa sekedarnya. Angin dingin berhembus kencang, menggoyangkan lampu bohlam satu-satunya yang menggantung di dalam pos ronda. Kilat petir dan gelegar guntur, kembali saling susul-menyusul. Ano mulai gelisah. Dan ...

Brushhh!

Hujan deras kembali turun dengan cepat. Hati pemuda itu mengeluh putus asa. Melemparkan puntung dari rokok terakhirnya ke arah jalan dimana dia memperkirakan Si Dia muncul.

Deg! Hatinya serasa berhenti.

Beberapa belas meter dari dia melemparkan motor, dalam temaramnya penerangan lampu bohlam, tampak sesosok tubuh berjalan setengah berlari, namun tidak bisa cepat dikarenakan gamisnya sedikit mengganggu kebebasan larinya walau pun sudah diangkat di atas betis.

Mata Ano samasekali belum begitu jelas siapa dia, selain penerangan lampu yang temaram juga dihalangi oleh tabir air hujan yang deras dan rapat. Namun perasaan hatinya mengenali sosok itu lebih dulu. Matanya menegaskan, benar sosok itu bukan lain adalah ... Bu Atikah!

Ano mengagumi kebaraniannya sendiri ketika menyadari kini dia tengah berdiri di tengah jalan gang menghadang.

“Bu ...!” Ano menyapa dengan suara tercekat. Menatap nyalang ke sosok tubuh yang basah kuyup terbungkus oleh gamis rapat dan ketat. Sosok itu telah berhenti, kaget oleh hadangan mendadak tersebut.

“A ... A-no?” serunya kaget, begitu mengenali sosok yang menghadangnya. Pikiran buruk segera melintas. Saat tadi dia terburu-buru pulang dari pengajian ketika hujan tiba-tiba berhenti, dan di jalan sepi itu kemudian turun deras kembali. Tetes-tetes air hujan yang dingin, merembes terserap oleh BH-nya menyentuh dan mencucuk putingnya yang tanpa dapat ditahan lagi malah mengeras. Lalu ingatannya kembali ke di pos jaga di samping BKT dulu. Sambil berlari dan hatinya menyesal tidak menerima tawaran pinjaman payung dari Bu Maisaroh yang mengundangnya pengajian. Ingatannya malah melayang ke peristiwa yang sangat ingin dilupakannya.

Melihat yang ternyata menghadang itu Ano, ingatan itu semakin nyata.

“Hujan, Bu ... berteduh dulu di pos yukh!” Ano melangkah cepat menghampiri.

“Tt-tanggung, No ...” sahut Bu Atikah bersurut mundur. Terguyur hujan dan terpapar angin kencang. Tanpa sadar, perempuan itu gemeletuk giginya, entah oleh dingin atau rasa takut oleh pikiran buruk yang kini terbayang akan kembali mengalami diperkosa oleh pekerjanya ini.

“Aih, Jj-jangan, No. Lepaskan!” Bu Atikah berteriak kaget ketika Ano menyambar tangannya setengah diseret menuju pos ronda. Ia memberontak sekuat tenaga. Namun macan muda yang tengah birahi itu jelas tenaganya menang berpuluh-puluh kali lipat.

“Lepaskan, Bangsat!” jerit Bu Atikah mulai tidak bisa mengotrol kata-katanya. Kepanikan dan ketakutan membuat tenaganya sedikit lebih besar. Tangannya yang terbebas, melawan dan memukul. Ano sedikit berbalik, meraih pinggang perempuan montok itu kemudian mengangkat dan melemparkannya ke dalam pos ronda.

Blugh!

Pos ronda seakan bergetar, ketika balainya tertimpa tubuh montok dengan berat 65 kilo. Bu Atikah menjerit kesakitan ketika kepala bagian belakangnya membentur papan balai. Langsung terasa pusing berkunang-kunang. Melihat tubuh montok itu telentang tak berdaya di atas balai pos, otak Ano seakan hendak meledak oleh gelegak birahi yang telah membuatnya gelap mata. Tujuh puluh setan yang membantunya, siap-siap berpesta pora.

“Jangan, No ...” jerit Bu Atikah ketika melihat Ano membuka celananya dengan cepat. Sebatang tongkat hitam berurat mengacung perkasa. Ustadzah itu memalingkan wajahnya yang basah oleh air hujan. Wajah yang asalnya pucat ketakutan itu sedikit bersemu merah. Lupa bahwa seharusnya dalam kesempatan itu ia bangun dan melawan. Tentu yang terjadi selanjutnya akan berbeda dengan yang sekarang akan dialaminya. Dengan satu raungan bak macan yang akan mengganyang mangsanya. Macan muda ini menerkam.

Bu Atikah menekuk lututnya menyamping sebagai pertahanan dirinya. Namun macan itu, dengan taring dan cakarnya berhasil membobol pertahanan itu.

“Aku ... laporkan kamu, Bangsat!” Bu Atikah memaki-maki sambil meronta.

“Laporkan saja! Paling tinggal kabur, yang paling rugi udah jelas ibu!” sahut Ano disela-sela geramannya.

Mendengar jawaban Ano, sontak Bu Atikah terdiam. Sungguh masuk akal memang.

Bret! Bret!

“Akh! Amphuuun, No,” Bu Atikah merengek ketakutan. Sekali renggut tiga kancing gamisnya terlepas. Disusul renggutan lainnya ke BH. Bu Atikah merasakan punggungnya perih, mungkin terkena kaitan kancing BH yang direnggut paksa. Reflek, kedua tangannya menutup bongkahan payudaranya.

Sesak napas Ano melihat dua bongkah bulat padat, yang terpampang di depan matanya. Dia segera merenggut ke dua tangan Ustadzah itu, menguncinya di atas papan balai. Dengan napsu birahi yang luar biasa, Ano menengelamkan wajahnya di belahan daging bulat nan kenyal itu. Menggigit, menghisap, dan semua hal yang diinginkan dan selalu dikhayalkannya beberapa waktu yang lalu.

“Sha-khitt, Nooo ... Amphuuun. Ibu mohon, No ... nyebuuut, Nak,” isak Bu Atikah sambil kepalanya menggeleng-geleng dalam ketakberdayaannya. Ia kesakitan oleh tindakan Ano yang buas, dengan brutal, pemuda itu menggigit dan menghisap puting sekuatnya. Bercak-bercak merah basah oleh air liur bercampur air hujan di bukit putih itu tampak berkilat menggairahkan.

Dengan napsu yang meledak-ledak, persisi gelegar guntur di luar sana, Ano memaksa merenggangkan ke dua paha gempal itu, setelah dengan bersusah payah menekan kedua tangan Bu Atikah dengan satu tangannya. Satu tangan lain yang terbebas menyingkapkan gamis basah itu, lalu cepat merenggut celana dalam berwarna putihnya.

Bret!

Celana dalam itu ternyata terbuat dari bahan elastis, hanya robek sebagian. Sebelah vagina gemuk menyembul dengan bulu-bulu halusnya yang sudah basah. Ano menggeram kesal. Bret! Rrrt! Dengan satu tarikan kasar, celana dalam itu pun akhirnya bisa ditarik lepas. Terihat garis-garis merah seperti lecet di pinggul padat tersebut.

Bu Atikah menjerit-jerit sambil memberontak sekuat tenaga. Ano mulai kewalahan. Dua sosok setengah bugil itu bergulung dan bergumul. Namun tetap saja Bu Atikah yang harus menyerah. Satu cekikan marah, membuatnya tersedak mengap-mengap. Semua perlawanannya terhenti saat itu juga. Ia menatap wajah Ano dengan mata bercucuran air mata, ia seperti sudah tidak mengenal lagi wajah pemuda yang tengah menindihnya itu, wajah itu terlihat merah membara dengan mata nyalang berwarna merah juga. Dengusan dan geramannya terasa panas menghembus ke wajahnya.

“Diamlah!” geram Ano dengan suara serak. Pantatnya bergerak naik turun, penisnya tengah berusaha menembus vagina BU Atikah yang masih kering, separuh kepa penisnya yang besar ditelan bibir-bibir tebal vagina gemuk tersebut. Namun dia masih belum juga bisa memasuki lubang nikmatnya.

“Jangan, Nooo ... amphuuun. Toloooong ...,” hanya itu yang sanggup Bu Atikah lakukan. Isak tangisnya bahkan tertelan gemuruh badai di luar sana. Ia mencoba mengabaikan perasaan geli ketika tongkat kaku itu menyentuh dan menggesek bagian paling sensitifnya. Mendadak, otot-otot pinggulnya mengencang tanpa dapat ditahannya. Kepala penis pemuda itu telah tepat di lubang vaginanya yang masih rapat belum terlubrikasi. Tapi itu tak lama, sentuhan dan gesekan dari batang berurat di bagian sensitif telah mampu memancing cairan itu. Jelas itu kerugian bagi dirinya, keuntungan bagi pemuda itu.

Dibombardir dengan tekanan dan tusukan keras dari tongkat kaku itu, perlahan tapi pasti lubang vagina itu mulai berhasil dibobol.

Prrrt!

“Akkkhhh! Sha-khiiiit, Noooo ... amphuuun!” BU Atikah menjerit sambil meringis. Air matanya bercucuran ketika merasakan vaginanya terasa sangat perih oleh gesekan antara dinding yang masih kering dengan batang kaku berulir yang merangsek masuk.

Ano menggeram sambil meram melek, merasakan nikmat yang tiada tandingnya ketika merasakan batang penisnya seperti dijepit oleh dinding kenyal luar biasa. Tanpa memperdulikan rintihan kesakitan ustadzah itu, dia mulai menggenjot. Genjotan perlahan karena terasa sulit dan membutuhkan tekanan besar.

Bu Atikah merasakan perutnya seperti kram. Ia merasakan rasa geli dan gatal diantara rasa perih dan sakit di selangkangannya. Cairan pelumasnya mulai merembes. Memberi kemudahan bagi genjotan Ano yang terus mengaduk-aduk vagina gemuk itu. Cairan pelumas mulai merembes dari bibir-bibir tebal vagina Bu Atikah yang memerah dan mengencang. Tampak penuh seperti mulut yang tengah mengulum batang yang diameternya lebih besar dari mulut itu sendiri.

Waktu saat itu baru menunjukkan pukul delapan malam lewat, namun hujan yang luar biasa derasnya, membuat suasana sangat sepi dari aktifitas warga. Angin dingin dan basah di luar pos ronda, seakan tak mampu menembus panasnya gelora gairah di atas balai papan pos ronda tersebut.

Ano, seperti kesetanan menggenjot dan menghentak kasar vagina gemuk Bu Atikah yang sudah banjir oleh cairan pelumasnya. Napas kedua mahluk berbeda jenis kelamin dan berbeda usia itu sudah memburu, keringat membanjir dari tubuh mereka berdua. Angin dingin dan basah yang berhembus kencang, seakan tak mampu membuat mereka kedinginan. Yang terasa hawa panas dari birahi yang meninggi.

Kedua telapak tangan Ano menekan dan meremas kedua bukit kembar montok Bu Atikah yang bra-nya telah putus akibat ditarik paksa. Gamis lebar yang basah tersibak lebar dengan sebagian kancingnya terlepas!

“Akh..., khkkk!!” Bu Atikah mengerang serak. Wajahnya tersentak mendongak dengan mata terbeliak. Orgasme pertama telah dicapai tanpa dapat dicegah. Begitu nikmat dan lezat. Orgasme dari puncak kenikmatan birahi telah digapainya. Seluruh buku-buku jari kakinya terasa kebas, mengejang kemudian menggelepar.

Bu Atikah memejamkan matanya rapat. Bibirnya terkunci. Hatinya sangat malu dan terhina, tapi ia ingin menikmati lebih lama puncak birahi tersebut. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Namun Ano samasekali tidak tahu atau mungkin tidak perduli. Dia hanya ingin cepat menuntaskan hajat secepatnya. Genjotannya makin cepat, napasnya persis kerbau yang tengah menggarap sawah, memburu dan mendengus. Celana jeans basah yang melorot sampai ke lutut sedikit mengganggu, ingin lebih cepat tuntas, kedua lututnya naik bertumpu, setengah jongkok penisnya yang besar berurat, telah basah mengkilat dari lendir vagina Bu Atikah, mengacung perkasa dengan setengahnya tenggelam ditelan bibir gemuk vagina perempuan itu.

Bu Atikah menatap sayu, lemas tak berdaya. Hatinya berdebar menantikan hunjaman selanjutnya. Walaupun hatinya melarang, namun ia tak kuasa melawan keinginan hasratnya sedikit melihat ‘benda’ yang telah menggoyak-ngoyak kehormatan serta harga dirinya itu sekaligus memberikan puncak berahi yang baru pertama kali rasa nikmatnya berkali-kali lipat dari yang biasa didapatkannya dari Haji Sobirin, suaminya yang sah, rasa nikmat yang diberikan oleh seorang pemuda tanggung dengan nafsu sek yang ganas dan liar. Sesak, napas perempuan setengah baya itu, melihat tongkat hitam yang kekar dengan urat-urat menyembul melingkari batangnya.

“Hekhhhk!” pinggang Bu Atikah sedikit melambung, saat Ano menghunjamkan tongkat pusakanya dalam-dalam, tanpa peringatan, tanpa belas-kasihan. Dengan kecepatan luar biasa, pemuda itu menggenjot habis-habisan vagina gemuk yang kini sudah mekar merekah. Kedua telapak tangannya meremas kuat-kuat dua gumpal payudara Bu Atikah dengan puting yang sudah mengeras dan mengacung. Dengan beringas, Ano menenggelamkan wajahnya di sela-sela bukit kembar yang padat dan kecang itu, gigi-giginya menggigit dan menggaruk. Meninggalkan bekas-bekas merah dan basah oleh air liurnya.

Berahi Bu Atikah meninggi kembali dengan cepat. Vaginanya terasa seperti diaduk-aduk batang keras dan kasar, menggaruk dan menggelitik dinding-dindingnya. Deru napasnya seakan berpacu dengan kecepatan hentakan pinggul Ano. Jari-jari perempuan itu membalik ke atas papan balai, mencengkram kuat permukaannya, menahan keinginan untuk memeluk tubuh pemuda tanggung itu. Dalam badai kenikmatan tiada tara itu, Bu Atikah masih sempat melihat pipi kiri pemuda itu yang sedikit lebam, serta tiga gurat luka berdarah di lehernya. Hadiah dari satu tamparan keras dan cakaran darinya, ketika pemuda itu menyerangnya saat pertama kali tadi.

Dalam derasnya hujan angin di luar pos ronda tersebut. Dalam diam kedua makhluk itu berpacu birahi.

Bersamaan dengan kilat petir yang menyilaukan mata, disusul ledakan guntur yang memekakan gendang telinga, Ano menggeram panjang, menghunjam sedalam-dalamnya. Menyemburkan mani yang luar biasa banyaknya membanjir tak tertampung vagina gemuk Bu Atikah yang tubuhnya juga mengejang kaku, kedua paha montoknya menjepit pinggul Ano seolah tak rela pemuda itu mencabut batang penisnya dari lubang vaginanya. Dua benda basah berlendir berdenyut-denyut kencang, saling remas, salingg garuk dan saling pilin. Memeras seluruh energi terakhir yang dimilikinya. Keduanya ambruk kehabisan napas!

Tapi itu tak berlangsung lama, napsu setan berahi yang tadi menggelapkan pikiran Ano, mulai mereda. Dengan cepat pemuda itu bangkit, “Plop!” terdengar bunyi pelan. Ketika penisnya tercabut dari vagina yang membusung gemuk itu.

“Akh!” Bu Atikah sedikit merintih, seolah kecewa bahwa keinginannya batang itu masih diinginkannya tenggelam lebih lama dalam vaginanya.

Dengan cepat dan buru-buru, tanpa sedikitpun melihat sosok montok yang tengah terkapar lemas tak berdaya di atas balai papan pos ronda, Ano menaikkan celananya lalu melompat keluar pos ronda, kabur menembus lebatnya hujan. Dasar pemuda tak bertanggung jawab!

Bu Atikah merasakan seluruh tulangnya seakan terlolosi, lemas dan luluh lantak. Kalau boleh, ingin rasanya ia terus tergeletak lama di atas balai tersebut. Namun apa kata orang, kalau nanti ada seseorang yang memergokinya tengah terkapar hampir telanjang di dalam pos ronda. Tak berani ia membayangkan keriuhan warga kampung melihat Ustadzahnya dalam keadaan seperti itu.

“Uhhh!” Bu Atikah mengeluh panjang. Gamisnya berantakan sekali dengan beberapa kancing hilang entah kemana, entah bagaimana nanti pulang bertemu suaminya mengetahui keadaan bajunya yang seperti itu. Kesadarannya mulai pulih, dua tetes air mata merebak dari matanya. Hatinya merasa terhina sekali harga dirinya jatuh ke jurang yang sangat dalam, yang tak mungkin bisa dikembalikan lagi. Namun nasi telah menjadi bubur, tak sedikit pun ia mempunyai firasat akan kembali mengalami kejadian sangat memalukan seperti malam ini, sama-sama dalam keadaan hujan juga, dengan laki-laki yang sama pula. Sambil terisak perlahan, Bu Atikah membereskan gamisnya yang terpaksa ia pegang belahan yang kancing-kancingnya terlepas. Bra-nya yang telah putus menjadi dua, celana dalamnya yang robek besar, ia buang ke parit yang airnya deras. Parit yang menjadi kuburan handphonenya juga, yang dibuang oleh Ano ketika hendak memperkosanya tadi.

Setelah selesai memasang kembali jilbabnya, dengan langkah sedikit terhuyung-huyung, Bu Atikah berjalan menembus hujan lebat menyusuri gang menuju rumahnya. Sepanjang jalan ia memikirkan alasan saat nanti suaminya melihat keadaannya yang pulang dari memberikan pengajian dalam keadaan berantakan dan basah kuyup.

“Celaka!” keluh Bu Atikah sesampainya di pintu pagar rumahnya. Di teras tampak Rizky, duduk di kursi santai tengah asik dengan handphone-nya. Dengan ragu-ragu tapi tak mempunyai pilihan lain, ustadzah setengah baya itu membuka pintu pagar dengan sangat hati-hati. Tapi apa mau dikata, derit besi berkarat itu lumayan nyaring, membuat Rizky yang tengah asik bermain game di handphone mengangkat wajahnya.

“Umi?” Rizky berseru kaget. “Umi kenapa hujan-hujanan? Kenapa tidak telepon biar Iky jemput?” kejar pemuda itu sambil bangkit dari duduknya. Napas Rizky sedikit tertahan mellihat pemandangan yang tak pernah dilihatnya dari uminya itu. Gamis basah melekat erat, mencetak tubuh montok Bu Atikah, dalam penerangan lampu teras, Bu Atikah nyaris telanjang dalam pandangan anaknya itu. Untunglah ustadzah itu tidak mengetahui tatapan aneh Rizky yang terpusat pada sepasang payudaranya yang membayang jelas. Samar-samar dua bulatan coklat membayang menantang. Jelas uminya itu tak memakai bra. Pengajian tidak memakai bra? Apa-apaan Umi ini? Kata Rizky dalam hatinya, terheran-heran.

“Pulang waktu hujan berhenti, eh, hujannya kembali turun di jalan, umi terpeleset jatuh ke parit, HP umi hilang ikut terjatuh ke dalam parit,” sahut Bu Atikah sambil terburu-buru Tak memperrdulikan lantai rumah yang basah oleh air hujan yang menetes dari pakaiannya, masuk ke dalam rumah sambil menundukkan mukanya. Alasan yang masuk akal, kata hatinya lega. Padahal alasan itu spontan saja keluar dari mulutnya.

“Hujan turun, kenapa Umi tidak berteduh dulu dan menelepon Rizky, jadi tidak usah mengalami jatuh ke parit segala,” susul Rizky mengikuti dari belakang, matanya tak tertahan melepas pemandangan dari dua bongkah pinggul padat uminya yang tercetak jelas, bergoyang-goyang seirama langkahnya. Mengingatkannya pada sosok bugil Bu Juaeha.

“Namanya juga musibah, siapa yang tahu. Sudahlah, Umi mau mandi, tolong dipel lantai yang basah,” kata Bu Atikah lega, ketika melihat suaminya tengah terlelap di kursi dengan televisi yang masih menyala. Dengan langkah lebar, Bu Atikah menuju kamar mandi, sebelum menutup pintunya, perempuan itu melihat Rizky tengah berdiri menatapnya dengan pandangan aneh. Berdebar hati Bu Atikah, apakah Rizky curiga? Semoga saja tidak, kata hatinya sedikit khawatir.

Di dalam kamar mandi, Bu Atikah segera membuka gamisnya, menaruhnya ke dalam keranjang cucian. Di balik gamis itu ia memang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, karena bra serta celana dalamnya sudah ia buang ke parit. Sejenak ia berdiri di cermin kamar mandi, memeriksa seluruh tubuhnya, dua payudaranya tampak merah-merah bekas gigitan ganas Ano, pandangannya ke bawah ke gundukan vaginanya yang masih terasa ngilu-ngilu. Serasa ada benda yang mengganjal di dalam vaginanya itu.

“Ya Tuhaaan, ampuni hamba!” isak Bu Atikah dalam hatinya sambil membuka keran, khawatir isaknya terdengar oleh Rizky. Kekhawatiran yang sama melandanya, takut suaminya mengajak bersetubuh dalam keadaan payudaranya masih merah-merah bekas gigitan. Yang sedikit membuatnya bernapas lega adalah kalau bersetubuh, suaminya selalu memadamkan lampu, jadi sedikitnya, merah-merah di payudaranya itu tidak akan kelihatan. Apalagi, semenjak suaminya itu mengidap diabetes, praktis durasi kegiatan birahinya pun menurun drastis. Teringat hal itu, Bu Atikah tanpa sadar menghela napas dalam.

Selesai mandi, Bu Atikah segara masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lemas lunglai benar tubuhnya saat itu, apalagi vaginanya kadang berdenyut ngilu sedikit perih. Agaknya penis besar Ano yang memaksa masuk tanpa persiapan dulu, telah membuat sedikit luka vaginanya. Berdebar hati ustadzah separuh baya itu mengingat kejadian perzinahan di pos ronda tadi.

Zinah?

Hati Bu Atikah mengkerut ketakutan. Teringat ancaman dosa dari perbuatan terlarang tersebut. Berkali-kali ia beristighfar memohon ampunan sampai tertidur tanpa disadarinya.

----​

Di lain tempat pada malam yang sama, di sebuah kamar sempit. Ano meringkuk dengan hati sangat ketakutan. Perbuatan bejat akibat gelap mata oleh hasrat setan terhadap Ustadzah itu membuat pikirannya diisi bermacam-macam kekhawatiran. Bisa jadi Bu Atikah sekarang mau tidak mau mengadu juga kepada suaminya bahwa dirinya telah diperkosa, bisa jadi sekarang polisi sedang dalam perjalanan untuk menangkap dirinya, bisa jadi dia dihakimi massa akibat perbuatannya itu. Hampir saja pemuda itu melompat bangun dari tempat tidurnya untuk kabur entah kemana. Namun tubuhnya samasekali tak beranjak dari kasur, badannya terasa masih lemas kecapekan. Napsu bangsat itulah yang menyebabkan kewarasan otaknya hilang, khilaf oleh cinta yang membuatnya begitu tergila-gila kepada Bu Atikah, sekali melihat sosok tubuh montok yang tercetak dibalik gamis basah buta sudah hatinya.

Esoknya, Ano terbangun hampir menjelang tengah hari, sesaat dia mengingat-ingat yang terjadi kemarin. Begitu teringat, sontak kembali hatinya mengkerut ketakutan. Setelah menetapkan hati, dia melangkah perlahan keluar kamar. Keadaan rumahnya seperti biasa, tidak ada keriuhan seperti yang ditakutinya. Apakah Bu Atikah tidak mengadu apa-apa lagi? Pikirnya tidak yakin.

“Kebiasaan! Gini hari baru bangun!” terdengar bentakan kasar dari dapur. Ano terlonjak kaget. Hampir saja berlari kabur.

“Kenapa kamu?” Bu Julaeha, ibunya Ano menatap keheranan melihat muka anaknya yang pucat pasi.

“Kk-kaga ngapa-ngapa, Mak,” sahutnya tergagap.

“Romannye kaget bener!” Bu Julaeha bertolak pinggang dengan raut muka curiga.

“Gimana Ano ga kaget aja, Emak maen bentak dari belakang gitu!” ujar Ano sambil ngeloyor ke kamar mandi.

“Aneh bener kamu hari ini!” Bu Julaeha menatap makin curiga.

“Kagaaa, Maaak! Eeelah ...!” teriak Ano dari dalam kamar mandi. Hatinya girang bukan main, dirinya aman dari yang ditakutkannya. Dia yakin sekarang, Bu Atikah tentu kembali tak mengadu apa-apa atas kegilaan yang dilakukannya. Entah apa alasannya, mungkin dia malu? Yaaa, betul! Dia tentu malu dan takut. Ano bersiul-siul senang, membayangkan tubuh montok dan vagina gemuk milik perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta itu, penisnya mendadak mengeras. Nikmat betul menggenjot vagina yang semontok itu begitu empuk dan panas. Persis seperti yang pernah dirasakannya dulu saat di pos jaga. Bahkan ini lebih nyata lagi. Otak pemuda itu kembali ngeres, mengambil sabun lalu mengocok batang penisnya yang sudah tegang. Dan dia pun asik beronani sambil membayangkan tubuh Bu Atikah.

Sementara itu, di rumah Bu Atikah, ia terlihat sedikit murung, tidak seperti biasanya. Sendirian di rumah, membuat dirinya leluasa melamun. Pak Haji Sobirin sedang sibuk di depan, di toko grosirnya. Sementara Rizky, anaknya, berangkat kuliah. Ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibantu Mbak Limah dengan malas-malasan, keinginan hatinya yang sebenarnya adalah tidur-tiduran sambil melamun. Melamun sesuatu yang setiap teringat diikuti istigfar berkali-kali. Namun gilanya, setiap ia mengusir bayangan perkosaan semalam, semakin kuat bayangan itu bermain dipikirannya. Tentang kenikmatan mencapai puncak orgasmenya, tentang keliaran Ano saat menyetubuhinya, tentang penis kekarnya ..., Akh!

Plak! Plak! Bu Atikah tanpa sadar menampar pipinya kemudian keningnya berkali-kali. Tanpa disadarinya, kejadian semalam telah mampu membangkitkan hasrat dan gairah yang terpendam jauh di lubuk hatinya. Hasrat yang membuatnya kehausan atas kebutuhan batiniahnya yang tak pernah terpuaskan oleh suaminya. Sepanjang hari, gairah itu bergejolak menyiksanya. Segala hal yang dilakukannya tak jua mampu meredakan gelombang berahi yang terus berdebur menuntut pelampiasan. Dan di sepanjang hari itu, ia tak berani keluar rumah. Takut. Ia takut bertemu pemuda itu. Ia tidak tahu, apakah Ano masih berani datang menjaga toko grosir atau tidak. Tidak berani ia memastikannya. Ia mulai takut dengan perasaannya sendiri. Walau pun kejadian semalam di pos ronda itu tidak ada yang tahu, tapi tetap saja bila bertemu Ano tentulah akan membuatnya salah tingkah seperti kemarin dulu di pemerkosaan pertama.

----​

Pada bulan-bulan awal tahun, cuaca memang sedang tidak bersahabat. hujan angin disertai petir rutin hampir setiap hari. Membuat suhu udara Jakarta yang biasanya gerah dan panas jadi sedikit sejuk.

Seperti pada malam itu, langit berawan tebal gelap telah menggantung dari siang hari. Dapat dipastikan, apabila turun tentu akan lebat sekali. Dan benar saja, sehabis isya, langit pun menumpahkan air hujan sederas-derasnya, kecuali orang yang memang mempunyai kepentingan mendesak saja yang nekat keluar rumah. Sebagian besar tentu lebih suka bersantai di rumahnya masing-masing. Dan di rumah Bu Atikah, sepasang suami istri separuh baya itu sedang asik di ruang keluarga menonton televisi. Sementara Rizky, masih belum pulang dari kegiatan kuliahnya. Tinggallah mereka berdua.

Hampir empat hari berlalu sejak kejadian di pos ronda. Ketakutan dan kekhawatiran Bu Atikah sebagian telah memudar seiring berjalannya waktu. Dalam waktu-waktu itu, ia menghindari untuk tidak bertemu dengan Ano. Padahal toko berada tepat di depan rumah. Kadang terdengar suaminya atau Mang Soleh berteriak memanggil nama anak itu. Bahkan sekali waktu tanpa dapat dihindari, ia pernah bersua. Hampir saja kepanikan melandanya, namun ketika anak itu tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan, ia sedikit lega. Namun cukup membuat badannya berkeringat dingin.

Saat itu Bu Atikah terlihat gelisah sekali. Setiap hujan lebat turun, ia selalu tersiksa oleh bayangan pemerkosaan di pos ronda beberapa hari yang lalu. Bayangan yang asalnya selalu diusir jauh-jauh dari benaknya, tapi lambat laun tanpa disadarinya, ia mulai menikmati bayangan-bayangannya. Birahi liar dan kasar dari Ano telah membangkitkan sensasi aneh dalam hatinya. Angan-angan yang secara luar biasa mampu mengoyak-oyak kealiman Sang Ustadzah setengah baya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui, bahwa dalam usianya tersebut, bagi seorang perempuan bisa disebut usia emas. Usia dimana gairah sedang matang-matangnya. Dengan pengalaman telah dua kali diperkosa, daya khayal dan hasratnya begitu membumbung tinggi menuntut pelampiasan.

Sealim-alimnya seorang perempuan, mengalami perasaan seperti itu tentulah sangat tersiksa sekali.

“Abi ...,” bisik Bu Atikah sambil menggeser duduknya merapat ke tubuh suaminya.

“Hmmmh,” Haji Sobirin melirik heran.

“Rizky kok belum pulang ya?” Ustadzah itu membuka percakapan.

“Ah iya, Abi lupa,” kata Haji Sobirin menepuk keningnya yang lebar dengan dahi menghitam tanda rajin sujud. “Rizky tadi telepon, dia mungkin menginap di kostan temennya, banyak tugas katanya,” lanjutnya.

“Kalau begitu kita berdua saja di rumah ya, Bi,” Bu Atikah berbisik manja. Jari-jarinya mengelus-elus dada suaminya yang mengenakan kaos oblong. Dadanya yang membusung ditekan dan digesek-gesekkan ke bahu pria itu.

“Hmmm,” Haji Sobirin memiringkan sambil tersenyum penuh arti. Jari-jarinya mengelus-elus rambut istrinya dengan penuh kasih sayang, menatap sepasang mata yang sudah sayu itu kemudian mencium pipi montoknya.

“E ..., eh. Nakal ya. Tumben?” Haji Sobirin menggelinjang geli ketika tahu-tahu, tangan istrinya itu telah menyelinap ke balik kain sarungnya. Hatinya sedikit kaget, hampir tiga puluh tahun membina rumah tangga, baru malam ini istrinya itu sedikit berbuat lebih.

“Lagi pengen banget,” sahut Bu Atikah dengan wajah sedikit memerah, sangat malu.

“Ha-ha, ya sudah. Hayuk,” Haji Sobirin segara bangkit, setelah sebelumnya mematikan televisi.

Seperti biasa, lampu kamar dimatikan, hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari lampu ruang tengah dan lampu dari luar jendela kamar mereka. Dalam keadaan remang-remang tersebut, dalam diam, sepasang suami-istri itu membuka pakaiannya masing-masing. Lalu naik ke pembaringan dalam keadaan telanjang bulat.

Haji Sobirin telentang dengan santai, tidak mengetahui sedikit pun Bu Atikah menghela napas dalam dengan hati mengeluh. Birahinya yang sedang tinggi-tingginya itu, kalau menuruti keinginannya sendiri, ingin langsung vagina miliknya yang sudah banjir lendir itu dimasuki oleh penis suaminya. namun apa daya, penis gemuk dan pendek suaminya itu masih layu, harus dibangunkan dalam waktu yang bukan sebentar.

Dengan sabar dan telaten, jari-jari Bu Atikah mengelus dan mengurut penis tersebut, ia terpaksa harus menekan deburan hasratnya yang membadai menuntut pelampiasan secepatnya. Lima belas menit berlalu dengan sangat lambat, penis Haji Sobirin mulai mekar, napas suami Bu Atikah itu mulai terengah, tangannya menarik pangkal lengan istrinya, memberi isyarat bahwa dia sudah siap bertempur. Dengan hati senang, Bu Atikah segera menghentikan kegiatannya, menarik dirinya berbaring dalam posisi konvensional. Dengan napas menderu, Haji Sobirin segera bangkit, menaiki tubuh montok istrinya yang sudah siap mengangkang.

Kepala penis Haji Sobirin yang gemuk pendek sudah dalam menekan belahan vagina gemuk Bu Atikah yang membusung, basah dan lengket oleh cairan kewanitaannya yang membanjir keluar.

“Bleshhh!”

Dalam satu tekanan saja, penis Haji Sobirin sudah tenggelam ditelan vagina Bu Atikah.

Dua napas menderu dan memburu.

Ustadzah montok itu mencengkram erat lengan Haji Sobirin dengan bibir terkunci menahan geli dari gesekan penis suaminya yang menggosok-gosok perlahan. Perut buncit pria itu menekan perutnya, agak terasa sesak. Namun rasa nikmat gesekan-gesekan dari penis suaminya membuat Bu Atikah lebih suka mengabaikannya. Entah berapa menit berlangsung, pompaan penis Haji Sobirin makin cepat, dan disertai erangan pendek, pria itu menekan dalam-dalam penisnya.

“Enghhh!” Bu Atikah menggeliat, merasakan semburan panas dalam rahimnya. Jelas sekali, Haji Sobirin telah mencapai klimaksnya. Tubuh gemuk pria itu ambruk berkeringat di atas tubuh montok Bu Atikah yang hatinya mengeluh kecewa. Padahal ia sangat berharap mengalami kenikmatan puncak berahi seperti yang pernah didapatnya dari Ano.

Raut muka kecewa Bu Atikah untung sekali tidak kentara dalam ruangan remang-remang tersebut.

“Hhhh...!” tubuh Haji Sobirin terguling di samping tubuh montok istrinya itu, menarik napas panjang tanda puas sudah mencapai klimaks berahinya dalam waktu kurang dari lima menit.

Dan sebentar saja, tubuh gemuk telanjang itu sudah tertidur pulas penuh kepuasan, tanpa memperdulikan istrinya yang masih terbaring dengan hati kecewa berat. Haji Sobirin tertidur sampai tidak ingat untuk mencuci bekas senggamanya.

Mendengar dengkuran suaminya, perlahan-lahan Bu Atikah bangkit dari tempat tidurnya. Berahinya masih berdebur tak karuan, dengan langkah gontai, ia meraih dasternya kemudian mengenakannya secara serampangan sambil keluar kamar menuju kamar mandi. Sedang dalam kekuasaan birahi tinggi seperti itu, ia mau tdak mau membayangkan penis Ano yang besar berurat itu. Penis yang diakuinya secara diam-diam berhasil memuaskan berahinya.

Di dalam kamar mandi, Bu Atikah mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Mencoba meredakan gejolak birahinya. Tapi gosokan di vaginanya yang menyentuh titik paling sensitif dari tubuhnya malah membuatnya makin tak karuan. Rasa geli-geli enak dari jari-jarinya yang mengelus dan menggosok di bagian tersebut, membuat hatinya berkata, apa boleh buat. Ia terpaksa harus bekerja sendiri demi melampiaskan hasratnya yang tak terpuaskan tadi. jari-jarinya menggosok dan menggesek, tubuhnya menggeliat-geliat keenakan, satu tangan yang lain meremas-remas payudaranya sendiri. Kegiatan itu berlangsung sambil pikirannya tanpa dapat dicegah membayangkan penis besar kepunyaan Ano. Kaki kirinya naik ke pingggiran kloset, memberi ruang agar kocokan jari-jarinya lebih maksimal. Kedua puting dua bukit montok itu telah mengencang, keras mengacung.

Bu Atikah menggigit bibirnya kencang-kencang, matanya terpejam erat dengan pipi memerah terbakar birahi yang memuncak. Lendir kewanitaannya telah membanjir kental melumuri jari-jarinya yang tenggelam ke dalam lubang vaginanya yang membusung dan mengencang.

Beberapa saat kemudian, gigi-gigi Ustadzah itu berkeretak dengan rahang mengeras, pinggulnya berputar perlahan seirama dengan kocokan jari-jarinya yang mulai mempercepat kocokannya. Setiap buku-buku jari menyentuh klitorisnya, napas Bu Atikah sedikit terhentak dalam, kemudian terhembus cepat disertai dengusan tertahan. tubuhnya telah bersandar ke dinding kamar mandi dengan dua payudaranya menegang kencang, membusung dan pinggang melenting. Jelas bahwa wanita ini sebentar lagi akan meraih orgasme.

Kakinya yang tadi berada di atas kloset kini turun, dan kedua paha padat mengkal itu rapat menjepit telapak tangan yang tiga jarinya tenggelam ke lubang vaginanya. Dua bongkah pinggulnya berkedut-kedut, bersamaan dengan kedutan dari dinding-dinding vaginanya, menyemburkan cairan kenikmatan yang menyemprot dari sela-sela tiga jari tersebut.

“Enghk!” Bu Atikah mengerang pendek, tertahan oleh bibirnya yang memang dirapatkan agar erangan penuh kepuasannya tidak sampai terdengar ke kamarnya, dimana suaminya berada.

Tubuh perempuan setengah baya itu menggelosoh ke lantai kamar mandi, kedua cuping hidungnya kembang-kempis dengan napas memburu. Matanya masih tetap terpejam, merasakan sisa-sisa kenikmatan terakhir dari kepuasan orgasmenya.

Dengan satu tarikan napas yang dalam, ia menghembuskan napas kelegaan sambil membuka matanya.

Mendadak napasnya berhenti, bahkan jantungnya ikut berhenti sejenak. Sepasang mata jeli itu terbelalak dengan mulut ternganga ketika menyaksikan di pintu kamar mandi yang kini sudah terbuka lebar itu, ada sesosok tubuh yang tengah menatap balik dengan wajah terpesona.

Ano!

Bu Atikah mengejap-ngejapkan kelopak matanya berharap bahwa sosok itu hanya bayangan yang barusan membantunya meraih orgasme.

Namun apa mau dikata, sosok itu benar-benar nyata adanya.

Dia bukan lain adalah Ano, anak setan yang telah memperkosanya dua kali!

Saking kagetnya, Bu Atikah sampai lupa untuk berteriak. Ia malah sibuk menggulung tubuh telanjangnya yang masih basah, oleh air yang diguyurnya tadi bercampur dengan keringat dari kegiatan masturbasinya.

“A-a..., a-a,” Ustadzah itu gelagapan dengan kata-kata tak jelas. Ia meringkuk panik sedikit ketakutan di samping kloset.

Entah kapan dan entah bagaimana caranya pemuda itu bisa datang ke rumah itu, yang jelas, dengan seringaian dan wajah membara oreh gairah, pemuda itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, menutup pintunya dengan enteng menggunakan kaki kirinya. Dia kemudian berjongkok di depan sosok tubuh montok yang meringkuk gemetaran. Mengelus dan meraba.

Bu Atikah menggelinjang, “Jangan, Nooo. Ampuuun..., ada Pak Haji di kamar...!” tak sempat melanjutkan kata-katanya. Ano sudah menunduk, meraih dagu perempuan itu lalu menyumpal bibir basah dan empuk itu dengan mulutnya. Mata perempuan setengah baya itu membeliak terkesima, namun untunglah, setelah menuntaskan birahinya, perasaannya sudah normal kembali. Dengan satu dorongan keras, tubh Ano terjerembab ke dinding kamar mandi.

Mata Bu Atikah mendelik marah. “Jangan gila, Kamu!” desisnya dengan nada ditahan. Tapi kaget juga ketika suaranya menggema juga di kamar mandi itu.

“Ano memang sudah gila, Bu. Ano ga tahan. Setelah kejadian kemarin dan dulu. Ternyata Ano jatuh cinta sama ibu!” jawab Ano nekad tanpa tedeng aling-aling. Beringsut menghampiri Bu Atikah yang masih meringkuk bugil di pojok kamar mandi.

Terhenyak hati Bu Atikah mendengar kata-kata nekat pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Kamu mabuk ya?” desis Bu Atikah yang harus tetap menahan nada suaranya agar tidak sampai terdengar ke luar kamar mandi. Khawatir suaminya terbangun dan menyusul ke situ.

“Ano mabuk kangen sama ibu,” sahut Ano makin berani.

“Kamu salah orang, No. Ibu sudah nenek-nenek. Carilah perempuan lain yang sebaya, nikahilah. Nanti ibu yang biayai semuanya ....” kata Bu Atikah kembali dengan tubuh semakin mengkerut ketika pemuda itu sudah sangat dekat dengannya.

“Tidak mungkin, Bu. Ano sudah telanjur mencintai ibu. Ano tidak akan pernah bisa melirik wanita selain, Ibu,” geleng Ano sambil tersenyum, dengan penuh kasih sayang dia membelai rambut basah Bu Atikah yang sudah tidak mampu menghindar karena sudah terpojok.

“Jangan, No... buang pikiran itu. Itu dosa, ibu sudah punya suami kan,” kata Bu Atikah sedikit merinding ketika Ano membelai bahunya.

“Ano tau Pak Haji ga bisa bikin puas ibu kan?” kata Ano tersenyum lebar.

“A-apa ....,” Bu Atikah kehabisan keta-kata. Bahkan tak bisa berkata-kata lagi ketika Ano kembali mencium lembut bibirnya.

“Jhangannn, Nhooo ....” desah Bu Atikah memejamkan matanya, ketika Ano memcium pipinya yang montok.

“Ano tau ibu juga suka sama Ano!” Bisik Ano sambil mencium kening Ustadzah yang hatinya mulai galau ini.

“Tidak, No. tidak mungkin! Ibu sudah menganggap kamu anak ibu.”

“Ano hanya ingin jadi pacar ibu. Karena Ano sudah sangat jatuh cinta sama ibu!”

“Kamu gila, No. sudah, pergilah. Ini berdosa, nanti Pak haji kemari,” kata Bu Atikah menetapkan hati sambil mendorong halus tubuh Ano.

“Biar saja Pak haji kemari, biar tau, jadi tidak ada penghalang lagi di antara kita,” ancam Ano makin nekad.

Membayangkan hal itu, Bu Atikah menjadi ketakutan, namun sebagai perempuan dewasa yan sudah matang, akhirnya setelah berpikir sejenak, ia mau mencoba salah satu cara yang bisa dipikirkannya.

“Kalau kamu benar-benar cinta ibu, No. bukan begini caranya,” kata Ustadzah itu dengan suara yang mulai tenang. Kata cinta yang diucapkannya barusan sedikit membuat hatinya berdebar. Karena tahu ia tidak pernah mengenal rasa cinta. Dulu pun menikah dengan Pak haji Sobirin yang kini menjadi suaminya, berdasarkan ta’aruf. Tak ada perkenalan terlebih dahulu, tapi tanpa kata cinta pun ia sudah berumah tangga dengan bahagia, hingga saat kejadian di pos jaga pertama kali dulu.

“Ano tau, Bu. Cinta Ano sama ibu memang tidak boleh, tapi siapa yang harus disalahkan kalau tiba-tiba Ano mempunyai perasaan itu ke ibu?” kata Ano sambil menggenggam jari-jari BU Atikah yang masih dalam posisi meringkuk demi menutupi bagian-bagian intimnya.

“Tapi bukan dengan begini caranya, Nak,” bantah Bu Atikah. “Cara-cara memaksa yang kamu lakukan ke ibu justru menyakiti ibu. Perempuan mana yang setelah disakiti bisa berbalik cinta? Yang kamu lakukan itu justru bukan cinta, tapi napsu. Cinta tidak seperti itu. Cinta harus mampu membuat nyaman, membuat aman.”

Mendengar kata-kata itu, Ano terhenyak. Tubuhnya bersandar lemas ke dinding kamar mandi. Menatap sedih ke sosok tubuh yang masih meringkuk itu. Kemudian dia menghela napas sambil berdiri, “Ibu benar. Ano memang tidak layak mencintai ibu, Ano punya apa? Dibandingkan Pak Haji yang kaya raya, menyamai seujung kukunya pun tidak bisa.”

“Bb-bukan itu, No. kamu keluar dulu, ibu mau berpakaian, nanti kita bicara lagi dengan tenang ya,” kata Bu Atikah kemudian. Matanya yan bulat jernih menatap penuh permohonan.

“Berbicara soal apa, Bu? Ano sungguh mencintai ibu, berdekatan tanpa bisa menyentuh ibu, justru membuat Ano tersiksa. Ano pamit, mohon maaf untuk semua perbuatan Ano yang khilaf. Ano pikir, ibu tidak melaporkan perbuatan yang kemarin-kemarin karena ibu juga suka sama Ano.” Kata pemuda itu setengah berbisik dengan hati pedih. Setelah menatap sejenak dengan penuh rasa cinta, pemuda itu berbalik membuka pintu kamar mandi, lalu entah kemana jalannya. Karena suasana mendadak sepi.

Bu Atikah buru-buru menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Tubuhnya bersandar di pintu sambil menarik napas lega. Beberapa saat kemudian ia membersihkan diri, mencoba melupakan kejadian barusan yang hampir membuatnya kembali berbuat dosa, sungguh dirinya bersyukur dengan keberuntungan tersebut.

Namun ketika ia membaringkan tubuhnya di samping Pak Haji yang sedang mengorok tidur pulas. Bu Atikah belum bisa langsung terlelap. Ia membayangkan wajah sedih pemuda itu, tubuhnya bergetar dengan hati deg-degan. Wajahnya memang tidak tampan, namun gagah. Rasa sedih dan perih terlihat di wajah pemuda itu tadi. Entah kenapa hatinya ikut larut dalam kesedihan pemuda itu?

Apa-apan kau? Sudah tua nenek-nenek begitu malah memikirkan lelaki lain yang seusia anakmu! Genit. Cela hatinya. Bu Atikah menghela napas dalam, kepalanya terasa pusing. Mencoba beristighfar berkali-kali sampai kemudian tertidur.

----​

Esok paginya, Bu Atikah yang tidak berani keluar rumah demi menghindari bertemu dengan Ano, mendapat kabar yang mengejutkan dari Pak haji Sobirin.

“Si Ano minta keluar dari jaga toko, Mi!” kata Pak Haji sambil duduk di ruang makan ketika Bu Atikah tengah mempersiapkan sarapan.

“A-apa? Bagaimana bisa?” tanya Bu Atikah dengan wajah kaget yang tidak dibuat-buat.

“Ga jelas itu anak. Katanya mau cari kerjaan lain. Kerjaan lain belum dapat, malah keluar duluan dari kerjaan. Anak jaman sekarang bener-bener susah ditebaknya.”

“Abi menyetujuinya?” tanya Bu Atikah kembali dengan suara hati-hati, takut perasaannya ketahuan.

“Belum!” Pak Haji menggeleng, “Abi bilang suruh pikir-pikir dulu, anak itu rajin sebenarnya, jujur pula, walau bapaknya biang kerok juga. Abi pikir mungkin menghubungi Si Bambang, siapa tau bisa menerima Si Ano kerja di perusahaannya!”

“Yaudah, abi telepon deh Bambang, kasihan juga kan itu anak,” desak Bu Atikah.

“Ho-oh, ntar habis sarapan abi telepon Si Bambang,” kata Pak Haji sambil menyuap sarapan. Bambang bukan lain adalah adik Pak haji Sobirin yang menjadi direktur sebuah PT yang berkantor di Jakarta Selatan.

Selesai sarapan, Pak Haji mengambil handphonenya, tampak serius bercakap-cakap di telepon. Bu Atikah menunggu dengan sabar, pikirannya melayang-layang, terbayang wajah sedih pemuda itu saat semalam, benarkah pemuda itu mencintai nenek-nenek sepertinya? Hatinya sedikit berbunga-bunga. Perempuan mana pun kalau ada yang menaruh hati dan menyatakan cinta blak-blakan seperti itu, biasanya tentu akan mengalami hati dag-dig-dug dan senang. Rasa bahagia ada yang menyukai itu tentu tidak akan memandang usia, tidak perlu remaja atau tua.

“Ada kata SI Bambang, Mi,” kata Pak Haji mengagetkan Bu Atikah yang sedang asik melamun.

“A-apa, Bi?” tanya Bu Atikah dengan kaget.

“Lha? Ngelamun?” Pak Haji tertawa, “Si Bambang ada pekerjaan katanya, jadi cleaning service di kantornya, gajinya lumayan. Tolong panggil Si Ano, Mi. abi bilangin deh,” kata Pak Haji kembali.

“Jangan Umi lah. Abi saja yang bilang, umi juga mau bersih-bersih, rumah masih berantakan kan,” kata Bu Atikah beralasan.

“Memang Abi yang bilang, Cuma suruh manggil doang kok.” Kata Pak Haji sedikit marah. Bu Atikah sudah sangat hapal. Suaminya ini cepat naik darah, walau pun hatinya baik. Dengan hati berdebar-debar tak karuan dan juga bingung, ia dengan langkah perlahan menuju ke toko untuk memanggil Ano. Untunglah, yang ditakutkannya tidak terjadi, di belakang toko kebetulan berjumpa dengan Mang Sholeh yang sedang minum kopi.

“Mang Sholeh, tolong panggilin Ano. Dipanggil Pak Haji di dalam.” Kata Bu Atikah dengan lega, kemudian ia sendiri buru-buru pergi melalu samping ke arah dapur.

Entah apa yang dibicarakan Ano dan suaminya, ketika Pak Haji memanggilnya, minta disiapkan pakaian, katanya mau mengantar Ano ke kantor adiknya.

----​

Hari-hari selanjutnya, BU Atikah merasakan perasaannya menjadi hambar. Berkali-kali dirinya menepis perasaan itu. Menegaskan dalam hatinya bahwa perasaan pemuda itu kepadanya hanya didorong oleh napsu. Tapi mata sedih pemuda itu teru terbayang di pelupuk matanya. Mata memang mampu mengatakan segalanya. Sorot mata sedih yang penuh cinta!

Sekarang yang menjaga toko mengganti pekerjaan Ano adalah keponakan Mang Sholeh yang kebetulan menganggur. Tapi sosok Ano samasekali tak tergantikan. Diam-diam Bu Atikah muncul rasa rindu. Apakah ia juga telah jatuh cinta kepada pemuda itu? Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh terjadi! Begitulah, sering terjadi pergulatan batin di hati perempuan yang sesungguhnya ternyata diakui atau tidak, mulai timbul benih-benih cinta.

Seorang perempuan kalau sedang mulai dimabuk cinta, akan terlihat di kesehariannya. Bu Atikah lebih banyak melamun, bahkan makan pun seperti segan. Wajahnya tidak terlihat kuyu dan lemah. Bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang pernah dijamah oleh pemuda itu. Ia sungguh tersiksa dengan perasaannya saat itu. Mungkin seperti inilah yang Ano pernah bilang bahwa dia juga tersiksa oleh perasaan cintanya itu.

Bahkan pernah pada suatu malam, sampai terbawa mimpi. Mimpi yang sangat indah, dimana dirinya dan pemuda itu berpelukan, kemudian bersetubuh dengan penuh cinta, penuh gairah yang panas menggelora. Bu Atikah terbangun dengan badan basah oleh keringat, bahkan terasa selangkangannya lengket oleh cairan orgasme. Mimpi pun ia sampai klimak saking rindunya. Malam itu ia keluar kamar dan menuju ke kamar mandi dengan harapan Si Dia muncul tiba-tiba seperti terakhir dulu. Mendadak ia menyesal kenapa dulu malah mengusir pemuda itu dengan menyakiti perasaannya. Libido Bu Atikah pada usia itu memang sedang tinggi-tinginya. Ia begitu gelisah diaduk-aduk perasaannya sendiri. Tengah malam itu dirinya tidak kembali ke kamar tidur, malah duduk di ruang tengah. Sendirian membayangkan mimpinya barusan, mimpi yang sangat indah. Tanpa sadar ia meraih handphonenya, mencari nama Ano di kontak Whatsapp, melihat poto profilnya. Perempuan setengah baya itu tersenyum sendiri, melihat poto Ano yang sedang mengenakan seragam cleaning service, sedang berdiri sambil memegang gagang sapu dan pel. Tersenyum dengan tatapan seperti sedan menatapnya.

Masih tanpa sadar, ia menyentuh ke layar percakapan. Masih kosong. Karena jarang mereka chat melalui WA. Keyboard virtual muncul menunggu sentuhan. Perlahan jari-jarinya menekan hurup ‘T-E-S’ dan menekan ‘send’. Kalimat ‘TES’ muncul di layar chat. Ceklis dua abu-abu. Tanda pesan terkirim namun belum terbaca. Tapi mendadak, dengan hati malu dan kaget, ia cepat memencet tombol hapus. Hapus dipencet, tapi tampak balasan datang.

‘Bu?’

Tubuh Bu Atikah mendadak menggigil seperti kedinginan. Bingung dan malu. Ridak mengira bahwa pemuda itu ternyata belum tidur dan sempat membaca WA-nya. Tangannya gemetar kebingungan. Tiba-tiba, layarnya berkedip, nama Ano terlihat melakukan panggilan. Dering suara telepon terdengarnya di telinga Bu Atikah seperti memekakkan telinga. Buru-buru ia memencet tombol telepon berwarna merah untuk menolak panggilan. Wajahnya memerah sambil clingak-clinguk takut ada yang terbangunkan. Untunglah, Rizky sudah sering tidak pulang ke rumah, alasannya banyak tugas yang harus dikerjakan bersama teman-temannya. Kecuali suaminya, tidak ada lagi yang ada di dalam rumah.

Kemudian di layar WA muncul pesan baru dari Ano.

‘ibu baik-baikah di sana?’

Kalau menuruti rasa hatinya, ingin ia membalas pesan itu. Namun rasa malu dan bingung malah membuat tangan yang memegang handphone itu gemetar hebat. Rasa takut ketahuan oleh suaminya, membuatnya perlahan menuju kamar tamu, masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Dengan hati penuh rasa bersalah, ia memmbaringkan tubuhnya di dalam kamar senyaman mungkin. Melihat ke layar handphonenya lagi, tampak pesan dari Ano sudah panjang:

‘Ano sangat kangen’

‘sangat tersiksa’

‘Ano sungguh-sungguh cinta sama ibu’

‘ingin mati rasanya’

‘Apa memang mending mati saja daripada tersiksa begini ya, Bu?’

Tersentak hati Bu Atikah membaca pesan itu. Tanpa sadar ia mengetik balasan: ‘jangan’. Hanya itu, yang kemudian buru-buru dihapusnya lagi dengan hati malu dan bersalah.

‘kenapa dihapus’

‘Ano sekarang kerja shift malam, di lantai 8. Kalau terjun terus mati, bebas kayaknya ya, Bu’ diikuti emotion sedih dan menangis ada 10 buah.

Napas Bu Atikah mendadak sesak dan terengah-engah. Ia mengetik balasan; ‘jangan nekat’

‘cinta bertepuk sebelah tangan itu ternyata sangat menyakitkan, Bu’

‘tapi bisa chat seperti ini, sedikitnya hati Ano bisa terhibur”

‘cukup tau Ibu baik-baik saja, Ano sudah sangat bahagia’

Membaca kalimat-kalimat itu, hati Bu Atikah mendadak senang bukan main, hatinya berbunga-bunga.

‘ibu senang kamu dapat pekerjaan baru, alhamdulillah’

Kini ia bisa membalas chat tersebut dengan kalimat agak panjang.

Ano membalas dengan emotion cinta.

‘hush’ balas Bu Atikah. Bibirnya menyembulkan senyum.

‘Ibu kangenkah sama Ano?’

Bu Atikah terdiam, lama tak menjawab. Kalimat yang sama mucul lagi. Dan muncul lagi, sampai berderet panjang ke bawah. Dasar anak konyol, hati Bu Atikah memaki gemas.

‘ga tau’ begitu balasannya.

Emotion menangis berderet panjang. Bu Atikah terkikik geli tanpa sadar. Namun cepat-cepat menutup mulutnya.

‘Sayang sekali profil ibu tulisan bahasa arab. Kalau ada foto ibu, sungguh bisa mengobati rasa kangen Ano’

‘Tidak boleh. Memasang foto yang bisa dilihat orang selain muhrim, dosa’ balas Bu Atikah.

‘Kalau tidak ada foto, Ano udah siap lompat nih’ Lalu muncul kiriman foto dimana Ano terlihat sebelah kakinya berada di pagar, sementara latarnya terlihat gelap. Dengan lampu-lampu kecil terlihat. Jelas pemuda itu memang seperti yang dichat.

Melihat foto itu, Bu Atikah hampir menjerit ngeri, buru-buru dia mengetik balasan, ‘jangan gila kamu! Bahaya kalau ada setan lewat’.

Ditunggu, beberapa menit lewat tanpa balasan. Bahkan status Ano sendiri tak terlihat ‘online’.

Bu Atikah mulai panik. Ingin sekali ia menelepon untuk memastikan pemuda itu keadaannya baik-baik saja.

‘Ano, tolong jangan menakut-nakuti ibu’.

Masih tidak ada balasan.

‘Ano, ibu mohon’.

Tiba-tiba ada foto masuk. Foto Ano sedang nunggung di lantai, dengan mulut nyengir ke kamera.

‘Dasarrrr, awas kamu ya’.

Ketik Bu Atikah dengan emotion marah.

‘fotonya, Bu. Sungguh Ano kangen banget sama ibu’.

‘Ibu ga ada foto, No. Ga punya foto bagus’.

‘Ibu buat Ano yang tercantik, makanya Ano cinta’. Diikuti emotion ‘kiss’.

‘Nenek-nenek kok dibilang cantik. Gombal aja kamu’. Balas Bu Atikah tapi dengan hati senang.

‘Foto yang sekarang aja, Bu. Ano mohon, sekaliii saja. Buat obat kangen’.

‘Hush. Ga mau. Lagian ibu ga pake hijab’.

‘Emangnya kenapa kalo ga pake hijab? Kan Ano udah tau daleman ibu. Ups’. Emotion menutup mulut.

‘Dasar gila!’ Emotion marah.

“Kalo ga ngasih foto, Ano ke situ deh. Ga tahan kangen banget’.

‘Coba aja kalo berani!’ Goda Bu Atikah tersenyum-senyum.

‘Siapa takut. Tunggu di situ ya’.

‘Eh, jangan. Bercanda. Disini lagi banyak orang’. Chat-an ceklis satu.

Bu Atikah mulai gelisah. Anak ini sungguh nekad. Siapa tahu dia benar-benar datang. “Celaka!” kata hati Bu Atikah dengan khawatir. Ia terus memantau chat Ano, namun chat yang terakhir di kirim masih juga ceklis satu. Perempuan setengah baya itu makin gelisah, ia yang memulia bermain api, tapi takut terbakar. Tapi kantor Ano kan di Jakarta Selatan, ke utara itu tentu butuh waktu. Semoga saja anak itu hanya bercanda, Bu Atikah berdoa dalam hatinya. Sambil matanya tak berhenti melirik chat-an whatsapp.

Jam dinding di kamar tamu sudah menunjukkan jam setengah satu malam, ketika satu chat dari Ano masuk.

‘Ano udah di kamar Rizky nih’.

Hampir saja Bu Atikah klengar membaca chat tersebut.

‘Boong kamu, No’. balas Bu Atikah dengan hati berdebar-debar.

‘Sinih!’ satu foto ruangan kamar dengan Ano sedang selfie terlihat. Bu Atikah jelas mengenal benar, itu memang ruangan kamar Rizky, anaknya.

‘Jangan gila, Ano. Pulanglah’.

‘Ano akan terus disni sampai ibu datang kemari’.

Bu Atikah merasakan dadanya seakan hendak meledak,oleh marah, gemas dan kesal. Sungguh anak keras kepala.

‘Kamu masih ingat apa yang ibu katakan? Cinta itu tidak ada paksaan, ancaman’.

Balasannya emotion sedih.

‘Pulang ya, No. ibu sudah bahagia kamu sudah mendapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan’.

‘Ano jauh-jauh datang karena ingin ketemu ibu. Kangen, ingin lihat ibu’. Emotion menangis.

Bu Atikah berjalan hilir-mudik di dalam kamar dengan hati panik. Ia tahu, anak itu memang nekad. Setelah menarik napas dalam dan menetapkan hati, ia membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati, lalu melongok ke setiap ruangan memastikan keadaan benar-benar sepi. Dengan langkah dibuat seringan mungkin, ia menuju ke kamar Rizky dengan hati sangat berdebar-debar.

Begitu membuka pintu, benar saja. Pemuda itu tengah duduk di tepi ranjang sambil tersenyum penuh bahagia. Dengan ragu-ragu setengah terpaksa, Bu Atikah masuk ke dalam kamar dengan hati tak karuan. Secepat itu juga ia menutup pintu, khawatir suaminya mendadak bangun dan mencari-carinya sampai ke situ.

Bu Atikah bersandar ke pintu kamar dengan salah tingkah. Ia tak berani menatap ke sosok Ano yang memberi isyarat untuk duduk di sampingnya. Namun ketika melihat perempuan itu masih tetap saaj berdiri dengan canggung, Ano berinisiatif menghampiri, meraih tangannya yang terasa berkeringat dingin, menuntunnya untuk duduk di tepi tempat tidur.

“Kita sudah ketemu. Sudah ya, pulanglah,” bisik Bu Atikah dengan wajah tertunduk memainkan handphonenya. Tindak-tanduknya persis perawan yang baru bertemu dengan pacarnya. Ano menggenggam jemari Bu Atikah yang terasa gemetaran. Meraih dagunya yang agaknya saking paniknya, Bu Atikah sampai lupa mengenakan kerudungnya. Rambutnya yang panjang bergelombang dielus dan disibakkan dengan penuh kasih sayang.

“Akhirnya Ano tau, Ibu ternyata mempunyai perasaan yang sama, Ano sangat bahagia,” katanya sambil merengkuh bahu. Terasa badan yang setengah dipeluknya itu gemetar hebat.

“Ini salah, Ano, ga boleh. Berdosa ... Hmmmph,” ucapan itu terputus ketika Ano mecium bibir hangat dan basah itu. Bu Atikah merasakan seluruh bulu-bulunya merinding merasakan ciuman hangat itu. Apalagi ketika jari-jari Ano berkeliaran mengelus bahu, punggungnya, pinggangnya, lalu naik kembali melalui ketiaknya, menyentuh, mengelus dadanya yang membusung terbalut daster. BH yan dikenakannya saat itu adalah BH sutera yang halus dan lembut. Jelas elusan itu terasa seperti setrum listrik tegangan tinggi yang membuatnya mengejang tanpa dapat ditahan.

Ano mencium dengan hati-hati dan penuh kelembutan. Lidahnya bermain menelusuri gigi, gusi dan menjulur lebih dalam menyentuh lidah basah nan hangat yang masih bertahan pasif. Kadang terdengar kecipak dari yang bertukar liur. Ano menghisap bibir bawahnya sampai tertarik. Kemudian melepasnya, dia mengecup kening dan pipi montok Bu Atikah bertubi-tubi.

“Syudaaah yahhh, Nooo ...” desah Bu Atikah mencoba untuk pikirannya tetap tersadar. Dalam keadaan sudah seperti itu, hanya laki-laki tidak normal yang akan menghentikan kegiatan mengasyikan itu. Saat itu, Ano seperti sudah sangat ahli dalam mencumbu perempuan. Bukan apa-apa, semenjak dia mengetahui enaknya bercinta, dirinya jadi sering membaca teknik-teknik bercinta di internet. Berharap pada suatu saat nanti bisa mempraktekkannya ke Bu Atikah, dan inilah saatnya itu. Walau pun baru pertama mencoba, tapi ternyata teori cumbuan itu efeknya luar biasa. Bu Atikah dibuatnya tidak berdaya, hanya bisa merengek-rengek minta dihentikan tapi tanpa perlawanan sedikit pun. Dari rengekan, berubah rintihan, lalu erangan ketika jari-jari Ano terus menerus menggelitik, menggaruk dan menelusuri tiap bagian intimnya. Ano merasdakan bahwa penisnya sudah menegang kaku maksimal. Tapi dia ingin tidak main hantam seperti dulu. Bu Atikah sudah dalam kekuasaannya, dia ingin menikmati setiap inchi tubuh kekasihnya itu dengan sepenuh hati.

Tubuh Bu Atikah sudah terbaring tak berdaya, matanya terpejam dengan wajah memerah oleh geletar birahinya. Perlahan, Ano membuka setiap kancing dasternya, menyibakkannya. Dua gumpal bukit kenyal membusung menantang tertahan BH berwarna merah muda, dengan napas mulai terengah-engah, Ano menarik lepas sepetalh sebelumnya melepaskan pengaitnya di punggung Bu Atikah yang sudah menurut pasrah.

Dua puting dalam lingkaran cokelat muda, mengacung kaku. Ano seakan menjadi sinting melihat pemandangan bukit indah itu. Jilatan, hisapan bahkan gigitan pemuda itu membombardir tanpa ampun. BU Atikah menggelinjang-gelinjang antara geli dan enak. Demi menahan aga erangannya jangan sampai keluar, ia menggigit bibir bawahnya keras-keras.

“Enghhhsssh,” namun akhirnya lenguhannya terdengar juga tak tertahankan, ketika satu tangan pemuda itu menyelinap ke balik celana dalamnya. Jari-jarinya dengan lincah menari membelah bibir-bibir vaginanya yang sudah merembes oleh cairan kental dan lengket,

“An-nhooo ...” rengek Bu Atikah menatap Ano dengan mata yang sangat sayu.

Ano mengecup dan mengulum bibir basah itu kembali sambil jari-jarinya yang menari di bukit kecil nan gemuk itu menarik turun celana dalamnya yang sudah basah. Sekaligus dia juga melepaskan celana seragam kerjanya, sekaligus celana dalamnya. Tongkat kaku pemuda itu menusuk dan menekan pangkal paha dan pinggul montok BU Atikah.

“Nhooo ...” Bu Atikah merengek-rengek pelan.

Tapi Ano tidak ingin cepat-cepat tuntas, walau pun penisnya sudah berdenyut-denyut menuntut pelampiasan. Tubunya melorot turun diantara kedua kaki Bu Atikah yang menjuntai. Mencium lembut gundukan bukit gemuk yang sudah berkilat basah dan lembab. Bau birahinya terasa menusuk tajam. Jari-jarinya membelah bibir-bibir tebalnya, dibantu jempolnya mengelus memutar daging kecil yang menonjol di atas lubang kecil yang tampak hidup berkedut-kedut. Kegiatan Ano itu membuat tubuh Bu Atikah mengejang. Kedua tangannya mecengkram seprai. Lidah Ano menelusuri dinding-diinding vagina itu, menjilat klitorisnya, mengumlum dan menghisapnya. Kenudian ujung jempolnya menusuk ke lubang sempit yang terus merembes cairan kental. Sementara kelingkingnya menggaruk lembut lubang anusnya. Kegiatan yang luar biasa efeknya. Tubuh montok Bu Atikah sampai melambung-lambung.

“Anhooo... amphuuun,” desis Bu Atikah sambil kedua tangannya mencengkram rambut Ano, meremasnya kuat-kuat ketika merasakan desakan nikmat tak tebendung membobol bendungan.

Brurrr!

Cairan lengket menyembur keluar menyiram wajah Ano, kedua paha gempal dan padat itu menjepit erat kepalanya.

Bu Atikah telah menggapai orgasmenya yang pertama dengan cepat. Tubuh montok itu menggelepar-gelepar seperti ikan di darat.

Ano meraih selimut yang masih terlipat rapih di ujung tempat tidur. Membersihkan cairan lengket dari wajahnya kemudian membersihkan vagina gemuk itu dengan penuh kasih sayang. Setelahnya, membetulkan letak tubuh Bu Atikah agar terlentang sempurna. Ke dua lututnya diangkat, diganjal dengan pahanya. Penisnya yang sudah mengacung kaku terasa sudah sangat pegal.

“Pelan-pelan, No ....” desah Bu Atikah pasrah. Tubuhnya masih terasa lemas efek dari orgasmenya barusan.

Ano menggesek-gesekkan kepalanya membelah bibir tebal vagina Bu Atikah yang sudah mulai merekah. Dengan tidak sabar, dia mulai memposisikan kepala penisnya di lubang basah yang masih kecil itu.

“Pelaaan, Nhooo .... akhhhhs,” tubuh Bu Atikah menegang, merasakan batang kaku itu menerobos dibantu cairan pelumas yang kembali merembes.

“Hmmmph!” Ano menggeram, merasakan nikmat luar biasa dari pijatan dinding-dinding vagina Bu Atikah yang terasa meremas dan memilin batang penisnya. Ano mulai menggenjot pelan tapi pasti, kedua tangannya bertumpu ke dua bukit kenyal itu sambil meremasnya kuat-kuat.

“Akh! Akh!” Bu Atikah mengeluarkan suara tercekik setiap penis Ano menghunjam dalam. Mulut perempuan itu terbuka seakan mencari udara tambahan. Matanya kadang terbeliak kadang terpejam. Belasan menit berlalu dengan cepat. Masih dengan posisi yang sama, tubuh keduanya sudah dibanjiri peluh, napas mereka mulai memburu. Kadang-kadang Ano menurunkan tubuhnya sekedar memagut bibir BU Atikah yang membalasnya dengan ciuman rakus,

Hingga pada suatu saat, Bu Atikah merangkul punggung Ano, menancapkan kuku-kukunya tanpa sadar. Jelas ia akan mencapai orgasmenya yang kedua. Ano merasakan batang penisnya terasa ketat dipilin dinding-dinding vagina yang terasa kesat. Dia juga merasakan sesuatu mendesak ke ujung penisnya. Keduanya berciuman saling jalin lidah demi menahan agar teriakan kenikmatan mereka tidak sampai terdengar keras.

Kedua kaki Bu Atikah melibat pinggul Ano, menahan agar pemuda itu tidak menggenjotnya kembali. Ano sendiri menekan sedalam-dalamnya diikuti semburan lahar panas. Lelehan mani dan cairan orgasme Bu Atikah meleleh tak tertampung. Berleleran sampai ke seprai.

Keduanya berpelukan dengan ketat, sampa kemudian Ano terguling di samping tubuh montok Bu Atikah dengan lemas tapi kebahagiaan jelas terlihat dari raut mukanya.

----


Untuk menyempurnakan bayangan seperti siapa tokoh-tokoh di atas, Bu Atikah bolehlah dibayangkan seperti Umi Pipik (mohon maaf). Dan Untuk Bu Julaeha, bisa dibayangkan bahenolnya seperti artis Kiki Fatmala lah ya... kalau ‘Mama’ yang masih misterius itu, bisa dibayangkan seperti Ida Iasha, gitu ya, Gan...

Kalau kenapa saya tidak pernah memakai mulustrasi, yang pertama adalah ke-gaptekan saya dalam menyisipkan foto, yang ke dua adalah saya tidak sanggup harus memajang foto orang lain, karena ini menyangkut privacy seseorang atas publikasi tanpa izin untuk yang bersangkutan. Jadi, mohon maaf kalau sebagian keinginan Suhu dan Agan sekalian, saya tidak mampu mewujudkannya.
Maksih update nya..sehat selalu suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd