Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RIWAYAT SESAT

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN IV

-----

Bu Atikah membalikkan tubuhnya memunggungi Ano sambil menarik selimut menutupi seluruh badannya. Ia mencoba menormalkan kembali napasnya. Setelah birahinya tersalurkan, pikirannya mulai jernih. Rasa takut dan penyesalan kembali memenuhi pikirannya. Kedua kakinya ditekuk tanpa memperdulikan cairan yang terasa lengket di selangkangannya.

“Jangan, No ...,” Bu Atikan mencoba menepis tangan Ano yang merangkulnya dari belakang. Hembusan hangat napas pemuda itu meniup tengkuknya. Tangan Ano yang ditepis barusan beralih mengelus-elus rambut perempuan itu yang masih sedikit basah oleh keringat.

“Ano bener-bener sayang sama ibu,” bisik Ano sambil mengecup lembut bahu Bu Atikah yang tak tertutup selimut.

“Pulang ya, No. ibu capek sekali. Dan kamu pasti kabur lagi kerja,” kata Bu Atikah dengan isak tertahan.

“Jangan menangis, Bu. Ano sedih kalau ibu kaya gini,” bisik Ano kembali, memeluk Bu Atikah, terasa oleh lengannya gumpalan empuk di balik selimut itu. Dia menggenggam jemari perempuan itu, meremasnya lembut penuh kasih sayang.

“Kalau kamu bener-bener sayang ibu, pulanglah. Kembali bekerja, jangan membuat ibu sedih.”

“Tapi Ano pengen menemani ibu terus seperti ini.”

“Jangan, No. ini karena kita khilaf, ga boleh dan berdosa.”

“Ano halalin ibu ya. Ano lamar ibu dan kita menikah,” bisik Ano sambil membelai anak-anak rambut di kening Bu Atikah yang badannya terasa bergetar sedikit tersentak.

“Jangan gila kamu, No. ibu punya suami, dan ..., dan tidak mungkin. Itu tidak mungkin ....” Bu Atikah memejamkan mata, butiran air mata tak tertahan menetes di kelopak matanya. Ano menghapus air mata itu dengan bibirnya, mencium keningnya kemudian pipinya. Namun ketika hendak mencium bibir itu, Bu Atikah menghindar. Tapi bibir Ano lebih cepat. Memagut dan menggigit.

“Hmmfhhh ... Nhooo,” Erang Bu Atikah ketika Ano menghisap bibir bagian bawahnya. Pemuda itu seakan tidak memberi kesempatan untuk Bu Atikah kembali berpikir jernih. Kedua tangannya bekerja: meremas, menggaruk memilin setiap bagian sensitif ustadzah setengah baya itu yang kembali menggelinjang dan merintih.

“Jangan, No. Jangan ... sudah ya. Kamu pulang dulu. Jangan membuat ibu ketakutan ya. Ibu mohon ... tolonglah.” Rintih BU Atikah pada satu kesempatan ketika Ano sedang sibuk menghisap-hisap putingnya yang sudah membulat dan mengacung keras.

“Ano sayang ibu... cinta ibu,” bisik Ano kembali menyerang bibir basah nan empuk lembut itu yang kembali mendesah.

Bobol lah kembali pertahanan Bu Atikah untuk yang kedua kalinya. Matanya terpejam menikmati buaian dan cumbuan Ano.

“Geliii ... emhsh,” erangnya ketika lidah Ano menelusuri keteknya yang berbulu halus, menggelinjang. Semua bulu tubuhnya terasa meremang. Meremang nikmat. Ano menarik selimut, kemudian bergerak menindih. Dua bukit membusung itu sudah tercengkram dalam genggaman kedua tangannya, wajahnya tenggelam dalam belahan empuk padatnya. Lidah dan giginya bekerja keras. Terus menggaruk dan menghisap. Kedua kaki Bu Atikah yang asalnya tertekuk rapat. Kini dengan kepasrahan sepenuhnya mulai merenggang, memberi kesempatan pemuda itu untuk menindihnya secara sempura. Bagian bawah perutnya terasa terganjal batang kaku yang berdenyut-denyut panas.

“An-nhooo ... amphuuunsh,” desis Bu Atikah yang kembali terbakar api birahi yang makin meninggi. Tapi mendadak matanya terbelalak, ketika merasakan batang kaku berdenyut itu merayap naik. Matanya menatap ngeri ketika helm kepala meriam ano tersembul dijepit payudaranya. Kemudian timbul tenggelam seirama ayunan pantat pemuda itu. Remasan tangan Ano di kedua payudaranya menekan dan menjepit penisnya. Sementara kedua jempolnya dengan jahil menekan dan memutar-mutar putingnya. Sensasi yang dirasakan Bu Atikah saat itu, bukan main rasanya.

Melihat helm hitam mengkilat timbul tenggelam seperti itu, wajah Bu Atikah memerah.

“A-apa ... apa-apaan?” mata ustadzah itu mendelik menatap wajah Ano yang menyeringai keenakan sambil meram-melek.

“Enak sekali, Sayang. Owhhh,” erang Ano yang kemudian menunduk. Punggungnya melengkung demi mencapai bibir Bu Atikah yang masih ternganga.

“Hmmpphh,” keduanya berpagutan dengan liar. Lidah-lidah basah bertautan saling jalin. Belum pernah perempuan itu berciuman sedahsyat itu. Mereka saling bertukar liur. Vaginanya makin terasa gatal. Ada cairan hangat merembes. Menurut kata hatinya, ingin rasanya pemuda itu secepatnya memuaskan dahaga birahinya. Namun apa mau dikata, Ano seakan tidak mengerti keinginannya. Pemuda itu masih asik menggenjot dijepit payudaranya. Bahkan sesekali, ujung helm kurang ajar itu menyentuh dagunya. Gemas sekali hatinya. Namun itu hanya sekedar keinginan hati tanpa berani diutarakannya. Ia masih sangat malu untuk meminta atau pun memohon.

Napas keduanya mulai terengah-engah, Ano mulai pegal.

“Akhirnya,” hati Bu Atikah berbisik lega ketika Ano melorot turun kembali. Terdengar suara kecipak halus ketika batang kekar berurat itu menekan dan membelah vaginanya yang telah sangat basah oleh cairan pertama bercampur cairan birahi yang baru. Ano duduk di sela selangkangan yang montok itu. Dengan sembarangan, dia mengambil selimut, membersihkan cairan lengket yang membanjir di vagina montok itu. Ke dua bibir vagina yang tebal itu sudah memerah. Kedua lututnya tertekuk di atas kaki Ano yang selonjoran. Bulu-bulu halus selimut yang dipakai lap, terasa menggelitik. Tubuh montok itu menggelinjang dan mengerang.

“Mau apalagi anak ini,” keluh Bu Atikah yang sudah sangat ingin menuntaskan gejolak birahinya ketika Ano menarik kaki kirinya kemudian dilipat di atas kaki kanannya. Kemudian mendorong lembut pinggulnya sedikit menyamping. Ano menghela napasnya dengan kagum. Di dua bongkah pinggul padat itu, tampak terselip vaginanya menyembul, membusung gemuk. Dengan menggunakan jari tengahnya, dia menggosok cepat dibelahan itu.

“Ughhh,” Tubuh montok itu tersentak.

Kepala Ano menunduk, menciumi sebongkah pinggul yang menggeletar menahan hasrat. Pinggul yang mengedut ketika ujung jari Ano tidak sengaja menusuk lubang anusnya.

Bu Atikah menggelepar-gelepar, tersiksa oleh hasrat birahi yang tak kunjung jua mendapatkan keinginannya. Namun ia masih malu hati untuk meminta. Akhirnya hanya bisa menahan sensasi dari cumbuan Ano yang terus menyerangnya. Ubun-ubunya terasa menggelegak panas. Keringat mulai bercucuran. Hingga suatu saat:

Ano mulai menaruk kepala penisnya di belahan vagina gemuk itu yang masih terjepit paha mengkal. Dengan tidak sabaran, Bu Atikah merenggangkan pahanya, memberi tempat agar penis itu lebih mudah menerobos.

“Ouwhhh ...,” tubuh ustadzah itu meregang nikmat ketika penis Ano menembus lubang vaginanya. Tanpa sadar tangannya meremas payudaranya sendiri.

“Hhhrrh ...,” geram Ano merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika penisnya menerobos masuk dalam jepitan pejal kekasihnya itu. Dia mulai menggenjot pelan.

Bu Atikah baru pertama kali merasakan sensasi posisi seperti itu. Dan yang namanya pertama kali itu tentu berlipat-lipat kali rasanya.

“Plok! Plok! Plok!”

Terdengar bunyi kencang setiap selangkangan Ano bertabrakan dengan pantat Bu Atikah, sampai bergetar-getar. Satu tangan menahan di kasur, tangan yang lain meraih payudara yang tengah terguncang-guncang seirama genjotannya. Tanpa terasa, 5 menit berlalu. Ano merasa pinggangnya pegal, dia segera meluruskan badannya ke belakang, memeluk tubuh Bu Atikah yang tak henti-hentinya mendesah. Mulutnya menciumi tengkuk perempuan itu yang sudah basah oleh keringat.

“Enak sekali, Bu .... eughhh ... nikmat banget, Sayang!” Racau Ano. Genjotannya memang tidak secepat posisi pertama. Namun dalam posisi itu, dia lebih leluasa membombardirnya. Dengan satu kaki menjempal di atas pinggul Bu Atikah. Tusukan-tusukan Ano mampu lebih dalam. Bahkan oleh perempuan itu terasa sesak sampai ke ulu hatinya.

“Eghhh ... eghhh ... eghhh!” terdengar desahan-desahan pendek.

Rasa geli dan gatal di dalam vaginanya makin menjadi-jadi. Rahimnya terasa berdenyut-denyut tak karuan. Ia tahu, sebentar lagi akan mencapai puncak birahinya. Ano Juga menyadari hal tersebut, ketika merasakan vagina itu mulai merapat mencengkram penisnya sehingga dia mulai kesulitan menggenjot. Namun dia masih belum ingin menyemburkan maninya.

Kedua tangannya merangkul dan membalik tubuh Bu Atikah yang sudah sangat basah oleh keringat.

“Di atas ya sayang ...,” bisiknya dengan napas terengah-engah.

Sebentar saja, Bu Atikah sudah dalam posisi menunggangi Ano. Perempuan itu tampak malu-malu dan kebingungan. Ia sebenarnya sudah tidak tahan untuk melepas orgasmenya. Namun dalam posisi yang tidak diduganya itu, orgasmenya sedikit tertahan. Kedua tangannya malah sibuk menutupi payudaranya yang menggantung. Matanya terpejam. Ano mulai tidak sabaran, pantatnya sengaja disentakan ke atas.

“Ughhh,” Bu Atikah mengerang panjang. Namun ia masih terdiam. Ano menghela napas panjang. Diraihnya pinggang perempuan itu, menariknya hingga terjatuh ke atas tubuhnya. Wajah Bu Atikah yang merah terbakar oleh birahi, tenggelam dalam bahu Ano. Mau tidak mau, terpaksa Ano bekerja sendiri. Pantatnya dihentak-hentakkan naik turun dengan cepat. Sungguh gerakan yang menguras stamina. Napas Bu Atikah terdengar menderu-deru menghembus pundaknya.

“Ckck ... ckck ... ckck!”

Suara kocokan penis Ano di vagina lengket itu terdengar.

“Nhooo ... ehsssh ... ibhu ga kuattthssh,” desis Bu Atikah sambil menggigit pundak Ano. Kedua pahanya menjepit sekencang-kencangnya pinggang Ano.

“Tahan sebentar, Bhuuu ... hrrrhhh,” geram Ano sambil mencengkram bongkahan pantat Bu Atikah yang sedikit bergerak menekan ke bawah. Mengangkatnya sedikit, lalu dengan sisa tenaganya yang terakhir, dia menyentak.

“Ughhhh!” keduanya mengerang bersamaan. Dua semburan lava dari dua ledakan birahi menyembur. Semburan yang panjang berkali-kali. Hingga kemudian keduanya ambruk lemas.

Sesaat, sepi melanda.

Bu Atikah menggulingkan tubuhnya, kemudian kembali menarik selimutnya. Meringkuk memunggungi Ano. Helaan napas berat terdengar.

“Sayang ...,” bisik Ano membelai rambut ustadzah setengah baya itu yang acak-acakan.

“Jangan, No ... sudah ya. Tolong pulanglah,” terdengar suara perempuan itu dari balik selimut.

Ano bangkit terduduk sambil menghela napas panjang.

“Ano memang miskin, Bu. Yang Ano punya cuma cinta sepenuh hati sama ibu. Tapi Ano bertekad akan mengumpulkan uang, agar ibu bahagia tidak khawatir lagi.”

Mendengar kata-kata Ano itu, mau tidak mau Bu Atikah tersenyum juga. Ada rasa terharu mendengar ketulusan dari kata-kata pemuda itu. Ia kemudian berbalik sambil menarik selimutnya lebih tinggi sebatas leher.

“Ini bukan tentang uang atau pun harta, No. Apalagi cinta, ibu tidak mengerti tentang itu, ini tentang khilaf dan kesalahan kita, terutama ibu. Ibu ingin kita melupakan ini, ini ... ini dosa, No. Sangat tidak boleh.” Terisak kembali.

“Lalu Ano harus bagaimana, Bu?”

“Pulang dan lupakan ibu ... ibu mohon!”

“Bagaimana Ano bisa melupakan begitu saja? Ano tidak mungkin bisa melupakan ibu. Ano sungguh-sungguh cinta, Bu. Dan Ano sangat yakin ibu juga cinta sama Ano.”

Bu Atikah menarik tubuhnya, bersandar ke pembaringan, menatap wajah Ano tanpa berani menatap ke yang lain. “Sekali lagi ibu katakan, ibu tidak paham soal cinta, ibu terlalu tua, dan kita ... kita sangat ... sangat tidak layak, No.”

“Lalu bagaimana agar ibu bisa mencintai Ano?” tanya pemuda itu dengan polos.

Bu Atikah tersenyum sambil menggeleng-geleng. “Ibu juga tidak tahu, No. kalau Ano sungguh-sungguh cinta dan sayang sama ibu, tentu Ano tidak akan menyakiti ibu dan membuat ibu sedih. Untuk sekarang kembalilah ke tempat kerja, ibu mohon, beri ibu waktu untuk menenangkan pikiran.”

Ano kembali menarik napas dalam, akhirnya dia mengangguk. “Baiklah. Tapi Ano sangat yakin ibu juga cinta sama Ano. Ijinkan Ano memeluk ibu sekali lagi, boleh ya?”

Melihat wajah penuh permohonan pemuda itu, dan juga ia melihat sorot mata penuh cinta kepadanya. Sorot mata yang membuat hatinya tergetar. Seumur-umur, belum pernah ia tergetar oleh tatapan seperti itu. Bu Atikah tidak menjawab, ia hanya menunduk dengan hati berdebar-debar ketika Ano beringsut mendekatinya. Menggenggam hangat tangannya, kemudian merangkul dan memeluk tubuhnya.

Tubuh montok terbalut selimut itu terasa bergetar. Bu Atikah merasakan perasaan asing, perasaan yang nyaman dan membuat hatinya bahagia berbunga-bunga. Tanpa dapat disangkalnya, hatinya saat itu bak hati gadis remaja yang telah menemukan cinta pertamanya.

“Sudah ... sudah, No. Pulang ya, kalau kamu cinta sama ibu, pasti kamu nurut. Kalau tidak, ibu akan kecewa, Ano bukan cinta tapi cuma nafsu,” bisiknya dengan suara bergetar, ketika Ano mendaratkan ciuman lembut di keningnya, matanya, pipinya hingga menyentuh bibirnya. Dengan menetapkan hatinya, Bu Atikah mendorong pelan tubuh telanjang pemuda itu, ia khawatir kembali terhanyut dalam buaian kekhilafan yang tentu akan menjadi malapetaka.

Ahirnya Ano mau juga pulang walau pun dengan sangat berat hati. Pemuda itu keluar kamar, dan beberapa saat kemudian Bu Atikah setelah memakai dasternya kembali, dengan langkah mengendap-endap ia menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sambil mencoba melupakan yang barusan terjadi. Tapi bukannya mampu melupakan, sambil mengguyur tubuhnya dengan air dingin, ia merasakan luapan perasaan aneh yang membuatnya begitu berbahagia, hingga dirinya harus berulangkali beristighfar memohon ampunan.

Hari-hari selanjutnya, ada perubahan besar pada Bu Atikah. Wajahnya yang manis dan ramah itu makin bersinar-sinar, membuat Pak Haji Sobirin sendiri agak terheran-heran dibuatnya. Walau pun Bu Atikah merasa hatinya sangat berdosa setiap bersama suaminya, namun perasaan bahagian mana bisa disembunyikan. Sosok tubuhnya makin menarik, walau pun seringnya dibalut gamis lebar, namun aura kematangan seorang perempuan yang sedang dimabuk asmara samasekali tidak bisa ditutupi. Bu Atikah sekarang lebih hati-hati dengan HP-nya, sebelum-sebelumnya, HP-nya tersebut sering tergeletak sembarangan. Namun dengan seringnya Ano nge-WA, ia harus lebih waspada, khawatir ketahuan. Kegiatan sembunyi-sembunyi seperti itulah yang malah membuat Ustadzah itu merasakan sensasi aneh yang menarik hatinya. Ano memang jadi sangat sering sekali nge-WA, tidak tahu waktu, pagi, siang apalagi malam. Tapi walau pun membuat deg-degan, Bu Atikah dengan senang hati tanpa dapat ditahannya, sering membalas chat-an dari Ano. Perhatian-perhatian kecil yang sepintas sepele, seperti ‘Sudah makan?’ ‘Sedang apa?’ ‘Jaga kesehatan’ dan lain sebagainya. Yang dari dulu tidak pernah sepatah kata pun didapatnya dari suaminya, makin membuat berbunga-bunga perempuan yang sedang kasmaran itu.

‘Assalamu’alaikum, kesayangan Ano’

Seperti biasa, jam 11 malam ada chat Ano masuk. Suasana sudah sangat sepi. Rizky, entah untuk yang kesekian harinya makin jarang pulang ke rumah dengan alasan banyak tugas. Praktis, di rumah hanya tinggal mereka berdua.

‘Kesayangan apa kesiangan?’ balasnya dengan emo meleletkan lidah.

‘Kesayangan dooong’ emotion ‘kiss’ lanjutnya, ‘Tolong ke kamar tamu dong, Sayang’

Deg. Wajah Bu Atikah mendadak pucat. Hati kecilnya sesungguhnya mengharapkan ini, namun kedewasaannya memberinya peringatan.

‘Kamu di sana? Jangan nekad! Ibu ga mau datang kesana’ balasnya dengan hati berdebar-debar.

‘Engga lah. Kalau diijinkan baru Ano datang. Ada hadiah buat kesayangan. Alhamdulillah Ano baru terima gaji pertama’

‘Hadiah apa?’

‘Lihat dulu atuh, Sayang’

Dengan rasa penasaran, Bu Atikah menuju ke kamar depan. Perlahan-lahan ia membuka pintunya, bersiap-siap agar hatinya tidak kaget apabila ternyata pemuda itu yang ada di dalam kamar, seperti beberapa hari yang lalu.

Begitu pintu terbuka, ternyata memang tidak terlihat seorang pun di kamar itu. Hatinya sedikit kecewa, namun buru-buru ditepiskannya. Di atas tempat tidur ada sebuah kota persegi yang dibungkus dengan kertas kado.

‘Kado?’ ia mengetik balasan.

Hanya dibalas emotion ‘kiss’ berderet panjang.

‘Kado apa?’

‘Buka ya, Sayang. Mohon maaf cuma mampunya segitu’

‘Harusnya ga usah, No. cukupkan dulu buat kebutuhan kamu. Ibu sudah bahagia kamu sudah punya penghasilan sendiri’ balasnya dengan hati terharu.

‘Buat kesayangan yang Ano cintai, Ano akan berikan apa pun juga’

‘Mulai deh gombal lagi’

‘Serius!’

Setelah menutup pintu kamar dan menguncinya. Bu Atikah duduk di tepi pembaringan, mengambil kado tersebut dan meletakannya di pangkuan. Dengan sepelan mungkin, ia membuka bungkusan kado tersebut, takut suara kresek-kreseknya terdengar suaminya.

Ternyata isi di dalam kado itu bukan lain bra dan celana dalam berwarna merah muda dan satu benda lagi yang ketika diambil ternyata baju tidur yang tipis menerawang. “Lingerie?” Bu Atikah membelalakan matanya dengan wajah memerah. Membayangkan ia mengenakan baju tidur mesum itu, makin merahlah wajahnya. Ia sama sekali tidak mempunyai baju seperti itu, menginginkan pun tidak pernah. Dan Ano membelikan baju tidur mesum itu kepadanya? Mana berani ia pakai? Segera ia meletakan kembali lingerie tersebut ke atas kasur. Mengambil bra dan celana dalam warna merah muda itu. Wajahnya kembali merona, anak itu tahu benar warna kesukaannya dan ukuran bra juga celana dalam itu memang ukurannya. Dasar anak mesum. Umpatnya dalam hati, tapi bibirnya menyunggingkan senyum dengan hati berdebar bahagia.

‘Bagaimana?’ chat masuk dari Ano.

‘Dasar mesum’ damprat Bu Atikah dalam balasan chatnya. ‘Ibu ga mungkin pakai baju tidur kaya gitu, No ih’ emotion muntah.

‘Itu dipakai kalau kita nanti ketemuan dan sudah menikah’ emotion nyengir.

‘Ga mau’ balas Bu Atikah pendek.

‘Dicobain ya sayang ya. Plisss’

‘Ga mau’ tersenyum-senyum sendiri.

‘Plissss’

‘Plisss’

Berderet panjang.

Bu Atikah menghela napas panjang gemas. Anak ini kalau ada maunya ampuuun deh, katanya dalam hati.

‘Iyaaa udaaah’ balasnya kemudian.

‘Mana coba lihat?’

‘Lihat gimana?’

‘Difoto’

‘Dasar mesum. Gamau!’ emotion marah.

‘Ano vc ya’

‘Ga mauuuu!’ emotion marah berderet panjang.

Dibalas Ano dengan emotion menangis.

Beberapa saat kemudian, ada kiriman foto. Sebatang penis yang menegak kaku. Bu Atikah hampir menjerit kaget sampai tersedak kemudian terbatuk.

‘Anak setan mesum!’ chatnya dengan emotion marah. Namun ia merasakan vaginanya berdenyut-denyut. Celaka, keluhnya dalam hati.

‘Maafkan, sayaaang. Abis Ano ga tahan kangen banget’ foto itu terhapus. Emotion ‘maaf’ berderet panjang.

Kalau menuruti kata hatinya, ingin ia membalas dengan kangen juga, namun ia segera maklum, kalau ia membalas seperti itu, Ano akan nekat mendatanginya malam itu juga. Ia sudah paham benar. Walau pun keinginan hatinya sangat kuat untuk bertemu, namun ia kembali dibayangi ketakutan.

‘Sudah dulu ya. Pak Haji bangun, terima kasih banyak atas kadonya. Semangat terus kerjanya ya’ diikuti emotion berbunga-bunga. Dengan menetapkan hati, ia segera mendelete chatan tersebut lalu mematikan HP-nya. Namun batang kaku tadi terus terbayang-bayang dipelupuk matanya. Membuat putingnya mengeras dan gatal juga vignanya yang berdenyut-denyut mulai basah.

Begitulah yang terjadi selanjutnya. Bu Atikah makin terseret jauh ke perselingkuhan virtual dengan Ano. Hanya tinggal menunggu waktu saja perempuan itu kemudian tenggelam dalam buaian asmara yang mungkin tidak akan terelakkan lagi. Karena hari-hari selanjutnya, dengan rayuan Ano yang makin lihai, BU Atikah mulai berani bertukar foto, mengirim foto-foto menuruti permintaan Ano. Dari awalnya foto biasa saja, kemudian tanpa hijab, sampai mulai pose-pose nakal. Belahan dada, hanya mengenakan bra sampai mengenakkan lingerie hadiah dari Ano. Pujian-pujian pemuda itu membanjir, yang tentu saja makin membuat senang hatinya.



----​



Bersambung ke BAGIAN V



Humphhh... luar biasaaa. Kaya dikejar-kejar deadline. Amphuuuun....

Untuk selanjutnya mah, paling kembali ke komitmen awal seperti postingan yang pertama ya, Gan.

Update 2 minggu sekali 2:Peace: :beer:

:ampun: :ampun: :ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd