Antingmama
Semprot Lover
- Daftar
- 14 Jul 2017
- Post
- 249
- Like diterima
- 1.984
Masih dalam rangka remake cerita lama. Kali ini cerita tentang Roni dan Mamanya. Selamat membaca.
POV Tini
Namaku Tini, usiaku saat ini 49 tahun, sekarang aku tinggal di kota Cirebon bersama keluargaku. Tetangga kiri-kananku mengenalku dengan sebutan bu Haji. Ya, di blok komplek rumahku ini, hanya aku dan suami yang sudah naik Haji. Suamiku bernama Hasyim yang biasa dipanggil Haji Hasyim sekarang sudah pensiun dari Departemen Luar Negeri. Kini ia aktif berkegiatan di Masjid Al Baroq dekat rumah. Aku pun aktif sebagai ketua pengajian di komplek rumahku ini. Tetangga kami melihat keluargaku adalah keluarga harmonis. Namun mereka bertanya-tanya, mengapa anakku masih kecil, masih berusia satu tahun, padahal aku sudah berusia hampir 50 tahun. Aku bilang saja, yah, maklum, rejeki datang lagi pas usia saya senja begini, mau diapakan lagi, tidak boleh kita tolak, harus kita syukuri.
Sebenarnya aku punya 2 anak. Anakku yang sulung, laki-laki, dan saat ini ia sudah berusia 25 tahun. Namanya Roni. Sebelum kelahiran anakku yang masih bayi ini, Roni adalah anak tunggal.
Cerita sedih ini berawal saat dua tahun yang lalu, saat usiaku 47 tahun ketika Roni yang selama 15 tahun kami tinggalkan hidup dengan Neneknya di Cirebon, akhirnya kumpul bersama dengan kami layaknya keluarga. Roni aku tinggalkan selama 15 tahun karena aku dan suami harus tinggal di Belanda. Saat aku dan suami ke Belanda, Roni baru berusia sekitar delapan tahun, ibuku (nenek Roni) tidak ingin jauh dari Roni, beliau mungkin takut Roni akan terbawa arus kehidupan di Eropa dan lupa adat Indonesia. Jadilah Roni tinggal di Cirebon bersama ibuku, lalu aku dan suami tinggal di Eropa.
Lima belas tahun kemudian, aku dan suami pulang ke Tanah Air, sebelum pulang aku dan suami menyempatkan diri untuk naik haji. Setelah pulang menunaikan haji, aku dan suami pulang ke tanah air dan pergi ke Cirebon. Tak kusangka anakku sudah besar, ya Roni telah berusia 23 tahun. Kami lihat ia tumbuh menjadi anak yang sangat soleh, santun dan lemah lembut.
Aku sangat berterima kasih dengan ibu waktu itu, telah membuat Roni tetap menjadi anak yang baik dan rajin beribadah. Beberapa bulan setelah kami berkumpul bersama, ibuku (nenek Roni) meninggal. Kami sedih sekali waktu itu. Setelah itu kami hidup sekeluarga bertiga.
Kehidupan keluarga kami sangat sakinah mawadah dan rohmah. Aku bangga sekali punya anak Roni. Ia rajin ke mesjid dan mengaji. Hal itu membuat aku dan suami selalu merasa bahagia. Seakan-akan kami awet muda rasanya.
Kebahagiaan ini juga mempengaruhi kemesraan aku dan suami sebagai suami istri. Walaupun kami sudah tua, tapi kami masih rutin melakukan hubungan pasutri meski hanya satu minggu sekali. Sampai suatu hari, suamiku mendapat tugas dari untuk dinas selama tiga bulan di Qatar. Suamiku mengajak kami berdua (aku dan Roni anakku) namun Roni yang sudah kerasan tinggal di Cirebon menolak ikut, akupun karena tidak mau lagi jauh dengan anakku menolak ikut. Akhirnya hanya suamiku sendiri saja yang pergi.
Hari-hari tanpa suamiku, hanya aku dan anakku tinggal di rumah kami. Aku sibuk sebagai ketua pengajian ibu-ibu dan memberikan ceramah kecil-kecilan setiap ada arisan di komplek rumahku ini. Roni aktif sebagai remaja masjid di Masjid Baroq dekat rumah. Terkadang karena aku sudah berusia hampir 50, aku mudah merasa capek setelah berkegiatan.
Suatu siang aku merasa sangat capek, sehabis pulang memberikan ceramah ibu-ibu di masjid. Aku pun langsung tertidur. Saat aku tengah-tengah enaknya merasa nyaman dengan kasurku, aku seperti merasa ada sesuatu yang membuat paha, pinggang dan daerah dadaku geli dan gatal. Setengah sadar dan tidak sadar, aku lihat Roni sedang berada di dekatku. Sambil setengah ngantuk aku berkata, “Kenapa Ron? Mama capek nih…”
“Ga, ma, Roni tahu, makanya Roni pijetin,
"Nih Ma, Roni bikinin teh hijau buat Mama, abis itu udah mama tidur aja ya, istirahat”, balas Roni.
Aku senang mendengarnya, senang pula punya anak yang tumbuh dewasa dan baik seperti Roni. Tanpa membuang waktu aku langsung meminum habis teh hijau yang dibuat Roni tadi. Rasanya segar sekali. Oh terima kasih Tuhan.
"Ma, Jilbabnya dibuka ya, biar gak gerah". Pinta Roni padaku. Oh Iya, saking lelahnya tadi aku sampai lupa melepas Jilbab yang masih aku kenakan selepas mengisi pengajian tadi. Kubuka kain Jilbabku dan juga ciput topinya lalu kukibaskan rambutku yang hitam panjang sepunggung dan sepasang anting-anting mutiara Dewi yang menghiasi kedua telingaku di depan anakku Roni seakan ingin menggodanya. Roni hanya tersenyum melihat tingkahku dan memberikan kecupan di keningku "CUPP".
Aku membalasnya dengan memberikan kecupan di pipinya "CUPP" dan berkata "Mama tidur dulu ya". Kataku pendek lalu merebahkan diriku di atas kasur dan langsung tertidur pulas.
Lama kelamaan, aku mengalami hari yang sangat aneh, terutama setiap malam saat aku tidur. Aku merasa, ada sesuatu yang menggelitik daerah sensitifku, terutama daerah selangkanganku. Enak sekali rasanya, oh apakah ini setengah mimpi yang timbul akibat hasratku sebagai seorang istri yang butuh kehangatan suami. Ya, aku yakin karena aku ditinggal suami saat aku lagi merasa kembali muda dan penuh gairah, makanya aku sering sekali mimpi basah setiap malam. Mimpi yang rasanya sadar tidak sadar, kenikmatannya seperti nyata. Ya, aku menjadi senang tidur malam, karena ingin cepat-cepat mimpi basah lagi. Aku menduga ini adalah rejeki dari Tuhan, agar gairahku sebagai istri tetap terjaga, dan kebutuhan biologisku tetap tersalurkan walaupun hanya diberi mimpi basah sama Tuhan. Oh… nikmat sekali. Aku membayangkan suamiku, Beny, yang berhubungan denganku, oh nikmat sekali. Dan karena seringnya dikasih mimpi basah oleh Tuhan, setiap pagi aku bangun aku merasa kemaluanku selalu basah kuyup sampai celana dalamku basah total. Yah, jadinya aku punya kebiasaan baru selalu mandi wajib setiap pagi. Yang aku takutkan hanya satu, takut saat aku mimpi basah, aku mengigau dan takut suara mendesahku terdengar anakku Roni. Tapi saat aku liat dari gelagatnya sehari-hari, nampaknya ia tidak tahu.
POV Tini
Namaku Tini, usiaku saat ini 49 tahun, sekarang aku tinggal di kota Cirebon bersama keluargaku. Tetangga kiri-kananku mengenalku dengan sebutan bu Haji. Ya, di blok komplek rumahku ini, hanya aku dan suami yang sudah naik Haji. Suamiku bernama Hasyim yang biasa dipanggil Haji Hasyim sekarang sudah pensiun dari Departemen Luar Negeri. Kini ia aktif berkegiatan di Masjid Al Baroq dekat rumah. Aku pun aktif sebagai ketua pengajian di komplek rumahku ini. Tetangga kami melihat keluargaku adalah keluarga harmonis. Namun mereka bertanya-tanya, mengapa anakku masih kecil, masih berusia satu tahun, padahal aku sudah berusia hampir 50 tahun. Aku bilang saja, yah, maklum, rejeki datang lagi pas usia saya senja begini, mau diapakan lagi, tidak boleh kita tolak, harus kita syukuri.
Sebenarnya aku punya 2 anak. Anakku yang sulung, laki-laki, dan saat ini ia sudah berusia 25 tahun. Namanya Roni. Sebelum kelahiran anakku yang masih bayi ini, Roni adalah anak tunggal.
Cerita sedih ini berawal saat dua tahun yang lalu, saat usiaku 47 tahun ketika Roni yang selama 15 tahun kami tinggalkan hidup dengan Neneknya di Cirebon, akhirnya kumpul bersama dengan kami layaknya keluarga. Roni aku tinggalkan selama 15 tahun karena aku dan suami harus tinggal di Belanda. Saat aku dan suami ke Belanda, Roni baru berusia sekitar delapan tahun, ibuku (nenek Roni) tidak ingin jauh dari Roni, beliau mungkin takut Roni akan terbawa arus kehidupan di Eropa dan lupa adat Indonesia. Jadilah Roni tinggal di Cirebon bersama ibuku, lalu aku dan suami tinggal di Eropa.
Lima belas tahun kemudian, aku dan suami pulang ke Tanah Air, sebelum pulang aku dan suami menyempatkan diri untuk naik haji. Setelah pulang menunaikan haji, aku dan suami pulang ke tanah air dan pergi ke Cirebon. Tak kusangka anakku sudah besar, ya Roni telah berusia 23 tahun. Kami lihat ia tumbuh menjadi anak yang sangat soleh, santun dan lemah lembut.
Aku sangat berterima kasih dengan ibu waktu itu, telah membuat Roni tetap menjadi anak yang baik dan rajin beribadah. Beberapa bulan setelah kami berkumpul bersama, ibuku (nenek Roni) meninggal. Kami sedih sekali waktu itu. Setelah itu kami hidup sekeluarga bertiga.
Kehidupan keluarga kami sangat sakinah mawadah dan rohmah. Aku bangga sekali punya anak Roni. Ia rajin ke mesjid dan mengaji. Hal itu membuat aku dan suami selalu merasa bahagia. Seakan-akan kami awet muda rasanya.
Kebahagiaan ini juga mempengaruhi kemesraan aku dan suami sebagai suami istri. Walaupun kami sudah tua, tapi kami masih rutin melakukan hubungan pasutri meski hanya satu minggu sekali. Sampai suatu hari, suamiku mendapat tugas dari untuk dinas selama tiga bulan di Qatar. Suamiku mengajak kami berdua (aku dan Roni anakku) namun Roni yang sudah kerasan tinggal di Cirebon menolak ikut, akupun karena tidak mau lagi jauh dengan anakku menolak ikut. Akhirnya hanya suamiku sendiri saja yang pergi.
Hari-hari tanpa suamiku, hanya aku dan anakku tinggal di rumah kami. Aku sibuk sebagai ketua pengajian ibu-ibu dan memberikan ceramah kecil-kecilan setiap ada arisan di komplek rumahku ini. Roni aktif sebagai remaja masjid di Masjid Baroq dekat rumah. Terkadang karena aku sudah berusia hampir 50, aku mudah merasa capek setelah berkegiatan.
Suatu siang aku merasa sangat capek, sehabis pulang memberikan ceramah ibu-ibu di masjid. Aku pun langsung tertidur. Saat aku tengah-tengah enaknya merasa nyaman dengan kasurku, aku seperti merasa ada sesuatu yang membuat paha, pinggang dan daerah dadaku geli dan gatal. Setengah sadar dan tidak sadar, aku lihat Roni sedang berada di dekatku. Sambil setengah ngantuk aku berkata, “Kenapa Ron? Mama capek nih…”
“Ga, ma, Roni tahu, makanya Roni pijetin,
"Nih Ma, Roni bikinin teh hijau buat Mama, abis itu udah mama tidur aja ya, istirahat”, balas Roni.
Aku senang mendengarnya, senang pula punya anak yang tumbuh dewasa dan baik seperti Roni. Tanpa membuang waktu aku langsung meminum habis teh hijau yang dibuat Roni tadi. Rasanya segar sekali. Oh terima kasih Tuhan.
"Ma, Jilbabnya dibuka ya, biar gak gerah". Pinta Roni padaku. Oh Iya, saking lelahnya tadi aku sampai lupa melepas Jilbab yang masih aku kenakan selepas mengisi pengajian tadi. Kubuka kain Jilbabku dan juga ciput topinya lalu kukibaskan rambutku yang hitam panjang sepunggung dan sepasang anting-anting mutiara Dewi yang menghiasi kedua telingaku di depan anakku Roni seakan ingin menggodanya. Roni hanya tersenyum melihat tingkahku dan memberikan kecupan di keningku "CUPP".
Aku membalasnya dengan memberikan kecupan di pipinya "CUPP" dan berkata "Mama tidur dulu ya". Kataku pendek lalu merebahkan diriku di atas kasur dan langsung tertidur pulas.
Lama kelamaan, aku mengalami hari yang sangat aneh, terutama setiap malam saat aku tidur. Aku merasa, ada sesuatu yang menggelitik daerah sensitifku, terutama daerah selangkanganku. Enak sekali rasanya, oh apakah ini setengah mimpi yang timbul akibat hasratku sebagai seorang istri yang butuh kehangatan suami. Ya, aku yakin karena aku ditinggal suami saat aku lagi merasa kembali muda dan penuh gairah, makanya aku sering sekali mimpi basah setiap malam. Mimpi yang rasanya sadar tidak sadar, kenikmatannya seperti nyata. Ya, aku menjadi senang tidur malam, karena ingin cepat-cepat mimpi basah lagi. Aku menduga ini adalah rejeki dari Tuhan, agar gairahku sebagai istri tetap terjaga, dan kebutuhan biologisku tetap tersalurkan walaupun hanya diberi mimpi basah sama Tuhan. Oh… nikmat sekali. Aku membayangkan suamiku, Beny, yang berhubungan denganku, oh nikmat sekali. Dan karena seringnya dikasih mimpi basah oleh Tuhan, setiap pagi aku bangun aku merasa kemaluanku selalu basah kuyup sampai celana dalamku basah total. Yah, jadinya aku punya kebiasaan baru selalu mandi wajib setiap pagi. Yang aku takutkan hanya satu, takut saat aku mimpi basah, aku mengigau dan takut suara mendesahku terdengar anakku Roni. Tapi saat aku liat dari gelagatnya sehari-hari, nampaknya ia tidak tahu.