Aduh kemaleman nih. Hehehe.
Sebelumnya:
Aku mengetuk pintu rumah Bu Santi. Kulihat jam tangan yang menunjukan pukul 18:43 WIB. Pintu terbuka, takjub melihat wanita dengan kaos super ketat dengan bawahan jeans pendek sebatas paha.
“Bu Santi?”
Part 6
[HIDE]“Kenapa kamu? Kaya lihat apa aja,” ucap Bu Santi. Suara gemuruh membuat paandanganku beralih ke air hujan yang kian deras.
“Masuk dulu Van,” kata Bu Santi.
“Iya Bu.”
Aku heran dengan keadaan rumah Bu Santi yang sudah sepi. Setahuku, ia memiliki dua anak yang masih SD. Sementara suaminya bekerja sebagai mandor di luar kota, yang mana hanya satu minggu sekali pulang atau paling lama satu bulan. Aku dipersilakan duduk oleh Bu Santi. Aku masih belum terbiasa melihatnya menggunakan setelan yang amat menggoda. Kugelengkan kepala saat pikiran kotor mulai merasuk ke otakku. Bu Santi masuk ke dalam, tampaknya ia ingin membuatkan minuman untuk menghangatkan tubuhku. Aku menggigil, sambil memandangi seisi rumah dari sudut ruang tamu. Dengan pekerjaan suaminya sebagai mandor yang sudah melalang buana ke kota-kota besar di Jawa, Keluarga ini adalah salah satu keluarga kaya di desa kami. Tapi, sungguh diluar dugaanku. Rumah yang sederhana untuk orang yang berada—kaya seperti Bu Santi.
Bu Santi membawa secangkir kopi, lalu menaruhnya di meja. Ia pergi lagi. Tak lama muncul dengan minuman botol, tentu itu untuknya.
“Mana proposanlnya, Van?” tanya Bu Santi.
Kubuka tas, mengambil proposal, lalu menyerhannya pada Bu Santi. Ia membuka lembar demi lembar proposal itu dengan cepat.
“Bagus. Makasih ya, Van,” ucapnya.
“Iya, Bu. Sama-sama.” Suasana hening sesaat. Rintik hujan terdengar jelas.
“Eh, kamu mau pulang Van?” tanya Bu Santi.
“Gak tau ya Bu. Ini aja udah dingin banget.”
“Oh, iya. Ya udah sana ganti baju,” ucap Bu Santi.
“Baju siapa bu?”
“Bentar,” katanya sebelum berlalu masuk kamar. Bu Santi keluar membawa kaos dan celana training. Kurasa itu milik suaminya.
“Nih.” Bu santi menyodornnya padaku. Aku terlihat kebingungan sebelum Bu Santi menyuruhku masuk kamar untuk ganti baju.
Setelah itu, aku duduk kembali. Memasukan bajuku ke dalam tas. Meski tidak melihat langsung aku mersakan Bu Santi memandangiku.
“Masih hujan Van,” ucapnya lagi.
“Aku gak punya payung,” tambahnya.
Aku melihat jam, pukul 19:30. Pasti orang rumahku mencari-cari, apa lagi hujan begini.
“Ya udah, Van. Tunggu reda aja.” Bu Santi mengihudpkan televisi.
“Iya Bu.”
“Kamu udah makan belum Van?” tanyanya.
“Belum nih, Bu.”
“Bentar yak, aku ambilkan makan.”
“Gak usah bu, gak perlu repot-repot.”
“Gak apa-apa Van. Itu tadi lauknya anak-anak sisa banyak.” Bu Santi pun pergi ke dapur. Aku mengintip ke jendela, melihat hujan yang masih saja awet.
Bu Santi datang, ia menaruh hidangan sisa yang ia bilang tadi. ‘Sisa apaan? Ini mah makanan bener,’ batinku. Sambil menonton tv aku menyantap makan malam gratis. Bu Santi menemaniku sembari menenggak minuman yang dibawanya tadi.
“Aduh, pantesan,”celotehnya.
“Ada apa Bu?” tanyaku.
“Enggak kok, Van.”
Kenyang sekali, meski disebut makanan sisa, tapi kuakui ini adalah makanan yang jarang ku makan. Rendang, sangat-sangat jarang bahkan mendekati tidak pernah ada di rumahku.
“Oh iya Van. Gimana keadaan ibu kamu?” tanya Bu Santi.
“Masih sakit Bu.”
“Hmm, emang susah Van. Penyakit itu.”
Perlu diketahui, Ibuku mengidap penyakit TBC sudah setahun lebih. Yang awalnya aku pikir hanya batuk biasa, tapi setelah diperiksa, ternyata ibuku terkena penyakit itu.
Suasana kembali hening. Rintik hujan sudah tidak sederas sebelumnya, gemuruh pun tampak sudah tak bersuara lagi. Kupandangi Bu Santi, cantik, seksi, dan menawan. Di cuaca yang dingin ini, bercucur keringat dari tubuhnya. ‘Loh kenapa dengan Bu Santi?’
“Van.”
“Iya Bu?”
“Kamu masih perjaka?” tanya Bu Santi, cukup mengagetkanku.
“Umm, masih kok, Bu.”
“Umurmu berapa sih Van?”
“19 bu.”
“Bisa bantu Ibu gak Van?” tanyanya lagi.
“Ap—apa bu?”
Bu Santi mendekatiku. Ia melepas kaos, lalu melemparkannya ke belakang. Wajah Bu Santi saat ini hampir sama dengan Bu Etin saat ingin memperkosaku.
“Ibu salah minum, Van. Jadi horny banget sekarang,” katanya.
“Maksud ibu?”
“Lepas bajunya, Sayang!” perintahnya.
Aku melepas bajuku, sementara Bu Santi kini telah menanggalkan celana jeansnya. Postur tubuh yang sangat luar biasa untuk wanita seumuran Bu Santi. Kulitnya kencang, payudaranya padat berisi meski tidak sebesar milik Bu Etin. Bu Santi duduk di pangkuanku, ia menggesek-gesekan pangkal pahanya,
“Maaf yah Van. Kali ini aja, aku mau selingkuh, jangan bilang siapa-siapa!”
“Iya Bu.”
Bu Santi turun dari pangkuanku, ia melepas bh dan cdnya. Lalu melemparnya padaku. Ia berbalik kemudian berjalan ke kamarnya. “Sini Van!” Aku mengikutinya. Mataku tak bisa lepas dari pantatnya yang sekal.
“Lepasin celanamu!”
Ak menuruti semua perintah Bu Santi. Ia rebahan, kedua pahanya dibuka perlahan. Vagina Bu Santi bersih, dengan sedikit bulu kemaluan.
“Jilatin!”
Aku merangkak naik ke ranjang. Menelan ludah, saat wajahku sangat dekat dengan vaginanya. Tanganku menyentuh bagian luar vagina Bu Santi. Ia menyeringai. Aku pun mencium vagina Bu Santi, kubenamkan mukaku. Lidahku mulai menjilati. Bu Santi mendesis. Tanganya memegang kepalaku.
“Terus Sayang. Jilatin memekku!”
Aku melahap vagina Bu Santi, menghisap bagian klitorisnya, bahkan kugigiti. Ia terus mendesah menerima jilatanku. Lidahku menusuk ke dalam vaginanya. Bu Santi menggelinjang, tangannya menekan kepalaku. Ada air yang keluar dari vaginanya.
“Aduh, kamu pinter banget Van. Sini Sayang aku emutin kontol kamu.”
Kudekatkan penisku ke wajah Bu Santi. Ia mencium penisku. Lalu memasukannya ke dalam mulut. Kemudian mengulumnya dengan cepat. Tak berapa lama ia mengeluarkan penisku.
“Masukin Van!”
Kini aku mengarah kan penisku ke vaginanya. Bu Santi tersenyum melihatku kesulitan memasukan penis ke lubang surgawi miliknya. Kemudian ia menuntunku.
“Ke sini nih,” ucapnya.
Bagian kepala penisku sudah berada di pangkal lubang vagina Bu Santi. Aku mendorong pinggul dengan perlahan. Bu Santi melenguh panjang.
“AHHHHH—Enak Van, terus, masih belum masuk semua itu, panjang banget kontolmu.”
“Iya Bu.” Kutekan lagi agar semua penisku masuk ke vagina Bu Santi. Sempit dan hangat di dalamnya.
“Kamu sudah gak perjaka nih Van,” ledek Bu Santi. Aku tersenyum.
“Kan baru sama Bu Santi aja.”
“Iya Van. Ayok gerakin Sayang!”
Dengan perintah Bu Santi, kugenjot perlahan vaginanya. Ia pun menggoyang pinggulnya untuk mengimbangi genjotanku. Desahanya benar-benar mengkhawatirkan. Aku takut bila anak-anaknya bangun dan memergoki aku sedang menyetubuhi ibu mereka.
“Ah, Van. Kontolmu ENAK Sayang …,” ucap Bu Santi.
“Kencengin Van,” tambahnya. Kupercepat gejontanku, desahannya semakin menggila.
Bu Santi sadar dengan desahanya yang begitu keras, ia menarik tubuhku agar menindihnya. Seketika itu ia menciumku. Bibirnya menuntun mulutku agar terbuka, lalu Bu Santi menjulurkan lidah ke dalamnya. Perpaduan suara pun terjadi. Antara paha kami yang salling beradu dan mulut kami yang saling melumat.
“Van, aku mau keluar lagi,” kata Bu Santi. Aku semakin bersemangat memaju-mundurkan pinggulku. Kemudian Bu Santi memejamkan matanya. Tanganya memelukku disertai kedua kakinya merapat, sehingga aku tidak bisa bergerak.
“Bentar Van, ini enak banget,” ucapnya. Saat itu penisku berkedut-kedut.
“Eh, Van. Kamu keluar juga toh?” tanya Bu Santi. Aku mengangguk.
“Aduh … gara-gara salah minum malah jadi gini,” kata Bu Santi.
“Emang kenapa Bu?”
“Aku lagi subur, Van.”[/HIDE]
To be continued ....