Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rumble X Riot!

Status
Please reply by conversation.
====Update besok ya====

● EPISODE V
Farewell, Hawk/Welcome, Crow

● EPILOG

====Senin====

SEASON 1.5

● EPISODE I
The One Behind the Curtain

1jam lg menuju update yang meleset...
 
EPISODE V: Farewell, Hawk/Welcome, Crow - PART II



Uh. Perjalanan pulang ini terasa lebih lama dari biasanya.

Kepalaku sakit.

Nafasku menggebu.

Pandanganku berkunang-kunang.

Dan bisa kurasakan emosi yang meluap-luap, meronta untuk dilampiaskan.

Tidak. Bukan aku yang salah. Nia diperkosa karena Kai yang berulah, Jon babak belur karena menuruti saran Mira. Bukan, aku tidak salah. Sama sekali bukan kesalahanku. Tapi Helen, dia seharusnya tidak begini. Apa yang kurang? Aku harus apa supaya dia tak cuma melihatku sebagai batu loncatan?

Oh, iya. Aku lupa, tujuan awalnya memang ingin mengalahkan kakaknya sendiri.

Ini agak mengganggu. Hal-hal rumit ini mengganggu. Tak bisakah kita kesampingkan intrik, dan langsung pada bagian hajar-dihajar-menang-kalah? Tapi, ah, persetan!

Persetan dengan semua kerumitan ini.

"Toloooong!"

Eh, teriakan wanita? Tapi darimana asalnya?

Aku menengok ke kiri dan kanan. Suasana jalanan yang sepi membuatku dapat dengan jelas mendengar suara teriakan itu lagi. Kali ini lebih keras terdengar. Aku menyusuri tepi jalan, menajamkan telinga sambil melongok ke jalan-jalan kecil diantara bangunan-bangunan yang berdiri.

Maka, aku sampai ke asal suara. Berasal dari lahan kosong yang hanya bisa dicapai dengan menelusuri jalan kecil diantara dua bangunan besar. Akses masuk dan keluar hanya lewat jalan kecil tadi, jadi bisa aku pastikan tidak ada yang akan pergi lewat jalan lain. Dan disana, tergeletak seorang gadis yang kaki dan tangannya dipegangi oleh beberapa laki-laki dewasa. Pakaian si gadis sudah robek sana-sini, mengekspos sebelah payudaranya. Cukup besar, tapi bukan itu fokusnya. Mulut si gadis dibekap, dan ada rona takut tergambar jelas di ekspresi wajahnya.

"Woy, ngapain lo?!" hardik salah satu dari gerombolan laki-laki itu padaku.

Yang satunya menimpali, "Mau jadi jagoan lo kesini, hah?!"

Aku hanya diam, mencoba mengerti situasi. Oh, aku mengerti. Ternyata si gadis akan diperkosa oleh sekelompok orang-orang ini.

"Dia udeh ngeliat kita, mending abisin sekalian daripada dia ngadu!" kata yang lain lagi.

Wah, ini yang rumit. Aku salah apa sampai harus dihabisi?

"Nanti dulu," kataku, sambil mengangkat sebelah tangan. "Saya ga ada maksud mau ganggu kok."

Bisa kulihat, karena perkataanku tadi, secercah harapan dalam sorot mata si gadis seketika sirna. Dia membelalak, menatapku tanpa berkedip. Mungkin dia berpikir aku akan menyelamatkannya, tapi maaf, aku kesini bukan untuk itu.

"Saya cuma mau nonton. Kepala saya lagi pusing, dan saya kayaknya butuh hiburan," kataku lagi. "Emang ga ada hubungannya sih, tapi saya dari dulu penasaran, adegan merkosa orang itu gimana sih sebenernya."

Mereka saling bertatapan, lalu menatapku lagi. Sepertinya mereka tak percaya alasanku.

"Udah hajar aja! Abisin sekalian! Mana ada orang begitu alesannya!"

Aku menggelengkan kepala. "Tch, bukan gitu. Saya mau nolong pun cuma sendiri. Kalo saya pergi cari bantuan, pasti saya ketangkep duluan terus dihabisin. Sama aja percuma. Saya disini pun udah terlanjur liat, sekarang atau nanti saya pasti dihabisin. Jadi, mending saya nikmatin pemandangan dulu kan?"

Mereka kembali bertatapan satu sama lain. Agaknya, kali ini alasanku masuk akal.

"Ayolah, bang. Ga ada bedanya, masih mau mikir? Saya ga ganggu kok."

Salah satu dari mereka, yang memegangi kaki si gadis, mendekatiku. "Apa jaminannya kalo elo ga ganggu?"

"Iket aja tangan saya, gimana?"

Dan... yap, tanganku diikat ke belakang. Aku kini duduk bersila, memperhatikan pria-pria bejat nan baik hati ini sedang melahap tangkapannya. Seorang gadis muda, cukup cantik dan punya badan yang bagus. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia pekerja kantoran. Yah, aku melakukan ini juga untuk riset.

Mereka berjumlah empat orang. Tiga diantara mereka bertugas memegangi tangan dan kaki si gadis, seorang membekap mulutnya, sementara yang satunya bertindak sebagai eksekutor. Dari sini, aku bisa melihat si eksekutor merobek celana dalam si gadis, sementara gadis itu sendiri masih meronta-ronta. Kalian tahu, adegan nyata perkosaan itu jauh dari yang bisa digambarkan di cerita-cerita panas atau film porno. Tidak ada rangsangan berupa petting, dan si korban sama sekali tak akan terangsang sekalipun adanya foreplay. Maksudku, bagaimana mungkin orang yang ketakutan setengah mati merasa terangsang?

Si eksekutor kini membuka celananya, dan terpampang penisnya yang agak bengkok, berdiri tegak. Aku agak canggung melihat penis orang lain sebenarnya, tapi ini demi pengalaman baru, jadi terima sajalah. Oh, kini si eksekutor mulai mempenetrasi vagina si gadis. Gadis itu sendiri semakin meronta-ronta, tapi perutnya dipukul sehingga dia melemah. Akhirnya, dia pasrah ketika ada benda asing menyeruak masuk ke dalam vaginaya.

"Gila, seret juga. Enak nih, ngegigit!" kata si eksekutor ditengah euforia.

Sekarang pinggulnya bergerak-gerak maju mundur memompa vagina si gadis. Hanya beberapa menit, sampai dia mengejang lalu menghentakkan pantatnya kuat-kuat, melesakkan penisnya dalam-dalam ke kemaluan si gadis. Setelah semenit, penisnya dicabut dan ada lelehan cairan kental putih yang keluar dari sela lubang vagina itu.

Aku membayangkan, pasti berat menjadi gadis itu. Ckckck, kasihan.

"Ternyata udah ga perawan, sob! Hahaha, lonte aja segala ga mau kita pake!"

Lalu mereka ganti giliran. Oh, si gadis ternyata digilir. Lagipula, gadis itu kini tak lagi meronta. Dia hanya diam pasrah diperlakukan bagai binatang begitu. Ups, memang binatang memperkosa? Manusia, bisa sebaik malaikat. Bisa sejahat iblis. Atau bisa lebih rendah dari binatang.

Salah satu dari mereka menoleh padaku. "Boy, lu mau make dia juga ga? Anggap aja hadiah sebelum lu kita abisin!"

Aku memutar-mutar bola mata, berpikir sejenak. Lalu aku menggelengkan kepala, pelan. "Engga ah, lanjutin aja. Lagian juga, saya udah merasa cukup ngeliatnya. Makanya, saya..."

Aku berdiri, lalu mendekati mereka dengan masih tangan terikat ke belakang. Tiga diantara mereka juga ikut bangun, bereaksi atas sikapku. Sementara satunya, menjaga si gadis agar tak kabur.

"Udah cukup. Makasih ya, tadi-cukup-menghibur."

Aku melompat, lalu melancarkan satu tendangan menyamping yang telak menghajar pipi salah satu pria. Dia jatuh tersungkur, dan ketika aku akan menjejak tanah, yang lain melancarkan tinjunya padaku. Aku mengelak ke samping, lalu menggigit lengan si penyerangku. Kulit serta dagingnya robek, dan bahkan belum sempat dia bereaksi, aku menendang kuat-kuat selangkangannya. Dia jatuh berlutut, lalu meringkuk sambil berteriak kesakitan. Aku menginjak kepalanya, dan menerjang ke satu orang lagi. Targetku tak siap, begitu banyak celah yang terbuka, dan itu kugunakan untuk menggigit bahunya. Dalam satu koyakan yang kuat, aku merobek daging serta urat bahu orang yang kugigit. Daging manusia mengumpul di mulutku, dan segera kuludahkan ke tanah. Baunya anyir, ditambah bau besi dari darah. Aku bukan kanibal, tapi ini keadaan terdesak. Aku bisa apa? Tanganku diikat begini.

Satu orang yang kutendang tadi kini berada di belakangku. Dia bersiap menerkamku, tapi aku sigap dengan menghajar rahangnya menggunakan siku lengan. Dia terhuyung-huyung, dan ini kesempatanku untuk menyerang. Maka, aku menendang rusuknya kuat-kuat. Ada darah bercipratan dari mulutnya, dan dia langsung tumbang ke tanah.

Sementara aku baru menyadari, satu orang yang terakhir sedang berlari kabur. Ah, biarkan saja. Buat apa dikejar.

"Risih juga kalo tangan diiket gini. Sebentar," aku meronta kuat-kuat, merobek ikatan di lenganku. "Nah, gini kan enak. Ayo, kita lanjut yang tadi~"

Emosiku harus tersalurkan, apapun caranya.


***


Aku berjalan diantara tubuh-tubuh yang terkapar tak berdaya. Agak jijik rasanya, ketika harus melewati genangan darah. Yah, somehow, kepalaku rasanya seperti berputar jika sedang emosi dan tak ada pelampiasan.

Sekarang sih, agak tenang.

Tapi ketika aku menengok ke belakang, tubuh-tubuh itu sudah semakin lemah. Posisi mereka sama, dengan badan tertelungkup, darah menggenang diantara perut dan dada, lengan patah, banyak bagian tubuh terkoyak, dan pucat kehabisan darah. Aku agak kaget ketiga orang itu masih bisa bertahan dengan luka separah itu.

Aku menggaruk kepala. Ups, agak kelewatan, sepertinya.

Si gadis masih duduk meringkuk, menempel di tembok. Dia gemetar, dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Tak mau bersuara, bahkan ketika aku bertanya.

Aku menjulurkan tangan padanya. "Semua udah selesai. Lo bisa pergi sekarang," kataku, pelan.

"Ke-kenapa, kenapa ga kamu tolong saja saya, ta-tanpa mesti bu-buat mereka se-sekarat?"

Diluar dugaan, si gadis melemparkan pertanyaan seperti ini. Aku berpikir, bukannya wajar aku melakukan sesuatu yang diperlukan?

"Emang lo ga pengen bales dendam? Ga mau ngeliat pemerkosa lo sekarat, gitu?"

Si gadis menggeleng. "Saya lebih bisa terima kalau kamu berusaha tolong saya tapi ternyata ga bisa dan saya... saya... tapi kamu seharusnya bisa tolong saya tadi, tapi malah membiarkan saya—"

"Gue juga seharusnya bisa ngebiarin lo mati disini, kok. Gue punya pilihan buat ga nolong lo sama sekali—"

"—Tapi sekarang kamu yang paling salah! Saya ga minta mereka dibuat sekarat! Andai kamu tadi tolong saya," si gadis mulai menatapku tajam, sambil berteriak-teriak di depan mukaku, "mereka ga harus bernasib begini..."

Mendengarnya, aku tersenyum sinis. "Bukan gue yang salah, tapi mereka. Hidup itu, sesimpel makan dan dimakan. Jadi superior atau inferior. Ah, lo pasti masih syok jadi ga ngerti yang gue ucapin. Jadi, bye~"

Aku meninggalkannya sendirian, yang masih terpaku tak tahu harus berbuat apa. Seharusnya sih, dia tahu harus menelepon ambulans; itu jika tak ingin membiarkan ketiga pemerkosanya mati. Tapi aku ragu, memang masih ada orang yang masih berbaik hati kepada para penjahatnya?

Lucu.


***


"Mira."

"Iya?"

"Masakannya enak. Kamu bisa masak ya, ternyata?"

Mira diam sejenak. Dia meletakkan sendok dan garpu di piring, lalu memundurkan kursi.

"Tinggal sendiri mengharuskan aku bisa apa aja," jawab dia. "Gimana kondisi Jon?"

Aku mengambil suapan terakhir, lalu mengunyah sampai halus sebelum menjawab. "Masih belum bisa bergerak leluasa. Yah, kalau aja dia ga nginep di sekolah waktu itu, dia ga akan ketemu aku," jawabku.

Mira berdiri, lalu membawa piringnya ke washbasin. Aku bisa mencium aroma ini, aroma yang sudah lama kurindukan.

"Mau kemana?"

"Emh, itu... aku... ngantuk. Aku mau naik ke kamar, mau tidur duluan," katanya.

"Ga boleh loh abis makan langsung tidur. Ga nemenin aku dulu disini?"

Mira menggeleng, pelan. Kini kakinya sudah menjejak di anak tangga pertama, seperti bersiap akan sesuatu. Semerbak aromanya semakin terasa. Membuat darahku berdesir.

Aku menatapnya lekat-lekat, dan sebaliknya. Kami bertatapan cukup lama, dalam keheningan dan cahaya temaram. Cukup lama, sampai satu sama lain dapat merasakan detak jantung masing-masing. Aku tersenyum kecil padanya, dan dibalas dengan senyum canggung. Mira tak pernah sekaku ini sebelumnya.

"Aku naik ya," begitu katanya, lalu menaiki tangga dengan langkah cepat.

Biar kuberi tahu sesuatu. Manusia diciptakan dengan dimodali berbagai unsur makhluk di dalamnya. Seperti yang kubilang, kita bisa sebaik malaikat, sejahat iblis, sebuas binatang, setenang pohon, atau seacak cuaca. Termasuk mewarisi bakat dari binatang. Orang dulu bilang, binatang buas dapat mencium aroma ketakutan dari mangsanya. Dan aku, dapat mencium aroma itu. Semerbak yang jelas, bagai feromon, tapi ini bukan untuk menarik lawan jenis.

Aroma ketakutan yang terpancar dari Mira, menggelitik naluriku.

Aku ikut berdiri, meninggalkan meja makan. Menyusul Mira, ke lantai dua. Bersiul-siul riang, berusaha tenang.

Naik anak tangga kesatu.

Anak tangga kedua.

Ketiga.

Keempat.

Kelima.

Keenam.

Ketujuh.

Kedelapan.

Siulanku makin nyaring terdengar. Menggema di seisi ruangan. Oh iya, anak tangga kesembilan.

Kesepuluh.

Kesebelas.

Keduabelas.

Aku menarik nafas panjang, berusaha setenang mungkin. Tapi bibir ini tak bisa dicegah untuk tak tersenyum makin lebar.

Anak tangga ketiga belas.

Pelan. Langkahku pelan menuju kamar Mira. Tenang tanpa suara. Ketika tiba, aku berdiri di depan pintu. Cukup lama. Hanya berdiri, tanpa mengetuk, tanpa memberitahukan keberadaanku disini. Aku bertanya-tanya, sedang apa dia di dalam sana?

Satu menit berlalu. Dua menit. Tiga menit. Belum saatnya mengetuk pintu. Tunggu sedikit lagi.

Detik ke tiga ratus. Aku melayangkan satu ketukan ringan di pintu.

"Mira, boleh masuk?" tanyaku, pelan.

Tak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur. Aku kembali menunggu. Masih tak ada jawaban. Dia sepertinya sudah benar-benar tidur.

LIKE HELL I WOULD BELIEVE THAT.

"Mira, boleh masuk ga? Ada yang mau aku omongin," tanyaku lagi, sambil dua kali mengetuk pintu.

Terdengar suara desah nafas berat. "A-aku mau tidur. A-ada apa sih, memangnya?" kali ini, Mira menjawab disertai pertanyaan.

"Yah, cukup penting. Jadi, boleh masuk?"

Kembali tak ada jawaban.

"Mira?" tanyaku, semakin pelan.

Masih tak ada jawaban lagi.

"Mi—ra?" aku berbisik.

Tapi tetap tak ada jawaban, hanya terdengar suara nafas yang berat dari balik pintu ini. Baiklah, kita sudahi saja basa-basi ini.

"Oke, let's make it crystal clear. Kok tiba-tiba sikapnya aneh gitu sih?" tanyaku lagi, kali ini agak lantang.

"Aneh? Siapa yang aneh?! Kamu itu yang aneh! A-aku salah apa sih?!"

Aku berpikir sejenak. "Aku aneh gimana?"

"Saat bahasa interaksi kamu berubah dari 'gue-elo' jadi 'aku-kamu' disaat itu juga aku merasa ada yang ga beres. Saat aku pancing dengan nanya gimana kondisi Jon, sikap kamu makin aneh. Itu... seram," jawab dia.

"Oh, yang itu. Maksudnya," aku menarik nafas, membuangnya, lalu, "LO NGERASA BERSALAH SOALNYA NYARANIN JON SUPAYA NGINEP, GITU? IYA, GITU KAN?"

Kembali tak ada jawaban. Tapi kudengar di dalam sana seperti sibuk sekali, seperti ada benda yang digeser-geser dan berderit di lantai.

"Buka! Gue mau masuk! Buka cepeta——an!"

Tapi tak ada itikad baik dari Mira untuk membukakanku pintu kamarnya.

"Buka, apa gue dobrak pintunya. Yah, pertanyaan retoris, gue udah tau jawabannya sih. Yaudah, gue dobrak yaaa~"

Aku sedikit mundur, lalu dengan sekali tendangan, maka...

Pintu terbuka. Engselnya agak rusak, tapi biarlah. Yang penting, kemana Mira?

Aku sudah berada di dalam kamarnya. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan cewek itu. Kamarnya agak berantakan, dengan jendela yang terbuka, dan kursi yang berada di dekatnya. Gordennya juga menjuntai. Sepertinya Mira kabur lewat jendela.

Sayang sekali.

Maka, aku memejamkan mata. Mengetahui bahwa buruanku kabur, itu amat disayangkan. Aku pun mengambil kursi itu, lalu menyeretnya beberapa meter dari sana. Menaruhnya di posisi yang kumau, lalu mendudukinya. Duduk santai, sambil memandangi lemari di depanku.

"Dipikir gue bego, kali. Ngapain ngumpet di lemari? Sini cepetan keluar," kataku, sambil tertawa kecil.

Di dalam sana, mulai terdengar tangisan yang tertahan. Suaranya cukup merdu di telingaku.

"Ga mau keluar? Gapapa sih, gue tunggu aja disini," kataku lagi.

Aku memutuskan untuk menunggu Mira keluar dari lemari. Lagipula, apa sih yang ada di pikiran anak ini? Kenapa harus lemari? Kenapa tak melompat saja dan menderita beberapa patah tulang?

"Lo buat gue mikir kalo lo terjun lewat jendela, dibantu sama gorden. Tapi kenapa gue bisa tau kalo itu cuma tipuan lo aja? Soalnya, manusia dirancang untuk berlindung jika dia merasa takut. Logikanya, tempat perlindungan adalah tempat yang sempit, atau gelap, atau tersembunyi—yang dirasa cukup aman untuk menghilangkan keberadaan diri sementara waktu. Lo ga mungkin sembunyi di kolong kasur, soalnya kedua sisi sampingnya itu terbuka. Mau lompat? Butuh waktu untuk persiapan dan ngumpulin nyali, pasti keburu ketangkep. Satu-satunya yang mungkin itu ngumpet di lemari. Tapi, gimana caranya supaya gue ga ngira lo ngumpet di lemari? Ya bikin aja seakan-akan lo lompat dari jendela. Bener ga? Bener dong?"

Ah, tangis tertahan itu kini berubah jadi terisak-isak. Kasihan Mira, sepertinya dia benar-benar ketakutan di dalam sana. Tapi aku memilih setia menunggu.

Sepuluh menit berlalu, dan Mira masih memilih bersembunyi di dalam lemari. Aku mencoba mengusir kebosanan dengan bersiul. Jika bersiul tak cukup mengusir bosan, maka aku mengambil ponsel di saku celana dan bermain game.

Tak terasa, satu jam berlalu. Kadang, disela aku bermain, aku kembali bertanya pada Mira kapan dia mau keluar dari sana. Tapi Mira tak menjawab, malah tangisnya makin keras terdengar. Ckckck, gadis yang keras kepala.

Sampai dua jam berlalu.

Sudah tengah malam, dan Mira masih ada di dalam lemari. Ini mulai membosankan, tapi naluriku menggelitik; aku harus menunggu lebih sabar lagi.

Jam dua pagi. Sebenarnya ini percuma, aku bisa saja membuka paksa lemari dan menyeretnya keluar, tapi dimana unsur kesenangannya jika begitu?

"Kamu mau apa dari aku sebenarnya?" tanya Mira, disela tangisnya.

"Well, gue mau lo tanggung jawab."

"A-apa yang harus aku pertanggungjawab—"

Aku memotong. "Udah jelas kan? Kalo misal lo ga nyaranin Jon buat nginep, kondisi Jon ga kayak sekarang. Pokoknya, ini semua salah lo."

"Lalu, a-aku harus apa?!"

"Keluar aja dulu. Gue capek nih nunggunya."

Pintu lemari membuka sedikit. Semakin lebar, dan muncullah sesosok gadis bertubuh ramping dan berkacamata dari dalamnya. Muncul dari balik pakaian-pakaian yang tengah digantung. Mukanya pucat, dan air mata tak berhenti mengalir dari pelupuk matanya. Mira yang malang.

"Please, Elang. Jangan sakiti aku..."

Aku mendongak, menatapnya lama. Satu senyum terkembang di bibirku. Bukan senyum yang tulus, tentunya.

"Engga kok. Cuma mau main-main aja."


***


Aku mengarahkan kucuran air shower ke tubuh Mira, membasahi tubuhnya yang masih dibalut kaus dan celana pendek. Jelas, Mira kedinginan sampai menggigil. Giginya bergemeletuk, tubuhnya gemetar namun masih memilih diam. Hanya tangis tertahan yang sesekali dapat kudengar darinya.

"Buka baju sama celananya, nanti sakit," kataku, lalu meletakkan gagang shower ke tempatnya.

Mira mengangguk, lalu berdiri. Dia membuka bajunya, memerasnya, kemudian menanggalkan celana. Kini, Mira hanya memakai pakaian dalam.

"Dalemannya juga, kan basah kuyup."

Tanpa membantah, cewek ini menuruti perintahku. Dia membuka kait bra, lalu menanggalkannya ke lantai kamar mandi. Sepasang payudara mungil miliknya terekspos jelas, berikut puting yang merah merekah. Lalu dia menanggalkan celana dalam, memperlihatkan kemaluan yang dihiasi bulu-bulu pubik yang masih sedikit. Tubuh mungilnya jadi terlihat lebih cantik dalam ketelanjangan ini.

Aku menyuruhnya mengikutiku ke kamarnya. Lalu, dia kusuruh duduk di tepi ranjang, sementara aku duduk pada kursi. Jam tiga pagi, dan aku mulai menguap. Tapi rasanya murkaku pada Mira belum terbayar tuntas. Aku harus mempermalukannya lebih dari ini.

"Sekarang, turutin mau gue yang terakhir, dan lo bebas abis ini," kataku. "Gue janji, gue bakal pergi dari sini, dan ga ganggu lo lagi. Gue cuma mau harga yang impas atas kesalahan lo aja," tambahku.

"Aku harus apa lagi?"

"Masturbasi depan gue."

Mira mengernyit. "Kenapa aku harus ngelakuin itu?"

"Soalnya, gue ga nyakitin cewek. Tapi lo harus nerima pelajarannya."

"Aku ga mau."

Aku menggeram. "Gue maksa."

Tapi Mira menggeleng, tegas. "Aku ga mau."

"GUE MAKSA! CEPETAN!"

Dibentak begitu, Mira ketakutan. Dia beringsut ke tengah ranjang, lalu mulai membuka paha. Perlahan, aku dapat melihat selangkangannya yang, wow, rapat. Bibir vaginanya merah, merekah begitu.

Mira mulai menempatkan satu jari di celah vaginanya. Dia menggosok bagian itu berulang-ulang, turun naik, disertai gerakan menggelinjang sesekali. Dia selalu menunduk, tak berani menatapku. Aku masih penasaran, memangnya orang bisa terangsang jika berada dibawah tekanan?

"Mmpphh... nngghh... cu-cukup ya?" tanya Mira, malu-malu.

Tapi aku menggeleng. "Kurang ekspresif. Gue mau yang penjiwaan total gitu, bisa ga?"

Maka, Mira makin mempercepat gesekannya. Pantatnya sekarang ikut bergoyang, dan tubuhnya beberapa kali melenting bagai busur. Setelah satu hentakan kuat, Mira merebahkan diri di ranjang. Masih dalam keadaan mengangkang, dia membuka celah vaginanya dengan menggunakan jari. Sementara jari tangan yang lain, terarah ke bagian yang menyerupai kacang yang menyembul kala celah itu dikuak lebar.

"I-iya, iyaa... aahh... aaahh... disitu enak... mmpphh... lagi... lagi..."

Oh. Ternyata memang nafsu itu tak memandang situasi. Mungkin pada awalnya nafsu itu seperti anak kecil yang ketakutan ketika monster datang. Tapi begitu dia bisa meyakinkan lawan mainnya, bahkan monster sekalipun, bahwa keadaan aman terkendali, maka si anak kecil dapat mengendalikan situasi. Persis seperti anak kecil yang polos dan selalu menarik perhatian orang dewasa. Yah, kira-kira seperti itu analoginya.

"Terus... teruss... aahh aahh aahh oohh... Elang... Elang... aku.. a-aku... aahh nngghhh.... sedikit lagi.. iyah,, sedikit lagi... hhaaahh... haaa..."

Pantat Mira terangkat naik, diikuti tubuh yang melengkung ke atas. W-waw, aku belum pernah melihat tubuh yang bermandikan keringat seperti itu, berada dalam puncak rangsangannya. Tubuhnya lalu menghentak-hentak, dan bisa kulihat vaginanya menjadi amat basah, sampai mengkilap begitu.

Aku tercengang. Sial, sisi polosku masih belum hilang.

"Haahh... haahhh... udah... puas... sekarang?" Mira kembali merebahkan diri di ranjang, bertanya padaku.

Aku mengangguk. Aku lalu berdiri, dan berniat ingin pergi dari rumahnya, tapi...

"Kenapa kamu ga berhenti menyalahkan orang lain dan mulai introspeksi diri sih?"

Pertanyaan Mira yang satu ini benar-benar mengusikku. Aku balik badan, menatapnya tajam. Cukup tajam sampai dia memalingkan muka dariku.

"Maksud aku, ini bukan sepenuhnya salah aku kan?"

Bukan sepenuhnya salahnya, dia bilang?

"Maksudnya, kalau aku salah, bukan berarti kamu ga punya andil dalam kesalahan tersebut. Iya kan?"

Tch. Sialan.

Aku langsung menerkamnya. Menindihnya, lalu sebelah tanganku mencekik leher Mira. Sementara tangan satunya sibuk membuka kait dan resleting celanaku, sementara Mira meronta-ronta dan mencakar-cakar lenganku yang sedang mencekiknya. Dia kesulitan bernafas, matanya membelalak, dan menendang-nendang udara tapi aku tak perduli. Dia sudah tak perlu diampuni lagi.

"El... a-aku... ga bisa..."

Aku menempatkan kepala penisku di bibir vagina Mira. Kondisi vaginanya yang masih basah memudahkan penisku terselip dan bersiap untuk memasuki celahnya. Aku sedikit mengurangi cekikan di leher Mira, dan berfokus untuk meredam perlawanannya di bagian bawah sana. Akhirnya, setelah dirasa pas, aku memundurkan sedikit pinggulku, lalu dalam sekali hentakan...

"ELAAAA——"

Teriakannya pasti terdengar nyaring, jika saja aku tak gerak cepat menutup mulutnya. Kini aku tak lagi mencekik Mira, tapi membekapnya dan mengunci kedua tangan Mira. Praktis, tubuhnya hampir tak berdaya, sementara penisku agak kesulitan masuk karena merasakan ada yang mengganjal di dalam sana. Maka, aku pun melakukan hentakan kedua.

"HHNGGHH! NGGHHH!"

Ada air mata mengalir dari pelupuk mata Mira. Dia menatapku penuh rasa kecewa, dan entah kenapa hal itu membuat bekapan tanganku di mulutnya tak lagi kulakukan. Begitupun dengan kuncian di tangannya, praktis kini aku hanya menindihnya, dengan kondisi penisku masuk sepenuhnya di dalam lubang vagina Mira.

"Bego! Kamu bego! Aku masih perawan tau!"

Ah. Aku spontan melirik ke bawah. Sedikit bangun untuk melihat lebih jelas, dan oh... ada noda darah pada bibir vaginanya.

"Ups. Mir, sorry..."

Mira, tanpa diduga, memukul kepalaku. Tapi tak cukup keras, sih.

"Udah sadar sekarang, Tuan Berkepribadian Ganda yang Labil?"

Aku cuma bisa mengangguk. Wajahku pucat pasi, menyadari bahwa aku telah memerawani temanku sendiri.

"Kamu ga harus kasar gitu kalo mau minta. Sakit tau dicekik gitu! Lagian, terasa lebih nyaman kalau dilakukan pelan-pelan, Riza."

Aku terhenyak. Dia bilang apa tadi?

"Aku ga mungkin panggil kamu dengan nama yang kamu sendiri ga mau. Sekalipun aku kenal kamu sebagai Elang, tapi Riza itu nama asli kamu. Sini," Mira tiba-tiba memelukku, mendekapku erat seakan tak ingin dilepaskan, "Pasti kamu kebingungan selama ini. Aku cuma mau kamu tau, aku tetap Mii-chan bagi Elang, dan Mira bagi Riza. Sekalipun dunia menolak kamu, kamu masih punya aku."

Aku bingung. Aku harus apa sekarang? Aku hanya bisa membenamkan wajahku di leher Mira, tanpa bisa berkata-kata. Sekarang posisinya yang terbalik; aku membisu sementara Mira merangkulku.

"Anggap aku tempat kamu pulang, ya?"

Usapan Mira pada rambutku melengkapi rasa nyaman itu. Air mata ini mengalir, tidak deras; hanya satu tetes air mata saja. Tapi aku rasa itu cukup. Aku tak perlu menangis bombay untuk menghiasi nuansa haru ini. Aku hanya butuh dimengerti. Hanya butuh seseorang yang bisa mengimbangi kepribadian yang kacau ini.

"Mmmhh, Riza?"

"Huuh, kenapa?"

"Kalau mau lanjut, pelan-pelan ya. Masih nyeri banget dibawah sana," katanya, polos.

Aku tertawa, sebenarnya ingin kutahan, tapi tak bisa! Momen awkward ini terlalu sayang untuk diabaikan. Mira yang melihatku tertawa, merasa keheranan. Tapi hanya sedetik, dan dia menyadari bahwa aku sedang menertawakannya.

"Kamu tegaaa———!"

Dini hari ini, membuatku menyadari sesuatu. Sifat naturalku yang sadis dan psikopat tak bisa hilang, itu tak bisa dipungkiri. Tapi aku juga bertanggung jawab, dan bisa, dan harus untuk mengendalikannya. Aku sudah memutuskan, akan kulindungi orang yang paling mengerti diriku ini; meski itu berarti harus menyakiti orang lain.

"Mira, maaf. Gue bener-bener... minta... maaf."

Mira kembali membelai rambutku. Mendekapku makin erat, tenggelam dalam pelukannya.

"Ga apa-apa."

Pikiranku agak terusik. Aku masih punya satu hutang, yaitu janji untuk membawa Helen sampai ke 'atas' sana. Oh iya, aku masih akan menepati janjiku.

Dan akan kuhabisi mereka berdua jika sudah berada di 'atas' sana.

Perfect.





Elang/Riza — TAMAT
 
we kok tamat :bingung:
maaf kok masih ngegantung ceritanya ya.
 
Terakhir diubah:
:takut:
lha koq!
'
:kopi::cool:
weeh..bercanda sampean,
ada sequelnya kan nanti..
:kk:

oh iya,, bagian lain:bingung:
seperti yang t'lah janjikan:)
tapi siapa ya, kira-kira yang nanti ambil bagian..
:beer:
makasih
 
Terakhir diubah:
EPILOG




Aku punya tempat favorit baru: atap sekolah. Mira menunjukkannya suatu hari, ketika jam istirahat pertama berlangsung. Disini, aku bisa lebih nyaman menenangkan diri. Melihat ke langit, memperhatikan awan-awan yang bergerak perlahan. Tempat yang sempurna untuk menghabiskan waktu di masa-masa diriku menjalani skors.

Banyak juga yang mengganjal pikiranku. Kini, kelas tiga sedang menjalani masa-masa classmeeting karena sudah melewati gempuran musim ujian nasional maupun ujian sekolah. Itu artinya, siswa kelas tiga yang hadir di sekolah berkurang drastis. Dan aku hanya punya satu setengah bulan sebelum Naga dan ketua kelas tiga yang lain lulus dari sekolah ini.

Itu berarti, aku harus bergerak cepat.

Tapi harus mulai dari mana? Apa harus membereskan kelas dua dulu baru pancing perhatian kelas tiga? Tapi itu akan makan banyak waktu. Ah, andai aku bisa lebih tenang untuk memikirkan strategi.

"Ah, maaf. Apa kamu melihat kucing ras persia di sekitar sini? Kucingnya berbulu tebal, dan warnanya oranye dan putih."

Aku yang sedang merebahkan diri sambil memandangi langit, melirik sekilas ke asal suara. Seorang cowok, berbadan cukup tegap. Tapi mukanya bersahaja, dan sepertinya ramah. Tapi, apa katanya tadi? Kucing persia?

"Ga liat, lagi ngapain ada kucing disini," jawabku ketus.

"Itu, sebenarnya, binatang peliharaan sekolah. Kabur waktu ingin diberi makan, dan saya cukup kewalahan karena harus mengurusi binatang yang lain," katanya lagi.

Daripada mengurusi kucing, aku lebih tertarik pada cowok ini. Dia jelas bukan cowok biasa jika bisa naik ke atap sini dengan tenangnya. Aku bisa menghajar anak-anak kelas tiga yang duduk-duduk menghalangiku naik ke atap dengan mudah, tapi dia? Setidaknya, dia punya sesuatu yang disembunyikan.

"Lo siapa emang?" tanyaku, masih ketus.

Si cowok, mengulurkan tangan padaku. "Saya Yugo, ketua kelas 1-A. Kamu sendiri?"

"Riza, murid 1-F," aku menyambut uluran tangannya.

Tunggu, ketua kelas? Aku ingat agenda tentang merekrut anggota, atau membentuk aliansi, atau apapun yang penting untuk memperbesar persentase kemenangan. Setidaknya, aku perlu kelompok untuk tujuan itu.

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Mau cari di tempat lain, dan kalau ketemu bisa tolong hubungi saya," katanya.

"Eh bentar," aku bangun lalu berdiri, "Kalo gue bisa nemuin kucingnya, lo mau gabung sama gue?"

Yugo, mengernyit. Dia mungkin heran dengan maksudku.

"Kucingnya ada di deket torrent air tuh. Coba cek kesana."

Yugo melakukan seperti yang kukatakan. Dia mengecek apakah kucingnya ada di tempat yang kukatakan, dan ternyata dia turun sambil membawa seekor kucing persia mungil dalam dekapannya. Yugo tersenyum padaku, lalu mengucapkan terimakasih. Dia juga bertanya lagi, apa maksud dari penawaranku tadi. Juga kenapa aku bisa tahu kucingnya berada di sana.

"Gampang sih. Hidung gue lumayan peka, jadi bisa milah-milah bau," kataku. "Bau amis yang dibawa angin bikin gue tau posisi si kucing. Pasti dia tadi bawa kabur ikan ya?"

Yugo mengangguk. "Iya. Wah keren, bisa nebak begitu. Jadi, saya harus gabung kemana?"

"Agak konyol sih, tapi... gue ga punya banyak temen. Mau jadi temen gue, ga?"

Yugo terpaku sejenak, lalu mengangguk dengan sigap. "Sip, sip! Nyari musuh itu gampang, tapi cari teman itu susah, sih."

"Wah, wah. Udah ada orang disini."

Suara itu berasal dari ujung tangga, dan ketika aku dan Yugo menoleh, tampak seorang cowok berbadan ramping, cenderung kurus, berjalan mendekat. Aku memicingkan mata, tapi Yugo masih tampak tenang.

"Baiknya gue aja yang cari tempat baru," kata si cowok lagi.

Cowok itu balik badan, berniat turun tangga. Tapi sebelumnya, dia menoleh padaku. Melempar satu senyum misterius yang tak bisa dijelaskan kata. Senyumnya aneh, seakan punya makna tersirat dibaliknya. Lalu cowok itu menghilang seiring dirinya yang semakin jauh menuruni tangga.

"Dia siapa?" tanyaku pada Yugo.

"Itu ketua kelas 2-E, namanya Oriza. Biasa dipanggil Ori. Tapi," Yugo menatapku ragu-ragu, "kalau bisa, jangan dekat-dekat sama orang itu. Dia, lebih berbahaya dari yang terlihat."

"Oh, gitu."

Aku merasa, seperti ada pisau terhunus dalam tatapan matanya tadi. Sesuatu yang membuatku tak nyaman, seakan aku sedang menjadi targetnya. Entah, aku kurang perduli. Tapi tak ada salahnya berjaga-jaga.

Masih ada satu setengah bulan sebelum kelas tiga benar-benar lulus dari sekolah ini. Aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin, dan akan kubuat Naga berlutut di tanah, tinggal tunggu saatnya saja.

"Ngg... Yugo?"

"Yap, kenapa?"

"Akhir-akhir ini pinggang gue sakit. Itu kenapa ya? Lo tau ga?"



EPILOG - END
 
Berharap akan lebih bnyak lagi update beruntun pagi ini...
 
Bimabet
Cakep Suhu ceritanya.
Motongnya juga pas.

Nice way to end this season .:thumbup

Ditunggu ya Suhu lanjutannya.:shakehand
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd