Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rumble X Riot!

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
lama ga nengok.. dapet updatetan 2 biji.. lumayan :D
semangat suhu.. :semangat:
 
Satu pemikiran ama ane vroh! Kalopun iya mantan penguasa sekolah, si elang/riza dapet bantuan nih dari doi. Makin menarik kesininya. Gasabar buat baca cerita selanjutnya. Semoga cepet updte deh si ts nya

yoi saik tuh kan kasian si elang harus sendirian aja si mira juga nemeninya g tulus karna ada dendam pribadi ke helena
tapi terserah ts aja jgn di jadiin gagal update y gara" komenan ane suhu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ane masi nungguin kejelasan. Kenapa si Helen digosipkan main sama Jon
:galak: ini gak fair.. padahal ane lebih ganteng dari Jon. Kenapa gak digosipin sama ane aj
 
jgn lupa ada niel td disebut..apakah doi sepupu elang atau hanya tokoh numpang lewata
 
Suhu.. dimanakah engakau berada. Tak tau kah kalo diriku merindukan mi-chan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE II:
SIDE STORY - Naga






Menjadi seorang pewaris tahta itu tidak mudah, setidaknya itu yang kurasakan. Apalagi statusmu sebagai cadangan, karena pemain utamanya tidak lolos beberapa kualifikasi. Kamu terlahir dari rahim ibu yang statusnya isteri simpanan, dan meski kamu berumur lebih tua dari anaknya si isteri pertama, tetap saja hak-hakmu dibatasi. Itu tidak masalah, setidaknya hampir. Selalu ada masalah, dan aku selalu bisa mengatasinya.

“Jadi, hari ini kita akan membereskan keributan yang ditimbulkan oleh....”

“Berapa yang mereka minta?”

“Lakukan apapun yang dianggap perlu, termasuk membunuh.”

“Lalu... apa ada....”

“Bagaimana dengan bonus? Apa ada target tambahan?”

Jelas, menjadi pewaris tahta tidak mudah. Sama sekali tidak. Apalagi jika kamu adalah pewaris tahta pemimpin mafia. Kesulitannya bertambah dua kali lipat. Kamu punya banyak musuh, itu tiga kali lipat. Dan sebenarnya kamu tak suka namun karena mempertimbangkan beberapa faktor, jadi terpaksa melakukannya, maka kesulitanmu adalah empat kali lipat. Apalagi kamu seorang anak SMU biasa, dan harus ikut rapat untuk menentukan hidup matinya seseorang.

Berlagak seperti Tuhan.

“Naga, kali ini kamu harus ikut. Ini penting, untuk menambah pengalamanmu,” kata seorang pria tua yang kulit wajahnya sudah mengendur, yang duduk di posisi tengah pada meja lonjong ini.

Aku menggeleng. “Ga bisa, saya harus mengerjakan tugas. Maaf Paman, cari orang lain,” balasku.

“Sekolah macam itu tidak akan memberimu tugas! Cari alasan yang lebih masuk akal lain kali!”

Aku mengangkat bahu, lalu berdiri. “Saya sepertinya masih belum tertarik dengan pekerjaan ini. Lain kali saja, untuk sekarang... sekolah masih lebih menarik,” kataku.

Aku berjalan hendak keluar dari ruangan ini, tapi suara parau pria tua itu kembali mengusikku. “Jika Papamu melihat ini, dia pasti akan malu. Rufio, kau sepertinya gagal mendidik anak,” celotehnya, sambil terkekeh.

Aku tahu, dia hanya berusaha memancing emosiku. Jadi aku akan marah lalu menghajarnya, dan dia bisa menuntutku lalu menggunakan tuntutan itu untuk memerasku, sehingga aku harus menuruti semua perintahnya. Cara klise, lama, kuno. Maaf Paman, tak semua remaja tak bisa mengontrol emosinya. Aku, adalah pengecualian.

“Kata-kata yang bagus, dari orang yang seumur hidupnya mengekor di belakang adiknya sendiri,” balasku, santai.

Wajah pria tua itu memerah, sepertinya menahan malu dan marah akibat perkataanku padanya. Apalagi diucapkan di depan banyak orang, jelas menurunkan derajatnya di depan semua orang yang hadir di sini. Pembalasan sempurna. Lagipula, aku tak ada kepentingan lagi disini, maka saatnya pergi.

Aku keluar dari ruangan besar yang pengap dan penuh asap rokok itu. Ah, udara segar. Bagaimana bisa mereka tahan berada disana dengan semua asap dan suara berisik itu?

“Tidak ikut lagi, Tuan muda?”

Aku menengok ke asal suara. Ternyata Niel, tangan kanan Papa yang bicara. Kali ini dia tak rapi seperti biasanya; ada bercak darah di kemeja putihnya. Sepertinya Niel baru saja selesai melakukan pekerjaannya—membereskan target yang dirasa mengganggu.

“Engga, bunuh-bunuhan bukan mainan anak SMU,” jawabku. Aku kembali memperhatikan noda darah itu. Masih merah, tampak baru. Berarti belum lama?

“Siapa lagi yang situ beresin?” ganti aku bertanya.

“Pelajaran kode etik pembunuh bayaran nomor dua, jangan beritahukan targetmu; apapun kondisinya. Maaf Tuan muda, saya menolak menjawab,” jawab dia.

“Ayolah, ini kan cuma diantara kita. Situ ga percaya saya?”

Niel, tersenyum kecil mendengar ucapanku. “Trust no one, it’s in the rules.”

“Jadi begitu....”

Aku berjalan meninggalkan Niel, menuju kamarku. Tapi sebelum jauh, Niel setengah berteriak padaku. “Beritanya akan ada di koran besok. Tuan Rufio hanya ingin memastikan bahwa teri tetap menjadi teri, bukan bertambah besar setara kakap,” katanya, lantang.

Oh, aku sepertinya tahu siapa yang dia maksud.

Semua intrik ini membuatku pusing. Mungkin, aku butuh penyegaran. Segera aku berbalik arah, dari menuju kamarku menjadi ke dapur. Semoga Karin ada disana.

Karin ini, adalah salah satu pelayan rumah ini. A Maid, mereka bilang. Dia salah satu pelayan wanita termuda, mungkin seusia Helen. Tapi ada alasan khusus, yang membuatku merasa tertarik padanya. Yah, dia punya bentuk badan yang bagus—tidak terlalu tinggi, ditunjang buah dada yang besar. Tapi bukan itu alasan utamanya.

Dan disanalah dia, sedang membantu koki menyiapkan makan siang.

“Karin, saya butuh bantuan situ.”

Karin mendesah berat, lalu mohon ijin pada koki. Kemudian dia mengikutiku, beranjak dari dapur.


***


Sial, gerakannya makin cepat saja. Bukan tenaganya yang kukhawatirkan, tapi kecepatannya. Lengah sedikit, maka aku habis.

Karin melakukan one-two step untuk mengecoh pergerakannya, sambil berusaha mempersempit jarak denganku. Aku terpaksa melompat mundur, karena akan berbahaya jika dia terus mempersempit jarak. Tapi Karin selalu dapat mengejarku, sambil sesekali mengarahkan tendangan.

Ini yang aku suka darinya: kecepatan. Karin tak pernah kesulitan mengimbangi kecepatanku, malah aku yang harus mengimbanginya. Tubuhnya terlatih untuk bergerak lebih cepat dari manusia biasa. Itu karena latar belakangnya yang seorang pembunuh bayaran, sama seperti Niel. Bedanya, Karin dilatih sejak masih kecil. Seakan, naluri membunuh tumbuh bersama dirinya.

Sekarang dia berlari lurus ke arahku. Tapi tunggu, dia menghilang dalam satu kedipan mata. Setelah aku menyadari bahwa dia sekarang sedang bersalto di udara, kemudian melancarkan tendangan tumit ke arahku, disaat itulah aku terlambat untuk menghindar. Terpaksa menangkis!

Tapi itu langkah yang buruk.

Karin ternyata hanya memijak lenganku, lalu melompat lagi dan bersalto, mendarat mulus di belakangku. Bahkan ketika aku berputar ke belakang dan menyarangkan satu tinju, Karin sudah siap dengan kuda-kudanya. Terlambat, aku seharusnya tak melesakkan pukulan.

Karin menahan tinjuku dengan kedua telapak tangan, sambil tubuhnya melentur mengikuti arah pukulanku. Dia lalu mengarahkan tinjuku ke samping wajahnya, dan dia menghentakkan satu kaki ke lantai bersamaan dengan kedua telapak tangannya yang menyentuh pelan dadaku, dan....

“Uuugghh!”

Aku terpental jauh ke belakang, berguling-guling di lantai sampai akhirnya membentur dinding. Bekas sentuhan telapak tangannya masih terasa panas. Yah, tapi aku sudah terbiasa. Dulu, dulu sekali, aku juga kaget: bagaimana pukulan ringan seperti itu bisa melontarkan orang jauh-jauh dari tempatnya berdiri. Tapi setelah aku tahu itu bukan teknik biasa, aku akhirnya mengerti.

Tai Chi, teknik yang menggunakan kekuatan lawan untuk menyerang balik. Itu bukan teknik sembarangan, dan tidak semua orang bisa menguasainya.

“Jangan curang pakai teknik begitu,” kataku, protes.

Karin hanya tertawa kecil, lalu mengatupkan kedua tangan terarah padaku. Memberi isyarat permintaan maaf. Meski begitu, aku tetap memasang kuda-kuda baru. Sekarang saatnya serius.

Sedikit banyak profil yang kutahu tentangnya. Karin adalah mantan anggota satuan khusus tentara rahasia wanita, yang banting setir menjadi pelayan keluarga ini. Dari cerita Papa, usianya saat itu enam tahun, ketika dilatih untuk menjadi pembunuh bayaran. Pada usia tiga belas, Karin sudah menyelesaikan banyak tugas spionase dan pembunuhan berencana. Usia empat belas, dia memutuskan berhenti dari satuan itu, dan ikut dengan Papa. Untuk lepas dari satuannya sendiri, Papa membayar sangat mahal. Itu kenapa Karin memutuskan mengabdi sebagai pelayan disini, karena selain hutang budi, dia juga tak bisa kembali lagi ke dunia luar. Rumah ini, adalah persembunyian teraman baginya dari pengadilan PBB.

“Yah, hal-hal yang belum bisa saya jangkau,” kataku, enteng.

Karin memberi isyarat bahwa dia akan menyerang. Hal ini menyadarkanku dari lamunan, dan kembali mengencangkan kuda-kuda.

Tepat ketika Karin bergerak maju, aku melakukan trik andalanku: slide. Menggeser tubuh dengan cepat bagai berseluncur di lantai ke samping, lalu melompat maju sambil menyarangkan tendangan. Seperti sudah bisa ditebak, Karin menangkap kakiku, lalu mengikuti arah pergerakan tendangannya. Dia lalu mencondongkan badan ke belakang, dan dalam sekejap menyentuhkan lagi telapak tangannya ke perutku. Dalam sepersekian detik, aku membayangkan apa yang akan dilakukan Elang dalam kondisi seperti ini. Dalam pertarungan terakhir di lantai empat waktu itu, aku mempelajari bahwa Elang adalah tipe yang tak perduli seberapa besar beban serangan yang dia tanggung, asal bisa melesakkan serangan ke lawannya. Jika posisinya Elang melawan Karin, maka logikanya: jika Karin menggunakan kekuatannya sebagai serangan balik terhadap Elang, maka untuk menetralkan gaya dorong digunakan gaya tolak dari tubuhnya.

Aku segera menghentakkan kaki ke lantai, dan membebankan seluruh kekuatan pada kaki kiri dan perut—tepat ketika Karin akan menyerang. Dan, ugh, serangannya benar-benar kuat, meski aku bertahan sekuat tenaga. Tapi untungnya, aku berhasil bertahan dan tidak terlempar. Karin yang kaget, segera ambil jarak dengan melompat ke belakang. Aku yang maju mengejarnya, tak mengantisipasi serangan lanjutan. Karin menekuk kaki kanan, mengangkatnya sebatas dada, lalu dengan keras menghentakkan ke lantai. Disusul dengan tangannya yang terjulur lurus mengarah padaku, dan tepat mengenai dada.

Aku kembali terpental ke belakang dengan keras.

“Jika tidak memungkinkan memanfaatkan kekuatan lawanmu untuk menyerang balik, manfaatkan kekuatan dari Bumi,” katanya, dengan nada datar.

Oh, jadi gerakan menghentak lantai tadi dimaksud untuk memanfaatkan gaya tolak Bumi dengan memberinya gaya dorong. Prinsipnya sesimpel jika kita menjatuhkan bola basket ke lantai; semakin kuat gaya dorong diberikan pada bola basket, semakin kuat pantulannya pula. Asumsinya, Karin menggunakan gaya dorong untuk dikembalikan menjadi daya tolakan, dan memusatkan daya itu pada telapak tangannya sebagai titik keluarnya daya.

“Masih banyak yang belum saya pelajari. Terima kasih banyak untuk hari ini,” kataku, sedikit membungkukkan badan.

Karin membalas dengan sikap serupa. Dia lalu kembali mengatupkan tangan, mohon pamit. Dia memang tipe yang irit bicara, dan lebih banyak diam.

“Ah, saya memang harus banyak belajar.” Aku menggaruk kepala yang tak gatal.


***


Selesai latihan, aku memutuskan untuk pergi ke kafe milik teman dekatku. Kafenya sendiri mengusung konsep vintage, dengan pernak-pernik dan aksesoris yang menunjang; seperti foto-foto dengan efek hitam-putih dan sephia, mobil Jeep lama di area outdoor, serta Vespa lama yang diletakkan di salah satu sudut kafe pada area indoor. Tadinya, itu hanya sebuah kedai kopi, namun karena banyak peminatnya, maka disulap menjadi kafe dengan beragam menu olahan kopi, teh, susu dan coklat; serta berbagai macam jenis cake tersedia.

Yang menyenangkan, pemiliknya adalah teman sekolahku yang kini sudah berstatus alumni, Chris. Dan dia adalah salah satu mantan penguasa sekolah yang paling diperhitungkan namanya.

“Nyaman, seperti biasa,” kataku, ketika duduk di salah satu kursi kayu. Pelayan datang membawakan menu, dan ketika menyadari bahwa tamunya adalah aku, maka pelayan mengangguk tanda mengerti. Aku memang sudah sering kesini, dan mereka terlalu hafal dengan pesananku.

“Caramel Esspresso, selera yang aneh, Naga.” Seseorang berdiri di sampingku, sambil meletakkan secangkir kopi ke meja bundar. Tak lupa dia meletakkan cangkir gula dan krimer, menatanya sedemikian rupa sehingga terkesan apik dan elegan. Lalu pria itu duduk di hadapanku. “Silahkan dinikmati,” katanya, sambil menggerakkan sebelah tangan dengan arah membuka.

“Pelayanan yang baik,” aku menghirup aroma kopi dalam-dalam seraya memejamkan mata, lalu menatapnya lagi, “Chris.”

Chris, adalah pria yang tenang dan selalu berpikir dengan logika. Terlepas dari latar belakang keluarganya yang kaya raya, Chris memilih mendirikan usaha sendiri dengan meminjam modal dari ayahnya. Tipikal yang mandiri, dan aku menebak dengan jumlah pengunjung kafe yang stabil ini, maka omsetnya tak pernah defisit.

“Kalau suatu hari sudah bosan dengan kafe ini, hubungi saya,” candaku, lalu menyeruput kopi. Rasa pahit Esspresso berpadu dengan rasa manis Caramel dan sesendok krimer bubuk menghadirkan paduan rasa yang unik, sesuatu yang menggelitik indera pengecapku. Mungkin untuk orang lain, akan terlihat aneh. Tapi mereka tak tahu, ada lebih dari sekedar rasa eksentrik pada kopi karamel ini.

“Jadi, apa topik obrolan siang kita kali ini?” tanyanya, sambil menyeruput Hazelnut Chocolate panas yang baru saja diantarkan pelayan untuknya.

“Ini tentang teri yang terus tumbuh membesar.” Aku mengambil selembar foto dari saku kemejaku, meletakkannya di meja. “Kawanan ikan teri ini semakin tumbuh dengan memangsa teri lain. Ketua kakap merah takut bahwa teri ini akan menjadi sebesar dirinya,” aku melanjutkan.

“Seda,” balas Chris sambil melihat foto yang kusodorkan. “Harus kuakui, dari semenjak aku menjadi juniornya, Seda terlihat ambisius dan kejam. Aku tak akan pernah lupa masa-masa itu, dimana kami bersekolah bagai merasa ada di neraka. Dibawah kepemimpinannya, sekolah kita menjelma jadi kamp konsentrasi.”

“Separah itu?” tanyaku.

Chris mengangguk. Dia lalu memberiku nama-nama. “Semua yang menentang Seda berakhir tragis. Nama-nama yang kuberitahu tadi adalah korban-korban dari kediktatoran Seda semasa eranya. Terlalu berlebihan untuk ukuran pelajar, eh? Tapi itu kenyataannya.”

Chris lalu menatapku penuh selidik. “Sebenarnya, kemana arah pembicaraan ini menuju, Naga? Kamu ga mencoba untuk....”

Aku tersenyum satir. Lalu aku mengambil selembar foto lagi, menunjukkan padanya. “Akhir-akhir ini geng mereka kembali muncul di sekitar sekolah. Chris, adik saya bersekolah disana, dan akan jadi gawat misalkan mereka menyentuhnya. Kita harus aktifkan lagi—”

“—itu masa lalu, Naga. Dulu kita begitu muda, begitu idealis. OWL sudah ga dibutuhkan lagi,” potong Chris. “Biarkan kartelmu yang membereskan ikan-ikan teri itu. Jangan ikut campur lebih dari ini,” lanjutnya.

“Tapi—”

“—tapi tetap saja, aku akan mendalami masalah ini,” potong Chris, lagi. “Tenang saja, jika ada yang bisa aku lakukan untuk teman baikku ini, apapun itu, pasti akan kusanggupi.”

Aku mengangguk satu kali, lalu untuk kesekian kalinya menyeruput kopi. Jika Chris turun tangan untuk menyelidiki, setidaknya aku bisa tenang. Sekarang ini, dia adalah satu-satunya pihak netral yang bisa kuandalkan tanpa memperkeruh keadaan. Hanya mengamati, tidak lebih.

Dan sisa waktu yang bergulir, kami gunakan untuk mengobrol ringan. Aku juga mengutarakan gagasanku untuk mendirikan usaha sendiri selepas lulus sekolah nanti. Ketika Chris bertanya jenis usaha apa yang menarik minatku, aku masih bingung menentukannya. Jujur, meski aku tertarik pada kafe semacam ini, tapi lebih kepada pengunjung bukan pemilik. Meski begitu, aku ingin mandiri. Ingin berdiri dengan kaki sendiri, bukannya disanggah oleh jiwa-jiwa yang dikorbankan untuk satu tujuan. Seharusnya, jalan yang wajar bagiku adalah begitu; berwirausaha, bukan bermafia. Andai saja beban yang kutanggung tak seberat ini, maka aku sudah memutuskan kabur dari keluarga itu, sedari dulu.


***

Beberapa hari setelahnya...

Libur telah usai, dan hari pertama sekolah di minggu baru terasa membosankan. Ujian Nasional telah kami lewati, hanya tinggal menunggu saat-saat kelulusan. Entah kenapa, aku merindukan masa-masa dimana sekolah ini begitu berisik, penuh teriakan dan semangat dimana-mana. Saat-saat tenang seperti ini, jelas membosankan.

Suasana sekarang ini, diibaratkan bagai para pelaut yang berlayar di laut tenang, meski tahu akan ada badai ganas yang datang. Kira-kira, seperti itu gambaran yang kuyakin tiap murid di sekolah ini rasakan. Semua berawal dari satu desas-desus menarik. Melalui kabar estafet yang diedarkan dari satu kelas ke kelas lain, diketahui bahwa akan digelar event turnamen internal antar angkatan kelas. Turnamen pertama dalam sejarah sekolah ini berdiri, yang digelar untuk merayakan perpisahan Kepala Sekolah yang sekarang. Tentu saja, kabar itu tidak pernah dikonfirmasi secara resmi, karena akan menyalahi aturan pendidikan yang ditetapkan badan pendidikan negeri ini—karena melegalkan kekerasan, apapun bentuknya. Kemungkinan besar, turnamennya sendiri akan diadakan secara sembunyi-sembunyi, diluar jam sekolah.

Sekarang jelas sudah badai apa yang akan datang. Mereka, orang-orang yang berusaha menggoyang tempatku, akan lebih mudah untuk melakukannya. Tidak ada persyaratan harus mengalahkan ketua kelas lain atau menguasai kelas; semua akan beradu secara adil di arena yang sama. Dan aku benar-benar penasaran siapa saja yang akan berniat menggulingkanku.

“Naga,” panggil Melo yang berdiri di ambang pintu, ketika jam awal istirahat pertama.

Aku menyuruhnya masuk ke kelas, dan serta merta dia duduk di kursi di depanku. Melo mengibaskan rambutnya yang panjang ke belakang, lalu memutar kursi sehingga berhadapan denganku.

“We need to talk,” katanya. Melo terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris dan lokal dalam komposisi yang tak beraturan. “I wanna offer you something, it must be menguntungkan buat both of us,” lanjutnya.

Melo adalah sepupuku, tepatnya dia adalah anak dari kakaknya Papa. Cantik, tapi sulit tersenyum. Rambutnya panjang se-pinggul, berwarna cokelat terang. Meski perempuan, tapi aku tidak meragukan kekuatannya; kami sering latihan bersama, dan kurasa dia lawan yang seimbang untukku. Melo lahir dan besar di Brooklyn, Melo sekeluarga pindah ke sini pada tahun kedua junior high school, karena suasana yang tak lagi kondusif. Ayahnya bercerita, bahwa menjalankan bisnis disana semakin sulit; karena selain banyaknya saingan, juga semakin banyak polisi jujur yang tak mempan disuap.

“Kalau ini soal bisnis orangtua kita, saya menolak sekarang—”

“—listen to me first, asshole,” potong Melo. Aku lupa, bahwa selain wajahnya yang selalu serius, perangainya juga buruk. “this one beda banget, aku mau kita form a team.”

Aku mengernyit. “Bentuk tim? Buat apa?”

“Turnamen nanti, aturannya each contestant must form a team, dan satu tim terdiri dari three persons. Aku kira this one is a fucking–individual tournament but, sistem tim ini menarik juga.”

“Oh, boleh juga.” Aku mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Badanku condong mendekat ke Melo. “Ketentuan membentuk tim itu sendiri?”

“Harus angkatan yang sama. ‘Cuz we’re the third grade’s, we’re not allowed to choose a contestant from second or first grade to join in our team. Dan karena kita sepupu, also we often to latihan bersama, then I’m asking you to form a team. How?”

Aku mengurut kening. Rasanya, aku mulai pusing mesti mencerna bahasanya yang campur aduk itu. “Bisa, itu bisa diatur. Melo, bisa ga bicara dalam bahasa yang normal? Sekali saja?”

“Sorry, bad habbit.” Melo mengibaskan sebelah lengannya. “Lalu, untuk anggota terakhir?”

“Nanti aja, waktunya masih panjang. Ah ya, saya mau ke kantin dulu. Mau ikut?”

Melo menggeleng, lalu pamit lebih dulu kembali ke kelasnya. Ketua kelas 3-D itu memang tak suka basa-basi. Setelah urusannya selesai, maka dia tak akan mau berlama-lama di tempat tersebut.

Sepeninggal Melo, aku keluar menuju balkon untuk menghirup udara segar sejenak. Niatan untuk makan di kantin sirna, ketika bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Meski begitu, izinkan aku setidaknya untuk bisa berlama-lama di balkon ini. Lagipula, siapa yang mau melarang? Aku penguasa sekolah ini, bagaimanapun juga.

Entah kenapa, aku langsung melayangkan pandangan ke arah lapangan. Seakan, ada sesuatu disana yang begitu menggelitik naluriku untuk melihat kesana. Aku tersenyum, ternyata naluriku benar. Ada Elang disana, di tengah-tengah lapangan, sedang berdiri dengan tenangnya. Lalu ketika aku melayangkan pandangan setajam pisau, dia seakan merasa; mendongak serta menatap balik padaku.

Lalu, yang membuatku tersentak, ketika dia mengacungkan jari tengah terarah padaku. Kesan pertama, memang emosiku terpancing. Tapi ada sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya, aku menemukan objek menarik untuk diajak bersenang-senang; mengakhiri tahun terakhirku di sekolah ini. Aku pun membalas provokasinya dengan seulas senyum satir.

“Rasanya, dia cocok untuk menandingi kegilaan anak ini. Mungkin anggota ketiga akan di isi San-san.”

Aku memutuskan untuk mengunjungi taman belakang gedung ini. Tempat dimana orang yang akan kutemui selalu menghabiskan waktunya setiap hari sekolah. Tak banyak yang kuketahui dari profil San-san, selain kepribadiannya yang unik dan aneh. Meski begitu, dia adalah ketua kelas 3-E. Yang membuatnya tak hadir di kelasnya adalah, karena penghuni kelasnya sendiri takut padanya.

Dan setelah menuruni anak tangga yang membawaku ke lantai dasar, aku berbelok ke koridor yang menyambung ke belakang gedung. Disana, terdapat satu pohon beringin yang sangat besar, berdiri dengan kokohnya. Dahan-dahan yang besar menjulang ke segala arah, dengan diameter sebesar ban motor, aku kira. Di salah satu dahan, berbaring orang itu—cowok kurus berambut panjang dan berpenampilan eksentrik.

Aku terlalu terpaku pada San-san, sehingga ketika melayangkan pandang ke bawah...

“Jangan dimarahin, plis! Bukan gue yang mulai loh!” kata San-san, berseru.

Empat orang dewasa terkapar berdarah-darah. Beberapa dari mereka merintih kesakitan, sisanya tak sadarkan diri. Aku mengenali mereka, para bodyguard yang disewa oleh Gerry, ketua kelas 3-A. Kenyataan bahwa San-san bisa mengalahkan bodyguard profesional cukup membuat darahku berdesir.

“San-san, saya mau mengajukan—”

“Yap, yap! Gue udah tau! I’m in, siapapun anggota satunya lagi,” potong San-san.

Aku memicingkan mata, bertanya padanya, “Kenapa bisa tau kalau saya....”

San-san, bangkit lalu duduk di dahan pohon. Dia tersenyum riang sambil menggoyangkan kaki sesekali, lalu melompat turun; menggunakan dada salah satu bodyguard yang terkapar sebagai pijakannya.

Sekali lagi, dia tersenyum sambil berjalan ke arahku.

“Gue selalu tau selangkah lebih maju, itu yang bikin gue bisa survive disini. You know, a vision... penglihatan, semacam itu~” katanya, riang. "Kayak iklan motor itu tuh," lanjutnya.






SIDE STORY
Naga - END
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terakhir diubah:
Keduaxxxx

Sial tadi kayanya diatas blm ada org

Banyak tokoh yg akhirnya muncul nih ga sabar buat turnanen
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd