Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SALAH SASARAN - Ipar-Iparku yang Ahhh... Sudahlah (NO SARA!)

Menunggu kabar dari Nira. Semoga segera rilis part yang ditunggu tunggu
Cerita menarik untuk disimak dan ditunggu kelanjutannya
 
Chapters 41



Nira… Nira….!

Apakah malam ini akan terjadi apa yang selama ini ku rencanakan, serta yang juga engkau dambakan untuk merasakan betapa perkasanya kemaluanku, yang juga telah engkau jadikan sebagai bahan untuk bermarturbasi kala itu? Serta merealisasikan mimpimu tersebut yang berulang-ulang engkau singgung di saat kita saling terlibat komunikasi baik melalui chat maupun saling telfonan di waktu-waktu tertentu?

Ahhh, memikirkan itu semua - kodir di bawah sana berontak. Sabar bro, nanti juga bakal ada waktunya untuk ku keluarkan dan menunjukkan betapa engkau sangat di dambakan olehnya, oleh akhwat bercadar kakak iparku itu.

Sing sabar, ya bro! Kalo orang sabar, jalannya akan lurus dan terbuka lebar, kok. Serius. Meski serius sudah bubar.


Singkatnya….

Tak terasa proses interview di awal bersama dua kandidat ASM di waktu yang berbeda, sudah berada di ujung pertemuanku dengan kandidat terakhir ini.

Setelah kandidat kedua itu pulang, aku belum beranjak sejenak dari dudukku. Aku harus melaporkan pada atasanku dulu, biar nanti saat sudah berada di hotel, dan ngarep Nira beneran datang ke hotel tempatku menginap - tak ada yang mengintrupsi proses pengaturan rencana untuk bisa merasakan betapa grip dan grap tubuh kakak iparku itu.

Tak lama aku menelfon atasanku dan memberinya kesimpulan kelebihan dari kedua kandidat tersebut, atasanku sih menyerahkan keputusan padaku, padahal aku bukan RSM. Haha! Ya sudahlah, intinya kalo aku di suruh memilih maka aku akan memilih kandidat yang kedua yang juga terakhir ku interview tadi. Lebih strong dan lebih muda juga.

Ya sudah…. intinya atasanku benar-benar menyerahkan semua keputusan padaku. Tapi tentu saja, aku tak mau mengambil tanggung jawab penuh - apabila di kemudian hari - kandidat yang ku pilih tersebut melakukan sebuah kesalahan, jadi aku tetap saja melempar pada atasanku, minimal dia mempelajari CV yang telah di kirimkan ke email HRD sebelumnya, sebelum benar-benar kami mengambil keputusan tersebut.

Atasanku setuju….

Selesai…

Perbincanganku dengan atasanku itu berakhir di tandai dengan janjinya akan menelfonku besok untuk memberitahukan final keputusannya.

Kalo besok aku sudah mendapatkan keputusan dari atasanku, maka aku akan menghubungi kandidat yang terpilih dan mengajaknya untuk bertemu kembali, sekedar ngobrol dan ngespil jika ia yang terpilih. that’s it. Meski demikian, aku juga gak tahu apakah aku akan punya waktu besok. Karena jangan sampai, Nira menyetujui tawaranku, maka aku tidak akan membiarkan waktuku terbuang sia-sia.




Dengan menggunakan taksi online, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Dan selama perjalananpun, aku menyempatkan mengabari istriku jika pekerjaanku telah tuntas hari ini, dan ingin sesegera mungkin beristirahat. Istriku memahami, dan berjanji besok baru akan menelfonku lagi. Dia mengatakan agar aku segera beristirahat saja, jangan sampai besok aku malah kelelahan. Haha! Padahal mah, dia gak tahu jika suaminya sedang terbakar malam ini.

Singkat cerita lagi…


Sesampainya di kamar, ku rebahkan tubuhku di kasur sambil menontonTV.

Sepertinya sudah lewat waktu dari janjianku dengan Nira. Cuma meski begitu, aku masih yakin kalo rencanaku untuk mengajaknya kemari akan berhasil. Aku yakin itu, seyakin si kodir di bawah sana yang masih menegang maksimal.

Pikiranku melayang-layang tentang apa yang bakal terjadi nanti saat beneran Nira datang ke sini. Aku bahkan tak mampu memikirkan satu rencanapun untuk ku lakukan nanti.

Intinya semesta masih benar-benar memudahkan jalanku saat ini. Memudahkanku untuk bisa menyalurkan birahiku pada sudari-sudari istriku.

Seperti yang biasa ku katakan pada kalian, jika ingin berbuat mesum - kayaknya jalannya lancar-lancar saja tanpa adanya hambatan sama sekali. Entah, apa yang tengah di siapkan oleh sang maha pencipta untukku di kemudian hari, aku hanya bisa pasrah saja. Karena aku tentu tak bakal mundur saat ini.

Aku harus maju dan terus maju sampai Nira, bertekuk di hadapanku.


Tapi, mengapa dia belum datang juga?


Anjir….

Mana sudah jam 10 malam pula. Hadeh…!


Namun….

Sekali lagi namun….

Drrrt….!

Aku terkejut kawan, di saat ponselku bergetar.

Semakin terkejut lagi, di saat aku melihat adanya notifikasi chat WA.

“Di kamar 44, kan… Ar?” aku menatap layar ponselku.

Itu adalah pesan dari...


Nira?


Tanpa pikir panjang ku ketik satu kata “Iya”.

Ku kirimkan balasan dengan hati berdebar kencang. Ku tunggu ketukan dipintu itu dan rasanya lama sekali.

Semenit serasa sejam.

Serasa sesak di dada. Hingga akhirnya suara ketukan yang kunanti terdengar juga. Pelan dan konstan.


Tok…! Tok…!


Ahhhhhhhhhh………

Dadaku rasanya sempit. Celanaku pun kian sempit rasanya, di saat ketukan itu terdengar begitu indah dan penuh gairah tentunya.

Segera saja, tanpa membuang banyak waktu aku menuju ke pintu dan membukanya.





Tanyakan padaku bagaimana ekspresi ini tercipta saat menemukan sesosok akhwat bercadar tengah berdiri di hadapanku? Maka kan ku jawab, nano-nano bro. Ada rasa yang ingin segera menerkamnya, tapi ada juga perasaan untuk tetap tenang dan berjalan apa adanya saja, jangan terkesan jika justru akulah yang ngebet banget.

Intinya. Secara nyata dan harfiah, Nira kini telah hadir di hadapanku, menyerahkan dirinya untuk ku kerjai malam ini.

Kami berdua saling mematung, saling berpandangan.

Sekilas ku lirik ke tangan kanannya, rupanya kakak iparku ini membawa tas. Apakah ia benar-benar tengah berniat untuk menginap di kamar ini?

“Assalamualaikum, Ar” dia memberiku salam, memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa detik lamanya.

Jenak berikutnya, aku membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam. Masuk Nir” begitu balasku padanya.

“Eh I… iya” dia menunduk untuk sesaat. Aku senyum. Senyum yang benar-benar mampu memikat lawan tarung.

Kriek!

Plup!

Pintu tertutup rapat, dan tak lupa ku kunci segera. Well! Sekarang, Nira telah benar-benar berada di kamarku, hanya berdua denganku. Dan tak akan bisa lari lagi. Tapi, aku harus memberinya ruang untuk berfikir sejenak, jadi ku biarkan ia tetap berdiri di dekat pintu kamar, sedangkan aku berjalan ke tengah-tengah kamar, kemudian duduk di tepi ranjang sembari meraih ponselku untuk ku jadikan alasan agar aku tak lagi memerhatikannya. Padahal mah, aku memerhatikan ia dengan menggunakan ekor mataku.

Kejadian ini berlangsung cukup lama. Ada kali 2 sampai 3 menitan. Kami masih sama-sama diam dalam kamar. Nira masih berdiri, masih menatapku, sedangkan aku pura-pura menyibukkan diri dengan ponselku.

Karena tak mau berlarut dalam kesunyian, ku letakkan ponselku, dan mulai memandanginya.

“Loh, kok masih berdiri di situ, Nir?” tanyaku. Padahal mah sejak tadi aku memperhatikan dari ekor mata.

Nira menatapku.

Ku lihat dadanya kembang kempis, itu artinya dia sedang menarik hembuskan nafasnya yang lagi menyiksa rongga pernafasannya itu.

“A… Ar.”

“Hmm…” gumamku.

“Aku boleh numpang nginap di sini?” jiah! Tepok jidat. Tapi, aku tetap bersikap tenang dan mengangguk, serta melempar senyum padanya.

“Silahkan, jika memang kamu sendiri tidak keberatan berada sekamar dengan saya, Nir” balasku.

“Tapi….”

Aku sekali lagi senyum, saat mendengar suaranya serak. “Tenang saja, jika memang kamu menginginkan saya untuk tidak berdekatan denganmu, maka akan saya lakukan, atau perlu saya membuka kamar 1 lagi buatmu?”

“Eh ja… jangan” balasnya. Yes! Sorry Nir, aku juga tak berniat untuk mengambil satu kamar kok. Itu hanya pancingan semata.

Dengan jawaban darinya seperti itu, menambah legalitas padaku untuk bisa bersamanya berdua di kamar ini.

“Ya sudah, kalo gitu. Silahkan…. jangan sungkan ya.” sengaja aku langsung bergeser, berselonjoran di atas ranjang dengan bersandar di ujung.

“Iya Ar” dia pun berjalan, kemudian meletakkan tasnya di samping lemari. Aku sendiri sengaja tak menatap ke arahnya, cuma semua gerakannya tak luput dari perhatianku menggunakan ekor mata ini.


Setelah meletakkan tasnya, dia pun duduk di sofa. Masih dengan kondisi kaku dan penuh kehati-hatian.

Ya sudah, mungkin aku harus mengajaknya mengobrol biar mencairkan kebekuan di antara kami berdua.

“Eh iya….”

Berhasil, perhatian Nira kembali padaku.

“Bang Anton emangnya nginep dimana?” tanyaku, mencoba untuk menyinggung suaminya.

Dan, ia pun menjawab jika suaminya ada acara kantor gitulah, dan ia harus menginap di kesatuan bersama beberapa perwira di kesatuannya. Intinya begitu, jika kalian ingin mendengar cerita detailnya, silahkan kalian tanyakan sendiri ke Nira. Karena aku malas untuk menceritakan ke kalian, kok.

Gak penting juga. Hahaha!

“Udah ngabari dia kalo kamu kesini bertemu dengan saya?”

“Ihh gak lah, gila apa. Masa iya aku ngasih tau ke dia kalo aku nginap bareng kamu.”

Berhasil. Bodoh kamu Nir. Itu hanya pertanyaan pancingan. Artinya, semua aman dan terkendali. Jadi aku juga tak perlu mengabari istriku jika aku kini sedang bersama kakaknya. “Artinya saya juga jangan ngasih tau ke Azita, bukan?”

“Eh I… iya jangan”

Sekali lagi, Yes!

Kalian pasti sudah mulai paham, kemana arah dan maksud pertanyaanku ini, bukan?

Sebagai pancingan, untuk mendapatkan jawaban pasti - apakah Nira benar-benar kesini karena menerima tawaranku atau malah hanya untuk sekedar menumpang. Besar kemungkinan, ia kesini karena keinginan hasratnya yang selama ini ia dambakan.

“Ya udah, kalo memang seperti itu yang kamu inginkan.” gumamku padanya.

Nira menatapku kembali. Tatapannya, bermakna sesuatu yang aku masih belum dapat menebak makna di dalamnya. Apalagi bagaimana bentuk ekspresinya sekarang, karena wajahnya masih bertutupkan niqab. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Karena selanjutnya, Nira malah dengan sendirinya melepaskan niqabnya di hadapanku.

“Eh Nir?”

“Gak apa-apa Ar, gerah.” ujarnya di saat aku, bukan karena sengaja, tapi hanya iseng aja memancingnya seperti itu.

Dan pada akhirnya, wajah itu, wajah cantik nan sendu yang secara sekilas - garis di wajah akhwat ini, tersirat bentuk wajah istriku, Azita - kini, tengah ku tatap dengan senyum yang menawan.

“Kenapa liatin aku kayak gitu, Ar?” begitu tanya Nira, tersipu. Karena wajahnya putih seperti bengkoang, wajahnya jadi keliatan memerah.

Baiklah.

Aku harus sesegera mungkin berlanjut ke tahap yang lebih jauh. Aku beranjak dari ranjang, dan mengambil posisi duduk di sofa satunya lagi. Kebetulan sofa di kamar ini - yang bertype Suite terdapat dua sofa kecil. Satunya Nira, satunya lagi aku duduki - berada di sisi kirinya.

“Jadi… akhirnya kita bisa berduaan kayak gini, Nir” ujarku membuyarkan lamunannya.

Nira lalu terdiam sambil memandang kosong ke depan. Bukan ke arahku. Keheningan kembali tercipta sekian detik.

Aku yakin, kini perasaannya berkecamuk. Saling beradu antara positif dan negatif. Ku biarkan ia sesaat. Aku hanya memperhatikan wajahnya saja dari samping, kulitnya halus dan bibirnya tipis namun merekah indah. Di pergelangan tangannya yang terlihat itu, berhias bulu-bulu halus. Cukup banyak, kontras dengan warna kulitnya yang putih terang. Kalo kata orang, wanita yang memiliki banyak bulu halus, katanya sih nafsuan. Tapi gak tau deh bener, atau enggak, namanya juga mitos.

Rupanya Nira sadar jika aku tengah memperhatikannya.

“Apaan sih Ar, kok ngeliatin aku melulu sih”

“Siapa yang ngeliatin kamu. Ke Ge-eR an deh.” Jawabku ngeles tapi sambil tertawa.

“Iiiihhh...… Dasssaarrrr nyebelin banget sih kamu Ar” kali ini ia berusaha menggapai kakiku, mungkin mau mencubit.

Aku tertawa sambil mencoba berkelit dari serangan cubitannya.

Sepertinya, Nira sudah mulai memilih kemana ia akan melangkah malam ini. Jadi, menurutku, malam ini, akhwat kakak iparku ini bisa kukondisikan.

“Jadi… kita bakal ke alam mimpi nih malam ini, Nir?” pancingku.

“Eh? Haha, bukan mimpi lagi Ar, tapi ini nyata” Nira awalnya tergelak mendengar ucapanku, tangannya menutup mulutnya. Tubuhnya berguncang mengikuti irama tawanya, begitu juga dadanya. Ahhh dadanya besar sekali. Ukurannya sedikit lebih besar dan menggoda dari pada milik kedua adiknya. Kemudian, ia pun membalas ucapanku itu, dengan……… gila, dia juga sadar, kemana arah ucapanku itu. Tepok jidat!

Aku mengulurkan tangan entah tujuannya buat apa. Tanganku kini mengambang di udara, menanti untuk di raih oleh wanita cantik ini.

Dan berhasil….

Ia pun menyambut tanganku.

“Ini ngapain ya?” tanyanya. Suaranya bergetar.

Aku masih menggenggam tangannya, mencoba merasakan permukaan kulit tangannya yang halus dan jemarinya yang lentik. Kemudian ia menarik tangannya, tersadar kalau aku masih menggenggam tangannya. Nira tersenyum malu-malu.

Aku terus memandangi wajahnya sambil tersenyum, aku terbiasa menggoda wanita walau hanya dengan tatapan, Nira tampak malu-malu, pipinya bersemu merah.

Ku tatap matanya dalam-dalam.

“Nir… seriusan, terserah kamu mau menganggapku gombal atau tidak, saya cuma ingin bilang, kamu cantik. Sungguh!” Aku berkata sambil ku raih kembali tangannya, menariknya perlahan, kugenggam.

“Ah kamu….” dia mendesah pelan. Nira melirik ke arahku, tersipu malu, Kemudian menundukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Aku agak ngeri-ngeri juga sih melihat senyumnya yang manis. Takut diabetes.

Telapak tangannya masih dalam genggamanku. Tidak ada penolakan, tidak ditarik juga, masih tetap nyaman dalam posisinya.

Kurasakan jemari tangannya sedikit bergerak, mungkin meredakan suasana hatinya.


Kena kau Asniraku sayang….! Batinku melonjak.


Bersambung Chapter 42
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd