Episode 1. Ritual Sang Raja (Part 2)
"Aduh"
Kepala mereka berbenturan saat Ajeng tiba-tiba berhenti dan berbalik, Tama yang hanya menatap ke bawah tak sengaja menabrak Ajeng sampai kepala mereka berbenturan.
"Maaf Mbak," Tama mengusap usap keningnya.
Ajeng hanya tersenyum lalu mendorong pintu yang ternyata ada di samping gedung Fakultas. Tama langsung meneropong ke dalam, gelap tak ada cahaya yang masuk. Ia segera menyalakan Flash dari ponselnya dan menyenter kedalam.
"Gudang?" tanya Tama saat melihat ruangan itu berisi kursi-kursi kuliah yang sudah rusak.
"Masuk," Kata Ajeng seraya melangkah ke dalam.
"Ke dalam?" Tama mengerutkan dahinya. "Buat apa?" Kaki Tama masih menempel di tempat yang sama.
"Masuk saja, sebelum ada satpam yang lewat,"
Walau agak ragu Tama akhirnya menurut, Ajeng langsung menutup pintu gudang itu saat Tama sudah di dalam. Tama sempat kaget namun Ajeng segera menyalakan flash dari ponselnya lalu menunjuk ke arah pintu yang ada di ujung gudang itu.
Ajeng manatap Tama seolah berkata "Kita akan kesana,"
Tama mengangguk.
"Pintu ini mengarah kemana?" tanya Tama, namun Ajeng hanya diam.
Ajeng lalu mengambil kunci di saku celananya lalu membuka pintu gudang itu.
"Sekretariat teater," jawab Ajeng seraya masuk lalu menyalakan lampu yang nyalanya agak redup.
Tama tampak asing dengan tempat itu, sebuah ruangan berukuran 5x5 meter tanpa ventilasi . Hanya ada lubang udara yang entah mengarah kemana. Ternyata ada pintu lain yang jelas itu mengarah ke ke taman belakang gedung fakultas. Itu adalah pintu utama yang Tama sering lihat. Dindingnya digantungi berbagai macam benda, dari topeng, lukisan, wayang, cermin kecil dan ukiran-ukiran aneh lainnya. Tak ada perabotan apapun seperti meja atau kursi hanya sebuah lemari bercat hitam yang cukup besar yang bertuliskan gudang properti dan sebuah karpet hitam yang menutupi semua lantai ruangan itu.
"Gedung ini sudah berumur lebih dari 30 tahun" kata Ajeng seraya mengambil lilin dan meletakkannya di sekeliling ruangan. Tama hanya mengamati karena masih bingung dengan situasi yang terjadi.
"10 pekerja bangunan menjadi tumbal berdirinya gedung berlantai tiga ini. Lalu setiap tahun selalu ada mahasiswi ditemukan tewas dengan berbagai keanehan di dalam gedung ini. sehingga akhirnya Dekan Pertama fakultas sains mengambil tindakan,"
Ajeng sudah selesai menaruh lilin lilin secara acak di ruangan itu. Ia lalu duduk bersila dan menyuruh Tama untuk melakukan hal yang sama.
"Dekan tak bisa berbuat banyak, ia mencoba berbagai cara namun kejadian buruk selalu terjadi di gedung ini. Sampai akhirnya, ketua teater pertama meminta izin untuk menuntaskan masalah ini. Tak ada yang tahu apa yang dilakukan si ketua teater namun setelah hari itu hal aneh tak pernah terulang lagi."
"Maaf Mbak? Buat apa mbak menceritakan kisah itu ke aku?" tanya Tama.
Ajeng hanya tersenyum.
Ia lalu berdiri dan menyalakan semua lilin di ruangan itu.
"Mbak?" Tama keheranan,
"Mbak sedang apa?"
Ajeng kembali duduk bersila dihadapan Tama.
"Tolong aku sudah lelah," kata Ajeng. "aku sudah menuruti semua perintahmu, lalu aku harus apa lagi, aku tak bisa tersenyum lagi," air mata tiba-tiba menetes di pipi Ajeng.
"Mbak kenapa?" Tama kebingungan, apa sebenarnya yang diucapkan Ajeng.
Ajeng tiba-tiba mengigit jarinya hingga keluar darah.
"Tolong minum ini, tolong," kata Ajeng seraya menyodorkan jari telunjuknya yang berdarah ke dekat mulut Tama. Ajeng yang tadi tampak tenang kini kelihatan panik.
"Mbak kenapa sih?"
"Tolong, minum darah ini," kata Ajeng dengan wajah memelas.
Tama tampak gak tega sehingga ia mengemut jari telunjuk Ajeng.
"Ahhh..... aku gak akan melakukannya," Teriak Ajeng. "Aku gak akan melakukan ucapanmu lagi, bunuh aku saja, bunuh aku setaannn!" suara ajeng tambah membesar.
"Keluar kamu dari sini, jangan ganggu aku lagi, keluarrrrr!"
Tama keget mendengar teriakan Ajeng. Ia lalu bergegas berdiri lalu berlari kelaur dari ruangan itu.
"Gila! dia emang gila" kata Tama tak peduli apa yang terjadi kepada ajeng.