Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Hmmmm awal cerita yg mnarik nih.
Ijin geser patok di mari ya hu
 

Chapter 2. Cintaku Bersemi Di Pesantren 2






"Saya belum sempat menyusun Kitab, itu. Kamu lihat sendiri, saya sibuk." Jawabku berusaha acuh mengabaikan tatapan matanya yang tajam menusuk relung hatiku, tidak bisakah matamu memandangku lembut sehingga keindahannya akan memadamkan bintang bintang di langit.


"Kapan?" Tanya Ning Sarah ketus, mengingatkan ku dengan ke Nyai Aisyah tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka sama, sama sama merasa benar.


"Besok aku berikan ke perpustakaan, Insya Allah." Jawabku cepat berusaha menghindar dari tekanan yang diberikan Ning Sarah, semoga aku bisa menemukan kitab kuning yang hilang entah ke mana.


Ning Sarah menggeser tubuhnya ke samping saat aku berjalan seolah olah akan menabraknya, gertakaanku cukup berhasil membuatku tersenyum merasa menang. Ya, untuk sementara aku bisa mengalahkan gadis angkuh anak Abah Yai Nafi', hanya untuk saat ini.


"Besok ktab itu harus sudah dikembalikan ke perpustakaan." Kata Ning Sarah sebelum beranjak masuk menemui kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama mesra.


"Itu bukan tanggung jawabmu, kenapa harus aku yang mengambil alih semuanya?" Gerutuku dalam hati, aku tidak bisa menolak keinginan Ning Sarah putri tunggal Abah Yai Nafi'dan Ibu Nyai Aisyah.


****************


"Ini kitabnya, Kang?" Tanya Kang Shomad setibanya aku di kamar, dia menunjukkan kitab yang sudah kembali pada tempat aku menaruhnya.


"Bukan, eh Iyya..!" Jawabku tidak bisa menyembunyikan perasaan senang, Kitab kuning yang sempat hilang sudah kembali pada tempatnya.


"Maaf, aku tadi baca baca, kebetulan kitab itu yang sedang aku cari. Tapi kenapa isinya berantakan?" Tanya Kang Shomad.


"Sebenarnya ini bukan milikku, tapi milik Ning Sarah." Lalu aku mulai menceritakan kejadian yang kualami ke Kang Shomad tanpa ada satupun yang dikurangi maupun kutambah sebagai penyedap cerita.


"Oh begitu, memang Ning Sarah sifatnya seperti itu, semua santri sudah hafal. Jangan hawatir, kitab kuning itu sudah aku susun sesuai dengan urutannya." Kata Shomad membuatku menarik nafas lega, semua masalahku sudah teratasi. Barokah dari para Kyai yang menempel padaku.


"Terimakasih Kang." Kataku tulus, wajah ceria Ning Sarah membayang di wajahku saat aku datang memberikan kitab yang tersusun rapi.


Perlahan aku merebahkan tubuh di kasur lantai di samping Kang Shomad yang sudah memejamkan matanya, persiapan untuk melakukan ibadah malam menjelang sholat subuh. Rutinitas yang awalnya terasa berat, kini terasa ringan karena aku sudah terbiasa melakukannya. Mataku terpejam, membiarkan tubuhku beristirahat setelah seharian sibuk menyiapkan jamuan untuk tamu Abah Yai Nafi' yang tidak berhenti datang silih berganti.


"Assalammualaikum..!" Suara lembut membuyarkan lamunanku, kembali suara itu terdengar setelah tidak ada yang menyahuti salamnya.


"Wa 'alaikum sallam." Jawabku terpaksa setelah melihat tidak ada orang di kamarku, ke mana santri lain yang tadi kulihat tidur berdempetan?


Setengah mengantuk aku bangkit berdiri, tubuhku menggeliat untuk mengusir hawa kantuk yang membuat mataku sulit terbuka. Lunglai aku melangkah membuka pintu kamar khusus para santri, siapa yang datang? Samar samar aku berusaha mengingat suaranya yang terasa asing namun sempat membekas di hatiku.


"Mana kitab yang kau buat, berantakan?" Tanya Ning Sarah ketus begitu pintu terbuka, tangannya berkacak pinggang membuat siluet indah pada pinggang yang ramping.


"Eh, sudah selesai..!" Jawabku gugup melihatnya berdiri di hadapanku, senyum yang diharapkan di bibirnya tak kunjung kulihat.


"Mana?" Tanyanya ketus, tidak sabar melihatku hanya berdiri mematung dia mendorong dadaku hingga membuka jalannya masuk ke dalam kamar santri.


"Jangan..!" Cegahku terlambat, dia mengambil kitab yang terletak di lemari pakaianku dan memeriksa urutannya dengan cepat.


"Kamu tahu, kitab apa ini dan fungsinya?" Tanya Ning Sarah menatapku dengan pandangan yang melecehkan, seakan aku anak kemarin sore yang tidak menahu kitab apa yang sedang dipegangnya.


"Kitab At-Taqrib, sedangkan Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku cepat, semuanya sudah aku pelajari selama empat tahun di pesantren ku dulu.


"Siapa pengarangnya?" Tanya Ning Sarah, dia sengaja ingin menonjolkan keunggulan ilmunya melebihi aku.


"Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy, kitab fiqh merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh." Jawabku seperti sedang menghadapi ujian lisan yang sering aku terima dari para guru guruku di pesantren.


"Lalu, apa fungsi kitab Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in.?" Tanya Ning Sarah, dia terus mendesaknya dengan pertanyaan demi pertanyaan yang membuatku jengkel.


"Kan sudah aku jelaskan tadi, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib." Jawabku ketus.


"Kang, bangun sudah jam tiga..!" Seru Shomad mengundang guncang tubuhku dengan keras membuatku terkejut.


"Ning Sarah?" Tanyaku heran karena tidak melihat Ning Sarah, di mana gadis cantik itu dengan segala keangkuhannya?


"Kamu mimpiin Ning Sarah?" Tanya Kang Shomad tertawa geli melihatku celingukan mencari Ning Sarah, hanya ada aku dan Kang Shomad, yang lain entah di mana.


"Iya, iyya. Dia menanyakan kitab Kitab At-Taqrib, Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in." Jawabku malu sudah memberi tahukan mimpiku pada Kang Shomad.


"Ya sudah, hampir semua santri di sini memimpikan Ning Sarah. Termasuk aku, hahahaha..!" Jawab Kang Shomad meninggalkanku dengan segala kebingungan yang belum juga sirna.


Pertama aku melihat dan mengenal Ning Sarah, aku langsung memimpikannya. Entah apa yang terjadi setelah aku semakin mengenalnya, hanya Allah yang tahu kehidupanku yang akan datang di pesantren ini. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Biar semuanya diserahkan kepadaNya dalam sujud shalat malam menjelang subuh.


**********


Setelah membersihkan ruang tamu dan dapur bersama Kang Shomad, aku kembali ke kamar tempatku tinggal bersama santri lain. Kitab kuning yang berhasil disusun oleh Kang Shomad masih tergeletak di atas lemari pakaianku, nanti saja aku kembalikan ke perpustakaan. Aku ingin beristirahat sejenak setelah tenagaku terkuras hari ini, jadi saatnya memejamkan mata sejenak. Nanti sore aku akan mengembalikan kitab kuning yang bukan menjadi tanggung jawabku, seharusnya ini tanggung jawab Ning Sarah bukannya malah melemparkan tanggung jawabnya padaku.


Kembali wajah Ning Sarah membayang jelas di mataku, merampas kantuk yang sempat hinggap di mataku. Entah apa yang kualami dan kurasakan, terlalu dini kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku bukan lagi remaja tanggung yang mudah jatuh cinta. Sudah jam satu siang, niatku tidur siang sirna.


"Kang Udin, kita ke gardu yuk..!" Ajak Kanng Shomad membuyarkan lamunanku.


"Aku mau istirahat, Kang." Tak kuhiraukan bujukan Kang Shomad duduk di atas gardu dekat pohon sawo sambil menikmati camilan dan gorengan sisa jamuan para kyai tadi.


Ponsel mirip batu bata berdenting membuyarkan lamunanku, inilah satu satunya ponsel yang bisa diterima di tempat ini. Ponsel pintar atau smartphone dengan segala macam kecanggihannya dilarang digunakan oleh para santri dan santriwati, menurut Abah Yai Nafi'ponsel pintar akan menyita perhatian kami dari ibadah dan memperdalam ilmu agama.. Dengan malas
kupencetl tomboltengah, lalu kutempelkan di telinga kanan.


“Assalamuaikum,” ucapku dengan suara kubuat mengantuk, nomer yang menelponnya tidak tercantum di kontak hp.


“Wa-wa’alaikumsalam.” Suara lembut dan tegas seorang gadis di seberang membuat mataku langsung terbuka dan mendadak terang seperti lampu Philips seratus watt. Siapa yang menelponnya, sepertinya aku belum pernah mengenal suaranya.


“Kang Baharuddin?.” aku berusaha mengingat suara wanita yang sedang menelpon, gagal.


“I-iya. I-ini siapa?" Hatiku berdebar-debar kencang, belum pernah ada wanita yang terang terangan meneleponku. Sejak lulus SMP, aku hidup di lingkungan pesantren dan wanita yang aku kenal adalah para santriwati yang pemalu, tidak mungkin mereka meneleponku.


“Latifah.” jawab wanita itu, sepertinya aku belum pernah mengenal wanita bernama Latifah.


Tapi suara itu mirip suara Bu Nyai Aisyah, apa mungkin dia? Aku langsung terduduk bersandar di tembok dan mengembuskan napas pelan mengumpulkan kesadaranku yang masih belum sepenuhnya terkumpul.


“Latifa, siapa?”" tanyaku heran, mungkin aku lupa pernah mengenal dan memberinya nomer hpku, siapa wanita yang tidak tertarik pada cowok seganteng aku? Pikirku ge-er dan berusaha mengingat siapa wanita yang pernah memujiku ganteng, setelah berpikir keras ternyata tidak ada satupun wanita yang pernah memujiku ganteng.


“Kamu ditunggu Ning Sarah di perpustakaan, jangan lupa kitabnya kamu bawa.,” jawabnya menutup percakapan di telepon.


Deg, ternyata gadis bernama Latifah adalah suruhan Ning Sarah untuk mengingatkanku dengan kitab yang seharusnya sudah kukembalikan. Aku mengambil kitab, menatapnya ragu. Mengembalikan kitab ini artinya urusanku dengan Ning Sarah akan berakhir, kitab ini seperti media yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah. Aku tidak rela hubungan ini berakhir begitu saja tanpa sebuah kesan, walau kesan yang kudapatkan dari Ning Sarah adalah wanita arogan yang mau menang sendiri tanpa peduli dengan perasaan orang lain.


Nanti dulu, masih ada media lain yang menghubungkan ku dengan Ning Sarah, dia tahu nomer hpku. Entah bagaimana caranya dia mendapatkan nomer hpku dan menyuruh Latifah menghubungiku, polanya sudah tergambar jelas dan mudah ditebak. Yup, kitab ini sudah tidak kubutuhkan lagi, justru kitab ini akan membuat hubunganku dengan Ning Sarah akan menjadi lebih erat jika kitab ini kukembalikan padanya.


Dengan semangat 45 aku berjalan cepat ke gedung perpustakaan, langkahku ringan sehingga mengabaikan teguran Kang Shomad yang sedang asik ngopi di gardu bersama beberapa orang santri lainnya.


"Kang Udin,...!" Teriak beberapa orang santri yang menemani Kang Shomad berbarengan memanggil namaku, teriakan mereka menyadarkan ku dari hayalan indah yang sempat melambung tinggi. Pantas Fosil melarang orang panjang angan-angan karena akan membuat kita mabuk dan mengabaikan keadaan sekeliling kita.


"Eh Iyya, Kang. Ada apa?" Tanyaku berusaha menutupi kecanggungan ku.


"Tadi Latifah nyari kamu, kamu disuruh ke gedung perpustakaan bawa kita." Jawab Kang Shomad, sepertinya dia tidak melihat kitab yang kupeluk erat.


"Iyya Kang, ini saya mau nganterin kitab ke gedung perpustakaan." Jawabku memamerkan kitab yang ada dalam pelukanku. Tanpa berpamitan, aku meninggalkan gardu ronda yang kalau siang berubah jadi tempat nongkrong para santri, sedangkan malam akan kami gunakan meronda.


"Assalammualaikum..!" Aku langsung masuk ke dalam gedung perpustakaan, seluruh buku koleksi perpustakaan sebagian besar adalah sumbangan para dermawan.


"Wa alaikum Sallam...!" Jawab Ning Sarah yang sedang duduk di depan meja tamu, tanpa mengangkat wajahnya sedang asik membaca buku besar berisi catatan.


"Ini kitabnya, sudah aku susun berdasarkan urutannya." Kataku jengkel, dia sama sekali mengabaikan kedatangan ku tanpa merasa bersalah. Aku adalah korban dari keangkuhan dan sifat egoisnya.


"Kamu?" Tanyanya mengangkat wajah, tatapan matanya masih tetap tajam seperti kemarin.


"Iyyyya..!" Jawabku ketus, bidadari ini hatinya terbuat dari apa sehingga tidak menunjukkan rasa bersalah.


"Kupikir Kang Shomad yang sudah menyusun kitab ini, karena kulihat kemarin Kang Shomad membaca kitab ini di gardu." Jawab Ning Sarah, bibirnya yang tipis mencibir mengejekku.


"Eh,,,,,, tugasku sudah selesai." Jawabku malu, ternyata Ning Sarah sudah tahu siapa Kang Shomad yang sudah menyusun susunan kitab pada tempatnya.

"Nanti dulu, ada tugas lain sebagai hukuman karena kamu tidak melaksanakan tugas dariku." Kata Ning Sarah menghentikan langkahku di ambang pintu, sontak aku berbalik menatapnya jengkel.


"Salahku, apa!" Seruku, kesabaranmu nyaris habis oleh sikap semena mena Ning Sarah. Aku ingin sedikit pujian karena sudah melakukan apa yang diinginkannya, hanya sedikit apa itu salah?


"Hmmm, sepertinya kamu belum bisa mengendalikan dirimu. Seharusnya kamu belajar kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali." Jawab Ning Sarah menohok ulu hatiku, selama ini aku hanya tahu dan mendengarkan para Kyai membacakan kitab Bidayatul Hidayah, tapi aku belum pernah membacanya langsung dari kitabnya.


"Maaf Ning, tugas apa lagi yang harus aku lakukan?" Tanyaku mulai melunak, aku harus lebih bersabar menghadapi tingkah laku gadis ini, seperti yang dilakukan oleh semua santri dan santriwati di tempat ini. Dalam tradisi pesantren tradisional, kepatuhan pada Kyai dan anak keturunannya adalah mutlak dan dianggap sebagai ngalap barokah. Lagi pula, berdekatan dengan Ning Sarah juga menjadi harapanku, kenapa aku malah jengkel karena perintahnya yang sedikit menyinggung harga diriku sebagai anak tuan tanah di desaku.


"Ya sudah kamu kembali, nanti aku SMS tugas apa yang harus kamu kerjakan." Kata Ning Sarah membuatku bingung, ternyata dugaanku tepat. Ning Sarah punya nomer hpku, tanpa sadar aku tersenyum senang.


***********


"Kang, malam ini giliran kita ronda." Kata Kang Zuber mengingatkanku yang sedang rebahan di kasur lantai tepat di samping Kang Shomad yang sudah terlelap.


"Iya, Kang." Jawabku beranjak duduk, jam dinding sudah menunjukkan pukul 22:00.


"Yuk, kita ke gardu sebelah utara.!" Ajak Kang Zuber, ada lima gardu di pondok pesantren kami. Setiap gardu dijaga oleh empat orang santri, dan gardu ke lima berada tepat di tengah tengah berfungsi sebagai markas komando.


"Kok gardu Utara?" Tanyaku heran, seharusnya Kang Zuber mengisi gardu tengah sebagai pemimpin ronda malam ini.


"Sudah jangan banyak tanya, aku sudah minta Kang Amar menggantikannya." Jawab Kang Zuber.


"Iyyyya Kang, saya ikut aja." Jawabku, tidak peduli aku akan menempati pos yang mana.


Hpku, tanganku meraba celana pendek yang tertutup kain sarung yang kupakai. Aku menarik nafas lega, sekaligus kecewa karena tidak ada SMS dari Ning Sarah yang akan memberiku tugas lanjutan. Aku terlalu banyak berharap, bisa saja Ning Sarah hanya membuat sebuah lelucon untuk mempermainkan hatiku.


"Kita di gardu Utara hanya berdua," kata Kang Zuber membuyarkan lamunanku.


"Bukannya berempat, Kang?" Tanyaku heran.


"Berdua, aku mau mengajakmu ngintip. Eh, tapi ini rahasia kalau kamu berani bicara ke orang lain, kamu akan merasakan bogem mentah ku." Kata Kang Zuber penuh ancaman, tangannya terkepal memamerkan tinjunya yang besar dan sudah sangat terlatih.


"Ngintip siapa, Kang?" Tanyaku antusias, masalah intip mengintip adalah hobiku di pesantren yang lama, sehingga aku dianggap sebagai santri paling nakal.


"Janji, kamu akan merahasiakan ini?" Tanya Kang Zuber dengan tangan masih terkepal penuh ancaman.


"Aku sudah biasa ngintip santriwati di pesantren ku yang lama, jadi Kang Zuber tidak perlu khawatir." Jawabku sambil meraba kantong celana saat merasakan getaran samar di hpku, aku mengambil hp untuk melihat siapa yang SMS atau mungkin juga telpon. Aku menatap kecewa, tidak ada SMS apalagi telpon. Ning Sarah hanya sedang mempermainkan perasaanku saja.


"Kita ngintip Gus Nur." Jawab Kang Zuber membuatku heran, untuk apa mengintip lelaki yang sama sama punya pedang, jangan jangan Kang Zuber punya kelainan? Pikiran itu membuat tubuhku merinding ngeri, bagaiman kalau sampai aku diperkosa Kang Zuber?


"Gus Nur pengantin baru, lagi hot hotnya. Apa lagi istrinya Ning Ishma kecantikannya tidak kalah oleh Ning Sarah." Kata Kang Zuber menjelaskan tujuannya membuatku menarik nafas lega, dia ternyata normal seperti aku.


"Kang, apa nggak kualat kita ngintip Gus Nur?" Tanyaku ngeri, Gus Nur adalah salah satu Kyai di pondok pesantren.


"Sssttt..!" Kang Zuber menaruh jari telunjuknya di bibir memberiku isyarat untuk diam, rumah Gus Nur hanya beberapa meter di hadapan kami. Di belakang rumahnya ada gardu utara, akhirnya aku mengerti kenapa Kang Zuber ingin menempati gardu Utara hanya berdua denganku.


Perlahan aku mengikuti Kang Zuber mendekati salah satu jendela, sepertinya itu jendela kamar Gus Nur dan Ning Ishma. Aku baru dua Minggu tinggal di sini, jadi aku tidak begitu mengenal Gus maupun Ning Ishma. Tapi dari gelar keduanya sudah bisa dipastikan mereka adalah keturunan Kyai menurut tradisi NU.


“Sampean lama amat, aku sudah menunggu dari tadi. Sebel aku...!" Gerutu manja seorang wanita bersuara merdu terdengar jelas dari balik dinding kayu jati, suaranya saja mampu membuatku menahan nafas. Suara wanita adalah bagian syahwat yang mampu membangkitkan birahi setiap orang yang mendengarnya.


"Iyya, Ning. Aku dari masjid seperti biasa." Jawab Gus Nur gugup.


“Jenengan dari masjid, Gus? Kita pengantin baru, ada kewajiban lain yang harus jenengan lakukan bukan hanya mengejar amalan Sunnah." Kata Ning Ishma jengkel, sayang aku hanya bisa mendengar percakapan mereka tanpa bisa melihat mereka.


Aku menatap Kang Zuber yang menempelkan telinganya di dinding kayu jati tebal, padahal suara mereka terdengar jelas tanpa perlu menempelkan telinga seperti yang dilakukannya. Kupikir Kang Zuber akan mencari celah mengintip, ternyata yang dilakukannya hanya menguping. Membosankan, kalau hanya ini yang dilakukannya.


Aku menggerakkan tubuhku, mengusir nyamuk yang berebutan menjamah tubuhku. Kang Zuber sama sekali tidak terganggu dengan serangan nyamuk, dia fokus mendengar suara di balik dinding sambil membayangkan adegan demi adegan mesum yang sebentar lagi akan terjadi.


“Iya sayang, maafkan aku. Ayo kita mulai...!" Seru Gus Nur, suaranya terdengar gugup dan dipaksakan. Berbeda dengan nada suara Ning Ishma yang lepas, mengutarakan semua yang dipikirkannya, tanpa beban. Dua pribadi yang bertolak belakang.


Kulihat Kang Zuber yang gelisah, tangannya meraba selangkangannya. Sekuat tenaga aku menahan tawa melihat kelakuan Kang Zuber yang menurutku lucu. Padahal dia tidak bisa melihat adegan yang sedang terjadi di dalam kamar.


“Iya cepetan.” jawab Ning Ishma ketus, perlahan aku mulai merasakan keasyikan tersendiri mendengar percakapan Gus Nur dan Ning Ishma, imajinasi ku berusaha merangkai adegan yang sedang terjadi, sama seperti aku mendengar sandiwara di radio.


"Buka bajunya, Ning..!" Seru Gus Nur gugup, padahal yang dihadapinya adalah istrinya.


"Kenapa aku dulu yang baru buka baju?" Tanya Ning Ishma, membuatku menahan tawa geli. Ke dua pasangan suami istri wmasih terlalu hijau, belum pernah terkontaminasi oleh film filmporno yang diam diam sering aku tonton dengan teman teman santrinya di cirebon. Kami menontonnya di salah satu rumah penduduk yang memungut bayaran per santri 5.000 untuk setiap keping DVD yang kami tonton.


“Eh, jadi gimana Ning?" Tanya Gus Nur terdengar lucu, dan aku merasa terhibur dengan percakapan mereka yang kaku. Padahal mereka sudah menikah hampir satu bulan, tapi kecanggungan mereka masih belum mencair.


"Bukain bajuku, Sayang...!" Tajuk Ning Ishma dengan kemanjaan yang menurutku dibuat buat.


"Iya, Ning...!" Jawab Gus Nur, lalu hening. Mataku terpejam membayangkan tangan gemetar Gus membuka helai demi helai pakaian istrinya, nafasku memburu membayangkan aku yang sedang melakukannya, membelai kulitnya yang halus.


"Kok nggak ada suaranya?" Bisik Kang Zuber menepuk pundaknya, membuyarkan konsentrasi ku saja.


Aku hanya mengangguk pelan, suara sekecil apapun bisa terdengar oleh mereka yang ada di dalam kamar. Apakah Kang Zuber tidak tahu itu?


"Sudah, Ning." Suara Gus Nur membuat kami kembali berkonsentrasi, Kang Zuber semakin menempelkan telinganya agar tidak ada suara yang terlewat olehnya.


""Gussss, masa harus terus diajarin kalau adik sudah telanjang seperti ini?" Tanya Ning Ishma jengkel, kenapa harus dia yang memegang kendali.


"Iyyyya...!" Seru Gus Nur panjang.


"Apanya yang, Iyya?" Tanya Ning Ishma setelah beberapa saat terdiam dan sepertinya tidak ada yang terjadi di dalam sana.


"Iya, Aku cium pipi kamu ya?" Tanya Gus Nur hampir membuatku tertawa terbahak bahak, kenapa harus meminta ijin pada istrinya sendiri.


"Cium aja, kenapa harus pipi? Kenapa bukan, bibir?" Tanya Ning Ishma ketus.


"Kalau begitu, aku cium bibir kamu ya?" Kembali Gus Nur bertanya hal yang tidak perlu ditanyakan olehnya, kelakuannya seperti remaja tanggung yang baru pertama kali berdekatan dengan seorang wanita.


Tiba tiba aku dikejutkan dengan suara dering hp tanda SMS masuk, suaranya yang nyaring memecahkan keheningan malam.


"Siapa itu?" Tegur Gus Nur membuatku dan Kang Zuber yang sedang menguping sangat terkejut, refleks kami berlari meninggalkan rumah Gus Nur sebelum dia mengetahui siapa yang sedang menguping. Kami berlari sejauh yang kami bisa, mencari tempat teraman.


Sialnya aku yang ketakutan dan belum begitu mengenal daerah ini, mengambil jalan yang salah. Aku terpisah dari Kang Zuber yang berlari mendahuluiku.


Bersambung.....
 
Terima kasih buat para suhu yang sudah berkenan mampir dan tidak bisa ane sebut satu satu, namanya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd