Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 15




"Assalammualaikum...!" Nyai Aisyah tiba tiba sudah berdiri di sebelahku yang sedang serius menimba air di sumur, wajahnya terlihat ketus.

Untuk beberapa saat lidahku menjadi kelu sehingga tidak menjawab salamnya, mataku menatap Nyai Aisyah yang berdiri tegak menatapku dengan tajam. Kehadirannya begitu tiba-tiba, membuatku tidak tahu harus melakukan apa.

"Wa wa'alaikum salam, Nyai..!" Jawabku setelah berhasil mengendalikan diri, Aku menunduk tidak berani menatap wajahnya. Nyai Aisyah pasti akan menggunakan kamar mandi untuk buang air kecil atau besar, tidak mungkin dia datang untuk mandi. Aku sama sekali tidak berburuk sangka, terlalu lancang kalau harus menduga duga hal yang tidak masuk akal.

"Apa yang sudah kamu lakukan ke Ning Sarah, Din?" Pertanyaan Nyai Aisyah membuatku sangat terkejut, kenapa dia tiba-tiba menuduhku melakukan sesuatu ke Ning Sarah. Apakah dia sudah tahu hubungan ku dengan Ning Sarah, atau Ning Sarah sudah menceritakan syarat yang diajukannya kepadaku untuk menghafal kitab ?

"Ma maksud, Nyai?" Aku berusaha menenangkan diri, celaka kalau sampai Nyai Aisyah menyuruhku idatang menghadap Mbah Yai Nafi dengan hafalan kita Nazham Imrithi saat ini juga saat aku belum berhasil menghafal satu baitpun. Satu satunya cara adalah, mengulur waktu sampai aku berhasil menghafalnya.

"Jangan pura-pura tidak mengerti, entah apa yang sudah kamu lakukan ke anakku sampai dia menolak Abdul Shomad sebagai calon suaminya." Ternyata aku salah menafsirkan kedatangan Nyai Aisyah, dia datang dengan kemarahan karena menganggapku sudah merusak rencananya untuk menjodohkan Ning Sarah dengan Kang Shomad. Aku terlalu ge-er, menduga Nyai Aisyah mendukung keputusan Ning Sarah dengan syarat aku hafal kitab Nazham Imrithi.

"Saya bersumpah, tidak pernah melakukan apapun. Kalau Ning Sarah menolak Kang Shomad, itu bukan salah saya. Lagi pula tidak ada larangan seorang wanita menolak dijodohkan dengan pria yang tidak disukainya, dan itu dijamin oleh syari'at." Entah dari mana keberanianku sehingga berani mendebat Nyai Aisyah, mungkin keberanian itu timbul karena rasa kecewa dari angan angan ku yang sempat melambung tinggi.

"Jangan kurang ajar kamu, berani menasihatiku!" Bentak Nyai Aisyah semakin murka, herannya aku tidak merasa takut dengan kemarahannya. Sudah sangat jelas, Nyai Aisyah tidak merestui hubunganku dengan Ning Sarah sehingga dia datang untuk mengingatkanku untuk tidak mendekati Ning Sarah.

"Maaf, Nyai..!" Aku pura pura menarik timba yang sejak tadi sudah terisi penuh oleh air dari dalam sumur, suara katrol yang mulai berkarat terasa lebih merdu dibandingkan suara kemarahan Nyai Aisyah yang meledak-ledak.

"Hei, aku sedang bicara denganmu..!" Seru Nyai Aisyah merasa aku abaikan, aku hanya meliriknya sesaat dan menumpahkan air dari dalam ember ke dalam bak mandi.

"Enggeh, Nyai." Jawabku sambil meletakkan ember pada tempatnya sehingga aku tidak kesulitan saat akan memakainya.

"Aku tahu, kalian satu pondok di Cirebon. Kau mungkin tidak melakukannya di sini, bisa saja kau sudah berbuat tidak pantas di Cirebon." Tuduhan Nyai Aisyah semakin membabi buta, bahkan dia mulai menuduh anak gadis semata wayangnya serendah itu. Tidak sadarkah dia, dengan menuduhku secara tidak langsung dia sudah merendahkan anaknya sendiri. Ah, wanita lebih menggunakan perasaannya dari pada pikirannya.

"Saya bersumpah, tidak ada kejadian apa-apa di antara kami." Jawabku berusaha membela diri, setidaknya itu aku lakukan untuk menyelamatkan Ning Sarah dari tuduhan membabi-buta Nyai Aisyah ibu kandungnya sendiri.

"Aku tidak percaya, awas saja kalau aku tahu apa yang sudah kamu lakukan." Nyai Aisyah meninggalkanku tanpa mengucapkan salam. Aku menarik nafas lega, terbebas dari Nyai Aisyah dan tuduhannya untuk sementara waktu. Aku yakin, urusan ini tidak akan selesai hanya sampai di sini saja.

Memikirkan kejadian tadi hampir membuatku lupa dengan tugasku, mengisi bak dalam kamar mandi Kenapa juga aku harus memikirkan Nyai Aisyah dengan tuduhannya yang membabi buta, kalau dia menganggap perasaan Ning Sarah kepadaku salah kenapa dia tidak menyalahkan Allah yang sudah menumbuhkan perasaan cinta di hati Ning Sarah kepadaku? Tanpa kusadari, bak mandi sudah terisi penuh. Aku harus segera ke masjid menunggu waktu shalat Maghrib, ba'da isya aku diajak Gus Nur yang akan mengisi ceramah di desa tetangga.

************

"Din, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Gus Nur setibanya kami dari pengajian di kampung tetangga, menghentikan langkahku yang akan keluar ruang tamu menuju kamarku di dapur. Aku berbalik, menunggu apa yang akan dikatakan Gus Nur kepadaku.

"Enggeh Gus, apa yang bisa saya bantu?" Jawabku penuh takjim, menunduk tanpa berani menatap wajahnya. Ada perasaan bersalah yang terus mengusik hatiku, walau aku juga harus mengakui mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari situasi ini.

"Benarkah kamu, mencintai Ning Sarah?" Pertanyaan Gus Nur membuatku semakin menundukkan wajah, masih pantaskah aku bersanding dengan Ning Sarah setelah perbuatanku dengan Ning Ishma dan Zaenab? Wanita baik baik hanya akan bersanding dengan pria baik baik, dan aku pria tukang zina hanya akan bersanding dengan wanita tukang zina.

"Saya tidak berani, Gus..!" Jawabku dengan suara bergetar, seharusnya Gus Nur mengerti hal ini.

"Aku hanya bertanya, apakah kamu mencintai Ning Sarah? Hanya itu, kamu tidak perlu takut mengakuinya. Aku tidak akan semurka Nyai Aisyah, buktinya aku tidak marah saat kamu berzina dengan Ning Ishma." Jawab Gus Nur, membuatku seperti kehilangan tenaga untuk tetap berdiri tegak di hadapannya.

"Gus, kenapa harus menyinggung masalah kami? Bukankah kamu bisa mengusir kami sekarang juga atas perbuatan kami, kamu berhak menegakkan hukum di sini." Jawab Ning Ishma yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku di sisi Gus Nur. Wajahnya menahan marah dan aku sempat melihat matanya berkaca-kaca, jelas perkataan Gus Nur sudah menyinggung perasaan Ning Ishma.

"Ning, bukan begitu maksudku." Jawab Gus Nur, dia duduk bersila di lantai. Wajahnya menunduk, harga dirinya hancur dalam sekejap akibat perkataan Ning Ishma.

"Sudah jelas maksudmu seperti itu, sudah waktunya kamu memutuskan untuk menceraikan ku sehingga kita tidak perlu terus menerus menumpuk dosa." Ning Ishma semakin memojokkan Gus dengan semua perkataannya yang tajam seakan menelanjangi Gus Nur tanpa memberinya kesempatan membela diri.

"Hal itu sudah sering kita bahas, tidak ada lagi yang perlu kita bahas " jawab Gus Nur bangkit dari duduknya, tanpa menoleh ke arahku maupun Ning Ishma, Gus Nur keluar meninggalkan kami berdua yang menatap kepergiannya.

"Aku harus mengikuti, Gus Nur..!" Gumamku pelan, teringat dengan perkataan Gus Nur kemarin membuatku merasa was-was.

"Tidak perlu, biarkan dia merenungi semua perbuatannya." Cegah Ning Ishma, dia memegang tanganku mencegahku mengikuti Gus Nur.

"Tidak bisa Ning, aku takut akan terjadi sesuatu." Jawabku tegas, kusingkirkan tangan Ning Ishma dari pergelangan tanganku. Aku harus mencegah Gus Nur melakukan tindakan bodoh yang dilaknat oleh Allah sebelum terlambat, menyelamatkan Gus Nur sama artinya menutupi aib diriku sendiri dan juga Ning Ishma.

"Apa maksudmu, Din?" Tanya Ning Ishma, dia mempererat pegangannya. "Kenapa kamu diam, Din? Apa yang sebenarnya akan terjadi, sepertinya kamu mengetahui sesuatu?" Ning Ishma menggoyang goyang tanganku, akhirnya aku menyerah.

Dengan terbata bata aku menceritakan percakapanku dengan Gus Nur, tentang kemungkinan Gus Nur melakukan tindakan bodoh yang dilaknat. Membayangkan saja sudah membuatku ketakutan, apa lagi kalau sampai hal itu terjadi. Rasa bersalah akan terus menerus membayangi seumur hidupku.

"Astaghfirullah, cepat ikuti Gus Nur, cegah dia melakukan hal bodoh itu..!" Seru Ning Ishma lebih panik daripada aku, dia mendorongku dengan kasar ke luar rumah. Kami sedang berpacu dengan waktu, kejadian paling buruk akan terjadi kalau sampai aku terlambat mencegahnya.

Tanpa mengucapkan salam, aku berjalan cepat mengejar Gus Nur yang sudah tidak terlihat. Tujuanku satu, ke masjid tempat yang selalu didatangi Gus Nur untuk berdzikir mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Ternyata aku tidak menemukan Gus Nur di Masjid, hal ini membuatku semakin panik. Ke mana lagi aku harus mencari Gus Nur, setelah setiap bagian area masjid aku periksa? Ya Allah, semoga hal bodoh itu tidak terjadi karena justru akan membuka aib Gus Nur dan juga kedua orangtuanya.

"Kamu mencariku, Din?" Suara Gus Nur diiringi tepukan lembut di pundakku, nyaris membuatku lari ketakutan melihat sosok Gus Nur yang sudah berdiri di sampingku. Secepat itukah Gus Nur menjadi hantu, sehingga aku tidak menyadari kehadirannya padahal tidak ada tempat yang tidak kuperiksa. Bahkan hingga dalam bedugpun aku periksa.

Aku menatap kakinya, berharap kaki itu masih menginjak bumi yang menandakan dia benar Gus Nur, bukan sebangsa jin yang datang menyerupai manusia. Atau yang lebih buruk dari pada itu.

"Hei, aku manusia..!" Seru Gus Nur, tertawa geli melihat tingkah ku.

"Ma maaf, Gus .!" Aku menarik nafas lega, kekhawatiran ku tidak terbukti sedikitpun.

"Kamu takut aku melakukan hal yang dilaknat, itu?" Tanya Gus Nur bisa menebak jalan pikiranku dengan tepat, senyumnya yang terluka tersungging di bibirnya.

"Maaf, Pak Yai..!" Aku menunduk malu telah berpikir buruk tentangnya, Gus Nur tidak akan melakukan perbuatan bodoh itu.

"Kita bicara di gardu Utara, tempat itu lebih nyaman." Ajak Gus Nur, sejak aku jadi santri dalam Gus Nur, gardu Utara tidak lagi di jadikan tempat meronda para santri.

"Enngeh, Pak Yai." Jawabku berjalan mengikuti Gus Nur yang sudah berjalan lebih dahulu. Suasana malam yang hening semakin hening, suara binatang malam yang biasanya riuh kali ini tidak terdengar. Mereka seperti ikut bersedih dengan nasib yang dialami Gus Nur, mereka seperti sedang mendoakan Gus Nur untuk selalu tabah menghadapi cobaan..

"Duduk, Din..!" Suara Gus Nur membuatku sadar dari lamunanku, ternyata kami sudah sampai di gardu Utara.

"Enggeh, Pak Yai." Jawabku dengan kalimat yang selalu kuulang ulang, aku duduk agak jauh dari Gus Nur.

Duduk berdua di tempat ini, membuatku gelisah. Rasa bersalah sudah mengkhianati Gus Nur, semakin menusuk hatiku. Entah hukuman apa yang bisa mengurangi rasa bersalah aku, setidaknya aku berhak menerimanya.

"Kita bertiga memang salah, tidak seharusnya ini terjadi. Entah kapan semuanya akan berakhir, seharusnya aku berani mengambil keputusan yang paling menyakitkan." Gumam Gus Nur, setelah beberapa saat tidak ada yang bersuara.

"Enggeh..!" Jawabku menunduk memperhatikan kakiku yang bergerak gelisah, semuanya sudah terjadi dan harus diakhiri secepat mungkin sebelum skandal ini tercium oleh orang lain. Serapat rapatnya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga.

"Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?" Gus Nur menatapku, tangannya terulur menawari rokok kretek kesukaannya. Aku menatap ragu ke arah rokok yang dipegang Gus Nur, namun akhirnya aku menerimanya setelah Gus Nur tetap memaksa menawariku.

"Saya nggak tahu, Gus. !" Jawabku disertai hembusan asap rokok yang kuhisap, asapnya langsung sirna dihantam angin malam yang semakin dingin.

"Untuk sementara, aku akan mengijinkanmu menyetubuhi istriku hingga...!" Gus Nur termenung, dia tidak melanjutkan perkataannya. Matanya menerawang berusaha menembus kegelapan malam, seperti itulah masa depan manusia, gelap dan tidak bisa diterka.

"Maksudnya, pak Yai?" Tanyaku dengan suara bergetar, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Gus Nur sehingga dia bicara seperti itu.

"Kamu boleh menggauli Ning Ishma hingga dia hamil, atau hingga aku bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami." Jawab Gus Nur terdengar lirih, nyaris aku tidak mendengar apa yang dikatakannya.

"Gus, Akku...!" Kalimatku menggantung, sebenarnya ini anugerah atau justru nista?

"Aku memberi mu ijin, Din. Sambil berharap aku bisa sembuh secepatnya dan bisa menunaikan kewajibanku, atau setidaknya aku berharap Ning Ishma bisa hamil walau bukan dari benihku." Jawab Gus Nur, dia menatapku penuh harap melakukan apa yang dimintanya, walau untuk itu dia harus menahan rasa sakit yang sulit dilukiskan oleh kata kata.

"Gus, seharusnya kita menyudahi ini semua." Jawabku, berusahami memahami rasa sakit yang sedang dirasakan oleh Gus Nur.

"Lakukan apa yang aku punya , Din. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuat Ning Ishma bahagia, hanya itu caranya. Aku berjanji apa bila kamu melakukan apa yang kupinta, aku akan berusaha untuk menjadikan Ning Sarah sebagai istrimu." Gus Nur memandangku, tawaran yang diajukannya membuat harapanku memiliki Ning Sarah kembali melambung tinggi.

"Benarkah itu, Gus?" Tanyaku penuh harap, dan aku percaya Gus Nur bisa membantuku untuk memiliki Ning Sarah.

"Aku janji, dan kamu juga harus berjanji untuk terus menggauli Ning Ishma hingga hamil." Gus Nur mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Aku menyambut uluran tangannya dengan bersuka cita.

"Aku akan ke masjid, kamu nggak perlu ngikutin aku." Gus Nur mengucapkan salam dan meninggalkanku sendiri di gardu Utara, aku melepas kepergiannya dengan harapan Gus Nur bisa membuat mimpiku memiliki Ning Sarah menjadi nyata.

"Ternyata itu kelakuan kalian, sungguh memuakkan..!" Sebuah suara yang datang dari belakang membuatku menoleh, detak jantungku serasa berhenti begitu mengetahui siapa yang baru saja berkata padaku.

"Ning Sarah?" Gumamku pelan, bumi yang aku pijak serasa runtuh.

"Aku akan melaporkan perbuatan kalian ke Abah, kalian harus diusir dari tempat ini." Gumam Ning Sarah, dia tidak bisa menahan air matanya lebih lama. Tanpa bisa dicegah, butiran air mata sudah membasahi wajahnya yang halus.

"Ning, dengarkan dulu penjelasanku!" Itulah kalimat terakhir yang masih bisa kuucapkan, diakhiri sebuah tamparan di wajahku. Ning Sarah meninggalkanku, mematung tanpa bisa menggerakkan tubuh.

Bersambung
 
Woiiiiow..kebayang ndak gimana prasaan udin. Pertama-tama sudah melayang tinggi ke langit karena ning sarah menolak perjodohan, kemudian seperti dibanting kedalam jurang saat ning sarah tau skandal udin dengan ning ishma..
Apa ning sarah akan lepas dan menerima perjodohan?
Smoga smua masalah udin selesai dengan indah, masih ada zaenab yang ikut nunggu udin..

Makasih superupdatenya master satria
:ampun: :ampun::ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd