Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 16


"Mau ke mana, kamu?" Tegur Ning Ishma melihatku berkemas memasukkan semua pakaaianku ke dalam ransel besar dan juga perlengkapan lainnya, hanya kitab yang kumasukkan di tas yang berbeda agar tidak rusak.

Aku tidak mengacuhkan kehadiran Ning Ishma, hatiku terlalu sakit bukan akibat tamparan Ning Sarah. Tapi, dia sudah menyingkirkan hatiku darinya. Salah satu sebab aku memilih pesantren ini adalah kehadiran Ning Sarah, ketika dia sudah tidak menginginkan aku di sini, tidak ada lagi alasan untuk tetap bertahan di sini.

"Din, kenapa kamu diam?" Ning Ishma memegang pundakku, aku menoleh dengan rasa pilu.

"Aku harus pergi dari sini, Ning." Jawabku pelan tanpa berani memandang wajahnya, rasa takut membuatku lupa bahwa Ning Ishma dan Gus Nur juga terlibat dalam masalah ini. Tapi, bukankah mereka yang menyebabkan aku kehilangan wanita yang aku cintai ? Tidak mungkin Ning Sarah menyampakkan aku kalau saja Ning Ishma tidak memaksaku melakukan zina.

Masa bodoh dengan kedua orang itu, mereka yang sudah menjerumuskan aku sehingga harus kehilangan wanita yang sangat aku cintai. Biarlah mereka menanggung semua perbuatan mereka yang sudah menjerumuskan aku, dalam hal ini aku hanyalah korban. Biarlah mereka mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan mereka padaku.

"Ada masalah apa, tiba-tiba kamu akan pergi tanpa memberitahu kami sebelumnya ?" Ning Ishma duduk di atas ranjang kayu, tepat di hadapanku. Aku berusaha mengacuhkan kehadirannya, atau aku akan kembali terjerat oleh pesonanya yang tidak bisa aku abaikan begitu saja. Cukup sudah kebodohan yang aku lakukan, aku tidak mau terjerumus di lobang yang sama. Perlahan aku menarik nafas, kuhembuskan perlahan melalu mulutku

"Kenapa kamu diam, katakan apa yang sebenarnya terjadi..!" Seru Ning Ishma dengan nada suara meninggi, dia berjongkok di hadapanku dan memandang wajahku berusaha membaca ekspresi wajahku.

Aku tidak bereaksi, terus asik mempermainkan tas ranselku yang sudah penuh sehingga tidak ada lagi yang bisa kumasukkan ke dalamnya.

"Salahku apa Din, hingga kamu mau pergi dari sini?" Tanya Ning Ishma lirih membuatku tidak bisa terus menerus mengabaikannya, aku menatap wajahnya dan tiba-tiba hatiku berdesir aneh. Tidak, aku tidak boleh tunduk pada pesonanya lagi.

"Aku takut, Mbah Yai Nafi murka dan mengusirku dari sini. Aku nggak mau sampai Mbah Yai Nafi mengucapkan kalimat yang tidak baik karena tidak bisa menahan kemarahannya, ilmu yang sudah susah payah aku pelajari akan menjadi tidak bermanfaat." Jawabku berusaha keras untuk tidak terpengaruh oleh perasaanku. Aku kembali mengalihkan perhatian ke tas yang tidak mungkin lagi kuisi, setidaknya aku bisa menghindari wajah Ning Ishma, kecantikannya bisa meruntuhkan hatiku padahal sudah jelas dia yang membuatku seperti ini.

Aku mulai berpikir hal lain yang bisa mengobatiku dari rasa sakit kehilangan Ning Sarah dan juga dari pesona Ning Ishma yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Sekarang aku menghadapi masalah yang lebih besar, kemarahan dan murkanya Mbah Yai Nafi, entah hukuman apa yang akan aku terima darinya.

Perlahan aku mulai bisa mengabaikan rasa patah hatiku kehilangan Ning Sarah, ada ketakutan lebih besar menghadapi murka Mbah Yai Nafi. Ada sebuah sugesti yang kuyakin murka Mbah Yai Nafi' akan membuat ilmu yang dipelajari akan kehilangan manfaatnya, cita cita luhur ke dua orang tuaku akan hancur karena murkanya Mbah Yai. Rasa takut itu semakin membesar, jalan yang akan kulalui terasa gelap.

"Lihat wajahku, katakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga kamu ketakutan seperti itu?" Bentak Ning Ishma membuatku terkejut, reflek aku melihat wajahnya yang bersemu merah menahan marah.

Di mana senyum manisnya selama ini, apakah sudah hilang karena bisa memperdaya aku hingga aku terjerumus dalam lembah nista? Masa depanku telah dipertaruhkan untuk kenikmatan sesaat, sekarang semuanya akan berakhir. Satu kalimat dari Mbah Yai Nafi', akan mengakhiri cita cita mulia ke dua orang tuaku yang ingin mempunyai anak seorang ulama.

"Ning, aku tidak berani menghadapi kemarahan Mbah Yai Nafi." Akhirnya aku menjawab pertanyaannya dengan terpaksa, untuk beberapa saat aku menatap wajahnya yang sebentar lagi tidak akan pernah aku lihat. Biar bagaimanapun, wanita ini yang sudah mengambil keperjakaanku dan juga sudah menghancurkan mimpi terindahku untuk bersanding dengan Ning Sarah.

"Maksudmu apa, Din?" Tanya Ning Ishma cepat, dia mulai gelisah dan menerka apa yang sudah terjadi padaku sehingga ketakutan seperti sekarang. Matanya berusaha menembus manik manik mataku, karena mata tidak akan pernah bisa berdusta.

"Ning Sarah, Ning..!" Aku menatap Ning Ishma dengan berani, aku semakin yakin dengan keputusanku untuk pergi meninggalkan tempat ini sebelum ucapan jelek terlontar dari mulut Mbah Yai.

Tapi sebelum pergi kenapa aku tidak menikmati jepitan memek Ning Ishma untuk terakhir kalinya sebagai salam perpisahan, nafsuku langsung bangkit membayangkan persetubuhannya panas sebelum pergi meninggalkan pondok. Dengus nafasku mulai tidak beraturan, aroma tubuh Ning Ishma yang harum semakin membakar nafsu sexku.

"Ceritakan, apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apakah ini menyangkut hubungan kita?" Tanya Ning Ishma, dia mulai terpengaruh oleh tingkah lakuku.

"Ning..!" Secepat kilat aku melumat bibir Ning Ishma yang berada tepat di depanku, tidak dipedulikan penolakan Ning Ishma yang berusaha menghindar dari ciumanku yang bernafsu. Sementara tanganku meremas payudaranya dengan kasar, aku sudah berubah menjadi monster yang siap memperkosa Ning Ishma dengan cara paling brutal. Hingga akhirnya sebuah gigitan mendarat di bibirku, memaksaku menghentikan aksi brutalku.

"Aduhhh..!" Aku menjerit kecil, bibirku terasa perih.

"Din, kamu belum menjawab pertanyaan ku!" Protes Ning Ishma menjilati darahku di bibirnya, ternyata wanita cantik yang terlihat lembut mempunyai gigi yang cukup runcing.

Aku tersenyum sinis terhadap pertanyaan Ning Ishma, wanita ini tidak sadar dengan apa yang sudah dilakukannya padaku. Rasa nyeri di bibirku tidak sebanding dengan rasa sakit kehilangan cinta yang selama ini diperjuangkan dengan susah payah, cinta yang lepas tanpa bisa diselamatkan.

"Kamu tidak tahu, betapa sakitnya hatiku." Jawabku menahan perih, darah yang menetes di bibirku tidak bisa menggantikan rasa perih yang menikam jantungku.

Aku kembali berusaha memeluk Ning Ishma yang berusaha menghindar, namun kamar yang kutempati sangat sempit sehingga Ning Ishma jatuh terduduk di tepi ranjang.

"Din, apa apaan kamu..!" Seru Ning Ishma berusaha mendorong tubuhku, namun tenaganya justru berbalik sehingga membuatnya terjengkang ke belakang menimpa kasur kapuk yang sudah keras karena usia dan tidak pernah terkena hangatnya matahari.

Aku segera menindih Ning Ishma yang tergolek tak berdaya, kembali aku menciumi bibir Ning Ishma dengan bernafsu. Rontaan dan dorongan Ning Ishma tidak mampu menggoyahkan tubuhku yang semakin menindih tubuhnya, aku seperti kerasukan setan mencumbu paksa bibirnya yang sensual. Kembali Ning Ishma menggigit luka di bibirku membuatku menjerit menahan sakit dan terpaksa melepaskan ciumanku, sebagian darahku menetes mengenai pipi Ning Ishma.

"Din.... Istighfar..!" Seru Ning Ishma dengan nafas tersengal sengal setelah berhasil lolos dari ciumanku, dia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

"Istighfar ? Aneh, kan kamu sendiri yang mengajariku ngentot. Sekarang saat aku menginginkannya, kenapa kamu malah menyuruhku istighfar?" Tanyaku sambil memegang bibirku yang terluka, lukanya ternyata lebih dalam dari yang aku sangka.

"Kamu yang sekarang, sangat jauh berbeda..! Kamu seperti sedang kerasukan jin, ini bukan diriku!" Seru Ning Ishma mendorongku dengan keras, kali ini dia berhasil melakukannya.

"Katakan Din, apa yang sebenarnya terjadi sehingga kamu menjadi seperti ini?" Ning Ishma duduk di sampingku, mengusap darah yang menodai wajahnya yang halus.

Aku hanya memandangnya sambil berusaha menghentikan pendarahan di bibirku, rasa sakit mulai mengalihkan kemarahanku.

"Din, darahmu banyak sekali..!" Seru Ning Ishma lirih, melihatku berusaha menghentikan pendarahan di bibirku. Wajahnya berubah menjadi panik, tanpa pikir panjang melepaskan jilbab yang dikenakannya untuk menutupi luka di bibirku.

"Ning..!" Aku terpaku, membiarkan Ning Ishma melap darah dari lukaku dengan jilbab putihnya.

"Pegang ini, aku akan ambil obat untuk mengobati lukamu !" Ning Ishma meraih tanganku untuk memegang jilbab yang dijadikan lap untuk lukaku, dengan tergesa-gesa Ning Ishma meninggalkanku di kamar yang memandang kepergiannya dengan perasaan terpukul.

Aku sudah hampir memperkosanya, kenapa dia masih tetap berbaik hati kepadaku? Terbuat apa hatinya sehingga tidak berusaha membalas perbuatanku. Dia benar wanita berhati mulia, kenapa aku justru memperlakukannya dengan cara yang sangat tidak pantas.

"Cepat, aku obati lukamu !" Seru Ning Ishma membuyarkan lamunanku, dengan sigap dia meneteskan obat luka pada bibirku.

"Ning, maafkan aku..!" Seruku lirih, penuh rasa bersalah mendapatkan perlakuan Ning Ishma.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Din?" Ning Ishma menatapku lembut, setelah dia mengobati lukaku dengan telaten.

"Ning Sarah sudah mengetahui semuanya, dia akan melaporkan hal ini ke Mbah Yai Nafi'." Jawabku lirih, aku menatap mata Ning Ishma berusaha mencari perlindungan dari matanya yang teduh.

"Aku sudah tahu, Ning Sarah sudah menceritakan semuanya lewat WA dan aku tidak menyangkalnya." Jawab Ning Ishma tersenyum, dia terlihat tenang.

"Dan, dan kenapa kamu tidak takut?" Tanyaku heran, padahal aku sudah panik setengah mati dengan hukuman yang akan kuterima dari Mbah Yai Nafi'.

"Ning Sarah berjanji tidak akan menceritakan hal ini ke Mbah Yai Nafi karena dilarang oleh Nyai Aisyah, aku sendiri tidak tahu apa alasan Nyai Aisyah melarang Ning Ishma menceritakan hal ini ke Mbah Yai Nafi'." Jawaban Ning Ishma nyaris tidak dapat kupercaya, rasanya sangat tidak masuk akal. Apa karena Ning Sarah sangat mencintai aku, tapi bukankah dia melakukannya karena permintaan Nyai Aisyah?

"Bagaimana bisa itu terjadi Ning, sangat tidak masuk akal." Gumamku lirih, entah aku harus berbahagia atau tidak dengan kabar yang aku terima.

Ya, Ning Sarah akan pergi ke Mesir dengan beasiswa yang hampir ditolaknya karena berharap kamu akan datang melamarnya dengan hafalan kitab Nazham Imrithi." Jawab Ning Ishma membuatku nyaris berhenti bernafas, ternyata Ning Sarah sangat berharap aku datang melamarnya dengan hafalan kitab Nazham Imrithi. Kenapa dia tidak mengatakannya terus terang, bukan hanya memberi isyarat yang tidak aku mengerti.

"Ning Sarah akan pergi ke Mesir, Ning?" Tanyaku pelan, semuanya sudah terlambat.

"Iya, dia akan melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar." Jawab Ning Ishma, dia menatapku lembut.


**********​



Bagian Satu : Cintaku Bersemi di Pesantren Selesai,

Bersambung ke

Bagian Dua : Cinta Yang Pergi dan Cinta Yang Datang

Di bagian dua, ane akan merubah gaya penulisan dari orang pertama menjadi orang ke tiga.

**********"""
 
Yah ning sarah pergi...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd