Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Kalau rutin tiap hari update dengan 2000 kata sih , lebih pilih update tiap hari .
2000 X 7 hari = 14000 kata , sedangkan update seminggu sekali cuma 10000 kata.
 
Chapter 8 : Zaenab


Niatku mengikuti sosok bayangan hitam itu terhenti, sinar lampu sempat menerangi wajahnya yang tampan dan sangat aku kenal, tidak salah lagi, itu Gus Nur. Tubuhku seperti kehilangan tenaga, tamatlah riwayat ku sekarang dan tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sini selain secepatnya meninggalkan tempat ini. Gus Nur tidak langsung menangkap basah perbuatan ku mungkin karena ada Mbah Yai Maimun dan Ibu Nyai Fathimah, untuk sementara aku aman.

Setelah situasi memungkinkan, aku berjalan pelan mengendap endap meninggalkan tempat persembunyian ku. Untung situasi sangat sepi, semua santri dan santriwati sedang berkumpul mengikuti tausiyah para Yai dengan khusuk, mengharapkan barokah dari bulan yang dimuliakan Allah, pada bulan ini Rasulullah Saw dilahirkan, tepatnya pada tahun gajah ketika bala tentara Raja Abrahah dengan pasukan gajah berniat menghancurkan Ka'bah.

Sampai kamar, ternyata tidak ada orang. Semuanya masih berkumpul di tempat maulidan membaca barzanji dan berbagai macam sair yang menganggukkan nabi Muhammad Saw.

Mataku terpejam, membayangkan sosok yang sepertinya mengintip perbuatan ku dengan Ning Ishma, aku sangat yakin dia adalah Gus Nur, mataku masih awas sehingga aku masih bisa mengenalinya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus secepatnya pergi dari tempat ini sebelum masalah nya semakin membesar atau? Ah, pikiranku menjadi buntu, mungkin saat ini aku mengalami kejadian seperti yang dialami Nabi Adam ketika terusir dari Surga karena bujuk rayunya Iblis.

"Kok kamu malah di sini, Din?" Tanya Kang Shomad yang masuk tanpa mengucapkan salam, dia menatapku heran.

"Iya Kang, aku pengen istirahat." Jawabku pelan, aku tidak berani memandang wajah Kang Shomad. Walau Kang Shomad baru satu tahun di sini, tapi menurut cerita yang aku dengar Kang Shomad sudah mondok di 4 Pesantren besar yang berada di Jawa Timur dan Jawa tengah sehingga keilmuannya sudah tinggi, dia mempunyai gelar al-Hafizsl dan Al-'alim. Keberadaannya di sini bukan sebagai santri biasa, dia dimintai Abah Yai Nafi'untuk ikut mengajar di pondok pesantren ini, hanya karena kerendahan hatinya dia memilih untuk tinggal dengan para santri lainnya dan tidak mau dipanggil dengan sebutan Yai walau dia sudah berhak menyandang gelar itu.

"Aku juga lelah, kamu pasti lebih lelah dari aku, sejak kemarin kamu sudah sibuk mengurus semuanya." Kang Shomad merebahkan tubuhnya di sampingku, aroma minyak wangi tercium lembut olehku dan sedikit membuatku lebih tenang.

"Kang..!" Aku duduk bersila menghadap Kang Shomad.

"Iya, ada apa?" Tanya Kang Shomad, dia ikut bersila menghadap ke arahku. Kerendahan hatinya membuatnya memperlakukan aku sebagai rekan bukan sebagai murid dan guru, itu yang membuat rasa hormatku semakin tinggi.

"Saya ingin pindah mondok, apa Kang Shomad bisa merekomendasikan sebuah pondok pesantren untuk saya mempelajari Kitab Alfiyah?" Tanyaku berhati hati agar Kang Shomad tidak curiga dan mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan yang memojokkan. Aku menunduk yakini, menunggu jawabannya.

"Kamu ini aneh, baru beberapa bulan di sini sudah mau pindah mondok, aku selalu menghabiskan waktu empat tahun untuk setiap pesantren. Untuk bisa belajar kitab Alfiyah kamu harus mempelajari ilmu nahwu dan Sharaf, terutama kamu harus hafal kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi. Baru kamu melangkah ke Kitab Alfiyah yang isinya seribu bait. Apa kamu sudah hafal kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi ?* Tanya Kang Shomad tersenyum, sabar, begitu sabar dan telaten menjawab setiap pertanyaanku.

"Saya baru hafal kitab Jurumiyah dan Milhatul I’rab saja, Kang." Jawabku malu mengajukan pertanyaan yang belum seharusnya aku tanyakan, aku baru mulai mondok saat berusaia 16 tahun, selulus SMP.

"Nah kamu masih perlu menghafal kitab Nazham Imrithi dulu sebelum menghafal Kitab Alfiyah. Lagi pula kamu bisa mempelajari semuanya di sini." Jawa Kang Shomad, dia kembali merebahkan tubuhnya di kasur lantai yang masih baru, aku membelinya saat datang ke sini.

"Iya, Kang." Jawabku tidak berani mendesak Kang Shomad, dia akan curiga kalau aku terus mendesaknya.

"Kang, berapa lama Kang Shomad menghafal kitab Alfiyah?" Tanyaku sambil merebahkan tubuhku di samping Kang Shomad.

"Tiga tahun, mungkin karena aku kurang cerdas." Jawab Kang Shomad dengan mata terpejam.

"Tiga tahun, lama ya Kang." Tiga tahun, itu bukan waktu sebentar. Berarti untuk menghafal kitab Alfiyah aku perlu waktu empat tahun dari sekarang.

"Tidur Din,kita akan bangun pada sepertiga malam." Jawab Kang Shomad, dia menepuk kasur lantai tepat di sampingnya.

"Kenapa Kang Shomad masih nyantri, padahal menurut Gus Nur kang Shomad sudah dapat gelar Al 'alim dan juga Al hafidz, itu artinya Kang Shomad sudah hafal Al-Qur'an dan juga hafal Rubu'ul Qur'an." Tanyaku takjub, seperti inilah sosok 'alim yang selalu merasa kurang dengan pengetahuan yang diperolehnya, samudra ilmu begitu luas, semakin kita mengetahui akan semakin kita lemah di hadapannya.

"Ketika aku bertemu dengan Mbah Yai Nafi', beliau mengajakku untuk mengamalkan ilmu di pesantren ini. Permintaan yang terasa berat aku terima karena merasa ilmu yang kuperoleh masih jauh dari kata cukup, akupun merasa berat untuk menolaknya karena Allah mewajibkan kita untuk menyampaikan apa yang kita ketahui walaupun hanya satu ayat. Pada akhirnya aku memutuskan untuk datang ke tempat ini untuk ngalap berkah dari Mbah Nafi' dan juga mempelajari dan menghafal Kitab Sahih Bukhari Muslim dan syukur-syukur aku bisa menghafal Kitab Kutubussita dari Hadratusy Sheikh K.H Nafi' Assalam." Jawab Kang Shomad, matanya terpejam dengan bibir tersenyum samar.

************

"Kang Udin, sampeyan dipanggil Gus Nur..!" Seru seorang santri yang belum aku kenal namanya, usianya lebih muda dariku.

"Gus Nur..!" Tamatlah riwayatku, tidak ada lagi yang akan bisa menolongku sekarang.

Aku menoleh ke arah santri yang baru saja mengabarkan berita paling menakutkan, ternyata santri itu sudah menghilang seperti malaikat yang datang membawa kabar buruk lalu pergi begitu saja. Nama Gus Nur berubah seperti nama malaikat Izrail atau Malaikat Munkar dan Banking yang akan menyiksaku atas semua kesalahan yang sudah aku lakukan.

Pergi, aku harus pergi saat ini juga tanpa menemui Gus Nur, mana mungkin aku berani menghadapinya setelah dia tahu apa yang kulakukan dengan istrinya Ning Ishma. Itu sama saja bunuh diri, seperti ular yang datang untuk dipukul oleh sebatang tongkat.

"Din...!" Suara lembut yang sangat aku kenal, kulihat Ning Sarah berjalan cepat diikuti Latifah. Suara lembut yang biasanya mampu membuat hatiku berdesir indah, kini sama sekali tidak mampu membuat hatiku berbunga-bunga seperti biasanya.

"Ada apa, Ning?" Tanyaku sambil lalu, bahkan kehadirannya tidak mampu membuat rasa takutku berkurang. Bahkan rasa bersalah semakin menghujam kesadaranku, bukan hanya Gus Nur yang sudah kukhianati tapi juga Ning Sarah. Aku menunduk gelisah, kehadirannya seperti akan menghakimi semua kesalahanku.

"Zaenab..!" Ning Sarah tidak meneruskan perkataannya, dia berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal seperti habis melakukan perjalanan jauh yang melelahkan.

"Kenapa, Zaenab?" Tanyaku heran, untuk beberapa saat rasa bersalah teralihkan.

"Dia kabur..!" Latifah meneruskan perkataan Ning Sarah yang terhenti.

"Kabur?" Aku menatap Latifah yang gelisah, raut wajahnya terlihat was-was dan khawatir dengan nasib sahabat karibnya.

"Iya, dia meninggalkan surat, ini." Jawab Ning Sarah memberikan sepucuk surat padaku, aku ragu menerimanya. Terlalu lancang untuk mengetahui sesuatu yang bukan menjadi urusanku. Ning seperti memaksaku untuk membacanya, dengan berat hati aku menerimanya.

"Kapan?" Aku segera membaca surat dari Zaenab.

To Latifah sahabatku.

Fah, aku terpaksa harus pergi dari pondok ini secepatnya sebelum kedua orang tuaku datang menjemput. Bukannya aku anak yang tidak berbakti apa lagi durhaka, aku hanya tidak mau dinikahkan dengan seorang pria yang lebih pantas jadi ayahku apa lagi harus menjadi istri ke tiga. Membayangkannya saja aku tidak sanggup, apa lagi harus menjalaninya.

Aku tahu, ayahku terpaksa melakukannya karena terbelit hutang yang tidak sedikit, dan untuk melunasi semua hutang tersebut hanyalah aku harapan satu-satunya, pria tua yang berprofesi sebagai lintah darat itu menginginkan aku sebagai pembayar semua hutang ayahku dengan cara menjadikan aku sebagai istri ketiganya.

Sampaikan permintaan maaf ku kepada Mbah Yai Nafi', Ibu Nyai Aisyah dan juga Ning Sarah serta kepada semua para Yai dan Nyai di pondok ini dan kepada semua orang terkhusus kamu sahabatku.

TTD : Zaenab.

"Tolong Din, cari Zaenab." Untuk pertama kali Ning Sarah meminta tolong, aku menatapnya takjub. Rasa setia kawan berhasil mengorbankan egonya, dia datang merendahkan diri meminta pertolongan ku. Kepada sahabatnya saja dia begitu setia, apa lagi kepada suaminya suatu saat kelak.

"Cari kemana, Ning?" Aku buta daerah ini, aku juga baru mengenal Zaenab beberapa Minggu yang lalu." Jawabku, permintaan Ning Sarah terlalu mustahil aku lakukan. Seharusnya dia meminta pertolongan santri lain yang sudah lama tinggal di sini, bukan santri baru seperti aku.

"Aku akan menemanimu mencari Zaenab, Din." Latifah mengajukan dirinya, dia satu satunya orang yang paling akrab dengan Zaenab dan bisa menduga ke mana tujuan Zaenab.

"Ya, Latifah akan menemanimu mencari Zaenab." Ning Sarah mengiyakan perkataan Latifah, dia menatapku dengan penuh harap.

"Apa para santri dan santriwati lain akan ikut mencari, Zaenab?" Tanyaku, semakin banyak yang ikut mencari akan semakin baik.

"Tidak, ini rahasia kita." Jawab Ning Sarah membuatku heran, kenapa harus merahasiakan dari santri lain padahal tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk ikut mencari Zaenab.

"Kenapa?" Aku memandang Ning Sarah, wajahnya terlihat sangat hawatir dengan nasib Zaenab.

"Karena ini bisa menjadi aib, kewajiban kita menutup aib saudara kita." Jawab Ning Sarah, dia mengambil hp di kantongnya. Sesaat aku tergoda untuk memperhatikan hp yang dipegang Ning Sarah, sebuah smartphone canggih keluaran terbaru. Bukankah di pesantren ini tidak boleh ada smartphone, mungkin hal itu tidak berlaku untuk Ning Sarah.

"Lalu, ke mana aku harus mencarinya?" Tanyaku bingung, entah apa yang harus kulakukan tanpa bantuan orang lain dalam situasi seperti ini.

"Latifah yang akan menemanimu atau lebih tepatnya kamu yang menemani Latifah untuk mencari Zaenab, sekaligus menjaga Latifah untuk menghindari hal yang tidak diinginkan." Jawab Ning Sarah segera memasukkan smartphone nya ke dalam saku setelah menyadari arah pandangan mataku yang menatap iri, kenapa aku tidak boleh memiliki smartphone canggih padahal orang tuaku tidak akan keberatan aku memilikinya.

"Baiklah, tapi aku harus menemui Gus Nur dulu." Gus Nur, nama itu kembali membuatku ketakutan. Seharusnya aku menggunakan kesempatan ini untuk kabur, tapi kepatuhan sebagai santri membuatku tidak bisa pergi begitu saja tanpa berpamitan, su'ul adab namanya.

"Tidak bisa, kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum Zaenab semakin jauh. Aku yang akan menemui Gus Nur, mengatakannya." Kata Ning Sarah, tegas tak bisa dibantah.

"Bukankah membuka aib saudara kita dilarang, Ning?" Aku mengingatkan Ning Sarah, itu yang baru saja dikatakan padaku.

"Aku tidak akan mengatakan hal sebenarnya, Kang." Jawab Ning Sarah, wajahnya terlihat mulai jengkel melihatku seperti sedang mengulur waktu.

"Baiklah, tunggu sebentar aku mau ganti baju." Tanpa menunggu persetujuan, aku berlari kecil masuk ke dalam kamar, semua santri sedang mengikuti pelajaran mengaji kitab.

"Aku tunggu di pertigaan, di bawah pohon randu." Kata Latifa sebelum aku mencapai pintu kamar.

Setelah aku berganti baju dan membawa beberapa baju serta sarung entah kenapa aku masih sempat berpikir untuk melarikan diri dari Pesantren. Mungkin ini kesempatanku pergi, lari jauh dari masalah yang lebih mengerikan. Aku sengaja tidak membawa semua pakaianku karena akan menimbulkan kecurigaan, dengan berlari kecil aku menuju ke pertigaan pohon randu. Waktu sangat berharga, aku tidak boleh membuang-buang waktu lebih lama lagi sebelum Gus Nur kembali menyuruh orang memanggilku. Zaenab hanyalah alasan buatku.

"Ke mana kita sekarang, Fah?" Tanyaku, dengan nafas tersengal dengan. Sama seperti aku, Latifah membawa tas cukup besar, entah apa isinya itu bukan urusanku.

"Aku juga, nggak tahu kita akan ke mana." Jawaban Latifah membuatku heran, seharusnya dia sudah tahu akan mencari Zaenab ke mana. Tapi biarlah, menemukan Zaenab atau tidak bukanlah tujuan utamaku

"Lalu, kita harus apa sekarang, Fah?" aku melihat ke arah pesantren dengan perasaan was-was, semoga tidak ada santri dan santriwati yang melihat kami.

"Zaenab pernah cerita dia punya seorang sahabat karib waktu SMP, tinggal di daerah dekat stadion xxx. Mungkin kita bisa mencarinya, ke sana." Jawab Latifah ragu, setidaknya itu lebih baik dari pada kamu tidak punya tujuan harus ke mana mencari Zaenab.

"Baiklah kita coba ke sana, kita naik angkutan umum." Jawabku berjalan mendahului Latifah, aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini.

"Kita jalan saja lewat jalan kampung soalnya semalam Zaenab pinjam uang ke aku, dia tidak menyebutkan untuk apa " Latifah menolak keinginan ku menyetop angkutan umum,dia berjalan ke arah sebaliknya dan setahuku itu menuju ke perkampungan penduduk yang cukup rapat.

"Kamu kasih, berapa?" Tanyaku menyusul Latifah, aku tidak mungkin meninggalkannya sekarang. Harus menunggu saat yang tepat, sehingga dia tidak merasa curiga.

"Aku nggak punya uang, jadi nggak aku kasih ." Jawab Latifah dengan perasaan bersalah, walau sebenarnya dia tidak bersalah atas kejadian ini

"Terus, apa hubungannya?" Tanyaku unymeyakinkan dugaanku.

"Aku yakin, Zaenab jalan kaki ke rumah sahabatnya itu karena tidak punya uang." Jawaban Latifah sesuai dengan dugaanku.

"Siapa tahu Zaenab punya uang untuk ongkos, dia pinjam uang cuma untuk berjaga jaga." Kataku.

"Setahuku Zaenab tidak pernah punya uang, selama dia jadi santriwati abdi dalem semua kebutuhannya ditanggung Mbah Yai Nafi', kecuali uang." Jawab Latifah yakin.

Akhirnya aku menyuruh Latifah berjalan di depanku, dia akan menjadi penunjuk jalan mana yang akan kami ambil. Kami berjalan melintasi pematang sawah kering menunggu air yang tak kunjung datang, musim kemarau ini cukup panjang sehingga air sungai yang biasanya melimpah kini menyusut jauh di bawah normal. Para petani terpaksa berhenti bercocok tanam untuk sementara waktu, menunggu musim hujan yang akan membuat tanah mereka menjadi gembira dan dialiri air untuk kembali menanam padi.

"Kenapa kita tidak melewati perkampungan penduduk ?" Tanyaku heran, dari tadi Latifah seperti menghindari perkampungan.

"Ini jalan terdekat untuk ke jalan raya kabupaten, lewat perkampungan penduduk jalannya lebih jauh." Jawab Latifah, aku mengangguk heran. Latifah sangat hafal dengan daerah ini.

"Kok, kamu bisa tahu?" Tanyaku heran, jangan sampai kami salah jalan

"Aku sudah dua kali lewat jalan ini dengan Zaenab, tidak mungkin kita nyasar." Jawab Latifah yakin.

Sudahlah, aku tidak peduli kalau kami nyasar. Yang penting aku bisa pergi jauh dari pesantren, menghindari masalah yang lebih besar lagi.

"Aku capek, kita istirahat dulu." Tanpa menunggu persetujuanku, Latifah duduk di bawah pohon randu yang sebagian buahnya pecah dan kapuk bertebaran di sekelilingnya. Rasanya aneh, tidak ada yang memunguti kapas yang berserakan di tanah.

"Iya, kita istirahat dulu." Jawabku sambil mengambil sebatang rokok kretek kegemaranku dan menyalakannya, aku duduk di sebelah Latifah yang sedang mengeluarkan botol mineral dari dalam tas yang dibawanya. Tanpa menoleh ke arahku, Latifah meminum air hingga tersisa separuh, aku hanya bisa menelan air liur membasahi tenggorokanku yang kering.

"Minum..!" Latifah menawarkan air dari botol air mineral yang dibawanya, aku segera mengambilnya dengan bersuka cita, rasa haus begitu menyiksa kerongkonganku.

"Terima kasih, nggak apa apa aku minum?" Tanyaku ragu saat bibir botol menyentuh bibirku.

"Darurat, dari pada kamu mati kehausan dan menambah rasa bersalahku." Jawab Latifah berusaha melucu walau aku tidak merasa itu sesuatu yang lucu, tapi lumayan bisa mencairkan suasana yang terasa kaku.

Aku meneguk air sebanyak tiga tegukan, Latifah lebih membutuhkannya lebih dari pada aku, aku memberikan botol mineral yang isinya tinggal setengah itu ke Latifah.

"Kamu beruntung Ning Sarah sangat memperhatikan kamu." Kata Latifah menyenderkan tubuhnya pada pohon randu, wajahnya yang cantik bersimbah oleh peluh.

"Masa, sich..!" Aku pura pura lugu untuk memancing Latifah bercerita lebih banyak lagi, bayang bayang Ning Sarah membuatku ragu untuk pergi meninggalkan Pesantren.

"Iya, Ning Sarah sepertinya sangat mencintaimu padahal aku dengar Mereka Nafi' sangat ingin menjodohkan Ning Sarah dengan Kang Shomad." Jawaban Latifah membuatku terkejut, tidak menyangka Mbah Yai sangat menginginkan Kang Shomad sebagai menantunya. Aku menunduk, Kang Shomad sepertinya jodoh yang tepat untuk Ning Sarah, ilmu dan akhlaknya begitu mengagumkan di usianya yang masih muda.

"Oh, sepertinya Ning Sarah tidak akan bisa menolak keinginan Mbah Yai." Jawabku lesu, habislah keinginanku mempersunting Ning Sarah, terlebih perbuatan ku dengan Ning Ishma sudah diketahui oleh Gus Nur. Bukankah wanita baik baik hanya akan berjodoh dengan pria baik baik, begitu pula sebaliknya.

"Ning Sarah memang tidak akan menolak keinginan, Mbah Yai Nafi." Jawaban Latifah mempertegas dugaanku, Ning Sarah adalah anak yang berbakti.

Aku mencabut rumput yang tumbuh liar di hadapanku, lalu melemparkannya ke parit yang airnya sudah mengering. Tanahnya terlihat retak, merindukan hujan yang tak kunjung tiba. Aku menarik nafas panjang, keputusan ku meninggalkan pesantren sudah tepat.

"Kamu mencintai Ning Sarah, Kang?" Latifah membuyarkan lamunanku, kembali aku menarik nafas panjang, mengisi paru paru ku dengan udara musim kemarau yang gersang.

"Mana aku berani mencintai Ning Sarah, aku bukan jodoh yang sepadan." Jawab kembali mencabut rumput di hadapanku, satu persatu dahannya aku cabut.

"Ya, sepertinya Kang Shomad jodoh yang tepat untuk Ning Sarah, dia masih muda, ganteng, al-Hafizsl." Kata Latifah membakar hatiku.

"Kita teruskan .perjalanan, sebelum Zaenab semakin jauh." Aku beranjak bangun dengan perasaan geram, tidak seharusnya Latifah mengatakan hal itu padaku, dia seperti sengaja memanas manasi hatiku.

"Aku masih, capek." Jawab Latifah tidak beranjak dari tempatnya.

"Sebentar lagi zhuhur, kita cari mushalah atau masjid." Jawabku tanpa menoleh ke arah Latifah.

"Ayo..!" Latifah berdiri perlahan, dia menepuk nepuk pantatnya dari debu.

Latifah berjalan mendahuluiku, sial kakinya malah tersandung sebuah batu besar yang melintang di hadapannya, tanpa dapat dicegah tubuhnya terhuyung Buyung hampir jatuh ke dalam part, kalau saja aku tidak menolongnya. Dengan sigap aku menarik tangannya sehingga Latifah jattuh dalam pelukanku.



Bersambung.......


Nb : menurut para pembaca sebaiknya cerita ini apdet setiap hari dengan jumlah kata 2000 kata atau seminggu sekali dengan 10.000 kata?
Update tiap hari aja lah gan 😂😂😂
Makin penasaran aja nih kayak lgi baca novel
 
Pokoknya ngikut aja mau update kapan dan berapapun, yang penting cepet update dan panjang wkwkwkw
 
Wuih..tambah menegangkan nih..
Itu kenapa udin dipanggil gus nur?
Smoga udin gak menyerah dengan cintanya ke ning sarah..
Makasih updatenya suhu
:ampun:
#Kalo boleh usul, update per 2~3 hari saja suhu,
kalo update tiap hari, kasihan RL suhu..

â– :hati:ning sarah
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd