Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Semoga ga macet seperti cerita fenomenal yg lain
 
Wainih genre pesantren, paporit pemirsa.
Semoga sampaj tamat. Update terserah TS yg penting rutin gak pake kentang :D
 
semampunya aja kang
tp klo ada target emang bagus
sy setuju ama 2x atau 3x seminggu biar ada waktu review, juga biar akang bisa nafas dikit haha
 
Chapter 9


"Lepaskan aku..!" Teriak Latifah, meronta dalam pelukanku dan aku berusaha menahannya agar tidak terjatuh. Kalau aku melepaskan pelukanku, Latifah akan terjatuh ke dalam parit yang tepat berada di belakangnya. Seharusnya dia tahu itu, aku sedang berusaha menyelamatkannya.

"Maaf..! Jangan terus meronta, nanti kamu jatuh ke parit yang tepat berada di belakangmu." Aku berusaha menenangkan Latifah, tidak ada maksud buruk dariku. Lucu juga melihat kepanikan di wajah Latifah, wajahnya bersemu merah membuatnya terlihat semakin cantik dan menggemaskan. Setelah beberapa saat berjuang lepas dari pelukanku, Latifah akhirnya menyerah. Aku melepaskan pelukanku setelah Latifah tenang.

"Kalau jalan hati hati, kita sedang berjalan di pematang sawah, kesalahan sedikit bisa membuatmu jatuh ke parit atau sawah kering." Aku tersenyum melihat Latifah menunduk malu, dia berjalan menjauhiku dengan kepala menunduk. Sekarang dia berjalan lebih berhati-hati, saking berhati-hatinya dia berjalan lebih pelan dari pada tadi.

"Kalau jalan memang harus berhati hati, tapi bukan berarti jalan kamu seperti siput. Kalau jalanmu seperti itu, kita bisa kehilangan jejak Zaenab." Kataku sambil membetulkan sarungku yang agak menggelembung oleh tonjolan kontolku yang mendadak berdiri, jangan sampai Latifah melihatnya dan akan membuatnya semakin histeris melihat tonjolan di sarungku.

Latifah seperti tidak peduli dengan sindiran ku, jalannya lebih cepat dari tadi, lincah sekali dia melewati pematang sawah yang keras dan akan menjadi lunak dan licin saat musim hujan tiba. Kenapa juga Latifah mengajakku berjalan di tempat yang tidak umum, jauh dari pemukiman penduduk yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan di ujung sawah.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba di jalan desa yang kondisinya rusak. Aku menarik nafas lega, tempat ini lebih bersahabat dibandingkan harus berjalan di pematang sawah dan kebun pohon jati sehingga kami jarang menemui manusia lain yang melintas. Di kiri kanan berdiri rumah rumah penduduk dan beberapa orang yang sedang asyik duduk beranda menatap kami heran, namun mereka selalu tersenyum menyambut senyum kami.

"Nanti dulu, kita harus bertanya ke setiap orang yang kita temui, siapa tahu ada yang melihat Zaenab." Kataku.

"Eh iya, kamu nanya pria, aku nanya yang wanita." Jawab Latifah membagi tugas, tanpa dia katakan pun aku sudah berpikir begitu.

Sepanjang jalan kami bertanya kepada setiap orang yang kami temui dan memang ada beberapa orang melihat Zaenab berjalan ke arah jalan raya kabupaten beberapa jam yang lalu, setidaknya kami sudah menemukan titik terang ke mana arah yang ditolong Zaenab dan kami akan terus mengikutinya.

"Kita cari makan, dulu." Ajakku ke Latifah, wajahnya yang cantik terlihat letih, staminya sudah semakin melemah, semangatnya pun tidak lagi seperti saat kami berangkat.

"Iya," Latifah mengangguk setuju sambil meraba perutnya yang berbunyi nyaring membuatku tersenyum simpul. Gadis ini tidak bisa menyembunyikan rasa laparnya, perutnya terlalu jujur. Di depan kami berdiri sebuah warung sederhana berdinding bilik, tanpa diminta Latifah semakin mempercepat langkah kakinya.

Latifah langsung masuk ke dalam disambut oleh seorang ibu setengah baya yang sedang duduk menunggu pembeli, wajahnya berbinar menyambut kedatangan kami. Kami satu-satunya pembeli yang datang berkunjung, jadi kami merasa nyaman tanpa tatapan aneh.

"Monggo Nak, pinarak." Si ibu mempersilakan kami duduk di bangku panjang yang menghadap susunan makanan di meja, tak ada sekat atau etalase kaca tempat menaruh makanan. Semuanya tersaji di atas piring tanpa penutup sehingga debu leluasa menempel di makanan yang tersaji. Rasa laparnya membuatku tidak peduli dengan hal itu, situasinya serba darurat dan tidak ada warung lain yang bisa kami datangi.

"Enggeh Bu, sampeyan mau pesan apa Kang?" Latifah menoleh ke arahku, dia tidak langsung memesan masakan walau rasa laparnya jelas menyiksa perutnya yang beberapa kali berbunyi nyaring. Gadis ini selalu penuh basa basi.

*Kamu dulu," jawabku mengangguk ke arah ibu warung yang menatapku dengan senyuman dan perasaan heran melihat sepasang remaja berpenampilan santri dan santriwati datang hanya berduaan, hal yang tidak biasa terjadi.

"Kalian berdua, santri dari mana?" Tanya ibu itu membungkam bibir Latifah yang terbuka untuk memesan makanan yang tersaji sederhana di hadapannya, dia menoleh ke arahku seakan menyuruhku menjawab pertanyaan.

"Enggeh Bu, kami dari pondok Mbah Yai Nafi." Jawabku mengangguk ramah, aku mengambil peci yang kukenakan dan menjadikannya kipas untuk menghilangkan peluh yang membanjiri wajahku.

"Saya pesan nasi dan rawon Bu, unjukane Teh Manis." Latifah menyela, sebelum ibu warung itu melanjutkan pertanyaannya lupa kalau kedatangan kami untuk makan sambil beristirahat melepaskan lelah setelah berjalan hampir 3 jam.

"Oh enggeh, sampeyan mesen apa mas?" Tanya ibu warung itu tertawa kecil.

"Sama Bu, sekalian kopinya." Jawabku tersenyum. Kulihat Latifah memegang kendi dan mendekatkan mulut kendj ke bibirnya yang tipis.

"Ja....!" Terlambat, Latifah sudah meminum air dalam kendi tanpa menggunakan gelas. Kecantikannya ternyata tidak dibarengi dengan etika, seharusnya Latifah meminta gelas sebelum minum. Memalukan, bagaimana kalau si ibu warung marah karena perbuatannya.

"Kenapa?" Tanya Latifah menoleh heran ke arahku yang menowel pinggangnya, tidak tampak perasaan bersalah dari raut wajahnya yang cantik.

"Nggak sopan, minum dari kendi." Bisikku jengkel, seharusnya dia mengerti arti towelanku bukan malah bertanya.

"Hihihi, di sini memang begitu nak, setiap orang yang datang ke warung bisa langsung minum dari kendi tanpa menggunakan gelas. Sampeyan sepertinya orang, Jawa Barat ya?" Tanya ibu warung sambil memberikan piring nasi beserta lauk pauknya ke Latifah.

"Oh begitu ya Bu, memang benar saya dari Jawa barat jadi nggak ngerti dengan adat istiadat di sini. Saya baru beberapa bulan mondok di sini dan tidak pernah keluar dari pondok." Jawabku tersipu malu, ternyata hal yang kuanggap kurang ajar tidak berlaku di sini. Pantas saja para santri sering minum air dari botol temannya di kamar tanpa minta ijin, ternyata begitu adat istiadat di sini.

"Ini nak, nasinya." Aku menyambut piring nasi beserta lauk pauknya, dengan lahap aku memakannya.

"Ibu pernah lihat seorang gadis cantik seusia saya, nggak?" Tanya Latifah di sela sela mengunyah nasi, sekali lagi aku menowel pinggang Latifah mengingatkan untuk tidak bicara selagi makan.

"Ada apa, lagi?" Latifah mendelik jengkel, dua kali aku menowel pinggangnya.

"Makanlah, nanti kita tanyakan setelah kita selesai makan." Aku menegur Latifah.

"Kamu tahu, dilarang menyentuh wanita yang bukan muhrimnya." Jawab Latifah ketus, membuatku terdiam malu terlebih Ibu warung tertawa kecil melihat tingkah kami.

"Beberapa jam lalu memang ada gadis cantik yang mengaku santriwati Mbah Yai Nafi'." Jawab Ibu warung, dahinya berkerut seperti sedang mengingat ingat.

"Ke mana dia, sekarang?" Tanyaku berbarengan dengan Latihan, sepercik harapan kembali datang. Padahal jawaban ibu warung sama dengan jawaban beberapa orang yang kami tanya, yang jelas setiap kali mendengar ada orang yang melihat Zaenab, kami menyambutnya antusias.

"Tadi gadis itu datang ke sini minta makan dengan bayaran, mencuci piring atau apa saja yang bisa dikerjakan." Jawab ibu warung, matanya terlihat berkaca kaca membuat ku heran.

"Ibu, kenapa nangis?" Tanyaku heran.

"Ingat almarhumah anak ibu, kalau hidup pasti seusia gadis itu, wajahnya juga mirip." Jawab ibu warung melap air matanya.

" Oh, kami turut berduka cita. Jadi sekarang dia sedang mencuci piring atau, mengerjakan apa?" Tanyaku penuh harap, aku berusaha melihat ke bagian dalam warung.

"Kebetulan baju ibu sudah banyak yang kotor, ya sudah tak suruh nyuci baju." Jawab sang ibu, wajahnya mulai bisa tersenyum walau senyumnya tidak bisa menghilangkan bayang bayang kesedihan di wajahnya.

"Jadi sekarang gadis itu sedang nyuci baju, dimana ? Saya harus bertemu dengannya, penting." Tanyaku jengkel mendengar penjelasan si ibu yang bertele-tele membuat nafsu makanku hilang, kuletakkan sendok dan meminum kopi yang mulai hangat.

"Iya, tadi memang tak suruh nyuci di sumur." Jawab ibu warung.

"Saya ke sumur dulu, Bu..!" Aku berdiri tidak sabar.

"Gadis itu sudah tidak ada di sumur." Jawab ibu warung membuatku mengurungkan niatku pergi ke belakang.

"Terus, sekarang di mana?" Jawabku semakin jengkel mendengar cerita si Ibu warung.

"Setelah nyuci baju gadis itu pamitan mau meneruskan perjalanan ke xxx, aku kasih sedikit uang. Kasihan, temannya nggak mau minjami uang sehingga dia harus jalan kaki." Jawab si ibu tidak menggubris pertanyaanku yang dianggapnya tidak penting, aku memandang Latifah yang juga sedang memandangku. Latifah menunduk malu.

"Gadis itu mengatakan tujuannya nggak, Bu?" Tanyaku putus asa.

"Katanya dia mau ke rumah temannya di desa xxx dekat terminal. Katanya, temannya itu pasti mau membantu masalahnya, entah masalah apa yang sedang dihadapinya." Jawab ibu warung.

"Kita susul ke sana, siapa tahu ketemu." Latifah meletakkan sendok di piring yang sudah kosong, rasa laparnya membuatnya menghabiskan nasi dalam waktu singkat.

"Iya!" Aku meminum kopi hingga habis, selera makanku sudah hilang sehingga tidak menghabiskan nasi yang tinggal setengah.

**********

"Ke mana lagi kita harus mencari, Zaenab?" Tanyaku duduk di sebelah Latifah,dengan jarak yang cukup lebar, setelah kami selesai shalat Ashar di sebuah masjid.

Kami sudah berusaha mencari di tempat seperti petunjuk si Ibu warung, tapi Zaenab seperti hilang di telan bumi. Tidak ada yang melihat Zaenab, bahkan sahabat karibnya yang berhasil kami temukan mengaku tidak melihat Zaenab. Lalu ke mana gadis itu? Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya.

"Aku nggak tahu, Kang." Jawab Latifah gelisah, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Sebentar lagi Maghrib dan kita belum juga menemukan Zaenab, kita akan tidur di mana?" Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 17.

"Kita pulang dulu, nanti kita cari lagi." Latifah menatap kosong ke jalan raya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan.

"Ke pondok, maksud kamu?" Tanyaku ngeri membayangkan kemarahan Gus Nur, aku tidak berani membayangkannya.

"Bukan, ke rumahku." Jawab Latifah lesu, dia terlihat mulai putus asa.

"Rumah kamu dekat dari sini?" Tanyaku antusias, lebih baik aku mengantar Latifah ke rumahnya sehingga aku terbebas dari tanggung jawab menjaganya. Setelah mengantar Latifah, aku bisa meneruskan perjalananku mencari pondok pesantren lain, biarlah sisa baju yang tidak kubawa, kusedekahkan ke santri lain. Aku bisa membeli yang baru, ayahku tidak akan keberatan aku meminta kiriman uang untuk membeli pakaian baru dan kitab sebagai pengganti kitab yang aku tinggal.

"Dekat, di Kudus." Jawaban Latifah membuatku mendelik jengkel, perlu waktu kira-kira empat jam untuk sampai Kudus dan itu dibilang dekat.

"Itu jauh..!" Seruku menggerutu, niatku mengantar Latifah pulang langsung hilang dalam sekejap. Ah, terpaksa aku harus terus menjaga Latifah, entah sampai kapan.

"Kalau kita pulang ke pondok, aku takut Ning Sarah marah karena kita belum menemukan Zaenab." Latifah menunduk sedih, tidak ada santri dan santriwati yang berani menolak perintah Yai, Nyai dan anak anaknya, bisa kualat.

"Iya, aku juga takut Gus Nur akan murka melihatku." Wajah Gus Nur membayang jelas di mataku, wajahnya berubah sangat mengerikan dengan sepasang taring yang siap mencabik-cabik tubuhku.

Ya Allah, apa yang sudah kulakukan dengan Ning Ishma sudah tidak bisa dimaafkan lagi, hukuman yang seharusnya kuterima adalah rajam. Mataku terpejam, membayangkan puluhan batu mengenai kepalaku hingga merenggang nyawa dengan rasa sakit yang tidak terkira.

"Astaghfirullah...!" Aku menjerit kaget saat Latifah menyentuh pundaknya, seperti hantaman batu sebesar kepala manusia.

"Kamu kenapa, Kang?" Latifah menatap heran.

"Nggak apa apa, Fah."aku menarik nafas panjang, kesadaranku pulih.

"Emang kamu sudah berbuat apa, sampai sampai kamu takut?" Tanya Latifah menusuk hatiku, sebuah rahasia yang harus tersembunyi rapat.

Pada saat yang tepat,, nada dering SMS mengalihkan perhatian kami. Bergegas aku mengambil hp untuk membaca SMS. Ternyata SMS dari Ning Sarah, SMS pertama yang kuterima dari Ning Sarah : Kalian sudah menemukan, Zaenab?

Aku membalasnya, singkat : belum.

Tidak berapa lama balasan SMS kuterima ; jangan pulang sebelum ketemu

Huf, ternyata benar apa yang dikatakan Latifah, Ning Sarah sangat keras, apapun kemauannya harus terlaksana tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Kamu baca saja, sendiri." Aku menyerahkan hpku ke Latifah.

"Ya Allah, kita nggak boleh pulang.!" Seru Latifah panik setelah membaca SMS dari Ning Sarah. Gadis itu memang terlalu, mau enaknya saja. Apa dia tidak tahu bagaimana menderitanya Latifah saat ini? Aku menatap Latifah iba.

"Kita tidur di mana, sekarang?" Tanyaku mulai merasakan kepanikan Latifah sangat manusiawi, aku tidak akan bingung harus tidur di mana. Tapi bagaimana dengan Latifah, dia seorang gadis berbeda denganku.

"Aku nggak tahu, aku nggak punya saudara." Jawab Latifah menunduk, dia memainkan jilbabnya dengan jemari lentiknya yang halus.

"Kita nginep di hotel saja, yuk?" Entah ide dari mana aku berpikir seperti ini, karena seumur hidup aku belum pernah menginap di hotel atau penginapan. Aku hanya berpikir untuk melindungi Latifah, agar dia tidak terlunta lunta seperti sekarang.

"Aku nggak punya, uang. Ning Sarah hanya memberi uang 100.000." jawab Latifah, beberapa kali dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

"Terus, kita harus bagaiman?" Tanyaku tidak kalah bingung., Aku tidak berani memaksa Latifah tidur di penginapan. Takut dia berpikir macam macam dengan ideku ini.

"Akku nggak tahu, akkku nggak tahu, kamu ngerti nggak sih?" Nada suara Latifah meninggi, kepanikan terlihat di wajahnya yang cantik. Latifah berusaha keras menahan tangis yang sewaktu waktu bisa pecah.

"Kita cari penginapan, besok kita cari Zaenab lagi." Akhirnya aku mengambil keputusan setelah menghitung uang yang tersisa di dompetku, masih ada satu juta semoga cukup untuk menginap satu malam. Aku tidak tahu, berapa sewa sebuah penginapan murah.

*Nggak mau, nanti kamu perkosa aku..!" Latifah menjawab ketus, pikiran normalnya kembali bekerja. Menginap di sebuah penginapan dengan pria yang bukan muhrimnya, bahayanya lebih besar dibandingkan harus tidur di dalam masjid.

"Kalau begitu, kita minta ijin ke pengurus masjid, kita akan bermalam di sini." Aku menarik nafas lega, uangku terselamatkan dengan penolakan Latifah. Setidaknya kami masih membutuhkan sisa uangku untuk mencari Zaenab, entah sampai kapan.

"Iya, nanti malam kita keliling lagi nyari Zaenab." Jawab Latifah setuju, untuk sementara kami bisa memecahkan masalah tidur di mana.

*********

Malam harinya selesai shalat Isya, kami kembali berkeliling mencari Zaenab. Menyusuri setiap toko dan musholah dan masjid yang kami temui. Bahkan setiap pejalan kaki kami tanyai berbekal photo yang kami bawa, hasilnya nihil. Zaenab seperti hilang ditelan bumi.

"Ke mana lagi, kita?" Tanya Latifah dengan suara letih.

"Kita ikuti ke mana kaki akan melangkah, semoga Allah menunjukkan jalannya." Jawabku berusaha menghibur diri sendiri.

Hingga akhirnya langkah kaki kami membawa kami ke sebuah lokasi yang tidak jauh dari terminal dan stadion kereta api, tempat ini, gelap tanpa penerangan lampu jalan padahal ada jalan raya cukup besar. Kiri kanannya terdapat pohon yang berjejer rapi memagari sebuah tanah lapang cukup luas. Sementara di kiri kanan jalan ada beberapa warung yang saling berjauhan dengan penerangan yang temaram.

"Ini tempat, apa?" Tanya Latifah tubuhnya menempel ke tubuhku dan tanpa disadarinya memegang pergelangan tanganku. Rasa hangat dari tubuh Latifah, membangkitkan gairahku, gairah yang semakin mudah terpancing sejak merasakan nikmatnya tubuh Ning Ishma. Aku tau, tubuh Latifah menyimpan kenikmatan yang sama seperti yang dimiliki Ning Ishma.

"Aku nggak tahu, kita baru sekali ke sini." Hatiku berdesir merasakan tangan halus Latifah memegang erat pergelangan tanganku, harum tubuhnya membuat paru paru ku bernafas lebih lambat. Ingin aku mememluk bahu Latifah, merasakan kehangatan tubuh telanjangnya seperti yang diberikan Ning Ishma.

"Lihat itu, kenapa banyak wanita di tempat seperti ini?" Bisik Latifah, tanpa menggerakkan tangannya menunjuk ke arah para wanita yang berdiri di pinggir jalan, kadang ditemani seorang pria. Pakaian mereka begitu seronok dan menebarkan aroma parfum murahan. Sebagian dari mereka merokok, hal yang jarang aku temukan. Sepertinya mereka wanita pekerja seks yang sedang menjajakan diri ke para pria hidung belang.

"Sepertinya ini tempat perempuan nggak benar, lihat penampilan mereka." Bisik Latifah semakin merapatkan tubuhnya, sehingga aku bisa merasakan payudara Latifah menempel hangat dan lunak. Detak jantung semakin cepat, aku ingin merasakan yang lebih dari ini.

"Iya, kenapa kita bisa nyasar ke sini." Gumamku pelan berusaha mengatur nafasku yang tiba tiba tersengal sengal, seperti habis berlari jauh.

*Kamu kenapa?" Bisik Latifah gelisah saat, dia memandangiku dengan perasaan khawatir.

"Nggak apa-apa, kita jangan melihat ke arah mereka." Jawabku pelan, aku berhasil mengendalikan nafasku.

"Idih, ada santri pacaran. Hihihi..!" Seru seorang wanita yang kami lewati, membuatku merasa jengah mendengar godaan mereka. Dia tidak salah, melihat cara kami berjalan seperti remaja yang dimabuk asmara, Latifah terus memeluk tangannku.

"Kita pergi dari sini, aku takut." Bisik Latifah, memeluk tanganku semakin erat. Tidak tahukah dia, apa yang dilakukannya sangat menyiksaku.

"Win, itu ada razia...!" Celutuk pria yang sedang berduaan dengan wanita yang menggoda kami. Mendengar itu, aku panik ketakutan. Kamu berada di tempat yang salah, pasti akan ikut terazia.

"Cepat lari, ada razia...!" Celutuk seorang tukang becak yang duduk di atas becaknya, dia segera mendorong becaknya setengah berlari membuatku semakin panik.

"Lariiii, Fah...!" Teriakku, tapi anehnya kakiku seperti tidak mampu digerakkan, celaka kalau sampai kami dibawa ke kantor satpol PP padahal kami hanya numpang lewat. Apa lagi kalau sampai mereka tahu kami santri Mbah Yai Nafi, nama baik Mbah Yai Nafi akan tercemar karena kami.

"Iya, lari...!" Seru Latifah lebih panik daripada aku,dia menarik tanganku sehingga kakiku bisa kugerakkan lagi. Latifah mengajak lari ke tengah lapangan yang luas, seperti kerbau di cucuk hidung aku berlari mengikuti Latifah sambil tetap bergandengan tangan

Kami terus berlari ketakutan, melintasi lapangan hingga kami tiba di sebuah ladang singkong yang tumbuh subur. Sepertinya kami sudah jauh berlari, karena sejak tadi tidak ada yang mengejar kami dan juga meneriaki kami untuk menyerah.

"Capek kang, sembunyi..!" Latifah menarik tanganku berjongkok di antara rimbunan pohon jagung, nafasnya tersengal sengal.

"Kalau kita ketangkap, gimana?" Tanyaku belum juga bisa mengendalikan kepanikan ku, kesalahanku akan semakin bertambah kalau sampai tertangkap.

"Sssst, diam..!" Latifah berbisik sehingga aku bisa merasakan hembusan nafas Latifah yang hangat membuat bulu kudukku merinding. Tubuh Latifah merapat ke tubuhku, rasa hangat dari tubuhnya membuatku merasa lebih nyaman.

Tiba tiba aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, kepanikan kembali melanda hatiku. Latifah mencengkeram pergelangan tanganku sehingga kukunya menancap ke dalam kulit. Rasa sakit yang kurasakan tidak mampu mengusir rasa takutku.

"Ada orang, nggak?"tanya seorang pria membuatku semakin ketakutan, Latifah menggeser tubuhnya ke belakang memeluk pinggangku. Kurasakan tubuh Latifah gemetar ketakutan, dengus nafasnya terdengar berat.

"Sepertinya nggak ada, Kang." Jawab seorang wanita, sepertinya razia kali ini didampingi satpol PP wanita, maklum ini razia para wanita pekerja seks komersial.

"Aman, buka bajumu..!" Perkataan pria itu membuatku heran, kenapa harus membuka baju?

"Nggak usah buka baju, biasanya juga langsung kenthu." Jawab si wanita ketus, siapa sebenarnya mereka?

"Aku pengen nyusu, sedikit aja." Rengek si pria seperti anak kecil, aku menoleh ke arah Latifah yang menaruh dagunya di pundak ku, otomatis aku mencium wajahnya tanpa sengaja. Sepertinya Latifah tidak menyadarinya, dia terlalu serius menguping percakapan yang sedang terjadi.

"Sudah, nggak usah nyusu kang..!" Seru seorang wanjta, suaranya terdengar dari balik rimbunan pohon jagung di hadapan kami.

"Sebentar aja..!" Jawab seorang pria, dia tetap memaksa.

"Kamu cuma bayar 30 ribu, paket minta nyusu. Jangan pegang pegang susuku.!" Hardik si wanita sepertinya dia sudah mulai kehilangan kesabarannya.

"Sebentar, nanti aku tambah." Jawab si pria tidak mau kalah.

"Bohong, kemarin bilangnya mau nambahin ternyata enggak. Sudah, masukin kontolmu, aku mesti nyari kontol lain. Besok aku harus bayar SPP anakku yang SMP." Jawab wanita itu vulgar, membuat Latifah menutup mulutnya agar tidak berteriak.

"Yo wis, tak kenthu pepekmu..!" Seru pria itu dengan perasaan jengkel, dia terpaksa mengalah.

"Pelan pelan Kang, memekku kering..!" Teriak wanita itu kesakitan saat kontol si pria menusuk memeknya dengan kasar.

"Enak memek kering, jepitannya kerasa." Jawab pria itu kesenangan.

"Enak di kamu nggak enak di aku, memekku bisa lecet. Sedangkan aku harus ngumpulin uang sebanyaknya buat bayar SPP." Gerutu wanita itu menahan rasa pada memeknya yang ditusuk dengan kasar.

"Kang, mereka sedang berzina..!" Bisik Latifah, suaranya bergetar.

Aku hanya mengangguk, tubuh Latifah semakin rapat pada punggungku, sehingga payudaranya yang kenyal terasa olehku. Apakah Latifah tidak menyadari posisinya, atau dia sengaja melakukannya?

"Fah...!" Aku mendesah lirih, jiwaku semakin terbakar oleh birahi.

"Buruan kang, keluarin. Memekku sakit banget, sepertinya lecet." Wanita itu mengeluh setelah beberapa menit pria itu tidak mendapatkan orgasmenya.

"Sebentar lagi, sabar..! Aku kan bayar." Gerutu pria itu yang merasa sudah membayar, seharusnya dia mendapat pelayanan yang memuaskan.

"Cuma bayar 30 aja mau lama, kalau pengen puas ya nyewa hotel, bayarannya buat kenthu juga beda." Si wanita tidak mau kalah, bayaran yang diterimanya tidak sepadan dengan harga dirinya yang terpaksa dijual murah demi Periuk nasi.

"Sia, aku metu...!" Seru pria itu mengerang nikmat, spermanya tumpah ke memek wanita yang dibayarnya murah demi memuaskan hasrat seksnya yang melempem saat berduaan dengan istrinya. Kejantanannya akan pulih setiap kali datang ke tempat prostitusi murahan yang membuatnya merasa menjadi pejantan sejati.

Begitu singkat, hubungan seks yang terjadi di alam terbuka. Si pria membayar si wanita hanya dengan tiga lembar sepuluh ribuan, terlalu murah. Aku memejamkan mata, miris dengan kejadian yang berlangsung di hadapanku.

"Kang, ternyata nggak ada razia...!" Bisik Latifah, dia belum juga melepaskan pelukannya.

"Iya, kita kena dikerjain orang." Jawabku senang, ternyata yang kuanggap musibah membawa berkah buatku. Kapan lagi Latifah akan memelukku seperti sekarang.

"Eh, maaf..!" Seru Latifah melepaskan pelukannya, akhirnya dia sadar sudah memelukku. Seharusnya Latifah hilang ingatan lebih lama lagi, sehingga aku bisa merasakan kehangatan dan kekenyalan payudaranya.

"Sekarang kita mau, ke mana?" Tanyaku pura pura lugu untuk menutupi rasa malunya.

"Kita ke masjid yang tadi, pakaian kita dititipkan di sana." Kata Latifah berdiri, dia tidak berani menatapku.

"Lewat mana?" Tanyaku pelan, sekilas aku kembali melihat bayangan orang yang datang ke arah kami.

"Ke,.... Ada orang, Kang..!" Seru Latifah berjongkok agar tidak terlihat oleh mereka.

"Siapa itu yang bersembunyi di sana, ayo cepat keluar...!" Teriak seorang pria berlari cepat menuju tempat persembunyian kami, kali ini aku tidak setakut tadi. Mungkin orang yang datang sama seperti pasangan tadi, sekedar melepaskan syahwat.

Bersambung.....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd