Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Kalau suka dibaca, kalau nggak suka ya nggak usah dibaca.
wkakakaka ....
kok ya masih ada .... model begituan, suruh nyebur ke sumur aja om@Satria_cabul !!!
klo emang gak suka sama cerita om@Satria_cabul .... ya sudah gak usah di baca dan g a k u s a h k a s i h k o m e n macem2 klo perlu buang aja hp mu Sob
hadeeew
 
Chapter 14



"Istighfar, Ning. Allah hanya menguji kita dengan cobaan yang bisa kita hadapi. Semuanya sesuai dengan kapasitas keimanan kita, Ning harus yakin itu." Nasehat yang seharusnya aku dengar dari Ning Ishma, sekarang malah aku yang menasihatinya.

Niatku mondok di sini ternyata tidak berjalan mulus, aku justru menghadapi masalah pelik yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Aku terjebak di antara cinta dan syahwat yang mengenalkanku dengan surga dunia dan lebih gila adalan Ning Ishma yang mengenalkanku dengan kenikmatan tabu. Wanita mulia yang seharusnya aku hormati, dia adalah istri dari Kyaiku.

"Gus Nur sudah mendzolimi aku, seharusnya dia menceraikan aku melalui pengadilan agama atau meminta pembatalan pernikahan ini." Jawab Ning Ishma setelah berhasil mengendalikan dirinya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit aku jabarkan, hanya dia yang tahu arti tatapan matanya.

"Maafkan aku, Ning. Aku tidak bisa melakukan itu, semuanya demi nama baik ke dua orang tua kita di mata umat." Jawab Gus Nur, entah sejak kapan dia berada dalam kamar tanpa kuketahui. Aku berusaha melepaskan pelukan Ning Ishma yang kencang, namun Ning Ishma semakin erat memelukku. Ya Allah, aku tidak bisa lagi menghindar dari kemurkaan Gus Mir.

"Kamu tahu, pernikahan ini haram. Seharusnya kita tidak terus menerus menumpuk dosa, kau bisa membatalkan pernikahan ini sehingga kita tidak terlalu menanggung aib." Jawab Ning Ishma, suara tangisnya sudah terhenti walau air mata masih terus membasahi pipinya yang halus. Dia tetap memelukku, seakan. Ingin melindungi aku dari kemurkaan Gus Mir yang bisa meledak sewaktu-waktu.

"Aku tahu Ning, biarlah aku menanggung semua dosanya." Gus Mir meninggalkan kami berdua di kamar, entah siapa yang paling menderita dalam situasi seperti ini. Dan siapa yang berhasil mendapatkan keuntungan dari situasi ini? Jawabannya pasti aku, tapi apakah itu sebanding dengan rasa bersalah yang terus menerus menghantui?

Dilema ini semakin menjeratku, cinta yang masih tetap menjadi tanda tanya dan masalah hubungan terlarang ku dengan Ning Ishma. Apa yang harus kulakukan demi kebaikan semuanya, haruskah aku pergi meninggalkan pondok ini dan mencari pondok lain sehingga aku bisa khusuk menuntut ilmu agama seperti yang diinginkan ke dua orang tuaku? Jelas jelas aku sudah mengkhianati kepercayaan orang tuaku yang ingin melihat anak semata wayangnya menjadi seorang ulama,

"Apa yang kau pikirkan, Din?" Ning Ishma mengagetkan ku dengan pertanyaannya, dia menatapku tanpa melepaskan pelukannya. Bahkan dalam situasi sulit yang sedang dihadapinya, Ning Ishma masih sempat memperhatikan keadaanku. Itukah cinta?

"Sepertinya aku harus mencari pondok lain, Ning." Gumamku lirih, kuhapus sisa-sisa air mata yang berlinang di pipinya. Sebuah dorongan kuat dari lubuk hati, membuatku mencium pipinya yang basah oleh air mata.

"Aku ikut, ke manapun kamu pergi." Jawab Ning Ishma, kebahagiaan semu terpancar di matanya yang seperti bintang kejora, air mata tidak mampu menyembunyikan keindahannya.

"Apa yang kita lakukan salah, Ning. Kita tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu, kita sudah menganggap nafsu sebagai cinta." Ah, kenapa kalimat bijak yang seharusnya kudengar dari bibir indah Ning Ishma justru aku ucapkan dengan fasih.

"Aku tahu, jangan nasihati aku seperti itu. Biarkan aku memiliki mu, biarkan aku merasa bahagia walau yang kita lakukan salah."jawab Ning Ishma pelan, Ning Ishma mendekapku semakin erat.

"Ning, kamu hanya menjadikan aku pelarian. Tak ada cinta di hatimu, aku yakin itu." Jawabku pelan, tidak ada alasan Ning Ishma jatuh cinta padaku tanpa sebuah alasan jelas. Kami baru saling mengenal di sini, walau kami memang pernah bertemu saat aku mondok di Cirebon dan Ning Ishma menjadi staf pengajar di sana. Tapi kami hanya bertemu beberapa kali tanpa pernah saling menyapa, bahkan aku baru mengenal namanya di sini.

"Kamu salah, cinta tidak pernah mengenal akal sehat. Cinta yang menguasai akal sehat sehingga kita akan melupakan diri kita sendiri, status dan apa pun yang ada pada diri kita." Jawab Ning Ishma, aku belum bisa mencerna dan memahami apa yang dikatakannya.

"Aku terlalu bodoh untuk bisa memahami perkataannya, Ning." Jawabku lirih, semakin aku pikirkan semakin kepalaku pusing.

"Kamu tidak perlu memikirkannya, semakin memikirkannya semakin kamu tersesat di dalamnya. Seperti kata Khalil Gibran

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya" (Kahlil Gibran)" jawab Ning Ishma pelan, dia menatapku dengan pandangan berbinar, seindah bintang kejora.

"Ning, aku harus pergi dari sini. Tujuan hidupku sudah berbelok jauh. Aku takut tidak bisa kembali, ke tujuan asalku." Jawabku putus asa, bayang bayang wajah ke dua orang tuaku yang setiap malam bersujud, bersimpuh dalam untaian doa agar aku pulang menyandang predikat Al-'alim.

"Jangan pernah tinggalkan aku, jangan pernah." Gumam Ning Ishma seperti tidak mendengar apa yang kukatakan, dia hanya bisa mendengar suara hatinya saja.

"Ning, sudah malam, sebaiknya kita tidur." Aku berusaha merenggangkan pelukan, Ning Ishma.

"Aku ingin tidur dalam pelukanmu, malam ini." Jawab Ning Ishma, dia tidak mau melakukan pelukannya.

"Ning, Gus Mir...!" Ucapannya terhenti ketika Ning Ishma melumat bibirku dengan lembut, lebih lembut dari biasanya.

"Gus Mir sudah mengetahui perbuatan kita, dia sudah tahu semuanya." Kata Ning Ishma disela sela ciumannya, digigitnya bibir bawahku setelah mengucapkan kalimat yang tidak membuatku kaget. Rasa kagetku sepertinya sudah habis setelah kejadian tadi.

"Lalu?" Tanyaku gelisah, kemungkinan paling buruk yang aku takutkan bukanlah diusir dari pesantren ini karena aku bisa mencari pesantren lain untuk menempuh pendidikan agama, tapi yang paling aku takutkan adalah mereka melaporkan kelakuanku kepada ke dua orang tuaku. Aku tidak bisa membayangkannya.

"Dia membiarkan kejadian ini dengan syarat, aku tidak meninggalkannya." Jawab Ning Ishma, dia mendorongku rebah di ranjang kayu dengan kasur yang sudah keras.

"Ning, ini salah..!" Ning Ishma hanya menatapku, perlahan dia menindih tubuhku dan bibirnya kembali melumat bibirku, dan tidak ada alasan bagiku untuk menolak ciumannya yang hangat dan penuh gairah.

"Nikmati saja dosa ini, aku tidak akan pernah membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja." Bisik Ning Ishma, kembali kami berciuman dengan panas. Seolah waktu adalah milik kami, kami bebas menikmati kesempatan yang ada, sebelum kesempatan itu hilang.

Perlahan dan sangat berhati hati, aku membalikkan tubuh sehingga posisi kami berubah, kini aku menindih Ning Ishma dan mengambil alih permainan yang diajarkan oleh Ning Ishma. Sekarang, aku yang mulai mencium bibir Ning Ishma, melupakan semua ajaran yang kudapatkan dengan susah payah.

"Ning, kenapa ini harus terjadi? Sia sia apa yang sudah kudapatkan dengan bersusah payah." Bisikku ditelinganya yang tertutup hijab, aku memandangnya dengan berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

"Nikmati saja, anggap aku istrimu." Jawab Ning Ishma, kami saling bertatapan dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam hati.

"Nggak mungkin, kamu istri guruku." Aku kembali melumat bibir Ning Ishma, semakin lama aku merasa ciumanku semakin mahir. Ning Ishma guru terbaik, dia bisa mengajariku cara berciuman yang benar.

"Jujur, kamu menyukainya kan?" Tanya Ning Ishma, dia membelai kumis tipisku yang mulai tumbuh.

"Iya, walau kadang aku takut dengan dosa dan gugurnya cita cita ke dua orang tuaku yang ingin punya anak Kyai." Jawabku jujur, selama ini aku mondok hanya karena baktimu sebagai anak, bukan atas kemauanku sendiri.

"Jadi selama ini kamu mondok karena kemauan orang tuamu, bukan karena keinginanmu sendiri?" Tanya Ning Ishma, dia mendorongku ke samping dan mengambil alih posisi ku yang menindihnya.

"Iya, tadinya aku ingin menjadi seorang tentara." Jawabku memeluk pinggang ramping Ning Ishma, kehangatan tubuhnya membuatku nyaman dan bisa melupakan Ning Sarah.

"Pantas, kamu nggak pintar-pintar, kecuali satu hal yang harus aku akui kamu sangat pintar." Goda Ning Ishma, dia menciumi leherku yang mulai basah oleh keringat.

"Apa?" Tanyaku pelan menikmati ciuman Ning Ishma, aku balas meremas pantatnya yang berisi dan menggiurkan.

"Menulis, surat cinta.!" Jawab Ning Ishma,dia menggigit bibir bawahku dengan gemas membuatku kesulitan menanyakan kecurigaanku, apakah selama ini yang menatapnya dengan surat-surat cintaku untuk Ning Sarah adalah dia?

"Berarti, Ning Ishma yang mensabotase semua surat cinta ku?" Tanyaku jengkel, aku yakin dia yang melakukannya.

"Ya, karena aku tidak rela Ning Sarah adik sepupuku harus mengalami nasib seperti aku." Jawab Ning Ishma, kami saling bertatapan dengan berbagai prasangka.

Tidak pernah kusangka, Ning Ishma telah mensabotase semua surat cintaku dengan alasan tidak masuk akal, seharusnya dia tidak melakukan hal bodoh itu.

"Maksudnya?" Tanyaku jengkel.

"Kamu tahu, gara gara cinta monyet perawanku hilang oleh pria yang tidak bertanggung jawab." Jawab Ning, dia bangkit dari atas tubuhku dan duduk dengan memeluk dengkulnya menghadap ke arahku.

"Aku tidak sama dengan mantan pacar kamu, Ning." Aku menatap Ning Ishma yang menerawang mengingat masa lalunya, iseng tanganku masuk ke dalam celah bajunya dan meraba pahanya yang mulus.

"Mungkin kamu tidak sama dengan bajingan itu, tapi sudah kewajiban ku menjaga adik sepupuku." Jawab Ning Ishma membiarkan aksi jahilku mengelus pahanya semakin masuk hingga menyentuh selangkangannya.

"Kamu, nakal..!" Ning Ishma tersenyum mendapatkan keberanianku yang bertambah, dibiarkan tanganku menyusup lewat celah celana dalamnya sehingga menemukan lembah sempit yang telah basah. Bahkan dia mengangkat pinggulnya saat aku menarik celana dalamnya lepas melewati telapak kakinya.

"Ning Ishma yang mengajariku, jadi jangan salahkan aku." Jari telunjukku semakin masuk ke dalam lobang yang begitu sempit, membuat Ning Ishma memejamkan mata menikmati kenakalanku.

"Dan, kamu murid yang cerdas, seharusnya kau gunakan kecerdasan mu untuk belajar semua hal disini." Ning Ishma memandangku dengan kerling mata yang mulai nakal, semua topengnya sudah ditanggalkannya di hadapanku.

"Tapi Ning Ishma, malah mengajari pelajaran tabu ini." Jawabku tidak bisa menahan diri lebih lama, kusingkap ujung bajunya sehingga aku bisa melihat selangkangannya yang tersembunyi rapat di antara pangkal pahanya.

"Nakal, kamu santri kurang ajar yang berani berbuat cabul kepada Nyai. Ahhhhh, kamuuuu semakin berani mencabuli seorang Nyai...!" Teriak lirih Ning Ishma semakin melebarkan pahanya memberiku ruang menyentuh organ paling intim yang seharusnya menjadi hak suaminya.

Aku tidak peduli lagi dengan harkat dan martabat Ning Ishma, bagiku saat ini dia hanyalah wanita binal yang menginginkan kontol perkasa ku mengaduk aduk memeknya, membawanya mengarungi samudra birahi hingga seluruh sendi di tubuhnya terlepas oleh rasa nikmat yang sulit dijabarkan dengan kata kata. Jariku semakin masuk ke dalam memek Ning Ishma, perlahan aku mengocoknya sehingga jariku menjadi basah oleh cairan memeknya.

"Ohhhhhh terusssss, siksa aku...!" Ning Ishma menggeliat dan tubuhnya terhempas ke belakang dengan kedua tangan menahan berat tubuhnya, pinggulnya terangkat menyambut hari telunjukku yang dengan liar mengocok memeknya.

Wajahku semakin mendekati selangkangan Ning Ishma agar bisa melihatnya lebih jelas, namun lampu kamar yang temaram membuatnya menjadi samar. Tapi itu tidak mengurangi nafsuku mempermainkan nafsu Ning Ishma yang sudah mencapai puncaknya. Jariku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, sekarang dua jariku masuk dan semakin liar mengocok memeknya.

Crot crot cplok, suara jariku yang mengocok memek Ning Ishma terdengar nyaring di keheningan malam, menambah aroma birahi yang menuntut pelampiasan.

"Jahat, kamu jahatttt memekku diobok-obok paket jari...!" Jerit Ning Ishma, pinggulnya bergerak mengikuti irama kocokan jariku.

"Ampun, ampunnnnn, aku ngecrot....!" Teriak Ning Ishma, pinggulnya terus mengejang berkali kali dan memeknya berkedut kedut meremas jemariku.

Aku jadi penasaran, bagaimana rasa memek Ning Ishma yang basah oleh cairan orgasme dahsyat. Saat pinggul Ning Ishma lebih rileks, aku menjilati memeknya, menghisap cairan birahi yang aromanya lebih tajam dibandingkan biasanya. Sruput, sruput , kuhisap terus cairan memek yang cukup banyak.

"Ahhhhh, awww, Dinnnnn ampunnnnn. Akkku ngecrot lagiiii..!" Ning Ishma berteriak histeris, menjambak rambutku saat dia kembali mendapatkan orgasme dalam waktu sangat singkat. Aku semakin rakus, kusedot habis cairan orgasme yang keluar terus menerus sehingga membasahi daguku.

Aku tersenyum senang, ternyata ada kenikmatan tersendiri melihat Ning Ishma kelojotan dipermainkan orgasme yang terus menerus dalam waktu singkat. Aku menatap wajah Ning Ishma, matanya terpejam dengan senyum tipis bahagia.

"Kamu jahat, bikin aku kelojotan seperti ini." Ning Ishma menatapku sayu, tubuhnya yang letih terdiam pasrah saat aku menyingkapkan gamis super lebar hingga atas dadanya yang membusung indah dan tertutup BH warna putih, ada yang menarik dengan BH yang dikenakannya, bahannya sangat transparan dengan pengait yang ada di depannya sehingga puting payudaranya terlihat membayang.

"Buka ya, Ning!" Tanpa menunggu jawaban darinya, aku membuka pengait BH dengan mudah, sehingga payudaranya terbebas dari belenggunya. Indah, semakin sering melihatnya justru semakin indah.

"Anak nakal, sudah berani membuka BH ku..!" Ning Ishma merintih lirih saat tanganku yang kasar mulai membelai payudaranya, bentuknya yang tidak terlalu besar membuat telapak tanganku nyaris bisa menutupi seluruh permukaannya.

"Indah, sayang aku tidak bisa memilikinya." Gumamku takjub, aku selalu tidak percaya bisa menyentuhnya dengan bebas. Ini seperti sebuah mimpi dan aku melihat diriku sedang menyentuh, membelai payudara Ning Ishma. Bukan hanya sekedar menyentuh, lidahku bebas menjilati permukaannya yang halus, putingnya yang semakin mengeras.

"Ini milikmu, sayang..!" Ning Ishma memeluk kepalaku, seperti seorang ibu yang sedang menyusui anak kesayangannya yang masih balita.

Aku semakin rakus menghisap puting payudara Ning Ishma, walau aku tidak akan mendapatkan satu tetes pun air ASI yang keluar dari dalam payudaranya.

"Ahhhhh, terusssss sayang hisap tetek ku ini.!" Ning Ishma semakin erat memeluk kepalaku, kehangatan payudaranya memenuhi wajahku. Nyaman sekali, aromanya tubuhnya semakin membakar birahiku.

Ada yang berbeda dengan adegan mesum saat ini, biasanya Ning Ishma yang mendominasi. Tapi sekarang, aku justru yang mengambil alih permainan, berusaha memuaskan birahi Ning Ishma yang meledak ledak.

"Hihihi...!" Ning Ishma tertawa geli merasakan puting payudaranya kuhisap dengan rakus disertai gigitan kecil yang membuat punggungnya terangkat, menikmati kejutan kejutan kecil yang membawa kenikmatan.

"Kenapa, Ning?" Tanyaku menghentikan aktivitas ku, wajah Ning Ishma bersemu merah.

"Biasanya aku yang perkosa kamu, sekarang malah kamu yang mau perkosa aku." Ning Ishma mengerling manja.

"Iya, aku belajar dari jenengan Ning." Ning Ishma menahan pundakku saat akan meneruskan aktifitasku menikmati payudara Ning Ishma.

"Sudah sayang, aku nggak tahan..!" Seru Ning Ishma manja, dia berusaha mengendurkan lilitan sarung yang kupakai.

"Nggak tahan apa, Ning?" Tanyaku berusaha menggoda Ning Ishma, sekedar mencairkan suasana yang panas oleh api birahi.

"Masukin kontolmu, gitu aja nggak mudeng..!" Cemberut Ning Ishma membuatnya terlihat semakin cantik, api birahi membuat wajahnya bersemu merah.

"Aku masih pakai sarung dan celana dalam Ning, nggak bisa dimasukin." Keisengan ku timbul, ingin menggoda Ning Ishma lebih lama.

"Buka donk, apa susahnya sih..!" Protes Ning Ishma, dia berusaha menurunkan sarung dan celana dalamku dalam posisi tertindih olehku, sehingga dia gagal melakukannya dengan sempurna.

"Iya, tunggu sebentar..!" Dengan tergesa besar aku membuka sarung dan celana dalamku, aku ingin secepatnya menusukkan kontolku ke dalam lobang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan itu.

Aku kembali merangkak di atas tubuh Ning Ishma yang semakin lebar membuka pahanya, dia segera meraih kontolku dan menariknya ke lobang memeknya yang menganga tidak sabar menunggu kehadiran kontolku.

"Aduh, jangan ditarik, sakit..!" Protesku tidak digubris oleh Ning Ishma yang mengangkat pinggulnya, berusaha memasukkan kontolku ke dalam memeknya.

"Makanya, buruan masukkin.." gerutu Ning Ishma, dia menarik pinggulku hingga akhirnya kontolku terpaksa masuk memeknya yang sudah sangat basah.

"Ahhhhh, akhirnya...!" Seru Ning Ishma, matanya terpejam menerima sodokanku yang lumayan cepat, pinggulnya langsung bergoyang tidak sabar. Padahal aku masih ingin menikmati kehangatan memeknya.

"Ennnak, memekmu rasanya hangat.!" Gumamku, mengikuti gerakan pinggul Ning Ishma.

"Ohhhhhh Iyya goyang terussss, ahhhh..!" Ning Ishma menjerit kecil, membuatku ketakutan kalau sampai suaranya terdengar orang lain, dinding kayu tidak bisa meredam suara.

"Ning, jangan berisik, nanti kedengaran orang..!" Bisikku mengingatkan Ning Ishma tentang bahaya yang kami hadapi kalau sampai ada yang mendengar kegilaan kami.

"Iya, aku lupa. Nanti kalau yang denger santri, bisa bisa dia juga minta jatah. Bisa habis aku digangbang kalian, hihihi...!" Ning Ishma malah merespon peringatan ku dengan gurauan yang tidak lucu.

"Emang Ning Ishma, mau digangbang..?" Tanyaku ngeri, membayangkan Ning Ishma digangbang oleh beberapa orang santri.

Ah, kenapa juga aku mikir hal begitu, lebih baik aku menikmati jepitan memek Ning Ishma selagi kesehatan itu ada. Aku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, kontolku bergerak cepat menghantam dinding memek yang sangat licin namun tidak mengurangi jepitannya.

"Amit amit jabang bayi. Awwww, ennnakkk....!" Ning Ishma kembali menjerit kecil menerima hantaman demi hantaman kontolku yang keras, tubuhnya semakin basah oleh keringat bercampur dengan keringatku.

"Ohhhhhh, memek jenengan enak Ning, kontolku seperti diurut..!" Gumamku, kenikmatan yang kurasakan membuat gairahku semakin memuncak, aku terus mengocok memek Ning Ishma dengan cepat.

"Oooooo, aaaaaku nggak kuatttt.... Ngecrot, memekku ngecrot...!" Jerit Ning Ishma, kakinya merangkul pinggangku disertai tubuhnya yang menggeliat menapaki orgasmenya.

"Akkku juga Ning,..!" Aku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, anehnya semakin cepat aku mengocok memek Ning Ishma, orgasmeku justru semakin menjauh. Setelah mengocok memek Ning Ishma sekian lama, belum juga tanda tanda orgasme kurasakan, sebaliknya dengan Ning Ishma dia kembali mendapatkan orgasme nya.

"Kamu capek, gantian aku yang diatas.!" Bisik Ning Ishma melihatku kelelahan dan belum juga mendapatkan orgasme seperti yang kuinginkan.

Aku hanya mengangguk setuju, staminaku nyaris terkuras habis memacu tubuh Ning Ishma, aku segera menggulingkan tubuhku di sebelah Ning Ishma. Ning Ishma segera naik ke atas tubuhku dan langsung memacu kontolku dengan cepat. Di posisi ini ternyata Ning Ishma bisa mendapatkan orgasme lebih cepat, tidak sampai dua menit dia kembali mendapatkan orgasmenya. Bahkan dia mendapatkan orgasme dua kali dalam waktu 3 menit.

Sepertinya Ning Ishma belum juga puas, dia memintaku berganti gaya. Gaya yang menurutku tidak sesuai dengan derajatnya yang terhormat, Ning Ishma menungging memintaku melakukan penetrasi. Aku hanya mengangguk mengiyakan kemauannya, menyodok memeknya dari belakang dan kembali Ning Ishma mendapatkan orgasme dalam waktu cepat.

"Ohhhhhh, aku mau ngecrot, Ning...!" Bergumam, merasakan pejuhku sudah terkumpul di ujung kontolku.

"Akkkkku juga, hantam memekku sekencang kencangnya...!" Jerit Ning Ishma histeris, tanpa ampun aku menghujamkan kontolku hingga mentok disertai semburan pejuhku membanjiri memeknya bersamaan dengan Ning Ishma yang juga mendapatkan orgasmenya lagi.

Akhirnya aku mendapatkan orgasme juga, rasa letihku terbayar lunas. Perlahan aku menarik kontolku dari memek Ning Ishma, lalu aku merebahkan diri di kasur yang sudah basah oleh peluh kami.

"Din, peluk aku..!" Bisik Ning Ishma berbaring membelakangiku setelah semua staminanya terkuras oleh pergumulan yang cukup panjang, nafasnya yang tersengal kembali normal.

"Kenapa nggak tidur di kamar jenengan sendiri, Ning?" Tanyaku heran, namun aku tetap memeluk Ning Ishma seperti permintaannya.

Ning Ishma tidak menjawab pertanyaanku, matanya terpejam dan terdengar hembusan nafasnya yang panjang dan teratur.

*********

"Duduk, Din..!" Gus Mir mempersilahkan aku duduk di sebelahnya,

"Ada apa Gus, jenengan memanggilku?" Tanyaku gelisah, tempat yang dipilih Gus Mir ngobrol sangat tidak lazim.

"Mengenai Ning Ishma, aku minta kamu merahasiakan semuanya." Jawab Gus Mir lirih, dia terlihat sangat rapuh.

"Tentu saja Gus, aib ini akan kita jaga bersama." Jawabku

"Din, seandainya agama tidak melarang kita untuk bunuh diri, hal itu sudah lama kulakukan." Aku terkejut, serapuh itukah Gus Mir? Dan dia mengatakannya di hadapanku, seakan minta pertolongan dariku.

"Pak Yai, tidak seharusnya aku menasehati anda karena samudra ilmu sudah anda Selami hingga dasarnya. Saya hanya ingin mengingatkan, jadilah Kyai yang bisa saya hormati dan jadikan panutan, karena itulah alasan saya datang menuntut ilmu dan mencari berkah dari Pak Yai." Jawabku pelan, keberanianku muncul sehingga aku berani menatap wajahnya yang terlihat rapuh.

"Hal yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dilakukan. Aku iri melihatmu yang lahir dari kalangan biasa sehingga tidak menanggung beban dari orang tua, kamu bebas melakukan apa tanpa takut cibiran yang akan menjatuhkan harkat dan derajat orang tua." Gus Nur menatapku dengan keberaniannya yang tersisa, seakan meminta uluran tanganku memapah jiwanya yang terpuruk.

"Justru seharusnya saya yang merasa iri, saya harus berjuang dari nol untuk meraih predikat Kyai seperti keinginan ke dua orang tua saya, entah itu akan menjadi nyata atau hanya tetap menjadi angan angan saja." Terbayang olehku, wajah bapak dan ibu menyambut kepulangan ku dengan gelar Al-'alim, luar tanah satu hektar sudah dipersiapkan untukku membangun sebuah pondok pesantren sederhana.

"Semoga cita-cita mulia ke dua orang tuamu tercapai, semoga kamu menjadi ulama dan mendapatkan keturunan yang juga ulama." Gus Mir mengangkat kedua tangannya dan mendoakanku dengan khusuk.

"Amiin, terimakasih atas semua doanya Pak Yai." Aku menatap takjub Gus Nur, setelah jelas jelas kukhianati,

"Din, seandainya doaku terkabul. Tolong jaga Ning Ishma, nikahi dan bahagiakan dia yang sangat mencintaimu." Aku heran mendengar permintaan Gus Nur yang kurasa mengada ada.

"Maksud Pak Yai, apa?" Aku berpikir keras, maksud dari perkataan Gus Nur.

"Sudah nggak usah dipikirkan, kita ke masjid sebelum adzan Maghrib berkumandang." Gus Nur merangkul pundakku, kami berjalan beriringan seakan akan tidak pernah ada masalah di antara kami.


Bersambung....
 
Chapter 14



"Istighfar, Ning. Allah hanya menguji kita dengan cobaan yang bisa kita hadapi. Semuanya sesuai dengan kapasitas keimanan kita, Ning harus yakin itu." Nasehat yang seharusnya aku dengar dari Ning Ishma, sekarang malah aku yang menasihatinya.

Niatku mondok di sini ternyata tidak berjalan mulus, aku justru menghadapi masalah pelik yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Aku terjebak di antara cinta dan syahwat yang mengenalkanku dengan surga dunia dan lebih gila adalan Ning Ishma yang mengenalkanku dengan kenikmatan tabu. Wanita mulia yang seharusnya aku hormati, dia adalah istri dari Kyaiku.

"Gus Nur sudah mendzolimi aku, seharusnya dia menceraikan aku melalui pengadilan agama atau meminta pembatalan pernikahan ini." Jawab Ning Ishma setelah berhasil mengendalikan dirinya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit aku jabarkan, hanya dia yang tahu arti tatapan matanya.

"Maafkan aku, Ning. Aku tidak bisa melakukan itu, semuanya demi nama baik ke dua orang tua kita di mata umat." Jawab Gus Nur, entah sejak kapan dia berada dalam kamar tanpa kuketahui. Aku berusaha melepaskan pelukan Ning Ishma yang kencang, namun Ning Ishma semakin erat memelukku. Ya Allah, aku tidak bisa lagi menghindar dari kemurkaan Gus Mir.

"Kamu tahu, pernikahan ini haram. Seharusnya kita tidak terus menerus menumpuk dosa, kau bisa membatalkan pernikahan ini sehingga kita tidak terlalu menanggung aib." Jawab Ning Ishma, suara tangisnya sudah terhenti walau air mata masih terus membasahi pipinya yang halus. Dia tetap memelukku, seakan. Ingin melindungi aku dari kemurkaan Gus Mir yang bisa meledak sewaktu-waktu.

"Aku tahu Ning, biarlah aku menanggung semua dosanya." Gus Mir meninggalkan kami berdua di kamar, entah siapa yang paling menderita dalam situasi seperti ini. Dan siapa yang berhasil mendapatkan keuntungan dari situasi ini? Jawabannya pasti aku, tapi apakah itu sebanding dengan rasa bersalah yang terus menerus menghantui?

Dilema ini semakin menjeratku, cinta yang masih tetap menjadi tanda tanya dan masalah hubungan terlarang ku dengan Ning Ishma. Apa yang harus kulakukan demi kebaikan semuanya, haruskah aku pergi meninggalkan pondok ini dan mencari pondok lain sehingga aku bisa khusuk menuntut ilmu agama seperti yang diinginkan ke dua orang tuaku? Jelas jelas aku sudah mengkhianati kepercayaan orang tuaku yang ingin melihat anak semata wayangnya menjadi seorang ulama,

"Apa yang kau pikirkan, Din?" Ning Ishma mengagetkan ku dengan pertanyaannya, dia menatapku tanpa melepaskan pelukannya. Bahkan dalam situasi sulit yang sedang dihadapinya, Ning Ishma masih sempat memperhatikan keadaanku. Itukah cinta?

"Sepertinya aku harus mencari pondok lain, Ning." Gumamku lirih, kuhapus sisa-sisa air mata yang berlinang di pipinya. Sebuah dorongan kuat dari lubuk hati, membuatku mencium pipinya yang basah oleh air mata.

"Aku ikut, ke manapun kamu pergi." Jawab Ning Ishma, kebahagiaan semu terpancar di matanya yang seperti bintang kejora, air mata tidak mampu menyembunyikan keindahannya.

"Apa yang kita lakukan salah, Ning. Kita tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu, kita sudah menganggap nafsu sebagai cinta." Ah, kenapa kalimat bijak yang seharusnya kudengar dari bibir indah Ning Ishma justru aku ucapkan dengan fasih.

"Aku tahu, jangan nasihati aku seperti itu. Biarkan aku memiliki mu, biarkan aku merasa bahagia walau yang kita lakukan salah."jawab Ning Ishma pelan, Ning Ishma mendekapku semakin erat.

"Ning, kamu hanya menjadikan aku pelarian. Tak ada cinta di hatimu, aku yakin itu." Jawabku pelan, tidak ada alasan Ning Ishma jatuh cinta padaku tanpa sebuah alasan jelas. Kami baru saling mengenal di sini, walau kami memang pernah bertemu saat aku mondok di Cirebon dan Ning Ishma menjadi staf pengajar di sana. Tapi kami hanya bertemu beberapa kali tanpa pernah saling menyapa, bahkan aku baru mengenal namanya di sini.

"Kamu salah, cinta tidak pernah mengenal akal sehat. Cinta yang menguasai akal sehat sehingga kita akan melupakan diri kita sendiri, status dan apa pun yang ada pada diri kita." Jawab Ning Ishma, aku belum bisa mencerna dan memahami apa yang dikatakannya.

"Aku terlalu bodoh untuk bisa memahami perkataannya, Ning." Jawabku lirih, semakin aku pikirkan semakin kepalaku pusing.

"Kamu tidak perlu memikirkannya, semakin memikirkannya semakin kamu tersesat di dalamnya. Seperti kata Khalil Gibran

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya" (Kahlil Gibran)" jawab Ning Ishma pelan, dia menatapku dengan pandangan berbinar, seindah bintang kejora.

"Ning, aku harus pergi dari sini. Tujuan hidupku sudah berbelok jauh. Aku takut tidak bisa kembali, ke tujuan asalku." Jawabku putus asa, bayang bayang wajah ke dua orang tuaku yang setiap malam bersujud, bersimpuh dalam untaian doa agar aku pulang menyandang predikat Al-'alim.

"Jangan pernah tinggalkan aku, jangan pernah." Gumam Ning Ishma seperti tidak mendengar apa yang kukatakan, dia hanya bisa mendengar suara hatinya saja.

"Ning, sudah malam, sebaiknya kita tidur." Aku berusaha merenggangkan pelukan, Ning Ishma.

"Aku ingin tidur dalam pelukanmu, malam ini." Jawab Ning Ishma, dia tidak mau melakukan pelukannya.

"Ning, Gus Mir...!" Ucapannya terhenti ketika Ning Ishma melumat bibirku dengan lembut, lebih lembut dari biasanya.

"Gus Mir sudah mengetahui perbuatan kita, dia sudah tahu semuanya." Kata Ning Ishma disela sela ciumannya, digigitnya bibir bawahku setelah mengucapkan kalimat yang tidak membuatku kaget. Rasa kagetku sepertinya sudah habis setelah kejadian tadi.

"Lalu?" Tanyaku gelisah, kemungkinan paling buruk yang aku takutkan bukanlah diusir dari pesantren ini karena aku bisa mencari pesantren lain untuk menempuh pendidikan agama, tapi yang paling aku takutkan adalah mereka melaporkan kelakuanku kepada ke dua orang tuaku. Aku tidak bisa membayangkannya.

"Dia membiarkan kejadian ini dengan syarat, aku tidak meninggalkannya." Jawab Ning Ishma, dia mendorongku rebah di ranjang kayu dengan kasur yang sudah keras.

"Ning, ini salah..!" Ning Ishma hanya menatapku, perlahan dia menindih tubuhku dan bibirnya kembali melumat bibirku, dan tidak ada alasan bagiku untuk menolak ciumannya yang hangat dan penuh gairah.

"Nikmati saja dosa ini, aku tidak akan pernah membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja." Bisik Ning Ishma, kembali kami berciuman dengan panas. Seolah waktu adalah milik kami, kami bebas menikmati kesempatan yang ada, sebelum kesempatan itu hilang.

Perlahan dan sangat berhati hati, aku membalikkan tubuh sehingga posisi kami berubah, kini aku menindih Ning Ishma dan mengambil alih permainan yang diajarkan oleh Ning Ishma. Sekarang, aku yang mulai mencium bibir Ning Ishma, melupakan semua ajaran yang kudapatkan dengan susah payah.

"Ning, kenapa ini harus terjadi? Sia sia apa yang sudah kudapatkan dengan bersusah payah." Bisikku ditelinganya yang tertutup hijab, aku memandangnya dengan berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

"Nikmati saja, anggap aku istrimu." Jawab Ning Ishma, kami saling bertatapan dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam hati.

"Nggak mungkin, kamu istri guruku." Aku kembali melumat bibir Ning Ishma, semakin lama aku merasa ciumanku semakin mahir. Ning Ishma guru terbaik, dia bisa mengajariku cara berciuman yang benar.

"Jujur, kamu menyukainya kan?" Tanya Ning Ishma, dia membelai kumis tipisku yang mulai tumbuh.

"Iya, walau kadang aku takut dengan dosa dan gugurnya cita cita ke dua orang tuaku yang ingin punya anak Kyai." Jawabku jujur, selama ini aku mondok hanya karena baktimu sebagai anak, bukan atas kemauanku sendiri.

"Jadi selama ini kamu mondok karena kemauan orang tuamu, bukan karena keinginanmu sendiri?" Tanya Ning Ishma, dia mendorongku ke samping dan mengambil alih posisi ku yang menindihnya.

"Iya, tadinya aku ingin menjadi seorang tentara." Jawabku memeluk pinggang ramping Ning Ishma, kehangatan tubuhnya membuatku nyaman dan bisa melupakan Ning Sarah.

"Pantas, kamu nggak pintar-pintar, kecuali satu hal yang harus aku akui kamu sangat pintar." Goda Ning Ishma, dia menciumi leherku yang mulai basah oleh keringat.

"Apa?" Tanyaku pelan menikmati ciuman Ning Ishma, aku balas meremas pantatnya yang berisi dan menggiurkan.

"Menulis, surat cinta.!" Jawab Ning Ishma,dia menggigit bibir bawahku dengan gemas membuatku kesulitan menanyakan kecurigaanku, apakah selama ini yang menatapnya dengan surat-surat cintaku untuk Ning Sarah adalah dia?

"Berarti, Ning Ishma yang mensabotase semua surat cinta ku?" Tanyaku jengkel, aku yakin dia yang melakukannya.

"Ya, karena aku tidak rela Ning Sarah adik sepupuku harus mengalami nasib seperti aku." Jawab Ning Ishma, kami saling bertatapan dengan berbagai prasangka.

Tidak pernah kusangka, Ning Ishma telah mensabotase semua surat cintaku dengan alasan tidak masuk akal, seharusnya dia tidak melakukan hal bodoh itu.

"Maksudnya?" Tanyaku jengkel.

"Kamu tahu, gara gara cinta monyet perawanku hilang oleh pria yang tidak bertanggung jawab." Jawab Ning, dia bangkit dari atas tubuhku dan duduk dengan memeluk dengkulnya menghadap ke arahku.

"Aku tidak sama dengan mantan pacar kamu, Ning." Aku menatap Ning Ishma yang menerawang mengingat masa lalunya, iseng tanganku masuk ke dalam celah bajunya dan meraba pahanya yang mulus.

"Mungkin kamu tidak sama dengan bajingan itu, tapi sudah kewajiban ku menjaga adik sepupuku." Jawab Ning Ishma membiarkan aksi jahilku mengelus pahanya semakin masuk hingga menyentuh selangkangannya.

"Kamu, nakal..!" Ning Ishma tersenyum mendapatkan keberanianku yang bertambah, dibiarkan tanganku menyusup lewat celah celana dalamnya sehingga menemukan lembah sempit yang telah basah. Bahkan dia mengangkat pinggulnya saat aku menarik celana dalamnya lepas melewati telapak kakinya.

"Ning Ishma yang mengajariku, jadi jangan salahkan aku." Jari telunjukku semakin masuk ke dalam lobang yang begitu sempit, membuat Ning Ishma memejamkan mata menikmati kenakalanku.

"Dan, kamu murid yang cerdas, seharusnya kau gunakan kecerdasan mu untuk belajar semua hal disini." Ning Ishma memandangku dengan kerling mata yang mulai nakal, semua topengnya sudah ditanggalkannya di hadapanku.

"Tapi Ning Ishma, malah mengajari pelajaran tabu ini." Jawabku tidak bisa menahan diri lebih lama, kusingkap ujung bajunya sehingga aku bisa melihat selangkangannya yang tersembunyi rapat di antara pangkal pahanya.

"Nakal, kamu santri kurang ajar yang berani berbuat cabul kepada Nyai. Ahhhhh, kamuuuu semakin berani mencabuli seorang Nyai...!" Teriak lirih Ning Ishma semakin melebarkan pahanya memberiku ruang menyentuh organ paling intim yang seharusnya menjadi hak suaminya.

Aku tidak peduli lagi dengan harkat dan martabat Ning Ishma, bagiku saat ini dia hanyalah wanita binal yang menginginkan kontol perkasa ku mengaduk aduk memeknya, membawanya mengarungi samudra birahi hingga seluruh sendi di tubuhnya terlepas oleh rasa nikmat yang sulit dijabarkan dengan kata kata. Jariku semakin masuk ke dalam memek Ning Ishma, perlahan aku mengocoknya sehingga jariku menjadi basah oleh cairan memeknya.

"Ohhhhhh terusssss, siksa aku...!" Ning Ishma menggeliat dan tubuhnya terhempas ke belakang dengan kedua tangan menahan berat tubuhnya, pinggulnya terangkat menyambut hari telunjukku yang dengan liar mengocok memeknya.

Wajahku semakin mendekati selangkangan Ning Ishma agar bisa melihatnya lebih jelas, namun lampu kamar yang temaram membuatnya menjadi samar. Tapi itu tidak mengurangi nafsuku mempermainkan nafsu Ning Ishma yang sudah mencapai puncaknya. Jariku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, sekarang dua jariku masuk dan semakin liar mengocok memeknya.

Crot crot cplok, suara jariku yang mengocok memek Ning Ishma terdengar nyaring di keheningan malam, menambah aroma birahi yang menuntut pelampiasan.

"Jahat, kamu jahatttt memekku diobok-obok paket jari...!" Jerit Ning Ishma, pinggulnya bergerak mengikuti irama kocokan jariku.

"Ampun, ampunnnnn, aku ngecrot....!" Teriak Ning Ishma, pinggulnya terus mengejang berkali kali dan memeknya berkedut kedut meremas jemariku.

Aku jadi penasaran, bagaimana rasa memek Ning Ishma yang basah oleh cairan orgasme dahsyat. Saat pinggul Ning Ishma lebih rileks, aku menjilati memeknya, menghisap cairan birahi yang aromanya lebih tajam dibandingkan biasanya. Sruput, sruput , kuhisap terus cairan memek yang cukup banyak.

"Ahhhhh, awww, Dinnnnn ampunnnnn. Akkku ngecrot lagiiii..!" Ning Ishma berteriak histeris, menjambak rambutku saat dia kembali mendapatkan orgasme dalam waktu sangat singkat. Aku semakin rakus, kusedot habis cairan orgasme yang keluar terus menerus sehingga membasahi daguku.

Aku tersenyum senang, ternyata ada kenikmatan tersendiri melihat Ning Ishma kelojotan dipermainkan orgasme yang terus menerus dalam waktu singkat. Aku menatap wajah Ning Ishma, matanya terpejam dengan senyum tipis bahagia.

"Kamu jahat, bikin aku kelojotan seperti ini." Ning Ishma menatapku sayu, tubuhnya yang letih terdiam pasrah saat aku menyingkapkan gamis super lebar hingga atas dadanya yang membusung indah dan tertutup BH warna putih, ada yang menarik dengan BH yang dikenakannya, bahannya sangat transparan dengan pengait yang ada di depannya sehingga puting payudaranya terlihat membayang.

"Buka ya, Ning!" Tanpa menunggu jawaban darinya, aku membuka pengait BH dengan mudah, sehingga payudaranya terbebas dari belenggunya. Indah, semakin sering melihatnya justru semakin indah.

"Anak nakal, sudah berani membuka BH ku..!" Ning Ishma merintih lirih saat tanganku yang kasar mulai membelai payudaranya, bentuknya yang tidak terlalu besar membuat telapak tanganku nyaris bisa menutupi seluruh permukaannya.

"Indah, sayang aku tidak bisa memilikinya." Gumamku takjub, aku selalu tidak percaya bisa menyentuhnya dengan bebas. Ini seperti sebuah mimpi dan aku melihat diriku sedang menyentuh, membelai payudara Ning Ishma. Bukan hanya sekedar menyentuh, lidahku bebas menjilati permukaannya yang halus, putingnya yang semakin mengeras.

"Ini milikmu, sayang..!" Ning Ishma memeluk kepalaku, seperti seorang ibu yang sedang menyusui anak kesayangannya yang masih balita.

Aku semakin rakus menghisap puting payudara Ning Ishma, walau aku tidak akan mendapatkan satu tetes pun air ASI yang keluar dari dalam payudaranya.

"Ahhhhh, terusssss sayang hisap tetek ku ini.!" Ning Ishma semakin erat memeluk kepalaku, kehangatan payudaranya memenuhi wajahku. Nyaman sekali, aromanya tubuhnya semakin membakar birahiku.

Ada yang berbeda dengan adegan mesum saat ini, biasanya Ning Ishma yang mendominasi. Tapi sekarang, aku justru yang mengambil alih permainan, berusaha memuaskan birahi Ning Ishma yang meledak ledak.

"Hihihi...!" Ning Ishma tertawa geli merasakan puting payudaranya kuhisap dengan rakus disertai gigitan kecil yang membuat punggungnya terangkat, menikmati kejutan kejutan kecil yang membawa kenikmatan.

"Kenapa, Ning?" Tanyaku menghentikan aktivitas ku, wajah Ning Ishma bersemu merah.

"Biasanya aku yang perkosa kamu, sekarang malah kamu yang mau perkosa aku." Ning Ishma mengerling manja.

"Iya, aku belajar dari jenengan Ning." Ning Ishma menahan pundakku saat akan meneruskan aktifitasku menikmati payudara Ning Ishma.

"Sudah sayang, aku nggak tahan..!" Seru Ning Ishma manja, dia berusaha mengendurkan lilitan sarung yang kupakai.

"Nggak tahan apa, Ning?" Tanyaku berusaha menggoda Ning Ishma, sekedar mencairkan suasana yang panas oleh api birahi.

"Masukin kontolmu, gitu aja nggak mudeng..!" Cemberut Ning Ishma membuatnya terlihat semakin cantik, api birahi membuat wajahnya bersemu merah.

"Aku masih pakai sarung dan celana dalam Ning, nggak bisa dimasukin." Keisengan ku timbul, ingin menggoda Ning Ishma lebih lama.

"Buka donk, apa susahnya sih..!" Protes Ning Ishma, dia berusaha menurunkan sarung dan celana dalamku dalam posisi tertindih olehku, sehingga dia gagal melakukannya dengan sempurna.

"Iya, tunggu sebentar..!" Dengan tergesa besar aku membuka sarung dan celana dalamku, aku ingin secepatnya menusukkan kontolku ke dalam lobang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan itu.

Aku kembali merangkak di atas tubuh Ning Ishma yang semakin lebar membuka pahanya, dia segera meraih kontolku dan menariknya ke lobang memeknya yang menganga tidak sabar menunggu kehadiran kontolku.

"Aduh, jangan ditarik, sakit..!" Protesku tidak digubris oleh Ning Ishma yang mengangkat pinggulnya, berusaha memasukkan kontolku ke dalam memeknya.

"Makanya, buruan masukkin.." gerutu Ning Ishma, dia menarik pinggulku hingga akhirnya kontolku terpaksa masuk memeknya yang sudah sangat basah.

"Ahhhhh, akhirnya...!" Seru Ning Ishma, matanya terpejam menerima sodokanku yang lumayan cepat, pinggulnya langsung bergoyang tidak sabar. Padahal aku masih ingin menikmati kehangatan memeknya.

"Ennnak, memekmu rasanya hangat.!" Gumamku, mengikuti gerakan pinggul Ning Ishma.

"Ohhhhhh Iyya goyang terussss, ahhhh..!" Ning Ishma menjerit kecil, membuatku ketakutan kalau sampai suaranya terdengar orang lain, dinding kayu tidak bisa meredam suara.

"Ning, jangan berisik, nanti kedengaran orang..!" Bisikku mengingatkan Ning Ishma tentang bahaya yang kami hadapi kalau sampai ada yang mendengar kegilaan kami.

"Iya, aku lupa. Nanti kalau yang denger santri, bisa bisa dia juga minta jatah. Bisa habis aku digangbang kalian, hihihi...!" Ning Ishma malah merespon peringatan ku dengan gurauan yang tidak lucu.

"Emang Ning Ishma, mau digangbang..?" Tanyaku ngeri, membayangkan Ning Ishma digangbang oleh beberapa orang santri.

Ah, kenapa juga aku mikir hal begitu, lebih baik aku menikmati jepitan memek Ning Ishma selagi kesehatan itu ada. Aku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, kontolku bergerak cepat menghantam dinding memek yang sangat licin namun tidak mengurangi jepitannya.

"Amit amit jabang bayi. Awwww, ennnakkk....!" Ning Ishma kembali menjerit kecil menerima hantaman demi hantaman kontolku yang keras, tubuhnya semakin basah oleh keringat bercampur dengan keringatku.

"Ohhhhhh, memek jenengan enak Ning, kontolku seperti diurut..!" Gumamku, kenikmatan yang kurasakan membuat gairahku semakin memuncak, aku terus mengocok memek Ning Ishma dengan cepat.

"Oooooo, aaaaaku nggak kuatttt.... Ngecrot, memekku ngecrot...!" Jerit Ning Ishma, kakinya merangkul pinggangku disertai tubuhnya yang menggeliat menapaki orgasmenya.

"Akkku juga Ning,..!" Aku semakin cepat mengocok memek Ning Ishma, anehnya semakin cepat aku mengocok memek Ning Ishma, orgasmeku justru semakin menjauh. Setelah mengocok memek Ning Ishma sekian lama, belum juga tanda tanda orgasme kurasakan, sebaliknya dengan Ning Ishma dia kembali mendapatkan orgasme nya.

"Kamu capek, gantian aku yang diatas.!" Bisik Ning Ishma melihatku kelelahan dan belum juga mendapatkan orgasme seperti yang kuinginkan.

Aku hanya mengangguk setuju, staminaku nyaris terkuras habis memacu tubuh Ning Ishma, aku segera menggulingkan tubuhku di sebelah Ning Ishma. Ning Ishma segera naik ke atas tubuhku dan langsung memacu kontolku dengan cepat. Di posisi ini ternyata Ning Ishma bisa mendapatkan orgasme lebih cepat, tidak sampai dua menit dia kembali mendapatkan orgasmenya. Bahkan dia mendapatkan orgasme dua kali dalam waktu 3 menit.

Sepertinya Ning Ishma belum juga puas, dia memintaku berganti gaya. Gaya yang menurutku tidak sesuai dengan derajatnya yang terhormat, Ning Ishma menungging memintaku melakukan penetrasi. Aku hanya mengangguk mengiyakan kemauannya, menyodok memeknya dari belakang dan kembali Ning Ishma mendapatkan orgasme dalam waktu cepat.

"Ohhhhhh, aku mau ngecrot, Ning...!" Bergumam, merasakan pejuhku sudah terkumpul di ujung kontolku.

"Akkkkku juga, hantam memekku sekencang kencangnya...!" Jerit Ning Ishma histeris, tanpa ampun aku menghujamkan kontolku hingga mentok disertai semburan pejuhku membanjiri memeknya bersamaan dengan Ning Ishma yang juga mendapatkan orgasmenya lagi.

Akhirnya aku mendapatkan orgasme juga, rasa letihku terbayar lunas. Perlahan aku menarik kontolku dari memek Ning Ishma, lalu aku merebahkan diri di kasur yang sudah basah oleh peluh kami.

"Din, peluk aku..!" Bisik Ning Ishma berbaring membelakangiku setelah semua staminanya terkuras oleh pergumulan yang cukup panjang, nafasnya yang tersengal kembali normal.

"Kenapa nggak tidur di kamar jenengan sendiri, Ning?" Tanyaku heran, namun aku tetap memeluk Ning Ishma seperti permintaannya.

Ning Ishma tidak menjawab pertanyaanku, matanya terpejam dan terdengar hembusan nafasnya yang panjang dan teratur.

*********

"Duduk, Din..!" Gus Mir mempersilahkan aku duduk di sebelahnya,

"Ada apa Gus, jenengan memanggilku?" Tanyaku gelisah, tempat yang dipilih Gus Mir ngobrol sangat tidak lazim.

"Mengenai Ning Ishma, aku minta kamu merahasiakan semuanya." Jawab Gus Mir lirih, dia terlihat sangat rapuh.

"Tentu saja Gus, aib ini akan kita jaga bersama." Jawabku

"Din, seandainya agama tidak melarang kita untuk bunuh diri, hal itu sudah lama kulakukan." Aku terkejut, serapuh itukah Gus Mir? Dan dia mengatakannya di hadapanku, seakan minta pertolongan dariku.

"Pak Yai, tidak seharusnya aku menasehati anda karena samudra ilmu sudah anda Selami hingga dasarnya. Saya hanya ingin mengingatkan, jadilah Kyai yang bisa saya hormati dan jadikan panutan, karena itulah alasan saya datang menuntut ilmu dan mencari berkah dari Pak Yai." Jawabku pelan, keberanianku muncul sehingga aku berani menatap wajahnya yang terlihat rapuh.

"Hal yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dilakukan. Aku iri melihatmu yang lahir dari kalangan biasa sehingga tidak menanggung beban dari orang tua, kamu bebas melakukan apa tanpa takut cibiran yang akan menjatuhkan harkat dan derajat orang tua." Gus Nur menatapku dengan keberaniannya yang tersisa, seakan meminta uluran tanganku memapah jiwanya yang terpuruk.

"Justru seharusnya saya yang merasa iri, saya harus berjuang dari nol untuk meraih predikat Kyai seperti keinginan ke dua orang tua saya, entah itu akan menjadi nyata atau hanya tetap menjadi angan angan saja." Terbayang olehku, wajah bapak dan ibu menyambut kepulangan ku dengan gelar Al-'alim, luar tanah satu hektar sudah dipersiapkan untukku membangun sebuah pondok pesantren sederhana.

"Semoga cita-cita mulia ke dua orang tuamu tercapai, semoga kamu menjadi ulama dan mendapatkan keturunan yang juga ulama." Gus Mir mengangkat kedua tangannya dan mendoakanku dengan khusuk.

"Amiin, terimakasih atas semua doanya Pak Yai." Aku menatap takjub Gus Nur, setelah jelas jelas kukhianati,

"Din, seandainya doaku terkabul. Tolong jaga Ning Ishma, nikahi dan bahagiakan dia yang sangat mencintaimu." Aku heran mendengar permintaan Gus Nur yang kurasa mengada ada.

"Maksud Pak Yai, apa?" Aku berpikir keras, maksud dari perkataan Gus Nur.

"Sudah nggak usah dipikirkan, kita ke masjid sebelum adzan Maghrib berkumandang." Gus Nur merangkul pundakku, kami berjalan beriringan seakan akan tidak pernah ada masalah di antara kami.


Bersambung....

Benar" kisah yg penuh dengan mistri percintaan yg tak bisa di duga begitu aj..
Mantap
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd