queenoftherainitugue
Semprot Kecil
- Daftar
- 9 Sep 2020
- Post
- 55
- Like diterima
- 164
Cinta adalah nama gadis cantik itu. Gadis yang kini sedang duduk di lobi salah satu hotel berbintang yang berada di pusat kota. Diantara gadis-gadis lain yang kebetulan ada disana, Cinta memang terlihat lebih mencolok. Parasnya yang cantik alami pastilah membuat laki-laki tergoda untuk meliriknya. Termasuk beberapa laki-laki yang kebetulan juga berada disana. Tidak sedikit diantara lirikan tersebut sempat beradu dengan tatapan Cinta. saat itu terjadi diantara mereka ada yang melempar senyuman, ada pula yang langsung tertunduk malu. Sebuah hal yang biasa bagi Cinta, sehingga ia terlihat tidak terlalu terganggu karenanya.
Cinta mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dipegangnya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti saat tadi pertama kali ia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar jelas diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.
“Ppfftt..”. Cinta merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas jinjing ia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya pun kembali tertuju kepada sosial media yang tadi sempat teralihkan.
Sebenarnya Cinta tidak masalah apabila laki-laki paruh baya itu ingin menikmati apa yang ada dibalik roknya, asalkan ada kompensasi yang cocok. Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang. Dibalik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Cinta juga memiliki profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas alias lady escort. Profesi ini sudah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal ia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Jika anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda. Itulah persyaratan yang ditetapkan Cinta.
Cinta tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu. Di hotel itu Cinta sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari ia menjalani profesi ini. Faktor ekonomi? Oh tentu tidak. Cinta bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi. Faktor sosial? Jawabannya tidak juga. Cinta tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya kepada profesi tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.
Beberapa menit menunggu akhirnya ponsel yang dipegangnya berbunyi. Cinta menekan tombol jawab. “Halo”.
“Kamu dimana?”.
“Cinta udah di lobi nih Om”.
“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet”.
“Gak apa-apa kok Om”, sahut Cinta.
“Kalo gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”.
“Oke Om”.
Cinta menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum berdiri, sekali lagi Cinta melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Cinta membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya. Ia kembali membuka kedua pahanya saat memperbaiki posisi high heel yang dipakainya. Hanya saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Semua gerakan itu sengaja ia lakukan dengan pelan dan perlahan. Cinta tahu benar kalau posisi kakinya saat ini membuat apa yang seharusnya tidak terlihat, menjadi terlihat.
Lirikan Cinta berubah menjadi tatapan tepat saat laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Cinta. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis cantik itu berdiri. Laki-laki itu terlihat semakin tegang ketika Cinta berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan nakalnya ketahuan. Melihat Cinta yang tersenyum kepada suaminya, si istri langsung melengos dan mencubit paha suaminya.
“Rasakan itu”, gumam Cinta dalam hati.
Cinta dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis cantik itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Cinta. Paling tidak disaat yang sama ia mendapat pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia pun terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.
“Cinta?”, tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.
“Om Rudi?”.
“Wao ternyata benar kata teman Om, kamu cantik sekali”.
“Terima kasih”, ucap Cinta singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering ia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa untuk Cinta.
Laki-laki yang dipanggil Om Rudi itu berperawakan semampai. Agak terlihat pendek dibanding postur tubuh Cinta yang saat itu memakai high heel. Beberapa helai rambutnya sudah nampak memutih menampakkan kematangan usia – kalau tidak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut. Dari segi wajah, Om Rudi ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai tampan. Menurut informasi dari ‘klien’ langganan Cinta yang memperkenalkan mereka, Om Rudi ini adalah seorang pengacara. Ini juga terlihat dari setelan jas hitam yang dipakainya saat itu. Setelan itu jelas terlihat mahal. Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Dimata Cinta yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditetapkannya, itu saja.
“Kamu tunggu sebentar, biar Om nyelesaiin administrasinya dulu”.
Cinta hanya mengangguk. “Silakan”.
Sambil menunggu Om Rudi menyelesaikan urusannya, Cinta melihat-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing disampingnya terlihat sedang menyelesaikan pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis. Cinta berdecak kagum dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Om Rudi ini pastilah berdompet tebal sampai mampu mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Cinta terkesan.
“Oke sudah, yuk kita ke kamar”.
Cinta meletakkan brosur itu kembali dan mengikuti langkah Om Rudi menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
“Kamu gak kuliah hari ini?”, tanya Om Rudi.
“Gak Om, Cinta udah gak kuliah tinggal nyusun”.
“Oh dikit lagi wisuda dong?”.
“Iya kalo lancar Om”.
“Sudah bab berapa?”.
“Masih bab dua sih Om”.
Percakapan mereka terhenti ketika pintu lift di depan mereka terbuka. Terkejutlah Cinta ketika melihat seorang laki-laki yang berdiri diluar lift. Laki-laki itu sepertinya hampir sebaya dengan Om Rudi. Saat itu ia terlihat sedang menggandeng seorang gadis. Tidak kalah mengejutkan lagi adalah kalau ternyata Om Rudi juga mengenal laki-laki paruh baya tersebut.
“Hei Ridwan, gila udah keluyuran aja lu jam segini”, sapa Om Rudi menyapa laki-laki itu sambil menepuk pundaknya.
“Eh Rud, lu sendiri ngapain disini?”.
Om Rudi dan laki-laki itu berjabat tangan. Keduanya tertawa bak kenalan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dilain pihak Cinta nampak panik. Ia berusaha memalingkan wajahnya, walaupun ia tahu kalau usahanya itu pastilah sia-sia belaka.
“Biasalah nyalurin ‘hobby’ hahaha”. Om Rudi melepaskan jabatan tangan mereka. “Cewek baru lagi nih? Hahaha”.
“Rekomendasi temen, gak enak kalo gak dicoba hahaha”.
“Sama dong, gue juga habis nyoba rekomendasi temen”.
Detik ketika mata laki-laki itu menatap ke arahnya, ibarat petir di siang bolong bagi Cinta. Keduanya terlihat kaget, sangat kaget. Laki-laki itu nampak kikuk sama halnya dengan yang dirasakan Cinta saat itu. Keduanya ternyata memang saling mengenal.
Laki-laki paruh baya itu adalah Om Ridwansyah atau biasa ia panggil Om Ridwan. Om Ridwan adalah ayah dari Felisia, sahabat karibnya di kampus. Mereka sudah bersahabat karib sejak SMU. Baik Cinta maupun Felisia sudah saling mengenal keluarga masing-masing dengan sangat dekat. Cinta sudah terbiasa menginap di rumah Felisia, demikian pula sebaliknya. Jadi Om Ridwan bukanlah sosok yang asing dimata Cinta. Dimata Cinta, Om Ridwan adalah sosok simpatik dan kebapakan. Jauh sekali dari kesan laki-laki mata keranjang yang suka mencicipi gadis-gadis muda. Kini ia berjumpa Om Ridwan sedang menggandeng seorang gadis muda. Mungkin saja ia baru selesai menikmati kehangatan tubuh gadis yang sedang digandengnya itu.
Cinta mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dipegangnya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti saat tadi pertama kali ia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar jelas diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.
“Ppfftt..”. Cinta merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas jinjing ia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya pun kembali tertuju kepada sosial media yang tadi sempat teralihkan.
Sebenarnya Cinta tidak masalah apabila laki-laki paruh baya itu ingin menikmati apa yang ada dibalik roknya, asalkan ada kompensasi yang cocok. Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang. Dibalik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Cinta juga memiliki profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas alias lady escort. Profesi ini sudah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal ia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Jika anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda. Itulah persyaratan yang ditetapkan Cinta.
Cinta tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu. Di hotel itu Cinta sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari ia menjalani profesi ini. Faktor ekonomi? Oh tentu tidak. Cinta bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi. Faktor sosial? Jawabannya tidak juga. Cinta tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya kepada profesi tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.
Beberapa menit menunggu akhirnya ponsel yang dipegangnya berbunyi. Cinta menekan tombol jawab. “Halo”.
“Kamu dimana?”.
“Cinta udah di lobi nih Om”.
“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet”.
“Gak apa-apa kok Om”, sahut Cinta.
“Kalo gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”.
“Oke Om”.
Cinta menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum berdiri, sekali lagi Cinta melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Cinta membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya. Ia kembali membuka kedua pahanya saat memperbaiki posisi high heel yang dipakainya. Hanya saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Semua gerakan itu sengaja ia lakukan dengan pelan dan perlahan. Cinta tahu benar kalau posisi kakinya saat ini membuat apa yang seharusnya tidak terlihat, menjadi terlihat.
Lirikan Cinta berubah menjadi tatapan tepat saat laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Cinta. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis cantik itu berdiri. Laki-laki itu terlihat semakin tegang ketika Cinta berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan nakalnya ketahuan. Melihat Cinta yang tersenyum kepada suaminya, si istri langsung melengos dan mencubit paha suaminya.
“Rasakan itu”, gumam Cinta dalam hati.
Cinta dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis cantik itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Cinta. Paling tidak disaat yang sama ia mendapat pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia pun terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.
“Cinta?”, tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.
“Om Rudi?”.
“Wao ternyata benar kata teman Om, kamu cantik sekali”.
“Terima kasih”, ucap Cinta singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering ia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa untuk Cinta.
Laki-laki yang dipanggil Om Rudi itu berperawakan semampai. Agak terlihat pendek dibanding postur tubuh Cinta yang saat itu memakai high heel. Beberapa helai rambutnya sudah nampak memutih menampakkan kematangan usia – kalau tidak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut. Dari segi wajah, Om Rudi ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai tampan. Menurut informasi dari ‘klien’ langganan Cinta yang memperkenalkan mereka, Om Rudi ini adalah seorang pengacara. Ini juga terlihat dari setelan jas hitam yang dipakainya saat itu. Setelan itu jelas terlihat mahal. Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Dimata Cinta yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditetapkannya, itu saja.
“Kamu tunggu sebentar, biar Om nyelesaiin administrasinya dulu”.
Cinta hanya mengangguk. “Silakan”.
Sambil menunggu Om Rudi menyelesaikan urusannya, Cinta melihat-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing disampingnya terlihat sedang menyelesaikan pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis. Cinta berdecak kagum dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Om Rudi ini pastilah berdompet tebal sampai mampu mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Cinta terkesan.
“Oke sudah, yuk kita ke kamar”.
Cinta meletakkan brosur itu kembali dan mengikuti langkah Om Rudi menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
“Kamu gak kuliah hari ini?”, tanya Om Rudi.
“Gak Om, Cinta udah gak kuliah tinggal nyusun”.
“Oh dikit lagi wisuda dong?”.
“Iya kalo lancar Om”.
“Sudah bab berapa?”.
“Masih bab dua sih Om”.
Percakapan mereka terhenti ketika pintu lift di depan mereka terbuka. Terkejutlah Cinta ketika melihat seorang laki-laki yang berdiri diluar lift. Laki-laki itu sepertinya hampir sebaya dengan Om Rudi. Saat itu ia terlihat sedang menggandeng seorang gadis. Tidak kalah mengejutkan lagi adalah kalau ternyata Om Rudi juga mengenal laki-laki paruh baya tersebut.
“Hei Ridwan, gila udah keluyuran aja lu jam segini”, sapa Om Rudi menyapa laki-laki itu sambil menepuk pundaknya.
“Eh Rud, lu sendiri ngapain disini?”.
Om Rudi dan laki-laki itu berjabat tangan. Keduanya tertawa bak kenalan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dilain pihak Cinta nampak panik. Ia berusaha memalingkan wajahnya, walaupun ia tahu kalau usahanya itu pastilah sia-sia belaka.
“Biasalah nyalurin ‘hobby’ hahaha”. Om Rudi melepaskan jabatan tangan mereka. “Cewek baru lagi nih? Hahaha”.
“Rekomendasi temen, gak enak kalo gak dicoba hahaha”.
“Sama dong, gue juga habis nyoba rekomendasi temen”.
Detik ketika mata laki-laki itu menatap ke arahnya, ibarat petir di siang bolong bagi Cinta. Keduanya terlihat kaget, sangat kaget. Laki-laki itu nampak kikuk sama halnya dengan yang dirasakan Cinta saat itu. Keduanya ternyata memang saling mengenal.
Laki-laki paruh baya itu adalah Om Ridwansyah atau biasa ia panggil Om Ridwan. Om Ridwan adalah ayah dari Felisia, sahabat karibnya di kampus. Mereka sudah bersahabat karib sejak SMU. Baik Cinta maupun Felisia sudah saling mengenal keluarga masing-masing dengan sangat dekat. Cinta sudah terbiasa menginap di rumah Felisia, demikian pula sebaliknya. Jadi Om Ridwan bukanlah sosok yang asing dimata Cinta. Dimata Cinta, Om Ridwan adalah sosok simpatik dan kebapakan. Jauh sekali dari kesan laki-laki mata keranjang yang suka mencicipi gadis-gadis muda. Kini ia berjumpa Om Ridwan sedang menggandeng seorang gadis muda. Mungkin saja ia baru selesai menikmati kehangatan tubuh gadis yang sedang digandengnya itu.