Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Mantap hu, ane maraton bacanya, lebih baik jadi penjahat kelamin (positif ya, sama2 suka), dari pada penjahat kemanusiaan
 
Aku berjalan di dalam kesendirian

Aku t'lah hancur lebih dari berkeping-keping

Karna cintaku karna rasaku

Yang tulus padamu





Episode III

Gibbosa Crescente




“Hmm… kalo nanti aku pake baju ini, cocok ngga ya…” gumamku pada diri sendiri seraya mengepas pakaian untuk kukenakan hari itu. Tumpukan baju yang sepagian ini sudah kucoba menjulang diatas kasur. Hatiku gundah karena belum menemukan outfit yang cocok untuk kupakai bekerja ke RS pagi itu.

Kemeja putih dan rok hitam, seperti masih trainee….

Sweater dan celana panjang, terlalu casual…

Dress selutut, mungkin kurang praktis untuk bekerja…



Tapi kemudian dalam hati aku berpikir lagi, apa sebenarnya pekerjaanku sekarang... Kepala Bagian Logistik Farmasi. Apa itu sebenarnya? Bahkan lidahku pun masih asing menyebutkannya. Bagaimanakah rutinitasku nantinya? Aku yang sama sekali tak punya pengalaman di bagian managerial RS, kenapa mendadak harus mengalami rotasi seperti ini. Dengan pemberitahuan yang sangat singkat pula… ada apa ini sebenarnya…



Lamunanku pecah karena tumpukan bajuku mendadak dilempar jatuh ke lantai. Phoebe nampaknya mengira itu adalah jenis permainan baru untuknya. Senyum indahnya merekah sempurna dengan giginya yang masih belum lengkap. Tawa imutnya memecah keheningan pagi itu dan membuatku tersenyum bersamanya.

“Phoebe sayang,, doain mama ya… Mama ga tau ini ada apa di RS, mama juga ga tau harus gimana? Tapi kalo Phoebe kasih semangat mama, mama pasti bisa” ujarku lembut seraya menggendong dan memeluk putriku. Kemudian aku tersadar tenyata Phoebe membawa sepotong bajuku di lengan mungilnya, blazer batik dengan panjang lengan se-siku. Nampaknya putri kecilku sudah membantu memilihkan pakaian untukku pagi itu.

Kupadukan blazer itu dengan skinny jeans hitamku, dan kembali dengan atasan turtleneck sweater, warna hitam kali ini. Tetap kumencoba sebisa mungkin menutupi bekas luka ku. Sebetulnya hampir seluruhnya lukaku sudah memudar, Ravi tak sekeras itu menyakitiku, hanya tertinggal beberapa bekas cupangan di area dada dan leherku.

Leherku yang kemarin diperiksa oleh dokter Alvaro… Seketika kurasakan pipiku memerah mengingat kejadian di poliklinik kemarin. Kelembutan tangannya dan perkataannya…

Tapi kembali kuingatkan diri sendiri. Aku harus sadar diri. Dokter Alvaro adalah direktur umum RS Trikarya Husada. Si Serigala. The Alpha Wolf. Dan mulai hari ini beliau adalah atasanku di RS. Harus kusingkirkan pikiran aneh itu jauh2…





Pagi itu, setiba aku di RS, aku memutuskan untuk kembali menghadap ke kantor HRD. Paling tidak aku membutuhkan klarifikasi dan penjelasan verbal dari pesan yang kuterima. Serta memastikan kebenaran kabar rotasi jabatan tersebut. Karena jam masih menunjukkan pukul 07.15, dan belum nampak hadirnya staf kantor HRD (karena jam kerja mereka dimulai pukul 08.00) aku memutuskan untuk menunggu di area foodcourt RS yang kebetulan buka 24 jam.



Sembari menyesap hot chocolate kesukaanku, aku melihat aktifitas RS yang cukup lengang pagi ini. Pikiranku kembali tertuju ke jabatan baruku. Apakah aku bisa melakukannya? Aku yang sepanjang karirku sebagai seorang dokter umum hanya memiliki pengalaman menangani pasien secara langsung di lapangan… kenapa sekarang ditarik ke bagian managerial? Bagaimana jika aku gagal melakukannya. Terlalu banyak yang kupertaruhkan. Apa jadinya hidupku jika tak lagi bekerja di RS? Bukankah itu nanti akan makin menjadi celah untuk Ravi makin mengolokku? Gelar Dokter ku dan pendidikan Sarjanaku tak lagi berguna…

“Pagi dokter Luna,,, pagi-pagi kok udah melamun dan kusut wajahnya?” sapa suara seorang laki-laki yang mendadak duduk disampingku. Dokter Alvaro.

“Ah,, eh…mm pagi,, Selamat pagi juga dokter Alvaro. Semangat pagi RS Trikarya Husada.” sahutku salah tingkah.

“Pagi sekali dokter Luna sudah hadir di RS…” nada bicara beliau terasa berbeda dengan kemarin sore saat aku menemuinya di kantor. Lebih ringan? Yang membuatku berani untuk melanjutkan pembicaraan dengannya.

“Eh iya,, itu dok, saya memang berniat pagi ini mau bertemu dengan pak Roy dulu, di bagian HRD……………”

“Ada masalah apa lagi dok? Bukankah yang terkait jam kerja itu sudah terselesaikan? Dokter Luna mulai hari ini menjadi kepala bagian logistik farmasi kan?”cecar dokter Alvaro cepat.

Beliau memang orang yang sangat menguasai RS ini, begitu pikirku. Bahkan hal remeh seperti inipun tak lepas dari kendalinya. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Bagaimana aku bisa mengikuti dan keep up dengan etos kerja beliau. Pikiran2 itu makin membuatku merinding dan bergidik. Tak ada seorangpun yang mau mencobai amarah serigala ini. Sungguh suatu mujizat, otakku masih bisa berfungsi untuk mengingat bahwa dokter Alvaro menunggu jawaban dariku…..

“Iya dok…” sahutku lirih, seraya menelan ludahku “Justru karena alasan itulah saya pagi ini datang awal untuk menanyakan terkait kebenaran rotasi jabatan itu serta kejelasan jobdesc saya yang baru ke Pak Roy…..”

Belum selesai aku menjawab, dokter Alvaro langsung menyanggah “Oohhh,, kalau terkait urusan itu, karena posisi dan jabatan dokter Luna sekarang ada dalam divisi saya. Mari dok, sekarang ikut ke kantor saya... Akan lebih tepat apabila sayalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter terkait jabatan ini dan saya jugalah yang akan memberikan briefing untuk dokter Luna. ”





So please, have a seat…” ditengah kebengongan ku, aku tak sadar sudah mengikuti dokter Alvaro hingga sampai ke ruangannya. Akupun duduk di kursi yang tersedia di meja kerja beliau, berhadapan dengannya.

“Jadi dokter Luna, mulai hari ini berpindah divisi, akan bekerja di bagian Logistik Farmasi, langsung dibawah kendali saya” Dokter Alvaro tanpa basa-basi langsung mulai menjelaskan. “Mungkin dokter Luna tidak tahu, tapi kita, RS ini ada masalah serius dalam alur dan sistem pengadaan obat……..”

“Yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan bahkan hingga mempengaruhi ketersediaan obat serta vaksin….” potongku cepat dan setengah tak sadar. Aduh kebiasaan burukku. Damn it. Aku harusnya lebih dapat mengontrol mulutku. Aku reflex langsung mengatupkan tanganku ke mulut. Mata terbelalak dengan penuh ketakutan. Aku telah (dengan tidak sengaja) memotong pembicaraan atasanku. Memotong sang Serigala. Kurasakan keringat dingin menetes di pelipisku. Aku baru saja pindah jabatan, dan ini hal pertama yang kulakukan. Tamat sudah riwayatku di RS ini. Pikiranku makin melantur kemana-mana.

Tapi,,,, justru hal sebaliknya yang terjadi. Alih-alih marah, justru dokter Alvaro awalnya tersenyum dan kemudian dilanjutkan dengan tertawa lepas…

“Ini nih,,, ini dia bukti kenapa aku sudah memilih orang yang tepat untuk posisi ini.” Dokter Alvaro nampak tak kuat menahan tawanya. “Orang yang cerdas dan pintar yang tak perlu aku basa-basi menjelaskan panjang lebar masalah di RS keparat ini, tapi langsung dapat memahaminya. Aku tak sabar untuk membawamu ikut kedalam rapat direksi dokter Luna. Akhirnya aku menemukan partner di RS yang penuh kebusukan ini” gelak dokter Alvaro.

Tak pernah kubayangkan dokter Alvaro yang terkenal kejam dan sadis, bisa tertawa lepas seperti ini. Memang pernah kudengar kabar yang tersebar kalau divisi umum adalah divisi yang paling solid dan kompak dibawah kepemimpinan dokter Alvaro. Awalnya aku sangsi, bagaimana bisa seorang yang buas mampu mempertahankan loyalitas bawahannya. Nampaknya sisi dokter Alvaro yang tersembunyi inilah yang bisa menjawab pertanyaanku.

“Ra… rapat direksi dok??” tanyaku shock, setelah aku dapat mencerna kata-kata terakhirnya tadi.

“hahaha… lupakan, lupakan,,, tidak dalam waktu dekat tentu saja dok... Rapat direksi bukanlah tempat aku ingin mengajakmu hadir saat ini. Tidak saat dokter belum membuktikan kinerja dan kredibilitas dokter.” sahut dokter Alvaro. “All in good time.” gumamnya.

“Oh… iya dok. Baik.” aku menghela nafas yang tak kurasakan telah tertahan di dadaku.

“Jadi dok... Secara garis besar posisi yang dokter Luna akan isi saat ini adalah sebagai kepala bagian logistik. Kurang lebih pekerjaan yang saya harapkan dari dokter adalah melakukan supervisi pergerakan obat yang masuk ke RS ini dan mencocokan dengan permintaan dari bagian medis. Karena dokter Luna awalnya adalah dari divisi medis, saya kira dokter jauh lebih paham profil dari pasien yang masuk ke RS dan tentu saja jenis dan ragam obat yang sebetulnya kita perlukan. I need data, doc. Bukan cuma omongan ‘katanya’, ‘sepertinya’, dan lain sebagainya itu. No. Aku butuh data konkrit untuk disajikan sebagai laporan ke dewan komisaris.” Dokter Alvaro kembali ke mode serius dan menjabarkan jobdesc baruku.

“Ehmm,, yaa…” begitu banyak informasi yang masuk dalam otakku dalam sekejap. Aku dapat merasakan ada sesuatu yang tersembunyi. Pasti ada sesuatu yang tengah terjadi di RS ini. Tap aku tak berani mengungkapkannya. Tidak saat posisiku saja masih mengambang dan sangat mungkin menjadi pertaruhan.

“Jadi, daripada kita makin bertele-tele dan hanya bicara saja, mari dok… Saya akan antar dokter Luna ke bagian logistik, dan saya akan kenalkan ke Bu Vera yang saat ini menjabat menjadi kepala logistik umum.” Dokter Alvaro berdiri dan mengarahkanku untuk mengikutinya menuju unit Logistik.



Setelah kejadian di kantor dokter Alvaro, pagi itu berjalan dengan lancar. Begitu banyak hal baru yang harus kupelajari di divisi baru ini. Aku yang biasanya bekerja di garis depan pelayanan RS, menghadapi dan melayani pasien, sekarang bekerja di balik layar. Apakah aku keberatan, tidak. Justru aku sangat terkagum dan tertegun dibuatnya. Begitu banyak dan kompleks hal yang harus ditata dan dilakukan untuk menjalankan suatu pelayanan RS. Selama ini kukira dokter yang melayani pasien lah yang paling berperan, namun setelah ‘layar’ itu tersingkap, aku seperti diingatkan bahwa apa yang biasa kulakukan hanyalah sepotong kecil dari kesempurnaan pelayanan RS.

Ditengah fokusku dalam mempelajari form dan laporan obat keluar-masuk RS, ponselku berdering, menandakan ada pesan masuk… kulihat sekilas nama pengirimnya, Ravi…

Luna, nanti malam ada acara family dinner di Hotel Four Seasons jam 19.00. Seperti biasa, dress properly dan jangan terlambat.”

Membaca pesan itu seketika aku membeku. Family dinner dalam konteks ini berarti seluruh keluarga besar Ravi, yang seluruhnya adalah penguasa sukses, akan berkumpul malam ini. Ini bukan kali pertama aku hadir dalam acara ini. Tapi tiap kali aku menghadirinya, tak sekalipun aku tidak mengeryitkan dahi dan bergidik melihat keluarga Ravi ‘berinteraksi’. Yup, gala dinner keluarga Godjali akan sangat berkesan untuk dihadiri, bila kamu ingin tahu bahwa dalam keluarga ini, kamu hanya berharga sebanyak kekayaanmu.

Keluarga Godjali… more like Godzillas for me.

Telepon diatas meja kerjaku tiba-tiba berdering, memecah lamunanku.

“Selamat siang, dengan dokter Luna bagian logistik farmasi” sapaku seraya mengangkat telepon.

“Siang dokter Luna, gimana dok, ada kendala dengan pekerjaan baru dokter?” terdengar suara dokter Alvaro di ujung lain sambungan itu.

“Oh,,, iya dokter Alvaro… Sampai saat ini cukup lancar dan baik-baik dok. Bu Vera dan tim disini sangat menguasai dan bermurah hati berbagi ilmu pada saya.”

“Baguslah, kalau begitu. Syukurlah kalau dokter Luna bisa cepat beradaptasi.”

“Ya dok. Apakah ada hal yang dokter Alvaro perlukan dok? Sehingga dokter Alvaro menelpon ke bagian logistik.” Dalam benakku, pasti ada yang beliau butuhkan dari unit ini, sehingga beliau menelpon kesini.

“Oh itu, nanti setelah jam makan siang, tolong temui saya di poliklinik lagi ya dok. Sesuai janji saya kemarin, saya masih ingin merawat dan melihat penyembuhan luka dokter Luna.”

Deg. Ya Tuhan… kembali aku membeku ditempat. Dokter Alvaro. Memeriksa lukaku. Lagi.

Dalam otakku langsung terbayang kejadian kemarin siang saat dokter Alvaro merawat luka di tanganku, di leherku, di tengkukku… Aku dapat merasakan pipiku memerah malu mengingatnya. Dan hari ini itu akan terulang lagi? Oh, God…

“Dok,,, dokter Luna? Halo… ” dalam kabut otakku, kudengar samar suara dokter Alvaro memanggilku. Dia masih menunggu jawabanku.

“Ehh,,, iya iya dok…”spontan aku menjawab. Belum sepenuhnya tersadar penuh dari bayangku.

“Ah, syukurlah kalau dokter Luna mengijinkan saya untuk merawat dokter Luna lagi hari ini. Kalau begitu, sampai ketemu nanti dok.” Dokter Alvaro menutup sambungan telepon denganku.

“Ehh,, aduh… bukan, bukan iya meng-iya-kan itu dokk.. aduh” sahutku panik pada telepon yang sudah terputus.

Kuarahkan pandanganku ke arah jam dinding. Pukul 11.30. Cukup cepat juga waktu berlalu pagi ini. Tak terasa cuma 1 jam waktuku, sebelum dokter Alvaro menantiku di klinik. Kembali kurasakan badanku merinding, seolah tersetrum getaran ingatan saat beliau menyentuh tanganku. Aku tak punya waktu untuk mengelak lagi… Aku tak memiliki cukup alasan untuk menolak tawaran beliau dengan mengatakan aku sudah merawatnya. Truth be told, aku bahkan sudah melupakan adanya memar2 tubuhku…. Sampai dokter Alvaro mengungkitnya lagi.

Anehnya, setelah aku mengingatnya kembali, alih-alih merasakan ngilu dan nyeri karena memar dan lecet di seluruh tubuhku, otakku nampaknya hanya bisa mengingat sentuhan hangat dan lembut dokter Alvaro… Duhhh,,, ada apa dengan otakku ini… Aku tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya…

“Dok,,, dokter Luna.”panggil bu Vera memecah lamunanku. Ada apa sebenarnya denganku hari ini, kenapa sering sekali aku tidak dapat berkonsentrasi. Terlalu banyak kekacauan dipikiranku nampaknya membuat fungsi otakku menurun.

“Ah ya… Bu Vera, ada yang bisa saya bantu?” jawabku spontan

“Itu dok, handphone dokter dari tadi berdering terus… siapa tau telepon penting”.

Pandanganku otomatis langsung terarah ke ponsel yang terletak diatas meja kerjaku, dan aku dapat merasakan jantungku seraya berhenti berdetak sesaat. Ravi. Ravi menelponku. Dan nampaknya itu bukan panggilan pertamanya. Yang berarti ada panggilannya yang sempat tidak kuangkat tadi. Seketika aku panik… dia pasti akan marah besar karena aku tak menjawab telponnya.

Dengan tangan gemetar, kuangkat telpon itu. Bergegas sebelum panggilannya kembali gagal kuterima… “Ya halo Pa,,, maaf Luna tadi ga angkat telpon papa…” sahutku lirih.

“Kerjaanmu ngapain sih Lun… sampe ngangkat telpon aja gabisa” hardik Ravi. “Telepon ini tu penting, makanya kamu bawa handphone kemana2 kan. Supaya bisa kuhubungi kapanpun dimanapun. Standby dong klo gtu… apa gunanya kamu pegang handphone tapi ga angkat telpon, mending ga usah sekalian.”

“Iya pa maaf, Luna tadi lagi ada kerjaan di RS. Ada pasien tadi…” jawabku seraya mengeryit dalam hati.

Aku malah harus sampai berbohong seperti ini untuk menghindari amarah Ravi. Padahal kan aku sudah pindah divisi, sudah tidak langsung melayani pasien lagi… Well, masalah nanti buat dipikir nanti aja. Yang penting sekarang aku punya ‘alasan’ sementara untuk Ravi.

“Ya sudahlah, ga perlu dibahas lagi,,, malah bikin badmood aja. Kamu udah terima pesanku kan. Ingat ya nanti malam ada family dinner jam 19.00. Pulang kerja ontime, ga usah lembur. Dan pake dress yang pantas. Jangan malu2in aku kaya family dinner bulan lalu, saat kamu langsung berangkat dari RS dengan baju kerjamu itu. Inget… Jam 19.00 di Four Seasons. Kalo waktu memungkinkan aku akan pulang kerumah dulu dan kita berangkat bersama, kalau tidak, kami berangkat sendiri saja sama driver, aku akan langsung ke sana sepulang kerja.” Ravi kembali ke mode memerintahnya, dan tak sekalipun aku diberi kesempatan bicara. Sambungan telponnya langsung terputus setelah dia selesai bicara.

Kuhela nafasku berat… Daripada nanti aku lupa lagi dan makin mengacaukan mood Ravi, kuputuskan untuk menelpon rumah untuk memberitahu babysitter Phoebe terkait rencana nanti malam, meminta pembantu dirumah menyiapkan gaun yang akan kukenakan di pesta nanti, serta meminta driver untuk menyiapkan mobil mengantarkan kami.



Tak terasa waktu berlalu dan jam makan siang pun tiba. Aku bersama dengan bu Vera dan tim logistik lainnya bersama-sama berjalan menuju kantin karyawan untuk makan siang bersama. Dapat kurasakan kebersamaan yang luar biasa dalam tim ini. Benar2 seperti layaknya bersama keluarga sendiri. Sama sekali tak ada niat untuk saling menjatuhkan atau saling menyombongkan diri. Yang ada hanyalah aura saling dukung yang mengakar dalam. Kok bisa beda gini ya, di divisi medis ga bisa kaya gini, pikirku dalam hati.

Untuk pertama kalinya semenjak aku bekerja di Trikarya Husada, baru kali ini bisa kurasakan nikmat makan siangku. Biasanya makan siang hanyalah sekadar pengisi enerji, untuk dapat kembali bekerja dan beraktifitas.

Dalam perjalanan kami kembali ke kantor, kami berjalan melalui deretan poliklinik. Untuk kesekian kalinya hari itu, jantungku berhenti berdetak. Deg. Dokter Alvaro. Aku langsung mengecek jam tanganku. Pukul 12.35… OMG. Aku terlambat.

“Bu Vera, maaf… Saya ada keperluan mendadak di poliklinik bu. Saya mohon ijin sebentar sebelum kembali ke kantor ya.” ujarku pada bu Vera dengan sebisa mungkin menutupi kepanikanku.

“Ah ya dok… Tidak apa. Toh dokter kan sekarang kepala bagiannya, tidak perlu ijin lagi pada saya. Silakan dokter Luna. Sampai ketemu lagi nanti di kantor, dok.” sahut bu Vera cepat. Nampaknya dia tetap dapat merasakan kepanikanku, sehingga dengan cepat ijin itupun diberikan.

Bergegas aku menuju ke ruang poliklinik untuk mencari di ruang mana dokter Alvaro berada. Untungnya kepala perawat poliklinik nampaknya tahu apa yang kucari dan dengan sigap mengarahkanku menuju ke salah satu ruang periksa. Aku berusaha sebaik mungkin memberikan senyum terimakasih padanya, dengan masih terengah-engah karena lariku. Aku sudah sangat terbiasa untuk tidak terlambat. Bersama Ravi sang Mr. Ontime, terlambat 1 detikpun sudah seperti mendapat vonis hukuman. Sehingga terlambat 5 menit itu sangat-sangat menggangguku. Terlebih terlambat untuk menemui dokter Alvaro, The Alpha Wolf…

Sesampainya di depan ruang periksa, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk ke dalamnya. Hanya untuk aku terkejut dibuatnya, karena dokter Alvaro sudah ada disana, sedang bersiap-siap dan sekilas terlihat sedang melipat lengan kemeja panjangnya.

“Oops… maaf dok. Maaf. Saya sudah tidak sopan, karena tidak mengetuk pintu.” ujarku seraya menundukkan kepala. Kurasakan pipiku menghangat memerah. Kenapa pula dengan tubuhku, kenapa aku se salah tingkah ini.

“Oh, dokter Luna… tidak apa dok. Mari silakan masuk.”

Aku merasa seperti robot, bergerak otomatis menuju ke kursi periksa pasien. Begitu aku mendudukkan diri, barulah otakku sadar kalau aku sudah dengan polosnya mengikuti perintah dokter Alvaro untuk datang ke poliklinik ini. Untuk diobati. dirawat. dan diperiksa olehnya… Ya Tuhannnn…

“So… apa kabarmu hari ini dokter Luna? Bisa saya mulai untuk merawat luka dokter?” sapa dokter Alvaro.

“Baik dok. Terimakasih sudah bertanya…” jawabku otomatis. “Hmm.. tapi saya kemari bukan untuk merawat luka-luka saya dok.” aku mencoba menenangkan diri dan mengatur nafas kembali. Profesionalitasku harus tetap kujaga, apalagi berhadapan dengan direktur RS ini.

“Hmm? Lantas, alasan apa yang membawa dokter Luna ke poliklinik siang ini? Untuk menemui saya?” sahutnya dengan santai dan… benarkan itu nada menggoda yang kudengar? Dari dokter Alvaro? Mungkin otakku benar2 sedang konslet hari ini.

“Ahhmm.. ehh?” aku kembali salah tingkah dibuatnya. Dapat kurasakan kedua pipiku kembali memerah. “itu dok.. hmm”

“Hahaha… udah dok, jangan salah tingkah begitu. Hmm, jadi kalo saya ga salah menangkap maksud dokter Luna, dokter tidak mau saya periksa dan rawat lukanya hari ini?”

“Iya dok…luka saya sudah membaik kok. Sudah tidak memerlukan perawatan dari dokter Alvaro.”

“Lalu, alasan dokter Luna kesini siang ini?”

Otakku kembali berpikir keras… alasan apa yang bisa kuutarakan kepada dokter Alvaro. Aku yakin kebohongan biasa akan langsung dapat diendusnya. Dan akan membuatnya membenciku…. Tapi tunggu, kenapa aku sangat khawatir kalau dokter Alvaro membenciku? Kenapa aku sangat peduli akan apa pandangan beliau terhadapku?...

Dengan itu, pikiranku kembali melayang jauh dan tidak menyadari bahwa dokter Alvaro masih menunggu jawabanku, dengan senyuman di wajahnya.

“Tadi sebetulnya saat dokter menelpon saya, saya hendak mengatakan tidak perlu untuk merawat saya di poliklinik siang ini, tapi karena saya panik dan kurang konsentrasi, saya jadi membuat kesalahpahaman dengan mengiyakan permintaan dokter... Jadi, siang ini saya kemari untuk memperjelas kesalahpahaman ini dok.” ujarku sambil menunduk, tak kuasa menatap dokter Alvaro. Berharap dengan tidak melakukan kontak mata, aku akan lebih lancar memberikan jawaban.

“Oh, syukurlah kalau betul luka-luka dokter sudah membaik dan tak memerlukan perawatan. Tapi, siang ini kita sudah disini, kan. Sudah meminjam ruang periksa ini juga. Kalau dokter Luna nyaman dan mengijinkan, tolong perbolehkan saya paling tidak melihat kondisi luka dokter saat ini. Kalau dokter Luna nyaman saja. Saya tidak memaksa kok dok…”

Otakku terasa sangat lambat memproses apa yang dokter Alvaro katakan… Apa yang dijabarkan barusan semuanya benar, dan semua adalah fakta. Aku tak dapat menyanggahnya satupun. Sampai aku tak sadar dokter Alvaro sudah duduk tepat dihadapanku. Dan aku dapat melihat kedua lengan bawahnya, semua urat nadinya menonjol dan ototnya nampak terukir keras. Sangat bukan tipikal lengan direktur pada umumnya. Dalam bayanganku direktur2 biasa tidak akan mempunyai lengan seperti itu, lengan yang hanya bisa terbentuk demikian karena pekerjaan keras. Mana ada direktur yang mau turun tangan sendiri, biasa hanya asal tunjuk dan asal perintah. Tapi ini…

Ditengah laju pikiranku yang tak menentu, kembali dokter Alvaro mengambil kesempatan untuk memeriksa luka di kedua tanganku yang tak tertutupi oleh bajuku. Nampaknya dia mengartikan bahasa tubuhku dan keheninganku sebagai persetujuan…. Yang tidak sepenuhnya salah….

Ada sesuatu yang membuatku sangat penasaran dan ingin menanyainya lebih lanjut. Jadi biarlah sesi ‘mengobati’ ini menjadi suatu alasan untuk dapat membeli waktu dengan dokter Alvaro, Begitu pikirku…

“Boleh kan dok, saya periksa seperti ini? Lengan baju dokter Luna boleh saya lipat?” tanya dokter Alvaro. Kali ini beliau nampak lebih berhati-hati dalam melangkah, tidak seperti kemarin yang nampaknya lebih didominasi kepanikan.

Aku hanya bisa mengangguk, mengijinkannya untuk melakukan apa yang dia mau. Toh kemarin pun dokter Alvaro juga sudah melakukannya. Menolak permintaannya kali ini hanya akan memperlama dan mempersulit hal yang tak penting. Aku kemudian melipat kedua lengan panjang bajuku, untuk menunjukkan bekas luka yang sudah terlihat samar disana

Puas karena aku sudah tak melawan lagi, dokter Alvaro langsung memeriksa kedua lenganku “Luka dokter Luna sudah jauh membaik dan hampir sembuh. Syukurlah tidak ada luka yang cukup dalam untuk meninggalkan bekas. ‘Pasien’ yang kemarin melukai dokter juga semoga sudah baikan, dirawat di bangsal mana ya dok, pasien itu?”

Deg. Aduh… Harusnya memang aku tak menyetujui ini. Malah jadi sesi interogasi kedua untukku…

“Eh,, itu ‘pasien’ tidak dirawat disini kok dok” sahutku

“Hmm, ‘pasien’ gelisah dan membahayakan seperti iti kenapa tidak dirawat inap dok? Akan membahayakan bukan?” selidik dokter Alvaro lebih lanjut.

Aku menggigit bibir seraya memejamkan mata, mencoba memacu otakku untuk memberikan jawaban logis untuk pertanyaan itu. Yang kuyakin tak akan mudah meyakinkan dokter Alvaro.

“Dokter Luna mau bercerita lebih lanjut tentang ‘pasien’ ini?” tanyanya lagi. “Well, tapi kalau dokter Luna nyaman aja, kalau ndak nyaman, saya tidak memaksa”

Aku hanya memilih bungkam, khawatir akan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya kuutarakan. Untungnya, dokter Alvaro sudah selesai mengobati semua lukaku. Ya, termasuk yang dileherku. Hanya orang bodoh yang tidak akan menyadari bahwa ‘luka’ dileherku adalah cupangan suamiku sendiri. Dan aku hanya bisa berharap untuk kali ini saja dokter Alvaro akan melewatkan hal itu.





Four Seasons Hotel. Jam 18.45

Aku tiba tepat waktu, berbalutkan gaun sutra warna hijau zamrud panjang hingga menutup kata kaki ku. Tak lupa aku juga mengenakan perhiasan warna senada menghiasi telinga, leher dan pergelangan tanganku. Gaun ini kupilih bukan tanpa alasan. Hijau zamrud adalah warna kebesaran keluarga Godjali. Terkadang aku geli mengingatnya. Kurang jelaskah nama Godjali, sehingga untuk warna pun mereka memilih warna yang identik dengan Tyrannosaurus Rex. Dasar kerumunan Godzilla.

Aku masih menunggu Ravi di area lobby. Dia masih dalam perjalanan dari kantornya. Sebenarnya bisa saja aku langsung menuju ke restoran tempat acara makan malam berlangsung sendirian tanpa Ravi. Toh pasti juga sudah ada anggota keluarga yang hadir disana. Tapi well, siapa juga yang mau masuk kandang dinosaurus sendirian kan. Jadi aku memilih menunggu Ravi, meski high heels stiletto ini sangat tak nyaman di kakiku.

“Oh... kamu rupanya Luna… kupikir tadi siapa kok jadi satpam berdiri di lobby ini” suara seorang wanita menyapaku.

Ella Godjali. Anggota keluarga Godjali paling kuhindari. Reinkarnasi Maleficent, dan dalam benakku nama lengkapnya adalah Cruella Godzilla. Dia adalah istri dari sepupu jauh Ravi. Dan entah mengapa semenjak pertama kali aku bergabung dalam keluarga ini dengan menjadi istri Ravi, tak pernah sekalipun dia tidak mengejek dan mencerca ku.

“Selamat malam juga Ella” sapaku dengan sinis.

“Apa kabar RS Trikarya Husada-mu yang kamu sayang itu? Udah bisa bayar tagihan obat ke perusahaanku belum?” sindirnya lagi.

PT. Dwipangga, salah satu anak perusahan dari keluarga ini memang bergerak di bidang farmasi. Dan nampaknya menjadi salah satu supplier obat-obatan ke RS Trikarya Husada. Besok di kantor aku akan mengeceknya. Riwayat alur keluar obat RS sekarang bisa ku-akses dari meja kantorku. Tak ada salahnya memulai dari satu titik, satu perusahaan terlebih dahulu.

Lagipula, ada rasa yang mengganjal hatiku, kenapa justru pabrik mengeluhkan pembayaran obat RS yang macet, padahal nyatanya di lapangan justru yang sering disebut bermasalah adalah ketersediaan obat dari pabrikan. Pasti ada sesuatu disana… aku ingin menggali lebih dalam. Supaya masalah tarik ulur stock obat di RS segera mendapat pencerahan.

Sebelum aku sempat membalas kembali sindiran Ella, Ravi hadir dan memeluk pinggangku dari belakang.

Good evening ladies…. Halo Luna, looking gorgeous today” sapanya seraya langsung mencium bibirku.

Aku tersenyum bahagia. Mood Ravi lagi baik malam ini. Jarang sekali dia memujiku seperti itu. Terlebih ketika berada dalam acara keluarganya, apalagi kalau ada Ella. Seketika kuhapus jauh2 wujud Ella yang saat itu masih ada disampingku. Aku hanya ingin berfokus pada Ravi.

Shall we?” Ravi kemudian mengulurkan lengannya untukku dapat mengalungkan tanganku dan mengajakku berjalan menuju restoran. Ella hanya bisa diam dalam dongkolnya dan mengikuti kami. Perusahaan keluarga Ella adalah anak perusahaan langsung dari Ravi. Sehingga itu membuatnya ‘tunduk’ dan tidak berani macam-macam jika ada Ravi. Peraturan tak tertulis keluarga ini memang seperti itu. Hampir tak ada yang berani berhadapan dengan Ravi yang adalah pemilik anak perusahaan terbesar dalam keluarga Godjali.

Meja makan malam keluarga Godjali sudah tersedia dan tertata rapi. Sebuah meja panjang yang dapat menampung 30 orang, lengkap dengan hiasan meja dan fine dining set nya. Bayangkan meja makan malam di acara kebangsaan Inggris, ya kurang lebih seperti itulah meja makan ditata. Di kepala meja, sudah duduk kepala keluarga Godjali, Umar Godjali. Yang tak lain adalah ayah Ravi. Ayah mertuaku. Beliau adalah pimpinan dari seluruh perusahaan keluarga Godjali. No.1 person dalam keluarga ini. Dan tak ada yang akan berani melawannya. Ravi sebagai putra tunggalnya pun tidak serta merta diberikan kontrol atas perusahaan sebesar dirinya.

The Big Boss. The Final Boss.



Tepat pukul 19.00, tanpa menunggu lagi, makan malam pun dimulai… Semua berjalan seperti pertunjukan teater yang sudah terlatih. Pelayan-pelayan masuk dan meletakkan napkin di pangkuan kami. Gelas-gelas wine pun terisi, dan diikuti dengan makanan pembuka. Namun kelezatan makanan dan minuman itu seperti tak terasa. Aura dingin menyelimuti acara dinner itu. Tak seorangpun berani memecah keheningan. Hanya ayah mertuaku yang bisa melakukannya. Dan nampaknya beliau belum berkeinginan untuk memulai pembicaraan...

Itu berlanjut, sampai kurasakan rabaan di paha kananku… sontak aku terkejut dan tak dapat menahan pekikan kecil. Saat aku menoleh untuk melihat siapa yang melakukan itu, kulihat Ravi tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menjahiliku.

“Ada yang perlu kamu sampaikan Luna?” suara berat ayah mertuaku terdengar keseluruh ruangan yang hening itu.

“Ehm... tidak, tidak ada Pa” sahutku lirih seraya menundukkan kepala. Gagal sudah rencanaku untuk menjadi tak terlihat malam ini. Akan jauh lebih mudah untukku (dan untuk siapapun yang tidak cukup berperan finansial) untuk tetap diam dalam acara2 seperti ini. Dasar Ravi. Entah apa maunya dia sengaja melakukan ini. Dari sudut mataku pun, Ravi nampaknya tak ada niatan untuk membantuku menjawab.

Untungnya kali itu, nasib baik berpihak padaku. Makan malam tetap berlanjut tanpa ada bahasan yang berarti.

Seusai makan malam, kami semua beralih menuju ke area ballroom. Sudah menjadi suatu keharusan untuk tiap-tiap anak perusahaan membuat laporan perkembangan yang kemudian di presentasikan setelah acara makan malam keluarga. Yup. Persis seperti meeting di korporasi manapun. Memang nilai kekeluargaan sudah luntur sepenuhnya di sini. Semua hanya berorientasi pada bisnis.

Aku hanya setengah memperhatikan paparan kinerja perusahaan yang dipimpin Ravi, saat Ella kembali datang menghampiriku.

“Cih,,, kalau bukan karena kecerdasan dan insting Ravi yang baik, pasti posisimu sudah menjadi milikku” desis Ella.

“Hahaha… butuh 1000 tahun untuk impianmu itu dapat terwujud Cruella, aku yakin Papa bahkan tak akan ingat bahwa suamimu masih adalah bagian keluarga ini”

“Beraninya kau! Kau bahkan tak tahu apa yang dikerjakan Ravi tiap harinya di perusahaan. Yang bisa kau lakukan hanyalah menjadi pegawai di RS yang tidak tahu diuntung itu!! Ravi sungguh malang, mempunyai istri yang tak bisa menjadi pendamping yang sepadan dalam usahanya.”

“Hmm, tapi paling tidak Ravi sudah memiliki ahli waris, Phoebe. Sedangkan kamu Ella, sudah berapa tahun sekarang kamu menikah, dan tetap saja masih belum terdengar kabar baik.” amarahku tersulut. Tak biasanya aku melawan debat Ella dengan cara rendahan seperti ini. Wanita manapun pasti sangat sakit hatinya bila disinggung tentang keturunan.

“Memang kamu kurang ajar Luna!! Manusia sial! Pantas saja RS mu itu juga begitu sial. Sampai-sampai tak bisa memenuhi kewajiban bayarnya. Pasti kesialanmu itu menular keseluruh RS” suara Ella kian melengking hingga menarik perhatian sekitar kami.

Perselisihanku dengan Ella bukanlah hal yang baru dalam keluarga ini. Sudah rahasia umum bahwa Ella sebetulnya adalah calon istri yang sudah dipilihkan untuk Ravi. Tapi pada akhirnya Ravi memilih untuk menikahiku…

Sebelum cekcok kami kian membara, beberapa anggota keluarga Godjali tampak memisahkan aku dari Ella dan tak lama kudapat melihat Ravi berjalan menuju arahku, dia telah selesai melaporkan perkembangan terakhir perusahaan yang dipimpinnya.

Berkaca dari pengalaman lampau, amarah Ella yang sudah terlanjur meledak tidak akan padam hingga acara berakhir. Ravi memilih untuk membawaku pulang ke rumah. Dia dengan sigap memberikan kode untuk memanggil driver, dan tak lama aku dan Ravi sudah ada di dalam mobil yang gelap dan penuh keheningan.

Sisa-sisa pacuan adrenaline yang tadi kurasakan reda. Berganti dengan rasa panik. Ravi pasti akan murka lagi. Karena aku sudah dengan bodohnya memancing masalah yang tak perlu dan membuat keributan di tengah acara keluarga besar. Damn. Aku hanya bisa terduduk diam meringkuk di sudut kursi jok.

Pikiranku kacau. Penuh dengan amarah Ravi. Apa yang akan dia lakukan padaku. Apa yang akan terjadi berikutnya. Tapi disudut otakku, kata-kata Ella masih terngiang jelas. Obat. Tagihan macet. Ada apa gerangan dengan RS Trikarya Husada. Begitu pula dengan perusahaan keluarga Godjali.

Besok. Besok aku akan benar-benar menyelidikinya.



Ravi bungkam seribu bahasa sepanjang perjalanan pulang. Hanya membuka mulutnya setibanya kami di beranda rumah.

“Segeralah berganti baju. Cek kondisi Phoebe. Jika dia masih tidur, aku tunggu kamu di kamar tamu seperti kemarin.” Setelah berkata demikian, Ravi langsung pergi meninggalkanku.

Ravi nampak benar marah dengan kelakuan ku saat makan malam keluarga. Tapi tetap saja dia menginginkan tubuhku malam ini. hufttttt….baiklah toh dia masih tetap suami yang harus aku hargai dan aku juga tidak mau ribut lagi demi Phoebe dan kewarasanku….melelahkan semua keributan ini. Sudah cukup aku tadi dibuat kesal karena kelakuan Ella, tak ada gunanya aku menbuat kesal seekor Godzilla lagi.

“Luna cepat kesini…pakai lingerie-mu yang hitam” tatap matanya nampak penuh emosi dan dibarengi dengan pengaruh alkohol…

Dia banyak minum lagi… huft… dasar laki… entah apa nikmatnya seks bila bahkan pikiran dan kesadaranmu saja tidak penuh sedari awal. Tapi sudahlah, mungkin ini yang terbaik. Ravi dalam pengaruh alkohol tak akan bertahan lama diatas ranjang.

“Iya….” jawabku dan aku mengenakan lingerie hitam yang dia minta..kupadu dengan G string hitam menerawang…. Transparan di area payudaraku, menampilkan semburat puting coklat pink ku…dan sangat melekat pada tubuhku menampilkan lekuk tubuhku…sebentar aku melihat ke cermin dan mengagumi tubuhku sendiri…beranak satu bukan berarti aku kehilangan pesona lekuk tubuhku….masih sexy dan menggoda gumamku dalam hati.



Aku melangkah masuk ke dalam kamar tamu. Tanpa kuduga Ravi mendorong tubuhku terhempas ke ranjang dan menindih badanku.”eh…Pa ..apa ini…kenapa in..ehhh” aku meronta karena kaget.

“Diam kamu! Kamu sudah bikin aku malu…di depan keluarga…kaya aku ga bisa ngajarin sopan sama istriku!” Ravi mencecarku sembari memaksa tanganku ke atas kepalaku dan mengikatnya dengan dasi ke sandaran ranjang.

“eghh..Pa aku ga …mau ..diginiin..lepasin” aku mencoba berontak, tapi apalah dayaku dengan tenaga dia yang kesetanan.

“malam ini aku akan nikmatin tubuhmu dan memekmu dan juga ngajarin KAMU SOPAN SANTUN!” ujarnya dengan amarah dan bau alkohol yang menyengat dari mulutnya.

“Apa salahku?? Karena aku membela harga diriku??” kalimatku tak kalah tajam menusuk dengan mataku memandang tajam matanya



“aku bilang DIAM!” Ravi dengan kasar membalik tubuhku dan menunggingkan ku. Rasa nyeri terasa di pergelangan tanganku. PLAKKK….PLAKkkkk…… aku merasakan panas di pantatku. “akhhh…sakit pa…ngapain aku di giniin..aku ga mau” aku tidak akan menangis malam ini. TIDAK! Aku bukan budakmu, aku istrimu yang seharusnya kamu jaga dan bela.



“KUBILANG DIAM!” PLAKKK….PLAKKKK…kembali Ravi menampar pantatku…aku merasakan Ravi dengan kasar merenggut G string ku….terasa perih di kulitku..aku yakin kulit ku yang putih ini sudah memerah dengan perlakuan nya…dengan kasar Ravi menjamah vagina ku…”Huh Kering begini…biasanya kamu suka bila aku kasar hah?!” ejek Ravi. CUHHHH…… Ravi meludahi vagina ku dan mulai memainkannya.



Aku menggerakkan pinggulku ke kanan dan kekiri mencoba mengurangi rasa nyeri yang timbul akibat tindakan kasarnya. “lepasin..pa..aku ini masih istrimu…hargai aku..aku cuma membela harga diriku”



“ARRRGGHHH…” jeritku saat dengan kasar Ravi memasukkan jarinya ke dalam vaginaku dan mengocoknya dengan kencang. Nyeri hanya nyeri yang kurasakan…tidak ada nikmat sedikitpun…aku ini wanita…aku manusia….aku menggigit keras bibirku sendiri. Menahan agar air mataku tidak keluar.

“HALAH kamu sudah beruntung jadi menantu keluarga GODJALI….kami ini penguasa…*** ada yang berani melawan kami! Paham!...Uang??? kamu butuh berapa hah???” bentakan Ravi terus mencecarku mencoba menghancurkan harga diriku….tapi tidak semudah itu…aku bukan wanita lemah…aku memilih mengalah demi Phoebe…..demi papa mamaku..nama baik papa mama harus kujaga.

“aku bisa …ughgh…kerja..ughhh” jawabku sembari menahan nyeri di vaginaku.



“sudah kubilang diam!!” Ravi dengan kasar membuatku tengadah dan menjejalkan penisnya ke mulutku… “Kalau kamu tidak bisa diam, biar kusumpal sekalian saja mulutmu itu!!” Plok…plok..plok…Ravi dengan kasar menyodok penisnya ke dalam mulutku.

“Hghghh…emang enak mulutmu…tugas wanita, menantu Godjali ya ini… memuaskan suaminyaaaa… hanya urusan ranjang yang perlu kamu penuhi… ujarnya sambil terus menyodok mulutku… “lagipula, yang kamu bilang kerja itu… hah... kerjaan apa… kamu itu cuma dokter jaga, Luna. Ga punya posisi tawar. Hanya bawahan yang menuruti perintah RS. Kamu itu hanya pegawai…” kembali dia merendahkanku.

Aku mencoba mengatur nafasku dan menguatkan tenggorokanku. Gerakan Ravi sangat kasar sehingga seluruh badanku terasa ngilu dan bibirku perih. Kata-katanya pun kian dalam mengiris hatiku… Sedikittt lagi Ravi bisa menstimulasi rangsang muntahku, dan aku tak akan sanggup menahan perihnya asam lambung yang naik ke dalam mulutku…

“akh…aku mau menu utama malam ini” ujarnya menelentangkan tubuhku dengan tanganku masih terikat. Untungnya Ravi segera mengubah posisi kami. Tapi tetap aku berontak dari perlakuan kasarnya.

“lepasin..aku..aku ga mau kaya gini…pa… lepasin” aku melotot memintanya melepaskan ikatanku.



BREET…BREETTT…BREETTT yang ada justru lingerie-ku dicabiknya. Ravi mendekatkan wajahnya dan mencoba menciumku…aku menoleh menolaknya…tapi tangannya mehanan wajahku dan mulutnya dengan kasar menciumku. Lidahnya dengan kasar memaksa masuk dan menjilati wajahku.

Tangannya mencengkeram perutku. “kamu diam atau aku bisa lebih kasar lagi!” CUHH…dia meludahi penisnya dan meratakannya. Tanpa peduli keadaanku dia menerobos masuk ke dalam vaginaku…

Aku memejamkan mata menahan nyeri…mengigit bibirku sendiri. Hentakan keras dan kasar nya dalam vaginaku tak berhenti di situ saja, cupangan kasar dia lakukan ke leher dan dadaku. “hahaha ini tanda agar semua orang tau kamu milik Ravi GODJALI” ujarnya sambil terus menghentak kan penisnya….

Tidak lama aku bisa merasakan penisnya lebih hangat dan keras…sudah mau ejakulasi kah??? Baguslah semoga cepat berakhir…..dan crotss….crott..crott “ARRRGHHHH ENAKKK MEMEKMUUUU…” Ravi mengejang mendapatkan ejakulasi nya.

Dalam hatiku aku berkata….kejantananmu tak sebuas raunganmu….aku melirik ke jam dinding…15 menit…total waktu pergulatan kami hanya 15 menit…

Aku tersenyum kecut…tanganku sudah dibebaskan. Meski aku yakin pasti ada memar biru tertinggal di pergelanganku. “Semoga kamu belajar pelajaranmu!” ujarnya kemudian merebahkan diri dan tidak lama aku mendengarnya mendengkur….

Aku tertawa dalam hatiku… Ravi… Ravi… kamu pikir aku diam karena aku puas? Karena aku tunduk? Aku hanya memikirkan Phoebe….papa….mama….nama baik keluarag Irawan. Aku terlahir sebagai pejuang bukan wanita lemah…diam bukan berarti lemah…diam bukan berarti kalah…dalam diam ada kekuatan yang tak terbatas……

Sekali lagi aku menegaskan….Kejantananmu tak sebuas raunganmu….





Gibbosa Crescente : Bulan Hampir Penuh Pertama [italia] --- fase ketiga dalam siklus Bulan
 
Mantap :baca: dulu.






Wah udah sampe sini ya pov luna, dah deket mau jadi couple sama Al. Jadi gak sabar nunggu episode selanjutnya. Sehat selalu pak dokter biar makin lancar updatenya. :semangat:
 
Terakhir diubah:
Mantab.pov luna juga seru
Makin ga sabar nunggu update selanjut nya.
Tetep semangat ya huu
 
Ane jadi emosi sama Ravi:marah:
Ayo Alvaro ambil Luna secepatnya..

Makasih updatenya suhu, tetap semangat dan sehat selalu:beer:
 
Aku berjalan di dalam kesendirian

Aku t'lah hancur lebih dari berkeping-keping

Karna cintaku karna rasaku

Yang tulus padamu





Episode III

Gibbosa Crescente




“Hmm… kalo nanti aku pake baju ini, cocok ngga ya…” gumamku pada diri sendiri seraya mengepas pakaian untuk kukenakan hari itu. Tumpukan baju yang sepagian ini sudah kucoba menjulang diatas kasur. Hatiku gundah karena belum menemukan outfit yang cocok untuk kupakai bekerja ke RS pagi itu.

Kemeja putih dan rok hitam, seperti masih trainee….

Sweater dan celana panjang, terlalu casual…

Dress selutut, mungkin kurang praktis untuk bekerja…



Tapi kemudian dalam hati aku berpikir lagi, apa sebenarnya pekerjaanku sekarang... Kepala Bagian Logistik Farmasi. Apa itu sebenarnya? Bahkan lidahku pun masih asing menyebutkannya. Bagaimanakah rutinitasku nantinya? Aku yang sama sekali tak punya pengalaman di bagian managerial RS, kenapa mendadak harus mengalami rotasi seperti ini. Dengan pemberitahuan yang sangat singkat pula… ada apa ini sebenarnya…



Lamunanku pecah karena tumpukan bajuku mendadak dilempar jatuh ke lantai. Phoebe nampaknya mengira itu adalah jenis permainan baru untuknya. Senyum indahnya merekah sempurna dengan giginya yang masih belum lengkap. Tawa imutnya memecah keheningan pagi itu dan membuatku tersenyum bersamanya.

“Phoebe sayang,, doain mama ya… Mama ga tau ini ada apa di RS, mama juga ga tau harus gimana? Tapi kalo Phoebe kasih semangat mama, mama pasti bisa” ujarku lembut seraya menggendong dan memeluk putriku. Kemudian aku tersadar tenyata Phoebe membawa sepotong bajuku di lengan mungilnya, blazer batik dengan panjang lengan se-siku. Nampaknya putri kecilku sudah membantu memilihkan pakaian untukku pagi itu.

Kupadukan blazer itu dengan skinny jeans hitamku, dan kembali dengan atasan turtleneck sweater, warna hitam kali ini. Tetap kumencoba sebisa mungkin menutupi bekas luka ku. Sebetulnya hampir seluruhnya lukaku sudah memudar, Ravi tak sekeras itu menyakitiku, hanya tertinggal beberapa bekas cupangan di area dada dan leherku.

Leherku yang kemarin diperiksa oleh dokter Alvaro… Seketika kurasakan pipiku memerah mengingat kejadian di poliklinik kemarin. Kelembutan tangannya dan perkataannya…

Tapi kembali kuingatkan diri sendiri. Aku harus sadar diri. Dokter Alvaro adalah direktur umum RS Trikarya Husada. Si Serigala. The Alpha Wolf. Dan mulai hari ini beliau adalah atasanku di RS. Harus kusingkirkan pikiran aneh itu jauh2…





Pagi itu, setiba aku di RS, aku memutuskan untuk kembali menghadap ke kantor HRD. Paling tidak aku membutuhkan klarifikasi dan penjelasan verbal dari pesan yang kuterima. Serta memastikan kebenaran kabar rotasi jabatan tersebut. Karena jam masih menunjukkan pukul 07.15, dan belum nampak hadirnya staf kantor HRD (karena jam kerja mereka dimulai pukul 08.00) aku memutuskan untuk menunggu di area foodcourt RS yang kebetulan buka 24 jam.



Sembari menyesap hot chocolate kesukaanku, aku melihat aktifitas RS yang cukup lengang pagi ini. Pikiranku kembali tertuju ke jabatan baruku. Apakah aku bisa melakukannya? Aku yang sepanjang karirku sebagai seorang dokter umum hanya memiliki pengalaman menangani pasien secara langsung di lapangan… kenapa sekarang ditarik ke bagian managerial? Bagaimana jika aku gagal melakukannya. Terlalu banyak yang kupertaruhkan. Apa jadinya hidupku jika tak lagi bekerja di RS? Bukankah itu nanti akan makin menjadi celah untuk Ravi makin mengolokku? Gelar Dokter ku dan pendidikan Sarjanaku tak lagi berguna…

“Pagi dokter Luna,,, pagi-pagi kok udah melamun dan kusut wajahnya?” sapa suara seorang laki-laki yang mendadak duduk disampingku. Dokter Alvaro.

“Ah,, eh…mm pagi,, Selamat pagi juga dokter Alvaro. Semangat pagi RS Trikarya Husada.” sahutku salah tingkah.

“Pagi sekali dokter Luna sudah hadir di RS…” nada bicara beliau terasa berbeda dengan kemarin sore saat aku menemuinya di kantor. Lebih ringan? Yang membuatku berani untuk melanjutkan pembicaraan dengannya.

“Eh iya,, itu dok, saya memang berniat pagi ini mau bertemu dengan pak Roy dulu, di bagian HRD……………”

“Ada masalah apa lagi dok? Bukankah yang terkait jam kerja itu sudah terselesaikan? Dokter Luna mulai hari ini menjadi kepala bagian logistik farmasi kan?”cecar dokter Alvaro cepat.

Beliau memang orang yang sangat menguasai RS ini, begitu pikirku. Bahkan hal remeh seperti inipun tak lepas dari kendalinya. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Bagaimana aku bisa mengikuti dan keep up dengan etos kerja beliau. Pikiran2 itu makin membuatku merinding dan bergidik. Tak ada seorangpun yang mau mencobai amarah serigala ini. Sungguh suatu mujizat, otakku masih bisa berfungsi untuk mengingat bahwa dokter Alvaro menunggu jawaban dariku…..

“Iya dok…” sahutku lirih, seraya menelan ludahku “Justru karena alasan itulah saya pagi ini datang awal untuk menanyakan terkait kebenaran rotasi jabatan itu serta kejelasan jobdesc saya yang baru ke Pak Roy…..”

Belum selesai aku menjawab, dokter Alvaro langsung menyanggah “Oohhh,, kalau terkait urusan itu, karena posisi dan jabatan dokter Luna sekarang ada dalam divisi saya. Mari dok, sekarang ikut ke kantor saya... Akan lebih tepat apabila sayalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter terkait jabatan ini dan saya jugalah yang akan memberikan briefing untuk dokter Luna. ”





So please, have a seat…” ditengah kebengongan ku, aku tak sadar sudah mengikuti dokter Alvaro hingga sampai ke ruangannya. Akupun duduk di kursi yang tersedia di meja kerja beliau, berhadapan dengannya.

“Jadi dokter Luna, mulai hari ini berpindah divisi, akan bekerja di bagian Logistik Farmasi, langsung dibawah kendali saya” Dokter Alvaro tanpa basa-basi langsung mulai menjelaskan. “Mungkin dokter Luna tidak tahu, tapi kita, RS ini ada masalah serius dalam alur dan sistem pengadaan obat……..”

“Yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan bahkan hingga mempengaruhi ketersediaan obat serta vaksin….” potongku cepat dan setengah tak sadar. Aduh kebiasaan burukku. Damn it. Aku harusnya lebih dapat mengontrol mulutku. Aku reflex langsung mengatupkan tanganku ke mulut. Mata terbelalak dengan penuh ketakutan. Aku telah (dengan tidak sengaja) memotong pembicaraan atasanku. Memotong sang Serigala. Kurasakan keringat dingin menetes di pelipisku. Aku baru saja pindah jabatan, dan ini hal pertama yang kulakukan. Tamat sudah riwayatku di RS ini. Pikiranku makin melantur kemana-mana.

Tapi,,,, justru hal sebaliknya yang terjadi. Alih-alih marah, justru dokter Alvaro awalnya tersenyum dan kemudian dilanjutkan dengan tertawa lepas…

“Ini nih,,, ini dia bukti kenapa aku sudah memilih orang yang tepat untuk posisi ini.” Dokter Alvaro nampak tak kuat menahan tawanya. “Orang yang cerdas dan pintar yang tak perlu aku basa-basi menjelaskan panjang lebar masalah di RS keparat ini, tapi langsung dapat memahaminya. Aku tak sabar untuk membawamu ikut kedalam rapat direksi dokter Luna. Akhirnya aku menemukan partner di RS yang penuh kebusukan ini” gelak dokter Alvaro.

Tak pernah kubayangkan dokter Alvaro yang terkenal kejam dan sadis, bisa tertawa lepas seperti ini. Memang pernah kudengar kabar yang tersebar kalau divisi umum adalah divisi yang paling solid dan kompak dibawah kepemimpinan dokter Alvaro. Awalnya aku sangsi, bagaimana bisa seorang yang buas mampu mempertahankan loyalitas bawahannya. Nampaknya sisi dokter Alvaro yang tersembunyi inilah yang bisa menjawab pertanyaanku.

“Ra… rapat direksi dok??” tanyaku shock, setelah aku dapat mencerna kata-kata terakhirnya tadi.

“hahaha… lupakan, lupakan,,, tidak dalam waktu dekat tentu saja dok... Rapat direksi bukanlah tempat aku ingin mengajakmu hadir saat ini. Tidak saat dokter belum membuktikan kinerja dan kredibilitas dokter.” sahut dokter Alvaro. “All in good time.” gumamnya.

“Oh… iya dok. Baik.” aku menghela nafas yang tak kurasakan telah tertahan di dadaku.

“Jadi dok... Secara garis besar posisi yang dokter Luna akan isi saat ini adalah sebagai kepala bagian logistik. Kurang lebih pekerjaan yang saya harapkan dari dokter adalah melakukan supervisi pergerakan obat yang masuk ke RS ini dan mencocokan dengan permintaan dari bagian medis. Karena dokter Luna awalnya adalah dari divisi medis, saya kira dokter jauh lebih paham profil dari pasien yang masuk ke RS dan tentu saja jenis dan ragam obat yang sebetulnya kita perlukan. I need data, doc. Bukan cuma omongan ‘katanya’, ‘sepertinya’, dan lain sebagainya itu. No. Aku butuh data konkrit untuk disajikan sebagai laporan ke dewan komisaris.” Dokter Alvaro kembali ke mode serius dan menjabarkan jobdesc baruku.

“Ehmm,, yaa…” begitu banyak informasi yang masuk dalam otakku dalam sekejap. Aku dapat merasakan ada sesuatu yang tersembunyi. Pasti ada sesuatu yang tengah terjadi di RS ini. Tap aku tak berani mengungkapkannya. Tidak saat posisiku saja masih mengambang dan sangat mungkin menjadi pertaruhan.

“Jadi, daripada kita makin bertele-tele dan hanya bicara saja, mari dok… Saya akan antar dokter Luna ke bagian logistik, dan saya akan kenalkan ke Bu Vera yang saat ini menjabat menjadi kepala logistik umum.” Dokter Alvaro berdiri dan mengarahkanku untuk mengikutinya menuju unit Logistik.



Setelah kejadian di kantor dokter Alvaro, pagi itu berjalan dengan lancar. Begitu banyak hal baru yang harus kupelajari di divisi baru ini. Aku yang biasanya bekerja di garis depan pelayanan RS, menghadapi dan melayani pasien, sekarang bekerja di balik layar. Apakah aku keberatan, tidak. Justru aku sangat terkagum dan tertegun dibuatnya. Begitu banyak dan kompleks hal yang harus ditata dan dilakukan untuk menjalankan suatu pelayanan RS. Selama ini kukira dokter yang melayani pasien lah yang paling berperan, namun setelah ‘layar’ itu tersingkap, aku seperti diingatkan bahwa apa yang biasa kulakukan hanyalah sepotong kecil dari kesempurnaan pelayanan RS.

Ditengah fokusku dalam mempelajari form dan laporan obat keluar-masuk RS, ponselku berdering, menandakan ada pesan masuk… kulihat sekilas nama pengirimnya, Ravi…

Luna, nanti malam ada acara family dinner di Hotel Four Seasons jam 19.00. Seperti biasa, dress properly dan jangan terlambat.”

Membaca pesan itu seketika aku membeku. Family dinner dalam konteks ini berarti seluruh keluarga besar Ravi, yang seluruhnya adalah penguasa sukses, akan berkumpul malam ini. Ini bukan kali pertama aku hadir dalam acara ini. Tapi tiap kali aku menghadirinya, tak sekalipun aku tidak mengeryitkan dahi dan bergidik melihat keluarga Ravi ‘berinteraksi’. Yup, gala dinner keluarga Godjali akan sangat berkesan untuk dihadiri, bila kamu ingin tahu bahwa dalam keluarga ini, kamu hanya berharga sebanyak kekayaanmu.

Keluarga Godjali… more like Godzillas for me.

Telepon diatas meja kerjaku tiba-tiba berdering, memecah lamunanku.

“Selamat siang, dengan dokter Luna bagian logistik farmasi” sapaku seraya mengangkat telepon.

“Siang dokter Luna, gimana dok, ada kendala dengan pekerjaan baru dokter?” terdengar suara dokter Alvaro di ujung lain sambungan itu.

“Oh,,, iya dokter Alvaro… Sampai saat ini cukup lancar dan baik-baik dok. Bu Vera dan tim disini sangat menguasai dan bermurah hati berbagi ilmu pada saya.”

“Baguslah, kalau begitu. Syukurlah kalau dokter Luna bisa cepat beradaptasi.”

“Ya dok. Apakah ada hal yang dokter Alvaro perlukan dok? Sehingga dokter Alvaro menelpon ke bagian logistik.” Dalam benakku, pasti ada yang beliau butuhkan dari unit ini, sehingga beliau menelpon kesini.

“Oh itu, nanti setelah jam makan siang, tolong temui saya di poliklinik lagi ya dok. Sesuai janji saya kemarin, saya masih ingin merawat dan melihat penyembuhan luka dokter Luna.”

Deg. Ya Tuhan… kembali aku membeku ditempat. Dokter Alvaro. Memeriksa lukaku. Lagi.

Dalam otakku langsung terbayang kejadian kemarin siang saat dokter Alvaro merawat luka di tanganku, di leherku, di tengkukku… Aku dapat merasakan pipiku memerah malu mengingatnya. Dan hari ini itu akan terulang lagi? Oh, God…

“Dok,,, dokter Luna? Halo… ” dalam kabut otakku, kudengar samar suara dokter Alvaro memanggilku. Dia masih menunggu jawabanku.

“Ehh,,, iya iya dok…”spontan aku menjawab. Belum sepenuhnya tersadar penuh dari bayangku.

“Ah, syukurlah kalau dokter Luna mengijinkan saya untuk merawat dokter Luna lagi hari ini. Kalau begitu, sampai ketemu nanti dok.” Dokter Alvaro menutup sambungan telepon denganku.

“Ehh,, aduh… bukan, bukan iya meng-iya-kan itu dokk.. aduh” sahutku panik pada telepon yang sudah terputus.

Kuarahkan pandanganku ke arah jam dinding. Pukul 11.30. Cukup cepat juga waktu berlalu pagi ini. Tak terasa cuma 1 jam waktuku, sebelum dokter Alvaro menantiku di klinik. Kembali kurasakan badanku merinding, seolah tersetrum getaran ingatan saat beliau menyentuh tanganku. Aku tak punya waktu untuk mengelak lagi… Aku tak memiliki cukup alasan untuk menolak tawaran beliau dengan mengatakan aku sudah merawatnya. Truth be told, aku bahkan sudah melupakan adanya memar2 tubuhku…. Sampai dokter Alvaro mengungkitnya lagi.

Anehnya, setelah aku mengingatnya kembali, alih-alih merasakan ngilu dan nyeri karena memar dan lecet di seluruh tubuhku, otakku nampaknya hanya bisa mengingat sentuhan hangat dan lembut dokter Alvaro… Duhhh,,, ada apa dengan otakku ini… Aku tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya…

“Dok,,, dokter Luna.”panggil bu Vera memecah lamunanku. Ada apa sebenarnya denganku hari ini, kenapa sering sekali aku tidak dapat berkonsentrasi. Terlalu banyak kekacauan dipikiranku nampaknya membuat fungsi otakku menurun.

“Ah ya… Bu Vera, ada yang bisa saya bantu?” jawabku spontan

“Itu dok, handphone dokter dari tadi berdering terus… siapa tau telepon penting”.

Pandanganku otomatis langsung terarah ke ponsel yang terletak diatas meja kerjaku, dan aku dapat merasakan jantungku seraya berhenti berdetak sesaat. Ravi. Ravi menelponku. Dan nampaknya itu bukan panggilan pertamanya. Yang berarti ada panggilannya yang sempat tidak kuangkat tadi. Seketika aku panik… dia pasti akan marah besar karena aku tak menjawab telponnya.

Dengan tangan gemetar, kuangkat telpon itu. Bergegas sebelum panggilannya kembali gagal kuterima… “Ya halo Pa,,, maaf Luna tadi ga angkat telpon papa…” sahutku lirih.

“Kerjaanmu ngapain sih Lun… sampe ngangkat telpon aja gabisa” hardik Ravi. “Telepon ini tu penting, makanya kamu bawa handphone kemana2 kan. Supaya bisa kuhubungi kapanpun dimanapun. Standby dong klo gtu… apa gunanya kamu pegang handphone tapi ga angkat telpon, mending ga usah sekalian.”

“Iya pa maaf, Luna tadi lagi ada kerjaan di RS. Ada pasien tadi…” jawabku seraya mengeryit dalam hati.

Aku malah harus sampai berbohong seperti ini untuk menghindari amarah Ravi. Padahal kan aku sudah pindah divisi, sudah tidak langsung melayani pasien lagi… Well, masalah nanti buat dipikir nanti aja. Yang penting sekarang aku punya ‘alasan’ sementara untuk Ravi.

“Ya sudahlah, ga perlu dibahas lagi,,, malah bikin badmood aja. Kamu udah terima pesanku kan. Ingat ya nanti malam ada family dinner jam 19.00. Pulang kerja ontime, ga usah lembur. Dan pake dress yang pantas. Jangan malu2in aku kaya family dinner bulan lalu, saat kamu langsung berangkat dari RS dengan baju kerjamu itu. Inget… Jam 19.00 di Four Seasons. Kalo waktu memungkinkan aku akan pulang kerumah dulu dan kita berangkat bersama, kalau tidak, kami berangkat sendiri saja sama driver, aku akan langsung ke sana sepulang kerja.” Ravi kembali ke mode memerintahnya, dan tak sekalipun aku diberi kesempatan bicara. Sambungan telponnya langsung terputus setelah dia selesai bicara.

Kuhela nafasku berat… Daripada nanti aku lupa lagi dan makin mengacaukan mood Ravi, kuputuskan untuk menelpon rumah untuk memberitahu babysitter Phoebe terkait rencana nanti malam, meminta pembantu dirumah menyiapkan gaun yang akan kukenakan di pesta nanti, serta meminta driver untuk menyiapkan mobil mengantarkan kami.



Tak terasa waktu berlalu dan jam makan siang pun tiba. Aku bersama dengan bu Vera dan tim logistik lainnya bersama-sama berjalan menuju kantin karyawan untuk makan siang bersama. Dapat kurasakan kebersamaan yang luar biasa dalam tim ini. Benar2 seperti layaknya bersama keluarga sendiri. Sama sekali tak ada niat untuk saling menjatuhkan atau saling menyombongkan diri. Yang ada hanyalah aura saling dukung yang mengakar dalam. Kok bisa beda gini ya, di divisi medis ga bisa kaya gini, pikirku dalam hati.

Untuk pertama kalinya semenjak aku bekerja di Trikarya Husada, baru kali ini bisa kurasakan nikmat makan siangku. Biasanya makan siang hanyalah sekadar pengisi enerji, untuk dapat kembali bekerja dan beraktifitas.

Dalam perjalanan kami kembali ke kantor, kami berjalan melalui deretan poliklinik. Untuk kesekian kalinya hari itu, jantungku berhenti berdetak. Deg. Dokter Alvaro. Aku langsung mengecek jam tanganku. Pukul 12.35… OMG. Aku terlambat.

“Bu Vera, maaf… Saya ada keperluan mendadak di poliklinik bu. Saya mohon ijin sebentar sebelum kembali ke kantor ya.” ujarku pada bu Vera dengan sebisa mungkin menutupi kepanikanku.

“Ah ya dok… Tidak apa. Toh dokter kan sekarang kepala bagiannya, tidak perlu ijin lagi pada saya. Silakan dokter Luna. Sampai ketemu lagi nanti di kantor, dok.” sahut bu Vera cepat. Nampaknya dia tetap dapat merasakan kepanikanku, sehingga dengan cepat ijin itupun diberikan.

Bergegas aku menuju ke ruang poliklinik untuk mencari di ruang mana dokter Alvaro berada. Untungnya kepala perawat poliklinik nampaknya tahu apa yang kucari dan dengan sigap mengarahkanku menuju ke salah satu ruang periksa. Aku berusaha sebaik mungkin memberikan senyum terimakasih padanya, dengan masih terengah-engah karena lariku. Aku sudah sangat terbiasa untuk tidak terlambat. Bersama Ravi sang Mr. Ontime, terlambat 1 detikpun sudah seperti mendapat vonis hukuman. Sehingga terlambat 5 menit itu sangat-sangat menggangguku. Terlebih terlambat untuk menemui dokter Alvaro, The Alpha Wolf…

Sesampainya di depan ruang periksa, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk ke dalamnya. Hanya untuk aku terkejut dibuatnya, karena dokter Alvaro sudah ada disana, sedang bersiap-siap dan sekilas terlihat sedang melipat lengan kemeja panjangnya.

“Oops… maaf dok. Maaf. Saya sudah tidak sopan, karena tidak mengetuk pintu.” ujarku seraya menundukkan kepala. Kurasakan pipiku menghangat memerah. Kenapa pula dengan tubuhku, kenapa aku se salah tingkah ini.

“Oh, dokter Luna… tidak apa dok. Mari silakan masuk.”

Aku merasa seperti robot, bergerak otomatis menuju ke kursi periksa pasien. Begitu aku mendudukkan diri, barulah otakku sadar kalau aku sudah dengan polosnya mengikuti perintah dokter Alvaro untuk datang ke poliklinik ini. Untuk diobati. dirawat. dan diperiksa olehnya… Ya Tuhannnn…

“So… apa kabarmu hari ini dokter Luna? Bisa saya mulai untuk merawat luka dokter?” sapa dokter Alvaro.

“Baik dok. Terimakasih sudah bertanya…” jawabku otomatis. “Hmm.. tapi saya kemari bukan untuk merawat luka-luka saya dok.” aku mencoba menenangkan diri dan mengatur nafas kembali. Profesionalitasku harus tetap kujaga, apalagi berhadapan dengan direktur RS ini.

“Hmm? Lantas, alasan apa yang membawa dokter Luna ke poliklinik siang ini? Untuk menemui saya?” sahutnya dengan santai dan… benarkan itu nada menggoda yang kudengar? Dari dokter Alvaro? Mungkin otakku benar2 sedang konslet hari ini.

“Ahhmm.. ehh?” aku kembali salah tingkah dibuatnya. Dapat kurasakan kedua pipiku kembali memerah. “itu dok.. hmm”

“Hahaha… udah dok, jangan salah tingkah begitu. Hmm, jadi kalo saya ga salah menangkap maksud dokter Luna, dokter tidak mau saya periksa dan rawat lukanya hari ini?”

“Iya dok…luka saya sudah membaik kok. Sudah tidak memerlukan perawatan dari dokter Alvaro.”

“Lalu, alasan dokter Luna kesini siang ini?”

Otakku kembali berpikir keras… alasan apa yang bisa kuutarakan kepada dokter Alvaro. Aku yakin kebohongan biasa akan langsung dapat diendusnya. Dan akan membuatnya membenciku…. Tapi tunggu, kenapa aku sangat khawatir kalau dokter Alvaro membenciku? Kenapa aku sangat peduli akan apa pandangan beliau terhadapku?...

Dengan itu, pikiranku kembali melayang jauh dan tidak menyadari bahwa dokter Alvaro masih menunggu jawabanku, dengan senyuman di wajahnya.

“Tadi sebetulnya saat dokter menelpon saya, saya hendak mengatakan tidak perlu untuk merawat saya di poliklinik siang ini, tapi karena saya panik dan kurang konsentrasi, saya jadi membuat kesalahpahaman dengan mengiyakan permintaan dokter... Jadi, siang ini saya kemari untuk memperjelas kesalahpahaman ini dok.” ujarku sambil menunduk, tak kuasa menatap dokter Alvaro. Berharap dengan tidak melakukan kontak mata, aku akan lebih lancar memberikan jawaban.

“Oh, syukurlah kalau betul luka-luka dokter sudah membaik dan tak memerlukan perawatan. Tapi, siang ini kita sudah disini, kan. Sudah meminjam ruang periksa ini juga. Kalau dokter Luna nyaman dan mengijinkan, tolong perbolehkan saya paling tidak melihat kondisi luka dokter saat ini. Kalau dokter Luna nyaman saja. Saya tidak memaksa kok dok…”

Otakku terasa sangat lambat memproses apa yang dokter Alvaro katakan… Apa yang dijabarkan barusan semuanya benar, dan semua adalah fakta. Aku tak dapat menyanggahnya satupun. Sampai aku tak sadar dokter Alvaro sudah duduk tepat dihadapanku. Dan aku dapat melihat kedua lengan bawahnya, semua urat nadinya menonjol dan ototnya nampak terukir keras. Sangat bukan tipikal lengan direktur pada umumnya. Dalam bayanganku direktur2 biasa tidak akan mempunyai lengan seperti itu, lengan yang hanya bisa terbentuk demikian karena pekerjaan keras. Mana ada direktur yang mau turun tangan sendiri, biasa hanya asal tunjuk dan asal perintah. Tapi ini…

Ditengah laju pikiranku yang tak menentu, kembali dokter Alvaro mengambil kesempatan untuk memeriksa luka di kedua tanganku yang tak tertutupi oleh bajuku. Nampaknya dia mengartikan bahasa tubuhku dan keheninganku sebagai persetujuan…. Yang tidak sepenuhnya salah….

Ada sesuatu yang membuatku sangat penasaran dan ingin menanyainya lebih lanjut. Jadi biarlah sesi ‘mengobati’ ini menjadi suatu alasan untuk dapat membeli waktu dengan dokter Alvaro, Begitu pikirku…

“Boleh kan dok, saya periksa seperti ini? Lengan baju dokter Luna boleh saya lipat?” tanya dokter Alvaro. Kali ini beliau nampak lebih berhati-hati dalam melangkah, tidak seperti kemarin yang nampaknya lebih didominasi kepanikan.

Aku hanya bisa mengangguk, mengijinkannya untuk melakukan apa yang dia mau. Toh kemarin pun dokter Alvaro juga sudah melakukannya. Menolak permintaannya kali ini hanya akan memperlama dan mempersulit hal yang tak penting. Aku kemudian melipat kedua lengan panjang bajuku, untuk menunjukkan bekas luka yang sudah terlihat samar disana

Puas karena aku sudah tak melawan lagi, dokter Alvaro langsung memeriksa kedua lenganku “Luka dokter Luna sudah jauh membaik dan hampir sembuh. Syukurlah tidak ada luka yang cukup dalam untuk meninggalkan bekas. ‘Pasien’ yang kemarin melukai dokter juga semoga sudah baikan, dirawat di bangsal mana ya dok, pasien itu?”

Deg. Aduh… Harusnya memang aku tak menyetujui ini. Malah jadi sesi interogasi kedua untukku…

“Eh,, itu ‘pasien’ tidak dirawat disini kok dok” sahutku

“Hmm, ‘pasien’ gelisah dan membahayakan seperti iti kenapa tidak dirawat inap dok? Akan membahayakan bukan?” selidik dokter Alvaro lebih lanjut.

Aku menggigit bibir seraya memejamkan mata, mencoba memacu otakku untuk memberikan jawaban logis untuk pertanyaan itu. Yang kuyakin tak akan mudah meyakinkan dokter Alvaro.

“Dokter Luna mau bercerita lebih lanjut tentang ‘pasien’ ini?” tanyanya lagi. “Well, tapi kalau dokter Luna nyaman aja, kalau ndak nyaman, saya tidak memaksa”

Aku hanya memilih bungkam, khawatir akan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya kuutarakan. Untungnya, dokter Alvaro sudah selesai mengobati semua lukaku. Ya, termasuk yang dileherku. Hanya orang bodoh yang tidak akan menyadari bahwa ‘luka’ dileherku adalah cupangan suamiku sendiri. Dan aku hanya bisa berharap untuk kali ini saja dokter Alvaro akan melewatkan hal itu.





Four Seasons Hotel. Jam 18.45

Aku tiba tepat waktu, berbalutkan gaun sutra warna hijau zamrud panjang hingga menutup kata kaki ku. Tak lupa aku juga mengenakan perhiasan warna senada menghiasi telinga, leher dan pergelangan tanganku. Gaun ini kupilih bukan tanpa alasan. Hijau zamrud adalah warna kebesaran keluarga Godjali. Terkadang aku geli mengingatnya. Kurang jelaskah nama Godjali, sehingga untuk warna pun mereka memilih warna yang identik dengan Tyrannosaurus Rex. Dasar kerumunan Godzilla.

Aku masih menunggu Ravi di area lobby. Dia masih dalam perjalanan dari kantornya. Sebenarnya bisa saja aku langsung menuju ke restoran tempat acara makan malam berlangsung sendirian tanpa Ravi. Toh pasti juga sudah ada anggota keluarga yang hadir disana. Tapi well, siapa juga yang mau masuk kandang dinosaurus sendirian kan. Jadi aku memilih menunggu Ravi, meski high heels stiletto ini sangat tak nyaman di kakiku.

“Oh... kamu rupanya Luna… kupikir tadi siapa kok jadi satpam berdiri di lobby ini” suara seorang wanita menyapaku.

Ella Godjali. Anggota keluarga Godjali paling kuhindari. Reinkarnasi Maleficent, dan dalam benakku nama lengkapnya adalah Cruella Godzilla. Dia adalah istri dari sepupu jauh Ravi. Dan entah mengapa semenjak pertama kali aku bergabung dalam keluarga ini dengan menjadi istri Ravi, tak pernah sekalipun dia tidak mengejek dan mencerca ku.

“Selamat malam juga Ella” sapaku dengan sinis.

“Apa kabar RS Trikarya Husada-mu yang kamu sayang itu? Udah bisa bayar tagihan obat ke perusahaanku belum?” sindirnya lagi.

PT. Dwipangga, salah satu anak perusahan dari keluarga ini memang bergerak di bidang farmasi. Dan nampaknya menjadi salah satu supplier obat-obatan ke RS Trikarya Husada. Besok di kantor aku akan mengeceknya. Riwayat alur keluar obat RS sekarang bisa ku-akses dari meja kantorku. Tak ada salahnya memulai dari satu titik, satu perusahaan terlebih dahulu.

Lagipula, ada rasa yang mengganjal hatiku, kenapa justru pabrik mengeluhkan pembayaran obat RS yang macet, padahal nyatanya di lapangan justru yang sering disebut bermasalah adalah ketersediaan obat dari pabrikan. Pasti ada sesuatu disana… aku ingin menggali lebih dalam. Supaya masalah tarik ulur stock obat di RS segera mendapat pencerahan.

Sebelum aku sempat membalas kembali sindiran Ella, Ravi hadir dan memeluk pinggangku dari belakang.

Good evening ladies…. Halo Luna, looking gorgeous today” sapanya seraya langsung mencium bibirku.

Aku tersenyum bahagia. Mood Ravi lagi baik malam ini. Jarang sekali dia memujiku seperti itu. Terlebih ketika berada dalam acara keluarganya, apalagi kalau ada Ella. Seketika kuhapus jauh2 wujud Ella yang saat itu masih ada disampingku. Aku hanya ingin berfokus pada Ravi.

Shall we?” Ravi kemudian mengulurkan lengannya untukku dapat mengalungkan tanganku dan mengajakku berjalan menuju restoran. Ella hanya bisa diam dalam dongkolnya dan mengikuti kami. Perusahaan keluarga Ella adalah anak perusahaan langsung dari Ravi. Sehingga itu membuatnya ‘tunduk’ dan tidak berani macam-macam jika ada Ravi. Peraturan tak tertulis keluarga ini memang seperti itu. Hampir tak ada yang berani berhadapan dengan Ravi yang adalah pemilik anak perusahaan terbesar dalam keluarga Godjali.

Meja makan malam keluarga Godjali sudah tersedia dan tertata rapi. Sebuah meja panjang yang dapat menampung 30 orang, lengkap dengan hiasan meja dan fine dining set nya. Bayangkan meja makan malam di acara kebangsaan Inggris, ya kurang lebih seperti itulah meja makan ditata. Di kepala meja, sudah duduk kepala keluarga Godjali, Umar Godjali. Yang tak lain adalah ayah Ravi. Ayah mertuaku. Beliau adalah pimpinan dari seluruh perusahaan keluarga Godjali. No.1 person dalam keluarga ini. Dan tak ada yang akan berani melawannya. Ravi sebagai putra tunggalnya pun tidak serta merta diberikan kontrol atas perusahaan sebesar dirinya.

The Big Boss. The Final Boss.



Tepat pukul 19.00, tanpa menunggu lagi, makan malam pun dimulai… Semua berjalan seperti pertunjukan teater yang sudah terlatih. Pelayan-pelayan masuk dan meletakkan napkin di pangkuan kami. Gelas-gelas wine pun terisi, dan diikuti dengan makanan pembuka. Namun kelezatan makanan dan minuman itu seperti tak terasa. Aura dingin menyelimuti acara dinner itu. Tak seorangpun berani memecah keheningan. Hanya ayah mertuaku yang bisa melakukannya. Dan nampaknya beliau belum berkeinginan untuk memulai pembicaraan...

Itu berlanjut, sampai kurasakan rabaan di paha kananku… sontak aku terkejut dan tak dapat menahan pekikan kecil. Saat aku menoleh untuk melihat siapa yang melakukan itu, kulihat Ravi tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menjahiliku.

“Ada yang perlu kamu sampaikan Luna?” suara berat ayah mertuaku terdengar keseluruh ruangan yang hening itu.

“Ehm... tidak, tidak ada Pa” sahutku lirih seraya menundukkan kepala. Gagal sudah rencanaku untuk menjadi tak terlihat malam ini. Akan jauh lebih mudah untukku (dan untuk siapapun yang tidak cukup berperan finansial) untuk tetap diam dalam acara2 seperti ini. Dasar Ravi. Entah apa maunya dia sengaja melakukan ini. Dari sudut mataku pun, Ravi nampaknya tak ada niatan untuk membantuku menjawab.

Untungnya kali itu, nasib baik berpihak padaku. Makan malam tetap berlanjut tanpa ada bahasan yang berarti.

Seusai makan malam, kami semua beralih menuju ke area ballroom. Sudah menjadi suatu keharusan untuk tiap-tiap anak perusahaan membuat laporan perkembangan yang kemudian di presentasikan setelah acara makan malam keluarga. Yup. Persis seperti meeting di korporasi manapun. Memang nilai kekeluargaan sudah luntur sepenuhnya di sini. Semua hanya berorientasi pada bisnis.

Aku hanya setengah memperhatikan paparan kinerja perusahaan yang dipimpin Ravi, saat Ella kembali datang menghampiriku.

“Cih,,, kalau bukan karena kecerdasan dan insting Ravi yang baik, pasti posisimu sudah menjadi milikku” desis Ella.

“Hahaha… butuh 1000 tahun untuk impianmu itu dapat terwujud Cruella, aku yakin Papa bahkan tak akan ingat bahwa suamimu masih adalah bagian keluarga ini”

“Beraninya kau! Kau bahkan tak tahu apa yang dikerjakan Ravi tiap harinya di perusahaan. Yang bisa kau lakukan hanyalah menjadi pegawai di RS yang tidak tahu diuntung itu!! Ravi sungguh malang, mempunyai istri yang tak bisa menjadi pendamping yang sepadan dalam usahanya.”

“Hmm, tapi paling tidak Ravi sudah memiliki ahli waris, Phoebe. Sedangkan kamu Ella, sudah berapa tahun sekarang kamu menikah, dan tetap saja masih belum terdengar kabar baik.” amarahku tersulut. Tak biasanya aku melawan debat Ella dengan cara rendahan seperti ini. Wanita manapun pasti sangat sakit hatinya bila disinggung tentang keturunan.

“Memang kamu kurang ajar Luna!! Manusia sial! Pantas saja RS mu itu juga begitu sial. Sampai-sampai tak bisa memenuhi kewajiban bayarnya. Pasti kesialanmu itu menular keseluruh RS” suara Ella kian melengking hingga menarik perhatian sekitar kami.

Perselisihanku dengan Ella bukanlah hal yang baru dalam keluarga ini. Sudah rahasia umum bahwa Ella sebetulnya adalah calon istri yang sudah dipilihkan untuk Ravi. Tapi pada akhirnya Ravi memilih untuk menikahiku…

Sebelum cekcok kami kian membara, beberapa anggota keluarga Godjali tampak memisahkan aku dari Ella dan tak lama kudapat melihat Ravi berjalan menuju arahku, dia telah selesai melaporkan perkembangan terakhir perusahaan yang dipimpinnya.

Berkaca dari pengalaman lampau, amarah Ella yang sudah terlanjur meledak tidak akan padam hingga acara berakhir. Ravi memilih untuk membawaku pulang ke rumah. Dia dengan sigap memberikan kode untuk memanggil driver, dan tak lama aku dan Ravi sudah ada di dalam mobil yang gelap dan penuh keheningan.

Sisa-sisa pacuan adrenaline yang tadi kurasakan reda. Berganti dengan rasa panik. Ravi pasti akan murka lagi. Karena aku sudah dengan bodohnya memancing masalah yang tak perlu dan membuat keributan di tengah acara keluarga besar. Damn. Aku hanya bisa terduduk diam meringkuk di sudut kursi jok.

Pikiranku kacau. Penuh dengan amarah Ravi. Apa yang akan dia lakukan padaku. Apa yang akan terjadi berikutnya. Tapi disudut otakku, kata-kata Ella masih terngiang jelas. Obat. Tagihan macet. Ada apa gerangan dengan RS Trikarya Husada. Begitu pula dengan perusahaan keluarga Godjali.

Besok. Besok aku akan benar-benar menyelidikinya.



Ravi bungkam seribu bahasa sepanjang perjalanan pulang. Hanya membuka mulutnya setibanya kami di beranda rumah.

“Segeralah berganti baju. Cek kondisi Phoebe. Jika dia masih tidur, aku tunggu kamu di kamar tamu seperti kemarin.” Setelah berkata demikian, Ravi langsung pergi meninggalkanku.

Ravi nampak benar marah dengan kelakuan ku saat makan malam keluarga. Tapi tetap saja dia menginginkan tubuhku malam ini. hufttttt….baiklah toh dia masih tetap suami yang harus aku hargai dan aku juga tidak mau ribut lagi demi Phoebe dan kewarasanku….melelahkan semua keributan ini. Sudah cukup aku tadi dibuat kesal karena kelakuan Ella, tak ada gunanya aku menbuat kesal seekor Godzilla lagi.

“Luna cepat kesini…pakai lingerie-mu yang hitam” tatap matanya nampak penuh emosi dan dibarengi dengan pengaruh alkohol…

Dia banyak minum lagi… huft… dasar laki… entah apa nikmatnya seks bila bahkan pikiran dan kesadaranmu saja tidak penuh sedari awal. Tapi sudahlah, mungkin ini yang terbaik. Ravi dalam pengaruh alkohol tak akan bertahan lama diatas ranjang.

“Iya….” jawabku dan aku mengenakan lingerie hitam yang dia minta..kupadu dengan G string hitam menerawang…. Transparan di area payudaraku, menampilkan semburat puting coklat pink ku…dan sangat melekat pada tubuhku menampilkan lekuk tubuhku…sebentar aku melihat ke cermin dan mengagumi tubuhku sendiri…beranak satu bukan berarti aku kehilangan pesona lekuk tubuhku….masih sexy dan menggoda gumamku dalam hati.



Aku melangkah masuk ke dalam kamar tamu. Tanpa kuduga Ravi mendorong tubuhku terhempas ke ranjang dan menindih badanku.”eh…Pa ..apa ini…kenapa in..ehhh” aku meronta karena kaget.

“Diam kamu! Kamu sudah bikin aku malu…di depan keluarga…kaya aku ga bisa ngajarin sopan sama istriku!” Ravi mencecarku sembari memaksa tanganku ke atas kepalaku dan mengikatnya dengan dasi ke sandaran ranjang.

“eghh..Pa aku ga …mau ..diginiin..lepasin” aku mencoba berontak, tapi apalah dayaku dengan tenaga dia yang kesetanan.

“malam ini aku akan nikmatin tubuhmu dan memekmu dan juga ngajarin KAMU SOPAN SANTUN!” ujarnya dengan amarah dan bau alkohol yang menyengat dari mulutnya.

“Apa salahku?? Karena aku membela harga diriku??” kalimatku tak kalah tajam menusuk dengan mataku memandang tajam matanya



“aku bilang DIAM!” Ravi dengan kasar membalik tubuhku dan menunggingkan ku. Rasa nyeri terasa di pergelangan tanganku. PLAKKK….PLAKkkkk…… aku merasakan panas di pantatku. “akhhh…sakit pa…ngapain aku di giniin..aku ga mau” aku tidak akan menangis malam ini. TIDAK! Aku bukan budakmu, aku istrimu yang seharusnya kamu jaga dan bela.



“KUBILANG DIAM!” PLAKKK….PLAKKKK…kembali Ravi menampar pantatku…aku merasakan Ravi dengan kasar merenggut G string ku….terasa perih di kulitku..aku yakin kulit ku yang putih ini sudah memerah dengan perlakuan nya…dengan kasar Ravi menjamah vagina ku…”Huh Kering begini…biasanya kamu suka bila aku kasar hah?!” ejek Ravi. CUHHHH…… Ravi meludahi vagina ku dan mulai memainkannya.



Aku menggerakkan pinggulku ke kanan dan kekiri mencoba mengurangi rasa nyeri yang timbul akibat tindakan kasarnya. “lepasin..pa..aku ini masih istrimu…hargai aku..aku cuma membela harga diriku”



“ARRRGGHHH…” jeritku saat dengan kasar Ravi memasukkan jarinya ke dalam vaginaku dan mengocoknya dengan kencang. Nyeri hanya nyeri yang kurasakan…tidak ada nikmat sedikitpun…aku ini wanita…aku manusia….aku menggigit keras bibirku sendiri. Menahan agar air mataku tidak keluar.

“HALAH kamu sudah beruntung jadi menantu keluarga GODJALI….kami ini penguasa…*** ada yang berani melawan kami! Paham!...Uang??? kamu butuh berapa hah???” bentakan Ravi terus mencecarku mencoba menghancurkan harga diriku….tapi tidak semudah itu…aku bukan wanita lemah…aku memilih mengalah demi Phoebe…..demi papa mamaku..nama baik papa mama harus kujaga.

“aku bisa …ughgh…kerja..ughhh” jawabku sembari menahan nyeri di vaginaku.



“sudah kubilang diam!!” Ravi dengan kasar membuatku tengadah dan menjejalkan penisnya ke mulutku… “Kalau kamu tidak bisa diam, biar kusumpal sekalian saja mulutmu itu!!” Plok…plok..plok…Ravi dengan kasar menyodok penisnya ke dalam mulutku.

“Hghghh…emang enak mulutmu…tugas wanita, menantu Godjali ya ini… memuaskan suaminyaaaa… hanya urusan ranjang yang perlu kamu penuhi… ujarnya sambil terus menyodok mulutku… “lagipula, yang kamu bilang kerja itu… hah... kerjaan apa… kamu itu cuma dokter jaga, Luna. Ga punya posisi tawar. Hanya bawahan yang menuruti perintah RS. Kamu itu hanya pegawai…” kembali dia merendahkanku.

Aku mencoba mengatur nafasku dan menguatkan tenggorokanku. Gerakan Ravi sangat kasar sehingga seluruh badanku terasa ngilu dan bibirku perih. Kata-katanya pun kian dalam mengiris hatiku… Sedikittt lagi Ravi bisa menstimulasi rangsang muntahku, dan aku tak akan sanggup menahan perihnya asam lambung yang naik ke dalam mulutku…

“akh…aku mau menu utama malam ini” ujarnya menelentangkan tubuhku dengan tanganku masih terikat. Untungnya Ravi segera mengubah posisi kami. Tapi tetap aku berontak dari perlakuan kasarnya.

“lepasin..aku..aku ga mau kaya gini…pa… lepasin” aku melotot memintanya melepaskan ikatanku.



BREET…BREETTT…BREETTT yang ada justru lingerie-ku dicabiknya. Ravi mendekatkan wajahnya dan mencoba menciumku…aku menoleh menolaknya…tapi tangannya mehanan wajahku dan mulutnya dengan kasar menciumku. Lidahnya dengan kasar memaksa masuk dan menjilati wajahku.

Tangannya mencengkeram perutku. “kamu diam atau aku bisa lebih kasar lagi!” CUHH…dia meludahi penisnya dan meratakannya. Tanpa peduli keadaanku dia menerobos masuk ke dalam vaginaku…

Aku memejamkan mata menahan nyeri…mengigit bibirku sendiri. Hentakan keras dan kasar nya dalam vaginaku tak berhenti di situ saja, cupangan kasar dia lakukan ke leher dan dadaku. “hahaha ini tanda agar semua orang tau kamu milik Ravi GODJALI” ujarnya sambil terus menghentak kan penisnya….

Tidak lama aku bisa merasakan penisnya lebih hangat dan keras…sudah mau ejakulasi kah??? Baguslah semoga cepat berakhir…..dan crotss….crott..crott “ARRRGHHHH ENAKKK MEMEKMUUUU…” Ravi mengejang mendapatkan ejakulasi nya.

Dalam hatiku aku berkata….kejantananmu tak sebuas raunganmu….aku melirik ke jam dinding…15 menit…total waktu pergulatan kami hanya 15 menit…

Aku tersenyum kecut…tanganku sudah dibebaskan. Meski aku yakin pasti ada memar biru tertinggal di pergelanganku. “Semoga kamu belajar pelajaranmu!” ujarnya kemudian merebahkan diri dan tidak lama aku mendengarnya mendengkur….

Aku tertawa dalam hatiku… Ravi… Ravi… kamu pikir aku diam karena aku puas? Karena aku tunduk? Aku hanya memikirkan Phoebe….papa….mama….nama baik keluarag Irawan. Aku terlahir sebagai pejuang bukan wanita lemah…diam bukan berarti lemah…diam bukan berarti kalah…dalam diam ada kekuatan yang tak terbatas……

Sekali lagi aku menegaskan….Kejantananmu tak sebuas raunganmu….





Gibbosa Crescente : Bulan Hampir Penuh Pertama [italia] --- fase ketiga dalam siklus Bulan
keren om.... makin menarik perjalanan dr Luna, sampai dimana kekuatan dr Luna
 
Musuh mulai naik ke panggung... Keluarga Godjali yg dominan...

Mesti main cantik nih Dr. Alvaro, mesti penuh perhitungan dan ada perencanaan yg berlapis buat mengahadapi klan Godjali demi kebahagiaan Lavaro dan Luna serta kedua anak mereka di akhir cerita nanti.. Semoga

Makasih updatenya..
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd