Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Kuingin marah, melampiaskan

tapi ku hanyalah sendiri disini

ingin ku tunjukkan

pada siapa saja yang ada

bahwa hatiku kecewa





Episode VII

Luna Calante




Jam masih menunjukkan pukul 07.30, tapi aku sudah berada di RS Trikarya Husada. Lebih tepatnya aku sudah duduk memposisikan diri di ruang tunggu tamu direksi. Di lantai 7 gedung ini. Tanganku berkali-kali mengecek berkas-berkas laporan yang sudah kusiapkan dan memastikan bahwa flashdisk berisi data itu masih tersimpan aman dalam tas ku.

Kakiku yang sedari tadi sudah kutahan untuk tidak menunjukkan kegelisahan hatiku, tetap saja bergerak naik turun, mengetuk-ngetukkan hak sepatu heels ku kelantai. Suara ketukannya menggema di seluruh ruangan tempat ku menunggu, kian membuat aku makin was-was. Kembali kulirik jam di pergelangan tangan kiriku.

Jam 7.32…

God… kenapa pagi ini waktu seolah tak berjalan seperti biasanya…



Pesan yang semalam kuterima di ponselku sampai sudah bisa kuhapal diluar kepalaku saking seringnya kubaca dan kubaca ulang. Pesan yang sama yang kemudian terbersit di pikiranku

“Selamat sore dokter Alvaro, ini dokter Cynthia Luna dok… Mohon maaf sekali saya mengganggu di luar jam kerja dokter. Tapi saya mau menanyakan dok, apakah saya bisa minta waktu untuk bertemu dengan dokter Alvaro? Ini terkait dengan laporan pengadaan obat yang saya dapati hari ini dok. Terimakasih sebelumnya.“

“Oke.. besok pagi jam 8.00 di kantorku ya… aku tunggu kamu.“




Bukan suatu pesan yang tidak wajar memang. Tidak ada satupun yang aneh. Tapi….

‘aku tunggu kamu‘

Yup…
3 kata itu yang sukses membuat perasaanku galau seperti ini. Perasaan yang sudah sangat lama tak kurasakan.

Aku? Kamu? Sudah seakrab itukah aku dengannya?

Hanya setelah beberapa kali kami bertemu… dan dia merawat lukaku… dan aku menjahit lukanya… kenapa hal seperti ini dengan mudahnya mengetuk perasaanku. Perasaan yang sudah lama beku…

Stupid Luna… Ingat posisimu. Ingat profesimu. Jangan mudah terbawa emosi. Dewasalah…

Ditengah aku sedang tenggelam dalam pikiranku sendiri, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tepat diluar ruang tunggu ini. Dan karena dinding ruang yang menghadap ke lift terbuat dari kaca, aku dapat dengan jelas melihat siapa yang datang saat ini.

Dokter Alvaro.

Dia nampaknya juga sudah melihat kearahku, dan segera memberi tanda untukku mengikutinya berjalan menuju ruang kantornya…

Aku bergegas berdiri yang mengakibatkan betis kiriku agak terbentur sudut meja yang ada disitu. Duh ini aku kenapa lagi sih, panik ga jelas seperti ini. Aku mengabaikan nyerinya dan berharap itu paling cuma akan meninggalkan bekas memar sedikit. Bukan hal yang aneh bagiku memiliki luka memar macam itu.

Dokter Alvaro terus berjalan menuju kantornya, nampak agak tergesa karena dia melangkah dengan cepat. Setiba di ruangannya, aku sekilas bisa melihatnya baru saja menyemprotkan pengharum ruangan, sebelum akhirnya dia memposisikan diri duduk di meja kerjanya. Kemudian dia mempersilahkanku duduk di hadapannya.

“Selamat pagi, sudah lama kamu menunggu?” sapanya ringan.

“Ah.. eh… tidak kok, Dok. Kan ini memang belum jam 8… Saya aja yang datangnya kepagian.” sahutku salah tingkah. Kenapa dia seakrab ini?

“Gimana-gimana, laporan apa yang mau kamu tunjukan padaku? Baru 1 minggu kamu kupindah ke bagian logistik dan udah ada laporan yang kamu siapkan untukku? Hebat kamu Luna…”

Lagi dan lagi. ‘Kamu’. ‘Aku’.

Aku dibuat makin salah tingkah dan galau dibuatnya. Dan pujian macam apa itu? Hebat? Aku bahkan belum melakukan hal apapun… kenapa dia sudah memujiku seperti itu?

“Ehm..” aku mendehem pelan untuk melonggarkan tenggorokanku yang terasa seperti kering dan tercekat. “ini dok… saya sebetulnya ingin menanyakan satu dua hal, sekaligus ingin mengkonfirmasikan data yang saya temukan kemarin…” seraya berkata demikian, aku mengeluarkan berkas-berkas laporan yang sudah kusiapkan kemarin. Terkait alteplase, obat-obatan kemoterapi, juga tentang permintaan obat dokter Kieswara

Tak membuang banyak waktu dokter Alvaro langsung memeriksa berkas-berkas itu.

“Maaf dok sebelumnya, tapi data itu masih belum saya susun dengan rapi, jadi mungkin agak sulit untuk dokter Alvaro membacanya…” sambungku seraya merunduk.

Bodoh benar aku. Bisa-bisanya menyodorkan laporan kasar seperti itu. Padahal dokter Alvaro sudah meluangkan waktu diantara kesibukannya untuk menemuiku pagi-pagi sekali hari ini. Aku telah membuang-buang waktunya… pikirku dalam hati

“Untuk laporan obat alteplase, trastuzumab dan cetoximab tolong lebih kamu dalami dan dipertajam lagi analisa mu ya... Bila benar kecurigaanmu bahwa telah ada permintaan obat-obatan jenis ini dengan jumlah yang tidak wajar, aku tidak akan segan-segan untuk membawa data ini langsung kepada dewan komisaris. Lagipula merekalah yang paling berhak tau, dana yang telah mereka kucurkan ke RS ini sudah dihambur-hamburkan untuk apa saja…” Dokter Alvaro langsung memberikan masukan dan arahan setelah membaca berkas laporanku tadi.

Berkas yang masih sangat kacau dan berantakan itu. Dia sanggup membacanya? Wow. Impressive.

“Lalu terkait dokter Kieswara, aku minta kamu sangat berhati-hati Luna. Aku sudah tau kebusukan dan keburukannya. Tapi sebelum data kita lengkap, aku harus memintamu untuk lay low dan stay silent dulu…”

“Tapi dok… kan justru sudah jelas sekali kalau apa yang dilakukannya itu salah dan menyalahi aturan. Akan lebih buruk akibatnya kalau kita hanya diam saja. Gimana kalau nanti dokter-dokter umum lainnya mengikuti perbuatan dokter Kieswara. Apa kamu ga mau melakukan sesuatu untuk ini?.” aku tak bisa menahan diri

Segala kejengkelanku terhadap ketidak-profesionalan dokter Kieswara memuncak. Aku berharap dengan berbekal temuan ini, paling tidak dia bisa mendapatkan sangsi dari pihak HRD. Dari dokter Alvaro. Sedikit banyak aku berharap dialah yang bisa melawan Kieswara. Aku betul-betul sudah muak dengan tingkah polahnya selama aku bertugas di IGD.

“Luna, masalah Kieswara di RS ini ngga cuma obat, tapi juga kasus-kasus malpraktek. Aku sudah baca semuanya.” sahut dokter Alvaro kalem.

Sontak aku terkaget. Aku mengangkat kepalaku dan menatap langsung ke mata dokter Alvaro. Mencari tanda kalau dia benar bicara jujur. Bukan cuma gertakan, bukan juga kebohongan.

“… kamu… kamu tahu semuanya?” perlahan aku menjawabnya

“Iya. Kemarin ada 2 berkas masuk ke mejaku. 2 pasien yang meninggal dalam 2 minggu ini, dan keduanya ditangani oleh Kieswara.”

“Pasien yang mana aja dok?” sahutku spontan. Dan otakku langsung bekerja keras mengingat-ingat kasus yang sempat menjadi perbincangan oleh perawat IGD beberapa waktu lalu. “apakah yang dimaksud pasien Ny. Y yang overdosis kalium itu?”

“Yap… betul yang itu pasiennya.” sahutnya singkat, seraya membalikkan badannya dan mengulurkan tangannya kedalam kulkas pribadinya.

Seketika perhatianku teralihkan. Baru tahu aku kalau kantor direktur ada kulkas sendiri. Dalam benakku terbayang biasanya direktur-direktur akan disuguhi oleh secangkir kopi panas yang disiapkan oleh sekretarisnya… Hmm… mungkin sekarang jaman sudah berubah. Dan jiwa muda macam dokter Alvaro mungkin akan lebih memilih minuman dingin untuk menemani hari-harinya.

“Nih, minum dulu… tenggorokanmu pasti kering sampai suaramu berubah seperti itu.” ujar dokter Alvaro seraya menyodorkan sebotol air mineral dingin dan sekotak susu coklat.

“Susu coklat? Seorang dokter Alvaro minum susu coklat tiap harinya?” sahutku spontan.

Lagi-lagi mulutku bekerja jauh lebih cepat dari otakku. Ya Tuhan… Lunaaaa… kamu benar-benar ga tahu sopan santun kali ini. Aku menunduk sedalam-dalamnya. Tak berani melihat ke arah dokter Alvaro. Entah apa yang akan dia pikir tentangku sekarang. Bisa kurasakan pipiku pun mulai memanas. Kuyakin 100% pasti wajahku merah seperti kepiting rebus.

“Ohh.. susu coklat itu untuk kamu kok, Lun… aku tau kamu suka susu coklat kan?”

Kembali aku tak bisa menahan gerak refleksku untuk mengangkat kepala dan melihat ke arahnya untuk memastikan aku mendengar dengan benar. Dan melihat bahwa dokter Alvaro nampak tersenyum penuh kemenangan melihat reaksi ku barusan. Reaksi salah tingkah layaknya anak SMA saat berpacaran. Tapi ada 1 hal sangat mengganjal dari pernyataan barusan… 1 hal yang langsung kutanyakan pada tarikan nafasku berikutnya...

“Darimana kamu tahu aku suka susu coklat? Siapa yang memberitahumu?”

Dan seketika raut wajah dokter Alvaro berubah. Nampak gurat kepanikan dalam wajahnya.

“Mmm… itu… yaa.. kan biasa cewek suka coklat gitu lah… Cuma tebakan beruntung, eh?”

Cara bicaranya langsung berubah. Seolah dia ingin menutupi kepanikannya. Seolah dia ingin mengalihkan pembicaraan. Seolah dia tahu tentangku lebih dari itu…

Tapi sejauh apa?

Aku tak yakin aku cukup kuat untuk menanyakannya saat ini. Apalagi ini adalah ranah pekerjaan. Aku harus bisa professional. Aku harus bisa memisahkan urusan pribadiku dengan urusan RS. Aku harus bisa…

Aku memutuskan menerima tawaran susu coklat darinya. Buru-buru kuminum untuk menelan seluruh pertanyaan yang sudah ada diujung lidahku sekalian. Aku harus menelasnnya dalam-dalam. Menyimpannya rapat-rapat.

“So… ya…terkait laporan-laporan yang tadi sudah kamu kumpulkan dan sampaikan itu sudah cukup baik. Aku minta kamu lebih lengkapi lagi, dan lakukan secara menyeluruh. Untuk setiap perusahaan farmasi, setiap jenis obat, dan permintaan di masing-masing unitnya. I know it’s a huge ask, tapi tenanglah, aku akan membantumu sebisa mungkin… 1 pertanyaan terlebih dahulu, dimana kamu simpan data-data temuan ini Luna?” dokter Alvaro kembali membahas pekerjaan.

Syukurlah. Akhirnya pembicaraan ini kembali ke zona aman.

“Data itu kusimpan hanya di komputer meja kerjaku di Logistik, dalam folder terpisah lengkap dengan password yang kubuat sendiri. Sedangkan data backup nya dalam flashdisk pribadiku yang selalu kusimpan dan kubawa kemanapun aku pergi…” aku menjawabnya dengan lugas.

Good. Jangan percaya siapapun dalam RS ini… Tidak sampai mereka bisa betul-betul membuktikan diri layak kita percayai.”

“Lalu layakkah dokter mempercayai saya? Untuk memberikan kewenangan dan tugas se-sensitif ini padaku yang adalah masih orang baru di divisi umum?” tanyaku otomatis.

“Apakah aku salah mempercayaimu? Apakah aku salah memilih untuk mempercayaimu? Dan apakah kamu tidak mau kupercayai?”

“P… Pertanyaan macam apa itu…” kutundukkan kepalaku dalam-dalam mendengar jawaban lugas dokter Alvaro.

Lagipula kenapa aku harus bermain perasaan. Kembali kuingatkan diriku sendiri bahwa ini adalah ranah pekerjaan. Dia adalah atasanku. Dan aku adalah bawahannya. Pertanyaan bodohku hanya akan membuat hubungan profesionalitas kami terganggu…

Dari sudut mataku dapat kulihat dokter Alvaro sama sekali tak tampak keberatan dengan pertanyaan dan tingkah bodohku barusan. Dia nampak sangat santai dan dengan nyamannya memposisikan diri bersandar pada kursi kerjanya. Nampak seulas senyum tipis dibibirnya melihat reaksiku barusan.

“Jadi, sampai mana bahasan kita tadi?... Ah ya… laporan pengadaan obat yang itu tadi, aku minta kamu laporkan rutin ke aku. Kurang lebih tiap 1 minggu sekali aku mau kamu bawa laporan itu, kita crosscek sama-sama dan betul-betul pilah mana yang masih masuk akal dan mana yang sudah kelewat batas. Untuk waktu dan tempat pertemuannya, kita bikin flexible saja. Selain karena aku memang jarang ada dikantor, data yang kita bahas ini sensitif dan rahasia. Akan berbahaya untuk posisi kita di RS ini bila ada telinga-telinga jahil yang mencuri dengar pembicaraan kita.”

“Ok… 1 minggu sekali. Lalu kalau laporan itu sudah kusiapkan……….”

“Ya, kamu bisa langsung whatsapp aku. Seperti pagi ini. Kita atur janji temu lewat WA. Dan bila memang waktu betul-betul tak memungkinkan untuk kita bertemu tatap muka seperti ini, paling tidak kamu bisa kirimkan data itu via WA. Meski itu bukanlah cara yang kusukai untuk membahas hal sensitif macam ini......”

Dokter Alvaro nampak menerawang jauh setelah berbicara demikian. Entah apa yang ada dipikirannya. Tapi kalau dari nada bicaranya, aku menebak mungkin dia memang lebih suka bertemu muka denganku. Tidak hanya sekadar berbicara lewat whatsapp…

Tapi kembali kutepis pemikiran konyolku itu. Cukup sudah dengan imajinasi berlebihmu Luna. Tak mungkin dia sampai seperti itu hanya karena ingin berjumpa denganmu secara rutin tiap minggunya.

“Baik dok. Akan kulakukan sesuai instruksi.” aku menjawabnya dengan tegas.

Aku harus profesional. Aku tak boleh dikuasai perasaan.



“Ah iya… lalu besok pagi ada pertemuan laporan bulanan divisi umum ya, Luna. Tolong kami ikut datang. Yang penting kamu hadir dulu saja, tidak perlu mempersiapkan laporan ataupun presentasi apa-apa. Kamu lihat dulu gimana masing-masing kepala divisi akan melaporkan kegiatan mereka selama sebulan. Baru di bulan-bulan berikutnya aku harap kamu juga bisa ikut berpartisipasi aktif dan melaporkan kegiatanmu di logistik.”

“Jam berapa dok, untuk pertemuan besok?”

“Kami mulai jam 9 tepat. Divisi umum tidak boleh terlambat dalam agenda dan pertemuan seperti ini. Kami sangat menghargai waktu semua orang disini. Pahami bahwa setiap bagian memiliki kesibukannya masing-masing dan dengan kita membiasakan diri untuk selalu ontime dalam segala hal, orang lainpun juga akan menghargai waktu kita. Mereka pun bisa lebih fokus dalam bekerja dan dalam menghadiri rapat karena pembagian waktunya sudah sangat jelas.”

Terdapat ketegasan yang absolut dari cara dokter Alvaro bicara barusan. Ketegasan seorang alpha. Ketegasan seorang pemimpin.

Aura dominansinya sangat kuat kurasakan hingga aku kembali mendapati diriku menundukkan kepala dan takluk padanya. Tapi bukan karena takut. Murni karena respect. Karena kagum. Karena aku merasa tak layak untuk bertatap muka dengannya…

Yang membuat perhatianku tertuju pada hal lain di atas meja dokter Alvaro… mataku terpaku pada kedua tangannya yang terkepal di atas mejanya. Terlihat jelas perban putih membalut punggung tangan kanannya. Tangan yang kemarin kujahit di klinik umum…

“Bagaimana lukamu? Apakah masih terasa nyeri? Adakah tanda radang di sekitar lukamu?” ujarku tanpa pikir panjang. Otak dokterku mengambil alih.

Entah mengapa aku sangat cemas dan mengkhawatirkan kondisi luka dokter Alvaro. Dan memang laju pikiranku sangat tak menentu hari ini. Selaras dengan debar jantungku yang tak juga tenang meski aku tak tahu dengan jelas apa sebabnya. Kombinasi dari kesemuanya itu membuat filter ‘otak-mulut’ku blong. Aku seperti tak memiliki kendali apa yang sewajarnya aku bahas dan batasan mana yang harus kuperhatikan.

Tapi nampaknya dokter Alvaro tidak mempermasalahkan itu. Tidak sama sekali.

“Oh ini… karena perawatanmu yang cekatan kemarin, lukanya nampaknya menutup dengan baik. Aku tak melihat ada tanda radang. Kalaupun nyeri, ya biasalah… namanya juga barusan dijahit.” sahutnya ringan.

“Tapi kamu juga sudah minum antibiotik juga kan? Lukamu cukup dalam kemarin, dan kalau penyebabnya adalah perkelahian, pasti akan potensial infeksi bila kamu tidak minum obat.”

“Iya Luna. Aku juga sudah minum obat. Begini-begini aku juga masih seorang dokter. Aku tahu dasar perawatan luka… Yang mengingatkanku, gimana lukamu sendiri? Sudah berapa hari ini kamu tidak kuperiksa ya… Bolehkah aku melihat kondisinya sekarang?”

“Ohh.. hmm.. ituu…” aku terbata-bata menjawabnya. Kenapa disaat seperti ini otakku justru malah nge-blank dan tidak bisa memikirkan jawaban apapun.

Well, hanya kalo kamu bersedia aja kok. Aku tak pernah memaksamu untuk menuruti kehendakku… Senyaman kamu aja” sambung dokter Alvaro lagi.

“Bukan… bukan seperti itu dok. Ehm,, tapi… udah ga ada luka serius lagi kok. Dari awalpun juga luka yang ada di lenganku kan ringan. Tidak perlu perhatian berlebih…” kilahku.

“Hmm… kalau begitu, makin tidak ada salahnya kan kalau aku melihatnya barang sekali lagi. Untuk menenangkan hatiku.”

Eeehhh… menenangkan hati??? Apa lagi ini yang dokter Alvaro katakan. Yang ada malah jantungku yang makin tak keruan dibuatnya. Jauh dari kata tenang yang dia ungkapkan tadi.

“Dan kalau aku boleh tau, tadi bagian manamu yang terbentur meja ruang tunggu? Dari yang kudengar, sepertinya cukup keras terbenturnya, boleh aku lihat?”

Aku benar-benar speechless dibuatnya. Dia mendengar kecerobohanku tadi? Aduhhh… memalukan sekali. Lagi-lagi kurasakan kedua pipiku merah padam dibuatnya. Aku benar-benar tak berkutik kali ini.

Tak lagi bisa mengelak, aku hanya bisa berpasrah mengulurkan tanganku untuk dilihat olehnya. Baju yang kukenakan hari ini berlengan pendek, sehingga dokter Alvaro bisa langsung melihat kondisi lukaku yang sungguh sudah sangat pudar bekasnya.

Lain halnya dengan betisku… rok selututku tak bisa menutupi jejak memar yang mulai terbentuk disana. Kulitku memang sangat gampang memar. Ditambah dengan kecerobohanku bila aku sedang kurang fokus, yah… luka memar sudah seperti teman baikku.

Ujung rokku agak sedikit menutupi bekas memarnya. Sehingga aku harus menyingkapnya sedikit ke samping agar dokter Alvaro bisa memeriksa kondisi kakiku. Entah mengapa melakukan ini seolah adalah suatu hal yang sangat intim untukku. Hatiku berdebar tak karuan… sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan waktu-waktu dulu saat zaman perkuliahan dimana kami mahasiswa dokter memang sering saling memeriksa rekan sejawat sebagai ganti pasien.

Kuharap dokter Alvaro tak menyadari kegugupanku. Debar jantungku. Dan kedua pipiku yang merona…

“Ya ampun Luna… memar di kakimu sampai membiru seperti itu.. segeralah beri obat salep supaya tak membekas ya. Dan kuharap kamu berhati-hati. Tak perlu tergesa seperti itu. Sayang kan kalau tubuhmu dipenuhi bekas luka seperti itu..”

“Eh, iya dok… terimakasih sekali sarannya. Kalau begitu, saya pamit undur diri sekalian ya dok. Pekerjaan sudah menanti. Dan aku juga harus mampir ke IGD atau ke klinik dulu untuk mengobati memar ini. Untuk jahitan di tanganmu, jangan lupa untuk ganti perban besok atau lusa. Dan tolong jaga kebersihannya, supaya lukamu juga segera membaik. Kalau boleh, ijinkan aku yang merawat jahitanmu besok. Lagipula sudah sepantasnya akulah yang melihat kondisi jahitan lukamu, karena akulah yang melakukan tindakan itu…”

Setelah berkata demikian, aku langsung pergi meninggalkan ruangannya. Di tiap-tiap langkahku aku mencoba menelaah kembali pembicaraanku dengan dokter Alvaro tadi. Apakah aku sudah kelewat batas? Apakah aku kembali gagal memisahkan mana yang urusan pribadi dan mana urusan pekerjaan.

Aku menawarkan diri merawat lukanya… apakah itu masih profesional? Apakah itu masih sesuai batas kewenanganku? Memang iya aku memang seorang dokter. Memang iya kemarin dia menjadi pasienku… tapi dia tetap atasanku… dan kenapa aku harus se-posesif itu, memaksa bahwa harus aku lagilah yang memeriksa dan merawatnya. Seakan tak rela posisiku diambil orang lain. Posisiku sebagai dokter yang merawat Alvaro Kalingga…

Tapi lagi-lagi aku membantah diriku sendiri dan membenarkan keputusanku. Mana rela aku ijinkan dokter lain di RS ini yang merawat luka dokter Alvaro. Salah-salah nanti malah Kieswara memperburuk kondisi lukanya. Lagipula, sepertinya dokter Alvaro tak mau banyak orang tau tentang lukanya ini. Akan berabe kalau banyak pertanyaan menjurus mengenai asal muasal luka ditangannya.



Setiba di kantor, aku memaksa diri berkonsentrasi keras untuk mulai mempersiapkan data laporan yang diminta dokter Alvaro. Tak lupa akupun merapikan laporan obat yang tadi kuajukan ke dokter Alvaro. Daripada menunda pekerjaan, salah-salah nanti aku malah lupa merevisi nya. Grafik dan skema juga kutambahkan kedalam laporan itu. Kebiasaan dari sejak aku kuliah untuk menampilkan data dalam bentuk gambar. Karena semua orang pasti akan lebih mudah dan lebih cepat mencerna gambar dibandingkan tulisan.

Selesai dengan laporan itu, aku memutuskan untuk kemudian mulai menyisir data permintaan obat dari sisi internal RS dulu. Bukan dari data supplier seperti yang kuteliti saat mencari keterlibatan Ella dan PT. Dwipangga dengan RS ini. Karena kemarin penyelidikanku sudah kumulai dari dokter Kieswara, aku kemudian melanjutkan untuk memilah permintaan masing-masing dokter lainnya di seluruh RS Trikarya Husada ini. Baik dokter umum, maupun dokter spesialis…

Aku bertekad untuk mengupas tuntas kejanggalan permintaan pengadaan obat ini. Paling tidak ini akan bisa kugunakan sebagai bahan pembelajaranku. Berkecimpung di bidang jasa, apalagi bertaruh dengan kesehatan masyarakat, sangat rawan kritik dan cercaan banyak orang. Tak ada salahnya untukku belajar untuk meminimkan bahkan menghindari hal itu. Dengan menjadi praktisi kesehatan yang lebih baik lagi.



Tok... tok… tok…

“Permisi dokter Luna, kami mau pamit pulang dulu…” bu Vera mendadak muncul di ambang pintu kantorku.

“Eh? Pulang? Ada acara mendadak ya bu?”

“Dok, ini sudah pukul 4 sore. Sudah waktunya kita semua pulang. Lagipula besok pagi ada pertemuan rutin bulanan dengan dokter Alvaro. Ada baiknya kita semua pulang tepat waktu supaya bisa beristirahat.”

“Haaahhh? Jam 4?” aku terkaget-kaget dibuatnya.

Lagi-lagi aku lupa waktu. Terhanyut dalam kesibukan baru melacak pergerakan obat di RS ini. Panik, aku langsung buru-buru membereskan semua barang bawaanku. Memastikan berkas dan data temuanku tersimpan rapi dan ter copy kedalam flashdisk. Tak lupa aku mengecek handphone ku untuk melihat apakah Ravi ada menghubungi dan mencariku.

Nihil.

Tak ada satupun pesan, whatsapp, ataupun telepon masuk dari Ravi. Di satu sisi aku merasa lega karena aku tidak mendengar sindiran dan omelan pedas darinya. Namun di sisi lain, aku merasa hampa.

Sudah sebegitu tak berharganya kah aku? Sehingga bahkan suamiku sendiri tak mencariku, tak menanyakan kabarku…

Aku menghela nafas dan beranjak untuk meninggalkan kantor, meninggalkan RS untuk kembali pulang ke rumah. Bertemu Phoebe ku tersayang.

Di mobil, terdengar notifikasi pesan baru diterima di ponselku. Ah… speak of the devil, begitu pikirku. Aku menahan senyuman kecilku karena ternyata pemikiranku tadi tak berdasar. Ravi masih mencariku. Namun karena aku masih mengemudi, aku putuskan untuk mengeceknya setiba dirumah.

Toh paling cuma Ravi ini yang WA aku. Dan akupun sebentat lagi sudah sampai rumah. Begitu pikirku.

Tapi saat kubuka handphone ku, kaget bukan kepalang aku dibuatnya. Karena pesan itu bukanlah dari Ravi. Juga bukan dari RS…

Dari dokter Alvaro…

“Sore Luna, jangan lupa ya. Besok pagi jam 9 tolong hadir dalam pertemuan laporan bulanan. Aku tunggu kamu.”

Aku. Tunggu. Kamu.

Lagi-lagi 3 kata itu. Langsung membuatku terpaku ditempat. Hingga tak sadar bahwa Ravi juga sudah tiba dirumah. Dan memelukku dari belakang. Yang membuatku makin terkaget tak karuan hingga berteriak.

“Knapa sih kamu Lun… teriak lebay banget gitu dipeluk suami..” Ravi menyindirku.

“Ahh.. papa ni… ya kaget lah, Pa. Ga ada angin, ga ada hujan, ga pake aba-aba tiba-tiba Papa meluk aku kaya gitu…” balasku. Dadaku berdebar makin keras.

“Eh, jangan salah… aku udah nyapa kamu ya… tapi kamu kek konsen banget, setengah melamun gitu. Sampe ga denger aku manggil. Mikir apaan sih?”

Entah kenapa aku makin erat memegang handphone ku mendengar Ravi berkata begitu. Ada rasa enggan untukku menunjukkan pesan WA dari dokter Alvaro barusan.

“Oh.. mmm.. itu… Cuma urusan kerjaan kok, barusan ada WA dari RS…”

Tidak sepenuhnya salah. Memang itu pesan dari seseorang di RS. Juga tentang urusan pekerjaan. Tapi aku merasa seolah sedang merahasiakan sesuatu yang jauh lebih bermakna dari itu.

Yang lantas membuatku berpikir. Apakah ada sesuatu yang lebih antara aku dan dokter Alvaro? Yang membuatku berdebar tak keruan seperti ini…

“Oh. Lalu gimana sekarang pekerjaan barumu. Kapan kamu bisa pertemukan bagian marketing kami dengan tim Farmasi mu? Supaya lebih banyak produk lagi yang bisa kami jual ke RS mu itu. Paling tidak denganmu ada disana, kamu bisa bantu kejar tenggat waktu pembayarannya kan. Supaya tidak molor-molor seperti yang dialami Ella…” Ravi langsung menyerocos tiada henti.

“Eh. Tapi pa. Bukan itu bidang yang kukerjakan… ada divisi lain lagi yang mengatur itu. Dan divisi itupun tak akan punya kewenangan sebebas itu untuk melakukan tender kerjasama dengan perusahaan obat apabila belum diajukan dan dirapatkan oleh jajaran direksi dan dewan komisaris……...”

“halah… ribet amat sih ya. Namanya usaha itu ga usah pake ribet berbelit-belit. Tyas kepala Farmasimu bilang begitu, sekarang kamupun bilang gitu. Bikin repot semua orang aja. Bisnis itu money. Good deal ya kita jalan, kalo ribet ya ditinggalkan. Bilang kaya gitu sama RS mu itu. Mumpung aku masih berbaik hati mau memberikan penawaran bagus untuk mereka.”

Inikah kenapa dia sangat senang mendengar kabar pemindahan jabatanku kemarin? Hanya untuk kepentingan dan keuntungannya? Sehingga diapun rela ada perubahan jam kerja dan lain-lainnya itu?

“Coba besok akan kuutarakan, Pa. Tapi aku tidak bisa janji akan bisa memenuhi keinginanmu.” sahutku pasrah.

Dari yang sudah kualami sejauh ini, selama aku menjadi istri Ravi, perdebatan ini akan sangat melelahkan dan lebih menyayat hati bila kuteruskan. Harga diriku menjadi taruhannya. Jadi aku belajar, daripada Ravi makin menyindir dan merendahkanku lebih dari ini, aku memilih untuk diam dan mengiyakan argumen-argumennya. Meski memang kadang poin-poin nya itu benar, tapi sangat memalukan dan konyol bila itu diungkapkan ke publik.

Ya memang kamu punya kekuasaan. Ya memang kamu punya kekayaan. Tapi tidak berarti kamu layak mengekploitasinya dan mengumbar-umbarnya, dsn menggunakannya sebagai poin intimidasi lawan bicaramu. Ingatlah, diatas langit masih ada langit… suatu ketika langit itu bisa runtuh menimpa kepalamu sendiri.

“Ya gitu dong. Makanya kan sudah kubilang berkali-kali. Kamu itu harus lebih tegas. Lebih berani mengutarakan pendapat dan keinginanmu.” Ravi sambil lalu menjawabku.

Perhatiannya kembali teralih ke handphone nya yang berdering. “Ah.. telpon lagi dari supplier, aku akan melanjutkan pekerjaanku di ruang kerja… Kamu mandilah sana, dan segera tengok Phoebe. Nanti kita bahas lagi saat makan malam.”

Sehabis berkata demikian, Ravi langsung berjalan meninggalkanku yang masih ada di ruang tamu. Nampaknya dia langsung menuju kamar kerjanya. Aku berjalan menuju arah sebaliknya, langsung mencari Phoebe manisku. Aku berharap dalam hati semoga Phoebe sudah terbangun dari tidur siangnya. Senyuman manisnya pasti bisa mencerahkan hati dan perasaanku.



Sehabis mandi, aku mengintip kearah ruang bermain Phoebe, kamar tempat Phoebe banyak menghabiskan waktu bermain yang terhubung langsung dengan kamar tidurku. Dan seolah Phoebe bisa merasakan kehadiranku, dia langsung tersenyum riang dan berceloteh nyaring.

“Maamaaa.. mamamaamammama…”

Senyumnya sangat menular, dan akupun tak kuasa menahan untuk membalas senyum manisnya.

“Halo sayang” aku otomatis berlutut untuk menyambutnya yang berjalan tertatih kearahku. Dia baru belajar berjalan minggu ini. Tapi semangatnya umtuk menyambutku membuatnya melangkahkan kedua kakinya sepenuh hati. Kukecup kedua pipi gembulnua dan keningnya.

“Uayaaaaa…hahhahaha” makin histeris dia berteriak kegirangan.

“Phoebe sayang… apa kabarmu hari ini? Maaf ya mama baru pulang sore.” aku mencoba mengajaknya ngobrol dan menceritakan hariku pada Phoebe. Dia yang sangat aktif, berjalan dan merangkak kesana kemari seolah ingin menunjukkan padaku mainan dan buku yang dia mainkan seharian ini tadi. Seolah dia tak ingin aku melewatkan sedikitpun dari hari-harinya.

Biasanya aku akan berfokus sepenuhnya pada Phoebe. Apalagi ini adalah satu-satunya waktu yang bisa kuberikan untuknya di tengah kesibukanku bekerja. Tapi entah kenapa hari ini pikiranku seolah melayang kemana-mana. Dan entah kenapa perkataan Ravi tadi benar-benar mengganggu perasaanku.

Kenapa dia menyebut nama bu Tyas kepala farmasi RS dengan seakrab itu. Sejauh apa hubungan mereka? Kenapa aku bisa tidak tahu-menahu sama sekali tentang hubungan antara Ravi dan bu Tyas.

Belum lagi tentang bisnis obat antara perusahaan keluarga Godjali dengan RS Trikarya Husada. Kenapa Ravi se-kekeuh itu untuk memperjuangkannya? Sejauh ini aku baru mendapat info bahwa anak perusahaan yang dipegang Ella dan suaminya lah yang punya relasi dengan RS. Apakah ada anak perusahaan lainnya yang belum kudeteksi? Anak perusahaan yang juga dipimpin Ravi? Atau justru Ravi dan Ella bekerja sama di perusahaan Godjali sehingga mereka punya tuntutan serupa terhadap RS. Dan seberapa dekatkah Ravi dan Ella? Apakah Ella masih kerap menggoda Ravi karena Ella masih menaruh hati semenjak perjodohan mereka?

Kepalaku makin pening memikirkan ini semua. Untungnya celotehan Phoebe membawaku kembali, dan membuatku berfokus padanya.

Ya.. akan ada waktu untuk bertanya pada Ravi tentang hal-hal yang mengganggu pikiranku ini. Mungkin nanti saat makan malam, bila mood nya sedang baik. Saat ini aku hanya akan berfokus pada Phoebe. Dia amat membutuhkanku.





Pukul 19.00 tepat, aku tiba di ruang makan. Ruang makan kami berhubungan langsung dengan dapur bersih. Namun bukan disana tempat pembantu kami memasakkan masakan harian. Ada dapur lain di bagian agak belakang rumah ini dimana semua proses masak memasak yang sebenarnya dilakukan. Dapur bersih yang ada disebelahku saat ini hanya digunakan bila kami butuh untuk menghangatkan makanan, membuat kopi atau sekadar mengambil cemilan dari dalam kulkas.

Ravi sudah duduk di meja makan tapi dia nampak masih berbicara dalam telepon. Bukan maksudku mencuri dengar, tapi karena nada bicara Ravi cukup keras, aku dapat menerka dengan siapa dia bicara.

Ella. Cruella Godzilla

Aku menghela nafas. Kenapa aku justru harus mendengar namanya disaat aku dan Ravi hendak makan malam berdua. Nafsu makanku langsung hilang seketika.

Pembicaraan itu tak berlangsung lama, dan segera setelah Ravi menutup telepon dia menyuruhku makan

“Ayo Luna, makan… kamu nunggu apa lagi?”

Supplier mana Pa yang telepon kamu tadi? Kok lama banget telponnya dari sejak sore tadi baru selesai sekarang?” tanyaku seraya ingin memastikan tebakanku.

“Oh.. pembicaraan dengan supplier sudah selesai tadi. Yang barusan itu telepon dari Ella.”

“Ella? Mau apa dia? Sampai menelponmu segala?” aku mencoba menahan nada defensif ku, tapi bahkan akupun tau, aku tidak berhasil melakukannya.

“Kenapa sih kamu seperti ini? Ella itu kan ya tetap bagian dari keluarga Godjali, dan dia juga bekerja di PT. Dwipangga, anak perusahaan Godjali Corp. Wajar dong kalau dia telepon aku. Kamu sensi amat kalo sama dia. Sampai selalu berantem setiap kali bertemu. Seperti anak kecil saja…” hardik Ravi.

Ya karena aku tau Ella itu masih menaruh hati padamu… ingin ku meneriakkannya kearah Ravi. Membela harga diriku sebagai wanita. Sebagai istrinya yang sah.

Aku menundukkan kepala, menyembunyikan kedongkolanku. Tak ada gunanya aku berdebat dengan Ravi hanya karena Ella yang bahkan tidak ada diruangan ini. Momok pikiranku yang sejak tadi menghantui harus kusingkirkan jauh-jauh. Memancing emosi Ravi hanya akan membuatku tersakiti lagi. Baik fisik maupun emosi.

Seperti biasa, aku mengambilkan makanan untuk Ravi. Tidak seperti saat makan malam keluarga besar, kami lebih suka kalau hanya kami berdua yang ada diruang makan saat kami bersantap. Sudah menjadi kebiasaan untukku menyajikan makanan di piring Ravi, baru kemudian aku mengambil makan untukku sendiri.

Setelah aku duduk kembali, berhadapan dengan secuil makanan diatas piringku yang mungkin tidak akan aku lahap, aku memutuskan untuk menanyakan sekalian tentang bu Tyas pada Ravi.

Seperti kata orang, strike it while the iron's hot. Sudah kepalang tanggung. Siapa tau dengan aku mengalihkan pembicaraan dari Ella bisa memperbaiki situasi ini.

“Pa, kamu kenal sama bu Tyas?”

“Kenapa kamu tanya?” jawab Ravi singkat. Tapi dari nadanya, dia sepertinya tidak keberatan dengan pergeseran topik ini.

“Habisnya kamu manggil dia ‘Tyas‘, ‘Tyas‘ gitu… kaya udah akrab aja, cuma manggil nama, ga pake embel-embel…”

“Ya, dia dulu teman sekelasku semasa SD sampai SMP. Kami masih sering kontak karena memang sampai sekarang tinggal sekota.”

“Oh… kamu tidak pernah cerita sebelumnya…”

“Aku tidak merasa perlu menceritakan ini padamu. Toh kupikir kamu juga sudah pernah bertemu dengannya di RS. Kan kalian 1 kantor. Siapa tau dia malah yang sudah cerita duluan.”

“…… aku akan jauh lebih menghargai bila mendengar ini darimu daripada dari dia. Terlebih bila kamu menceritakannya karena inisiatifmu sendiri.”

“Masalah sepele kan Luna… sekarang kamu udah tau, jadi apa bedanya?”

Huft... ya sudahlah, memang Ravi bisa sangat tidak sensitif. Mungkin ini adalah ciri khas keluarga Godjali. Tidak memandang orang sebagai individu dengan perasaan. Hanya sebatas pion dan bidak dalam papan catur kehidupan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd