Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG SERI PETUALANGAN SURADI

wadidaw...makin membara...lanjutttt huuu...mantopppp markotopp...:mantap::nenen::thumbup:tepuktangan::baris:
 
WINDA... sambungan


Suradi membiarkan gadis itu mengenakan pakaiannya, lalu membiarkannya sendirian di kamar itu.
"Nasinya mungkin sudah matang." Kata Winda sambil menebah gorden kumal dan pergi ke dapur.

Suradi menikmati kesendirannya di kamar yang asing itu. Lututnya terasa berdenyut-denyut seperti disedot sesuatu. Dia berbaring di kasur busa yang sudah lepet itu dengan nafas teratur. Matanya menatap langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu dengan nanar. Meresapi keindahan yang baru saja direguknya, yang belum tentu akan dia dapatkan kembali di masa yang akan datang.

Dia bangkit dari tidurannya, cairan lendir itu mulai mengering di sekujur batang kontolnya dan beberapa menyangkut di bulu-bulu pubisnya. Dia melapnya dengan saputangan. Mengenakan kembali kemeja dan pantalonnya lalu pergi ke dapur dan menyaksikan Winda sedang menjerang air menggunakan tungku.
"Nasi liwetnya udah mateng." Katanya.

Suradi menemukan kamar mandi yang sangat sederhana itu di ujung dapur, kencing di sana dengan lancar dan banyak. Kembali ke dapur, Winda sedang menyeduh kopi hitam untuknya.

Jam di HPnya menunjukkan waktu 04:05.

Suradi kembali duduk di ruang tamu. Mengenakan sepatunya.
"Kopi datang." Kata Winda. "Dinikmati ya Om." sebuah ciuman mendarat di pipi Suradi.
"Hadeuh..." Suradi mengeluh. Dia mengeluarkan kreteknya dan menyalakannya. Pintu rumah itu dibukanya agar asap rokok berlari ke arah situ. "Dia akan membuat aku kedanan karena kangen." keluh Suradi.

Hujan deras berhenti dan cuaca tiba-tiba saja terang.

Dari pintu yang terbuka, dia melihat seorang wanita muda, mungkin seumuran dengannya, berjalan terburu-buru diikuti oleh dua orang lelaki yang sikapnya terlihat kurang bersahabat.
"Pokoknya harus sekarang, Ceu. Kalau tidak TVnya akan kami ambil." Kata salah seorang lelaki itu di teras. Wanita itu tidak menjawab. Dia malah sedikit terkejut melihat seorang lelaki yang tak dikenal duduk di ruang tamunya. Apakah dia gurunya Winda? Ah, ya. SPP sudah dua bulan belum dilunasi.

Suradi berdiri begitu wanita itu berada di ambang pintu, dia mengangguk hormat dan membiarkan wanita muda itu masuk ke dalam ruang tengah sambil memanggil Winda. Wanita muda itu tak membalas anggukan hormatnya.
"Ceu, gimana ceu!" Kata salah seorang lelaki itu dalam bahasa Sunda.
"Tunggu sebentar, saya kan baru pulang." Jawab wanita muda itu, juga dalam bahasa Sunda.
"Pokoknya harus bayar sekarang!"

Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh lelaki itu, Suradi langsung paham duduk persoalannya.
"Om, sini sebentar. Kenalan dulu sama mamah." Kata Winda dari ruang tengah.
"Selamat sore, Bu." Kata Suradi. "Saya Suradi, saya ke sini hanya mengantarkan Winda pulang. Tadi hujan besar."

Wanita muda itu menatapnya dengan curiga.
"Bapak baik benar sama anak saya." Katanya, nadanya setengah sinis.
"Ya, tentu saja, Bu. Dia telah menemukan kunci mobil saya yang jatuh entah di mana." kata Suradi dengan simpatik. "Sebagai balas budi atas kebaikannya dan rasa gembira saya mendapatkan kunci mobil itu, saya memaksanya agar mau diantar biar tidak kehujanan." Kata Suradi.
"Tapi bapak juga kan yang membelikan semua barang belanjaan ini."
"Ya. Tentu saja. Tapi itu nilainya tak seberapa jika saya harus berjalan kaki dan mencari tukang kunci yang entah ada di mana. Mohon ibu jangan curiga."

Tatapan wanita muda itu nampak mencair.
"Tapi...." Katanya.
"Sudah, Bu. Jangan dipikirkan terlalu panjang, barang-barang belanjaan itu sudah terlanjur ada di sini, tidak perlu kan kita kembalikan ke warung." Suradi berkata sambil tersenyum. Wanita muda itu menarik nafas lega.

"Ceu, cepat ceu." Kata salah seorang lelaki itu di ruang tamu. Wanita muda itu bergegas kembali ke ruang tamu.
"Kang, beri tempo seminggu lagi, uangnya kepakai buat bayar SPP."
"Tidak bisa. Ceu Wanti sudah telat 3 bulan angsuran dan tempo seminggu yang kemarin kita kasih juga sudah lewat. Bayar sekarang atau TVnya kita ambil."

Wanita muda yang dipanggil Ceu Wanti itu menggigit bibir. Dia sangat mirip dengan Winda tapi rambutnya lurus dan kulitnya lebih terang. Suradi mendengar semua percakapan itu dan bergegas memasuki ruang tamu. Dia berdiri di samping wanita muda itu dan tersenyum kepada dua orang debt collector itu.
"Sabar, akang-akang." Kata Suradi. "Jadi semua yang harus dibayar Ceu Wanti ini berapa?" Tanya Suradi, suaranya tenang dan datar.
"Tiga kali 175 ribu plus bunga."
"Baik. Sisa cicilannya berapa kali lagi?"
"Kalau yang 3 bulan itu dibayar, jadi tinggal 3 kali cicilan lagi." Jawab salah seorang debt collector itu.
"Kalau dibayar semuanya jadi berapa?" Tanya Suradi.
"Sebentar, Pak." Kata si debt collector itu tadi. Dia mengeluarkan kalkulator dan memencet-mencetnya. "Jadi, semuanya 1 juta 50 ribu."
"Baik. Sekarang tulis lunas di buku catatanmu." Kata Suradi sambil menarik dompetnya. Mengeluarkan uang sejumlah yang diminta dan membayarnya. "Tulis lunas ya."

Wanita muda bernama Ceu Wanti itu terpana. Dia tak bisa mengatakan satu patah kata pun ketika para debt collector itu.
"Persoalannya beres kan, Ceu." Kata Suradi.
"Ttterimakasih... Pak."
"Sama-sama. Nah, kalau tidak keberatan saya ijin, permisi pulang."
"Tunggu, Om." Kata Winda. "Winda sudah bikin nasi liwet, sambel dan lalap, sama kerupuk udang yang tadi dibeli. Makan dulu ya?"
"Saya..."
"Ayo Mah, ajak dia makan." Katanya.
"Tapi mamah belum kenal dia." Katanya kepada Winda.
"Tadi Om sudah memperkenalkan diri. Sekarang giliran Mamah." Kata Winda riang.
"Saya Wanti.... bagusnya saya pangil bapak atau..."
"Akang aja. Kalau saya panggilnya Ceuceu atau apa?"
"Wanti aja." Kata wanita itu dengan senyum malu-malu.

Suradi tak kuasa menolak ajakan makan itu. Lagi pula perutnya memang sudah lapar. Mereka duduk lesehan di atas tikar yang sudah tua. Nenek juga ikut makan.
"Tadi waktu hujan, nenek samar mendengar ada orang yang mengaduh-aduh." Katanya, entah ditujukan kepada siapa. Hanya saja Winda tiba-tiba tersedak dan Suradi tersenyum simpul.
"Makanya, Mak, diminum obatnya biar bisa tidur dengan nyenyak." Kata Wanti.

Selesai makan, Suradi pamitan hendak pulang diikuti tatapan kecewa Winda yang mencari waktu satu detik saja untuk memeluk lelaki itu... tanpa diketahui ibunya.

Suradi juga merasakan hal yang sama. Dia merasa sangat khawatir terhadap dirinya sendiri. Pertemuan kilat yang bersahabat, membuat hatinya selalu terpikat. "Win, apa kamu pikir aku akan mudah melupakanmu?" Katanya dalam hati.

***​

Sepanjang minggu itu Suradi disibukkan oleh dua proyek kecil di suatu instansi pemerintah provinsi di Bandung. Walaupun nilai proyek pengecatan gedung kantor itu kecil, namun benefit relasinya tinggi. Dia bisa berkenalan dengan sejumlah pejabat dan ikut kongkow dengan mereka di suatu kafe.

Selama seminggu itu pula istrinya mengeluh karena tak semalam pun dia disentuh. Suradi juga sama mengeluh. Walau pun dia sudah menghabiskan sate kambing 20 tusuk, tetap saja adik kecilnya tak mau bangun.

Iis menyangka suaminya sedang banyak pikiran karena hanya mendapat proyek-proyek kecil. Ia juga beberapa kali memergoki suaminya sedang melamun.

Ya, akhir-akhir ini Suradi memang sering melamun. Dia sangat kangen dengan abg itu.
"Perlu berapa lama aku bisa melupakan dia? Seminggu? Dua minggu? Sebulan?" Pikir Suradi.

Kekhawatirannya dulu pada dirinya sendiri, kini benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Winda? Kecil, Mungil, lucu, legit...

***​

Dua minggu pun berlalu.

Pagi itu Suradi mendapat telpon dari salah seorang relasinya dari Pemprov Jabar, bahwa ada suatu proyek bantuan rehabilitasi gedung SMA swasta di Cianjur yang nilainya cukup lumayan.
"Terus terang saja, Pak Radi, saya sudah menyodorkan proyek ini ke beberapa kontraktor tapi mereka kurang berminat."
"Kenapa ya Pak?" Tanya Suradi.
"Karena ini dananya dari APBN, jadi pencairannya sering molor. Bagaimana, Pak Radi berminat tidak?"
"Tentu saya berminat, Pak. Tapi, apa bapak sudah tawarkan ke kontraktor lokal?"
"Sudah. Tapi enggak ada yang deal. Jatah saya biasanya 10%, tapi mereka enggak ada yang berani, paling tinggi cuma 7%. Tanggung. Lagi pula yang 10% itu saya bagi dua dengan orang pusat, jadi memang tanggung kalau 7%." Katanya.
"Boleh nanya nama SMA Swastanya pak?"
"SMA Sukaharja (bukan nama sebenarnya)."

Suradi tiba-tiba tersentak. Itu sekolahnya Winda.
"Baik, Pak. Saya sekarang langsung meluncur ke kantor bapak."
"Siap."

***​

Hari itu adalah hari pertama pengerjaan proyek.

Suradi mengenakan stelan terbaiknya untuk menemui sejumlah pejabat penting di sekolah itu agar bisa bekerja sama demi kelancaran rehabilitasi. Namun jauh dari dalam hatinya, dia berharap-harap dapat menemukan Winda pada hari itu. Tapi tidak ketemu.

Pada hari kedua matanya memperhatikan satu demi satu siswi-siswi sekolah itu, tapi juga tidak ketemu. Ada ratusan siswi di sekolah itu. matanya sampai lelah menelisik tapi gagal mengidentifikasi abg pujaan hatinya itu.

Pada hari ke tiga Suradi berpikir, apakah pantas jika dia pergi ke ruang guru dan menanyakan kelas di mana Winda berada? Ah, entahlah. Ataukah dia harus pergi ke rumahnya dan menjemputnya untuk pergi ke sekolah? Tidak. Itu ide buruk.

Hari ke tiga Suradi galau.
"Sudahlah, cepat atau lambat juga pasti akan ketemu. Toh aku punya waktu dua bulan di sini." Kata Suradi menghibur diri.

***​

Hari itu entah hari ke berapa Suradi berada di sekolah itu. Mungkin hari ke 11. Dia menyusuri koridor sekolah untuk menuju ruang Tata Usaha yang plafonnya sudah diperbaiki. Tujuannya hanya untuk mengechek sebentar apakah pekerjaan yang dilakukan anak buahnya itu sudah sesuai dengan spesifikasi ataukah belum. Kalau sudah, ya bagus. Kalau belum, ya diperbaiki.

Dia melongok dari ambang pintu ruang TU dan sekilas saja dia tahu anak buahnya sudah bekerja dengan baik.
"Masuk saja, Pak." Kata salah seorang staf TU, mereka tahu kalau Suradi adalah pemborong pekerjaan rehabilitasi itu.
"Trimakasih, saya cuma ngechek saja sebentar. Maaf menggangu."
"Tidak, Pak. Silakan."

Suradi hanya masuk beberapa langkah saja ke dalam ruangan itu dan merasa yakin pekerjaan anak buahnya dilakukan dengan baik sesuai spek.

Ada yang tidak disangkanya ketika sekilas dia melihat seorang siswi sedang tertunduk di depan sebuah meja yang terletak di pojok. Itu meja Kepala TU, tampaknya dia sudah kesal karena siswi itu sudah menunggak SPP selama 3 bulan.
"Pokoknya, kalau minggu ini belum dilunasi, terpaksa kami akan memanggil orangtuamu ke sini." Katanya.

Suradi cepat-cepat ke luar dari ruangan itu dan berdiri tidak jauh dari ambang pintu. Pura-pura memperhatikan plafon koridor.
"Akhirnya, aku menemukannya juga." Kata Suradi, wajahnya tampak sumringah. Setelah menunggu cukup lama (padahal cuma 5 menit) Winda ke luar dari ruangan itu dengan wajah menunduk. Suradi sengaja menghalangi jalannya sehingga gadis itu menubruknya.
"Aduh, maaf." Kata Suradi sambil tersenyum, menatap mata besar mirip boneka itu yang sedang terperangah. Ekspresi wajahnya yang terkejut sekaligus gembira itu membuat hati Suradi berbunga-bunga.

Apalagi ketika gadis itu memeluknya. Suradi merasa bahagia tapi dia cepat melepaskan pelukan itu.
"Om, Winda kangen."
"Sama Om juga."
"Pulang sekolah mau ketemuan?"
"Jangan Om, tiap hari Winda dijemput Aa."
"Pacar kamu?"
Winda mengangguk.
"Om enggak cemburu kan?"
"Om enggak punya hak untuk cemburu, cantik."
"Tapi aa orangnya pencemburu, Om."
"Itu tandanya dia sayang sama kamu."
"Berarti Om enggak sayang sama Winda."

Suradi terdiam sebentar.
"Coba kamu bilang, apa yang perlu Om lakukan sebagai bukti bahwa Om sangat sayang sama kamu."
"Cium pipi Winda sekarang! Berani enggak?"
"Enggak, enggak berani."
"Huh, katanya minta bukti."
"Soalnya, kalau sudah nyium Winda, Om akan sulit dihentikan." Kata Suradi, kalem.

Winda terkikik.
"Koq ketawa?"
"Kayaknya kita sama deh Om."
"Kamu harus cepat pergi ke kelas." Kata Suradi. "SPP kamu nanti sama Om diberesin."

Winda menatap Suradi dengan tatapan aneh.
"Jangan, Om. Biarin mamah dipanggil ke sini."
"Koq begitu?"
"Pokoknya biarin aja." Kata gadis itu. "Om jalannya ke sini, kelas Winda ada di pojok... Om di sini sebenarnya lagi ngapain?"
"Lagi kerja."
"Kerja? Jadi guru?"

Suradi tertawa kecil.
"Bukan, masa jadi guru? Om yang ngerjain perbaikan sekolah ini."
"Tapi kenapa Om enggak ikut kerja? Om yang jadi bosnya ya?"
Suradi mengangkat bahu.
"Begitulah kira-kira."
"Om... kapan bisa kangen-kangenan?"
"Kamu atur deh, Om ikut aja."
"Entar Winda pikirin dulu... Om sayang, dadah, Winda masuk kelas dulu."

Suradi merasa berbunga-bunga.

***
(Bersambung)​
 
Winda menatap Suradi dengan tatapan aneh.
"Jangan, Om. Biarin mamah dipanggil ke sini."
..... hayoo ada apa kok Mamah harus ke sekolah !!!
ooooo .... klo mamah ke sekolah, Winda bisa minta kenthu Suradi di rumah ya .... pinter juga kau Win !!

kapan Wanti di jamah gan !!!
kasihan juga .....
tankiyu up na
lancar selalu
to be conticroot
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd