WINDA
Perasaan Suradi ringan dan tenang saat melewati jalan alternatif dari Kabupaten Cianjur ke Kota Cimahi. Walau jalannya tak semulus jalan raya provinsi dan agak melingkar, tapi lancar. Jalanan itu memang belum terkenal di kalangan para pengendara karena dianggap masih rawan. Dengan kepala setengah melamun, dia melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang.
Sebuah ledakan halilintar mengejutkan Suradi, lalu seperti tiba-tiba, awan yang memang sejak dari Cianjur setengah mendung pun menjadi gelap dan hujan pun turun deras. Dan terus bertambah semakin deras.
Suradi tahu medan yang akan dilaluinya, di bawah hujan, jalan alternatif itu sangat berbahaya. Apalagi kendaraan berbahan bakar diesel yang dibawanya adalah kendaraan tua yang sudah berumur 20 tahun. Daripada celaka, lebih baik dia mencari tempat berteduh untuk dirinya dan mobilnya. Syukur-syukur jika menemukan warung di mana dia bisa menikmati kopi dan beristirahat sejenak.
Pelahan Suradi melajukan mobilnya dan beberapa kali menemukan tempat yang cukup baik namun terus saja dilewatinya. Setelah lewat beberapa meter dia menyesalinya mengapa tidak berbelok dan berhenti di tempat itu. Sedikit merasa putus asa, Suradi terus melajukan kendaraan dengan sepasang mata lebih awas memperhatikan kalau-kalau ada tempat yang baik untuknya berhenti.
Ketika hujan semakin lebat, dari balik wiper yang sudah letih bergoyang-goyang, Suradi melihat warung itu. Ada tempat yang luas di sebelah warung itu untuknya memarkir kendaraan dan ada 2 motor teparkir kedinginan di depan warung.
"Nah, di sini." Kata Suradi dalam hatinya. Dia berbelok dan memarkir kendaraannya. Mengambil payung di belakang jok, memasukkan HP ke dalam saku kemeja lengan pendeknya, mengantongi kunci mobil di saku celana, melipat ujung pantalonnya hingga kaos kakinya terlihat semua lalu membuka pintu. Dia mengembangkan payung dan ke luar dari mobil. Menutup pintu mobil dengan sekali banting.
Suradi mengira warung itu adalah warung kelontong yang secara umum banyak terdapat di jalan-jalan pinggiran kabupaten. Dia melangkah menuju selasar warung dan mendekati etalase kaca yang memperlihatkan berbagai barang yang sangat umum dijual. Mie instan, sabun, kue-kue kemasan, koipi dan lain-lain.
Suradi menutupkan payungnya sambil celingukan mencari penjaga warung. Tidak ada. Dia kemudian melangkah ke pinggir warung dan menemukan sebuah gang yang sudah diplester semen. Dari gang itu dia melihat ada beberapa orang terhalang tembok rumah, sedang duduk-duduk.
Suradi melangkah melewati pinggiran warung dan dinding rumah yang merupakan bagian besar dari warung itu. Tiba di ujung, Suradi tersenyum. Di situ ada lebih dari selusin orang sedang duduk di bangku-bangku panjang yang terbuat dari papan serta meja-meja yang dilapisi karpet plastik bermotif lingkaran warna merah muda.
"Silakan, Pak." Sebuah suara merdu mengelus telinganya yang dingin karena hujan. Suradi melirik ke arah suara itu. Seorang perempuan STW dengan dandanan khas daerah pinggiran sedang menatapnya. Eh, ternyata di situ ada warung lain. Judulnya, sedia mie rebus dan bakso. Wah.
Suradi membelokkan langkah mendekati STW tersebut. Tersenyum. Suradi tahu bahwa walau pun dia agak sulit dikatakan ganteng namun dia memiliki pembawaan kharismatis. Tingginya sedang, 165 cm, kulit coklat terang, rambut ikal pendek jarang disisir dan sorot mata yang lembut. STW itu seperti terperangah. Mungkin karena agitasi dari sisa-sisa minyak wangi yang masih menempel di tubuh Suradi telah menyerang hidung kewanitaannya.
"Ada apa aja ya, teh?" Tanya Suradi dalam bahasa Sunda yang halus.
"Biasa, Pak, mie dan kopi."
"Ya, udah. Kopi aja."
"Mau sama rotinya, Pak?"
"Boleh, kalau ada roti tawar."
Suradi membalikkan badan, matanya mencari-cari meja kosong yang kira-kira tepat untuknya duduk.
Di meja terdekat sebelah kiri, ada 3 orang lelaki desa seumurannya duduk bercengkrama. Agak di tengah, empat orang pemuda seumuran mahasiswa duduk saling berhadapan dan sibuk bermain HP, paling ujung kosong. Di meja terdekat sebelah kanan, ada empat orang cowok abg tertawa-tawa. Meja tengah dan paling ujung dipenuhi siswi-siswi berseragam putih abu. Semua cewek SMA itu memesan mie yang sudah mereka habiskan dan mangkok-mangkok kosong itu masih tergeletak di atas meja.
Mau tidak mau Suradi melangkah di antara jajaran meja sebelah kiri dan kanan, menuju meja kosong itu. Sekilas dia melirik cewek-cewek itu. Semuanya manis-manis.
"Memeknya juga pasti manis-manis." Pikir Suradi.
Duduk di pinggiran bangku, Suradi tidak bermaksud biar lebih dekat dengan cewek-cewk itu, tapi menghindari cipratan air hujan yang semakin deras. Dari tempat duduknya kini, dia bisa melihat bagian depan mobilnya yang digebuki air hujan.
Suradi melihat jam di HPnya, pukul 02:10. Dan dia ingat dia belum makan siang. Ketika pesanan datang, HP berdering dari istrinya.
"Pah, di sini hujan lebat, perabotan-perabotan bekas itu kehujanan."
"Biarin aja." Kata Suradi. "Teh, kopinya satu lagi dan air putih panas segelas besar ya."
STW itu mengangguk. Kelihatannya dia mencoba menguping pembicaraan Suradi.
"Papah lagi dimana?"
"Di warung kopi mah, lagi berteduh. Di sini juga hujan lebat."
"Ya, udah. Hati-hati di jalan ya."
"Ya."
Suradi menyikat habis 2 buah roti kemasan dengan label harga Rp.2000 itu. Menyesap kopi dan menyalakan rokok. Ketika pesanan kopi yang kedua dan air putih panas itu datang, gelas kopi pertama sudah habis setengahnya.
Sambil menikmati kopi dan kreteknya, diam-diam Suradi memperhatikan ke delapan cewek itu. Di antara mereka, hanya 2 orang yang tidak melepas kerudung sedangkan sisanya membiarkan rambutnya tergerai. Dua di antara 6 orang yang melepas kerudung itu menggunakan kerudungnya untuk mengeringkan rambut.
Suradi memperhatikan satu-satu cewek itu. Ada yang manis, ada yang semok, ada yang toge, ada yang putih... semua menjanjikan kenikmatan kepada kelelakiannya yang kini tiba-tiba saja terbangun. "Edan, pikiranku ngelantur." Katanya dalam hati.
Tapi cewek yang hitam manis itu mencuri perhatiannya lebih dari yang lain. Matanya besar, hidung mancung, rambut ikal, nenennya sedikit toge dengan bodi cenderung kurus. Wow. Itu adalah type yang disukainya.
Suradi ingat, dulu waktu ke Medan, dia pernah bercinta dengan STW keturunan India. WOTnya mantap, bikin ketagihan.
Hujan mulai reda walau masih deras. Air putih dan kopi ke dua tinggal setengahnya. Jam di HP 02:35. Otaknya kehilangan akal untuk mencari cara agar bisa mengobrol dengan cewek-cewek itu. Dia tak berani nakal kalau tidak dimulai duluan.
Akhirnya, hujan berubah menjadi gerimis. 3 orang lelaki desa meninggalkan tempat duduknya dan membayar ke perempuan STW itu.
Suradi menenggak kopinya yang mulai dingin sampai habis. Lalu meneguk air putihnya, juga sampai habis. Dia membiarkan kunci mobilnya tergeletak di bangku tempat duduknya, dia sengaja mengeluarkannya dari saku celana, lalu berdiri dan melangkah menuju perempuan STW itu dan membayar harga yang diminta. 10 ribu perak.
"Teh, boleh ikut buang air kecil." Kata Suradi dalam bahasa Sunda.
"Oh, i ya, silakan. Yang itu pak kamar mandinya." Kata perempuan STW itu.
Ketika kencing, Suradi berbisik kepada adik kecilnya yang setengah tegang.
"Sabar, ya, tol. Jangan marah. Abg-abg itu sudah membikinmu tergoda untuk menyelonong ke situ kan?"
Suradi tersenyum sendiri. "Aku sudah edan." Katanya dalam hati.
Ke luar dari kamar mandi, Suradi pura-pura meraba-raba saku celananya seperti orang bingung.
"Om, pasti lagi cari ini." suara khas abg itu terdengar demikian indah di telinga Suradi. Dia sudah menduga, cewek-cewek itu akan dengan mudah menemukan kunci mobilnya dan karena tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa nyetir, tentu saja mereka tak akan punya niatan untuk mencuri mobilnya. Tapi bahwa si hitam manis itu yang mengacung-acungkan kuncinya, itulah yang membuat Suradi merasa terekstasi.
"Ah, i ya. Makasih banyak ya cantik." Kata Suradi dan menjemput kunci itu dengan sedikit nakal memegang tangannya. Eh, dia biasa saja tuh.
"Winda, cepet bayar." Seorang temannya berkata kepada cewek hitam manis itu. Oh, namanya Winda.
Suradi segera mencegah tangan cewek itu untuk mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Kulitnya tangannya lembut.
"Berapa, teh?"
"Tadi pake baksonya dua ya? 10 ribu." STW itu berkata sedikit ketus. Suradi membayarnya sambil menebarkan senyum.
"Eh, Om, pulangnya mau ke arah mana?" Cewek montok berkulit putih itu bertanya.
"Ke arah sana, ke Cimahi. Emang ada apa?"
"Kita semua boleh numpang ga Om?" kata cewek yang lain.
"Tentu saja boleh kalau mau di belakang."
Mereka berteriak: horeee...
"Kamu mau ikut juga, Win?" Tanya Suradi.
"I ya atuh Om, duduknya di depan." Katanya. "Eh, kalian semuanya ya duduknya di belakang, cuma akyu yang di depan." tambahnya.
Huuuu...
Cewek montok berkulit putih kelihatannya sedikit kecewa.
"Dasar si Winda centil!"
"Biarin, wew." katanya. "Akyu sama Om di depan."
Sementara itu si perempuan STW terlihat kesal, dia menendang ember kosong hingga bergulingan di lantai.
***
Sisa gerimis masih ada. Cewek-cewek yang berada di bak mobil sangat riuh. Suradi melajukan mobilnya pelahan dan tenang.
"Rumah kamu di mana, Win?"
"Masih, jauh Om. Di Tegalsari."
"Sudah punya pacar?"
"Sudah."
"Ehem. Asik dong."
"Asik apanya Om?"
"Pacarnya masih sekolah atau udah kerja?"
"Udah kerja, Om di Bandung."
"Kamu sekarang kelas berapa?"
"Kelas 12, Om."
"Kalau udah lulus mau kerja atau nerusin kuliah?"
"Entahlah, Om. Mungkin langsung nikah sama si aa."
Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan dari belakang jok.
"Om, stop di sini."
"Kiri kiri."
Suradi menghentikan mobilnya. Beberapa cewek berloncatan dari bak mobil.
"Makasih ya Om. Dah semua."
Beberapa puluh meter kemudian, suara pukulan itu berbunyi lagi. Semua penumpang di belakang turun. Tinggal mereka berdua. Jantung Suradi berdebar. Mungkinkah adik kecilnya menemukan kehangatan di dalam liang lembut itu? Kalau tidak memungkinkan, ya sudah. Jangan memaksa.
Suradi melajukan kembali mobilnya. Dia menduga-duga apakah Winda pernah melakukan hubungan intim dengan pacarnya. Kalau sudah, tentu lebih baik. Sudah ada orang yang mendahuluinya memecahkan keperawanannya.
Mereka berbicara santai. Winda tidak rese dan sok alim. Pembicaraan mengalir tenang.
"Om, boleh ga Winda terus terang?"
"Wah, terus terang apa? Boleh dong."
"Entar di depan ada tukang service HP, mm Winda mau ngambil HP Winda yang udah selesai diservis. Tapi, Om, uangnya kurang."
"Kurangnya berapa?"
"190 ribu."
"Total biaya servisnya berapa?"
"200 ribu."
"Itu mah bukan kurang atuh..." Suradi tertawa. Cewek itu juga. "Kesempatan nih." Pikir Suradi.
"Ya, udah. Nanti Om bayarin?"
"Serius, Om?"
"Ya, seriuslah. Paling nanti Om minta cipok dikit boleh kan?"
Sepasang mata besar itu tampak berbinar-binar. Tiba-tiba dia menyorongkan mulutnya ke pipi Suradi dan menciumnya. Cup. Mmmuuaah.
Aw!!! Suradi merasa kesetrum.
"Nah, itu Om tempat servis HPnya."
Counter HP sekaligus tempat servis terlihat sepi. Mereka turun dan mengambil HP Winda, Suradi menarik uang 2 lembar pecahan 100 ribu dan memberikannya kepada Winda.
Winda dengan gembira mencoba-coba HP dan meminta selfie bersama Suradi.
"Koq hasilnya gelap?"
"Habis mendung sih." Kata Winda. Tiba-tiba hujan turun kembali dengan deras, mereka memepet ke etalase counter menghindari cipratan hujan. Winda yang berada di depan Suradi memepet hingga bokongnya mengenai adik kecil Suradi.
Duh! Keluh Suradi.
Suradi sekilat memperhatikan tukang service itu kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Selfie lagi, Om."
"Okey."
Suradi menundukkan kepala, kedua tangannya memeluk perut Winda dan dengan kecepatan kilat mencium bibir cewek itu selama dua detik. Bibirnya begitu lembut dan hangat.... dan ada reaksi balasan.
Kedua lengan Suradi merasakan degup jantung pada lembut kenyal kedua payudara cewek itu.
Cepret.
"Gambarnya masih jelek." Kata Suradi.
"I ya." Terdengar suaranya gemetar. "Makasih ya Om."
"Sama-sama, cantik." Bisik Suradi di telinga cewek itu.
Mereka, entah bagaimana, tiba-tiba saja bergeser bersama ke arah lekukan tembok di samping paviliun itu, yang menyembunyikan mereka dari jalanan yang hujan dan gelap dan dari tukang servis itu.
Kedua tangan Winda meraih kepala Suradi untuk menariknya ke bawah, sementara wajahnya sendiri sudah tengadah dengan bibir membuka. Pertemuan bibir antara dua insan itu tak terhindarkan lagi. Mereka saling memagut dengan lembut. Sementara itu, jari jemari Suradi meremas kedua bukit payudara Winda yang lembut kecal dan mengeras di ujungnya.
Dari balik celana pantalonnya, kontol suradi sudah menegang dan mengeluarkan suhu panas yang bisa dirasakan oleh pantat Winda.
"Sudah, Om. Nanti ketahuan orang." Kata Winda, suaranya gemetar. Dia tahu, pada ujung memeknya ada sesuatu yang meleleh. Sejak awal ketika Winda melihat Suradi memesan kopi, dia sudah tergoda oleh cara bicaranya dan sikap tubuhnya.
"Om, ke mobil yuk."
Suradi mengangguk.
"Ayo jalan." Kata Winda, saat mereka sudah duduk di jok.
"Oke, Cantik. Sabar."
"Om, sudah punya istri ya?"
"I ya. Kamu juga kan punya pacar."
"Menurut Om, Winda cantik atau jelek?"
"Cantik. Sangat cantik."
"Tapi Winda item, Om."
"Justru kulitmu yang membuat kamu menjadi sangat cantik."
"Tadi kenapa Om mencium Winda?"
"Karena suka. Tapi kenapa tadi kamu membalas ciuman Om?"
"Sama, karena suka."
"Mau lagi?" Tanya Suradi.
"Kalau,Om?"
"Mau. Kamu?"
Dia mengangguk. "Om, belok di situ."
"Kenapa belok?"
"Pokoknya belok."
Suradi membelokkan mobillnya memasuki jalan aspal kecil yang tertutupi ilalang. Di situ ada tanah datar yang luas, ditumbuhi ilalang di san sini. Suradi merasa yakin, itu adalah proyek perumahan yang terbengkalai.
Suradi menghentikan mobilnya di bawah pohon. Hujan bertambah deras. Dia kemudian menoleh dan menemukan Winda sedang menatapnya. Suradi mencium bibir Winda dan mendapatkan balasan yang lebih hangat. Jari-jemari Suradi membuka satu kancing baju seragam Winda, kemudian masuk dan mencari-cari buah dadanya yang lembut kenyal dan berdenyar. Putingnya yang mengeras dipilin lembut dengan jari tengah dan jempolnya.
Remasan jari jemari Suradi berpindah dari satu bukit ke bukit lainnya. Dia melakukannya secara lembut dan sistematis secara ritmis berulang-ulang. Kemudian tangannya pergi dari situ untuk membuka kancing-kancing yang lain. Kemudian, ketika semuanya terlepas, Suradi menarik kaitan BH Wulan yang terletak di tengah-tengah agar penutup bukit lembut itu terbuka. Suradi melepaskan kuluman bibirnya pada bibir Winda dan berpindah mengulum pentil susu cewek itu. Sementara itu, tangannya berpindah operasinya ke betis Winda, naik pelahan mengusap-usap pahanya. Dan menemukan ujung celana dalam Winda sudah basah kuyup oleh lendir kenikmatan.
Ketika jarinya menyentuh-nyentuh celana dalam basahnya, sebuah desahan lembut terdengar indah di telinga Suradi.
(Bersambung, sorri nanggung dikit, ga pa pa kan?"