- Daftar
- 6 Jun 2012
- Post
- 1.141
- Like diterima
- 588
Suara derit pegas springbed terdengar mengikuti gerak ranjang kala sepasang manusia berlainan jenis sedang bercinta dengan hebat di atasnya. Sang gadis berambut hitam panjang dengan lekuk tubuh ramping tanpa sehelai benangpun menatap manja ke arah pasangannya. Kulit sawo matang cerah gadis itu tampak berkilau berbasuh keringat, ia mendesahkan kenikmatan di setiap gerakan pinggulnya. Gadis itu terus mendesah seiring liukkan tubuhnya yang semakin kencang. Beradu nafas dengan pria yang kini berbaring di bawahnya, mengejar kenikmatan duniawi yang sukar dilukiskan.
“Aku… mau… keluar…” ujar sang pria di sela nafasnya yang memburu.
“Nghh… jangan di dalam…” timpal sang gadis yang alih-alih berhenti, ia malah mempercepat liukan pinggulnya.
Sang pria mengangkat punggungnya, kedua tangannya memeluk tubuh sang gadis dan dengan cepat posisi mereka berpindah menjadi yang biasa disebut missionaris atau konvensional dimana kini sang prialah yang berada di atas dan mengambil kendali. Tanpa banyak kata-kata, tanpa banyak ancang-ancang, sang pria menghentakkan pinggulnya dengan kencang berulang kali. Membuat tubuh sang dara melejit menjerit dalam kenikmatan yang tak terbantahkan lagi.
Dan dalam satu hentakan kuat, diikuti erangan dari keduanya, menjadi iringan merdu berakhirnya persetubuhan mereka. Sang gadis masih memekik pelan, matanya menatap pasrah ke arah sang pria saat kedutan demi kedutan dinding kewanitaannya menyambut semprotan-semprotan hangat dalam rahimnya. Tubuh sang pria ambruk di atasnya. Nafas mereka masih tersengal-sengal. Dengan lembut sang gadis mengusap punggung telanjang pasangannya, seolah mengapresiasikan rasa terima kasih atas kenikmatan yang baru saja diberikan.
Sang pria berguling pelan ke samping sang gadis. Menatap langit-langit kosong sebelum beranjak duduk di atas ranjang, masih di sebelah tubuh menggoda sang dara yang baru saja ia nikmati.
“Sembilan puluh sembilan,” ujar Sang pria lirih diantara nafasnya yang sudah mulai teratur. Lirih namun cukup jelas untuk sampai ke telinga sang gadis.
“Mmh?” sang gadis bertanya malas sebelum dengan satu gerakan cepat, sang pria menutup wajahnya dengan bantal. Membuatnya kesulitan bernafas. Gadis itu terus meronta, menjerit, namun semua rontaan dan jeritnya teredam oleh bantal tebal. Tidak lama kemudian jeritan dan rontaan itu berhenti. Begitu pula detak jantungnya.
Jari lentik gadis penulis cerita misteri tersebut menyendok ice cream yang menjadi topping minumannya. Ia sangat menyukai aroma matcha yang bagi sebagian orang terasa seperti kotoran burung. Gadis itu berhenti mendadak saat ia merasakan hawa dingin ganjil mengelus tengkuknya. Sebuah perasaan yang ia alami beberapa kali dalam sebulan ini. Shavia meletakkan sendoknya dan memandang sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun ia tak menemukan satu kejanggalan apapun. Shavia menarik nafas panjang dan kembali menyendok minumannya.
“Hai,”
Shavia menjatuhkan sendoknya ke lantai kafe, menimbulkan kegaduhan kecil karena terkejut dengan sapaan seorang pria yang tidak dikenalnya. Dia benar-benar tidak melihat atau menyadari kedatangan pria itu sebelumnya. Shavia melayangkan pandangannya ke arah suara dan menemukan sesosok pria berambut rapi, dengan kemeja dan celana jeans yang tak kalah rapi. Pria itu tersenyum.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” Pria itu berjongkok mengambil sendok yang dijatuhkan oleh Shavia. Memberi isyarat pada pelayan untuk membawakan sendok bersih.
“Ah ya, aku terkejut,” timpal Shavia.
“Kau sendiri? Boleh aku menemani?”
“Tidak, terima kasih,” Shavia menggeleng. Gadis pelayan datang dan memberinya sendok bersih. “Aku sedang menunggu seseorang.”
“Namaku Bima,” pria itu memperkenalkan diri tanpa mempedulikan isyarat penolakan dari Shavia. “Kau Shavia kan?”
Shavia memandang ke arah Bima dan mengernyitkan dahinya. “Kau mengenalku?”
“Aku melihat namamu di daftar pesanan,” jawab sang pria tenang.
“Maaf, tapi aku sedang sibuk,” Shavia kembali mengalihkan perhatiannya pada notebook miliknya.
“Oke, tapi mungkin kita bisa…”
“Ada masalah? Shavia?” suara pria lain memecah pembicaraan antara Bima dan Shavia.
“Joe!” Shavia tersenyum. “Kenapa lama sekali?”
“Aku harus mampir ke rumah Nenekku, ada barang-barang antik yang sedang dalam penawaran. Aku sudah memberitahumu lewat SMS, kan?” Joe beranjak ke kursi tepat di hadapan Shavia. “Siapa pria ini?” tanya Joe sembari memandang tajam ke arah Bima.
“Namaku Bima,” Bima mengulurkan tangannya untuk berjabat. Joe memandang tangan tersebut tanpa bereaksi.
“Kenalanmu?” tanya Joe pada Shavia. Shavia menggeleng. “Dia menganggumu?” tanyanya lagi, kali ini Joe melemparkan pandangan mengancam ke arah Bima.
“Aku tidak bermaksud mengganggu,” Bima tersenyum tenang.
“Kalau begitu, pergilah. Kami ada urusan,” usir Joe. Bima tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Sampai jumpa lagi, Shavia,” Ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kafe.
Joe mengambil duduk tepat di hadapan Shavia, tidak lama kemudian seorang gadis pelayan datang membawa expresso pesanannya. “Sepertinya kau memiliki fans,” goda Joe yang ditimpali oleh tawa renyah Shavia.
“Kau masih sibuk dengan barang-barang antik milik nenekmu?” tanya Shavia kemudian. “Apa ada cerita mistis yang menarik?”
Joe mengangkat bahunya. “Bagaimana dengan guci tua yang penuh kutukan?” ia menawarkan materi cerita untuk ditulis Shavia.
“Terlalu umum,” Shavia menggeleng seraya menyendok kembali float-nya. “Aku butuh sesuatu yang baru, yang bisa dikombinasikan dengan mitos dan kriminal.”
“Seperti sebuah pemujaan?” Joe menuangkan sebungkus gula ke expresso miliknya. “Sebuah ritual?”
“Semacam itulah.”
“Aku bisa menunjukkan buku tua milik Nenekku. Aku pernah membacanya sekilas. Buku aneh tentang sihir dan ritual. Isinya bukan hal yang baik, sebagian besar.”
“Contohnya?”
“Ritual memanggil roh yang memerlukan darah bayi yang lahir di bulan purnama, ritual yang membuat kita jadi kebal dengan mengkonsumsi darah orang yang baru saja meninggal.”
“Kedengarannya menarik,” mata Shavia berbinar. Seolah ia telah mendapatkan pencerahan inspirasi. “Kau sahabat yang selalu memberiku jalan keluar dari kebuntuan inspirasi, Joe. Boleh aku meminjam buku itu?”
“Kenapa tidak?” Joe menyeruput minumannya. “Akan kuantarkan ke apartemenmu besok sore. Hari ini jadwalku lumayan padat. Ada sebelas pemotretan yang harus kuselesaikan sampai besok.”
“Kau masih melakukan hal menjijikkan seperti dulu?”
Joe tersenyum. “Kalau yang kau maksud ‘hal menjijikkan’ itu adalah pemotretan telanjang. Ya! Aku masih melakukannya. Itu adalah bagian dari seni dan apa yang kau harapkan dari seorang fotografer yang bekerja untuk majalah pria dewasa?”
Shavia tertawa renyah mendengar pembelaan sahabatnya tersebut. “Aku hanya bercanda.”
“Aku tahu, Shavia. Ngomong-ngomong, Saudara sepupuku ternyata mengoleksi bukumu.”
“Oh ya?” Shavia tertawa geli. “Kurasa saudaramu salah memilih bahan koleksi,” kelakarnya.
“Serius. Dan saat dia tahu kau sahabatku, dia memintaku menanyakan sesuatu.”
“Dan apa pertanyaan itu?”
“Kenapa tulisan-tulisanmu minim ilustrasi? Semacam gambar ilustrasi rupa tokoh-tokoh utama, misalnya. Beberapa penulis sering melampirkan ilustrasi tokoh-tokoh utama di awal tulisan mereka.”
Shavia tersenyum manis mendengar pertanyaan tersebut. Jemarinya kembali bergerak di keyboard notebook-nya.
“Karena aku bukan penulis yang malas,” jawab gadis manis itu kemudian. “Dan tulisanku bukan untuk dibaca orang yang malas berimajinasi.”
“Maksudnya?”
“Tahukah kau bahwa ilustrasi visual terbaik adalah yang muncul dari buah pemikiran dan imajinasi diri sendiri?” Shavia menghentikan jemarinya dan menatap ke arah Joe. “Senjata terkuat sekaligus sarana terbaik seorang penulis adalah kemampuannya merangkai kata untuk menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Aku tidak akan menggunakan ilustrasi gambar yang hanya akan membatasi daya imajinasi pembacaku. Tidak akan.”
Shavia berhenti untuk menyisip minumannya.
“Aku hanya akan memberikan deskripsi perihal rupa tokoh-tokoh dalam ceritaku lewat kata-kata. Seperlunya saja, agar pembaca dapat meracik kata-kata tersebut dengan imaji tangkapannya sendiri yang akhirnya membentuk visualisasi rupa dan wujud dari karakter tersebut. Dan itu adalah ilustrasi visual terbaik. Dengan begitu imajinasi pembaca terkait tokoh-tokoh utama akan lebih hidup.”
“Aku mengerti sekarang,” Joe mengangguk-angguk.
“Yang kusajikan adalah tulisan, Joe. Bukan komik atau serial TV dimana gambaran tentang cerita dan tokoh utama tidak bisa lepas dari apa yang digambarkan oleh komikus. Dan yang kutulis ini novel, bukan cerita dongeng bergambar untuk bocah taman kanak-kanak,” kalimat terakhir yang diucapkan Shavia memancing Joe untuk tertawa.
Joe melirik ke arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya. “Oke, aku harus pergi, akan kukabari kau setelah aku menemukan buku ritual tersebut. Oke?”
“Pastikan celanamu sedikit longgar, Joe.” Kelakar Shavia. Joe mengangkat pundaknya sembari tersenyum lalu bergegas meninggalkan kafe.
Dan tiba-tiba langkahnya terhenti kala hawa dingin yang ganjil mengelus tengkuknya. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan tadi saat di kafe dan beberapa bulan terakhir ini. Tubuhnya sedikit berjengit kala hawa dingin itu terasa semakin dingin, seolah bergerak menjalar dari ujung jemari tangannya, naik hingga ke bahu dan tengkuknya.
SRETTT
Shavia berbalik seketika, ia mendengar sesuatu dari belakangnya namun ia tidak melihat apapun. Ia sangat yakin untuk beberapa detik, ia melihat ada bayangan hitam berkelebat tepat di belakangnya.
“Halo?” Shavia memutuskan untuk bersuara. Panggilannya memantulkan gema di sepanjang tempat parkir lantai lima yang sepi tersebut. Hawa dingin kembali mengelus tengkuknya.
SRETT
Sekali lagi Shavia menangkap sekelebat bayangan, ia berbalik dan memicingkan mata kala sosok seseorang berdiri jauh di ujung bangunan. Sosok itu tampak berjalan ke arahnya.
“Ada orang di situ?” Gadis penulis itu tak bisa menyembunyikan gemetar yang terdengar jelas dari nada suaranya.
“Ada masalah, Neng?” sosok tersebut bersuara. Shavia menghembuskan nafasnya lega. Sosok itu mendekat dan Shavia melihat seorang pria berseragam satpam mall. Gadis itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, menertawakan ketakutannya yang bodoh.
“Tidak apa-apa Pak, saya hanya terkejut,” Shavia melempar senyum ke arah satpam yang terus mendekat. Satpam itu tidak membalas senyumannya dan saat itulah Shavia sadar bahwa ada yang aneh pada diri satpam tersebut. Pria berseragam itu membawa sebilah pisau di tangannya dan kini menghambur ke arahnya.
Reaksi gadis itu sedikit terlambat, ia berbalik dan berlari namun satpam itu sudah terlalu dekat untuk memberinya sebuah sabetan yang melukai pundak kanannya, membuat Shavia terjengkang jatuh ke belakang. Satpam itu mengangkat kembali pisaunya, pandagannya tertuju tajam ke arah Shavia.
BRAKK!!
Satpam itu terjerembab jatuh di lantai beton. Semua terjadi begitu cepat, Shavia hanya mendengar derap lari dan seseorang menabrak satpam tersebut jatuh ke samping. Shavia melihat ke sosok yang baru saja menyelamatkannya dan ia mengenalinya. Itu Bima. Belum sempat Shavia mengucapkan kalimatnya, Bima memberinya isyarat dengan jarinya agar diam. Pria itu memandang ke arah satpam yang bangkit dari jatuhnya. Masih dengan sebilah pisau di tangannya.
Satpam itu memandang tajam ke arah Bima dan menghambur ganas ke arahnya. Bima dengan cekatan bergerak ke samping, menghindari sabetan liar sang satpam dan mendaratkan lututnya di perut sang satpam. Nyaris bersamaan dengan gerakan sikunya yang menghantam punggung tangan satpam tersebut. Membuat pisaunya bergelontangan jatuh di lantai beton.
Di luar perkiraan, tendangan lutut Bima gagal menjatuhkan sang satpam. Alih-alih jatuh, sang satpam justru memeluk kaki Bima dan mendorong pria itu jatuh terjengkal. Tidak berhenti di situ, Sang satpam menindih tubuh Bima dan mendaratkan pukulan-pukulannya tepat ke wajah sang pria. Beruntung bagi Bima ia sempat menggapai pisau yang terjatuh tidak jauh dari tempatnya dan melesakkan pisau itu menembus tenggorokan penyerangnya. Darah segar mengambur membasahi wajah dan pakaian Bima. Bima lantas mendorong tubuh sang satpam yang tak lagi bernyawa. Ia memandang ke arah Shavia, wajah manis gadis itu menunjukkan kengerian dan ketakutan yang diracik padu dengan kepanikan.
“Di mana mobilmu?” Seru Bima kemudian. “Kita harus pergi dari sini!”
“A.. apa yang terja..”
“Akan kujelaskan nanti!” Bima beranjak dan membantu Shavia bangkit. “Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini!”
“Tenangkan dirimu,” Bima membuka pembicaraan. Mereka berdua masih ada di dalam mobil milik Shavia.
“Kau membunuhnya…” ujar Shavia. “Sebaiknya kita ke polisi dan…”
“Bukan pilihan yang baik,” potong Bima. “Karena saat ini, hanya aku yang bisa melindungimu.”
“Melindungi?” Shavia menatap Bima penuh tanda tanya. “Apa maksudnya?”
“Kau sedang dalam bahaya,” Bima mengatur agar nada bicaranya tidak membangkitkan kepanikan dalam diri Shavia. “Seseorang mengincarmu.”
“Mengincarku? Apa salahku?”
“Kau tidak salah. Kau hanya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan saja. Atau tepatnya, kau berada dalam keluarga yang kurang menguntungkan. Aku ingin memberimu peringatan tadi, tapi kau dan temanmu mengusirku sebelum aku sempat menyampaikan apapun.”
“Kau membuntutiku? Sejak dari kafe?” Shavia tampak sangat tidak senang.
“Kau sudah mati jika aku tidak melakukannya,” Bima membalas tatapan Shavia dengan pandangan yang memberikan kesan tegas dan tajam. “Kau putri tunggal dari keluarga yang memiliki darah istimewa. Dan itu yang membuatmu terancam saat ini.”
“Darah istimewa?”
“Datanglah ke alamat ini besok,” Bima memberikan kartu namanya. “Lupakan apa yang terjadi hari ini dan jangan beri tahu siapapun tentang apa yang terjadi! Lakukan dan kau akan sangat membantuku untuk menjaga keselamatanmu. Itu alamat rumahku, aku akan menceritakan semuanya, sedetail-detailnya! Sekarang, istirahatlah,” tepat setelah itu, Bima keluar dari mobil dan bergegas pergi. Meninggalkan Shavia yang masih terjebak dalam ketidakmengertiannya.
“Kau harus mengajaknya?” Bima merujuk ke Joe yang berdiri di belakang Shavia.
“Dia sahabatku, dan dia menjagaku. Aku tidak mengenalmu.”
“Baiklah,” Bima bergerak ke samping, mempersilahkan Shavia dan Joe untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan Shavia? Dan siapa kau?” Joe memberondong Bima dengan pertanyaan bahkan sebelum mereka sempat duduk di ruang tamu milik Bima.
“Kemarilah,” Bima memberi isyarat pada Joe dan Shavia untuk mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Joe dan Shavia mendapati dekorasi kamar yang sangat tidak biasa. Ada banyak sekali foto gadis dan klipingan koran, serta beberapa yang sepertinya dicetak sendiri oleh Bima.
“Ini…”
“Mereka yang dinyatakan hilang dalam dua tahun terakhir ini. Sebagian besar dari mereka hanya berakhir jadi lembar laporan di kepolisian,” jelas Bima.
“Bagaimana kau bisa mendapat data ini?” Shavia bertanya. “Dan apa hubungannya denganku?”
“Aku punya orang dalam di kepolisian. Mereka juga yang membantuku membereskan masalah satpam yang hendak membunuhmu di parkiran kemarin.”
“Itu… Nadya?” Joe tampak terkejut. Ia melangkah mendekati foto salah seorang gadis berambut pendek yang tertempel di dinding.
“Kau mengenalnya?” Shavia bertanya.
“Dia modelku,” jawab Joe singkat. “Dan aku sulit menghubunginya sejak sekitar setahun yang lalu… dia hilang?”
“Kemungkinan besar dia sudah mati,” Bima menimpali dengan tenang. “Mereka korban dari ritual keabadian.”
“Apa?” Shavia mengernyitkan dahinya. “Ritual keabadian?”
“Sebuah ritual yang dapat menjadikan seseorang menjadi abadi,” Bima memberi isyarat agar mereka kembali ke ruang tamu. Joe dan Shavia kembali ke ruang tamu dan duduk di atas sofa coklat terang.
“Dalam mitos kuno Jawa, ritual ini di sebut setunggalatus pati,” Bima kembali menjelaskan. “Kau memasukkan pati ke dalam tubuh lawan jenismu atau menerima pati dari lawan jenismu ke dalam tubuhmu. Jumlah pati yang harus kau dapatkan adalah seratus orang.”
“Pati?” Joe mengernyit. “Artinya seratus orang harus mati?”
“Pati juga memiliki makna lain kan?” Bima menimpali. “Pati bisa berarti mati juga bisa berarti inti.”
“Jadi dalam hal ritual ini, mati atau inti?” kali ini Shavia yang bertanya.
“Keduanya,” jawab Bima tegas. “Sepengetahuanku, ritual itu lebih menekankan pada menerima atau memberi inti dari lawan jenis. Tapi bisa juga berarti membunuh seratus lawan jenis.”
“Dan yang dimaksudkan inti adalah nyawa?”
“Bukan, Shavia,” Bima memandang wajah manis gadis tersebut. “Inti dari kehidupan yang masih berupa benda mati.”
“Sperma,” Joe menyimpulkan. Bima mengangguk membenarkan.
“Jadi memberi atau menerima sperma dari seratus orang?” Shavia memperjelas.
“Dan juga membunuh mereka,” Joe menambahkan. “Kau ingat tentang buku yang aku ceritakan padamu kemarin, Shavia? Kurasa aku pernah membaca tentang ritual tersebut di buku itu.”
“Buku?” Bima tampak tertarik.
“Buku tua peninggalan neneknya. Almarhum neneknya meninggalkan sebidang tanah luas di pinggir kota dan bangunan tua berisi puluhan barang antik untuknya,” Shavia menjelaskan.
Bima beranjak meninggalkan ruang tamu setelah meminta Joe dan Shavia agar menunggunya di ruang tamu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan secarik foto.
“Ini bukunya?” Bima menyodorkan foto sebuah buku bersampul kulit dengan gambar gunungan wayang dan huruf kuno yang tidak jelas pada covernya.”
“Ya,” jawab Joe. “Bagaimana kau bisa tahu sebanyak ini? Siapa kau sebenarnya?”
“Akan kujawab pertanyaanmu nanti,” Bima kembali duduk. “Yang terpenting dalam ritual setunggalatus pati ini adalah penutup ritual tersebut.”
“Penutup?” Joe dan Shavia bertanya nyaris bersamaan.
“Sembilan puluh sembilan dari seratus orang yang jadi bahan ritual tersebut bisa siapa saja. Tapi kunci keberhasilan ritual tersebut ada pada orang ke seratus.”
Bima berhenti sejenak, memandang ke arah Joe dan Shavia bergantian.
“Orang ke seratus harus memiliki darah istimewa,” lanjutnya.
“Darah istimewa? Kau menyebutnya kemarin, kau bilang aku memiliki darah istimewa, apa darah istimewa itu?” Shavia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Rasa penasaran tampak jelas tergambar di raut manisnya.
“Aku belum terlalu paham tentang apa sebenarnya darah istimewa itu, yang aku tahu darah istimewa memberimu kemampuan untuk melakukan semacam trik sihir,” Bima menjawab. “Darah istimewa hanya diturunkan pada anak pertama yang lahir dari darah istimewa lainnya. Pemilik darah istimewa akan meninggal tidak lama setelah anak pertamanya lahir. Penyebab kematiannya bisa apa saja, penyakit, kecelakaan, apa saja.”
“Maksudmu Shavia terancam bahaya karena ia memiliki darah istimewa?” Joe mencoba menarik kesimpulan. Bima mengangguk.
“Tidak mungkin…” kilah Shavia. “Ayahku memang meninggal karena kecelakaan mobil dua hari setelah Ibuku melahirkanku. Tapi itu pasti hanya kebetulan.”
“Ya, Bima,” Joe menimpali. “Apa yang dialami Shavia bisa terjadi pada siapa saja. Bagaimana kau bisa yakin Shavia memiliki darah istimewa?”
“Aku punya tiga hal yang memastikan bahwa Shavia memiliki darah istimewa. Yang pertama adalah ini.”
Bima mengeluarkan sebuah kompas kecil berbahan perak dari sakunya. Jarum kompas itu menunjuk ke arah Shavia.
“Kompas ini berisi ajian atau sihir yang bisa menunjuk ke arah darah istimewa terdekat” tukas Bima tenang. “Dan seperti kita lihat, dia menunjuk ke arahmu, Shavia.”
“Dua hal lainnya?” tanya Joe penasaran.
“Kejadian kemarin, dimana Shavia diserang oleh seorang satpam yang pikirannya telah dimanipulasi untuk menyerang Shavia,” Bima berkata yakin. “Dan yang ketiga adalah karena aku juga berdarah istimewa, aku merasakanmu. Apa kau tidak merasa seperti dingin mengusap tengkukmu?”
“Ya… aku merasakannya akhir-akhir ini…” Shavia mengusap tengkuknya. “Itu kau?”
“Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah orang,” timpal Bima. “Aku mengawasimu dalam dua bulan terakhir. Tadinya aku memutuskan akan terus mengawasi dan menjagamu dari jauh, kalau saja kita tidak kehabisan waktu.”
“Kehabisan waktu?” ujar Joe penuh tanda tanya.
“Pelaku sudah mendapatkan sembilan puluh sembilan korban. Kau berikutnya.”
“Kau bilang darah istimewa memberi kemampuan sihir pada pemiliknya, aku tidak bisa melakukannya jadi kurasa aku bukan darah istimewa,” Shavia masih saja berdalih.
“Kau hanya tidak tahu caranya,” Bima tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
Joe dan Shavia hanya bisa diam saat seluruh furniture di ruang tamu itu melayang di udara. Menit berikutnya Bima menurunkan tangannya, nyaris bersamaan dengan turunnya semua furniture yang melayang. Bima memandang bergantian ke arah Joe dan Shavia, seolah memberi pernyataan bahwa apa yang disampaikannya panjang lebar bukanlah isapan jempol atau bohong belaka.
KRIINGG….
Dering ponsel mengalihkan perhatian mereka. Bima memeriksa ponselnya yang berdering dan beranjak meninggalkan ruangan setelah sebelumnya memohon ijin kepada Joe dan Shavia.
“Kau tidak percaya padanya kan?” Joe berbisik setelah memastikan Bima meninggalkan ruangan.
“Semua memang tidak masuk akal, Joe,” timpal Shavia, juga dengan berbisik. “Tapi saat ini, penjelasannya adalah yang paling berhubungan dengan keanehan-keanehan yang aku alami.”
“Tapi kita tidak mengenalnya, kau tidak mengenalnya.”
“Kau sudah memeriksa soal Nadya?” Shavia menanyakan perihal model yang fotonya terpasang di dinding kamar Bima.
“Ya,” jawab Joe. “Aku sudah mengirim SMS ke rekan-rekanku. Tak seorangpun tahu di mana Nadya sekarang.”
“Dia hilang. Itu artinya yang disampaikan Bima benar.”
“Kau percaya dia?”
“Tidak sepenuhnya, Joe,” Shavia menghela nafas panjang. “Kau akan membawakan buku ritual itu padaku? Mungkin ada jawaban dari buku itu. Setidaknya jika aku memang bagian dari sebuah ritual, aku harus tahu bagaimana cara kerja ritual tersebut.”
“Aku harus mencarinya dulu, akan kubawakan padamu besok.”
“Terima kasih, Joe,” Shavia menatap mata sahabatnya dan tersenyum. “Kita baru dekat saat kuliah, namun kau sudah menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Ingat saat kau menghiburku dengan kemampuan ventriloquistmu di hari ulang tahunku itu? Aku membutuhkanmu saat ini, Joe.”
“Dengar, Shavia. Kita bisa menemukan cara untuk melindungimu sendiri, kita tidak memerlukan Bima.”
“Dia telah melindungiku satu kali, Joe, dia punya pengetahuan, sihir. Dia meyakinkanku bahwa dia bisa melindungiku,” Shavia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Tapi aku tidak mengenalnya, karena itu aku butuh kau, sahabatku untuk menemaniku,” tambah gadis itu sebelum mendapatkan tanggapan berupa senyuman dan anggukan dari sahabatnya.
Sementara Joe dan Shavia berbisik-bisik, Bima menerima panggilan teleponnya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kurang senang atas panggilan tersebut.
“Apa yang kau lakukan?” Bima membuka pembicaraan di telepon tanpa salam ataupun basa-basi.
“Gadis itu ada di tempatmu?” ujar suara seorang laki-laki di seberang telepon.
“Ya, dan aku tidak suka kau ikut campur urusanku,” timpal Bima ketus. “Aku akan mengatasi semua ini, mengerti?”
“Aku hanya membantumu dengan cara yang termudah, Pisces,” suara di seberang memanggil Bima dengan sebutan ‘Pisces’. “Jika gadis itu mati, tugasmu selesai dengan mudah.”
“Dia tidak bersalah, Virgo,” Bima mendengus. “Dia tidak harus mati. Ini bukan abad ke enam belas! dan kau tahu aku tidak pernah setuju dengan pembantaian atas orang-orang yang tidak bersalah!”
“Kau tahu? Kau selalu memilih cara yang rumit saat kau bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat dan efisien.”
“Ini tanggung jawabku! Dan itu berarti metodeku! Sekali lagi kau ikut campur dengan kemampuan manipulasi pikiranmu itu, aku tidak akan tinggal diam!”
“Hey hey… aku hanya berusaha membantu, oke?”
“Tugasmu adalah melakukan pembersihan. Fokuslah pada hal itu,” dan tanpa menunggu balasan dari sang penelepon, Bima menutup panggilannya lalu bergegas kembali menemui Joe dan Shavia di ruang tamu.
“Maaf menunggu, itu tadi panggilan yang tidak bisa aku lewatkan,” ujar Bima sekembalinya ia ke ruang tamu.
“Apa langkah kita untuk melindungi Shavia?” Joe mengambil inisiatif untuk melontarkan pertanyaan.
“Kau bisa terus menemani Shavia untuk memastikan tidak ada hal buruk terjadi padanya,” jawab Bima tenang. Joe lantas menggeleng.
“Aku tidak bisa bela diri,” timpal Joe.
“Setidaknya kau bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu. Untuk sementara ini, kau bisa membawa ini,” Bima mengambil sebuah tanaman mawar dalam pot kecil. “Letakkan ini di dalam apartemenmu, dia akan menghalau niat jahat untuk masuk ke dalam kamar. Jika mawar merah ini berubah warna, itu artinya dia gagal menghalau dan niat jahat itu telah masuk ke dalam apartemen.”
“Sebuah mawar dalam pot?” nada suara Joe terdengar meremehkan. “Jika mawar itu berubah warna artinya kecil kemungkinan Shavia untuk selamat. Apa kau tidak memiliki ide lain yang lebih baik?”
“Ada satu,” Bima menatap ke arah Shavia dalam-dalam. “Dan ini adalah cara yang paling efektif.”
“Apa itu?” kali ini Shavia yang bertanya.
“Untuk menyelesaikan Setunggalatus Pati, pelaku harus memasukkan spermanya ke dalam tubuhmu melalui persetubuhan. Jika kita menghalangi persetubuhan itu terjadi, kita menggagalkan ritualnya. Dan ia harus menemukan darah istimewa lain.”
“Kedengarannya bagus,” timpal Joe. “Bagaimana kita menghalangi persetubuhan itu?”
“Dengan menaruh mantra pengunci pada tubuh Shavia,” Bima kembali memandang ke arah Shavia. “Sehingga tidak ada orang lain yang bisa membuka atau merobek pakaian yang dikenakan Shavia kecuali Shavia sendiri.”
“Dan jika tidak bisa menelanjangi Shavia artinya tidak bisa menyetubuhinya. Aku suka rencana itu!”
“Ehm… kalian tidak lupa kalau aku ada di sini, kan?” protes Shavia. “Kalian bicara seolah-olah membayangkan aku ditelanjangi dan disetubuhi.”
“Tolong jangan tersinggung, Shavia,” Bima mencoba meluruskan. “Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”
“Baiklah,” Shavia mengangguk mengerti. “Kau bisa melakukannya? Mantra pelindung itu?”
“Tentu aku bisa,” jawab Bima pasti. “Tapi…”
“Tapi apa?” Joe bertanya.
“Mungkin kau akan kurang suka dengan cara memasang mantra pelindung tersebut.”
Joe dan Shavia saling berpandangan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bima.
“Apa maksudmu aku kurang menyukai caranya?” Shavia mengambil inisiatif untuk bertanya.
“Aku harus memasangnya langsung pada tubuhmu.”
Mata Shavia terbelalak. “Kau tidak harus meniduriku untuk memasang mantra itu kan?!” nada suara gadis itu meninggi.
“Tidak… tidak…” Bima menggeleng sambil tersenyum. “Aku hanya harus mengusapkannya langsung pada tubuhmu. Hanya menyentuh.”
“Itu sama saja, Brengsek!” Joe berdiri dari kursinya, tampaknya ia sangat marah.
“Itu untuk melindunginya!” Bima bersikeras. “Aku tidak akan macam-macam. Kau akan mengawasi saat aku memasang mantra pelindung itu. Jika aku melakukan sesuatu yang salah, hajar aku.”
“Baik, lakukanlah,” Shavia memberi ijin pada Bima untuk menyentuh tubuhnya.
“Shavia!” Joe mengajukan protes, kalimatnya terhenti saat Shavia memandang tajam ke arahnya, pandangan yang seolah menunjukkan bahwa keinginannya tak dapat lagi diganggu gugat.
“Kau akan menjagaku agar Bima tidak macam-macam kan? Joe?” tanyanya tanpa melepaskan pandangan ke arah Joe. Joe mengangguk. Shavia mengalihkan pandangannya ke arah Bima. “Kau boleh menyentuhku sekarang.”
Sekali lagi Bima menggeleng. “Bukan begitu caranya, Shavia. Aku harus menyentuh tubuhmu secara langsung. Itu artinya kau harus melepas semua benda yang menempel di tubuhmu. Kau harus telanjang bulat.”
Dan tepat setelah Bima menyelesaikan kalimatnya, sebuah bogem mentah dari Joe mendarat telak ke rahangnya.
*_*_*
Shavia memejamkan matanya, mencoba menguatkan mentalnya, sebelum jari jemari lentik gadis itu mulai bergerak melepas kancing kemejanya satu persatu. Gadis itu seolah dapat merasakan denyutan jantungnya sendiri setiap kali satu kancing keluar dari tempatnya. Waktu terasa berjalan sangat lamban sebelum kancing terakhir kemejanya terlepas. Jemarinya menggenggam bagian depan kemejanya selama beberapa detik, sebelum bergerak membuka, menampakkan buah dadanya yang membusung kencang, tertutup oleh bra berwarna cokelat muda.
Debar jantungnya semakin kencang. Ia bahkan merasa mampu mendengar dengusan nafas Joe dan Bima yang saat ini berada tidak jauh dari tempatnya. Seakan ia dapat merasakan sapuan tatapan mata kedua pejantan tersebut. Salah satu syarat agar mantra pelindung dapat dipasang di tubuhnya memang ia harus menanggalkan sendiri pakaiannya di hadapan sang pemasang mantra. Dan Bima sang pemasang mantra harus tetap memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh Shavia.
Kemeja itu tanggal sudah. Shavia kembali menarik nafas panjang, yang tanpa ia sadari justru membuat buah dadanya bergerak seiring kembang-kempis parunya. Dengan satu gerakan cepat, Shavia meraih kancing celana jeansnya.
“Pelan, Shavia,” ujar Bima tenang. Tidak kentara adanya perubahan dari nada bicara pria tersebut. Ia tampak sangat tenang seolah ini bukanlah hal yang besar. “Kau harus bergerak pelan agar auramu senada dengan gerakanmu.”
Shavia mengangguk mengerti tanpa membuka kelopak matanya. Jemari gadis manis itu perlahan menggapai resleting celananya dan menurunkannya pelan. Jemari lentik itu lantas pindah ke bibir pinggang celana dan dengan gerakan pelan mendorongnya ke bawah. Lepas.
Gadis itu kini hanya berbalut bra dan celana dalam, lekuk indah pinggulnya tak lagi terbungkus. Berdiri tidak jauh dari Bima, lelaki yang baru dikenalnya dan juga Joe, sahabatnya sendiri. Rasa malu berbaur hina kini menggerogoti batinnya. Ia akan bertelanjang diri untuk pertama kalinya di hadapan pria yang bukan kekasihnya.
“Buang ragumu,” seolah mampu menangkap pergolakan batin yang ada dalam diri Shavia. Bima berucap. “Fokus pada tujuan awal. Kita bukan melakukan ini untuk bersenang-senang.”
Kalimat yang diucapkan Bima cukup efektif menepis perasaan negatif yang sempat muncul dalam batin gadis manis tersebut. Shavia meraih kaitan bra di punggungnya, melepas kaitan tersebut dan dengan perlahan namun pasti bra tersebut meninggalkan tubuhnya. Buah dada gadis itu membusung indah, kencang dan padat. Joe sempat terpana atas pemandangan yang dilihatnya namun buru-buru membuang pandangannya karena malu. Bima tetap memandang tanpa reaksi.
Dan penderitaan itu seolah sampai pada klimaksnya kala Shavia mengenggam bibir celana dalamnya sebelum menurunkannya perlahan. Garis liang kewanitaanya tampak bersih, berwarna sedikit lebih cerah dari bagian tubuh lainnya dengan rambut kemaluan yang tumbuh jarang-jarang. Untuk sesaat, gadis itu berhenti bergerak. Ia telah telanjang bulat di hadapan dua laki-laki yang bukan kekasihnya. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya, pasrah.
Sekelebat takut membuat gadis itu mundur setengah langkah kala ia merasakan Bima bergerak mendekatinya. Shavia buru-buru mengendalikan rasa takutnya, menanamkan keyakinan bahwa ini bukan dilakukannya untuk bersenang-senang. Ini yang terbaik dan dia harus kuat. Matanya yang terpejam membuat indera lain pada tubuhnya lebih peka dari biasanya. Ia seolah dapat merasakan, mendengar tarikan demi tarikan nafas Bima yang semakin dekat.
“Bertahanlah,” ujar Bima tanpa ekspresi. Pria ini sungguh tenang. “Ini takkan lama.”
Shavia tak bisa menahan sentakan kecil yang keluar dari tubuhnya kala ia merasakan hawa dingin yang sangat menyentuh tengkuknya. Kali ini bukan hanya hembusan hawa dingin, ia dapat merasakan sentuhan telapak tangan pada tengkuknya. Ya, Bima menyentuhnya. Sebuah sentuhan tangan yang sangat dingin, seolah tanpa suhu tubuh. Tubuh telanjang gadis itu bergidik saat tangan dingin itu bergerak lembut melingkari lehernya, BIma kini menggunakan kedua tangannya, turun perlahan ke pundak sang gadis. Degup jantung Shavia seolah memenuhi ruangan, alis gadis itu mengernyit, seolah menahan sesuatu.
“Lepaskan, jangan dilawan,” instruksi dari Bima, meminta agar Shavia berusaha untuk melepaskan ketegangan yang muncul di setiap bagian tubuh telanjangnya.
Tangan dingin Bima bergerak menelusuri lengannya, turun hingga ke telapak tangan sebelum kembali naik ke pundak dan berpindah halus ke punggung Shavia. Gadis itu kembali tersentak, namun tidak sehebat saat pertama kali tangan dingin itu menyentuhnya.
Tanpa sepatah katapun, tangan dingin Bima menelusuri punggung sang gadis, memberikan sebuah rasa geli yang janggal. Shavia merasa sedikit relaks, usapan di punggungnya menimbulkan kenyamanan yang tidak bisa dilukiskannya. Tangan itu bergerak menyusuri lekuk pinggulnya sebelum melingkar ke bagian perut gadis manis tersebut. Jantung Shavia kembali berdegup kala tangan dingin itu bergerak naik dari perutnya, merayap ke bagian bawah buah dadanya.
“Nghh…”
Sebuah erangan kecil terlepas dari bibir sang gadis, kala tangan dingin itu menyentuh bagian bawah buah dadanya. Tidak berhenti di situ, Bima terus bergerak ke atas, menyusuri dua tonjolan yang membusung padat dan indah, melewati aerola dan putting sang gadis. Degup jantung sang gadis semakin kencang, ada rasa yang seolah menggerogotinya. Ia tidak hanya merasakan dingin dan nyaman kala tangan dingin itu menangkup buah dadanya melainkan juga kenikmatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan. Tubuh Shavia bergetar, bergetar atas rangsangan yang tak terbantahkan.
Bima tak bermain lama di buah dada gadis itu. Tangannya kembali bergerak turun menyusuri perut dan menyamping ke pinggul sang gadis. Lalu dengan satu usapan lembut turun ke pantat bulat gadis itu. Shavia tidak lagi bisa menghentikan getaran tubuhnya, sesekali ia mengerang lirih, mengerangkan rangsangan berat yang kini melandanya. Tangan bima kembali menyamping, mengusap bagian samping paha gadis itu, turun ke lutut sebelum kembali merayap naik dan dalam satu gerakan lembut, ia merayap masuk ke paha bagian dalam Shavia.
Mendadak Shavia kehilangan keseimbangannya, tubuh telanjangnya jatuh dan bersandar ke Bima yang rupanya berdiri tepat di belakangnya. Setiap usapan tangan dingin Bima membuatnya mendesah, tanpa ia sadari, kedua pahanya semakin membuka, seolah memberi akses pada tangan dingin Bima untuk menjamah bagian terintim dari tubuhnya.
Dan Bima menyambut reaksi alamiah Shavia dengan satu gerakan ke bagian kewanitaannya. Membuat desahan Shavia menjadi jeritan kecil. Tubuh telanjangnya yang tersandar ke badan Bima bergetar hebat, ia dapat merasakan letupan orgasme dalam tubuhnya, diikuti cairan yang seolah tak terkendali, keluar merembes deras ke bibir kewanitaannya.
Bima masih tak bereaksi, tidak ada suara apapun yang keluar dari pria tersebut. Meski dalam rengkuhannya seorang gadis manis telanjang mencapai orgasmenya. Dengan tenang Bima memberi isyarat pada Joe untuk maju membantunya. Kini tubuh telanjang Shavia bersandar pada Joe sementara Bima kembali meneruskan gerakan tangannya, menyusuri bagian depan paha sang gadis dan terus turun hingga ke mata kaki. Joe sendiri hanya diam memandang tubuh telanjang sahabatnya yang kini tersandar lemas ke tubuhnya, Shavia masih mengatur nafasnya. Joe sendiri mati-matian menahan penisnya yang menegang keras di dalam celananya.
Bima menyelesaikan tugasnya tanpa banyak komentar. Ia memberi isyarat pada Joe untuk membaringkan Shavia yang kini terlelap ke atas sofa. Joe menangkap maksud Bima dan mengangkat tubuh telanjang sahabatnya lalu membaringkanya ke atas sofa.
“Sudah selesai,” ujar Bima, masih dengan ketenangan misteriusnya. “Setelah Shavia terbangun dan mengenakan pakaian maka tidak ada yang bisa melepas pakaian itu kecuali Shavia sendiri.”
Joe diam. Duduk tidak jauh dari Shavia yang masih telanjang bulat.
“Kau bisa menggunakan kamar mandiku jika ingin melepaskan ereksimu,” timpal Bima melihat keadaan Joe yang tampaknya tengah terangsang berat. “Atau kau bisa menidurinya, ia takkan bangun meski kau menidurinya dan ia juga tak akan sadar. Aku akan tutup mulut.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Joe sembari beranjak ke jendela dan memandang ke halaman depan rumah tinggal Bima. Bima tersenyum.
“Kita coba saja,” Jawab Bima tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku ritual tua tersebut. “Joe, coba kau buka pakaian Shavia.”
Tanpa diminta dua kali, Joe beranjak menuju Shavia dan mencoba membuka kancing kemeja yang dikenakan gadis itu. Dia meleset beberapa kali.
“Gunakan kekerasan, Joe.” Perintah Bima. Joe mencengkeram kuat-kuat leher kemeja Shavia dan mencoba merobeknya. Gagal, kemeja itu tetap utuh membungkus tubuh Shavia.
“Yup! Mantra itu berhasil,” ujar Bima kemudian. “Selama kau tidak melepas pakaianmu sendiri, tidak akan ada yang bisa menyetubuhimu.”
“Baiklah,” Shavia mengangguk. “Kalian dapat sesuatu?”
“Ada beberapa syarat mutlak dalam setunggalatus pati,” Joe angkat bicara. “Salah satunya adalah selisih usia antara pelaku ritual dan korbannya tidak boleh lebih dari dua tahun.”
“Jadi kami memeriksa data gadis yang hilang. Yang termuda berusia dua puluh tahun dan yang tertua dua puluh empat tahun,” Bima menambahkan. “Artinya, pelaku berusia diantara itu.”
“Dua puluh dua tahun,” Shavia menarik kesimpulan. “Dia seumuran denganku.”
“Ya,” Joe membenarkan kesimpulan Shavia. “Itu akan sedikit membantu kita untuk berhati-hati.”
“Sebelum itu, Shavia,” Bima meletakkan buku ritual tua yang tadi dibacanya. “Sebaiknya kau mengisi perutmu. Kau hampir seharian di sini dan tidak makan apapun.”
“Aku baik-baik saja,” tukas Shavia. “Aku tidak bisa sembarangan dalam hal makanan.”
“Dia diet ketat,” Joe memperjelas. “Hanya makan makanan rendah kalori yang ia timbun di apartemennya.”
“Hmm… di sini tidak ada makanan seperti itu.”
“Begini saja, bagaimana kalau kita lanjutkan besok?” Shavia memberi usulan. “Aku merasa lelah dan butuh istirahat. Lagipula ini sudah mulai malam.”
“Ide yang bagus,” Joe setuju. “Aku juga masih ada beberapa urusan malam ini. Kita lanjutkan saja besok.”
“Jadi besok kalian akan kembali kemari?” Bima bertanya.
“Bagaimana kalau besok kita ke rumah nenekku?” Joe mengajukan usul. “Di sana ada banyak barang antik, mungkin kita bisa menemukan petunjuk lain, semacam cara mendeteksi pelaku ritual mungkin.”
“Atau kita bisa menemukan pusaka yang berguna,” timpal Bima. “Kurasa itu ide yang bagus.”
“Aku akan menjemputmu besok, Shavia, kau masih ingat jalan ke rumah Nenekku tadi Bima?” tanya Joe yang dijawab dengan anggukan Bima.
“Baiklah,” Shavia mengangguk setuju. “Aku pamit dulu, terima kasih untuk hari ini, Bima.”
“Sama-sama, Shavia.”
“Aku… mau… keluar…” ujar sang pria di sela nafasnya yang memburu.
“Nghh… jangan di dalam…” timpal sang gadis yang alih-alih berhenti, ia malah mempercepat liukan pinggulnya.
Sang pria mengangkat punggungnya, kedua tangannya memeluk tubuh sang gadis dan dengan cepat posisi mereka berpindah menjadi yang biasa disebut missionaris atau konvensional dimana kini sang prialah yang berada di atas dan mengambil kendali. Tanpa banyak kata-kata, tanpa banyak ancang-ancang, sang pria menghentakkan pinggulnya dengan kencang berulang kali. Membuat tubuh sang dara melejit menjerit dalam kenikmatan yang tak terbantahkan lagi.
Dan dalam satu hentakan kuat, diikuti erangan dari keduanya, menjadi iringan merdu berakhirnya persetubuhan mereka. Sang gadis masih memekik pelan, matanya menatap pasrah ke arah sang pria saat kedutan demi kedutan dinding kewanitaannya menyambut semprotan-semprotan hangat dalam rahimnya. Tubuh sang pria ambruk di atasnya. Nafas mereka masih tersengal-sengal. Dengan lembut sang gadis mengusap punggung telanjang pasangannya, seolah mengapresiasikan rasa terima kasih atas kenikmatan yang baru saja diberikan.
Sang pria berguling pelan ke samping sang gadis. Menatap langit-langit kosong sebelum beranjak duduk di atas ranjang, masih di sebelah tubuh menggoda sang dara yang baru saja ia nikmati.
“Sembilan puluh sembilan,” ujar Sang pria lirih diantara nafasnya yang sudah mulai teratur. Lirih namun cukup jelas untuk sampai ke telinga sang gadis.
“Mmh?” sang gadis bertanya malas sebelum dengan satu gerakan cepat, sang pria menutup wajahnya dengan bantal. Membuatnya kesulitan bernafas. Gadis itu terus meronta, menjerit, namun semua rontaan dan jeritnya teredam oleh bantal tebal. Tidak lama kemudian jeritan dan rontaan itu berhenti. Begitu pula detak jantungnya.
*_*_*
Shavia tersenyum saat gadis pelayan datang membawa matcha float pesanannya. Jari jemarinya yang sedari tadi asyik menari di atas keyboard notebook miliknya terhenti untuk beberapa saat. Setelah memastikan semua pesanan telah tersedia, gadis pelayan itu mohon diri dengan sopan. Shavia merespon tata krama gadis pelayan tersebut dengan mengucapkan terima kasih.
Jari lentik gadis penulis cerita misteri tersebut menyendok ice cream yang menjadi topping minumannya. Ia sangat menyukai aroma matcha yang bagi sebagian orang terasa seperti kotoran burung. Gadis itu berhenti mendadak saat ia merasakan hawa dingin ganjil mengelus tengkuknya. Sebuah perasaan yang ia alami beberapa kali dalam sebulan ini. Shavia meletakkan sendoknya dan memandang sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun ia tak menemukan satu kejanggalan apapun. Shavia menarik nafas panjang dan kembali menyendok minumannya.
“Hai,”
Shavia menjatuhkan sendoknya ke lantai kafe, menimbulkan kegaduhan kecil karena terkejut dengan sapaan seorang pria yang tidak dikenalnya. Dia benar-benar tidak melihat atau menyadari kedatangan pria itu sebelumnya. Shavia melayangkan pandangannya ke arah suara dan menemukan sesosok pria berambut rapi, dengan kemeja dan celana jeans yang tak kalah rapi. Pria itu tersenyum.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” Pria itu berjongkok mengambil sendok yang dijatuhkan oleh Shavia. Memberi isyarat pada pelayan untuk membawakan sendok bersih.
“Ah ya, aku terkejut,” timpal Shavia.
“Kau sendiri? Boleh aku menemani?”
“Tidak, terima kasih,” Shavia menggeleng. Gadis pelayan datang dan memberinya sendok bersih. “Aku sedang menunggu seseorang.”
“Namaku Bima,” pria itu memperkenalkan diri tanpa mempedulikan isyarat penolakan dari Shavia. “Kau Shavia kan?”
Shavia memandang ke arah Bima dan mengernyitkan dahinya. “Kau mengenalku?”
“Aku melihat namamu di daftar pesanan,” jawab sang pria tenang.
“Maaf, tapi aku sedang sibuk,” Shavia kembali mengalihkan perhatiannya pada notebook miliknya.
“Oke, tapi mungkin kita bisa…”
“Ada masalah? Shavia?” suara pria lain memecah pembicaraan antara Bima dan Shavia.
“Joe!” Shavia tersenyum. “Kenapa lama sekali?”
“Aku harus mampir ke rumah Nenekku, ada barang-barang antik yang sedang dalam penawaran. Aku sudah memberitahumu lewat SMS, kan?” Joe beranjak ke kursi tepat di hadapan Shavia. “Siapa pria ini?” tanya Joe sembari memandang tajam ke arah Bima.
“Namaku Bima,” Bima mengulurkan tangannya untuk berjabat. Joe memandang tangan tersebut tanpa bereaksi.
“Kenalanmu?” tanya Joe pada Shavia. Shavia menggeleng. “Dia menganggumu?” tanyanya lagi, kali ini Joe melemparkan pandangan mengancam ke arah Bima.
“Aku tidak bermaksud mengganggu,” Bima tersenyum tenang.
“Kalau begitu, pergilah. Kami ada urusan,” usir Joe. Bima tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Sampai jumpa lagi, Shavia,” Ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kafe.
Joe mengambil duduk tepat di hadapan Shavia, tidak lama kemudian seorang gadis pelayan datang membawa expresso pesanannya. “Sepertinya kau memiliki fans,” goda Joe yang ditimpali oleh tawa renyah Shavia.
“Kau masih sibuk dengan barang-barang antik milik nenekmu?” tanya Shavia kemudian. “Apa ada cerita mistis yang menarik?”
Joe mengangkat bahunya. “Bagaimana dengan guci tua yang penuh kutukan?” ia menawarkan materi cerita untuk ditulis Shavia.
“Terlalu umum,” Shavia menggeleng seraya menyendok kembali float-nya. “Aku butuh sesuatu yang baru, yang bisa dikombinasikan dengan mitos dan kriminal.”
“Seperti sebuah pemujaan?” Joe menuangkan sebungkus gula ke expresso miliknya. “Sebuah ritual?”
“Semacam itulah.”
“Aku bisa menunjukkan buku tua milik Nenekku. Aku pernah membacanya sekilas. Buku aneh tentang sihir dan ritual. Isinya bukan hal yang baik, sebagian besar.”
“Contohnya?”
“Ritual memanggil roh yang memerlukan darah bayi yang lahir di bulan purnama, ritual yang membuat kita jadi kebal dengan mengkonsumsi darah orang yang baru saja meninggal.”
“Kedengarannya menarik,” mata Shavia berbinar. Seolah ia telah mendapatkan pencerahan inspirasi. “Kau sahabat yang selalu memberiku jalan keluar dari kebuntuan inspirasi, Joe. Boleh aku meminjam buku itu?”
“Kenapa tidak?” Joe menyeruput minumannya. “Akan kuantarkan ke apartemenmu besok sore. Hari ini jadwalku lumayan padat. Ada sebelas pemotretan yang harus kuselesaikan sampai besok.”
“Kau masih melakukan hal menjijikkan seperti dulu?”
Joe tersenyum. “Kalau yang kau maksud ‘hal menjijikkan’ itu adalah pemotretan telanjang. Ya! Aku masih melakukannya. Itu adalah bagian dari seni dan apa yang kau harapkan dari seorang fotografer yang bekerja untuk majalah pria dewasa?”
Shavia tertawa renyah mendengar pembelaan sahabatnya tersebut. “Aku hanya bercanda.”
“Aku tahu, Shavia. Ngomong-ngomong, Saudara sepupuku ternyata mengoleksi bukumu.”
“Oh ya?” Shavia tertawa geli. “Kurasa saudaramu salah memilih bahan koleksi,” kelakarnya.
“Serius. Dan saat dia tahu kau sahabatku, dia memintaku menanyakan sesuatu.”
“Dan apa pertanyaan itu?”
“Kenapa tulisan-tulisanmu minim ilustrasi? Semacam gambar ilustrasi rupa tokoh-tokoh utama, misalnya. Beberapa penulis sering melampirkan ilustrasi tokoh-tokoh utama di awal tulisan mereka.”
Shavia tersenyum manis mendengar pertanyaan tersebut. Jemarinya kembali bergerak di keyboard notebook-nya.
“Karena aku bukan penulis yang malas,” jawab gadis manis itu kemudian. “Dan tulisanku bukan untuk dibaca orang yang malas berimajinasi.”
“Maksudnya?”
“Tahukah kau bahwa ilustrasi visual terbaik adalah yang muncul dari buah pemikiran dan imajinasi diri sendiri?” Shavia menghentikan jemarinya dan menatap ke arah Joe. “Senjata terkuat sekaligus sarana terbaik seorang penulis adalah kemampuannya merangkai kata untuk menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Aku tidak akan menggunakan ilustrasi gambar yang hanya akan membatasi daya imajinasi pembacaku. Tidak akan.”
Shavia berhenti untuk menyisip minumannya.
“Aku hanya akan memberikan deskripsi perihal rupa tokoh-tokoh dalam ceritaku lewat kata-kata. Seperlunya saja, agar pembaca dapat meracik kata-kata tersebut dengan imaji tangkapannya sendiri yang akhirnya membentuk visualisasi rupa dan wujud dari karakter tersebut. Dan itu adalah ilustrasi visual terbaik. Dengan begitu imajinasi pembaca terkait tokoh-tokoh utama akan lebih hidup.”
“Aku mengerti sekarang,” Joe mengangguk-angguk.
“Yang kusajikan adalah tulisan, Joe. Bukan komik atau serial TV dimana gambaran tentang cerita dan tokoh utama tidak bisa lepas dari apa yang digambarkan oleh komikus. Dan yang kutulis ini novel, bukan cerita dongeng bergambar untuk bocah taman kanak-kanak,” kalimat terakhir yang diucapkan Shavia memancing Joe untuk tertawa.
Joe melirik ke arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya. “Oke, aku harus pergi, akan kukabari kau setelah aku menemukan buku ritual tersebut. Oke?”
“Pastikan celanamu sedikit longgar, Joe.” Kelakar Shavia. Joe mengangkat pundaknya sembari tersenyum lalu bergegas meninggalkan kafe.
*_*_*
Shavia berjalan santai ke arah mobilnya yang terparkir di parkiran mall tempat kafe yang baru saja ia kunjungi. Sesaat ia menangkap suasana ganjil kala mendapati tempat parkir yang sangat sepi. Hanya ada beberapa mobil di situ, padahal saat itu adalah jam aktif dimana mall biasanya sangat ramai pengunjung. Gadis berambut hitam lurus itu tetap melangkah ke arah mobilnya. Mengabaikan keganjilan yang ia rasakan. Kadang Shavia menganggap profesinya sebagai penulis kisah misterilah yang membuatnya jadi acapkali memperhatikan hal-hal detail dan malah merubahnya menjadi seorang paranoid.
Dan tiba-tiba langkahnya terhenti kala hawa dingin yang ganjil mengelus tengkuknya. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan tadi saat di kafe dan beberapa bulan terakhir ini. Tubuhnya sedikit berjengit kala hawa dingin itu terasa semakin dingin, seolah bergerak menjalar dari ujung jemari tangannya, naik hingga ke bahu dan tengkuknya.
SRETTT
Shavia berbalik seketika, ia mendengar sesuatu dari belakangnya namun ia tidak melihat apapun. Ia sangat yakin untuk beberapa detik, ia melihat ada bayangan hitam berkelebat tepat di belakangnya.
“Halo?” Shavia memutuskan untuk bersuara. Panggilannya memantulkan gema di sepanjang tempat parkir lantai lima yang sepi tersebut. Hawa dingin kembali mengelus tengkuknya.
SRETT
Sekali lagi Shavia menangkap sekelebat bayangan, ia berbalik dan memicingkan mata kala sosok seseorang berdiri jauh di ujung bangunan. Sosok itu tampak berjalan ke arahnya.
“Ada orang di situ?” Gadis penulis itu tak bisa menyembunyikan gemetar yang terdengar jelas dari nada suaranya.
“Ada masalah, Neng?” sosok tersebut bersuara. Shavia menghembuskan nafasnya lega. Sosok itu mendekat dan Shavia melihat seorang pria berseragam satpam mall. Gadis itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, menertawakan ketakutannya yang bodoh.
“Tidak apa-apa Pak, saya hanya terkejut,” Shavia melempar senyum ke arah satpam yang terus mendekat. Satpam itu tidak membalas senyumannya dan saat itulah Shavia sadar bahwa ada yang aneh pada diri satpam tersebut. Pria berseragam itu membawa sebilah pisau di tangannya dan kini menghambur ke arahnya.
Reaksi gadis itu sedikit terlambat, ia berbalik dan berlari namun satpam itu sudah terlalu dekat untuk memberinya sebuah sabetan yang melukai pundak kanannya, membuat Shavia terjengkang jatuh ke belakang. Satpam itu mengangkat kembali pisaunya, pandagannya tertuju tajam ke arah Shavia.
BRAKK!!
Satpam itu terjerembab jatuh di lantai beton. Semua terjadi begitu cepat, Shavia hanya mendengar derap lari dan seseorang menabrak satpam tersebut jatuh ke samping. Shavia melihat ke sosok yang baru saja menyelamatkannya dan ia mengenalinya. Itu Bima. Belum sempat Shavia mengucapkan kalimatnya, Bima memberinya isyarat dengan jarinya agar diam. Pria itu memandang ke arah satpam yang bangkit dari jatuhnya. Masih dengan sebilah pisau di tangannya.
Satpam itu memandang tajam ke arah Bima dan menghambur ganas ke arahnya. Bima dengan cekatan bergerak ke samping, menghindari sabetan liar sang satpam dan mendaratkan lututnya di perut sang satpam. Nyaris bersamaan dengan gerakan sikunya yang menghantam punggung tangan satpam tersebut. Membuat pisaunya bergelontangan jatuh di lantai beton.
Di luar perkiraan, tendangan lutut Bima gagal menjatuhkan sang satpam. Alih-alih jatuh, sang satpam justru memeluk kaki Bima dan mendorong pria itu jatuh terjengkal. Tidak berhenti di situ, Sang satpam menindih tubuh Bima dan mendaratkan pukulan-pukulannya tepat ke wajah sang pria. Beruntung bagi Bima ia sempat menggapai pisau yang terjatuh tidak jauh dari tempatnya dan melesakkan pisau itu menembus tenggorokan penyerangnya. Darah segar mengambur membasahi wajah dan pakaian Bima. Bima lantas mendorong tubuh sang satpam yang tak lagi bernyawa. Ia memandang ke arah Shavia, wajah manis gadis itu menunjukkan kengerian dan ketakutan yang diracik padu dengan kepanikan.
“Di mana mobilmu?” Seru Bima kemudian. “Kita harus pergi dari sini!”
“A.. apa yang terja..”
“Akan kujelaskan nanti!” Bima beranjak dan membantu Shavia bangkit. “Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini!”
*_*_*
Honda Brio merah milik Shavia berhenti di lahan parkir lantai dua di apartemen tempat ia tinggal. Gadis itu tampak risau, tentu saja, siapa yang bisa tenang setelah mengalami kejadian yang baru saja terjadi padanya. Ia bahkan tidak sadar telah membawa serta Bima ke apartemen tempat tinggalnya. Tidak ada pembicaraan di sepanjang perjalanan. Shavia hanya fokus pada satu tujuan; pulang ke apartemennya.
“Tenangkan dirimu,” Bima membuka pembicaraan. Mereka berdua masih ada di dalam mobil milik Shavia.
“Kau membunuhnya…” ujar Shavia. “Sebaiknya kita ke polisi dan…”
“Bukan pilihan yang baik,” potong Bima. “Karena saat ini, hanya aku yang bisa melindungimu.”
“Melindungi?” Shavia menatap Bima penuh tanda tanya. “Apa maksudnya?”
“Kau sedang dalam bahaya,” Bima mengatur agar nada bicaranya tidak membangkitkan kepanikan dalam diri Shavia. “Seseorang mengincarmu.”
“Mengincarku? Apa salahku?”
“Kau tidak salah. Kau hanya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan saja. Atau tepatnya, kau berada dalam keluarga yang kurang menguntungkan. Aku ingin memberimu peringatan tadi, tapi kau dan temanmu mengusirku sebelum aku sempat menyampaikan apapun.”
“Kau membuntutiku? Sejak dari kafe?” Shavia tampak sangat tidak senang.
“Kau sudah mati jika aku tidak melakukannya,” Bima membalas tatapan Shavia dengan pandangan yang memberikan kesan tegas dan tajam. “Kau putri tunggal dari keluarga yang memiliki darah istimewa. Dan itu yang membuatmu terancam saat ini.”
“Darah istimewa?”
“Datanglah ke alamat ini besok,” Bima memberikan kartu namanya. “Lupakan apa yang terjadi hari ini dan jangan beri tahu siapapun tentang apa yang terjadi! Lakukan dan kau akan sangat membantuku untuk menjaga keselamatanmu. Itu alamat rumahku, aku akan menceritakan semuanya, sedetail-detailnya! Sekarang, istirahatlah,” tepat setelah itu, Bima keluar dari mobil dan bergegas pergi. Meninggalkan Shavia yang masih terjebak dalam ketidakmengertiannya.
*_*_*
Bima sedang menyeduh segelas kopi saat bel pintu rumahnya berbunyi. Ia lantas bergegas membuka pintu dan mendapati Shavia di pintunya. Hanya saja gadis itu tidak sendiri.
“Kau harus mengajaknya?” Bima merujuk ke Joe yang berdiri di belakang Shavia.
“Dia sahabatku, dan dia menjagaku. Aku tidak mengenalmu.”
“Baiklah,” Bima bergerak ke samping, mempersilahkan Shavia dan Joe untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan Shavia? Dan siapa kau?” Joe memberondong Bima dengan pertanyaan bahkan sebelum mereka sempat duduk di ruang tamu milik Bima.
“Kemarilah,” Bima memberi isyarat pada Joe dan Shavia untuk mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Joe dan Shavia mendapati dekorasi kamar yang sangat tidak biasa. Ada banyak sekali foto gadis dan klipingan koran, serta beberapa yang sepertinya dicetak sendiri oleh Bima.
“Ini…”
“Mereka yang dinyatakan hilang dalam dua tahun terakhir ini. Sebagian besar dari mereka hanya berakhir jadi lembar laporan di kepolisian,” jelas Bima.
“Bagaimana kau bisa mendapat data ini?” Shavia bertanya. “Dan apa hubungannya denganku?”
“Aku punya orang dalam di kepolisian. Mereka juga yang membantuku membereskan masalah satpam yang hendak membunuhmu di parkiran kemarin.”
“Itu… Nadya?” Joe tampak terkejut. Ia melangkah mendekati foto salah seorang gadis berambut pendek yang tertempel di dinding.
“Kau mengenalnya?” Shavia bertanya.
“Dia modelku,” jawab Joe singkat. “Dan aku sulit menghubunginya sejak sekitar setahun yang lalu… dia hilang?”
“Kemungkinan besar dia sudah mati,” Bima menimpali dengan tenang. “Mereka korban dari ritual keabadian.”
“Apa?” Shavia mengernyitkan dahinya. “Ritual keabadian?”
“Sebuah ritual yang dapat menjadikan seseorang menjadi abadi,” Bima memberi isyarat agar mereka kembali ke ruang tamu. Joe dan Shavia kembali ke ruang tamu dan duduk di atas sofa coklat terang.
“Dalam mitos kuno Jawa, ritual ini di sebut setunggalatus pati,” Bima kembali menjelaskan. “Kau memasukkan pati ke dalam tubuh lawan jenismu atau menerima pati dari lawan jenismu ke dalam tubuhmu. Jumlah pati yang harus kau dapatkan adalah seratus orang.”
“Pati?” Joe mengernyit. “Artinya seratus orang harus mati?”
“Pati juga memiliki makna lain kan?” Bima menimpali. “Pati bisa berarti mati juga bisa berarti inti.”
“Jadi dalam hal ritual ini, mati atau inti?” kali ini Shavia yang bertanya.
“Keduanya,” jawab Bima tegas. “Sepengetahuanku, ritual itu lebih menekankan pada menerima atau memberi inti dari lawan jenis. Tapi bisa juga berarti membunuh seratus lawan jenis.”
“Dan yang dimaksudkan inti adalah nyawa?”
“Bukan, Shavia,” Bima memandang wajah manis gadis tersebut. “Inti dari kehidupan yang masih berupa benda mati.”
“Sperma,” Joe menyimpulkan. Bima mengangguk membenarkan.
“Jadi memberi atau menerima sperma dari seratus orang?” Shavia memperjelas.
“Dan juga membunuh mereka,” Joe menambahkan. “Kau ingat tentang buku yang aku ceritakan padamu kemarin, Shavia? Kurasa aku pernah membaca tentang ritual tersebut di buku itu.”
“Buku?” Bima tampak tertarik.
“Buku tua peninggalan neneknya. Almarhum neneknya meninggalkan sebidang tanah luas di pinggir kota dan bangunan tua berisi puluhan barang antik untuknya,” Shavia menjelaskan.
Bima beranjak meninggalkan ruang tamu setelah meminta Joe dan Shavia agar menunggunya di ruang tamu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan secarik foto.
“Ini bukunya?” Bima menyodorkan foto sebuah buku bersampul kulit dengan gambar gunungan wayang dan huruf kuno yang tidak jelas pada covernya.”
“Ya,” jawab Joe. “Bagaimana kau bisa tahu sebanyak ini? Siapa kau sebenarnya?”
“Akan kujawab pertanyaanmu nanti,” Bima kembali duduk. “Yang terpenting dalam ritual setunggalatus pati ini adalah penutup ritual tersebut.”
“Penutup?” Joe dan Shavia bertanya nyaris bersamaan.
“Sembilan puluh sembilan dari seratus orang yang jadi bahan ritual tersebut bisa siapa saja. Tapi kunci keberhasilan ritual tersebut ada pada orang ke seratus.”
Bima berhenti sejenak, memandang ke arah Joe dan Shavia bergantian.
“Orang ke seratus harus memiliki darah istimewa,” lanjutnya.
“Darah istimewa? Kau menyebutnya kemarin, kau bilang aku memiliki darah istimewa, apa darah istimewa itu?” Shavia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Rasa penasaran tampak jelas tergambar di raut manisnya.
“Aku belum terlalu paham tentang apa sebenarnya darah istimewa itu, yang aku tahu darah istimewa memberimu kemampuan untuk melakukan semacam trik sihir,” Bima menjawab. “Darah istimewa hanya diturunkan pada anak pertama yang lahir dari darah istimewa lainnya. Pemilik darah istimewa akan meninggal tidak lama setelah anak pertamanya lahir. Penyebab kematiannya bisa apa saja, penyakit, kecelakaan, apa saja.”
“Maksudmu Shavia terancam bahaya karena ia memiliki darah istimewa?” Joe mencoba menarik kesimpulan. Bima mengangguk.
“Tidak mungkin…” kilah Shavia. “Ayahku memang meninggal karena kecelakaan mobil dua hari setelah Ibuku melahirkanku. Tapi itu pasti hanya kebetulan.”
“Ya, Bima,” Joe menimpali. “Apa yang dialami Shavia bisa terjadi pada siapa saja. Bagaimana kau bisa yakin Shavia memiliki darah istimewa?”
“Aku punya tiga hal yang memastikan bahwa Shavia memiliki darah istimewa. Yang pertama adalah ini.”
Bima mengeluarkan sebuah kompas kecil berbahan perak dari sakunya. Jarum kompas itu menunjuk ke arah Shavia.
“Kompas ini berisi ajian atau sihir yang bisa menunjuk ke arah darah istimewa terdekat” tukas Bima tenang. “Dan seperti kita lihat, dia menunjuk ke arahmu, Shavia.”
“Dua hal lainnya?” tanya Joe penasaran.
“Kejadian kemarin, dimana Shavia diserang oleh seorang satpam yang pikirannya telah dimanipulasi untuk menyerang Shavia,” Bima berkata yakin. “Dan yang ketiga adalah karena aku juga berdarah istimewa, aku merasakanmu. Apa kau tidak merasa seperti dingin mengusap tengkukmu?”
“Ya… aku merasakannya akhir-akhir ini…” Shavia mengusap tengkuknya. “Itu kau?”
“Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah orang,” timpal Bima. “Aku mengawasimu dalam dua bulan terakhir. Tadinya aku memutuskan akan terus mengawasi dan menjagamu dari jauh, kalau saja kita tidak kehabisan waktu.”
“Kehabisan waktu?” ujar Joe penuh tanda tanya.
“Pelaku sudah mendapatkan sembilan puluh sembilan korban. Kau berikutnya.”
“Kau bilang darah istimewa memberi kemampuan sihir pada pemiliknya, aku tidak bisa melakukannya jadi kurasa aku bukan darah istimewa,” Shavia masih saja berdalih.
“Kau hanya tidak tahu caranya,” Bima tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
Joe dan Shavia hanya bisa diam saat seluruh furniture di ruang tamu itu melayang di udara. Menit berikutnya Bima menurunkan tangannya, nyaris bersamaan dengan turunnya semua furniture yang melayang. Bima memandang bergantian ke arah Joe dan Shavia, seolah memberi pernyataan bahwa apa yang disampaikannya panjang lebar bukanlah isapan jempol atau bohong belaka.
KRIINGG….
Dering ponsel mengalihkan perhatian mereka. Bima memeriksa ponselnya yang berdering dan beranjak meninggalkan ruangan setelah sebelumnya memohon ijin kepada Joe dan Shavia.
“Kau tidak percaya padanya kan?” Joe berbisik setelah memastikan Bima meninggalkan ruangan.
“Semua memang tidak masuk akal, Joe,” timpal Shavia, juga dengan berbisik. “Tapi saat ini, penjelasannya adalah yang paling berhubungan dengan keanehan-keanehan yang aku alami.”
“Tapi kita tidak mengenalnya, kau tidak mengenalnya.”
“Kau sudah memeriksa soal Nadya?” Shavia menanyakan perihal model yang fotonya terpasang di dinding kamar Bima.
“Ya,” jawab Joe. “Aku sudah mengirim SMS ke rekan-rekanku. Tak seorangpun tahu di mana Nadya sekarang.”
“Dia hilang. Itu artinya yang disampaikan Bima benar.”
“Kau percaya dia?”
“Tidak sepenuhnya, Joe,” Shavia menghela nafas panjang. “Kau akan membawakan buku ritual itu padaku? Mungkin ada jawaban dari buku itu. Setidaknya jika aku memang bagian dari sebuah ritual, aku harus tahu bagaimana cara kerja ritual tersebut.”
“Aku harus mencarinya dulu, akan kubawakan padamu besok.”
“Terima kasih, Joe,” Shavia menatap mata sahabatnya dan tersenyum. “Kita baru dekat saat kuliah, namun kau sudah menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Ingat saat kau menghiburku dengan kemampuan ventriloquistmu di hari ulang tahunku itu? Aku membutuhkanmu saat ini, Joe.”
“Dengar, Shavia. Kita bisa menemukan cara untuk melindungimu sendiri, kita tidak memerlukan Bima.”
“Dia telah melindungiku satu kali, Joe, dia punya pengetahuan, sihir. Dia meyakinkanku bahwa dia bisa melindungiku,” Shavia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Tapi aku tidak mengenalnya, karena itu aku butuh kau, sahabatku untuk menemaniku,” tambah gadis itu sebelum mendapatkan tanggapan berupa senyuman dan anggukan dari sahabatnya.
Sementara Joe dan Shavia berbisik-bisik, Bima menerima panggilan teleponnya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kurang senang atas panggilan tersebut.
“Apa yang kau lakukan?” Bima membuka pembicaraan di telepon tanpa salam ataupun basa-basi.
“Gadis itu ada di tempatmu?” ujar suara seorang laki-laki di seberang telepon.
“Ya, dan aku tidak suka kau ikut campur urusanku,” timpal Bima ketus. “Aku akan mengatasi semua ini, mengerti?”
“Aku hanya membantumu dengan cara yang termudah, Pisces,” suara di seberang memanggil Bima dengan sebutan ‘Pisces’. “Jika gadis itu mati, tugasmu selesai dengan mudah.”
“Dia tidak bersalah, Virgo,” Bima mendengus. “Dia tidak harus mati. Ini bukan abad ke enam belas! dan kau tahu aku tidak pernah setuju dengan pembantaian atas orang-orang yang tidak bersalah!”
“Kau tahu? Kau selalu memilih cara yang rumit saat kau bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat dan efisien.”
“Ini tanggung jawabku! Dan itu berarti metodeku! Sekali lagi kau ikut campur dengan kemampuan manipulasi pikiranmu itu, aku tidak akan tinggal diam!”
“Hey hey… aku hanya berusaha membantu, oke?”
“Tugasmu adalah melakukan pembersihan. Fokuslah pada hal itu,” dan tanpa menunggu balasan dari sang penelepon, Bima menutup panggilannya lalu bergegas kembali menemui Joe dan Shavia di ruang tamu.
“Maaf menunggu, itu tadi panggilan yang tidak bisa aku lewatkan,” ujar Bima sekembalinya ia ke ruang tamu.
“Apa langkah kita untuk melindungi Shavia?” Joe mengambil inisiatif untuk melontarkan pertanyaan.
“Kau bisa terus menemani Shavia untuk memastikan tidak ada hal buruk terjadi padanya,” jawab Bima tenang. Joe lantas menggeleng.
“Aku tidak bisa bela diri,” timpal Joe.
“Setidaknya kau bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu. Untuk sementara ini, kau bisa membawa ini,” Bima mengambil sebuah tanaman mawar dalam pot kecil. “Letakkan ini di dalam apartemenmu, dia akan menghalau niat jahat untuk masuk ke dalam kamar. Jika mawar merah ini berubah warna, itu artinya dia gagal menghalau dan niat jahat itu telah masuk ke dalam apartemen.”
“Sebuah mawar dalam pot?” nada suara Joe terdengar meremehkan. “Jika mawar itu berubah warna artinya kecil kemungkinan Shavia untuk selamat. Apa kau tidak memiliki ide lain yang lebih baik?”
“Ada satu,” Bima menatap ke arah Shavia dalam-dalam. “Dan ini adalah cara yang paling efektif.”
“Apa itu?” kali ini Shavia yang bertanya.
“Untuk menyelesaikan Setunggalatus Pati, pelaku harus memasukkan spermanya ke dalam tubuhmu melalui persetubuhan. Jika kita menghalangi persetubuhan itu terjadi, kita menggagalkan ritualnya. Dan ia harus menemukan darah istimewa lain.”
“Kedengarannya bagus,” timpal Joe. “Bagaimana kita menghalangi persetubuhan itu?”
“Dengan menaruh mantra pengunci pada tubuh Shavia,” Bima kembali memandang ke arah Shavia. “Sehingga tidak ada orang lain yang bisa membuka atau merobek pakaian yang dikenakan Shavia kecuali Shavia sendiri.”
“Dan jika tidak bisa menelanjangi Shavia artinya tidak bisa menyetubuhinya. Aku suka rencana itu!”
“Ehm… kalian tidak lupa kalau aku ada di sini, kan?” protes Shavia. “Kalian bicara seolah-olah membayangkan aku ditelanjangi dan disetubuhi.”
“Tolong jangan tersinggung, Shavia,” Bima mencoba meluruskan. “Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”
“Baiklah,” Shavia mengangguk mengerti. “Kau bisa melakukannya? Mantra pelindung itu?”
“Tentu aku bisa,” jawab Bima pasti. “Tapi…”
“Tapi apa?” Joe bertanya.
“Mungkin kau akan kurang suka dengan cara memasang mantra pelindung tersebut.”
Joe dan Shavia saling berpandangan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bima.
“Apa maksudmu aku kurang menyukai caranya?” Shavia mengambil inisiatif untuk bertanya.
“Aku harus memasangnya langsung pada tubuhmu.”
Mata Shavia terbelalak. “Kau tidak harus meniduriku untuk memasang mantra itu kan?!” nada suara gadis itu meninggi.
“Tidak… tidak…” Bima menggeleng sambil tersenyum. “Aku hanya harus mengusapkannya langsung pada tubuhmu. Hanya menyentuh.”
“Itu sama saja, Brengsek!” Joe berdiri dari kursinya, tampaknya ia sangat marah.
“Itu untuk melindunginya!” Bima bersikeras. “Aku tidak akan macam-macam. Kau akan mengawasi saat aku memasang mantra pelindung itu. Jika aku melakukan sesuatu yang salah, hajar aku.”
“Baik, lakukanlah,” Shavia memberi ijin pada Bima untuk menyentuh tubuhnya.
“Shavia!” Joe mengajukan protes, kalimatnya terhenti saat Shavia memandang tajam ke arahnya, pandangan yang seolah menunjukkan bahwa keinginannya tak dapat lagi diganggu gugat.
“Kau akan menjagaku agar Bima tidak macam-macam kan? Joe?” tanyanya tanpa melepaskan pandangan ke arah Joe. Joe mengangguk. Shavia mengalihkan pandangannya ke arah Bima. “Kau boleh menyentuhku sekarang.”
Sekali lagi Bima menggeleng. “Bukan begitu caranya, Shavia. Aku harus menyentuh tubuhmu secara langsung. Itu artinya kau harus melepas semua benda yang menempel di tubuhmu. Kau harus telanjang bulat.”
Dan tepat setelah Bima menyelesaikan kalimatnya, sebuah bogem mentah dari Joe mendarat telak ke rahangnya.
*_*_*
Debar jantungnya semakin kencang. Ia bahkan merasa mampu mendengar dengusan nafas Joe dan Bima yang saat ini berada tidak jauh dari tempatnya. Seakan ia dapat merasakan sapuan tatapan mata kedua pejantan tersebut. Salah satu syarat agar mantra pelindung dapat dipasang di tubuhnya memang ia harus menanggalkan sendiri pakaiannya di hadapan sang pemasang mantra. Dan Bima sang pemasang mantra harus tetap memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh Shavia.
Kemeja itu tanggal sudah. Shavia kembali menarik nafas panjang, yang tanpa ia sadari justru membuat buah dadanya bergerak seiring kembang-kempis parunya. Dengan satu gerakan cepat, Shavia meraih kancing celana jeansnya.
“Pelan, Shavia,” ujar Bima tenang. Tidak kentara adanya perubahan dari nada bicara pria tersebut. Ia tampak sangat tenang seolah ini bukanlah hal yang besar. “Kau harus bergerak pelan agar auramu senada dengan gerakanmu.”
Shavia mengangguk mengerti tanpa membuka kelopak matanya. Jemari gadis manis itu perlahan menggapai resleting celananya dan menurunkannya pelan. Jemari lentik itu lantas pindah ke bibir pinggang celana dan dengan gerakan pelan mendorongnya ke bawah. Lepas.
Gadis itu kini hanya berbalut bra dan celana dalam, lekuk indah pinggulnya tak lagi terbungkus. Berdiri tidak jauh dari Bima, lelaki yang baru dikenalnya dan juga Joe, sahabatnya sendiri. Rasa malu berbaur hina kini menggerogoti batinnya. Ia akan bertelanjang diri untuk pertama kalinya di hadapan pria yang bukan kekasihnya.
“Buang ragumu,” seolah mampu menangkap pergolakan batin yang ada dalam diri Shavia. Bima berucap. “Fokus pada tujuan awal. Kita bukan melakukan ini untuk bersenang-senang.”
Kalimat yang diucapkan Bima cukup efektif menepis perasaan negatif yang sempat muncul dalam batin gadis manis tersebut. Shavia meraih kaitan bra di punggungnya, melepas kaitan tersebut dan dengan perlahan namun pasti bra tersebut meninggalkan tubuhnya. Buah dada gadis itu membusung indah, kencang dan padat. Joe sempat terpana atas pemandangan yang dilihatnya namun buru-buru membuang pandangannya karena malu. Bima tetap memandang tanpa reaksi.
Dan penderitaan itu seolah sampai pada klimaksnya kala Shavia mengenggam bibir celana dalamnya sebelum menurunkannya perlahan. Garis liang kewanitaanya tampak bersih, berwarna sedikit lebih cerah dari bagian tubuh lainnya dengan rambut kemaluan yang tumbuh jarang-jarang. Untuk sesaat, gadis itu berhenti bergerak. Ia telah telanjang bulat di hadapan dua laki-laki yang bukan kekasihnya. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya, pasrah.
Sekelebat takut membuat gadis itu mundur setengah langkah kala ia merasakan Bima bergerak mendekatinya. Shavia buru-buru mengendalikan rasa takutnya, menanamkan keyakinan bahwa ini bukan dilakukannya untuk bersenang-senang. Ini yang terbaik dan dia harus kuat. Matanya yang terpejam membuat indera lain pada tubuhnya lebih peka dari biasanya. Ia seolah dapat merasakan, mendengar tarikan demi tarikan nafas Bima yang semakin dekat.
“Bertahanlah,” ujar Bima tanpa ekspresi. Pria ini sungguh tenang. “Ini takkan lama.”
Shavia tak bisa menahan sentakan kecil yang keluar dari tubuhnya kala ia merasakan hawa dingin yang sangat menyentuh tengkuknya. Kali ini bukan hanya hembusan hawa dingin, ia dapat merasakan sentuhan telapak tangan pada tengkuknya. Ya, Bima menyentuhnya. Sebuah sentuhan tangan yang sangat dingin, seolah tanpa suhu tubuh. Tubuh telanjang gadis itu bergidik saat tangan dingin itu bergerak lembut melingkari lehernya, BIma kini menggunakan kedua tangannya, turun perlahan ke pundak sang gadis. Degup jantung Shavia seolah memenuhi ruangan, alis gadis itu mengernyit, seolah menahan sesuatu.
“Lepaskan, jangan dilawan,” instruksi dari Bima, meminta agar Shavia berusaha untuk melepaskan ketegangan yang muncul di setiap bagian tubuh telanjangnya.
Tangan dingin Bima bergerak menelusuri lengannya, turun hingga ke telapak tangan sebelum kembali naik ke pundak dan berpindah halus ke punggung Shavia. Gadis itu kembali tersentak, namun tidak sehebat saat pertama kali tangan dingin itu menyentuhnya.
Tanpa sepatah katapun, tangan dingin Bima menelusuri punggung sang gadis, memberikan sebuah rasa geli yang janggal. Shavia merasa sedikit relaks, usapan di punggungnya menimbulkan kenyamanan yang tidak bisa dilukiskannya. Tangan itu bergerak menyusuri lekuk pinggulnya sebelum melingkar ke bagian perut gadis manis tersebut. Jantung Shavia kembali berdegup kala tangan dingin itu bergerak naik dari perutnya, merayap ke bagian bawah buah dadanya.
“Nghh…”
Sebuah erangan kecil terlepas dari bibir sang gadis, kala tangan dingin itu menyentuh bagian bawah buah dadanya. Tidak berhenti di situ, Bima terus bergerak ke atas, menyusuri dua tonjolan yang membusung padat dan indah, melewati aerola dan putting sang gadis. Degup jantung sang gadis semakin kencang, ada rasa yang seolah menggerogotinya. Ia tidak hanya merasakan dingin dan nyaman kala tangan dingin itu menangkup buah dadanya melainkan juga kenikmatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan. Tubuh Shavia bergetar, bergetar atas rangsangan yang tak terbantahkan.
Bima tak bermain lama di buah dada gadis itu. Tangannya kembali bergerak turun menyusuri perut dan menyamping ke pinggul sang gadis. Lalu dengan satu usapan lembut turun ke pantat bulat gadis itu. Shavia tidak lagi bisa menghentikan getaran tubuhnya, sesekali ia mengerang lirih, mengerangkan rangsangan berat yang kini melandanya. Tangan bima kembali menyamping, mengusap bagian samping paha gadis itu, turun ke lutut sebelum kembali merayap naik dan dalam satu gerakan lembut, ia merayap masuk ke paha bagian dalam Shavia.
Mendadak Shavia kehilangan keseimbangannya, tubuh telanjangnya jatuh dan bersandar ke Bima yang rupanya berdiri tepat di belakangnya. Setiap usapan tangan dingin Bima membuatnya mendesah, tanpa ia sadari, kedua pahanya semakin membuka, seolah memberi akses pada tangan dingin Bima untuk menjamah bagian terintim dari tubuhnya.
Dan Bima menyambut reaksi alamiah Shavia dengan satu gerakan ke bagian kewanitaannya. Membuat desahan Shavia menjadi jeritan kecil. Tubuh telanjangnya yang tersandar ke badan Bima bergetar hebat, ia dapat merasakan letupan orgasme dalam tubuhnya, diikuti cairan yang seolah tak terkendali, keluar merembes deras ke bibir kewanitaannya.
Bima masih tak bereaksi, tidak ada suara apapun yang keluar dari pria tersebut. Meski dalam rengkuhannya seorang gadis manis telanjang mencapai orgasmenya. Dengan tenang Bima memberi isyarat pada Joe untuk maju membantunya. Kini tubuh telanjang Shavia bersandar pada Joe sementara Bima kembali meneruskan gerakan tangannya, menyusuri bagian depan paha sang gadis dan terus turun hingga ke mata kaki. Joe sendiri hanya diam memandang tubuh telanjang sahabatnya yang kini tersandar lemas ke tubuhnya, Shavia masih mengatur nafasnya. Joe sendiri mati-matian menahan penisnya yang menegang keras di dalam celananya.
Bima menyelesaikan tugasnya tanpa banyak komentar. Ia memberi isyarat pada Joe untuk membaringkan Shavia yang kini terlelap ke atas sofa. Joe menangkap maksud Bima dan mengangkat tubuh telanjang sahabatnya lalu membaringkanya ke atas sofa.
“Sudah selesai,” ujar Bima, masih dengan ketenangan misteriusnya. “Setelah Shavia terbangun dan mengenakan pakaian maka tidak ada yang bisa melepas pakaian itu kecuali Shavia sendiri.”
Joe diam. Duduk tidak jauh dari Shavia yang masih telanjang bulat.
“Kau bisa menggunakan kamar mandiku jika ingin melepaskan ereksimu,” timpal Bima melihat keadaan Joe yang tampaknya tengah terangsang berat. “Atau kau bisa menidurinya, ia takkan bangun meski kau menidurinya dan ia juga tak akan sadar. Aku akan tutup mulut.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Joe sembari beranjak ke jendela dan memandang ke halaman depan rumah tinggal Bima. Bima tersenyum.
*_*_*
“Apa mantra pelindung ini benar-benar bekerja?” Shavia bertanya sembari mengancingkan kembali kemejanya. Hari sudah menjelang malam kala ia terbangun dan menemukan dirinya tanpa busana. Gadis itu sempat panik karena tidak menemukan siapapun di dekatnya. Namun beberapa menit kemudian Joe dan Bima kembali setelah mengambil buku ritual peninggalan Nenek Joe.
“Kita coba saja,” Jawab Bima tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku ritual tua tersebut. “Joe, coba kau buka pakaian Shavia.”
Tanpa diminta dua kali, Joe beranjak menuju Shavia dan mencoba membuka kancing kemeja yang dikenakan gadis itu. Dia meleset beberapa kali.
“Gunakan kekerasan, Joe.” Perintah Bima. Joe mencengkeram kuat-kuat leher kemeja Shavia dan mencoba merobeknya. Gagal, kemeja itu tetap utuh membungkus tubuh Shavia.
“Yup! Mantra itu berhasil,” ujar Bima kemudian. “Selama kau tidak melepas pakaianmu sendiri, tidak akan ada yang bisa menyetubuhimu.”
“Baiklah,” Shavia mengangguk. “Kalian dapat sesuatu?”
“Ada beberapa syarat mutlak dalam setunggalatus pati,” Joe angkat bicara. “Salah satunya adalah selisih usia antara pelaku ritual dan korbannya tidak boleh lebih dari dua tahun.”
“Jadi kami memeriksa data gadis yang hilang. Yang termuda berusia dua puluh tahun dan yang tertua dua puluh empat tahun,” Bima menambahkan. “Artinya, pelaku berusia diantara itu.”
“Dua puluh dua tahun,” Shavia menarik kesimpulan. “Dia seumuran denganku.”
“Ya,” Joe membenarkan kesimpulan Shavia. “Itu akan sedikit membantu kita untuk berhati-hati.”
“Sebelum itu, Shavia,” Bima meletakkan buku ritual tua yang tadi dibacanya. “Sebaiknya kau mengisi perutmu. Kau hampir seharian di sini dan tidak makan apapun.”
“Aku baik-baik saja,” tukas Shavia. “Aku tidak bisa sembarangan dalam hal makanan.”
“Dia diet ketat,” Joe memperjelas. “Hanya makan makanan rendah kalori yang ia timbun di apartemennya.”
“Hmm… di sini tidak ada makanan seperti itu.”
“Begini saja, bagaimana kalau kita lanjutkan besok?” Shavia memberi usulan. “Aku merasa lelah dan butuh istirahat. Lagipula ini sudah mulai malam.”
“Ide yang bagus,” Joe setuju. “Aku juga masih ada beberapa urusan malam ini. Kita lanjutkan saja besok.”
“Jadi besok kalian akan kembali kemari?” Bima bertanya.
“Bagaimana kalau besok kita ke rumah nenekku?” Joe mengajukan usul. “Di sana ada banyak barang antik, mungkin kita bisa menemukan petunjuk lain, semacam cara mendeteksi pelaku ritual mungkin.”
“Atau kita bisa menemukan pusaka yang berguna,” timpal Bima. “Kurasa itu ide yang bagus.”
“Aku akan menjemputmu besok, Shavia, kau masih ingat jalan ke rumah Nenekku tadi Bima?” tanya Joe yang dijawab dengan anggukan Bima.
“Baiklah,” Shavia mengangguk setuju. “Aku pamit dulu, terima kasih untuk hari ini, Bima.”
“Sama-sama, Shavia.”
*_*_*
Terakhir diubah: