Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Bimabet
Benar2 cerita yg sangat bagus sekali hu menurut saya karena imbang dg plus2 nya, berharap ada sesion 2 sih....
saya ucapkan selamat & terimakasih hu atas tamat nya cerita ini...
 
The ending is killing me. I love it!!

Cerita bersambung singkat yang aduhai indahnya. Tiap episodenya bite-size dan enak dibaca.
Memang di tiap episode selalu diakhiri dengan cliffhanger tapi justru itu kekuatan dan daya tariknya.
Gak kebayang gimana susahnya struggle sang TS dalam penulisan cerita semantap ini.
Karya ini tidak main-main lho, meski terkesan sederhana konfliknya dan jauh lebih simpel dari karya sebelumnya.

Yang membuat saya kagum adalah kemampuan suhu @fathimah dalam membentuk karakter,
merangkai kata secara detail dan meramu semuanya untuk membentuk nuansa.
Nuansa itu penting dan itu diwujudkan di cerita ini dengan deskripsi yang apik yang kadang bahkan tidak perlu dideskripsikan.
Build-up menuju sex scene-nya sangat kuat dan keren, bikin geregetan.
Pergolakan batin dan permainan perasaan tiap karakter semuanya ada dan terasa.

Mungkin memang cerita ini tidak se-heavy dan selengkap Pengkhianatan Sahabat yang jauh lebih kompleks dan panjang,
tapi effort suhu TS ini pun sudah cukup baik dalam membangun world yang ringkas dan menyeluruh.
Saya seperti membaca sebuah novel, membaca komik, atau melihat film.
Imajinasi saya digelitik. Mudah sekali membayangkan apa yang dituliskan oleh suhu karena piawai dalam penggambaran.

Sayang kisah ini dituntaskan dengan cepat. Saya masih penasaran dengan hubungan Amanda dan Raharjo.
Tokoh Amanda ini menggemaskan. Apalagi mulustrasinya salah satu selebgram bacolan favorit saya.
Tapi sebegini juga sudah cukup sih. Tidak dilanjutkan pun sudah membentuk sebuah cerita utuh nan apik.
Kalau TS menganggap sudah selesai ya sudah cukupkan saja tanpa perlu diulur.

Selalu menyenangkan membaca karya suhu. Saya jadi banyak belajar.
Terus berkarya ya! Ditunggu cerita selanjutnya!

Selamat atas gelar tamatnya.
 
Part 34: Indah

"Kamu mau langsung pergi ke luar kota?" Tanyaku saat suamiku tengah berkemas sebelum esok pagi harus berangkat ke sebuah kota di bagian timur Indonesia.

"Kan sudah aku bilang sejak lama, Sayang. Aku harus menyelesaikan proyek ini sendiri, dan ini akan bagus untuk karierku."

"Tapi kamu kan sudah beberapa kali dinas luar. Bahkan seminggu setelah kita menikah pun kamu sudah langsung pergi ke luar kota."

"Iya, Sayang. Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun percayalah, semua akan baik-baik saja, dan setelah ini akan ada banyak waktu luang yang bisa kita habiskan bersama," ujarnya sambil memeluk tubuhku.

Diperlakukan seperti itu, aku tentu tidak bisa marah, dan kembali harus menerima bahwa suamiku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kadang ada waktu di mana aku merasa bahwa dia lebih mengutamakan pekerjaannya daripada aku.

Kata-katanya selalu sama, bahwa pengorbanan kami saat ini bisa memudahkan kami untuk mendapatkan waktu untuk hanya bersenang-senang berdua di kemudian hari. Namun apakah itu benar adanya?

***

Amanda-3.jpg

Setiap kali suamiku Jodi pergi dinas ke luar kota, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu akhir pekan dengan berjalan-jalan dan bertemu dengan teman-temanku. Inilah salah satu privilege sebagai seorang editor buku, apabila tugas telah selesai, tidak ada yang namanya lembur di akhir pekan.

Seperti hari sabtu ini, aku telah janji bertemu dengan Jenny, rekanku di kantor. Aku telah puas berkeliling mal melihat-lihat pakaian untuk aku beli menggunakan gaji Jodi yang memang tidak sedikit, dan sekarang sedang duduk di sebuah restoran yang menyajikan hidangan khusus untuk para vegetarian. Apakah aku sudah menjadi vegetarian? Tentu belum. Hanya saja makan di tempat seperti ini mungkin akan membuatku terlihat keren.

Tak berapa lama kemudian, Jenny pun sampai.

"Halo Cantik, maaf ya Say sudah menunggu lama."

"Ah, tidak apa-apa kok. Aku dari tadi juga keliling-keliling mal aja. Ini kamu dari rumah?"

"Iya, biasa lah ..."

"Diajak telponan sama penerjemah sialan itu lagi?" Ledekku.

"Sialan lo ... " ujarnya sambil memanggil seorang pelayan untuk memesan hidangan.

"Makanya, gue bilang juga apa. Jangan suka terlalu benci sama orang, nanti lama-lama jadi cinta, hahaa."

"Udah donk ngeledeknya Amanda, gak seru tahu. Kirain udah nikah tabiat lo bakal berubah, ternyata masih sama aja, hufth."

"Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini aku mainin mana pipi embulnya," ujarku sambil mencubit-cubit pipi Jenny yang memang sedikit tembam. Ia hanya menolaknya dengan halus. Kami memang sudah terbiasa bercanda seperti itu.

Kami pun menghabiskan waktu untuk bicara soal pekerjaan, gosip-gosip kantor, dan apa pun yang selama ini tidak bisa kami bicarakan secara terbuka di kantor, karena takut terdengar karyawan lain. Di saat yang sama, kami pun menyantap makanan vegetarian yang harus aku akui cukup enak, meski harganya tidak nikmat di kantong.

"Kamu sendiri bagaimana sekarang setelah menikah, Amanda? Makin asyik donk ya? Hee," tanya Jenny.

"Ya, asyik sih. Tapi ..."

"Tapi kenapa, Jodi masih kurang perhatian?"

"Aku bingung sebenarnya, seperti apa suamiku itu. Seminggu setelah menikah dia sudah langsung dinas luar. Akhir pekan ini pun sama, makanya sekarang aku memilih untuk jalan-jalan sendiri. Aku heran, apakah ini memang hal biasa bagi pasangan suami istri? Apakah salah kalau aku menginginkan dia terus bersamaku saat ini?"

Akhirnya aku melepaskan apa yang aku pendam selama ini di hadapan Jenny. Aku percaya dia tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan aku dengan menceritakannya kembali kepada orang lain. Dan di sisi lain, Jenny kadang mempunyai pemikiran yang lebih dewasa dariku. Itulah mengapa aku sering memilih dia untuk menjadi "tempat sampah" dari semua curahan hatiku.

Sahabatku itu pun berdiri dan berpindah tempat duduk ke sampingku. Ia merangkul pundakku dan mengusapnya lembut. Ia memang tahu betul bagaimana cara terbaik untuk menenangkanku.

"Sudah Amanda, kamu harus sabar. Kalau memang kenyataannya dia harus pergi, jangan sampai kamu sendirian tertekan di sini. Kamu harus melepaskan diri dari belenggu rasa kecewa, atau setidaknya membiarkan dia tahu seberapa berat rasa kecewa yang kamu hadapi," ujar Jenny. "Tapi sebenarnya, apa sih yang kamu khawatirkan? Karena kamu ingin berduaan dengan dia? Atau justru kamu takut dia bermain gila dengan perempuan lain di luar sana?"

"Untuk yang kedua sepertinya nggak, aku percaya betul dengan Jodi. Karena itu mungkin lebih seperti yang pertama ya. Aku mungkin terlalu clingy, terlalu butuh orang lain untuk tempat bersandar."

"Dan sekarang kamu pun tinggal sendirian kan, tidak bersama dengan Ibumu dan Astari lagi?"

"Ya, betul. Itu juga mungkin salah satu alasan mengapa aku jadi terlalu memikirkan banyak hal akhir-akhir ini."

"Kamu harus lebih banyak tenang, Amanda. Hubungan tidak bisa dijalin apabila kamu selalu mengedepankan emosi," ujar Jenny penuh kebijaksanaan. "Apabila menurut kamu masalahnya adalah kebutuhan kamu akan orang yang bisa kamu jadikan sandaran, mungkin ada baiknya kalau selama Jodi pergi kamu datang atau menginap di rumah orang tua kamu."

"Hmm, itu ide yang bagus sih."

"Masih boleh kan kamu menginap di sana? Hee."

"Ya, paling Astari aja yang akan bersikap menyebalkan. Kalau aku jitak dikit juga dia akan langsung diam, hahaa."


***

Setelah bertemu Jenny di mal, aku pun memutuskan untuk mengikuti sarannya untuk berkunjung ke rumah Ibuku. Hampir seluruh pakaianku memang sudah dipindahkan ke rumahku yang baru. Karena itu, mungkin aku tidak akan bisa menginap malam ini karena belum membawa baju ganti. Tapi paling tidak, aku bisa menenangkan diri dengan bertemu dengan Ibuku dan Astari.

"Assalamualaykum," ujarku sambil mengetuk pintu.

Aku sebenarnya merasa janggal melakukan itu, karena biasanya langsung nyelonong masuk saja tanpa salam, karena aku memang tinggal di situ. Namun dengan posisiku yang sudah tidak tinggal di sana, sepertinya lebih baik kalau aku menghaturkan salam terlebih dahulu seperti ini.

Tak lama kemudian, Ibu membuka pintu. "Ya ampun, lihat Astari, siapa neh yang datang," ujar Ibu yang langsung memelukku erat. "Kok gak bilang dulu kalau mau datang, naik apa tadi?"

"Kan ceritanya kejutan, hee. Aku tadi naik taksi online."

"Jodi gak diajak?"

"Dia sedang tugas ke luar kota, Bu."

Seperti tahu akan apa yang sebenarnya terjadi, Ibuku tidak bertanya-tanya lagi. Itulah yang aku suka dari Ibu, dia bisa mengetahui segala hal tanpa perlu bersikap pengin tahu tentang semuanya. Dan ketika perasaan anaknya sedang terombang-ambing, ia tahu bagaimana harus bersikap. Itulah mengapa aku dan Astari sangat sayang kepada Ibu.

"Ya ampun, si cantik toh yang datang. Kirain siapa," Astari yang menyusul Ibu ke pintu depan langsung menghambur ke arahku, dan ikut memelukku.

"Dasar, bisa benyek neh nanti kakak kalau dijepit berdua kayak gini. Sudah, sudah ... ampun," ujarku.

Kami bertiga pun masuk ke dalam rumah, yang suasananya masih sama dengan saat aku tinggalkan beberapa minggu lalu. Foto-foto kami bertiga, dan beberapa foto Ayah, masih berjejer rapi mengelilingi ruangan.

Ibu dan Astari sepertinya tengah makan malam saat aku datang tadi. Namun alangkah kagetnya aku saat mengetahui kalau mereka tidak hanya berdua di meja makan. Ada seorang lagi yang sangat aku kenal.

"Halo, Amanda. Apa kabar?" Ujar pria tua itu sambil melambai ke arahku.

Aku pun melangkah mendekatinya, lalu menarik sebuah kursi makan dan duduk di atasnya. "Hmm, aku baik. Bapak bagaimana kabarnya?" Tanyaku dengan canggung.

"Baik juga kok."

Aku yang masih terkejut kemudian menatap ke arah Ibu dan Astari bergantian, seperti meminta jawaban atas keberadaan pria tersebut di rumah ini.

"Tidak perlu aku kenalin lagi ya kalau begitu, kan kalian sudah berbulan-bulan garap novel bareng, hee."

Sebuah jawaban yang tidak menjawab apa pun dari adikku yang masih cengengesan melihat kakaknya sedang kebingungan. Aku akhirnya menatap Ibu, pilihan terakhir yang aku punya saat ini.

"Astari yang mengajak Raharjo datang. Katanya biar makan malamnya makin ramai," ujar Ibu yang sepertinya kasihan melihatku kebingungan. Astari dan Pak Raharjo hanya tersenyum mendengar cerita Ibu.

Sedikit banyak, aku mulai bisa membaca situasi. Sepertinya Astari-lah yang mengajak Raharjo datang ke rumah. Namun hubungan antara keduanya pastinya bukan hubungan biasa, karena ini kan malam minggu. Aku pun mengingat bahwa Astari pernah menulis artikel tentang Pak Raharjo, yang pastinya menyebabkan mereka berdua pernah bertemu atau berkomunikasi saat melakukan wawancara. Apakah?

"Sudah jangan kebanyakan mikir, ayo makan dulu," ujar Astari menggodaku.

Setelah makan, Astari dan Pak Raharjo pun seperti menghindar dari topik soal hubungan mereka berdua. Kami berempat asyik bercengkerama membicarakan hal-hal remeh mulai dari tetangga mana yang ketahuan selingkuh, rencana novel terbaru Pak Raharjo, office boy di kantor Astari yang sering kena damprat olehnya, dan banyak lagi cerita lain yang tidak sempat kudengar setelah beberapa minggu aku menikah.

Mendengarkannya kembali membuat aku merasa menemukan rumah kedua, meski Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa rumah ini akan tetap menjadi rumah untukku, sampai kapan pun.

Akhirnya tiba juga waktuku untuk pulang. Karena itu, aku pun duduk di sofa di ruang keluarga, yang biasa aku duduki memang saat masih tinggal di rumah tersebut, untuk memesan taksi online. Di dapur masih terlihat Astari yang sedang mencuci piring, ditemani oleh Pak Raharjo. Mereka tampak bahagia sekali, dengan tawa yang terus menghiasi bibir mereka. Hatiku pun terasa berat melihat kebersamaan mereka.

"Kamu mau pulang apa menginap, Amanda?" Tanya Ibuku yang baru saja menghampiriku.

"Pulang, Bu. Kan pakaian Amanda semuanya sudah dibawa ke rumah baru."

"Ya kamu kan masih bisa pakai bajunya Astari."

Perkataan Ibu memang benar adanya, tetapi sepertinya malam ini bukan waktu yang tepat untuk menginap, terlebih dengan keberadaan Pak Raharjo.

"Gak apa-apa, Bu. Amanda harus pulang dan membereskan rumah, khawatir nanti Jodi datang tapi rumahnya malah berantakan," jawabku sambil tersenyum.

Ibuku pun mengangguk.

"Atau kamu pulang diantar saja oleh Raharjo," ujar Ibu.

Aku pun menggeleng, "Nggak usah Bu. Pak Raharjo kan sama Astari, nanti mereka bagaimana kalau harus antar aku?"

"Sudah, tidak perlu dipikirkan. Astari, Raharjo sudah mau pulang kan?" Ujar Ibuku setengah berteriak ke arah dapur. Aku yang ingin menahannya sudah kalah cepat.

Tak lama kemudian, Astari menghampiri kami berdua, dan Pak Raharjo tampak berdiri di belakangnya. "Ada apa Bu?"

"Ini lho, kakakmu mau pulang. Kasihan sudah malam begini kalau naik taksi online. Apa tidak lebih baik kalau dia diantar oleh Raharjo?"

Astari tampak berpikir sejenak, sebelum kemudian mengangguk. "Iya, lebih baik begitu Bu. Bahaya soalnya kalau naik mobil yang tidak dikenal malam-malam begini."

"Astari, tidak apa-apa kok, aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu repot-repot," aku berusaha menahannya.

"Nggak apa-apa Kak. Om Raharjo mau kan antar Kak Amanda?" Tanya Astari pada pria di belakangnya. Ia pun mengangguk. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Aku telah duduk di kursi penumpang, di mobil milik Pak Raharjo. Pria tua tersebut masih ingin mengucapkan salam perpisahan dengan adikku. Aku pun bisa melihat jelas bagaimana mereka bergandengan tangan, dan kini saling mengecup bibir masing-masing. Tebakanku ternyata tidak meleset, memang ada sesuatu antara Pak Raharjo dan Astari.

Tak lama kemudian, Pak Raharjo pun masuk ke dalam mobil di kursi pengemudi. Astari mendekatiku posisi dudukku dari luar mobil, sehingga aku berinisiatif membuka kaca jendela.

"Hati-hati ya Kak Amanda, selamat sampai di rumah," ujarnya. "Om Raharjo jangan ngebut-ngebut, awas kalau sampai terjadi apa-apa dengan kakakku."

Aku merasa ada penekanan pada kalimat kedua yang diucapkan adikku, tetapi mungkin itu hanya perasaanku saja.

"Iya, sayang. Om pergi dulu ya," ujar Pak Raharjo sambil melambaikan tangan kepada adikku.

Setelah beberapa menit mobil berjalan, barulah aku membuka percakapan.

"Jadi Bapak dengan Astari sekarang sudah ..."

Pria tua tersebut hanya mengangguk sambil tersenyum, dan terus fokus ke jalanan di hadapannya.

"Apakah ia tahu tentang aku dan Bapak yang pernah ..."

Ia kembali mengangguk.

"Coba Bapak ceritakan apa yang terjadi antara kalian berdua, aku butuh penjelasan," ujarku mendesak.

Pak Raharjo akhirnya menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Meski aku merasa ada detail-detail yang sengaja ia sembunyikan untuk dirinya sendiri. Namun aku mulai bisa menangkap apa yang terjadi di luar sepengetahuanku antara pria tua tersebut dengan adikku.

"Kamu gak marah kan?" Tanya Pak Raharjo.

"Kenapa aku harus marah?"

"Astari itu adik kamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada dia, sudah sepantasnya kamu marah."

Dalam hati aku mengiyakan perkataan Pak Raharjo tersebut. Namun apakah aku menganggap pria tua itu sebagai hal buruk bagi adikku, belum bisa aku temukan jawabannya.

Sekitar 1 jam kemudian, sampailah kami di rumahku yang baru. Saat mobil telah berhenti, aku hendak mengambil dompet yang aku letakkan di kompartemen tengah. Sementar Pak Raharjo sepertinya hendak memasang rem tangan agar mobil tidak lagi bergerak apabila remnya dilepas. Namun, semesta seperti menentukan bahwa tangan kami harus bersentuhan, yang kemudian kami lanjutkan dengan saling menggenggam tangan satu sama lain.

Mengetahui hal itu, aku pun menoleh ke arah Pak Raharjo yang berada di kursi pengemudi. Ia ternyata juga tengah menatap wajahku. Tanpa terasa, wajah kami berdua kian lama kian mendekat, hingga tak ada apa pun yang akhirnya menjadi jarak di antara keduanya.

TAMAT
Aku suka.endingnya hu... biarlah pembaca berimajinasi dengan liar...
 
PART 1: ENDING

"Hufth, akhirnya selesai juga," ujarku menghela nafas.

Masih belum bisa move on dari euforia pribadi berhasil menamatkan cerita ini, hee
Mohon maaf ya kalau TS terlihat lebay, karena sudah lama banget gak berhasil menamatkan sebuah cerita hingga selesai.

Ada sebuah (mungkin bisa dikatakan) Easter Egg di cerita ini.
Kalimat pertama dari cerita ini, sebenarnya sudah disiapkan sebagai kata-kata pertama yang akan TS keluarkan saat tulisan ini tamat.

"Hufth, akhirnya selesai juga."

:fmalu:
 
10/10. Mantap. Seru. Idea yang segar gitu utk genre separuh baya. Sederhana dan santai namun mendebarkan menanti penamatnya.

Untung Pak Raharjo digilai dua beradik yang cantik dan punya jati diri yang kuat akhirnya menyerah diri kepadanya. Awalnya syok jual mahal, akhirnya menyerah juga.

Kayaknya makin seru dan baper jika konflik dan Amanda, Astari, Jodi, Pak Roharjo dikembangkan lagi di Season 2. Atau setidaknya ada epilognya sedikit lagi nanti. Makasih Suhu Fathimah atas cerita menarik ini. Semangat untuk terus berkarya ya.
 
The ending is killing me. I love it!!

Cerita bersambung singkat yang aduhai indahnya. Tiap episodenya bite-size dan enak dibaca.
Memang di tiap episode selalu diakhiri dengan cliffhanger tapi justru itu kekuatan dan daya tariknya.
Gak kebayang gimana susahnya struggle sang TS dalam penulisan cerita semantap ini.
Karya ini tidak main-main lho, meski terkesan sederhana konfliknya dan jauh lebih simpel dari karya sebelumnya.

Yang membuat saya kagum adalah kemampuan suhu @fathimah dalam membentuk karakter,
merangkai kata secara detail dan meramu semuanya untuk membentuk nuansa.
Nuansa itu penting dan itu diwujudkan di cerita ini dengan deskripsi yang apik yang kadang bahkan tidak perlu dideskripsikan.
Build-up menuju sex scene-nya sangat kuat dan keren, bikin geregetan.
Pergolakan batin dan permainan perasaan tiap karakter semuanya ada dan terasa.

Mungkin memang cerita ini tidak se-heavy dan selengkap Pengkhianatan Sahabat yang jauh lebih kompleks dan panjang,
tapi effort suhu TS ini pun sudah cukup baik dalam membangun world yang ringkas dan menyeluruh.
Saya seperti membaca sebuah novel, membaca komik, atau melihat film.
Imajinasi saya digelitik. Mudah sekali membayangkan apa yang dituliskan oleh suhu karena piawai dalam penggambaran.

Sayang kisah ini dituntaskan dengan cepat. Saya masih penasaran dengan hubungan Amanda dan Raharjo.
Tokoh Amanda ini menggemaskan. Apalagi mulustrasinya salah satu selebgram bacolan favorit saya.
Tapi sebegini juga sudah cukup sih. Tidak dilanjutkan pun sudah membentuk sebuah cerita utuh nan apik.
Kalau TS menganggap sudah selesai ya sudah cukupkan saja tanpa perlu diulur.

Selalu menyenangkan membaca karya suhu. Saya jadi banyak belajar.
Terus berkarya ya! Ditunggu cerita selanjutnya!

Selamat atas gelar tamatnya.
wah pembunuh tomat bersabda..... ditunggu karya2nya om, kan masih banyak yg gantung ceritanya.
 
mantap dah... konsep nya... makasih dah memberikan tayangan yg bermakna... terimakasih atas ceritanya.. lanjutkan ...
Part 31: Pengertian

Astari-6.jpg

"Tumben pagi banget sudah datang. Biasanya selalu duluan aku," ujar Mbak Vera sambil duduk di kursinya, yang tepat berada di sampingku.

"Orang datang siang, diomelin. Datang pagi, dicurigain. Susah memang jadi temannya Mbak Vera," ujarku meledek temanku tersebut.

"Ya elah, Astari. Begitu aja ngambek. Jangan kebanyakan ngambek, nanti bisa cepat tua, hee."

Aku pun tidak membalas kata-katanya, dan fokus pada laptop yang ada di hadapanku. Meski begitu, pikiranku sebenarnya tengah melanglang buana ke tempat lain. Aku tengah berpikir tentang sesuatu yang sepertinya tidak bisa aku ceritakan kepada siapa pun, meski orang terdekatku sama sekali.

Saat melirik ke samping, aku menyadari bahwa Mbak Vera adalah satu-satunya orang di mana aku bisa berkeluh kesah tentang hal ini. Dia bukan keluarga, sehingga dia tidak akan menuduh aku yang macam-macam. Dia juga sudah cukup dewasa, seorang ibu muda beranak satu, yang pasti sudah kenyang akan asam garam kehidupan.

"Mbak Vera, lagi sibuk gak?"

Ia langsung menghentikan aktivitasnya membereskan meja kerja, ritual yang selalu ia kerjakan tiap pagi, lalu menghadap ke arahku. "Ada apa, Astari?"

"Aku ingin ngobrol sesuatu."

"Ya sudah, bilang aja," perempuan tersebut pun langsung duduk di kursinya, yang digeser agar mendekat ke tempat dudukku. "Ada apa sih, cantik?"

"Mbak Vera, kapan merasa yakin untuk menikah dengan suami Mbak?"

"Oh, ini soal asmara ya? Hee ..."

"Ihh, jangan meledek donk Mbak. Aku nanya serius neh."

"Iya, iya ... serius banget sih kamu. Wajar sih memang di usia kamu akan muncul pertanyaan tersebut. Dan memang sudah waktunya juga kamu menjalin asmara kan."

"Terus, bagaimana cara tahu bahwa si A atau si B ini adalah orang yang cocok menemani kita, sampai mati nanti?"

"Nah, itu masalahnya."

"Maksud Mbak bagaimana? Kok pertanyaan aku itu jadi masalah? Katanya itu pertanyaan normal?"

"Masalahnya adalah kamu memandang cinta, asmara, atau apa pun itu, adalah sebuah hubungan yang akan terus stabil sampai kedua belah pihak menghembuskan nafas."

"Lho, bukannya memang seperti itu?"

Mbak Vera menggeleng.

"Cinta dan asmara itu sama seperti hubungan pertemanan. Ada pasang, ada surut. Kadang jadi teman, kadang jadi musuh. Semuanya penuh dinamika. Dan saran aku, sebelum kamu memulai hubungan, pahami dulu hal ini."

"Oke, aku paham, cinta itu ada pasang dan surut. Lalu bagaimana cara menentukan siapa orang yang tepat untuk kita?"

"Nah ini adalah bentuk kesalahan yang lain lagi," Mbak Vera kembali protes, membuatku semakin bingung.

"Aku salah apa lagi sih, Mbak?"

"Kamu memandang konsep jodoh itu seperti satu orang yang memang diciptakan spesial untuk kamu, dan dia tidak mungkin jatuh ke tangan orang lain."

"Bukannya memang seperti itu?"

"Selama kamu tidak punya contekan ke buku takdir yang dibuat Tuhan, tidak ada yang tahu siapa jodoh kita masing-masing, cantik."

"Lalu, kembali lagi ke pertanyaan aku yang awal. Bagaimana Mbak menentukan oke, aku akan menikah dengan si A yang jadi suami mbak yang sekarang?"

"Nah, ini baru konsep yang baik. Bagaimana aku menentukan untuk menikah dengan suamiku. Jawabannya lebih mudah, yaitu karena aku merasa dia adalah sosok yang saat aku membayangkan tengah berada di masa-masa sulit atau masa-masa senang di masa depan, aku masih ingin bersama dengan dia."

"Lho, bukannya itu konsep yang sama dengan jodoh, cinta sampai mati, dan semacamnya?"

"Beda donk," ujar Mbak Vera, yang jujur sedikit membuatku bingung. "Sesungguhnya, aku tidak peduli dengan konsep-konsep yang kamu katakan barusan. Aku hanya tahu bahwa aku merasa nyaman dengan dia, dan masa depanku akan bahagia dengan dia. Apabila setahun setelah menikah, aku tidak bisa lagi membayangkan masa depan yang indah, contohnya karena aku baru tahu dia tukang selingkuh, atau suka memukul perempuan, apakah layak aku mempertahankan dia dengan alasan dia adalah jodoh yang telah aku nikahi?"

"Ahhh ..." aku mulai bisa meraba ke mana arah pembicaraan Mbak Vera.

"Banyak orang yang terjebak dengan konsep jodoh dan cinta sampai mati, yang akhirnya membuat mereka tidak bisa lepas dari hubungan yang sebenarnya berbahaya, atau toxic. Padahal menurutku, ya kita realistis aja di masa sekarang, jangan pikirkan masa lalu yang sudah lewat dia sangat sayang sama kita, suka kasih hadiah, apa lah ... tai kucing itu semua," harus aku akui, cara Mbak Vera menjelaskan masalah ini memang benar-benar menarik. "Yang perlu kita pikirkan adalah masa sekarang, apakah kita masih bisa membayangkan masa depan yang indah dengan dia. Apabila tidak, cari mana yang bisa."

"I see ..."

"Cinta itu sama dengan hidup, harus berproses. Jalani saja apa yang ada di hadapan kamu, dan jangan ragu untuk mengambil tindakan apabila ternyata keputusan kamu di masa lalu adalah kesalahan. Namun apabila kamu masih terus merasa bahwa itu adalah keputusan yang tepat, bersyukurlah," ujar Mbak Vera sambil mengedipkan mata ke arahku.

Sungguh tidak salah aku meminta sarannya. Ia seperti baru saja memberikan ceramah padaku di pagi hari ini.

***

Aku melirik jam tangan, sudah sekitar jam 3 sore. Namun meeting redaksi hari ini belum juga selesai. Aku melirik Mbak Vera yang ada di sebelahku dan menyenggol kakinya. Saat ia menoleh ke arahku, aku langsung menunjuk jam tangan yang aku kenakan. Ia seperti mengerti apa yang aku maksud, dan hanya menaikkan pundaknya tanda ia tak tahu kapan rapat ini akan selesai.

Namun untungnya, hal tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Atasan kami menyudahi meeting pada pukul 3 lewat 15 menit. Saat berjalan kembali ke meja kerjaku, seorang office boy tampak sedang meletakkan sebuah buket bunga di mejaku. Aku pun langsung berteriak memanggil namanya.

"Woyy, Udiiiiinnn ... Siniiiii," ujarku kencang. Aku tak peduli seluruh karyawan di lantai ini mendengar teriakanku. Aku sudah kesal sekali dengan si Udin ini yang sering banget berbuat salah.

Office boy pendek berkulit hitam itu pun berbalik. Saat sudah berada tepat di hadapanku, ia tampak bingung.

"Iya, Neng. Ada yang bisa Udin bantu?"

"Kamu gak sadar salah kamu apa?" Ujarku sambil menyilangkan tangan di depan dada, berusaha menunjukkan kuasa yang aku miliki di hadapannya.

"Nggak, Neng. Memangnya Udin salah apa?"

"Coba pikir baik-baik, kamu tadi baru melakukan apa? Dan apa kesalahan yang kamu lakukan?"

Aku bisa melihat raut wajah heran di muka Udin. Ia seperti tidak tahu sama sekali apa kesalahan yang baru ia perbuat.

"Udin nyerah, Neng. Perasaan Udin gak ada salah apa-apa."

"Tadi sebelum pergi kamu melakukan apa?"

"Udin taruh buket bunga dari satpam di bawah, katanya suruh dibawa ke sini."

"Nah, kamu kan sudah aku bilangin beberapa kali, meja Mbak Vera itu yang di sebelah kiri, yang di sebelah kanan itu meja aku. Kenapa kamu malah taruh buket bunganya di meja aku?"

"Lho, kan memang buket bunganya buat Neng Astari."

Jawaban tersebut membuat aku kaget. Aku pun langsung memeriksa buket bunga yang ada di mejaku, dan ternyata benar ditujukan untukku. Tidak ada pesan sama sekali, hanya tertulis "To: Astari, From: R".

Tanpa perlu keterangan lebih lanjut, aku pun tahu siapa yang mengirim buket bunga tersebut. Di belakang, aku bisa melihat Mbak Vera yang terkekeh melihat tingkahku. Apalagi, Udin seperti masih merasa bersalah dan tidak kunjung pergi.

"Jadi, buket bunganya salah ya, Neng? Udin bawa ke pos satpam lagi ya?"

"Udah-udah pergi sana ... Gak jadi, sana sana pergi," ujarku yang masih merasa malu.

Mbak Vera hanya tertawa sambil duduk di kursinya.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd