john robert
Senpai Semprot
- Daftar
- 24 Nov 2013
- Post
- 915
- Like diterima
- 704
Tawa Punokawan
Aja Adigang, Adigung, Adiguna ( Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti)
Ki Semar
Susah jadi Punokawan jaman sekarang.
Kamu gak salah ngomongkan?
Kamu hanya dapet tugas nyatet perjalanan kami berempat. Para Punokawan. Gak lebih, gak kurang. Bukan tugasmu ngasih penilaian. Susah, mudah, jadi urusan kami para Punokawan. Bukan kamu!
Kenapa kamu jadi susah sendiri memikirkan kami? Barangkali karena kamu masih manusia dan manusia sukanya lupa. Makanya ingat bisa jadi obat mujarab dari segala lupa. Ingat bisa ngobatin kamu dari pikiran negatif-mu sendiri yang bilang, susah jadi Punokawan jaman sekarang.
Makanya sekarang kamu perlu kami ingatkan, soal siapa sebenarnya Punokawan.
Punokawan, kalo kamu lupa, terdiri dari kami berempat ; Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Mengenal Punokawan, pertama kamu harus kenal kami, Ki Semar. Sang Pemimpin. Usia paling tua. Tubuh gemuk, jambul runcing. Kami sudah berabad-abad jadi Lurah di Kelurahan Karangdempel. Kelurahan Karangdempel berasal dari dua kata yang bisa dimaknai ; Karang artinya gersang, dempel artinya keteguhan jiwa. Jadi sebagai Lurah, kami punya tugas jadi pelayan masyarakat Karangdempel biar tetap punya keteguhan jiwa di tengah kehidupan duniawi yang gersang.
Kedua kamu harus kenal kami, Gareng. Nama lengkap Nala Gareng. Mata juling, tangan melengkung, kaki pincang. Nama lain kami Pancalpamor atau menolak godaan duniawi. Bukan karena bentuk fisik udah melengkung terus kami menolak kehidupan duniawi, semua orang juga pasti bisa saat keadaannya demikian. Tapi kami selalu mengajarkan kepada warga Karangdempel, kehidupan duniawi, kalo dilihat baik-baik, bentuknya juling, melengkung dan pincang. Adalah sebuah kesia-siaan besar, menghabiskan segala daya upaya mengejar sesuatu yang juling, melengkung dan pincang.
Ketiga, kami, Petruk. Dawala. Si Kantong Bolong. Hidung panjang, kulit hitam eksotis. Saking bolongnya kantong, konon kabarnya kami tidak punya apa-apa di rumah. Ajaibnya walau gak punya apa-apa, saat diminta pertolongan kami selalu ikhlas. Gak pernah ngedumel, apalagi cuap-cuap pamer.
Terakhir, kami,Bagong. Si bungsu. Anak bungsu Ki Semar yang sama-sama melayani warga Kelurahan Karangdempel. Badan bulat, obesitas, mata lebar, bibir memble. Karena memble, kami yang paling vokal diantara Punakawan yang lain. Kami orangnya blak-blakan, terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling. Cocok jadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi Kelurahan Karangdempel. Masing-masing dari kami punya tugas pokok dan fungsinya masing-masing saat melayani masyarakat Karangdampel.
Setelah kamu kenal siapa kami, sekarang giliranmu menjawab pertanyaan, Dari mana asal Punokawan? dan kami termasuk dari golongan Budaya Bangsa Indonesia, atau bukan?
Banyak orang Indonesia, waktu lagi heboh-hebohnya serial Mahabharata di stasiun televisi, berusaha mencari kami. Sayangnya mereka tidak menemukan kami. Yang mereka temukan hanya artis-artis India berbadan tinggi besar, berotot, tampan, berhidung mancung seperti Shaheer Sheikh.
Terus di mana Punokawan? Badan kami persis badan orang pribumi, wajah kami malah lebih jelek dari kebanyakan pribumi. Tampilan kami juga amat tidak menjual. Jalan pikiran kami gak istimewa, sama persis seperti sebagian besar pikiran orang pribumi, yang, ngomongnya gak jauh-jauh dari pemenuhan tangga pertama dari tangga kebutuhan Maslow ; sandang, pangan, papan. Barangkali, karena postur tubuh yang jauh dari menjual, ditambah pikiran yang cethek, gak intelek, kami tidak pernah dimasukkan ke dalam budaya Mahabharata orang India. Lagipula kami juga tidak pernah lahir di India, kami lahir di Karangdempel, Indonesia.
Lalu, karena Punokawan bukan termasuk budaya India dan lahir di Indonesia, kamu pikir apa orang Indonesia atau kelurahan Karangdempel mengakui kami sebagai Budaya? Tunggu dulu. Kabanyakan orang-orang Indonesia ternyata tidak menganggap kami sebagai bagian dari Budaya Nusantara. Padahal Ki Semar, Gareng, Petruk, Bagong, lahir, besar, berbakti, kerja siang malam berusaha mensejahterakan warga Kelurahan Karangdampel dan Indonesia. Sayangnya warga Indonesia, kebanyakan, tidak menganggap kami ada.
Terus kami ini apa sebenarnya?
Waktu Sea Games ke 19 tahun 1997 diselenggarakan di Indonesia maskotnya Hanoman. Hanoman sendiri sangat terkenal dalam cerita wayang Ramayana yang jelas-jelas berasal dari budaya India. Kamu pasti bingung, kok bisa budaya India jadi maskot Sea Games yang diselenggarakan di Indonesia. Coba kamu cari di seluruh literature India, kamu pasti ketemu sama Hanoman. Lalu kenapa Hanoman? bukan kami?. Padahal Hanoman masuk kategori Dewa yang bisa buat orang tersinggung. Gak cocok jadi maskot.
Nah, sekarang pertanyaannya, sebenarnya yang diaku sebagai Budaya oleh orang Indonesia, Hanoman yang sudah berstatus Dewa atau kami, para Punokawan, rakyat jelata yang biasa jadi alas kaki di jalanan?.
Terlebih dulu, kamu sudah tau belum apa yang disebut budaya, sebenarnya?. Asal kata Budaya berasal dari bahasa Sanskerta ; Buddhayah-Buddhi-budi-akal. Setiap definisi merujuk kepada kapasitas manusia, lebih tepatnya, segala kemampuan, kualitas di dalam diri manusia yang diwujudkan dalam seperangkat nilai-nilai luhur, kemudian bisa dimanfaatkan untuk kebaikan bersama, lalu diwariskan secara turun temurun. Ketika kapasitas, kualitas manusia, bisa diwariskan kemudian mampu bertahan terhadap berbagai guncangan, cobaan kehidupan, dan tetap mampu membawa kebaikan bagi orang banyak, barulah ia lulus disebut budaya. Bila tidak mampu bertahan, cukuplah kapasitas itu disebut tradisi saja. Nilai manfaatnya kurang. Kebaikan bagi orang banyaknya, relatif.
Jadi membicarakan budaya, sama artinya membicarakan sejarah dari kualitas diri manusia yang mampu bertahan, lagi membawa kebaikan bersama bagi orang banyak. Sejarah menjadi penunjuk, sekaligus menjadi penegas dari budaya.
Oleh karena itu, karena kami sudah jadi Lurah di sebuah kelurahan di Indonesia, berarti kami berempat bisa ditelisik melalui sejarah dari perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Biar yakin, tugasmu sekarang mencatat penjelasan kami mengenai kemampuan Punokawan mendampingi perjalanan Bangsa.
Mengawali catatanmu, pertama barangkali, kamu masih ingat tidak kejadian kecil yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 di Istana Presiden, Yogyakarta? Pada akhir tahun 1948, kami, Ki Semar, mengutus kami, Petruk dan Bagong, berangkat ke Gedung Agung. Istana Negara. Depan Jalan Malioboro sekarang. Tempat yang sekarang jadi saksi sejarah, Ibu Kota Negara pernah berdiri. Kami ke sana supaya bertemu Pak Karno dan Jendral Sudirman.
Hari itu, sejak pagi buta, pesawat-peasawat pembom Mustang dan Kitty Hawk Belanda membombardir Yogyakarta, berusaha merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia. Belanda kembali mengkhianati perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati dalam perjanjian Renville. Pangkalan Udara Maguwo, merupakan sasaran pertama, yang pertama kali dibombardir supaya pertahanan Indonesia runtuh.
Dalam kekalutan bertabur denting menggelegar suara bom, kami jalan telanjang dada menerobos hiruk-pikuk warga masyarakat yang panik. Meski usianya lebih tua, Petruk jalan di belakang, jadi Bagong yang pimpin jalan.
Kamu gak takut, Gong? tanya Petruk. Bom meledak di mana-mana.
Gak, Mas! ngapain takut, jawab Bagong. Wong bom bikinan manusia, kok takut?
Bom kan lain sama bambu runcing, Gong, lanjut Petruk. Bambu runcing hanya bisa bunuh satu orang, bom bisa bunuh 1000 orang, sekaligus.
Bagong garuk-garuk perutnya yang gemuk. Sama kayak perutku ini, kan Mas? perut mas hanya cukup makan satu piring nasi setiap makannya, perutku ini bisa muat seribu, kata Bagong. Lantas apa bedanya? Bambu runcing sama bom? Tujuannnya hanya bikin mati orangkan? Mati disini, mati disana, bedanya apa? Mati sekarang, mati nanti, dimana masalahnya? Bagong menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, Makan sekarang, makan nanti, dimana bedanya?
Kamu pasti berpikir, logika kami gak nyambung! Masalahnya bukan pada logika, tapi dari salah satu budaya mulia kami; Kakak mau dengar nasihat adiknya, adik gak takut kasih nasihat ke kakaknya. Kami, Punokawan, gak kenal kepatuhan buta atau pun urut kacang. Senior selalu menang. Junior selalu jadi anak bawang. Alih-alih begitu, setiap anggota punya hak dan kewajiban yang sama.
Maka sehabis berdiskusi, kami jalan terus, mengelilingi Yogyakarta memastikan warga masyarakat dalam keadaan aman. Mulai dari Gunung Merapi, Tugu Yogya, Panggung Krapyak hingga Laut Selatan semuanya ditempuh jalan kaki. Kamu tau, Kota Yogyakarta terbangun secara misterius disangga oleh empat titik itu. Lucunya, keempatnya membentuk sebuah garis lurus ; simbol harmonisme dan keselarasan kehidupan yang berusaha dijaga oleh Punokawan.
Kami gak perlu memeriksa semua Kota Yogyakarta aman, sepanjang Gunung Merapi, Tugu Yogya, Panggung Krapyak, Laut Selatan, dalam kondisi aman, semua Kota Yogya terkendali. Jadi, lanjut jalanlah kami menuju Gedung Agung tempat tinggal Pak Karno. Presiden pertama Republik Indonesia.
Hei, mau apa kalian? tanya Pasukan Pengawal Presiden, bersenjata lengkap di Gedung Agung. Sekarang kami sudah tiba di depan gerbang, mengabaikan aturan keprotokoleran.
Mau ketemu Presiden, jawab Petruk. Sekarang gantian kakak yang maju jadi juru bicara.
Masa mau ketemu Presiden, telanjang dada sama telanjang kaki, begitu? Pasukan Pengawal menghardik. Kalian tau sopan santun, tidak?
Kami gak kanal sopan santun. Bagong maju, tanpa kompromi. Yang kami tau Ki Semar, Bapak kami, mengutus kami kesini buat ketemu Presiden. Ada dimana, Beliau?
Presiden gak ada waktu ketemu orang gila!
Adegan berikutnya, meski terbilang biadab, kamu catat!
Bagong maju ke depan gerbang Istana, mendobrak gerbang sekali tarik. Pengawal Presiden maju semua melihat aksi kurang ajar Bagong. Petruk nunggu di belakang seperti kantong bolong. Berusaha tidak terpengaruh oleh emosi dan mengalirkannya ke medan grativiasi bumi.
Door.. Door.. Door..
Barangkali Bagong lupa, Belanda sedang membombardir Yogyakarta. Pengawal Presiden mengaktifkan siaga satu. Setiap aksi mencurigakan akan direspon dengan aksi tembak di tempat. Tiga peluru tajam meluncur menuju Bagong. Bagong terus jalan lurus. Perut megal-megol. Tak terpengaruh keadaan.
Bluung..
Peluru pertama membal kena perut Bagong. Gak bisa nembus perut, langsung jatuh ke rumput Istana. Peluru kedua melesat mengarah ke wajah bengep Bagong. Gak berusaha dihindari malah peluru diemplok sama bibir mamble Bagong. Peluru panas dimakan mentah-mentah sama Bagong kayak makan kacang goreng.
Wuuussss, Peluru ketiga meluncur. Teeeep, seketika dijinakkan sama satu tangan kekar Bagong, lanjut dilempar ke si penembak.
Sssaaaaaaaaattt. nyerempet kaki.
Bagong gak berniat menyakiti. Hanya mau bikin si penembak minimal kesakitan, jerit-jerit tak karuan.
Melihat temannya menjerit-jerit keserempet timah panas, para anggota Pengawal Presiden merapatkan barisan. Mereka coba cari cara bagaimana menghadapi penyusup Istana yang ternyata, sakti mandraguna.
Merasa pengawal Presiden jeri, Petruk maju. Petruk pikir mereka sudah tidak punya peluru lagi buat ditembakkan.
Sayangnya, Petruk keliru.
Maju! Keroyok! Hancurkan!
Empat orang pengawal Presiden yang berbadan gempal maju mengeroyok Petruk. Mereka menggunakan semua sumber daya bersiap menghajar Petruk. Ada yang pakai senjata, bambu runcing, pisau, sampe tangan kosong.
Haaaaatt, wuuuuuss, ayunan popor senjata datang ke kepala Petruk dari depan. Petruk ngeles, nunduk, ayunan senjata dihindari.
Cuuuuuuuutttt, Bambu runcing datang bersamaan dari sebelah kiri. Mengincar pinggang. Petruk, sambil nunduk, mengangkat satu tangannya terus ngepit bambu runcing pake tangan kiri.
Slaaaaaaaaaattt. Tidak tanggung-tanggung dari sebelah kanan juga muncul usaha tikaman pisau. Petruk buka tangan, gak takut, terus ngambil tangan pemegang pisau, mencengkram kuat. Masih nunduk, Petruk sudah ngepit bambu di tangan kiri dan nyengkram tangan penyerang pake tangan kanan.
Hening sejenak.
Semua penyerang dan yang diserang, sama-sama berhenti mengambil nafas.
Jooosss, Petruk yang pertama selesai mengambil nafas, lanjut bangkit menghadapi tiga orang sekaligus.
Haaaaaaaaaaaaahhhh, penyerang yang di tengah, masih memegang senjata, menyerang kali kedua. Petruk majuin kepala, nantangin popor senjata yang datang mendekat.
Praaaakkkk.. Tuuutttt
Hidung mancung Petruk menghantam popor. Bukan hidung Petruk yang patah malahan senjata yang patah. Hidung mancung Petruk, rupanya sakti juga. Tangan yang megang senjata sampe nyeri ditabrak hidungnya. Gak berhenti sampai disitu, Petruk lanjut setengah melompat, matok jidat si pengawal pemegang senjata, tanpa melepas jepitan dua tangan. Tuut.
Jidat kepentok hidung Petruk, si pengawal presiden terhuyung-huyung, kunang-kunang, kayak ditabrak lokomotif. Mubeng-mubeng kayak burung camar, si pengawal tumbang di rumput.
Sehabis merobohkan penyerang pertama, tangan Petruk masih ngepit bambu sama tangan. Pengawal yang memegang bambu, berusaha ngangkat kakinya menendang. Petruk ketawa-tawa, narik bambu supaya si penendang kehilangan keseimbangan, terus nubruk badan. Terang saja, sekali ditarik Petruk, laki-laki malang, langsung jatuh ke dalam pelukan, sejenak melihat kekonyolan wajah dan hidung mancung yang abnormal, terus.. Tuut dipatok sambil dipeluk sama pelukan Petruk yang gak romantis, dia jatuh pingsan.
Penyerang yang megang pisau, begidik ketakutan. Ngeeeekkk, Petruk meremas tangannya. Ampuuuuuuunn. Teriakan ketakutan membahana. Tuuuttt, gak perlu dipatuk, dia pingsan mendengar suara tuut Petruk.
Tiga orang sudah terkapar di rumput. Tinggal satu orang lagi berbadan gempal. Gak percaya teman-temannya, tentara andalan, bisa kalah semua sama Tuuut, dia mencoba gelar langkah seribu. Berlari sejadi-jadinya.
Mencoba lari, pengawal gempal malah tubrukan sama Bagong. Gak tahan ngeliat rupa aneh Bagong, si pengawal berusaha lari tapi Ngeeekk, diangkat sama Bagong pake satu tangan.
Pergi! Panggil Presiden, sama Panglima Tentara! Suruh kesini!.. Duuuk..
Bagong nendang pantat si pengawal terakhir, buat si pengawal lari tunggang langgang masuk Gedung Agung nabrak pintu besar di depan. Bisa bikin goro-goro dalam Istana Presiden, Petruk maju ke halaman Istana berdiri sejajar Bagong, nunggu dua orang yang tadi dipanggil.
Tak lama, Presiden dan Panglima Tentara datang. Presiden bertanya pertama. Kalian berdua, siapa?, kata Presiden. Nada suaranya penuh wibawa. Presiden turun menggunakan peci hitam berjas putih-putih, sedang Panglima turun menggunakan blangkon dan mantel panjang.
Petruk menyampaikan maksud kedatangan.
Mohon maaf sebelumnya Presiden, Panglima, Kami berdua diminta Ki Semar hanya boleh berbicara di Gedung Kanan, bukan di halaman. Kata Ki Semar gak sopan nerima tamu di halaman rumah.
Presiden menatap kami. Sadar, meski tampilan kami acak-acakan, kami masih menjunjung tinggi adab. Presiden Soekarno memandang penuh hormat, Beliau minta maaf terlebih dahulu sebelum mengajak kami masuk ke Gedung Kanan, Gedung Agung. Gedung Kanan terletak di sebelah kanan Istana Presiden Yogyakarta dikelilingi empat wisma ; Indhraprastra, Sawojajar, Bumiretawu, dan Saptapratala. Karena letaknya yang strategis, kawasan gedung ini biasa digunakan rapat-rapat strategis.
Tugasmu sekarang catat omongan Petruk, waktu bicara di Gedung Kanan!
Yang Mulia Presiden Indonesia, Panglima Tertinggi Tentara, Perdana Mentri dan Para Mentri. Ayah kami, Ki Semar, menghaturkan salam hormat kepada Baginda sekalian. Bukan maksud kami berdua mengadakan goro-goro di dalam Istana Presiden. Kami hanya sekedar pelayan. Rakyat kecil. Gak pantas buat goro-goro
Goro-goro hanya boleh dilakonkan setelah segala upaya dialogis gagal. Demikian pula, kami tidak diutus kemari oleh Ki Semar bila upaya dialogis antara dua pemerintah telah dilakukan. Kami pamong praja Kelurahan Karangdampel hanya orang biasa. Tidak sebanding dengan kebesaran Bapak-Bapak sekalian. Tapi, tugas pemerintah yang terutama mendengarkan suara rakyat. Karena, vox populi vox dei, suara rakyat- suara Tuhan.
Menghadapi serangan Belanda pagi ini, Ki Semar menawarkan solusi yang barangkali bisa dipertimbangkan oleh Pemimpin Republik. Ki Semar meminta Presiden Soekarno tetap berada di Istana beserta seluruh perangkat Pemerintahan. Kami, Petruk Dawala, bertugas mendampingi dan melayani Bapak-Ibu sekalian. Alasan Ki Semar meminta Presiden Republik tetap berada disini adalah sebagai upaya De Jure mempertahankan kedaulatan Negara. Adalah penting, kita, sebagai Negara yang baru merdeka, menghargai pengakuan Internasional akan kemerdekaan Indonesia. Komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membentuk KTN dalam rangka mengatasi penyerahan kedaulatan Indonesia harus kita hargai sebagai sebuah upaya positif. Walaupun Belanda sudah jelas-jelas melanggar perjanjian, simpati dunia Internasional hanya akan datang bila melihat pemerintah Indonesia bersikap kooperatif terhadap kebiadaban yang terjadi.
Meskipun langkah damai harus dikedepankan, karena Belanda, untuk kali kedua menghianati gencatan senjata, Ki Semar juga menyarankan agar aksi perlawanan bersenjata tetap digelar. Adik kami, Bagong, diminta mendampingi Panglima Soedirman mengadakan perang geriliya di hutan. Perang, memang terlihat kontras di depan mata, apalagi melihat tindakan kooperatif Presiden. Namun, perang atau goro-goro setelah tindakan diplomatis dilakukan bisa dibenarkan sebagai upaya mempertahankan Negara secara De Fakto. Perang ini merupakan, upaya mempertahankan diri dalam upaya mempertahankan wilayah, pemerintah dan kemerdekaan rakyat. Perang geriliya yang akan dilakukan Panglima bersama tentara, rakyat dan Bagong, bukan untuk menumpahkan darah. Hanya upaya mempertahankan ketiga unsur pembentuk Negara Merdeka. Tidak lebih.
Kamu berhenti sebentar nyatetnya!
Kamu boleh beranggapan Petruk, hanya seorang pamong praja biasa. Namun, kadang-kadang pembicaraannya memiliki mutu.
Lanjut lagi!
Petruk biasa jadi juru bicara Ki Semar yang menyampaikan pesan langsung kepada para petinggi. Presiden saja langsung mempertimbangkan usulan Ki Semar yang disampaikan begitu fasih oleh Petruk, dan menyetujuinya. Panglima Soedirman, juga seketika bersiap, merapatkan mantel yang melindunginya dari sakit batuk yang dideritanya dan menulis sesuatu pada secarik kertas.
Bagong, kesini!, Panglima Soedirman memanggil. Bagong menghampiri penuh hormat seperti layaknya pelayan. Bagong diminta mengawalkukan? Coba baca surat perintah ini! Sudah pantas belum disampaikan kepada rakyat.
Bagong membaca. Bibir memble komat-kamit gak karuan sebelum menunduk kembali menghormat. Hormat hamba Panglima, sebuah surat perintah sudah selayaknya tertulis lugas, dan jelas seperti ini. Hamba setuju. Bagong memberikan persetujuan.
Mendapat persetujuan, Panglima Soedirman maju menghampiri Presiden dan meminta persetujuan pada secarik surat yang dituliskannya. Presiden Soekarno mengambil kaca mata bacanya, memeriksa sejenak dan langsung menandatangani.
Demikianlah sejarah tertulis. Kamu bisa membacanya di buku sejarah! Panglima Soedirman masuk hutan melakukan pertempuran panjang di hutan. Sedangkan, Presiden Soekarno bertahan di Istana, membiarkan dirinya tertangkap. Pada akhirnya perang di dalam negeri dan tindakan kooperatif Presiden Soekarno menerbitkan simpati dunia internasional yang membantu Dunia mengecam dan memaksa Belanda untuk menyerahkan kemerdekaan, sepenuhnya, pada Indonesia.
Kami mendampingi kedua tokoh besar tersebut. Seperti karakter Budaya kami yang selalu ceria dan menerbitkan tawa. Punokawan, menemani, melayani perjalanan sejarah Bangsa, hingga akhirnya tiba di pintu gerbang kemerdekaan yang sejati. Secarik kertas yang ditulis tadi oleh Pak Dirman, juga harus kamu catat, karena mengandung mentalitas perjuangan Bangsa.
Surat Perintah tersebut berbunyi ;
PERINTAH KILAT
1. KITA TELAH DISERANG.
2. PADA TANGGAL 19 DESEMBER 1948 ANGKATAN PERANG BELANDA MENYERANG KOTA YOGYAKARTA DAN LAPANGAN TERBANG MAGUWO.
3. PEMERINTAH BELANDA TELAH MEMBATALKAN PERSETUJUAN GENCATAN SENJATA.
4. SEMUA ANGKATAN PERANG MENJALANKAN RENCANA YANG TELAH DITETAPKAN UNTUK MENGHADAPI SERANGAN BELANDA.
Surat Perintah Kilat tadi ditulis, dilaksanakan sampai berhasil, didampingi oleh kami. Kami sendiri tak pernah tertulis di buku sejarah tapi jiwa, karakter kami hidup dalam kisah tadi. Sekarang, setelah mendengar kisah kami tadi, kamu juga perlu mencatat ceritanya kami, Gareng. Pada tanggal 14 Januari 2016, Gareng mulai menari-nari penuh semangat di depan Plaza Sarinah-Thamrin. Dengan mata Gareng yang juling, tangan yang melengkung, dan kaki yang pincang, Gareng seolah mereka ulang adegan tarian topeng di video klip DMassive, Jangan Menyerah.
"Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi"
Bedanya dengan video klip Dmassive, Gareng menari-nari seorang diri, memancing tawa orang banyak namun menarik perhatian Polisi. Orang yang geli melihat bentuk fisik Gareng, hanya melihatnya sekilas, tertawa sinis dan pergi. Sebaliknya Polisi, bersiap menggelandang Gareng karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Buuum..
Mendadak, tiga ledakan beruntun terjadi. Gareng masih menari. Beberapa orang bersenjata, menaburkan granat ke beberapa titik berusaha meledakkan fasilitas umum. Orang yang enek melihat tarian Gareng dan pergi berhasil lolos dari maut. Sedangkan Polisi yang semula hendak menangkap Gareng, kini berbalik, gak jadi menangkap, sekarang menghadapi gerombolan bersenjata.
Berhenti lagi nyatetnya!
Dalam situasi genting tersebut, kamu pasti tertawa geli atau heran melihat Gareng, masih saja menari berputar-putar berusaha mengelilingi masyarakat yang terkejut dengan ledakan. Ada motivasi Gareng yang bisa kamu catet kembali!
"Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik."
Gareng lanjut menari, berputar-putar.
Doorr.. Door..
Tembakan susulan datang dari beberapa arah. Dilepaskan oleh gerombolan bersenjata. Gareng menghalau semuanya dengan tarian berputar menyelamatkan tukang sate, ibu-ibu yang berselfie ria dan banyak orang tak bersalah lainnya. Selain itu, tingkah lucu Gareng membuat orang-orang tertawa, membantu mereka mengatasi ketakutan akibat teror tidak bertanggung jawab.
Ternyata bukan hanya orang biasa yang tertawa. Gerombolan bersenjata juga ikut-ikutan tertawa. Salah seorang diantara mereka, yang memegang granat, terpukau melihat orang pincang, bermata juling menari-nari di dekat lokasi ledakan. Orang yang memegang granat sampai tertawa terpingkal-pingkal melihat tarian Gareng yang berantakan.
Ha.. ha.. ha prusssuuuttt. Asyik tertawa, granat di tangannya malah merosot lalu meledak di tempat
Buuuum
Gareng lanjut menari. Tak lama kemudian, Gareng melihat ada dua orang gerombolan di seberang Plaza Sarinah menyiapkan serangan susulan. Gareng ambil sendal, lempar langsung ke seberang, kena mata salah seorang yang bawa granat.
Buuum. Meledak juga. Polisi maju mengambil alih keadaan. Gareng sendiri ngilang di tengah kerumunan orang banyak. Gak ada yang pernah bisa mengabadikan kami, tapi, sifat, ketenangan dan kecerian kami menghadapi terror hadir di Sarinah, menjaga orang Indonesia supaya bisa berteriak keras ; Kami Tidak Takut.
Terakhir, Kami, Ki Semar. Kamu harus menggaris bawahi, peran Ki Semar yang paling sepele dari semua Punokawan. Tidak seperti Bagong, Petruk, Gareng yang heroik. Peran Semar dalam Budaya Indonesia hanya hadir di perlombaan stand up comedynya Raditya Dika. Walaupun jelas-jelas tidak lucu, penonton pada tertawa gembira saat melihat Semar naik panggung. Hebatnya lagi, terpingkal-pingkalnya penonton terjadi bahkan saat Ki Semar belum ngomong apa-apa.
Nah, sekarang tugas terakhirmu mencatat stand up comedy Semar di atas panggung, kalo perlu dicetak tebal!
Kata Semar ;
Ngger ( Nak )
Akeh wong ijir, akeh wong cethil ( banyak orang kikir, banyak orang bakhil)
Sing eman ora keduman ( si hemat tidak mendapat bagian)
Sing keduman ora eman ( yang mendapat bagian tidak berhemat)
Akeh wong mbambung ( banyak orang berulah dungu)
Akeh wong limbung ( banyak orang ling-lung)
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka ( sebentar lagi, tibalah jaman yang terbalik)
Ngger..
Jaman sekarang sudah kebalik.
Katanya Indonesia mau jadi Bangsa Unggulan.
Bisa bicara di pentas dunia.
Menaklukan Masyarakat Ekonomi Asean.
Lha, sekarang gimana mau menaklukan?
Wong, menghargai budaya sendiri aja gak bisa?
Bukannya Bangsa yang bisa menghargai Budayanya ..
Baru bisa dihargai Bangsa lain?
Alih-alih menghargai Budaya.
Indonesia dan Kamu hanya bisa berdebat soal Budaya.
Kelakuanmu persis kayak anggota DPR.
Bisanya berdebat soal, Demi Rakyat! Demi Rakyat!
Tapi gak pernah menghargai Rakyat.
Hanya bisa memperjuangkan kepentingan , Aku! Aku! Aku!
Apa kamu mau ikut mereka?
Bersikap egois soal budaya?
Kamu hanya bisa cari tau sejarah Budaya,
asal muasal katanya, definisnya,
Terus kamu perdebatkan.
Tapi gak pernah menghargai Budaya?
Yang manfaatnya nyata menolong Bangsa ini,
Menghadapi jaman pra sejarah, sejarah, kerajaan,
penjajahan, revolusi sampai jaman modern,
Membantu manusianya hidup dengan moral,
Dengan akhlak.
Lha, kalo terus-terusan berdebat,
Tanpa pernah bisa menghargai Budaya sendiri.
Nanti dicolong satu-satu budayamu sama Bangsa lain, Ngger!.
Terus, kalo sama kami, para Punokawan, kamu teruskan debatnya
Kamu debat, kami Budaya Indonesia atau bukan..
Siap-siap aja ya, Ngger
Lihat kami nanti di televisi main bareng sama Upin, Ipin.
Tamat.
Aja Adigang, Adigung, Adiguna ( Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti)
Ki Semar
Susah jadi Punokawan jaman sekarang.
Kamu gak salah ngomongkan?
Kamu hanya dapet tugas nyatet perjalanan kami berempat. Para Punokawan. Gak lebih, gak kurang. Bukan tugasmu ngasih penilaian. Susah, mudah, jadi urusan kami para Punokawan. Bukan kamu!
Kenapa kamu jadi susah sendiri memikirkan kami? Barangkali karena kamu masih manusia dan manusia sukanya lupa. Makanya ingat bisa jadi obat mujarab dari segala lupa. Ingat bisa ngobatin kamu dari pikiran negatif-mu sendiri yang bilang, susah jadi Punokawan jaman sekarang.
Makanya sekarang kamu perlu kami ingatkan, soal siapa sebenarnya Punokawan.
Punokawan, kalo kamu lupa, terdiri dari kami berempat ; Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Mengenal Punokawan, pertama kamu harus kenal kami, Ki Semar. Sang Pemimpin. Usia paling tua. Tubuh gemuk, jambul runcing. Kami sudah berabad-abad jadi Lurah di Kelurahan Karangdempel. Kelurahan Karangdempel berasal dari dua kata yang bisa dimaknai ; Karang artinya gersang, dempel artinya keteguhan jiwa. Jadi sebagai Lurah, kami punya tugas jadi pelayan masyarakat Karangdempel biar tetap punya keteguhan jiwa di tengah kehidupan duniawi yang gersang.
Kedua kamu harus kenal kami, Gareng. Nama lengkap Nala Gareng. Mata juling, tangan melengkung, kaki pincang. Nama lain kami Pancalpamor atau menolak godaan duniawi. Bukan karena bentuk fisik udah melengkung terus kami menolak kehidupan duniawi, semua orang juga pasti bisa saat keadaannya demikian. Tapi kami selalu mengajarkan kepada warga Karangdempel, kehidupan duniawi, kalo dilihat baik-baik, bentuknya juling, melengkung dan pincang. Adalah sebuah kesia-siaan besar, menghabiskan segala daya upaya mengejar sesuatu yang juling, melengkung dan pincang.
Ketiga, kami, Petruk. Dawala. Si Kantong Bolong. Hidung panjang, kulit hitam eksotis. Saking bolongnya kantong, konon kabarnya kami tidak punya apa-apa di rumah. Ajaibnya walau gak punya apa-apa, saat diminta pertolongan kami selalu ikhlas. Gak pernah ngedumel, apalagi cuap-cuap pamer.
Terakhir, kami,Bagong. Si bungsu. Anak bungsu Ki Semar yang sama-sama melayani warga Kelurahan Karangdempel. Badan bulat, obesitas, mata lebar, bibir memble. Karena memble, kami yang paling vokal diantara Punakawan yang lain. Kami orangnya blak-blakan, terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling. Cocok jadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi Kelurahan Karangdempel. Masing-masing dari kami punya tugas pokok dan fungsinya masing-masing saat melayani masyarakat Karangdampel.
Setelah kamu kenal siapa kami, sekarang giliranmu menjawab pertanyaan, Dari mana asal Punokawan? dan kami termasuk dari golongan Budaya Bangsa Indonesia, atau bukan?
Banyak orang Indonesia, waktu lagi heboh-hebohnya serial Mahabharata di stasiun televisi, berusaha mencari kami. Sayangnya mereka tidak menemukan kami. Yang mereka temukan hanya artis-artis India berbadan tinggi besar, berotot, tampan, berhidung mancung seperti Shaheer Sheikh.
Terus di mana Punokawan? Badan kami persis badan orang pribumi, wajah kami malah lebih jelek dari kebanyakan pribumi. Tampilan kami juga amat tidak menjual. Jalan pikiran kami gak istimewa, sama persis seperti sebagian besar pikiran orang pribumi, yang, ngomongnya gak jauh-jauh dari pemenuhan tangga pertama dari tangga kebutuhan Maslow ; sandang, pangan, papan. Barangkali, karena postur tubuh yang jauh dari menjual, ditambah pikiran yang cethek, gak intelek, kami tidak pernah dimasukkan ke dalam budaya Mahabharata orang India. Lagipula kami juga tidak pernah lahir di India, kami lahir di Karangdempel, Indonesia.
Lalu, karena Punokawan bukan termasuk budaya India dan lahir di Indonesia, kamu pikir apa orang Indonesia atau kelurahan Karangdempel mengakui kami sebagai Budaya? Tunggu dulu. Kabanyakan orang-orang Indonesia ternyata tidak menganggap kami sebagai bagian dari Budaya Nusantara. Padahal Ki Semar, Gareng, Petruk, Bagong, lahir, besar, berbakti, kerja siang malam berusaha mensejahterakan warga Kelurahan Karangdampel dan Indonesia. Sayangnya warga Indonesia, kebanyakan, tidak menganggap kami ada.
Terus kami ini apa sebenarnya?
Waktu Sea Games ke 19 tahun 1997 diselenggarakan di Indonesia maskotnya Hanoman. Hanoman sendiri sangat terkenal dalam cerita wayang Ramayana yang jelas-jelas berasal dari budaya India. Kamu pasti bingung, kok bisa budaya India jadi maskot Sea Games yang diselenggarakan di Indonesia. Coba kamu cari di seluruh literature India, kamu pasti ketemu sama Hanoman. Lalu kenapa Hanoman? bukan kami?. Padahal Hanoman masuk kategori Dewa yang bisa buat orang tersinggung. Gak cocok jadi maskot.
Nah, sekarang pertanyaannya, sebenarnya yang diaku sebagai Budaya oleh orang Indonesia, Hanoman yang sudah berstatus Dewa atau kami, para Punokawan, rakyat jelata yang biasa jadi alas kaki di jalanan?.
Terlebih dulu, kamu sudah tau belum apa yang disebut budaya, sebenarnya?. Asal kata Budaya berasal dari bahasa Sanskerta ; Buddhayah-Buddhi-budi-akal. Setiap definisi merujuk kepada kapasitas manusia, lebih tepatnya, segala kemampuan, kualitas di dalam diri manusia yang diwujudkan dalam seperangkat nilai-nilai luhur, kemudian bisa dimanfaatkan untuk kebaikan bersama, lalu diwariskan secara turun temurun. Ketika kapasitas, kualitas manusia, bisa diwariskan kemudian mampu bertahan terhadap berbagai guncangan, cobaan kehidupan, dan tetap mampu membawa kebaikan bagi orang banyak, barulah ia lulus disebut budaya. Bila tidak mampu bertahan, cukuplah kapasitas itu disebut tradisi saja. Nilai manfaatnya kurang. Kebaikan bagi orang banyaknya, relatif.
Jadi membicarakan budaya, sama artinya membicarakan sejarah dari kualitas diri manusia yang mampu bertahan, lagi membawa kebaikan bersama bagi orang banyak. Sejarah menjadi penunjuk, sekaligus menjadi penegas dari budaya.
Oleh karena itu, karena kami sudah jadi Lurah di sebuah kelurahan di Indonesia, berarti kami berempat bisa ditelisik melalui sejarah dari perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Biar yakin, tugasmu sekarang mencatat penjelasan kami mengenai kemampuan Punokawan mendampingi perjalanan Bangsa.
Mengawali catatanmu, pertama barangkali, kamu masih ingat tidak kejadian kecil yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 di Istana Presiden, Yogyakarta? Pada akhir tahun 1948, kami, Ki Semar, mengutus kami, Petruk dan Bagong, berangkat ke Gedung Agung. Istana Negara. Depan Jalan Malioboro sekarang. Tempat yang sekarang jadi saksi sejarah, Ibu Kota Negara pernah berdiri. Kami ke sana supaya bertemu Pak Karno dan Jendral Sudirman.
Hari itu, sejak pagi buta, pesawat-peasawat pembom Mustang dan Kitty Hawk Belanda membombardir Yogyakarta, berusaha merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia. Belanda kembali mengkhianati perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati dalam perjanjian Renville. Pangkalan Udara Maguwo, merupakan sasaran pertama, yang pertama kali dibombardir supaya pertahanan Indonesia runtuh.
Dalam kekalutan bertabur denting menggelegar suara bom, kami jalan telanjang dada menerobos hiruk-pikuk warga masyarakat yang panik. Meski usianya lebih tua, Petruk jalan di belakang, jadi Bagong yang pimpin jalan.
Kamu gak takut, Gong? tanya Petruk. Bom meledak di mana-mana.
Gak, Mas! ngapain takut, jawab Bagong. Wong bom bikinan manusia, kok takut?
Bom kan lain sama bambu runcing, Gong, lanjut Petruk. Bambu runcing hanya bisa bunuh satu orang, bom bisa bunuh 1000 orang, sekaligus.
Bagong garuk-garuk perutnya yang gemuk. Sama kayak perutku ini, kan Mas? perut mas hanya cukup makan satu piring nasi setiap makannya, perutku ini bisa muat seribu, kata Bagong. Lantas apa bedanya? Bambu runcing sama bom? Tujuannnya hanya bikin mati orangkan? Mati disini, mati disana, bedanya apa? Mati sekarang, mati nanti, dimana masalahnya? Bagong menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, Makan sekarang, makan nanti, dimana bedanya?
Kamu pasti berpikir, logika kami gak nyambung! Masalahnya bukan pada logika, tapi dari salah satu budaya mulia kami; Kakak mau dengar nasihat adiknya, adik gak takut kasih nasihat ke kakaknya. Kami, Punokawan, gak kenal kepatuhan buta atau pun urut kacang. Senior selalu menang. Junior selalu jadi anak bawang. Alih-alih begitu, setiap anggota punya hak dan kewajiban yang sama.
Maka sehabis berdiskusi, kami jalan terus, mengelilingi Yogyakarta memastikan warga masyarakat dalam keadaan aman. Mulai dari Gunung Merapi, Tugu Yogya, Panggung Krapyak hingga Laut Selatan semuanya ditempuh jalan kaki. Kamu tau, Kota Yogyakarta terbangun secara misterius disangga oleh empat titik itu. Lucunya, keempatnya membentuk sebuah garis lurus ; simbol harmonisme dan keselarasan kehidupan yang berusaha dijaga oleh Punokawan.
Kami gak perlu memeriksa semua Kota Yogyakarta aman, sepanjang Gunung Merapi, Tugu Yogya, Panggung Krapyak, Laut Selatan, dalam kondisi aman, semua Kota Yogya terkendali. Jadi, lanjut jalanlah kami menuju Gedung Agung tempat tinggal Pak Karno. Presiden pertama Republik Indonesia.
Hei, mau apa kalian? tanya Pasukan Pengawal Presiden, bersenjata lengkap di Gedung Agung. Sekarang kami sudah tiba di depan gerbang, mengabaikan aturan keprotokoleran.
Mau ketemu Presiden, jawab Petruk. Sekarang gantian kakak yang maju jadi juru bicara.
Masa mau ketemu Presiden, telanjang dada sama telanjang kaki, begitu? Pasukan Pengawal menghardik. Kalian tau sopan santun, tidak?
Kami gak kanal sopan santun. Bagong maju, tanpa kompromi. Yang kami tau Ki Semar, Bapak kami, mengutus kami kesini buat ketemu Presiden. Ada dimana, Beliau?
Presiden gak ada waktu ketemu orang gila!
Adegan berikutnya, meski terbilang biadab, kamu catat!
Bagong maju ke depan gerbang Istana, mendobrak gerbang sekali tarik. Pengawal Presiden maju semua melihat aksi kurang ajar Bagong. Petruk nunggu di belakang seperti kantong bolong. Berusaha tidak terpengaruh oleh emosi dan mengalirkannya ke medan grativiasi bumi.
Door.. Door.. Door..
Barangkali Bagong lupa, Belanda sedang membombardir Yogyakarta. Pengawal Presiden mengaktifkan siaga satu. Setiap aksi mencurigakan akan direspon dengan aksi tembak di tempat. Tiga peluru tajam meluncur menuju Bagong. Bagong terus jalan lurus. Perut megal-megol. Tak terpengaruh keadaan.
Bluung..
Peluru pertama membal kena perut Bagong. Gak bisa nembus perut, langsung jatuh ke rumput Istana. Peluru kedua melesat mengarah ke wajah bengep Bagong. Gak berusaha dihindari malah peluru diemplok sama bibir mamble Bagong. Peluru panas dimakan mentah-mentah sama Bagong kayak makan kacang goreng.
Wuuussss, Peluru ketiga meluncur. Teeeep, seketika dijinakkan sama satu tangan kekar Bagong, lanjut dilempar ke si penembak.
Sssaaaaaaaaattt. nyerempet kaki.
Bagong gak berniat menyakiti. Hanya mau bikin si penembak minimal kesakitan, jerit-jerit tak karuan.
Melihat temannya menjerit-jerit keserempet timah panas, para anggota Pengawal Presiden merapatkan barisan. Mereka coba cari cara bagaimana menghadapi penyusup Istana yang ternyata, sakti mandraguna.
Merasa pengawal Presiden jeri, Petruk maju. Petruk pikir mereka sudah tidak punya peluru lagi buat ditembakkan.
Sayangnya, Petruk keliru.
Maju! Keroyok! Hancurkan!
Empat orang pengawal Presiden yang berbadan gempal maju mengeroyok Petruk. Mereka menggunakan semua sumber daya bersiap menghajar Petruk. Ada yang pakai senjata, bambu runcing, pisau, sampe tangan kosong.
Haaaaatt, wuuuuuss, ayunan popor senjata datang ke kepala Petruk dari depan. Petruk ngeles, nunduk, ayunan senjata dihindari.
Cuuuuuuuutttt, Bambu runcing datang bersamaan dari sebelah kiri. Mengincar pinggang. Petruk, sambil nunduk, mengangkat satu tangannya terus ngepit bambu runcing pake tangan kiri.
Slaaaaaaaaaattt. Tidak tanggung-tanggung dari sebelah kanan juga muncul usaha tikaman pisau. Petruk buka tangan, gak takut, terus ngambil tangan pemegang pisau, mencengkram kuat. Masih nunduk, Petruk sudah ngepit bambu di tangan kiri dan nyengkram tangan penyerang pake tangan kanan.
Hening sejenak.
Semua penyerang dan yang diserang, sama-sama berhenti mengambil nafas.
Jooosss, Petruk yang pertama selesai mengambil nafas, lanjut bangkit menghadapi tiga orang sekaligus.
Haaaaaaaaaaaaahhhh, penyerang yang di tengah, masih memegang senjata, menyerang kali kedua. Petruk majuin kepala, nantangin popor senjata yang datang mendekat.
Praaaakkkk.. Tuuutttt
Hidung mancung Petruk menghantam popor. Bukan hidung Petruk yang patah malahan senjata yang patah. Hidung mancung Petruk, rupanya sakti juga. Tangan yang megang senjata sampe nyeri ditabrak hidungnya. Gak berhenti sampai disitu, Petruk lanjut setengah melompat, matok jidat si pengawal pemegang senjata, tanpa melepas jepitan dua tangan. Tuut.
Jidat kepentok hidung Petruk, si pengawal presiden terhuyung-huyung, kunang-kunang, kayak ditabrak lokomotif. Mubeng-mubeng kayak burung camar, si pengawal tumbang di rumput.
Sehabis merobohkan penyerang pertama, tangan Petruk masih ngepit bambu sama tangan. Pengawal yang memegang bambu, berusaha ngangkat kakinya menendang. Petruk ketawa-tawa, narik bambu supaya si penendang kehilangan keseimbangan, terus nubruk badan. Terang saja, sekali ditarik Petruk, laki-laki malang, langsung jatuh ke dalam pelukan, sejenak melihat kekonyolan wajah dan hidung mancung yang abnormal, terus.. Tuut dipatok sambil dipeluk sama pelukan Petruk yang gak romantis, dia jatuh pingsan.
Penyerang yang megang pisau, begidik ketakutan. Ngeeeekkk, Petruk meremas tangannya. Ampuuuuuuunn. Teriakan ketakutan membahana. Tuuuttt, gak perlu dipatuk, dia pingsan mendengar suara tuut Petruk.
Tiga orang sudah terkapar di rumput. Tinggal satu orang lagi berbadan gempal. Gak percaya teman-temannya, tentara andalan, bisa kalah semua sama Tuuut, dia mencoba gelar langkah seribu. Berlari sejadi-jadinya.
Mencoba lari, pengawal gempal malah tubrukan sama Bagong. Gak tahan ngeliat rupa aneh Bagong, si pengawal berusaha lari tapi Ngeeekk, diangkat sama Bagong pake satu tangan.
Pergi! Panggil Presiden, sama Panglima Tentara! Suruh kesini!.. Duuuk..
Bagong nendang pantat si pengawal terakhir, buat si pengawal lari tunggang langgang masuk Gedung Agung nabrak pintu besar di depan. Bisa bikin goro-goro dalam Istana Presiden, Petruk maju ke halaman Istana berdiri sejajar Bagong, nunggu dua orang yang tadi dipanggil.
Tak lama, Presiden dan Panglima Tentara datang. Presiden bertanya pertama. Kalian berdua, siapa?, kata Presiden. Nada suaranya penuh wibawa. Presiden turun menggunakan peci hitam berjas putih-putih, sedang Panglima turun menggunakan blangkon dan mantel panjang.
Petruk menyampaikan maksud kedatangan.
Mohon maaf sebelumnya Presiden, Panglima, Kami berdua diminta Ki Semar hanya boleh berbicara di Gedung Kanan, bukan di halaman. Kata Ki Semar gak sopan nerima tamu di halaman rumah.
Presiden menatap kami. Sadar, meski tampilan kami acak-acakan, kami masih menjunjung tinggi adab. Presiden Soekarno memandang penuh hormat, Beliau minta maaf terlebih dahulu sebelum mengajak kami masuk ke Gedung Kanan, Gedung Agung. Gedung Kanan terletak di sebelah kanan Istana Presiden Yogyakarta dikelilingi empat wisma ; Indhraprastra, Sawojajar, Bumiretawu, dan Saptapratala. Karena letaknya yang strategis, kawasan gedung ini biasa digunakan rapat-rapat strategis.
Tugasmu sekarang catat omongan Petruk, waktu bicara di Gedung Kanan!
Yang Mulia Presiden Indonesia, Panglima Tertinggi Tentara, Perdana Mentri dan Para Mentri. Ayah kami, Ki Semar, menghaturkan salam hormat kepada Baginda sekalian. Bukan maksud kami berdua mengadakan goro-goro di dalam Istana Presiden. Kami hanya sekedar pelayan. Rakyat kecil. Gak pantas buat goro-goro
Goro-goro hanya boleh dilakonkan setelah segala upaya dialogis gagal. Demikian pula, kami tidak diutus kemari oleh Ki Semar bila upaya dialogis antara dua pemerintah telah dilakukan. Kami pamong praja Kelurahan Karangdampel hanya orang biasa. Tidak sebanding dengan kebesaran Bapak-Bapak sekalian. Tapi, tugas pemerintah yang terutama mendengarkan suara rakyat. Karena, vox populi vox dei, suara rakyat- suara Tuhan.
Menghadapi serangan Belanda pagi ini, Ki Semar menawarkan solusi yang barangkali bisa dipertimbangkan oleh Pemimpin Republik. Ki Semar meminta Presiden Soekarno tetap berada di Istana beserta seluruh perangkat Pemerintahan. Kami, Petruk Dawala, bertugas mendampingi dan melayani Bapak-Ibu sekalian. Alasan Ki Semar meminta Presiden Republik tetap berada disini adalah sebagai upaya De Jure mempertahankan kedaulatan Negara. Adalah penting, kita, sebagai Negara yang baru merdeka, menghargai pengakuan Internasional akan kemerdekaan Indonesia. Komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membentuk KTN dalam rangka mengatasi penyerahan kedaulatan Indonesia harus kita hargai sebagai sebuah upaya positif. Walaupun Belanda sudah jelas-jelas melanggar perjanjian, simpati dunia Internasional hanya akan datang bila melihat pemerintah Indonesia bersikap kooperatif terhadap kebiadaban yang terjadi.
Meskipun langkah damai harus dikedepankan, karena Belanda, untuk kali kedua menghianati gencatan senjata, Ki Semar juga menyarankan agar aksi perlawanan bersenjata tetap digelar. Adik kami, Bagong, diminta mendampingi Panglima Soedirman mengadakan perang geriliya di hutan. Perang, memang terlihat kontras di depan mata, apalagi melihat tindakan kooperatif Presiden. Namun, perang atau goro-goro setelah tindakan diplomatis dilakukan bisa dibenarkan sebagai upaya mempertahankan Negara secara De Fakto. Perang ini merupakan, upaya mempertahankan diri dalam upaya mempertahankan wilayah, pemerintah dan kemerdekaan rakyat. Perang geriliya yang akan dilakukan Panglima bersama tentara, rakyat dan Bagong, bukan untuk menumpahkan darah. Hanya upaya mempertahankan ketiga unsur pembentuk Negara Merdeka. Tidak lebih.
Kamu berhenti sebentar nyatetnya!
Kamu boleh beranggapan Petruk, hanya seorang pamong praja biasa. Namun, kadang-kadang pembicaraannya memiliki mutu.
Lanjut lagi!
Petruk biasa jadi juru bicara Ki Semar yang menyampaikan pesan langsung kepada para petinggi. Presiden saja langsung mempertimbangkan usulan Ki Semar yang disampaikan begitu fasih oleh Petruk, dan menyetujuinya. Panglima Soedirman, juga seketika bersiap, merapatkan mantel yang melindunginya dari sakit batuk yang dideritanya dan menulis sesuatu pada secarik kertas.
Bagong, kesini!, Panglima Soedirman memanggil. Bagong menghampiri penuh hormat seperti layaknya pelayan. Bagong diminta mengawalkukan? Coba baca surat perintah ini! Sudah pantas belum disampaikan kepada rakyat.
Bagong membaca. Bibir memble komat-kamit gak karuan sebelum menunduk kembali menghormat. Hormat hamba Panglima, sebuah surat perintah sudah selayaknya tertulis lugas, dan jelas seperti ini. Hamba setuju. Bagong memberikan persetujuan.
Mendapat persetujuan, Panglima Soedirman maju menghampiri Presiden dan meminta persetujuan pada secarik surat yang dituliskannya. Presiden Soekarno mengambil kaca mata bacanya, memeriksa sejenak dan langsung menandatangani.
Demikianlah sejarah tertulis. Kamu bisa membacanya di buku sejarah! Panglima Soedirman masuk hutan melakukan pertempuran panjang di hutan. Sedangkan, Presiden Soekarno bertahan di Istana, membiarkan dirinya tertangkap. Pada akhirnya perang di dalam negeri dan tindakan kooperatif Presiden Soekarno menerbitkan simpati dunia internasional yang membantu Dunia mengecam dan memaksa Belanda untuk menyerahkan kemerdekaan, sepenuhnya, pada Indonesia.
Kami mendampingi kedua tokoh besar tersebut. Seperti karakter Budaya kami yang selalu ceria dan menerbitkan tawa. Punokawan, menemani, melayani perjalanan sejarah Bangsa, hingga akhirnya tiba di pintu gerbang kemerdekaan yang sejati. Secarik kertas yang ditulis tadi oleh Pak Dirman, juga harus kamu catat, karena mengandung mentalitas perjuangan Bangsa.
Surat Perintah tersebut berbunyi ;
PERINTAH KILAT
1. KITA TELAH DISERANG.
2. PADA TANGGAL 19 DESEMBER 1948 ANGKATAN PERANG BELANDA MENYERANG KOTA YOGYAKARTA DAN LAPANGAN TERBANG MAGUWO.
3. PEMERINTAH BELANDA TELAH MEMBATALKAN PERSETUJUAN GENCATAN SENJATA.
4. SEMUA ANGKATAN PERANG MENJALANKAN RENCANA YANG TELAH DITETAPKAN UNTUK MENGHADAPI SERANGAN BELANDA.
Surat Perintah Kilat tadi ditulis, dilaksanakan sampai berhasil, didampingi oleh kami. Kami sendiri tak pernah tertulis di buku sejarah tapi jiwa, karakter kami hidup dalam kisah tadi. Sekarang, setelah mendengar kisah kami tadi, kamu juga perlu mencatat ceritanya kami, Gareng. Pada tanggal 14 Januari 2016, Gareng mulai menari-nari penuh semangat di depan Plaza Sarinah-Thamrin. Dengan mata Gareng yang juling, tangan yang melengkung, dan kaki yang pincang, Gareng seolah mereka ulang adegan tarian topeng di video klip DMassive, Jangan Menyerah.
"Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi"
Bedanya dengan video klip Dmassive, Gareng menari-nari seorang diri, memancing tawa orang banyak namun menarik perhatian Polisi. Orang yang geli melihat bentuk fisik Gareng, hanya melihatnya sekilas, tertawa sinis dan pergi. Sebaliknya Polisi, bersiap menggelandang Gareng karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Buuum..
Mendadak, tiga ledakan beruntun terjadi. Gareng masih menari. Beberapa orang bersenjata, menaburkan granat ke beberapa titik berusaha meledakkan fasilitas umum. Orang yang enek melihat tarian Gareng dan pergi berhasil lolos dari maut. Sedangkan Polisi yang semula hendak menangkap Gareng, kini berbalik, gak jadi menangkap, sekarang menghadapi gerombolan bersenjata.
Berhenti lagi nyatetnya!
Dalam situasi genting tersebut, kamu pasti tertawa geli atau heran melihat Gareng, masih saja menari berputar-putar berusaha mengelilingi masyarakat yang terkejut dengan ledakan. Ada motivasi Gareng yang bisa kamu catet kembali!
"Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik."
Gareng lanjut menari, berputar-putar.
Doorr.. Door..
Tembakan susulan datang dari beberapa arah. Dilepaskan oleh gerombolan bersenjata. Gareng menghalau semuanya dengan tarian berputar menyelamatkan tukang sate, ibu-ibu yang berselfie ria dan banyak orang tak bersalah lainnya. Selain itu, tingkah lucu Gareng membuat orang-orang tertawa, membantu mereka mengatasi ketakutan akibat teror tidak bertanggung jawab.
Ternyata bukan hanya orang biasa yang tertawa. Gerombolan bersenjata juga ikut-ikutan tertawa. Salah seorang diantara mereka, yang memegang granat, terpukau melihat orang pincang, bermata juling menari-nari di dekat lokasi ledakan. Orang yang memegang granat sampai tertawa terpingkal-pingkal melihat tarian Gareng yang berantakan.
Ha.. ha.. ha prusssuuuttt. Asyik tertawa, granat di tangannya malah merosot lalu meledak di tempat
Buuuum
Gareng lanjut menari. Tak lama kemudian, Gareng melihat ada dua orang gerombolan di seberang Plaza Sarinah menyiapkan serangan susulan. Gareng ambil sendal, lempar langsung ke seberang, kena mata salah seorang yang bawa granat.
Buuum. Meledak juga. Polisi maju mengambil alih keadaan. Gareng sendiri ngilang di tengah kerumunan orang banyak. Gak ada yang pernah bisa mengabadikan kami, tapi, sifat, ketenangan dan kecerian kami menghadapi terror hadir di Sarinah, menjaga orang Indonesia supaya bisa berteriak keras ; Kami Tidak Takut.
Terakhir, Kami, Ki Semar. Kamu harus menggaris bawahi, peran Ki Semar yang paling sepele dari semua Punokawan. Tidak seperti Bagong, Petruk, Gareng yang heroik. Peran Semar dalam Budaya Indonesia hanya hadir di perlombaan stand up comedynya Raditya Dika. Walaupun jelas-jelas tidak lucu, penonton pada tertawa gembira saat melihat Semar naik panggung. Hebatnya lagi, terpingkal-pingkalnya penonton terjadi bahkan saat Ki Semar belum ngomong apa-apa.
Nah, sekarang tugas terakhirmu mencatat stand up comedy Semar di atas panggung, kalo perlu dicetak tebal!
Kata Semar ;
Ngger ( Nak )
Akeh wong ijir, akeh wong cethil ( banyak orang kikir, banyak orang bakhil)
Sing eman ora keduman ( si hemat tidak mendapat bagian)
Sing keduman ora eman ( yang mendapat bagian tidak berhemat)
Akeh wong mbambung ( banyak orang berulah dungu)
Akeh wong limbung ( banyak orang ling-lung)
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka ( sebentar lagi, tibalah jaman yang terbalik)
Ngger..
Jaman sekarang sudah kebalik.
Katanya Indonesia mau jadi Bangsa Unggulan.
Bisa bicara di pentas dunia.
Menaklukan Masyarakat Ekonomi Asean.
Lha, sekarang gimana mau menaklukan?
Wong, menghargai budaya sendiri aja gak bisa?
Bukannya Bangsa yang bisa menghargai Budayanya ..
Baru bisa dihargai Bangsa lain?
Alih-alih menghargai Budaya.
Indonesia dan Kamu hanya bisa berdebat soal Budaya.
Kelakuanmu persis kayak anggota DPR.
Bisanya berdebat soal, Demi Rakyat! Demi Rakyat!
Tapi gak pernah menghargai Rakyat.
Hanya bisa memperjuangkan kepentingan , Aku! Aku! Aku!
Apa kamu mau ikut mereka?
Bersikap egois soal budaya?
Kamu hanya bisa cari tau sejarah Budaya,
asal muasal katanya, definisnya,
Terus kamu perdebatkan.
Tapi gak pernah menghargai Budaya?
Yang manfaatnya nyata menolong Bangsa ini,
Menghadapi jaman pra sejarah, sejarah, kerajaan,
penjajahan, revolusi sampai jaman modern,
Membantu manusianya hidup dengan moral,
Dengan akhlak.
Lha, kalo terus-terusan berdebat,
Tanpa pernah bisa menghargai Budaya sendiri.
Nanti dicolong satu-satu budayamu sama Bangsa lain, Ngger!.
Terus, kalo sama kami, para Punokawan, kamu teruskan debatnya
Kamu debat, kami Budaya Indonesia atau bukan..
Siap-siap aja ya, Ngger
Lihat kami nanti di televisi main bareng sama Upin, Ipin.
Tamat.
Terakhir diubah oleh moderator: