Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Terjebak Nostalgia (2011 version)

Akhirnya subes muncul lagi..
:pandaketawa:

padahal misi ane cuma:
1. Posting cerita di SF Incest
2. Posting Terjebak Nostalgia versi 2011
3. Rapikan link-link yang udah mati

sekarang ane sudah tua, sudag kagak kuat lagi bikin cerita maraton kek dulu.... palingan sekarang rilis 1 episode doang.... yg penting hepi....
 
living legend ternyata masih ada, eh kalau udah ga ada namanya bukan living legend yah, cuman jadi legeng aja hahaha
 
Akhir nya suhu turun gunung.. Kirain cuma di web oren aja..
Suka suka suhu aja deh post kaya gimana pasti dibaca kok..
 
Om jayyy terharuuu. Suhu kesayangan ane muncul lagi😭😭😭. Ane suka banget cerita naked adventure dan cerita yang kalo ga salah latat ceritanya di candi gituu, di dieng apa ya, lupa judulnya😭😭😭. Sehat2 om jay
 
Nostalgia #6
TERJEBAK NOSTALGIA

Tanpa kusadari, pertemuan singkatku dengan Liz barusan membuatku terhanyut dalam nostalgia. Tiba-tiba segala kenangan yang kualami bersama Liz terputar kembali bagaikan potongan gambar dalam film 8mm.

Hari ini aku terjebak di ruang nostalgia.

“Jaay.. siang-siang kok bengong aja siiih?” tiba-tiba Senja sudah ada di sampingku.

“Hayoo… pasti lagi” ngelamunin Liz kan?”

Dia benar sodara-sodara! Namun hanya seorang moron yang mau mengakuinya.

“Engga kok sayaang.. aku lagi ngelamunin kamu.” aku terpaksa berbohong, sambil mencubit pipinya yang chubby.

“Bener?”

“Iya… aku ga bohong kok, Liz.. eh!”

Gawat! Aku salah menyebut nama!

Senja segera berlari, menangis bombay di bawah guyuran hujan. Aku mengejarnya, kami berkejaran seperti di film india.

Hujan terus saja turun membasahi tubuh kami, aku mengejarnya di bawah guyuran hujan, melewati beberapa angkatan bawah yang tampak keheranan melihat kami.

Ya, semenjak kami jadian, Senja selalu cemburu pada Liz. Selalu.

cem.bu***
[a] (1) merasa tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dsb; sirik: ia -- melihat madunya berjalan berduaan dng suaminya; (2) kurang percaya; curiga (krn iri hati): istrinya selalu -- kalau suaminya pulang terlambat

Cemburu. Teman-teman yang pernah menjalin cinta pasti pernah merasakan cemburu. Cemburu bisa diartikan rasa cinta, karena takut kehilangan orang yang dicintai. Dalam suatu hubungan, cemburu dapat membuat hubungan menjadi lebih hidup, itu kalau level-nya cemburu biasa saja. Nah, lain halnya kalau cemburu yang mengarah ke tindakan psikopat.

Seperti Senja.

Ia selalu berusaha menghapuskan segala yang berbau “Liz” dari hidupku. No hp Liz disuruhnya aku menghapus. twit**ter di unfollow, facebook di block.

Gila!

Aku tidak boleh menyebut nama “Liz” lagi, sehingga aku kesulitan untuk menyebut kata “alis’, “listrik”, “teralis”, benar benar “surealis”. Gila!

Kuceritakan lagi, saat bulan lalu kami makan di Dixie, tempat makan yang ‘lumayan mahal’ buat mahasiswa kere sepertiku.

“Waktu itu kita pesen apa yah?” kataku sambil melihat-lihat menu makanan .

“Waktu itu? Kapan yah?” Senja Bingung.

“Itu, yang waktu kamu ulang tahun”

“Kita kan baru pertama makan di sini!” Senja cemberut.

“Oh.. eh.. bukan sama kamu ya?”

“Iya! Pasti sama Liz kan.. ih segitunya diinget-inget!”

Akhirnya kami tidak jadi makan.

HP dan Komputerku pun tak luput dari razia Senja yang tidak kalah sadis dari pembredelan lembaga sensor Rezim Orde Baru. Untungnya foto-fotoku bersama Liz (termasuk foto mesum) sudah ku burn dalam DVD, yang kuberi tulisan “Beastilly: cowok vs anjing (yang gak kuat jangan nonton!!!)”, agar tidak ada yang membukanya.

Banyak lagi drama ala FTV pagi yang kualami sengan Senja. Setiap hari, hidupku hanya diisi drama, drama, dan drama. Dan Episode drama kami yang terbaru, yang terjadi barusan: Aku salah menyebut namanya, sehingga Senja menangis bombay di bawah guyuran hujan, dan seperti biasa, aku mengejarnya seperti orang gila.

Setelah lelah berkejar-kejaran bak Shahrukh Khan dan Kajol, akhirnya aku bisa membujuk Senja. Aku memeluknya di bawah hujan.

“Maaf ya sayaaang..” kataku.

“Huu.. hu… Jay jahat..”

“Maaf.. maaf..” aku mengelus rambutnya yang basah.

“Kenapa Jay gak bisa lupain Liz?!

“Emang aku harus hilang ingatan?”

“Huk huk.. Senja tahu, senja gak bisa kaya Liz!”

“Maksudmu?

“Senja gak bisa ngasih perawan Senja ke Jay..”

“Ya elah, bukan itu kali sebab aku sayang sama Liz”

Mendengar itu, tangis senja malah menjadi-jadi.

Ya, karena tidak seperti Liz, pacaranku dengan senja kali ini lebih sehat. Tidak sedikit sedikitpun aku berniat merenggut keperawanannya sebelum waktunya tiba. Aku benar-benar sayang kepadanya. Senja pun anaknya sangat tertutup perihal hubungan fisik, selama pacaran dengannya aku hanya pernah mencium pipinya, itupun baru sekali.

“Cup-cup.. Jay bener-bener sayang sama Senja”

“Bener?”

“Iya, nih lihat: Liz sudah ku hapus dari folder di hatiku.” kataku sambil menirukan gerakan memegang mouse komputer dengan tampang bodoh.

“Huk huk.. huhuhu..” Senja tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Ia melepas kacamata kotak-nya dan menyeka matanya.

Aku tidak bohong, Liz memang sudah kuhapus dari folder di hatiku. Sekarang ia ada di Recycle Bin, dan bisa di-restore sewaktu-waktu.

Akhirnya, karena bajunya basah Senja tidak jadi kuliah. Senja minta numpang sebentar.

“Malas pulang, jauh” katanya. Senja memang orang Jogja asli, namun rumahnya cukup jauh dari kampus.

Sesaaat kemudian kami sampai di kost-ku,

“Ga takut ketemu KW?” pancingku.

“Biariiin.. biar dia iri!”

Seperti biasa, sifat dasar wanita: Ex-Boyfriend Rivalry Syndrom

Sore itu langit sangat gelap, sehingga aku menyalakan lampu.

“Pinjam baju ya..” Senja nyelonong masuk kamarku, dan mengambil celena pendek batik dan kaus putih Metallica dari lemari baju.

“Eh, jangan yang itu!” kataku

“Kenapa?”

“Eng.. enggak.. gak kenapa-kenapa..”

“Huu..” senja berlari ke kamar mandi.

Setelah mandi, Senja memasakkanku semangkuk mie rebus. Sementara itu, giliranku mandi. Aku baru keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepalaku, saat semangkuk mie dan secangkir kopi hangat terhidang di atas meja lipat kamarku. Senja duduk di sampingnya. Matanya bergerak licah dari balik kacamata kotak itu.

“Mantap.. hangat… makasih ya Sayang..” kataku sambil menghirup kopi dari dalam gelas yang bergambarkan wajah kami, hadiah dari Senja saat aku berulang tahun bulan lalu.

“Makan dulu Jay, biar gak masuk angin.

“Kamu juga makan dong sayang..”

“Iyaaaa”

Aku menyuap ke dalam mulutku, dan deg.. –agak sedikit kebanyakan air-

Deg, tubuh senja yang basah tercetak di atas kaus Metallica, mie yang kebanyakan air . Sepertinya aku pernah mengalaminya.

“Mantap, ini baru istri idaman..” kataku

“Huu.. bohong.. kebanyakan air tahu!” kata Senja sambil mencicipi mie buatannya, uap air

membentuk embun di lensa kacamatanya.

“Enggak kok! Ga kebanyakan air.. cuma ‘air’-nya perlu agak dikurangi dikit hehe”

“Iiiih..” Senja memukul-mukul pundakku.

Deg, apakah aku terperangkap dalam time glitch?

“Jay.. Jayaa!”

“Eh, apa?

“Kok tiba-tiba bengong?”

“Enggak, aku mikirin kamu.. takut kamu masuk angin”

“Hihi.. makanya peluk dong..”

Aku memeluknya sambil membelai rambutnya. Senja senyum-senyum sendiri. Lucu sekali. Slamet yang kehujanan lewat depan kamarku. Ia tampak kaget melihat Senja berduaan denganku di kamarku.

“Kapan ku punya pacaaaaar… kapan ku punya pacaaar…. Keburu kena caaaar…” kudengar Slamet bernyanyi tidak jelas diluar. Aku dan Senja tertawa mendengarnya.

“Numpang bobok di sini boleh?”

“Hah?”

“Bentar ajaa.. bobok siang aja.. sambil nunggu hujan reda.”

“Iya.. iya…”

Aku menutup pintu kamar, tidak enak sama tetangga, dikira takabur.

Di luar hujan malah bertambah lebat, langit benar-benar hitam seperti hampir malam. “Duaar!! Tiba-tiba petir menggelegar. Sesaat kemudian lampu mati. Kamarku menjadi gelap gulita.

“Aaaaaa” kami berteriak seperti anak cewek melihat tikus.

“Huu.. kok ikutan teriak” kata Senja

“Hehe.. nemenin kamu teriak.”

“Duuuar!!” petir menyambar lagi. Kali ini hanya aku yang berteriak seperti kuntilanak.

Senja membalikkan tubuhnya –ilfil.

Aku memeluk Senja dari belakang, hangat sekali. Berpelukan dengan pacar di tengah hujan lebat yang dingin seperti ini benar-benar nikmat, kawan.

Aku membelai rambutnya. Senja merapatkan pelukannya ke arahku. Jantungku berdegup, Belum pernah kami sedekat ini.

Senja merapakan punggungnya di dadaku “Kaya sudah suami istri aja ya..” katanya..

Deg, De Ja Vu –lagi-

“I.. iya…”

Aku mendekapnya. Dalam kegelapan seperti ini wajah Senja tak jelas terlihat. Bentuk tubuhnya, caranya bernafasnya sungguh persis seperti Liz. Dadaku sesak. Aku tahu ini salah, kalau Senja tahu apa yang kupikirkan, ia pasti sakit hati.

Di luar hujan turun. Deras, sangat deras.

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Aroma itu, aku pernah menciumnya entah di mana. Ah, aku jadi terbawa suasana, tanpa sadar aku mencium tengkuknya,

“Jay.. jangan nakal deh..”

Aku tidak peduli, akumendekapnya erat, melanjutkan ciumanku ke lehernya yang mulus.

“Oooh..” senja melenguh pelan, ia menoleh ke arahku. Segera aku mengecup bibir Senja. Ia sedikit terkejut.

“Iiiih nakaal!” Senja meronta.

“Hehe..”

“Hilang deh ciuman pertamaku” Senja cemberut.

“Hah? Belum pernah sebelumnya?”

“Sama cowo belum..”

“Eng… maksudnya.. ‘sama cowo’ ehm..”

“Hehe” Senja tersenyum penuh misteri. Wajahnya semakin imut di tengah temaram cahaya.

Aku memberanikan mengecup bibirnya lagi, awalnya ada sedikit penolakan dari Senja.

“Hhm.. hh…” suara nafas Senja semakin memburu. Ia mengimbangi ciumanku. Ciuman lembut itu kini berubah menjadi ciuman penuh nafsu.

“mmmh..”

“Mmmh”

“Mmmmh”

Lengguhannya membuatku semakin bernafsu. Aku menempelkan telapak tanganku di atas dadanya, tak ada penolakan -prognosis bagus. Aku meremas payudaranya dari luar kaus metalica itu.

“Mmh.. oh.. Jay nakal…”

Aku memeluk Senja dari belakang –mencumbunya- membuat senja menggelinjang ke sana kemari. Pantatnya yang montok naik turun, menggesek penisku yang menegang di balik celana batik. Tubuh kami bergesekan, bergerak dalam irama yang liar seperti irama guntur yang henti-hentinya menyambar di atas sana.

Aku menelusupkan tanganku ke balik kaus Senja, membelai perutnya, menyusuri lekuk tubuhnya. Aku bisa merasakan nafas senja yang semakin berat saat jariku menyelinap ke balik cup-nya.

“Ooooh” Senja melenguh panjang.

Aku bisa merasakan puting yang menegang di sana. Aku mengggerakkan telunjuk dan jari tenganhku, memilinnya pelan.

“Jay? Ngapain kamu? Ah.. aaaah!!” senja mulai berteriak. Ia mencoba meronta, namun aku mendekapnya erat. Sesaat kemudian gerakannya berubah menjadi lebih teratur.

“Jay… jahat.. uuh.. oooh..”

Senja menikmati cumbuanku.

Senja menoleh, matanya sudah setengah terpejam. Ia menjambak kepalaku.

“Oooh!” ia berteriak, namun segera kulumat bibir manis itu.

“Mmmh..”

“Mmmh.. mhh”

“Mmmh.. mmh”

Nafas senja yang panas menari di wajahku. Sungguh kontras dengan udara dingin di kamarku.

Aku memberanikan menyusuri lekuk tubuh Senja dengan tanganku. Meraba perutnya yang mulus, turun ke bawah, memijat perut bawahnya.

“H.. h.. hh.. h…” nafas Senja seperti orang berlari.

Tak ada penolakan, jariku menyusup dengan cepat ke balik kolor celana yang dikenakan Senja. Membelai gundukan kecil dari luar celana dalamnya- sudah basah.

“Jay?! Janga..” Senja mencoba menepis tanganku, namun aku berkeras membelai belahan di balik celana dalamnya.

“Aaah.. aaah… aaaa!!” Senja berteriak keras, tangannya melemah, ia sudah pasrah.

Aku mencumbunya lagi. Tangan kiriku meremas payudaranya. Tangan kananku memainkan klitorisnya. Sementara bibirku melumat lehernya dari belakang.

“Aaah… aaah…” Suara teriakan Senja tenggelam dalam kelam hujan.

“Sssh.. Oooh.. Jay… ah..”

“Yah? H.. h..?”

“Kamu… sayang aku.. kan?”

“Iya.. h.. h..”

“Oooh…. Oooh… oh!”

Tubuh Senja menegang, ia mendekap lenganku erat-erat.

“Jaay.. aaaaah! I love you”Senja berteriak

“I love you!”

“I Love youu! Aaah.. aaa!!!!

Aku mendekapnya erat-erat, menahan tubuhnya yang kejang-kejang. Sesaat kemudian aku bisa merasakan sesuatu mengalir dari dalam vagina Senja.

“H… h… h…”

Untuk sesaat hanya terdengar suara desah nafas, dan deru hujan yang memburu.

“Huk.. huk..” sayup sayup aku mendengar Senja terisak.

“Eh, nangis kenapa?”

“Meki Senja keluar air-air.. Senja udah ga perawan ya?”

“Eng… masih perawan kok.. kayaknya..”

Tangisnya semakin menjadi.

“Hehe.. enggak kok.. tadi kan cuma di luar-luar aja?”

“Bener..?”

“Bener!”

“Hehe.. habis Senja ga mau perawan Senja hilang pakai jari doang..”

“Oh.. kalau pakai yang lain mau?” ugh, aku jadi penasaran.

“Iiiih! Kamu tuh ya! Dasar cowok hentai!”

“kok tahu?” aku memang cowok hentai, koleksi bokep dan hentaiku mencapai ratusan gigabyte.

“Iiiih! Soalnya mukamu kayak titit!” senja cemberut, wajahnya tampak semakin menggemaskan.

“Haha” aku memeluknya dari belakang.

Senja membalikkan badannya menghapku. Wajahnya tampak serius.

”Gini yah Jay, perawan itu harus diberikan kepada orang yang spesial di saat yang istimewa.” Katanya sambil menyentuh hidungku.

“Oooh.. eh, memang beda Spesial sama sama istimewa apa?” tanyaku

“Eng..eh, gak tahu..?” Senja kebingungan sendiri

“Spesial tu telornya 3.. Istimewa telurnya 4..” aku mencoba melucu, lelucon Old school.

“Iiiih! Itu sih martabak!!” Senja memukul-mukul dadaku.

“Hahaha..”

Senja tertawa terbahak-bahak. Wajahnya begitu menggemaskan.

“Memang saat istimewa itu kaya apa?” aku penasaran.

Senja terdiam sebentar, sebelum tersenyum. “Saat berdua sama orang yang Senja sayang, sementara di luar hujan turun..”

“Glek.” Aku menelan ludah

“Hihi..” Senja tersenyum penuh misteri.

Ya, di luar hujan memang sedang turun dengan derasnya. Aku membelai rambut Senja yang setegah basah. Aku mengecup keningnya. Ia tersenyum.

“Jay, ML yuk..”

“Gluduuug.. Duaaar!” tiba-tiba petir menyambar.

“Hah?”

“Iya, ML yuk..”

“Kamu yakin?”

“Yakin..”

“Nanti gak perawan lagi lho..”

“Gak papa kalau sama kamu..”

“Kenapa?”

“Senja sayang Jay, Senja yakin Jay yang akan jadi suami Senja.”

Aku diam saja, aku yang tidak yakin.

“Aku gak seperti yang kamu kira, Senja..”

“Apa jadi beneran kamu dulu suka cowok? hehe” kata Senja.

Aku tersenyum kecut, sepertinya aku pernah mendengar dialog ini, entah di mana.

“Mungkin ini satu-satunya cara biar kamu bisa lupain Liz” kata Senja sambil menghela nafas.

“Gluduuug.. Duaaar!” guruh seolah mengamini kata-kata Senja barusan. Kata-kata yang terdengar seperti orang yang putus asa. Aku sedih mendengarnya.

Aku pernah mendengar pendapat ini: laki-laki memberi cinta untuk mendapat sex. Wanita memberi sex untuk mendapat cinta. Sungguh simbiosis mutualisme yang sempurna, tapi bukan itu intinya.

Aku membelai rambutnya. Wajah senja tampak sayu. Sepertinya ia benar-benar mencintaiku, entah bagian mana yang menarik dariku.

“Aku, gak perlu itu buat ngelupain Liz..” aku tahu, meskipun aku ML dengan Senja, Liz tetap tidak bisa dihapuskan dari ingatanku.

“Yakin?” Senja melirikku nakal.

“Iya..”

“Bener? y-a-k-i-n..?”

“I… iya….”

Aku menelan ludah, melihat Senja yang menarik kausnya ke atas sambil tersenyum nakal. Digigit-gigitnya ujung kausnya, sambil menatapku dengan tatapan sensual. Perutnya yang mulus terpampang di hadapanku. Sementara sepasang payudara yang dibungkus cup berwarna oranye, mengintip malu-malu dari bawah.

Aku menahan nafas. Aku memang belum pernah merasakan meki yang masih perawan. Dulu waktu sama Liz dia sudah tidak perawan –sudah diambil oleh Bang Igo keparat itu-.

Senja mengangkat kedua lengannya. Kaus Metallica itu diloloskannya ke lantai. Sekarang, sepasang bukit kembar mengacung di depanku. Dadanya begitu montok, sehingga tertumpah ruah dari atas cup yang tampak kekecilan.

Aku ragu. Aku takut menyesal di kemudian hari–menyesal menyianyiakan kesempatan ML dengan Senja.

Senja menurunkan celananya, aku membantunya. Kemudian ia membuka kait BH-nya, wired bra warna oranye itupun tergeletak di lantai kamarku.

Senja tersenyum kepadaku, kedua tangannya yang mungil menutupi puting susunya.

Aku menelan ludah. Sesaat kilat menyambar, menerangi tubuhnya yang sintal itu selama sepersekian detik.

“Kamu buka juga!”

Senja membantuku melepaskan pakaianku. Kami berciuman sambil melucuti pakaian kami masing-masing, sampai akhirnya tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh kami. Senja berbaring telanjang di hadapanku. Ia menutupi vagina dan putingnya dengan tangan, sepertinya ia masih malu. Sekilas aku melihat rambut yang mencuat dari balik tangannya.

Aku memandangi wajah Senja, matanya melirik takut-takut ke arah penisku yang tegang.

Aku membuka laci plastik kecil di samping tempat tidurku, mengambil kondom –sisa dengan liz dulu, hiks-

“Itu sisa-sisa dulu sama Liz kan?!”

“Umm.. memang kenapa?”

“Senja gak mau pakai bekas-bekas Liz!”

“Tapi ini kan kondom baru! Belum dibuka!”

“Pokoknya gak mau!” wajahnya yang imut tampak cemberut, lucu sekali.

“Hehe.. ‘ini’ juga bekas Liz lho.” Aku menunjuk penisku yang sudah tidak sabar.

Senja berpikir lama, sebelum kemudian tersenyum.

“Ya sudah, akan kuhapus bekas meki Liz di titit-mu dengan meki-ku.” Senja berkata sambil memeluk leherku. Wajahku di dekatkan pada wajahnya. Mata Senja terpejam, wajahnya yang imut tampak pasrah –tapi menantang-

Aku melumat bibir senja. Dadaku berhimpitan dengan payudara senja yang besar, empuk sekali. Penisku bergesekan di perut senja.

“Beneran boleh?”

Senja mengangguk sambil tersenyum

“Yakin?”

Senja mengangguk sambil tersenyum, pahanya dibukanya lebar lebar. Vagina Senja terpampang dihadapanku, di atasnya ditumbuhi dengan bulu yang lebat, mungkin Senja malas memotongnya.

Aku mengarahkan senjataku ke selangkangannya. Senja menggigit bibirnya saat kepala penisku menyentuh bibir vaginanya.

“Gak pakai kondom?”

“Gak usah” kata senja.

“Nanti hamil gimana?”

“Nikahin aku.”

Aaaaagrh!!

“Pelan-pelan ya Jay..”

Aku mengangguk sambil mengecup keningnya.

Dengan hati-hati aku mendorong pinggulku. Senja mendesis, saat kepala penisku memasuki vaginanya, sempit sekali.

“Ummh..” Mata senja terpejam saat penisku mencari jalan masuk.

Aku merasakan ada sesuatu yang menghalangiku untuk masuk lebih jauh lagi: selaput dara Senja. Hujan turun semakin deras, aku ragu. Tapi aku sudah sampai pada tepi, dari mana aku tak mungkin lagi kembali.*

“Senja, kamu yakin?”

Senja mengangguk, “aku sayang kamu Jay.”

“Aku juga.” Entahlah.

Aku mengecup bibir Senja. Ia melingkarkan tangannya di leherku, dan pahanya di pinggulku. Aku mendorong pinggulku, masuk lebih jauh lagi. Senja memejamkan matanya seperti orang kesakitan.

“Gludug..Gludug… Duuuar!!” suara petir menggelegar, menenggelamkan teriakan kesakitan Senja.

Kemudian hening, hanya ada suara hujan dan suara Senja yang terisak tertahan. Sore itu aku telah merubah masa depan seorang gadis.

“Sakiiiit.. huk.. huk..” air mata meleleh di pipi Senja.

“Cup.. cup.. maaf ya…” Aku menyeka air matanya, membelai rambutnya.

Dadaku sesak. Aku merasa beban yang teramat berat, sudah mengambil kegadisan seseorang.

Aku melirik ke bawah, penisku masih menancap di dalam vagina Senja. Ruangan itu terlalu gelap untuk melihat apakah ada darah atau tidak, namun samar-samar aku bisa melihat wajah Senja yang sayu, menahan perih.

“Aku sayang kamu, Senja” kataku sambil mengecup keningnya.

“Aku juga” Senja mencoba tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di leherku, menarik kepalaku mendekati wajahnya.

Aku mengecup bibirnya, melumatnya pelan.

“Mmmh..”

“Mmmmh..

Aku mulai menggerakkan pinggulku. Memompa penisku perlahan.

“Uhh! Pelan-pelan Jay..”

“Iya..”

Penisku masuk ke dalam vagina Senja. Sempit, jauh lebih sempit dari vagina Liz. Entahlah, berapa lama aku bisa bertahan.

“Ooooh” Senja berteriak pelan saat penisku menyodok sampai dalam.

“Ugh!” aku pun merasakan geli yang teramat.

Liang itu begitu sempit dan legit. Lendir yang keluar, membuatnya licin. Sempit, geli sekali rasanya. Aku memompa tubuh Senja, sambil berkonsentrasi agar tidak keluar duluan.

“Uggh.. sempit banget..”

“Ah.. masa.. ah.. aAa!”

“Yugh..”

“SSh.. sh.. ooh!

“Senja.. umh..”

“Aaah! Aaa..”

Dalam temaram, wajah senja tampak sayu. Matanya terpejam, bibirnya mendesis-desis.
“Mmmh..” aku melumat bibir itu. Tubuh kami bersatu di dalam gelap mendung yang menggantung. Saling pompa dan saling lumat dalam gelap. Tubuh telanjang kami bergumul di atas kasur.

“Hh.. hah..”
“Ugh….

Aku memejamkan mata. Aku bisa merasakan tubuh Senja yang panas dan berkeringat di tengah udara dingin kamarku. Nafasnya yang memburu menari panas di wajahku.

Aroma nafas itu, desahan itu, bau tubuhnya, seperti pisau bedah yang mengeluarkan kenangan dari alam bawah sadarku. Dalam kegelapan, aku tidak bisa lagi membedakan sosok di hadapanku. Apakah ia Senja atau Liz.

“Jay.. aah..” Suara Senja terdengar seperti suara Liz.

Dalam sesaat aku merasakan seperti sedang bercinta dengan Liz. Dadaku perih, aku tahu ini jahat, terlalu jahat bagi Senja.

“OOOhh!!!” aku berteriak terbawa emosi. Aku menghujamkan penisku sekuat tenaga.

“Jay.. jangan kenceng kenceng aaah!”

“Ugh.. gak papa..aah..”

“Oooh! Ooh! Ooh!”

“Umh..”

“Ooooh aaa!”

Aku terbawa suasana

“Ooooh! L-… .” Ah hampir saja aku menyebut nama Liz.

“Apa.. ah? Ah.. aaah..”

“L.. Lezat.. meki mu lezat ooh..” aku ngeles dengan cerdas.

“Hehe.. Oooh! Ooh!.”

Senja juga terbawa suasana. Ia ikut menggerakan pinggulnya naik turun. “Plak! Plak!” terdengar suara paha yang beradu di tengah suara hujan.

Senja menjerit-jerit. Aku terus memompa sambil melumat lehernya. Senja mendekapku erat. Kakinya dilingkarkan semakin erat ke pinggulku,

“Aaaaah Jaaay!! Aku … aku aaaaah!!”Senja berteriak keras, sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat.

Sekujur dinding vagina Senja bergetar hebat. Otot-ototnya berkontraksi, menyedot penisku kuat-kuat. Aku menahan nafas, aku tidak bisa bertahan lebih jauh lagi.

“Ugh.. ugh..I love you!!

“I Love you, Jaay! Aakh!

“Aaaaah!!”
“Mmmh!!”

“Mmmh!”

Aku melumat bibir Senja sesaat sebelum tubuhku mengejang. Senja memelukku erat-erat, mencakar punggungku. Tubuh kami menggelinjang, bergerak liar dalam ritme yang tak dapat dibayangkan manusia.

“Hah.. h.. h..”

Kemudian, hanya ada keheningan diselingi desah nafas yang tersenggal.

De Ja Vu.

Saat tersadar, aku mendapati tubuh telanjang kami berpelukan.

“H..h… Tadi.. di keluarin di dalem ya…” kata Senja.

“Iya.. h.. h…” Aku melirik vagina Senja, cairan putih meleleh keluar dari dalamnya.

“Iiiiih kamu tu.. kalau aku hamil gimana?

Aku terdiam.

“Kamu nikahin aku hehehe..” katanya. “Eh, tapi anak kita mau dikasih makan apa? Kamu kan kere?”

“Makan nasi-lah! Masa makan beling? Emang anak kita kuda lumping?”

Astaga! Kenapa aku menjawabnya dengan kalimat itu!

“Hahaha kamu adaaaa ajaaaa jawabannya!” Senja histeris, dan meremas-remas pipiku gemas.

Dadaku benar-benar perih. Kenangan bersama Liz seperti di putarulang tanpa bisa kuhentikan. Wajah, Liz, Senyum Liz, tawa Liz yang berderai, semuanya muncul seperti tayangan film 8mm.

Di luar hujan tetap saja turun. Malah bertambah deras, sangat deras.



*******************​

Sudah jam 6 petang. Seharusnya matahari sudah terbenam, namun awan yang gelap membuatnya tak begitu jelas berbeda.

Senja masih tertidur. Aku mengenakan pakaian, dan keluar ke dapur, hendak membuatkan kopi buat Senja. Aku menuang sachet kopi instan ke dalam gelas bergambar wajah kami.

“Jay…”

Deg, aku kenal suara ini.

“Em.. eh.. KW.. baru pulang..”

“Iya, kejebak banjir di perempatan Ringroad.” KW berjalan kesampingku, mengambil air panas dari termos, dan menuangkan ke gelasnya yang berisi teh celup.

“Jay.. di kamarmu tadi Senja ya..”

“Eng… eh iya…”

“Kamu sama Senja… sudah…”

Hening, hanya ada suara hujan.

“Sudah..” jawabku pendek.

KW menghela nafas panjang. Hening, hanya ada suara hujan. Aku menuang air panas ke dalam gelasku.

“Kamu jangan kecewain Senja, Jay..” KW menepuk pundakku.

“I.. Iya..”

“Saya percaya kamu..”

“M.. makasih..” cara berbicara KW sungguh mengintimidasiku.
“Kalau kamu nyakitin Senja, saya yang buat perhitungan sama kamu.”

Kata-kata KW barusan membuat air panas yang kutuang tumpah kemana-mana. Aku meliriknya, tatapan KW bukan tatapan orang yang sedang bercanda.

“Iya.. hehe.. gak bakal ane sakitin.. kami.. gak suka S&M kok..”

Aku buru-buru meninggalkan KW.


*******************​

Sampai Jam 8 malam hujan berkurang intensitasnya, hanya tinggal gerimis tipis. Udara malam Jogja yang dingin menyelinap ke dalam kost-kostanku yang gelap, Listrik belum juga menyala. Kata KW, gardu di Jalan Kaliurang tersambar petir.

“Hujan ma.. di Ringroad juga banjir. Senja nginep di kost Kania ya,,” kata senja di telepon.

Nyala api lilin di sudut kamarku bergoyang-goyang di tiup angin yang beriup dari ventilasi. Sinarnya memulas wajah Senja dengan warna jingga. Wajah Senja tampak semakin imut berbicara di telpon dengan ibunya. Berulang kali pipinya yang chubby tampak cemberut saat membujuk ibunya agar diizinkan menginap.

“Gimana?” tanyaku.
“Dikasih hehe..” Wajah Senja berseri-seri.

Senja menggelendot di pelukanku. Aku membelai rambutnya.

Senja tersenyum, sungguh menggemaskan. Aku mencium pipinya, ia menghindar sambil tertawa-tawa , membuatnya semakin menggemaskan. Aku menyosor bibir senja.

“Kyaaa!” Senja histeris.

“Saya akan perkosa daripada kamu hehe..” aku memegangi tangannya.

Senja pura-pura meronta. “Ampun pak pemerkosa, saya masih perawan.”

“Hahahah.. Saya juga masih perjaka! Namaku adalah Ajay Ting-ting!” kataku.
Senja mencoba menahan tawa, sampai aku menarik pakaiannya dengan kasar. “Kyaaa!” teriaknya.

Kami bergumul di atas kasur. Aku mencoba melucuti pakaian Senja. Namun ia juga agresif, menarik kausku sampai lepas.

“Set dah, korbannya kok malah agresif?” kataku

“Biarin, wek!” Senja menjulurkan lidahnya, imut sekali.

Kami saling melucuti pakaian masing-masing, sehingga terbaring telanjang. Nyala api lilin bergoyang pelan. Sinarnya yang berwarna jingga jatuh di atas tubuh Senja. Payudara Senja sangat montok, mungkin lebih besar dari Liz. Putingnya sudah mengacung tegang, seolah menantangku untuk menghisapnya.

“Jay! Aaah!” Senja berteriak saat aku mulai mengulum puting itu. Cahaya lilin yang jingga, membuatku tidak bisa melihat warnanya dengan jelas.

Aku meggetarkan lidahku dalam kecepatan tinggi, sehingga membuat Senja berteriak kesetanan.

“Aaaah! Aaah!” Senja meronta-ronta.

Aku menurunkan ciumanku, turun ke perutnya. “Oooh..” senja mendesis saat lidahku menari di atas pusarnya.

Aku meraba bibir vaginanya, sudah basah. Pelan-pelan aku memijatnya.

“Mmmh.. Oooooh..” Senja mulai mendesah. “Jangan di luarnya ajah.. aahh..”

Maka aku memasukan jariku ke dalam, membelai dinding vaginanya. Sementara Jempolku memainkan klitorisnya.

“Yaaah.. Oooh.. ooh!” Senja berteriak, pinggulnya seperti bergerak-gerak di luar kendalinya. Aku merasakan jariku mulai dibasahi oleh lendir.

Aroma itu, aroma khas kewanitaan membuatku tergerak untuk melumat vagina Senja. Bulunya yang lebat, menyulitkanku bernafas, karena masuk ke dalam hidungku.

“Hacsim!” aku bersin.

Aku menjilati labia mayoranya, lalu naik ke atas mencari-cari Klitoris Senja.

“Jay! Aaaa!’ ia menjerit.

Aku semakin bersemangat menghisap vaginanya, lidahku bergerak lincah membuat Senja menggelinjang liar. Ia mendekap kepalaku, dibekapnya ke arah selangkangannya, sehingga paru-paruku dipenuhi aroma vaginanya yang segar.

“Ooooh! Senja melolong panjang. Dadanya yang montok terangkat.

“Aaaah! Jaaay!

Senja berteriak histeris. Aku merasakan pinggulnya bergerak liar. Paha Senja memeluk kepalaku, membuatku tidak bisa bernafas. Sesaat kemudian aku merasakan cairan menyemprot deras dari vaginanya, membasahi wajahku.

“Uhuk! Uhuk!” aku terbatuk-batuk, lalu membersihkan wajahku dengan ujung sprei.

“Hh. H. ha ha. Haha..” Senja tertawa dengan wajahnya yang sayu setelah orgasme, seksi sekali.

“Hehehe..” aku juga terkekeh.

De javu? Biarlah persetan dengan itu!

Aku membelai rambut Senja yang masih terengah. Ah, wajahnya sungguh innocence. Sungguh jahat aku, kalau sekedar menjadikannya pelampiasan cinta.

Aku mengecup pipinya, Senja tersenyum, imut sekali.

“Aku sayaaaaang banget sama kamu, Jay..” kata Senja sambil memelukku.
Aku terdiam, kadang perasaan cinta yang kita tahu tidak bisa membalasnya, malah menjadi beban yang berat.

“Aku juga..”

aku berbohong.. tidak.. aku benar-benar sayang kepada Senja.

Entahlah, aku tidak tahu perasaanku. Aku begitu mencintai Senja, tapi semakin aku mencintainya, semakin aku teringat kepada Liz. Nyala lilin bergoyang dengan resah. Aku takut mengecewakan Senja, seperti yang Liz lakukan kepadaku dulu.

“Jay! Jaya!!” iih dari tadi ngelamun terus.

“Hehe.. maaf.. aku masih mabuk dengan aroma meki-mu” lagi-lagi aku ngeles, kali ini kurang cerdas.

Senja menempeleng kepalaku “iiih… jorok!”

“Hehehe..” aku merangkul senja. Tubuh kami yang telanjang berpelukan di bawah cahaya lilin yang temaram.

“Jaya..”

“Iya..”

“Kamu kan udah pendadaran,.. bulan depan udah wisuda kan?”

“Iya, akhirnya lulus juga haha..”

“Hehe.. kemarin papaku nanya, habis lulus mau ga kamu kerja di tempatnya?”

“Jadi apa? Jadi OB? Ogah!” aku setengah bercanda.

“Web designer!”

“Oh, boleh tu haha”

“Iya,.. habis itu.. habis itu kita bisa…”

Senja tidak melanjutkan kata-katanya, wajahnya tersipu. Aku tahu maksudnya.

Aku mengecup kening Senja, “Iya, sayang..” namun aku ragu, apakah aku bisa mempertanggungjawabkan kata-kataku barusan.

Wajah Senja berbinar-binar mendengarnya. Kemudian ia berceloteh tentang gaun pengantin yang akan dikenakannya, tentang rumah mungil yang indah, tentang berapa anak yang akan kami miliki.

Aku merasa ia mirip dengan seseorang: aku.

“Haha..” aku tertawa getir.

“Kenapa?” Senja bingung.

“Baru kali ini aku ketemu orang yang selalu hidup dalam mimpi kaya kamu..”

“Memang kenapa?”

“Jangan kaya aku Sayang, dulu aku juga terlalu banyak bermimpi..” kataku.
Senja terdiam.

“Kenyataan itu pahit, Senja..” aku terdiam, lama “terbangun dari mimpi itu perih... kenyataan itu menyakitkan..” aku memandangi nyala api lilin yang bergoyang. Nyalanya sungguh tidak pasti, entah kapan ia akan padam diterpa angin.

“Apa salahnya punya mimpi?” kata Senja agak sebal.

“Kita gak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi.”

“Kalau gitu, aku akan buat mimpiku jadi kenyataan.” kata Senja mantap.

Aku tersenyum pada permainan Sang Takdir. Dialog ini, aku yakin aku pernah mendengarnya, namun dengan pemeran yang berbeda.

“Gak usah!” Tukasku

“Kenapa?” wajah Senja menjadi agak sedih.

“Aku yang akan wujudin mimpimu!” kataku tak kalah mantap.

Senja tersenyum, sambil menahan haru. Ia memelukku erat.

Malam itu begitu dingin, namun aku merasakan hangat yang merayap di hatiku. Malam itu kami bercumbu dengan ganas, namun tidak lagi sosok Liz yang terlintas. Melainkan sosok Senja yang merintih dan menggelinjang.

“Jaay!! Aah! Aah! Aah..”

“Senja.. aaah”

“Oooh! Ooh!”

Tubuhku menindih tubuh Senja, payudaranya yang montok terlihat gepeng tertimpa tubuhku.

Aku menggoyangkan pinggulku dengan penuh semangat.

“Ooooh aaaah!”

“Plak! plak! plak!”

Kamarku di penuhi suara rintihan dan suara paha yang beradu.

Senja memejamkan matanya, wajahnya meringis seperti menahan sakit. Bibirnya yang tipis mendesis setiap kali kuhujamkan penisku ke dalam rahimnya.

“SShhh. Ooh! Ooh! Ooh!”

Aku melumat bibir tipis itu. Menghisapnya kuat-kuat.

“Mmmmh.. mmmh”

“mmmh”

Hujan sudah reda, dan menyisakan dingin yang menusuk kulit. Namun aku merasakan panas yang membara. Peluh membasahi tubuh kami yang telanjang, membuatnya berkuilat kilat ditimpa cahaya lilin.

“Hhh.. hhh..” nafas kami begitu memburu, panas. Aku meremas Payudara Senja, membuatnya berkernyit. “Mmmmh!”

Aku menghimpit tubuhnya, memompa pinggulku dengan penuh tenaga.

“Oooh!”

“Aaaah!”

“Aaaah”

Aku merasakan ada yang hendak keluar. Aku menghentikan gerakanku sebentar. ‘Hhh.. h.. h.. Senja.. kamu sekarang yang di atas..” bisikku.

Aku membalik tubuh Senja. Sekarang ia terbaring di atas tubuhku. Wajah Senja sayu, menatapku malu-malu. Ia menggerakkan pinggulnya dengan canggung. Sedikit-sedikit penisku terlepas dari vagina-nya. Ia memasukkan lagi, namun terlepas lagi. Ah, mungkin posisi ini terlalu sulit. Pada percobaan ketiga Senja

Sudah bisa menunggangi tubuhku dengan lancar.

“Ooooh! Ooh!” ‘ ia mengerang sambil meremas payudaranya sendiri.

“Ugh.. ugh..” sementara aku kelojotoan menahan geli.

“Oooh..”

“Aaaw!”

Senja menunggangiku dengan liar. Pinggulnya bergerak dengan cepat di atas perutku. Payudaranya yang montok berguncang kencang seiring goyangannya.

“Jangan kenceng-kenceng ooh!”

“Aaah.. aah..!”

“tar aku keluar duluan..”

“Tahan Jay.. aku bentar lagi.. umh.. Aaaaah” Senja melenguh panjang. Wajahnya mengadah, punggungnya melengkung sebelum ia ambruk di dadaku sambil terenggah.

Aku membalikkan lagi tubuhnya.

“H.. h.. h.. Kamu belum yah..” Senja tersenyum sambil terenggah.

“Bentar lagi paling hehe”

Malam itu kami bercinta dengan sepuasnya. Aku menghujamkan penisku ke rahim Senja, sementara ia mendekapku erat. Suara erangan dan teriakan kami bergema ke seluruh ruangan. Tubuh telanjang kami sudah basah oleh keringat, bergesekan dengan liar di atas kasur.

“Hah.. h.. h.. h”

“Sssh..”

“Oooh!”

“Aaah…”

“Sennjaa… aku sudah mau keluar..

“oooh.. ooh.. keluarin di dalem aja.. Jay…”

Kaki Senja mendekap pantatku, tidak memberikan kesempatan padaku untuk menarik pinggulku. Otot-otot dinding vaginanya berkedut kencang.

“Senjaa! Aku sayang kamu!”

“Aku juga, Jay!!”

“Ooooh!” tubuhku bergerak di luar kesadaran.

“Aaaah!!” Senja menjerit, tubuhnya juga mengejang. Ia mendekapku erat-erat.

“Mmmh!” di saat-saat terakhir ia melumat bibirku.

Kepalaku terasa ringan. Untuk sesaat aku merasa waktu berjalan dalam slow motion. Aku bisa merasakan, tubuh kami mengejang bersama, pelan-sangat pelan. Suara nafas Senja seperti diputar dalam tempo yang lambat. Peluh yang menetes dari tubuh kami melayang pelan di udara, sebelum jatuh di atas kasur. Telingaku berdenging, sesaat aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Perlahan lahan aku mulai bisa mendengar suara nafas kami yang tersengal.

“Hah.. hah.. hah… h.. h..” Kami tergeletak kelelahan dengan nafas yang terengah.

Senja merebahkan kepalanya di dadaku, memelukku erat. Aku membelai rambutnya, panjang sebahu, sangat berbeda dengan rambut pendek. Sudahlah, Senja bukan Liz. Liz juga bukan Senja. Aku berpikir tak ada gunanya terikat masa lalu, hanya akan membuat kita kehilangan masa depan.

“Jay.. aku gak bisa bobok nie..” kata senja

“Aku juga..”

“Nyanyiin lagu dong, suaramu kan bagus..”

De ja vu. Aku sudah muak dengan ini.

“Mau lagu apa? Iwak Peyek? Kucing Garong? Bukan Pengemis Cinta..? hehehe ”

“Huu.. kalau gitu pilihan lagunya... aku aja yang nyanyi ya…” kata Senja.

Senja membelai rambutku, meninabobokanku. Ia mulai bersenandung.

It's times like these you learn to live again…
It's times like these you give and give again…
It's times like these you learn to love again
…”

Anjrit! Di antara sekian juta lagu di dunia, kenapa Senja memilih lagu ini?!

“I.. I’m a new day rising.. I’m the brand new sky that hangs the stars upon tonight…”

Suara Senja mengalun merdu di dingin udara. Masuk kedalam lubang telingaku. Frekuensinya menggetarkan gendang telinga dan cochlea, kemudian dihantarkan sebagai impuls-impuls listrik ke sistim limbik-ku. Nyanyian itu, seperti pisau bedah yang membuka kenangan yang tersembunyi di korteks serebralku.

“Senja…” suaraku tertahan –menahan tangis-

“Ya?”

“Kenapa sih, kamu sayang banget sama aku?”

“Aku gak perlu alasan buat sayang sama kamu, Jay.”

Polos.

Dalam sepersekian detik muncul ingatan indah dengan Senja di otakku. Gambar-gambar itu bagaikan membentuk kolase foto dalam neuron-neuronku: Ada gambar saat pertama kali Senja curhat tentang KW, ada gambar saat aku menyatakan cintaku pada Senja. Ada Senja yang sedang menghiburku saat aku sedih, menyemangatiku mengerjakan skripsi yang kutinggalkan karena patah hati. Ada Senja yang tersenyum ceria dan berputar-putar mengellilingku. Aku tak bisa kehilangan itu semua.

Tangisku pecah. Aku menangis dipelukan Senja. Senja bingung, ia hanya mengusap kepalaku dengan lembut. Hangat, seperti belaian Ibuku.

Aku merasa aku sudah menyakiti Senja tanpa sepengetahuanya. Aku sudah seringkali menyakiti hati perempuan yang mencintaiku dengan tulus ini.

Malam itu, mimpiku yang biasanya kosong mulai terisi dengan beberapa imaji. Dari dalam kekosongan mimpi, mulai muncul panorama senja di Pantai Baron, kemudian muncul wajah Senja, ia tersenyum kepadaku. Sementara, sinar matahari di belakangnya membentuk garis-garis serupa sayap malaikat. Senja mengulurkan tangannya ke arahku, mengajakku berputar-putar di atas pasir. Senja tersenyum, matanya berputar lincah di atas pipinya yang bulat seperti mochi.

Indah.

Ada baiknya aku mulai mimpi yang baru. Mimpi bersama Senja, malaikat yang dikirim untuk menyelamatkanku.
 
Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.

Ubi sunt qui ante nos
In mundo fuere?
Vadite ad superos
Transite in inferos
Hos si vis videre.

Vita nostra brevis est
Brevi finietur.
Venit mors velociter
Rapit nos atrociter
Nemini parcetur.



Bulu kudukku merinding mendengar lagu De Brevitate Vitae, lagu yang selalu dinyanyikan di acara wisuda itu.

Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak pertemuanku dengan Liz, sejak aku menghabiskan malam dalam hujan bersama Senja. Sejak saat itu begitu banyak peristiwa terjadi. Sampai hari ini, hari di mana aku dan ribuan mahasiswa lain sedang menjalani prosesi kelulusan di Auditorium Kampus kami.

“Para wisudawan dipersilahkan duduk.” Kata pembawa acara, seusai lagu dinyanyikan.

Aku mengipas-ngipas dengan lembar susunan acara. Toga yang tebal itu membuatku kepanasan. Lama aku menunggu, sampai akhirnya namaku dipanggil.

“Adipati Jaya Mahardika!”

Aku maju ke podium dengan gagahnya. Menerima ijazah dan bersalaman dengan Pak Dekan. Aku nyengir kuda karena tahu bakal difoto.

Aku melirik ke barisan keluarga wisudawan, mencari-cari Bapak, Ibu, dan Adik-adikku. Namun tempat itu terlalu luas.

Mataku menjelajah lagi ke arah kerumunan orang yang menunggu di sana, berharap menemukan seseorang yang kuharapkan datang hari ini. Ah, harapanku terlalu muluk. Setelah apa yang terjadi, setelah segala hal yang kulakukan kepadanya, mustahil ia datang hari ini.

Aku menghela nafas panjang, sambil mendengarkan sambutan perwakilan mahasiswa yang ber IPK 3,99 itu.

Menjemukan.

Aku memejamkan mataku, menafsir-nafsir takdir, mengira-ngira jarak antara pertemuan dan perpisahan.

Menyakitkan.

Aku kembali tersesat ke dalam ruangan teater imajiner dalam pikiranku. Aku memandangi tumpukan roll film berisi kenanganku, kenangan terakhirku dengannya.

Aku mengambil sebuah roll film, dan memasangnya dalam proyektor imajiner. Perlahan gambaran yang penuh grain muncul dalam benakku.

Kenangan terakhir dengannya.


Nostalgia #7
JOGJA, AU REVOIR

Aku terpaku menatap layar proyektor imajiner, perlahan-lahan mengalun suara piano yang mendayu. Berkelebat imaji Tugu Jogja, dan kendaraan yang lalu lalang.

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja..

…berganti pemandangan di perempatan kantor pos besar dan Benteng Vredeburg. Imaji beralih ke warung tenda di pinggir jalan, senyumnya dan mungil tangannya yang menyuapkan nasi ke mulutku….

Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu

Imaji terdistorsi, ternyata aku hanya makan seorang diri…

Walau kini kau telah pergi tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati

(Yogyakarta –KLA Project)

Semua imaji berkelebat, sebelum melabur kabur. Berganti dengan gambaran tiang lampu jalan yang bergerak cepat di kiri dan kananku. Juga pemandangan jalan yang berkelok.

Imaji senja yang hampir tenggelam itu masih penuh grain. Sinar matahari di hadapanku membuat flare yang mencuat. sementara telingaku dipenuhi riuh suara kendaraan yang menderu.

Aku sedang memacu mobil di jalanan yang ramai. Di belakangku melaju truk barang, membunyikan klaksonnya hendak menyalipku.

“Jay, hati-hati! Jangan ngelamun! Di bel tuh sama truk!” kata orang di sampingku.

“Oh iya,.. maaf.. maaf..”

Aku memasang sein kiri untuk memberikan kesempatan truk bertuliskan “pra one are you the end tought so peer” itu melintas. Matahari hampir tenggelam, posisinya begitu rendah di cakrawala. Silau, aku menurunkan penghalang sinar yang ada di depanku.

Saat ini aku duduk di belakang setir, mengemudikan mobil di jalan raya antar kota yang menghubungkan Yogyakarta-Magelang. Hujan yang turun semenjak siang hanya tinggal gerimis tipis. Wiper mobil bergerak pelan menghapus tetes air yang selalu menetes, seperti nostalgia.

“Maaf ya, jadi ngerepotin…” Ia mengikat rambutnya yang kini sudah memanjang sepundak.
“Ah, gak papa…” kataku.

Aku meliriknya, wajahnya sudah jauh berubah. Lebih tegar, lebih dewasa.

“Senja gak marah kamu nganter aku ke Semarang?”

“Pasti lah! Haha”

“Jiahkakakaka…” tawanya berderai masih seperti dulu ”terus kamu bilang apa ke Senja?”

“Ponakanku di Korea sunatan, sekalian kumpul trah.”

“Kroya! Emang kamu saudaranya Lee Dong Wuk?”

“Ye, Aku masih sodaraan sama Won Bin! Tahu.”

“Jiahakaka! Tolol!”

“Hehe..” aku tersenyum kecut.

“Maaf ya, udah ngerepotin kamu, cuma gara-gara aku ketinggalan kereta.”

Dari rincian di atas, sepertinya aku tidak perlu menjelaskan lagi siapa orang itu. Dia sekarang tampak berbeda, rambutnya kini sudah panjang sepundak dan diikat kebelakang, namun ia tetap mengenakan pakaian yang terkesan tomboi: celana jins belel, dan t-shirt putih ketat bertuliskan “Skill is Dead!”.

Ya, aku tahu ini memang salah. Aku tidak bisa menolak saat Grace tiba-tiba meminta tolong padaku untuk menggantikannya mengantar Liz ke Semarang. Karena besok, pesawat yang hendak membawa Liz ke Papua via Denpasar sudah harus berangkat, padahal mereka terlambat naik kereta terakhir ke Semarang.

Aku tahu perbuatanku ini akan menemukan konsekuensi di kemudian hari, tapi biarlah. Toh aku tidak berselingkuh, aku hanya mengantar seorang teman. Aku merasa masih ada yang mengganjal di antara aku dan Liz, dan harus diselesaikan dengan segera agar semua bisa lega, setidaknya sebelum ia pergi jauh.

Ya, dengan begini aku dapat waktu lebih banyak untuk membicarakan itu. Namun sudah sepertiga perjalanan, lidahku seperti beku. Setelah apa yang terjadi di antara kami, memang sulit untuk memulai pembicaraan.

Suasana semakin aneh. Aku menyalakan radio.

“Rasa cinta yang dulu tlah hilang
Kini bersemi kembali..
Tlah kau coba, lupakan dirinya
Hapus cerita lalu..”


Anjrit! Lagunya Ada Band! Sahabatku Kekasihku! (what a fuckin title). Lagu ini membuat suasana semakin aneh. Aku mengganti stasiun radio.

“Memang salahku, yang tak pernah bisa
Meninggalkan dirinya tuk bersama kamu…
Walau tuk terus bersama,
kan ada hati yang kan terluka
dan ku tahu, ku tak mau..”


Asu! Lagunya Ahmad Band. Liriknya membuatku salah tingkah. Aku mengganti lagi.

“Ku terjebak diruang nostalgiaaaa…”


Aaaaargh! Aku tak kuat lagi, aku mematikan radio.

“Lagunya aneh-aneh ya..” kataku.

“Hehe..” Liz cuma tertawa kecil.

“Music directornya lagi galau..”

“Iya, kaya aku hehe..”

“Galau napa?” pancingku.

Liz terdiam, ia menempelkan kepalanya di kaca samping, memandangi deretan pedagang arca yang berjajar di pinggir jalan Yogyakarta-Magelang.

“Liz? Kok diem? kalau aku ada salah maafin aku ya, Liz.”

“Aku kali, yang sudah buat banyak salah sama kamu Jay, maafin aku ya...” Liz tersenyum getir.

“Iya..”

“Yang terakhir juga.. yang sama Bang Igo,,”

Masih saja perih setiap mengingatnya.

“Iya, ah sudah lewat juga haha..”

“Hehe,.. iya kamu juga udah dapat gantinya kan?”

“Hehe..”

“Senja imut banget lho, jangan dikecewain yaa..”

“Hehe..”

Wah, kalau Senja tahu aku nganterin Liz ke Semarang, dia pasti kecewa hahai.

Liz menghela nafas, “Yah ini mungkin karma buat aku..” Liz terdiam sesaat, “hanya karena terjebak nostalgia, aku jadi kehilangan orang yang benar-benar sayang sama aku.”

Yak, suasana mulai tidak enak sodara-sodara.

“Eh, ngomong-ngomong nostalgia.. masih ingat gak? Waktu aku ditelanjangin pas nginep rame-rame di rumah Grace?” aku mencoba mencerahkan suasana.

“Oh, inget dong.. yang kamu coli sambil nonton bokep maho itu kan?”

“Itu bukan bokep maho! Itu film Brokeback Mountain! Film oscar!”

“Cie sampai apal sebegitunya..”

“Hahaha asem! Gara-gara itu aku digosipin homo, suram.”

“Hahaha, emang kamu maho!” tawanya berderai seperti biasa.

“Ye, daripada kamu transeksual!” balasku.


Dan kamipun tertawa-tawa mengingat masa lalu.

“Nyalain lagi radionya, Jay!”

Suara Monita Tahalea memenuhi kabin. Liz berdendang-dendang kecil. Aku menginjak gas dalam-dalam, menahan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Di kejauhan perlahan-lahan senja tenggelam, berganti langit maghrib yang hitam kemerahan.

Kita pernah ada
Di satu masa bersama
Walau kini tak sama
Jangan lupakan indahnya

Masih selalu ada
Cerita lama dan tawa
Masih tersimpan juga
Sedih saat kau tak ada

Ingat dan teruslah kau kenang-kenang semua
Kata-kata tak perlu kau ucapkan juga
Asal kau terus kau simpan dalam sudut jiwa
Ku ‘kan dapat merasakannya

Ku percaya jalanan kita
Semestinya membawa bahagia

(Monita Tahalea – Ingatlah)

Magelang, 06.35 PM.
Hari sudah malam, kami beristirahat di Magelang, kota di antara Yogyakarta – Semarang. Liz sedang asyik menikmati semangkuk soto ayam ketika hapeku bergetar: My Luv.

“H.. ha.. halo”

aku memberi isyarat Liz untuk diam.

“Iiiih Jay.. jahat bangeeet.. gak sms dari tadi sore” Senja tampaknya ngambek di seberang telepon.

“Ya elah, aku kan tadi nyetir.. gak bisa SMS..”

“Nyetir? Kok gak naik kereta..?”

“Uum.. eh… iya.. naik mobil pakde ku.. sekalian nyetirin keluarga pakde ku yang dari Solo…”

“Aku gak tahu kamu ada pakde di Solo?”

“Umm eh.. ada.. Pakde Bagyo namanya hehe.. sodara jauh.. aku juga baru tahu..”

“Gak peduli! lain kali kabar-kabarin dong.. aku kan khawatir kamu kenapa-kenapa..”

“Iya.. iya sayaaang..”

“Huu.. udah sampai di mana?”

“Di Magelang.. eh.” Wah aku kelepasan

“Emang ke Kroya lewat Magelang?”

Buat yang gak tahu jalan, aku jelasin kalau Magelang dan Semarang itu via jurusan utara dari Jogja, sedangkan Kroya itu jurusan ke barat ke arah Bandung-Jakarta.

“Uh.. eh.. maksudku lagi di Rumah Makan Magelang dekat Kebumen.” Good recovery! Aku memang jenius.

Liz menutup mulutnya, menahan tawa melihat aku yang salah tingkah.

“Jay, kangen nie..” kata Senja.

“Aku juga..”

“Walau kita terpisah jauh, tapi hati kita kan selalu dekat, ai ai ai… ai ai ai.. aishiteru..”

Ternyata aku memiliki pacar seorang alay.

“Errr.. udah ya.. udah diajakin berangkat lagi..”

“Eh iya.. hehe.. dah Ajay.. I love you mmuach!”

“I love you too.. mmmuach!”

Senja menutup telponnya. Tawa Liz pecah, ia tertawa sambil memukul-mukul meja.

“Wakakaka… nggilani tenan kamu Jay!”

“Hehe” aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku,

“Pake mmuach.. mmuach.. dulu sama aku aja gak pakai gitu..”

“Hehehe.. kenapa? Pengin?”

Liz terdiam.

“…. Gak mau! Nggilani!! Hahaha!”

Aku tahu, tawanya yang terakhir tampak dipaksakan.

“Yuk jalan, tar kemaleman sampai Semarang..” kataku

“Yuk…”

“Mas, teh anget 2, nasi soto, gorengan 16.”

“Rp 48.000..” kata Mas dagang soto.

“Liz, pinjam uangmu hehe…”

“Ck. Ck. Ck.. masih aja kere..”

“Hehe…”

Kami melanjutkan perjalanan melewati lereng barat Gunung Merapi. Menaiki lereng gunung ke arah utara. Jalanan cukup lebar dan mulus, namun hari sudah gelap dan lampu penerangan jalan sebagian tidak menyala. Aku harus menyetir dengan hati-hati karena truk dan bus antarkota melaju kencang dari arah berlawanan.

“Jay.. ada nyium bau aneh ga?”

“Ane kentut, wah kecium ya..”

Liz menjitak kepalaku dan membuka jendela.

“Eh, kok aku juga nyium.. kamu kentut ya?” kataku.

“Gundulmu!” Liz tambah mangkel.

“Eh kok kaya bau kemenyan di bakar?”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, tahu-tahu asap sudah mengepul dari kap mobil Grace.

“Aaaaaaah!” kami berteriak seperti kuntilanak. Buru-buru aku menepikan mobil sambil membuka kap, sontak asap tebal membumbung.

Rupanya air radiator belum diisi, sehingga habis dan mesin kepanasan. Setelah asap mereda, Aku memasukkan air mineral ke dalamnya.

Aku mencoba menstarter mobil. “Lho kok gak mau ya?”

“Eh,, yang bener? Coba lagi, Jay.” Liz agak panik
Aku mecoba lagi, malah terdengar suara ledakan.

“Aaaaa!” aku menjerit histeris.

“Udaaah Jay! Jangan dicoba lagi, tar kenapa-kenapa!”

Kami menelpon Grace, ia menanyakan posisi kami. Kata Grace di Ambarawa ada bengkel 24 Jam. Grace akan menelpon ke sana, sebentar lagi petugasnya akan datang ke tempat kami.

Kami menunggu. Di sekeliling kami tidak ada rumah penduduk, hanya ada hutan di lereng gunung merapi. Sementara di sisi kiri jalan ada lembah yang tajam.

Kami tetap menunggu dengan gelisah.

Liz duduk di pembatas di tepi lembah. Tubuhnya diterpa lampu kendaraan berat yang melintas buru-buru . Malam semakin dingin. Liz mememeluk lengannya erat-erat, sepertinya kedinginan. Aku membuka jaketku dan menutupi punggungnya.

“Klise!” jerit Liz.

“Hahaha, apa yang gak klise di dunia ini.”

“Gak mau! Gak mau! Nanti aku gatel-gatel hahaha.”

Liz mencoba melepas jaket, namun aku berkeras.

“Ude, dipake aja napa?” aku memaksanya.

“Kalo aku gak mau?”

“Nanti kamu masuk angin”

“Kalo aku masuk angin?”

“Aku sedih.”

Liz terdiam sebentar

“Klise! Najis ah! Hahaha! But nice try!” ia menyenggol lenganku.

“Hehe” aku cuma nyengar-nyengir.

Aku duduk di sampingnya.

Musim itu seharusnya masih musim penghujan, namun segala kesedihan yang terkandung awan seolah sudah dicurahkan dalam hujan siang tadi, sehingga malam itu langit cerah tanpa awan.

Malam itu, aku dan Liz memandangi langit yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Aku dan Liz seperti sebutir debu yang tersesat di antaranya, diombang-ambing dalam lautan ketidakpastian.

Aku menghela nafas, perasaan ini sepertinya pernah kualami sebelumnya. Liz mesti merasakan hal yang sama.

Tanpa sadar Liz menyandarkan kepalanya di pundakku.

“Senja! Maaf ya.. aku pinjem Jay sebentaar! hehe” Liz berteriak ke arah Jogja, pura-puranya bicara pada senja.

“Pinjem gak boleh! Sewa, 1 jam 10 ribu” aku menirukan suara Senja.

“Hpmh.. hahaha!” Liz tertawa sambil memukul-mukul dadaku.

Aku memeluk pundak Liz. Hangat sekali.

Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu.

“Sudah lama ya..” kataku.

“Iya..”

“Kangen..”

“Aku juga hehe..” Liz mempererat pelukanya.

Dalam sekejap kenanganku bersama Liz, yang kemarin malam sudah kukubur rapat-rapat, kembali muncul. Kenangan itu seperti air bah yang meruah, tanpa bisa kukendalikan lagi.

Namaku Eliza, panggil aja Liz” katanya.
“Oh, ane Jaya, tapi panggil aja Jay, Ajay, Vijay, Inspektur Vijay juga boleh..”
“Hehe.. kok pakai ‘ane-ane’ keturunan arab ya?”
“Haha.. ane dari Korea kok”
“Bohong”
Kenangan saat aku pertama bertemu dengannya muncul ke permukaan. Dadaku sesak. Aku menghela nafas panjang. Liz menoleh ke arahku.

“Jay, kamu kenapa?”

“E.. enggak..”

Mata kami bertemu, wajahnya cukup dekat sehingga aku bisa merasakan nafasnya. Liz, sudah sekian lama semenjak saat itu. Belum pernah lagi kami sedekat ini.

“Liz sebenarnya aku sayang sama kamu” kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.
“Hehe.. aku juga sayang kamu kok Jay” mulut Liz penuh dengan kerupuk.
“Liz.. kamu mau ga, jadi pacar aku?”

Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya.

Kenangan itu, kenangan saat aku pertama menyatakan cintaku padanya!

“Awas kesambet” Liz tersenyum. Indah, cantik sekali. Jauh lebih cantik ketika masih pacaran denganku.

“Iya, habis ente.. eh kamu tambah… cantik…”

“Huu.. inget istri menunggu di rumah..”

“Hehe..”

Aku membelai pipi Liz, masih lembut seperti yang dulu. Liz menghela nafas sebelum memejamkan matanya, membiarkan aku mendekat ke wajahnya.

Aku mengecupnya di bibir.

“Wah, kok jadi gini..” kataku.
“Ini namanya temen ‘makan’ temen” kata Liz
“Minumnya Teh Botol Sosro” jawabku asal, menirukan iklan yang lagi ngetrend waktu itu.
“Hahaha”
“Hehe”

Aku mengulum bibir bawahnya, Liz membalas ciumanku. Kenangan saat pertama kali berciuman dengannya muncul ke permukaan. Aku membelai rambut Liz sambil terus menciumnya. Liz mendekapku erat, seolah tidak mau melepaskanku.

Bibir yang lembut itu, hangat tubuh itu semuanya mengoyak batasan antara realitas dan imajinitas, batas antara masa lalu dan saat ini.

Maaf ya Jay, kayaknya kita gak bisa sama-sama lagi”
“kenapa? Apa ada yang lain?”
“Engak, Jay..”
“Terus?”
“Aku.. belum pantas buat ini..”
“Tapi..”
“Jay, kamu terlalu baik buat aku.”

Perih, aku mendekap tubuh Liz erat. Aku tak ingin kehilangannya lagi.

“Eh, kamu masih sama Senja? Tiba-tiba Liz bertanya.
“Emm.. masih.. “Aku terdiam lama. Jujur saja, tidak enak hati aku menjawab pertanyaanya.
“Hehe yang langgeng ya kalian” Liz tersenyum, tapi seperti dipaksakan

Ingatan saat kami bertemu di hari hujan itu muncul. Mengingatkanku akan satu hal: aku-juga-mencintai-Senja.

Liz mendorong tubuhku, wajahnya tampak sedih.

“Ini salah, Jay!”

“Aku tahu..”

“Aku.. Jadi merasa bersalah sama Senja..”

Kali ini aku yang terdiam lama. Kami saling membisu, membiarkan satu rombongan biker berlalu kencang di belakang kami.

“Dunia gak adil ya..” kataku.

“Kenapa?”

“Waktu aku cinta mati sama kamu, kamu masih sayang sama Bang Igo.”

“Hehe.. waktu aku sudah bisa ngelupain bang igo.. kamu..”

“Jadian sama senja.. haha”

“Haha..” kami menertawakan nasib kami.

“Ironis-“

“-ironis.”

Ujar kami bersamaan.

Kami seperti pagi dan sore yang selalu mengejar satu sama lain, namun tak juga bersua.

“Dunia gak adil ya..” kat Liz pelan.

“Iya..”

“Gak adil, bener-bener gak adil… Huk.. huk..” Liz mulai terisak.

Aku hanya bisa memeluknya sepeti dulu.

“Aku sayang kamu.. Jay.. aku sayang kamu.. huk.. huk..”

Aku membelai rambutnya, seperti dahulu “aku juga, aku gak pernah bisa ngelupain kamu.”

Nostalgia seperti pisau tajam yang disayatkan ke hatiku.

Tangisnya pecah, tangisku pecah.

Kami berpelukan di tengah kegelapan. Kami seperti sepasang bayangan di tengah labirin takdir yang menyesatkan.


**********​

Ambarawa 08.04 PM.

“Sudah sampai mana, sayang?” terdengar suara Senja di telepon.

“Baru sampai Ambarawa..”

“Hah? Kok nyasar sampai Ambarawa?”

“Eng.. ini… Hotel Ambarawa, udah lewat Tegal..”

“Hah?! Hotel?!”


“Iya! Mobil pakde-ku kehabisan air radiator, mesinnya kepanasan, mogok, jadinya kami nginap di hotel.”

Aku tidak sepenuhnya bohong kok! Karena mobil masih harus menunggu perbaikan –setidaknya sampai pagi. Kami memutuskan untuk bermalam di hotel di daerah Ambarawa.

Hotel itu sudah tua, mungkin peninggalan belanda. Jelas terlihat dari perabotnya yang sangat retro, seperti dalam film-film era tahun 70’an. Lampu 15 watt berpijar dengan malas di atap, kadang meredup akibat tegangan yang tidak Stabil. Sinarnya yang berwarna oranye dihalangi kipas angin usang yang menempel di langit-langit di dekatnya, menimbulkan ilusi optik berupa bayangan yang bergerak cepat di seantero kamar.

Di ujung kamar, Liz juga menelpon. Ia duduk di atas ranjang besi usang, sepreinya baru dicuci, namun tampak kecoklatan karena usia.

“Pa,.. Liz telat sampai Semarang nie.. Mobilnya mogok.”

Liz memainkan ujung rambutnya.

“Iya… Liz nginep di hotel… ada… teman…” ia terdiam “cowok..” ia terdiam lagi mendengarkan ayahnya berbicara di telpon..” Iiiih, sebegitunya, Liz kan udah gede, lagian temen Liz gak suka cewek kok! Dia sukanya cowok-cowok yang tegap berbulu.”

ASU!

“Jay.. kok diem?”

“Eh, iya Senja?”

“Itu suara siapa di belakang? Kok kaya ada suara cewek?”

“Nganu.. nganu.. itu suaranya Bu Lik Sri..” aku berbohong.

“Oh.. kamu gak lagi sama Liz kan?”

Jantungku serasa mau copot.

“Apa? Alis? Bu lik Sri alisnya asli kok! “ aku pura-pura tuli.

“Liz!”

“Oh, di sini memang tegangan listriknya naik turun.. suram..”

“Ih, ajay! Liz!”

“Ah, kamu bilang apa? Maaf-maaf di sini sinyalnya jelek! Udah ya.. tar sms-an aja..”

“Jay?”

“I love you.. mmmuach!” aku menutup teleponku.

Liz tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, sambil mengetik SMS buat Senja.

“J4y c@p3 nY, s0Q sMz-n gY y4h. “


Alay juga punya perasaan.

Liz membaringkan kepalanya di sampingku.

Kami sudah dewasa, kami mengerti konsekuensi dan resiko yang jelas apabila dua orang berbeda jenis kelamin berada dalam dalam satu kamar yang sama. Yah, walaupun kondisi yang sama dengan jenis kelamin yang sama juga tidak mengurangi resiko tersebut, ngerti?. Ah, sudahlah tidak usah dibahas.

Kami berbaring bersisian sambil memandangi kipas angin yang bergantung tepat di atas kami. Kipas itu berputar resah, seperti putaran roda kehidupan, seperti siklus pertemuan dan perpisahan.

Aku memegang tangan Liz, ia tidak menolak.

“Ini.. Salah.. Jay..”

“Banget…”

“Aku merasa berdosa.. bersalah sama Senja..”

“Kamu kira aku enggak?”

Lama kami terdiam.

“Besok kamu sudah gak di sini, Liz.”

“Iya, aku pasti bakal kangen kamu..”

“Aku juga..”

“Kisah kita sedih banget ya..”

“Iya..”

Aku berbalik ke arah Liz, berbaring dengan posisi menyamping. Wajah Liz memandang kosong ke langit-langit, dadanya yang terbalut t-shirt putih naik-turun. Galau, namun kegalauan yang menawan.

Aku memandangi wajahnya yang kini tampak semakin cantik. Aku membelai wajahnya dengan punggung tanganku.

Liz diam saja, ada setitik air menetes dari sudut matanya, jatuh menuruni pipinya yang bulat – seperti pipi Senja.

Liz menangis. Aku menyeka air matanya, membelai rambutnya. Liz memegang tanganku, ia berbalik dan menangis di pelukanku.

“Jay.. huk.. huk.. huk..” ia sesengukan di dadaku.

“Cup cup..” ah, kata-kata yang bodoh

“Aku sayang banget sama kamu. tapi.. tapi..huk.. huk..” kemudian tangisnya pecah dalam pelukanku.

“Aku juga..”

“Lama banget aku nunggu hari ini.. huk.. huk..”

Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku memeluknya erat, tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.

“Aku masih sayang kamu, Liz..”

“Aku juga Jay.. aku juga..”

Wajah kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan pipinya yang basah. Aku membenamkan wajahku ke atas wajahnya. Liz menoleh, bibir kami bersentuhan.

Aku mengecupya. Liz menyambut kecupanku.

Kami berciuman di dalam resah, di bawah derau kipas angin yang gundah. Kami bergumul sengit, seperti halnya batin kami yang bergulat dengan kenyataan bahwa ini salah, bahwa aku mencintai Senja, namun aku juga masih mencintai Liz!

“Mmmmh” Liz menciumku dengan penuh emosi.

Ini salah Jay, ini salah! Kamu sudah mengkhianati Senja!


“Mmmh” aku melumat bibir Liz.

Tapi besok Liz sudah pergi jauh!

Aku membiarkan naluri dan perasaan yang memutuskan. Segala jarak, segala kerinduan selama ini seolah dibayar lunas, tuntas oleh cumbu yang menggebu.

Sepasang tubuh saling mencumbu, melepaskan segala kerinduan di atas dipan yang berderit derit. Tubuh kami saling menghimpit dan saling membelai.

“Mmmmh” Liz mendesah di wajahku, nafasnya yang harum memenuhi paru-paruku.
“Liz.. mmmh”

Bibir Liz masih seperti dulu, lembut dan menghanyutkan. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma tubuhnya, ah, begitu membangkitkan kenangan.

Aku menciumi leher Liz, begitu mulus begitu harum. Bibirku bergerak pelan di atas kulitnya yang halus, sambil sesekali menyapukan lidahku ke atasnya.

“Ssssh..” Liz mendesis, tubuhnya sedikit menegang. Liz mendekap kepalaku, untuk mencumbunya lebih jauh lagi.

Aku meraih payudara Liz dari luar kaus putih yang dikenakannya, meremasnya. Aku masih bisa merasakan spons yang menutup payudaranya.

Nafas Liz semakin memburu, ia mengarahkan kepalaku ke bawah. Aku membenamkan wajahku dari luar kaus yang dikenakan Liz, menggigit payudaranya dari luar, sehingga menimbulkan bekas basah di atas tulisan “Skill is Dead”.

“Aaa..” Liz menjerit pelan saat aku menggigit di atas putingnya.

Kedua tanganku bergerak membelai punggungnya, dari bawah-ke atas. Begitu berulang-ulang sambil membenamkan kepalaku di dada Liz dengan ritme yang sama.

“Aah.. aah… aah…” Liz mendesah seperti sulit bernafas saat aku memeluknya secara berirama.

“Hah.. haa.. haa. H.. h..” Nafas Liz semakin memburu. Aku meliriknya, wajahnya sudah sayu, penuh dengan birahi yang tertahan.

“Mmmmh!!” Liz menghisap bibirku kuat-kuat sehingga sebagian saliva-ku memasuki mulutnya.

“Mmmh!” aku menjulurkan lidahku, membelai bibir Liz. Liz membuka mulutnya, menghisap lidahku. Disambutnya ujung lidahku dengan ujungnya.

“Mmmhhh..” Aku memejamkan mata, menikmati sensasi ketika lidah kami saling mengelus dan membelai.

Desah nafas Liz semakin berkejaran, bercampur dengan deru kipas angin yang seperti mau mampus.

Aku menelusupkan tanganku ke balik kaus Liz, menyusuri perut dan punggungnya. Tanganku bergerilya, mencari kait BH Liz.

Liz tersenyum, ia mendorong tubuhku dan duduk di atasnya. Ia mengangkat tanganya membuka sendiri kausnya. Sesaat kemudian kaus putih “Skill is Dead” itu sudah tergeletak di tergeletak di lantai.

Lampu 15 watt dilangit-langit berpendar redup, tanda tegangan sedikit turun. Cahayanya yang kekuningan jatuh di atas tubuh Liz yang ditutup BH berwarna hitam.

Liz meraih kebelakang punggungnya, membuka kait BH-nya sendiri. Tak sampai sekejap mata, benda itu sudah menyusul kaus-nya di lantai.

Aku menelan ludah. Payudara itu masih seperti dahulu, bulat sempurna. tidak berubah seolah tidak ada yang menyentuhnya selain aku.

Liz tersenyum nakal. “do you miss this?” ia memainkan putingnya yang berwarna coklat muda dan sudah mengeras.

“Umm… y-yes…”

Liz menempelkan dadanya di wajahku. Aku menggigitnya. Liz menjitakku.

“Kangeeeen… Habis nggegemesin banget hehe”

Ya, aku benar-benar merindukan menyusu pada Liz. Aku menghisap dan menjilati putingnya. Lahap, seperti anak yang tidak mendapat ASI selama bertahun-tahun.

“SSSh… oooh! Sssssh…. Oooooh!”

Liz mulai mendesah desah saat aku menghisap putingnya dan kulepas, kuhisap-kulepas, begitu berulang-ulang seolah bermain dengan birahi-nya.

“Ooooh! Ooh! Oooh!” Liz mulai menjerit-jerit sambil membekap kepalaku.

Liz mulai dimabuk birahi, tangannya meraba-raba kemaluanku yang menegang dari balik celana Jins ang kugunakan. Aku membantunya, aku membuka sabuk dan reitslitigku, sehingga Liz leluasa meraba penisku dari balik celana dalamku.

Tangannya yang lentik membelai kemaluanku, menyelinap ke balik celana dalam, dan..

“Ooooh!” aku melolong, jemari Liz memijit-mijit selangkanganku. Birahiku membuncah, aku meraba kemaluan Liz, meraih-raih Sabuk dan reitslitingnya.

Liz paham niatku, ia berguling ke sampingku, dan membuka celana jins belel-nya dengan cepat. Begitu juga aku, meloloskan kaus dan celanaku, dan mencampakkannya ke lantai.

Aku langsung menindih tubuh Liz yang setengah telanjang, dan melumat bibirnya.

Tubuh kami yang tinggal terbalut celana dalam saling berhimpitan. Naluri primata-ku memerintahkan untuk menggerakkan pinggul, sehingga penisku yang tegang menggesek vagina Liz dari luar celana dalam.

“Mmmh… Ke bawahin dikit Jay..”

“Di sini?”

Liz mengangguk lemah, wajahnya sudah diwarnai birahi.

Aku menggerakkan pinggulku. Liz memejamkan matanya.

Kemaluan kami saling menggesek meski terhalang dua lembar kain. Aku merasakan vagina Liz yang membasahi celana dalamnya.

“Mmmh.. ooh! Ooh!”

“Ugh..”

Sebenarnya aku kurang menyukai petting, karena menyebabkan penisku terjepit, pernah juga keseleo. Tapi biarlah, selama Liz menikmatinya. Melihat wajahnya yang merona membuatku ingin membahagiakannya, meski untuk yang terakhir kali.

“Oooh! Oooh! ooH” Liz tampak menikmati permainanku.
“Enak?”

“Banget.. ooh! Ooh!”

“Mmmh..”

Aku melumat bibirnya.

“Mmmh..”

“Mmmhhh…”

“Masukin Jay h h. h..…”

Liz tampak tersenggal, sepertinya ia sudah tidak dapat menahan birahi lebih lama lagi.

Liz mengangkat pinggulnya, dan menurunkan celana dalamnya dengan cepat.

Lampu 15 watt itu berkedip, namun mataku tidak. Liz mencukur habis bulu-nya, sehingga vaginanya polos dan mulus seperti bayi.

Aku menelan ludah, belahan itu sungguh menggoda, seperti marshmallow. Aku menerkam vagina Liz, menjilatinya seperti kucing.

“Jay! Kamu ngapain?! Aaah!! Aah!!”

Liz tampak terkejut, ia mendorong kepalaku.

“Eh?”

“Hah.. h.. Langsung aja…”

Ya sudah, aku melepas celana dalamku, semetara Liz membuka pahanya lebar-lebar. Aku dmengambil posis berlutut di antara paha Liz.

Aku memandang mata Liz lekat-lekat, wajah itu, astaga aku ternyata tidak pernah bisa berhenti mencintainya.

Aku mengecup bibirnya sebelum melesakkan kejantananku ke dalam tubuh Liz. Liz memejamkan matanya, sambil mendesis.

Selama beberapa detik aku membiarkan kejantananku berada di dalam liang Liz, membiarkan dindingnya yang masih saja sempit, memijatku perlahan.

Dalam situasi ini, aku bisa merasakan hanat tubuhnya, dada Liz yang naik turun, dan jantungnya yang berdetak-detak.

Mata kami saling menatap, membuat kesepakatan untuk saling memompa.

“Ah…”

“Ha.. h.. h..”

“h.. h.. “

“h..h..”

Untuk sesaat hanya terdengar suara nafas yang memburu dan ditimpali suara kipas angin diatas. Sesaat kemudian suara itu berganti denga suara desah dan erangan.

“Ah!

“Aaaa..”

“Uuuuh..”

“Ahhh..”

“Ah…”

Membuatku semakin bersemangat menggenjot pinggulku, sehingga menimpulkan suara paha yang beradu.

“Plak! Plak!”

Liz memelukku erat, melingkarkan pahanya di pinggulku.

“Ugh!” aku merasakan geli yang amat sangat di sekujur kejantananku. Meki liz begitu hangat, begitu nikmat, begitu memabukkan

“Aah! Aah!” Liz menjerit saat aku menghujamkan kejantananku sekuat tenaga. Wajahnya begitu cantik, bertambah cantik apabila dimabuk birahi. Aku mengulum bibirnya.

“Mmmh!” kami berpagutan sambil menghisap.

“Bbbbrrt…” HP-ku bergetar-getar di atas meja di samping kasur

Mungkin Senja menelponku. Aku tak menghiraukannya, aku terus memompa.

“Bbbbrrt… Brrrt.. brrrt…. ” HP-ku terus bergetar-getar

“Jay.. h.. h.. ga diangkat?”

“H.. h.. h… ga usah..” Aku terus mencumbu Liz

“Brrrt… brrrt bbbrttt” HP terus bergetar, merusak konsentrasi kami. Aku meraihnya dan me-reject panggilan. Aku kembali memompa.

“Bbbbrrt… Brrrt..” HP-ku kembali bergetar.

“Angkat Jay..”

“Gak usah..”

“Angkat..”

“Ga..”
“Angkat ga!” Liz setengah berteriak, ia mendorong tubuhku kuat-kuat.

Aku mengangkat telepon dengan kesal. Ternyata benar Senja, ia tidak bisa tidur karena kangen kepadaku. Aku berdiri mondar-mandir sambil membujuknya untuk tidur. Sementara Liz yang masih telanjang meringkuk di ujung dipan, memandangi jendela dengan tatapan nanar.

Begitu telepon ditutup, aku meloncat ke atas ranjang, namun Liz menepis tanganku.

“Jahat, kamu Jay!”

“Hah?”

“Kamu Jahat! Kamu sudah jahat sama Senja!”

Liz benar.

“Tapi aku cinta kamu L-“

Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, ketika tamparan keras mendarat di pipiku.

“KAMU GA PUNYA HAK BUAT NGOMONG GITU!” Liz berteriak.

“Aku memang sayang kamu!” jeritku

“AKU JUGA SAYANG KAMU, TAPI AKU SUDAH GAK PUNYA HAK UNTUK ITU!!” Liz berteriak histeris sebelum menangis sendiri. Aku membelai wajahnya, namun Liz menepis tanganku kasar. Aku memaksakan memeluknya, Liz meronta namun akhirnya ia menyerah. Liz menangis dalam pelukanku.

**********​

Malam semakin dingin, seperti suasana dalam kamar itu. Liz meringkuk di dekat jendela sambil memandangi kabut tipis yang mulai turun di luar sana.

Aku duduk di lantai di seberang kamar, menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asapnya ke langit-langit, membiarkannya dihapus oleh putaran kipas angin.

“Kamu.. sayang Senja?” tanya Liz.

“Sayang..”

“Cinta?”

“Cinta” jawabku mantap.

“Kalau gitu, kamu gak boleh kaya aku Jay…”

Kami terdiam, hanya ada suara putaran kipas angin.

“Dulu, karena tidak bisa ngelupain Bang Igo, aku sudah nyakitin kamu, kan?”

Aku diam, menghisap rokok dalam-dalam, abunya jatuh ke lantai.

“Aku.. sudah belajar banyak hal dari itu…”

Aku masih diam, menghembuskan asapnya ke udara, sehingga kamar itu dipenuhi bau rokok.

“Kita… tidak boleh terjebak dalam nostalgia, Jay…”

Liz benar.

Liz bangkit dan duduk di sampingku. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

“Aku, gak tahu kamu merokok?” kataku.

“People change..” Liz menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Sejak kapan?”

“Sejak aku putus sama kamu..” Sahut Liz.

“Jangan ngerusak diri, Liz” aku kasihan padanya.

“Biar!”

Aku merebut rokok Liz dan mematikannya, begitu juga rokokku. Liz tampak kesal.

“Nah, siapa yang gak konsisten sama kata-katanya sendiri?” tantangku.

“Maksudmu?”

“Siapa yang gak bisa keluar dari masa lalu?”

Liz terdiam. Ia menyandarkan tubuhnya dilenganku.

“Kita semua… terjebak dalam nostalgia…” kataku.

“Iya..” Liz menyahut lirih.

“Kenapa yaa..” aku bertanya pada diriku sendiri.

Kami terdiam, Liz merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menggenggam tangannya. Aku memejamkan mata, mengingat setiap kenangan dengan Liz.

“Namaku Eliza, panggil aja Liz” katanya.
“Oh, ane Jaya, tapi panggil aja Jay, Ajay, Vijay, Inspektur Vijay juga boleh..”
“Hehe.. kok pakai ‘ane-ane’ keturunan arab ya?”
“Haha.. ane dari Korea kok”
“Bohong”
Sambil menunggu pesanan datang. Aku iseng-iseng melipat tissue makan menjadi bunga.
“Bunga buat tuan putri…”
“So sweet banget..”
“Ya iyalah, Ajay: tampang gorilla hati Raisa”
Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku. Aku menundukkan kepalaku, sehingga keningku dan Liz beradu.

“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.

Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.

“You brighten my day…”
“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di

antara angin sore yang sejuk.
“Karena kenangan itu indah..” aku mejawab pertanyaanku sendiri

Liz terdiam dan mulai menangis, “indah.. kenangan sama kamu memang indah, Jay..”

Dan semua kenangan berputar seperti film. Sementara kipas angin terus berputar seperti roda takdir Clotho, Lachesis, dan Athropos. Malam itu dipenuhi dengan percakapan sepasang insan. Kami saling berwacana dan berkontemplasi. Berbincang mengenai takdir, mengenai mimpi, mengenai masa yang tak dapat diputar ulang. Malam itu kami menangis, tertawa, melepas segala emosi ke udara.

“kenangan itu indah, tapi esok hari bisa jadi lebih indah.” Ucap kami bersamaan.

Kami tersenyum, menertawai takdir yang mempermainkan kami. Memang perpisahan memang sudah tidak bisa dielakkan, tapi inilah kenang-kenangan terakhir dari kisah kami.

My last night here for you
Same old song, just once more

My last night here with you
May be yes, may be no…

Aku memandangi wajah Liz lekat-lekat, aku sangat mencintainya. Aku mengecup keningnya, Liz tersenyum. Aku mengecup bibirnya, merasakan lembut dan hangatnya, mungkin untuk yang terakhir kali.

Malam itu kami bercinta untuk terakhir kalinya, seolah menghapus jarak yang hilang selama ini. Aku memejamkan mata, membiarkan nafsu dan emosi mengambil alih.

Aku membiarkan tanganku bergerak, membelai sekujur tubuh Liz, menyusuri lekuk tubuhnya. Aku merasakan birahi yang menggelegak, bergolak-golak dalam dadaku.

Aku memejamkan mata, melarutkan diri dalam nafsu yang gemuruh.

Sementara kipas angin di langit-langit berputar resah, tidak sanggup mendinginkan udara yang memanas oleh nafas kami.

“H.. h… h…”

“Hah.. h.. h..”

Pengap, tubuh kami membasah oleh peluh.

“I love you, Liz..”

“I Love you, Jay..”

“Hmmh..”

“Mmmh..”

Aku melumat bibir Liz, menghisapnya kuat kuat. Kami berpagutan sambil berpelukan di atas ranjang. Kami saling menghisap, lidah kami saling membelit dan membelai.

Hangatnya, lembutnya, mungkin besok aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

Resah itu begitu entah.

Kami bergelung dan bergumul di atas ranjang reot di kamar hotel itu, sehingga menimbulkan bunyi berderit-derit.

Sekarang Liz ada di atasku, ia menciumi wajahku dengan emosional. Pingulnya bergerak-gerak, sehingga kejantananku menggesek di selangkangannya.

Nafas Liz memburu di wajahku, wajahnya sudah merona merah.

“H.. h.. h..” Liz menatap mataku dalam-dalam seolah menembus ke relung hatiku.

Aku sayang kamu Liz.

Kejantananku memasuki rahim Liz, seperti menjelajahi ruangan penuh kenangan yang misterius.

“Ssssh… hhh..” Liz mendesis, saat kejantananku bergesekan dengan dinding vaginanya.

Begitu.
Sempit.
Basah.
Hangat.
Geli.
Ngilu.
Rindu.
Pilu.

Semua membaur seperti seribu perasaan yang bergolak di hatiku.

Lampu berkedip pelan, memulaskan warna kuning ke sekujur tubuh Liz yang penuh keringat. Aku memandangi wajahnya yang sayu, seluruh lekuk tubuhnya, sepasang payudara yang menggantung indah.

Liz melepas ikat rambutnya, ia menggerakkan kepala, mengibaskan rambutnya di udara. Ia tampak begitu menawan.

Liz memandangi mataku lekat-lekat. Kini rambutnya tergerai, menutupi pundaknya.

Ia tersenyum, sebelum menggerakkan pinggulnya.

“Uuumh…” Liz memejamkan matanya.

Malam itu kami bersetubuh. Menyatukan dua tubuh yang berbeda, dua jiwa yang berbeda, menjadi satu. Membaurkan segala emosi dan segala kerinduan.

“Jaaah!! Aaah!”

“Liiiz”

“Oooh ooh! Ooh! Ooh!”

“Uggh! Uugh!”

“Ooooooh!”

Liz menunggangi tubuhku dengan emosional, dadanya berguncang-guncang hebat di depanku.

Liz memutar-mutar pinggulnya, kadang ia dengan sengaja mengkontraksikan dinding-dinding vaginanya.

Aku tidak bisa menahan sensasi geli ini.

“Lizz.. oooh” jerit...

“kenapa ah.. h.. h..”

“J-jangan.. oooh!”

“Hah.. hah.. oooh” Liz terus memompa dengan kencang.

“Nanti aku.. ooh! Keluar duluan!” jeritku.

Liz tetap menungganiku seperti kesurupan. Sensasi geli ini, pijatan dinding vagina Liz, membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

“Liiz! Aku sudah mau.. aaaah!”

“Sshh.. Oooh! Tahan Jay! Aku juga bentar lagi! Aaah!”

Ada yang menggelegak, hendak meledak. Aku merasakan pinggulku bergerak diluar kesadaranku.

“Aaaaah!” aku berteriak.

Namun Liz terus memompa, seakan tidak peduli. Batangku masih tegak, mungkin untuk beberapa saat lagi. Liz tidak mau menyianyiakan kesempatan ini. Ia terus memompa dan memompa.

“Aaaah aaah aaah aaah aaaaa” Ia mulai meracau.

Wajahnya yang basah sudah merona merah, sayu, penuh dengan birahi. Liz memejamkan matanya, meletakkan tangannnya di belakang kepalanya.

“Aaaaaaaaaah!” Liz berteriak panjang. Dadanya membusung, punggungnya melengkung. Sesaat kemudian seluruh tubuhnya bergetar hebat, menggelinjang ke sana kemari.

Liz ambruk ke atas dadaku dengan gerakan Slow motion.

“Hhh.. h… h… h…”

Kipas angin berputar resah, mengiringi nafas kami yang terenggah.

Aku memeluknya, membelai rambut Liz yang kini sudah memanjang.

Lama kami berpelukan, kami membiarkan angin yang berhembus dari kipas angin membelai tubuh kami yang telanjang.

“Jay..”

“Yah…”

“Aku sayang kamu..”

“Aku juga…”

Aku mengecup kening Liz.

“Jay, kamu harus janji satu hal..”

“Iya, Liz?”

“Kamu.. jangan pernah ngecewain Senja…”

Liz tersenyum, namun kali ini bukan senyum yang dipaksakan.

“Pasti..” Jawabku

Mata Liz tampak berbinar cerah.

“Kamu juga harus janji, Liz.. kamu harus bisa move on..”

“Pasti dong.. emang cowok cuma kamu doang haha..”

“Hehe… Populasi cowok sekarang dikit lho, makanya banyak yang poligami.. kamu.. hehehehe..”

Aku jadi membayangkan punya istri dua.

“Wek! Gak mau! Mending aku sama cewek aja”

“Apa?”

“Hehehe” Liz tersenyum penuh misteri

What the…

“Liz..”

“Apa?”

“Kamu mau..?”

“Poligami? Ogah!”

“Bukaaan! Kamu mau berapa ronde?”

Liz menutup wajahku dengan bantal.

“Dasar cowok mesuuuuuum!!”

“Hahaha”

Tawa kami berderai, seolah lupa akan perpisahan yang menanti.

“12 Rondeee!!!”

“What?! Patah perkakas ane nanti!!”


Ambarawa 04.04 AM

Aku terbangun saat HP-ku bergetar. Telepon dari bengkel, mobil kami sudah bisa digunakan.

Aku mengecup pipi Liz yang terbaring di sampingku. Ia mengeliat malas, sambil tersenyum. Aku mengecup bibirnya.

“Yuk.. dah beres nie mobilnya”
“Mandi dulu?”

“Hehe.. boleh..”

Dingin air di pagi buta seolah menghapuskan rasa sakit selama ini. Rasa sakit karena kenangan dan rindu.

Aku membiarkan air membasuh tubuh Liz, membuatnya berkilat-kilat penuh titik air.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku.

“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.

“Hahaha lagu ini!!!” Liz tampak berbinar.

“Hehe, masih ingat?”

Liz mengangguk. Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.

“You brighten my day…” sahutnya.

“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara air keran yang menderu deras


Semarang, 05.30 AM

Fajar sudah menyingsing ketika kami melewati Tugu Muda ke arah barat. Mobil Grace menggunakan transmisi otomatis, sehingga aku bisa dengan leluasa menggenggam tangan Liz. Aku menggenggamnya erat, karena ini adalah saat-saat terakhirku bersamanya.

“Jay..” kata Liz saat mobil kami berhenti di Lampu merah.

“Apa?”

“Di depan sana udah rumahku.

“Oh..”

Begitu singkat kenangan kami.

“Liz, jangan pernah lupain aku..”

“Iya, kamu juga..”

Aku mengecupnya di bibir untuk terakhir kalinya. Manis bercampur getir pahit.

Lampu menyala hijau, tanda hidup harus terus berjalan.


Semarang, 05.40 AM

Kami tiba di rumah Liz, dan disambut oleh orang tuanya.

Papa Liz tinggi besar, dan badannya penuh bulu lebat. Nyaliku langsung ciut melihatnya, namun sepertinya Papa Liz lebih takut kepadaku. Ia memandangku dengan takut-takut, karena kemarin malam Liz mengatakan bahwa aku suka cowok yang berbulu.

“Jaya, Oom” aku memperkenalkan diri.

Ayah Liz cepat-cepat menarik tangannya setelah bersalaman denganku.

“Jaya? Kok mirip kaya nama mantan pacarnya Liz?”

Quote:Aku memikirkan beberapa skenario
Skenario pertama.
Aku : iya oom, saya Jaya, mantan pacarnya Liz..
Papa Liz : Oooh, jadi kamu ngapain aja di hotel?
Aku : ML, oom..


Maka aku menjawab dengan jawaban yang aku rasa paling jenius (mungkin juga paling tolol) sedunia.

“Oh itu teman saya, Jaya Mahardika.. kalau saya Jaya Suporno.” aku berbohong dan pura-pura kemayu.

Liz menahan tawa dari kejauhan.

Ternyata penerbangan Liz ditunda sampai jam 3 Sore. Hari itu aku seharian berkumpul dengan keluarga Liz – yang seharusnya menjadi keluargaku- ah sudahlah tidak usah diungkit-ungkit lagi.

Sore itu, aku ikut mengantar Liz ke Bandara. Liz berpelukan dengan Orang Tua-nya sambil menangis, aku terharu melihatnya, aku teringat ibuku yang menunggu di rumah.

Liz menoleh ke arahku, dan tersenyum.

Senyumnya bukan lagi senyum kehilangan, namun senyum yang indah dan lega.

“Have to go..”

Aku mengangguk.

“Makasih ya Jay, makasih buat semua kenangan indah selama ini.”

Perih.

“Kamu kenanganku yang paling indah, Liz.”

Liz tersenyum “makasih Jay, tapi di Jogja menanti kenangan.. bukan, masa depan yang lebih indah dari aku.”

Liz benar.

Aku memeluknya erat. Orang tua Liz ikut terharu, mungkin mengira anaknya berpisah dengan sahabat gay-nya.

“I love You-“

“I love you”

Bisik kami berbarengan.

Liz tersenyum dan berlalu di balik pintu otomatis.

“Au Revoir!” katanya.

Saat itu aku masih bisa tersenyum, saat Liz menghilang di balik kerumunan antrian orang di sana.

Tangisku baru pecah saat mobil yang kukendarai melaju meninggalkan Semarang. Garis-garis pembatas jalan bergerak dengan cepat, resah seolah memberi isyarat kenangan yang tak akan kembali lagi

Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, menaiki Bukit Gombel yang gelisah diterpa matahari senja. Mobil yang kunaiki perlahan menjauh dari kota Semarang, menjauh dari semua kenangan bersama Liz.

Aku menyalakan radio, mengalun lagu-nya Utada Hikaru yang dinyanyikan ulang oleh Boyz II Men. Panorama senja di depanku, membuatnya seperti ending sebuah film.

The last kiss we shared tasted like a wine
sweet and bitter, like our memories
and i long for you to come right back to me

Tomorrow the time will be the same as today
nothing goes on in my heart except your memories
where will you be, and who will you think of…!

you were always gonna be my love
and you should know
even if i fall in love with somebody else
i’ll remember to love you taught me how

you were always gonna be the one
and for now, i’ll still be singing this love song
for… somebody like you
Amy first love…
 
Bimabet
Nostalgia #8
NO FORMULA FOR HAPPY ENDING

Mobil itu melaju kencang meninggalkan kota Semarang. Matahari sudah terbenam dan menyisakan Langit yang menghitam.

Pembaca mungkin bertanya-tanya, bagaimanakah akhir cerita ini? Bagaimana endingnya? Mari kita simak. Ending dalam sebuah film itu ada dua macam.

1. Happy Ending: tokoh utama cewe menyusul sang cowo ke bandara, mereka cipokan. Lalu sang cewe memandangi pesawat yang mengangkasa dengan galau, sambil teringat kata-kata terakhir sang cowo: “Aku akan kembali pada satu purnama.” Hueeek cuuuh! Emangnya elo siapa? Manusia serigala? Jacob black? Auuuuu!!!
2. Sad ending: tokoh utama cewe dan cowo tidak bisa bersatu karena suatu alasan, seperti dalam film Cin(T)a, atau (500) Days of Summer.

Pembaca yang budiman, anda tidak bisa memungkirinya, saat membaca sebuah cerita atau menonton sebuah film, anda pasti berharap tokoh utama hidup bahagia selama-lamanya.

Semua orang ingin akhir yang bahagia. Semua orang ingin mencari happy endingnya, namun berapa persen yang menemukan? Banyak orang malah berputar-putar dalam labirin panjang tanpa akhir, hanya untuk: menemukan akhir bahagia.

Pertanyaannya adalah: apakah akhir bahagia itu? Apakah happy ending itu?

Seringkali kita merasa tidak puas dengan akhir yang kita peroleh dan berkata, “ini bukan happy ending gue!” lalu tetap mencari, dan terus mencari. Padahal kita tidak tahu saat itu kita sebenarnya sudah menemukan akhir bahagia. Kadang kita terlalu serakah, sehingga kehilangan happy ending yang sudah di depan mata.

Hidup bagaikan ribuan pencarian. Namun sampai kapan kita harus mencari?

Ke mana kita harus menuju?

Kita tak harus menuju kemana, kawan.

Kita hanya tinggal mengikuti kemana takdir membawa. Kita –manusia- tidak pernah memiliki: nyawa, harta, cinta semua hanyalah titipan yang suatu saat bisa direnggut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan semua telah tertulis di Langit yang tak terjangkau akal manusia. Semuanya datang silih berganti seperti roda kehidupan, seperti siklus siang-malam. Segala yang hilang akan digantikan dengan yang baru. Pohon yang mati akan menjadi kehidupan bagi benih yang baru. Semuanya berputar, seperti Bumi. Hari akan selalu berganti. Semua yang terjadi tidak mungkin diulang lagi.

Mobil yang kukendarai terus melaju tanpa henti.

Situasi ini membuatku merenung dan berkontemplasi.

Aku sampai pada suatu kesimpulan: aku harus terus berjalan, berjalan dengan kepala tegak! Bukan dengan tertunduk. Terus berjalan ke depan, tanpa menoleh ke masa lalu, karena terjebak dengan masa lalu hanya akan membuat kita kehilangan masa depan.

Dadaku terasa sesak, namun bukan sesak karena putus asa. Melainkan sesak karena suatu semangat yang hendak meledak.

Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Aku berteriak sekuatnya. Tangisku pecah, namun bukan tangisan kesedihan. Melainkan air mata kelegaan. Dadaku terasa lapang. Aku telah menemukan pencerahan, aku telah melakukan katarsis! Aku telah mengalami penyucian jiwa!

Mobil ini melaju kencang di sepanjang Jalan Magelang, sehingga lampu jalanan berkelebat dan terlihat seperti garis lurus saja. Sangat cepat, seperti mobil d’Lorean dalam film Back to the Future. Ya, hari ini aku akan meninggalkan masa lalu menuju masa depan!

Mungkin inilah happy endingku.

********************​

Yogyakarta 7.30 pm.

Aku sudah mengembalikan mobil ke rumah Grace, dan sekarang aku sedang merokok di teras rumahku. Tiba-tiba ada suara motor datang.

Senja. Ia menghambur ke arahku.

“I miss you so much!” Senja menghambur ke arahku, memelukku erat seperti tidak bertemu denganku bertahun-tahun.

“Hahaha.. awas remuk tulangku!” aku mengecup keningnya.

“Hehe Gimana Kroya?” Senja masih belum melepaskan pelukannya.

“Jauh.”

“Haha.. Pos ronda tuh dekat!”

“Hehe..”

Aku menatap matanya dalam-dalam. Mata Senja benar-benar mata orang yang mencintaiku. Menyelinap perasaan bersalah di hatiku. Pelan, menelusup dan bergema di relungnya.

Kamu Jahat, Jay…

Kamu Jahat, Jay…

Kamu Jahat, Jay…

Kamu Jahat, Jay…

Dasar Pengkhianat…

Dasar Pengkhianat…

Dasar Pengkhianat…

Dasar Pengkhianat…

Dadaku sesak, aku merasa bersalah. Aku telah menyakiti hati orang yang sangat mencintaiku ini, meski tanpa sepengetahuannya.

Aku mendekap Senja erat, dan berkata “maafin aku Senja.”

“Hihihi.. maafin kenapa?”

Aku sadar, apa yang akan kuucapkan berikut akan membawa implikasi yang besar terhadap kontinutas alam raya.

Aku tidak bisa memutuskan.

Kalian yang memutuskan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

ENDING A.
"JIKA KALIAN BERBOHONG KEPADA SENJA."
“Maafin aku sudah sering buat kamu cemburu”
Senja mendekapku erat.

“Maafin juga, sudah ambil perawan Senja…”

“Senja sayang Jay, aku merasa Jay yang akan jadi suami Senja..”

Aku menatap matanya, tatapan yang serius.

“Kenapa begitu yakin?”

Senja tidak menjawab, ia tersenyum kepadaku. Sementara lampu neon di halaman membuat ilusi berupa garis-garis serupa sayap malaikat di belakangnya.

Tangisku pecah. Malam itu aku menangis seperti anak kecil di pangkuan Senja. Ia, dengan sabar membelai rambutku.

Hangat.






Every new beginning comes from some other beginning's end.”
(Closing Time – Semisonic)​


Demikianlah, kisah ku dengan Liz usai sudah. Tabir pertunjukan telah ditutup. Aku menghela nafas panjang sebelum mematikan proyektor imajiner. Aku mengembalikan roll film 8 mm berisi kenangan bersama Liz ke tempatnya semula. Tak akan kubuang kenangan itu, namun tak akan kuingat-ingat lagi.

Katarsis, aku telah melakukan penyucian Jiwa. Setelah sekian lama akhirnya aku berdamai dengan masa laluku, dan menemukan kelegaan atas kenanganku bersama Liz.

Aku berjalan dengan mantap, keluar dari gedung teater imajinasi menuju kenyataan. Keluar dari ruang nostalgia menuju masa depan! Aku melangkah dengan toga yang gagah. Di luar orang-orang tak henti-henti menyalami dan memberi selamat, ada keluargaku ayah ibu dan adik-adikku. Datang juga teman-temanku: Jimmy, Buluk, Grace, KW dan Slamet.

Hari ini aku melangkah ke seberang, dari mimpi-mimpi menuju alam nyata. Tak lagi dengan pesimistis, namun dengan langkah tegap yang pasti.

Aku memeluk ibuku sambil menangis, aku merasa telah berbuat banyak dosa dan tidak bisa membanggakannya.

Slamet dan Grace menyelamatiku. “Congaratulations ya masbro” Slamet nyengir. Slamet sendiri masih mengulang beberapa mata kuliah, kalau tahun depan ia tidak lulus juga, ia bakal di-D.O. Grace juga memberi selamat. Saat ini Grace sudah bekerja di perusahaan ayahnya.

“Selamat.” kata KW seperti biasa singkat-padat-jelas, sekarang ia sedang melanjutkan S2.

Di sekelilingku penuh dengan wisudawan dan keluarganya. Mataku memandang ke sekeliling. Aku tak lagi mencarinya, karena aku memang tak perlu lagi mencari. Aku sudah menemukannya, seorang wanita cantik yang mengenakan dress berwarna Jingga. Matanya bergerak lincah di atas pipinya yang bulat seperti kue mochi.

“Sayaaang maaaf telat, aku tadi masih ada kuliah.” Senja menghambur ke arahku.

Aku memeluknya erat, aku tak ingin kehilangan lagi.


Ku menempuh sedalam lautan

Ku mencari arti kehidupan
Mendaki gunung kekecewaan
Melelahkan..

Kau menjelma seperti khayalan
Kau impian dalam kenyataan
Perjalanan yang penuh likunya
Kini telah tiba di sisimu selamanya


Lapangan itu penuh dengan wisudawan yang berfoto bersama keluarga atau pun teman-temannya.
Aku berjalan bersama Senja di bawah pohon pacar air menyusuri jalan setapak yang mengitari gedung auditorium.

Aku memandangi langit kota Jogja yang tak lagi berwarna kelabu. Di kejauhan, Merapi berdiri dengan gagah, dipeluk langit yang membiru. Hari ini, hidupku kembali berwarna.

Aku memegang tangan Senja erat. Kami berjalan sambil berpegangan tangan. Semetara angin berhembus, menggugurkan kelopak bunga pacar yang berwarna merah muda, persis seperti bunga sakura.

“Gimana kabar Liz yah?” tanya Senja

“Hah, aku gak tahu.. di sana kan ga ada sinyal.. kok tiba-tiba nanyain Liz”

“Aku.. jadi kasihan sama Liz” kata Senja

Ia benar, kali ini aku yang terdiam.

“Udah gak cemburu lagi sama Liz?”

Senja menggeleng “karena Senja tahu, Jay sekarang cuma sayang sama Senja..”

Sepertinya Senja sudah lebih dewasa. Kita semua memang harus jadi dewasa.

“Yah.. mudah-mudahan Liz menemukan yang lebih baik dari aku..”

“Ye, berarti yang jelek-jelek buat aku gitu?” kata Senja

“Hahaha… gak papa kan? Soalnya orang jelek biasanya dapat cewek yang lebih cantik..”

“Maksudmu?” Senja mencerna ucapanku.. “Iiiih Ajaaay!! Gombaaaal!!!” wajahnya tampak memerah.
Aku mencubit pipinya.

Lama kami beduaan menikmati happy ending kami.

“Senja..”

“Iya?”

I love you..”

I love you too..” Senja tersenyum, dan mempererat pegangan tangannya.

“Senja..”

“Yah?

Will you marry me?

Senja tidak menjawab. Ia menangis sesengukan, memelukku erat-erat.

Engkau bukan yang pertama
Tapi pasti yang terakhir
Di cintamu ku temui arti hidupku..

Engkau bukan yang pertama
Tapi pasti yang terakhir
Di cintamu ku temui arti hidupku.


******

7 bulan kemudian…

7 Bulan sudah berlalu semenjak kejadian itu. Aku dan Slamet sedang asyik memilih kartu undangan pernikahan. Slamet menunjuk desain undangan bertuliskan “S & J”. Eh, jangan salah sangka dulu, yang mau nikah bukan Slamet dan Jay lho! Aku terpaksa pergi bersama Slamet karena Senja sedang mengukur kebaya bersama ibunya. Semua harus dilakukan hari ini, untuk mengejar deadline pernikahan kami: sebelum kandungan Senja membesar dan membuat aib bagi keluarga.

“Met yang ini bagus ga?”

“Engga, bagusan yang ini. Yang ini Unyu lho”

“Wah, iya! Unyu banget! Tapi yang ini juga imut”

“Mana? Iyaa lutuuna..”

“Kyaaa…”

Kami histeris sendiri. Mbak-mbak penjaga counter percetakan itu memandang kami dengan tatapan aneh. Karena risih, Slamet kusuruh merokok di luar.

“Yang ini di jadiin warna jingga bisa ga mbak?” jingga merupakan warna kesukaan Senja.

“Wah gak bisa, sudah dari sananya..”

“Yaah, tolong lah mbak..”

“Gak bisa mas..’

“Pleaseee..” aku merengek seperti anak cewek yang minta permen.

“Ya sudah, mas ngomong sama desainernya aja.

Aku diantar ke ruang di belakang. Seorang wanita sedang mengerjakan Corel Draw di komputer.

Liz.

Jantungku seakan berhenti berdetak.


Epilog A
Selangkah ke Seberang

Manusia bagaikan debu berukuran mikron dalam belantara semesta. Segala kejadian, setiap sepersekian persen kemungkinan, sebenarnya telah tertulis di Langit yang jauh dari nalar manusia. Begitu juga pertemuan ini.

“Umm.. Liz?”

“Jay?”

“Iya.. hehe.. eh.. apa kabar..?”

“Hehe.. baik”

“Kukira kamu di Papua..”

Liz berbalik, perutnya tampak membuncit.

“Perut segede gini, gimana mau hidup di sana hehe..”

Aku manggut manggut sambil memandangi Liz. Kali ini Liz terlihat sangat feminim dengan rambut panjang tergerai dan perut yang membuncit itu.

Liz, sepertinya sekarang sudah punya suami. Aku lega, setidaknya ia menemukan orang yang lebih baik dari aku.

“Eh, undangannya mau digimanain..? Ah, kamu sama Senja mau nikah kan? yang langgeng ya kalian. selamat yaaa…”

De ja vu, sepertinya aku pernah mengalami ini.

Liz tersenyum, tapi kali ini ia terlihat lega. Senyumnya sangat bahagia. “Ayo, Cepet nyusul punya momongan!”

“Amin” kataku

Liz tidak tahu kalau Senja sudah telat 3 bulan.

“Sudah lama ya..” kataku lagi

“Iya hehe”

“Akhirnya..”

“Hehehe”

Kami ketawa-ketiwi mengingat kegilaan kami dulu.

“Kita harus dewasa Jay.”

“Yup”

“Gak bisa terus-terusan terjebak di ruang nostalgia.”

Liz benar, kita tidak bisa selamanya terikat dengan masa lalu. Setidaknya kini aku lega, Liz sekarang sudah menemukan kebahagiaannya. Aku dan Senja juga begitu.

“Nanti datang ya Liz!”

“Iya, pasti dong!”

“Ajak suamimu juga…”

“Um…”

“Kenapa?”

“Jay..”

“Yah?”

“Ini anakmu lho.”

“Hah?”



<layar fade out to black>

THE END

<ending credit bergulir>
<OST dimainkan>
<Terdengar alunan synthesizher dengan tempo cepat>

Selangkah keseberang
arah ciptaku kini,
selangkah keseberang
awal terungkap dalam diri,
walau terselubung kelabu
lembut menyatukan
membaur
tenggelam dalam nada
aksara kata-kata

hati tergugat cipta nan jara
nikmatnya hidup indah persada
gelisah seakan turut sirna
diantara rawan kancah nyata
kan kujelang kehampaan gulita
penuh jerat kehidupan
alamnya ...

.
.
.
.
.
.
ENDING B
"JIKA KALIAN MENGATAKAN YANG SEJUJURNYA KEPADA SENJA."
<Terdengar suara piano yang resah. Regina Spektor-Hero. >

“He never ever saw it coming at all…
It's alright…
it's alright…”

Gambaran film 8 mm itu penuh dengan grain dan leak. Masih belum muncul audio, hanya gambaran seorang wanita yang menuding-nuding dengan penuh emosi ke arahku. Pipinya yang bulat membasah, penuh dengan air mata.


“Hey, open wide, here comes original sin!”


<Sayup-sayup mulai terdengar suara. Fade in.>

“Jahat.. kamu jahat.. Jay…”

“Maaf.. maafin aku…”

“Kenapa kamu gak bisa lupain dia?!!” Wajah Senja memerah menahan marah.

“Hey, open wide, here comes original sin!”

Aku mencoba mendekap kepalanya, ia menepis tanganku.

“Kenapa kamu malah... sama... Liz lonte itu?!!”

“Eh, yang sopan ngomongnya ya?” hardikku.

“Apa namanya kalau ML sama pacarnya orang? LONTE!”

“Senja!” kata-kata Senja membuatku emosi.

“And we're going to these meetings but we're not doing any meeting
And we're trying to be faithful but we're cheating, cheating, cheating…”

Senja berlari keluar kamar sambil menangis, aku menyusulnya. Di luar ia berpapasan dengan KW yang baru pulang. Senja menghambur ke arah KW, menangis di pelukannya.

“Senja!” teriakku.

KW menatap tajam ke arahku.

“Sudah saya bilang! jangan-pernah-nyakitin-Senja!”

“KW, ente jangan ikut campur!” hardikku.

KW menggenggam kerah bajuku. “Ini sudah jadi urusan saya!!”

“Hey, open wide, here comes original sin!”

KW menatap tajam ke arahku. Tatapannya bukan tatapan lembut seperti biasanya, melainan tatapan tajam seperti seorang pemburu yang tak mau melepaskan mangsanya, membuat nyaliku menciut. KW menarik lengan Senja keluar, memboncengnya naik motor.

Aku hanya terpaku melihat mereka pergi.

“I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!”


Gambaran itu, mulai terdistorsi, penuh dengan leak seperti terbakar. Ada bagian dalam ingatanku yang tak ingin kuingat lagi.

**********​

Saat tersadar aku sudah berada dalam kerumunan wisudawan yang berjalan keluar dari ruang auditorium. Aku berjalan keluar dengan lesu, tidak juga kehadiran keluargaku yang menyelamatiku dapat membuatku kembali bersemangat.

Setelah kejadian itu, hubunganku dan Senja menurun drastis. Ia seperti kehilangan kehangatan cintanya. Matahari senja yang hangat seperti berganti dengan mendung yang murung.

Di sekelilingku penuh dengan wisudawan dan keluarganya. Mataku memandang ke sekeliling mencari-cari. Sampai aku melihat sesosok wanita cantik yang mengenakan dress berwarna Jingga.

**********​

Lapangan itu penuh dengan wisudawan yang berfoto bersama keluarga atau pun teman-temannya.
Aku berjalan di bawah pohon pacar air menyusuri jalan setapak yang mengitari gedung auditorium.

“Kukira kamu ga bakal datang…”

“Semua perlu waktu, Jay..” kata Senja yang berjalan di sampingku.

“Iya..”

“Seperti kamu perlu waktu buat ngelupain Liz”

Aku terdiam.

“Maafin aku Senja..”

“Aku juga perlu waktu untuk itu..” kata Senja dingin.

Dadaku perih.

Kami melewati sekumpulan wisudawan yang sedang asyik berfoto.

“Kita harus dewasa, Senja..”

Senja diam.

“Gak bisa terus-terusan terjebak dengan masa lalu.”

Senja membatu.

“Aku sudah banyak belajar, terjebak dengan masa lalu hanya akan menyebabkan kita kehilangan masa depan.” Kataku lagi.

“Kamu sudah kehilangan masa depan...”

“No one's got it all
No one's got it all…”

Perih!

“Aku gak bisa kehilangan kamu, Senja.”

“Kamu sudah kehilangan…”

“Aku… kita sudah gak bisa seperti dulu lagi…”

“Maafin aku, Senja..”

“Maaf Jay, aku rasa setelah apa yang terjadi…”

“Aky sayang kamu…”

“Aku juga, tapi ini..” Senja menepuk dadanya dengan emosional. “sudah…” Senja tidak bisa
menyelesaikan kata-katanya.

“Senja..”

Aku hendak memegang tangannya.

“Ga!” Senja menepis tanganku.

“Semua… sudah…” ia terdiam “tidak bisa diputar ulang, Jay..”

Senja berlalu, menghilang di balik kerumunan wisudawan. Semetara angin berhembus, menggugurkan daun pohon akasia, seperti musim gugur yang muram. Tempat itu begitu ramai, namun aku merasa begitu sepi.

“I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!
I'm the hero of the story, don't need to be saved!”

Aku berjalan dengan resah melewati beberapa orang, mencoba mencari Senja. Namun sia-sia.


It's alright, it's alright, it's alright…
It's alright, it's alright,
it's alright…

Di kejauhan, Merapi berdiri dengan gagah, dipeluk langit yang terpulas rona pagi yang indah. Namun di mataku semua berwarna kelabu. Monokrom.

“No one's got it all
No one's got it all…”



Demikianlah, kisah ku dengan Senja usai sudah. Tabir pertunjukan telah ditutup. Aku menghela nafas panjang sebelum mematikan proyektor imajiner. Aku mengembalikan roll film 8 mm berisi kenangan bersama Senja ke tempatnya semula. Tak akan kubuang kenangan itu, namun tak akan kuingat-ingat lagi.

Aku berjalan dengan mantap, keluar dari gedung teater imajinasi menuju kenyataan. Keluar dari ruang nostalgia menuju masa depan! Meskipun masa depan itu adalah masa depan yang buram. Post-apocalypse, seperti dalam film Terminator atau The matrix. Tak masalah, aku adalah Neo, aku adalah John Connor, I'm the hero of the story, don't need to be saved!


7 bulan kemudian…

Sebuah keputusan akan berujung pada konsekuensi-konsekuensi yang lain, kawan. Begitu terus seperti kartu domino. Aku bercinta dengan Liz, mengatakan yang sebenarnya pada Senja. Menyebabkan aku putus dengannya. Putus dengan Senja menyebabkan aku kehilangan posisi sebagai web designer yang dijanjikan ayah Senja, sudahlah.

Setelah lulus, aku keluar masuk kantor perusahaan sambil membawa ijazah, namun dengan IPK-ku yang pas-pasan sepertinya sangat sulit untuk mendapat pekerjaan. Hidupku luntang-lantung, aku sempat berjualan pulsa HP, menjadi operator di warnet, bahkan menjadi tukang antar aqua galon.

Sampai pada suatu hari, ada perusahaan yang tertarik dengan portfolio-ku. Aku dipanggil untuk wawancara.

“Mr. Jay kami tertarik dengan karya anda, begitu intuitif..”

Voila, dan minggu depannya aku sudah diterima bekerja di perusahaan itu sebagai Layouter.

“Ini meja anda..” kata kepala bagian personalia.

Sebuah keputusan akan berujung pada konsekuensi-konsekuensi yang lain, kawan. Begitu terus seperti kartu domino. Keputusan yang aku ambil, keputusan untuk bercinta dengan Liz, keputusan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Senja kini membawaku pada suatu situasi.

“Jay?”

Seorang wanita sedang mengerjakan Corel Draw di cubicle di depanku.

Liz.

Jantungku seakan berhenti berdetak.


Epilog B
ILLUSION OF THE FREE WILL

Manusia bagaikan debu berukuran mikron dalam belantara semesta. Segala kejadian, setiap sepersekian persen kemungkinan, sebenarnya telah tertulis di Langit yang jauh dari nalar manusia. Begitu juga pertemuan ini.

“Umm.. Liz?”

“Jay?”

“Iya.. hehe.. eh.. apa kabar..?”

“Hehe.. baik.. eh kamu diterima kerja di sini..”

“Hehe.. iya… mohon bimbingannya.. “

Aku duduk di mejaku, melihat Liz dari balik cubicle.

“Kukira kamu di Papua..”

Liz berdiri, perutnya tampak membuncit.

“Perut segede gini, gimana mau hidup di sana hehe..”

Aku manggut manggut sambil memandangi Liz. Kali ini Liz terlihat sangat feminim dengan rambut panjang tergerai dan perut yang membuncit itu.

Ia sudah punya suami. Sepertinya ia sudah menemukan yang lebih baik dariku.

“Weeh udah berapa bulan? selamat yaaa…”

De ja vu, sepertinya aku pernah mengalami ini. Liz tersenyum, tapi kali ini ia terlihat lega. Senyumnya sangat bahagia. “Ayo, Kapan kamu nikah sama Senja? Cepet nyusul punya momongan!”

“Amin” kataku.

Liz tidak tahu apa yang terjadi.

“Sudah lama ya..” kataku lagi

“Iya hehe”

“Akhirnya..”

“Hehehe”

Kami ketawa-ketiwi mengingat kegilaan kami dulu.

“Kita harus dewasa Jay.”

“Yup”

“Gak bisa terus-terusan terjebak di ruang nostalgia.”

Liz benar, kita tidak bisa selamanya terikat dengan masa lalu. Setidaknya kini aku lega, Liz sekarang sudah menemukan kebahagiaannya. Tetapi tidak, aku.

“Suami-mu… kenal di Papua?” tanyaku

“Um…”

“Kenapa?”

“Jay..”

“Yah?”

“Ini anakmu lho.”

“Hah?”





T H E E N D

<Ending credit bergulir.>

Selangkah keseberang
arah ciptaku kini,
selangkah keseberang
awal terungkap dalam diri,
walau terselubung kelabu
lembut menyatukan
membaur
tenggelam dalam nada
aksara kata-kata

hati tergugat cipta nan jara
nikmatnya hidup indah persada
gelisah seakan turut sirna
diantara rawan kancah nyata
kan kujelang kehampaan gulita
penuh jerat kehidupan
alamnya .
..​
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.​
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd