Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Terjerat Hasrat Syahwat <true story>

Bimabet
Wah kayaknya digame over nih sama pembuat cerita.......jangan gitu dong........semangat .....terusin suhuuuuuu
 
Wah kayaknya digame over nih sama pembuat cerita.......jangan gitu dong........semangat .....terusin suhuuuuuu
 
Keren... Book
I n d e x :

SATU ----------------- page 1
D U A----------------- page 4
TIGA ----------------- page 7














Ini adalah catatan pribadi seorang pria bernama Bena (disamarkan), yang diemailkan padaku. Ia meminta agar aku menyempurnakan kalimat demi kalimat yang ditulisnya. Seperti yang sudah kujanjikan, inilah catatannya. Tentu saja semua nama dan tempat kejadian kisah ini kusamarkan semua. Kepada yang telah mengirimkan email penting itu, kuucapkan terima kasih. Semoga Anda tidak kecewa dengan editanku ini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


SATU

Aku bukan anak orang kaya. Bahkan sebaliknya, orang tuaku hidup pas-pasan, karena mereka cuma buruh tani. Sementara kakak-kakakku yang 3 orang itu pun masih pada sekolah di SD semua. Karena itu sejak kecil aku diambil dan dianggap anak oleh adik ibuku, yang biasa kupanggil Bi Yayuk.

Berbeda dengan orang tuaku, Bi Yayuk hidup berkecukupan di rumah megahnya yang hanya 5 km jaraknya dari pantai selatan Jawa. Tapi Bi Yayuk hidup menjanda sejak suaminya tewas di dalam kapal penangkap ikannya yang tenggelam di laut selatan.

Bi Yayuk punya seorang anak perempuan yang usianya cuma lebih tua 6 bulan dariku, bernama Reni.

Aku dan Reni saling panggil nama saja. Tidak ada sebutan Bang atau Kak. Mungkin harusnya aku manggil Kak ke Reni, karenas usianya lebih tua dariku, meski cuma 6 bulan. Tapi di dalam sirsilah keluarga, Bi Yayuk itu adik kandung ibuku. Jadi seharusnya Reni memanggil Bang atau Mas atau Kang dan sebangsanya.

Tapi kami sudah terbiasa saling panggil nama saja. Dan itu terasa nyaman bagi kami.

Meskipun usia Reni 6 bulan lebih tua dariku, tapi di sekolah aku ini kakak kelasnya. Ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA, Reni kelas 1 SMA. Waktu di SD kami selalu sekelas dengannya. Tapi pada waktu di SMP kelas 1, Reni tidak naik kelas. Sehingga kami mulai berpisah. Aku duduk di kelas 2, sementara Reni tetap kelas 1.

Bi Yayuk sangat menyayangiku. Ia tidak membeda-bedakan antara Reni dan diriku. Ketika Bi Yayuk membelikan Reni sepeda, aku pun dibelikan, dengan sepeda yang sama persis, hanya warnanya saja yang berbeda. Reni dibelikan sepeda berwarna merah, aku dibelikan sepeda berwarna hitam.

Sepeda memang benda yang kami perlukan setelah aku dan Reni sekolah di SMP. Karena SMP dan SMA cukup jauh dari rumah kami, sekitar 7 kilometeran. Dan pada masa itu angkutan umum yang lewat kampung kami masih sangat jarang. Maka sepeda – sepeda sangat menolong kami untuk tiba di sekolah di waktu yang tepat.

Aku dan Reni selalu kompak. Bermain halma atau ular tangga adalah kegemaran kami. Terkadang kami main ke hutan sambil main petak umpet.

Bi Yayukmembolehkan kami main ke mana saja, kecuali ke pantai. DIa sangat melarang kami main ke pantai, karena takut kami diseret ombak lalu tenggelam di laut selatan seperti suaminya dahulu.

Kami pun tidak berani melanggar larangan Bi Yayuk, karena pada dasarnya kami sangat patuh padanya.

Pada suatu hari...aku masih ingat hari itu hari Minggu, Bi Yayuk berangkat ke Semarang untuk mengurus usahanya. Saat itu aku sudah duduk di kelas 3 SMA, sementara Reni duduk di kelas 2.

Sebelum berangkat ke Semarang, Bi Yayuk menasehati kami agar jangan main keluar rumah selama ia di Semarang. Menurut Bi Yayuk, ia akan menginap di Semarang selama 3 harian.

Setelah Bi Yayuk berangkat, Reni menghampiriku. “Ben...mumpung Mama gak ada, kita main ke pantai yok,” ajaknya.

“Iiih..***k berani ah. Takut dimarahi mamamu,” sahutku, “Beliau kan sangat melarang kita main ke pantai.”

“Itu larangan waktu kita masih kecil. Sekarang kita kan sudah gede. Lagian Mama kan gak ada. Ya jangan ngomong ke Mama nanti dong.”

“Emang mau ngapain ke pantai ?” tanyaku mulai terpengaruh oleh omongan saudara sepupuku.

“Ingin berenang. Kamu kan tau aku ini jago renang di sekolah.”

Aku tersenyum. Memang Reni jago renang di sekolah. Tapi aku masih sangsi dan berkata, “Berenang di pantai kan beda dengan di kolam renang, Ren.”

“Memang aku tau berenang di laut selatan itu berbahaya. Tapi aku janji, aku hanya mau berenang yang dekat-dekat saja ke pantai. Takkan mau berenang terlalu jauh.”

“Tapi aku tak mau ikutan berenang ya. Aku mau duduk di pantai aja.”

“Iya,” sahut Reni ceria. Lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya.

Saat itu aku hanya mengenakan baju kaus dan celana pendek yang biasa kupakai berolah raga.

Tak lama kemudian Reni muncul kembali, dengan mengenakan gaun merah polos. “Ayo kita pergi...pakai sepeda aja ya.”

“Iya..***k bawa baju renang ?”

“Ini udah kupakai di balik gaunku,” sahutnya sambil melangkah ke garasi. Di situ ada sebuah mobil tua yang dibiarkan nongkrong tanpa dipakai oleh siapa pun. Kata Bi Yayuk, mobil tua itu takkan dijual, karena peninggalan suaminya. Mungkin mobil itu akan dijadikan kenang-kenangan yang sangat berarti bagi Bi Yayuk dan Reni.

Di garasi itu pula sepedaku dan sepeda Reni tersimpan.



Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di atas sepeda masing-masing, menuju pantai yang jaraknya 5 kilometeran. Jarak yang lebih dekat kalau dibandingkan dengan ke sekolah kami.

Meskipun hari itu hari Minggu, pantai yang kami tuju sepi-sepi saja. Maklum pantainya bukan pantai wisata. Pada masa itu jalannya pun belum diaspal. Hanya jalan tanah tertutup pasir, yang kecil dan hanya bisa dilalui oleh sepeda. Pada masa itu motor pun masih sangat jarang.

Seperti biasa, pantai yang kami kunjungi siang itu lengang sekali. Tiada orang selain kami berdua. Tapi suara ombak berdentum-dentum terus memukul batu-batu karang yang berderet di sepanjang pantai.

Reni pun menuju ke balik batu karang besar dan menanggalkan gaun merahnya di sana. Kemudian ia muncul lagi, dalam keadaan yang lain dari biasanya. Ia mengenakan pakaian renang, yang kuanggap hanya mengenakan celana dalam dan beha berwarna merah juga seperti gaun yang sudah dilepaskannya itu.

Reni menghampiriku. “Beneran gak mau berenang ?”

“Gak ah. Aku nunggu aja di sana,” kataku sambil menunjuk ke celah seperti gua di tebing batu karang.

Reni mengangguk dengan senyum. Tapi tahukah dia bahwa aku terpesona menyaksikan keindahan sekujur tubuhnya dalam bikini itu ? Tahukah dia bahwa ini untuk pertama kalinya aku punya perasaan berbeda padanya ?

Tapi aku harus menindas perasaan yang bukan-bukan ini. Meski Reni itu saudara sepupuku, aku dibiasakan untuk menganggapnya sebagai saudara kandungku sendiri. Karena Bi Yayuk memperlakukanku seperti anaknya sendiri, memperlakukanku secara adil, tidak dibeda-bedakan dengan Reni.

Lalu aku asyik sendiri di celah batu karang yang mirip gua itu, sambil memandang indahnya gulungan-gulungan ombak yang berkejar-kejaran terus, lalu menghempas batu-batu karang yang seolah memagari pantai ini.

Sementara itu Reni tampak asyik sendiri juga. Berenang di laut dengan lincahnya. Cukup lama ia berenang di laut yang ombaknya besar-besar itu. Sampai akhirnya ia tampak melangkah menuju tempat menanggalkan gaunnya tadi.

Tak lama kemudian ia sudah muncul di depan mataku sambil menggenggam sesuatu. Ternyata ia menggenggam bikininya itu. Pasti karena banyak pasir yang melekat di bikini itu.

Tapi...itu berarti di balik gaun merah itu pasti tidak ada apa-apa lagi kecuali tubuhnya yang tinggi semampai itu...!

Dan setelah Reni berdiri di depanku, gaun merahnya itu terlalu tipis dan transparant. Sehingga aku tahu bahwa ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik gaun transparant itu. Jelas benar ada dua titik menonjol di dadanya, karena terdorong oleh kedua puting payudaranya.

Dan yang membuatku lebih berdebar-debar lagi, ada yang menghitam di bawah perutnya, berbentuk segitiga terbalik....ooo....itu pasti rambut kemaluan Reni....!

Aku jadi salah tingkah. Lalu memandang ke arah laut lagi sambil bertanya, “Sudah puas berenangnya ?”

“Sudah,” sahutnya sambil duduk di sebelah kiriku, “Terima kasih ya sudah bersedia menemaniku di sini. Berenang di antara gulungan-gulungan ombak laut selatan asyik lho. Aku seolah ditantang untuk menghadapi medan berat. Tidak segampang berenang di kolam renang.”

“Ren...kamu pernah dicium cowok ?” tanyaku tiba-tiba.

“Haaa ?” Reni seperti kaget, “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal itu ?”

“Ingin tau aja.”

“Belum pernah. Aku kan belum pernah pacaran, karena ingat pesan Mama, agar jangan pacaran sebelum tamat SMA. Kamu sendiri gimana ? Sudah pernah mencium cewek ?”

“Belum pernah juga. Tapi pengetahuan tentang hubungan dengan perempuan, sudah lengkap lah. Karena aku membaca bukunya, sampai hapal di luar kepala.”

Tiba-tiba Reni mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil berkata dengan suara bergetar, “Kalau gitu praktekkanlah pengetahuanmu itu padaku sekarang.”

Aku terperangah, “Kamu mau kucium ?”

“Iya,” Reni mengangguk perlahan, “ingin tau bagaimana rasanya ciuman bibir...”

Aku mau menjawab, tapi Reni keburu mendaratkan bibirnya di bibirku. Dan akhirnya aku menanggapinya. Dengan menggamit bibirnya, lalu menjilatinya seperti dalam film-film yang pernah kutonton.

Reni pun menanggapinya dengan hal yang sama. Bahkan tanpa terasa air liur kami bertukar tempat....tapi kami tidak mempedulikannya. Bahkan pelukan Reni di leherku semakin erat saja.

Akhirnya ciuman kami terlepas. “Bagaimana rasanya ? Enak ?”

“Enak banget...sampai seperti melayang-layang,” sahut Reni, “Kamu sendiri gimana ? Merasa enak juga ?”

“Enak...tapi sayang bibirmu asin.”

“Hihihiii...kan abis berenang di air laut.”

“Mmm...sebenarnya mulut bukan cuma untuk mencium bibir. Ada lagi yang jauh lebih enak, kata penulis buku itu.”

“Menciumi apa lagi selain bibir ? Pipi ? Dahi atau...”

“Bukan. Bukan. Nanti aja kujelasin semua di rumah. Sekarang kita pulang aja yok. Nanti kita lanjutkan di rumah. Mumpung mamamu sedang gak ada.”

Reni mengangguk. Lalu kami menuju sepeda kami yang digeletakkan tak terlalu jauh dari celah bukit batu karang yang mirip gua kecil itu.

Beberapa saat kemudian kami sudah mengayuh sepeda kami masing-masing, menuju pulang ke rumah bibiku.

“Setibanya di rumah, aku langsung berkata, “Cepetan mandi gih. Nanti setelah kamu, aku juga mau mandi.”

Rumah Bi Yayukmemang termegah di kampung itu. Tapi kamar mandinya hanya satu. Maklum di masa itu belum trend kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur.

“Iya, badanku masih berpasir-pasir. Harus mandi sebersih mungkin, sampai pasir-pasirnya habis dari badanku.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang keluarga sambil menerawang.

Di pantai tadi, apa yang tampak di mataku sangat menggoda. Bahwa gaun merah yang Reni kenakan setelah berenang tadi terlalu tipis dan transparan. Apakah Reni menyadarinya atau tidak, entahlah. Yang jelas usiaku yang baru 17 tahun ini sedang gampang sekali digoda oleh hasrat syahwat. Apalagi kalau mengingat betapa manisnya wajah Reni yang punya tubuh tinggi semampai dengan kulit putih cemerlang itu.

Aku tak mau munafik. Tadi bagian di bawah perutku mendadak bangun, seolah menagih sesuatu. Tapi aku harus kuat mengontrol diri. Karena kalau salah melangkah, bisa fatal akibatnya bagi masa depanku sendiri.

Memang aku sudah hafal seluruh isi buku pelajaran tentang seksual itu. Sudah hafal pula tentang apa yang harus dilakukan, termasuk pengamanan agar pihak wanita tidak hamil tapi bisa menikmatinya.

Aku tak mau kehilangan kasih sayang Bi Yayukyang menganggapku seperti anaknya sendiri. Karena itu aku harus hati-hati. Harus kuat melawan hasrat syahwatku.



Reni muncul dari ambang pintu kamar mandi, dengan membalutkan handuk di tubuhnya. Hmm...baru sekali ini aku memandangnya dari sudut yang berbeda. Bahwa tubuhnya memang mulus dan menggoda, meski sebagian besar tertutup handuk itu.

Tapi aku masih berpura-pura tak melihat sesuatu yang menggoda. Aku pun bangkit dan melangkah ke arah pintu kamar mandi.

Aku pun mandi sebersih mungkin. Terutama penisku sengaja kusabuni dan kubilas sebersih-bersihnya. Karena aku tidak mau ada aroma kurang sedap jika rencanaku terwujud nanti.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Reni sudah duduk di ruang keluarga, di sofa yang tadi kududuki. Aku pun menyisir rambutku di depan cermin besar yang ada di ruang keluarga itu.

“Ben...aku penasaran sekali,” kata Reni ketika aku m asih menyisir rambutku, “Tadi di pantai ada yang belum selesai ngomongnya.”

“Masalah apa ? Oooh...masalah fungsi bibir dan lidah ya ?”

“Iya. Sekarang cerita dong selengkapnya Ben.”

Selesai menyisir rambut kuhampiri Reni yang sudah mengenakan daster putih bersih. Lalu aku duduk di sampingnya, sambil berkata, “Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya sekarang. Nanti kalau kamu ragu mendengar penjelaskanku, boleh kamu buka bukunya. Dan kalau kamu bisa membuktikan bahwa penjelasanku berbeda dengan isi buku itu, kamu boleh jewer telingaku.”

“Jelasin aja, aku percaya apa pun yang kamu omongin. Gak usah nyuruh baca-baca segala,” sahut Reni sambil memegang pergelangan tanganku.

“Yang pertama, ciuman bibir dengan bibir, sudah kita praktekkan tadi ya.”

“Iya...dan aku ingin sering-sering mendapatkan ciuman darimu seperti di pantai tadi.”

“Iya. Tapi kalau mamamu sudah pulang, kita harus mencari tempat yang tepat untuk melakukannya. Jangan sampai ketahuan sama mamamu.”

“Ya iyalah. Kalau Mama tauy, pasti kita dimarahin. Terus...yang kedua apa ?”

“Yang kedua...aku harus menyelomoti pentil tetekmu ini,” kataku sambil menyentuh tonjolan kecil di daster putih bagian dada Reni, yang membuatku yakin kalau Reni tidak mengenakan beha saat itu. Mau dicobain ?”

Reni menatapku, lalu mengangguk perlahan.

Dengan tangan yang agak gemetaran, kubuka kancing-kancing daster yang berderet di depan itu. Lalu kubuka belahan daster itu sampai kelihatan sepasang payudara Reni yang agak montok itu. Aku memilih payudara yang sebelah kiri. Memegangnya tanpa meremasnya, meski ingin sekali meremasnya.

Batinku mulai bergejolak. Mungkin ini pertanda nafsu syahwatku mulai hadir. Kudekatkan mulutku ke pentil payudara kiri Reni, lalu mengemutnya, sementara tangan kiriku mulai membekap payudara kanannya.

Dalam waktu singkat saja tubuh Reni terasa menghangat. Sementara kedua lengannya memegangi kepalaku. Terlebih ketika tangan kananku mulai bergerak mengusap-usap perutnya...lalu kuselusupkan ke balik celana dalamnya....!

Reni seperti terkejut. Tubuhnya menghentak, tapi lalu terdiam. Sementara gejolak birahiku semakin menggebu-gebu ketika tanganku sudah menyentuh rambut tebal di balik celana dalam Reni.

Aku sudah prepare. Bahwa aku tidak boleh merusak keperawanan Reni. Karena itu aku tidak boleh memasukkan jariku ke lubang kemaluannya. Tanganku hanya boleh menyentuh clitorisnya, yang menurut isi buku sexology itu berada di bagian atas. Karena itu dengan sabar tanganku hanya mengelus-elus jembut Reni, sambil mencari-cari di mana letak clitorisnya.

Akhirnya kutemukan bagian yang sebesar kacang hijau itu. Kecil sekali. Tapi menurut buku yang sering kubaca, inilah bagian terpeka di tubuh perempuan.
Bookmark, keren
 
Bimabet



T I G A


Ada sesuatu yang tidak kuceritakan kepada bibiku. Bahwa di Bandung aku sudah bekerja paroh waktu di sebuah restoran besar.

Kuliahku selalu pagi sampai siang. Sehingga sorenya bisa kumanfaatkan untuk belajar nyari duit. Kebetulan teman kuliahku punya famili yang memiliki sebuah restoran besar. Berkat dia pula aku diterima bekerja di restoran itu, mulai jam 4 sore sampai jam 10 malam.

Sebenarnya aku tidak kekurangan duit, karena tiap bulan Bi Yayuk selalu mengirim uang dalam jumlah yang mencukupi untuk biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hariku. Tapi aku ingin belajar nyari duit sendiri, sekaligus ingin memanfaatkan waktu luangku.

Tante Sin, pemilik restoran itu, sangat baik padaku. Ia bahkan menjanjikan, jika aku sudah selesai kuliah nanti, aku akan ditempatkannya sebagai pegawai tetap di restorannya yang selalu ramai dikunjungi konsumen itu.

Yang diam-diam mencuri perhatianku adalah Mbak Elsa. Dia adalah kasir yang sudah lama bekerja di restoran milik Tante Sin itu. Yang membuatku sering memperhatikannya secara diam-diam, bukan karena kecantikannya. Dia tidak cantik. Bentuk tubuhnya pun biasa-biasa saja. Yang menarik perhatianku, adalah statusnya yang belum pernah menikah. Padahal usianya sudah 40 tahun. Sudah tergolong perawan tua.

Meski tidak cantik, Mbak Elsa tidak bisa disebut jelek juga, Kalau sedang tersenyum, dia tampak manis dan menarik. Tapi dia sangat jarang tersenyum. Mungkin karena sikap dinginnya itu yang membuatnya tidak mampu merebut perhatian pria. Atau mungkin sikap dinginnya itu karena dia pernah mengalami patah hati lalu merasa terlambat mendapatkan cowok...entahlah.

Padahal kalau sudah diajak ngobrol, kurasa Mbak Elsa itu bukan seorang perempuan yang jutek juga. Bahkan aku merasa Mbak Elsa senang kalau kudekati di belakang cash registernya, kalau resto sedang sepi pengunjung.

Dan pada suatu Sabtu sore, ketika konsumen baru saja pada meninggalkan resto, Mbak Elsa bertanya padaku, “Kalau malam Minggu suka main ke mana ?”

“Ah, gak ke mana-mana. Paling juga nonton tivi di kosan.”

“Kalau gitu, gimana kalau nanti nginep di rumahku ? Aku pengen ngobrol panjang lebar denganmu Ben.”

“Mmm...boleh juga.”

“Tapi kalau keliatan waiters kita bareng-bareng, bisa heboh nanti.”

“Kita saling tunggu aja di SPBU yang dekat taman itu.”

Mbak Elsa melirik ke sekitar meja kasir. Mungkin takut ada yang mendengar. Lalu mengangguk, “Kamu kan suka duluan pulang. Kamu tunggu aja di SPBU itu. Nanti aku mau ngisi bensin di sana.”

“Siap Mbak.”

Begitulah. Setelah resto tutup, aku pulang duluan. Sementara Mbak Elsa masih sibuk menghitung uang di meja kasir. Biasanya uang itu langsung disetorkan kepada Tante Sin.

Aku jalan kaki dari resto ke SPBU di dekat taman itu. Dan berdiri menunggu di situ.

Lalu Mbak Elsa pun muncul di atas motor bebeknya. Ia mengisi bbm di pomp sambil tersenyum ke arahku. Senyum yang sangat jarang tersungging di bibirnya.

“Mau di depan ?” tanya Mbak Elsa setelah motornya diisi bbm.

“Boleh,” aku mengangguk,”Rumah Mbak jauh ?”

“Mmm...sekitar limakilometeran lah,” sahutnya pada saat aku sudah duduk di sadel motor bebek yang tampak masih baru itu.

Lalu Mbak Elsa duduk di belakangku, sambil memeluk pinggangku. Hmmm...ini untuk pertama kalinya aku memboncengkan cewek di atas motor. Maklum saat itu aku belum punya motor. Padahal aku merasa sudah cukup trampil mengendalikan motor.

Beberapa saat kemudian aku sudah meluncur di atas motor bebek Mbak Elsa. Sementara pemilik motor itu tetap nemplok di belakangku, merapatkan dadanya ke punggungku. Karena ini untuk pertama kalinya aku memboncengkan cewek di atas motor, membuatku jadi merasa ada sensasi tersendiri.

Di depan pintu gerbang sebuah perumahan, Mbak Elsa menyuruhku berbelok, memasuki pintu gerbang yang dijaga satpam itu.

Ketika Mbak Elsa menunjuk rumahnya dan memintaku menghentikan motornya, aku melihat sebuah rumah yang tidak terlalu kecil, tidak pula terlalu besar. Mungkin rumah itu type 54 lebih.

“Ini rumah Mbak sendiri atau kontrakan ?” tanyaku ketika motor Mbak Elsa sudah kustandardkan.

“Rumah sendiri...warisan dari orang tua,” sahut Mbak Elsa.

“Kirain rumah hasil selama jadi kasir resto.”

“Wah, penghasilanku dari resto itu sih boro-boro bisa dibeliin rumah. Itu motor juga cicilannya masih setahun lagi,” kata Mbak Elsa sambil mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, lalu dibukanya pintu depan rumah itu, “Ayo masuk Ben...anggap aja rumah sendiri, jangan seperti tamu ya.”

“Iya Mbak. Terima kasih,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam rumah itu.



Mbak Elsa tinggal sendirian di rumah ini ?” tanyaku setelah dipersilakan duduk di sofa ruang tamu.

“Iya. Aku anak tunggal. Orang tuaku sudah pada meninggal pula. Jadi aku sebatangkara di dunia ini,” sahut Mbak Elsa sambil duduk di sampingku, di sofa yang kududuki.

“Asyik dong. Aku bisa sering nginap di sini. Hehehe,,,”

“Boleh. Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk Ben.”

“Terima kasih Mbak. Ohya... kenapa Mbak kerasan hidup melajang gini ? Maaf...apa Mbak gak kepengen seperti orang lain... berumah tangga maksudku.”

“Udah telat Ben. Di usiaku yang sudah empatpuluh tahun gini, paling juga dapetin lelaki yang udah bau tanah. Kawin sama brondong, aku gak mau. Takut dijadikan bahan gunjingan di sana-sini.”

“Padahal kawin itu enak lho,” ucapku mulai memancing. Karena ingin tahu apa sebenarnya tujuan Mbak Elsa ngajak nginap di rumahnya ini.

“Kawin apa nikah ?” tanyanya sambil menepuk pahaku.

“Kawin Mbak... hehehe... just fucking... hehehee...”

“Kamu udah pengalaman ya ?”

“Pengalaman dalam soal apa ?”

“Ya fucking itu...”

“Pernah mengalami, tapi gak sering.”

“Sama siapa ? Waiter di resto kita ada yang pernah kamu libas ?”

“Gak pernah. Sumpah. Pokoknya di Bandung ini belum pernah macem-macem satu kali pun.”

“Terus sama siapa dan di mana ?”

“Sama janda. Di kampungku Mbak. Itu aja.”

“Sama pelacur pernah ?”

“Iiih... aku sih belum pernah nyentuh pelacur Mbak. Takut ketularan bermacam-macam penyakit kotor dan terutama HIV-AIDS... hiii.... amit-amit...!”

“Baguslah. Berarti darahmu bersih kan ?”

“Dijamin bersih.”

“Kalau gitu ajarin aku dong Ben...” ucap Mbak Elsa sambil memegang pergelangan tanganku.

“Ajarin apa ? ML ?”

Mbak Elsa tersipu sambil mengangguk perlahan.

“Memangnya Mbak belum pernah sama sekali ?”

“Belum. Aku masih perawan... tapi... perawan tua...” ucapnya lirih, sambil menunduk.

Aku trenyuh mendengar ucapannya itu. Dan aku ingin membangunkan semangatnya (mungkin kebiasaan ini yang membuat Mbak Elsa senang padaku). Kurapatkan punggung tangannya ke pipiku sambil berkata, “Perawan ya perawan. Gak ada istilah tua bagiku Mbak.”

“Tapi kenyataannya memang aku sudah tua Ben. Umurku sudah dua kali lipat umur Ben kan ?”

“Menurutku, Mbak ini laksana buah yang sudah matang dan siap untuk dipetik,” kataku setengah berbisik.

Mbak Elsa menatapku dengan senyum manis. Ya... memang Mbak Elsa manis kalau sedang tersenyum seperti itu.

“Tunggu sebentar ya. Aku mau ganti pakaian dulu,” kata Mbak Elsa sambil bangkit dari sofa.

“Iya, silakan,” aku mengangguk.

Mbak Elsa masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku tercenung sendiri di ruang tamu. Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Sampai akhirnya Mbak Elsa muncul di ruang tamu, dalam kimono tipis mengkilap berwarna orange.

Aku terlongong dibuatnya. Karena sehari-hari Mbak Elsa terbiasa mengenakan celana jeans atau corduroy. Atasannya selalu blouse berlengan panjang, terkadang ditutupi jaket pula. Sehingga yang bisa dilihat hanya kepalanya saja.

Tapi kini, setelah ia mengenakan kimono sutra berwarna orange itu, wow... jelas sekali kulit betis dan sebagian pahanya yang tersembul di belahan kimononya itu, putih sekali... !

Aku tergiur menyaksikan putih dan mulusnya kulit Mbak Elsa itu. Sehingga waktu ia sudah duduk di samping kiriku, langsung kupegang pergelangan tangannya.

“Mbak serius mau bercinta ?” bisikku di dekat telinganya.

Ia menatapku dan mengangguk sambil tersipu-sipu.

“Nanti kalau hamil gimana ?” bisikku lagi.

“Aku sudah beli pil kontrasepsi,” sahutnya.

“Wah... baguslah kalau begitu,” kataku, langsung teringat pada Bi Yayuk yang juga telah mempersiapkan diri sebelum menyerahkan dirinya padaku.

Tampaknya Mbak Elsa juga sudah mempersiapkan diri untuk “keamanan” dirinya. Mungkin ia sudah mempersiapkan diri sejak beberapa hari yang lalu, tapi baru akan terlaksana malam ini.

Namun aku tak mau membahasnya, takut Mbak Elsa tersinggung karena dipermalukan olehku.

Sementara pandanganku mulai terpusat ke dua tonjolan kecil di kimono Mbak Elsa pada bagian dadanya. Dan aku langsung sadar bahwa saat itu Mbak Elsa tidak mengenakan beha. Mungkin ia sudah mempersiapkan diri untuk mempermudah “eksekusi” yang diinginkannya itu.

Tapi ketika mataku melirik ke arah paha yang tersembul di belahan kimononya itu. Aaah... begitu putih cemerlang... begitu mulus dan merangsang... !

Tanganku mulai merayap ke arah paha itu sambil berkata, “Dalam keseharian di resto, Mbak selalu mengenakan celana panjang dengan blouse lengan panjang pula. Sehingga aku baru sekarang aku menyadari, betapa putih dan mulusnya kulit Mbak ini.”

“Tapi... baru sekarang ada yang mau menyentuhnya,” sahut Mbak Elsa dengan senyum manis di bibirnya. Hmm... seandainya di resto ia sering menyunggingkan senyum itu, pasti sudah banyak yang tertarik, termasuk aku.

“Semuanya sudah boleh kusentuh kan ?” bisikku sambil mengelus paha putih licin dan mulai menghangat ini.

“Boleh. Semuanya akan kuserahkan untukmu Ben.”

“Tapi aku masih merasa seperti bermimpi. Kenapa Mbak tiba-tiba mau menyerahkannya padaku ?”

“Karena sejak melihatmu pertama kali, aku sudah suka padamu Ben. Tapi baru hari ini aku memutuskan semuanya ini.”

Aku terdiam. Tapi hatiku berkata, seandainya tahu betapa putih mulusnya Mbak Elsa ini, mungkin sejak lama aku sudah mencumbunya.

“Tapi kita kan harus telanjang. Apa Mbak mau dilakukan di sini aja semuanya ?” tanyaku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, sementara tanganku sudah berada di dekat celana dalamnya yang entah berwarna apa.

“Mmm... di kamarku aja ya. Di sini sih takut ada tamu mendadak.”

“Iya Mbak,” aku mengangguk lalu berdiri dan mengikuti langkah Mbak Elsa menuju pintu kamarnya.

Setelah kami berada di dalam kamar, Mbak Elsa menutupkan pintu sekaligus menguncinya. Lalu ia merentangkan kedua lengannya. Dan memeluk pinggangku sambil berkata, “Lakukanlah semuanya, ya Ben... aku sudah sangat penasaran, ingin merasakan semuanya.”

Kurengkuh leher Mbak Elsa sambil berkata, “Iya Mbak... semuanya akan kulakukan.”

Lalu kucium bibirnya yang agak merekah itu.

Terasa sekali ia belum berpengalaman dalam cium-ciuman. Masih sangat kaku. Tapi aku tak menganggapnya sebagai hal yang penting.

Kupegang tali kimono Mbak Elsa sambil berkata, “Kimononya lepasin aja, ya.”

Mbak Elsa mengangguk sambil tersenyum.

Tanpa keraguan lagi kulepaskan ikatan tali kimono Mbak Elsa. Lalu ia sendiri yang menanggalkan kimono itu dan melemparkannya ke atas bed.

Dan... sebentuk tubuh indah terhampar di depan mataku. Tubuh telanjang yang hanya dilekati celana dalam putih bersih. Tubuh yang putih mulus dan menggiurkan.

Aku tak habis pikir. Kenapa tubuh semulus dan seseksi itu belum pernah dijamah pria (kalau pengakuan Mbak Elsa benar).

Mbak Elsa tersipu malu-malu, karena mataku seolah melahap tubuhnya yang nyaris telanjang itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.

Dan aku tidak mau berkomentar, meski hatiku berkata betapa beruntungnya diriku ini, karena tiba-tiba saja aku mendapatkan kesempatan sebaik ini.

Mbak Elsa duduk di pinggiran bednya yang bersprai putih bersih. Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, takut kesempatan itu lolos dari cengkramanku.

Kutanggalkan pakaianku, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Lalu aku duduk di samping Mbak Elsa, dengan desir nafsu yang mulai menguasai batinku.

“Kok ininya gak dilepasin ?” ucap Mbak Elsa sambil mengusap-usap celana dalamku, tepat pada bagian yang menutupi alat kejantananku.

“Celana dalam Mbak juga belum dibuka,” sahutku sambil melakukan hal yang sama. Mengelus celana dalam putihnya.

Mbak Elsa merebahkan tubuhnya, menelentang sambil memejamkan mata dan berkata, “Lepasin aja sama kamu.”

Kuamati sekujur tubuh Mbak Elsa yang nyaris telanjang itu. Begitu menggiurkan. Membuatku bertanya di dalam hati, kok bisa ya tubuh sebagus dan semulus ini tak disentuh oleh lawan jenisnya ?!

Tapi mungkin sudah ada suratan takdir, bahwa tubuh ini disediakan untukku.

Maka aku pun merayap ke atas tubuhnya, “Santai aja Mbak. Gak usah keburu-buru,” kataku sambil merapatkan pipiku ke pipinya.

Ia membuka matanya dan bertanya lirih, “Tubuhku masih menarik nggak Ben ?”

“Daya tarik perempuan itu relatif Mbak,” sahutku sambil menggenggam payudara Mbak Elsa yang ukurannya sedang-sedang saja, “Tapi di mataku... Mbak sangat menarik.”

“Hmm... syukurlah kalau kamu suka...” ucapnya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.

Dan ketika aku mulai mencelucupi puting payudaranya, terasa badan Mbak Elsa mulai menghangat.

Aku memang kurang sabaran saat itu. Maklum usiaku masih sangat muda kalau dibandingkan dengan Mbak Elsa. Maka ketika aku mengulum dan menjilati puting payudaranya yang sudah mengeras, tanganku pun menurun ke bawah. Menyelinap ke balik celana dalamnya.

Jemariku mulai menyentuh rambut yang terasa sangat jarang, sehingga dengan mudah bisa menemukan targetku. Ya, hanya beberapa detik aku mencari-cari, akhirnya kusentuh kelentit perawan setengah baya itu.

Pada saat itulah aku mulai mengerahkan segala kemampuanku, untuk menaikkan libido Mbak Elsa. Bahwa ketika mulutku mengemut puting payudara Mbak Elsa, jemariku beraksi di balik celana dalam gadis yang jauh lebih tua dariku itu. Bahwa ketika aku mengulum dan menjilati pentil toketnya, jemariku mulai mengelus kelentitnya yang makin lama makin menghangat.

Dan tubuh putih mulus itu pun mulai terkejang-kejang. Sementara alat kejantananku semakin mengeras dan menuntut untuk disalurkan. Namun aku berusaha untuk mengendalikan diri, agar foreplaynya sempurna (seperti petunjuk dalam buku yang pernah kubaca).

Mbak Elsa cuma terpejam sambil membiarkanku beraksi sekehendak hatiku. Namun ketika aku sudah melorot, menciumi pusar perutnya, ia mulai membuka matanya. Dan membiarkanku menurunkan celana dalamnya sampai terlepas dari kaki putih mulusnya.

Dan sebentuk kemaluan indah terhampar di depan mataku. Kemaluan yang rambutnya sangat jarang, sehingga bentuk aslinya yang tembem itu tampak jelas sekali.

“Ben... !” Mbak Elsa terkejut ketika aku mulai menciumi kemaluannya. Tapi tanganku memberi isyarat agar ia diam saja, sehingga akhirnya ia pun membiarkanku beraksi.

Awalnya aku hanya menciumi kemaluan berambut tipis jarang itu. Lalu lidahku mulai menjilati labia mayoranya. Dan sepasang kaki Mbak Elsa mulai terkejang-kejang.

Ketika aku mulai menjilati kelentitnya, rintihan halusnya pun mulai terdengar, “Beeen… ooooh… kok dijilatin Beeen…. ta… tapi… oooooh… ini enak sekali Beeen… ”

Erangan dan rintihan Mbak Elsa membuatku semakin bersemangat untuk mengoralnya. Ingin agar celah kewanitaannya basah kuyup, supaya mempermudah untuk melakukan penetrasi nanti.
Mantaabbb Huuu....
Tp jujur lebih mantab part 1 & 2 ..
Incest nya bikin horny....
Masih ada lancrotannya gak Huu??
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd