Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Terjerat Hasrat Syahwat <true story>

Aku memang belum berpengalaman dalam soal sex. Tapi aku sudah hafal isi buku tulisan pakar sexuology itu.

Maka kuelus-eluskan ujung lidahku ke clitoris Reni yang hanya sebesar kacang hijau itu.

“Ben... !” Reni seperti kaget. Tapi tidak meronta sedikit pun. Malahan akhirnya ia mengelus-elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Mungkin karena Reni mulai menikmati elusan-elusan ujung lidahku ini.

Aku masih ingat benar isi buku itu. Bahwa sebagai pihak cowok, aku boleh menjilati bagian mana pun di kemaluan pihak cewek. Yang harus diingat, jari jangan sekali-kali dimasukkan ke dalam liang kemaluan si cewek. Karena bisa merusak hymen (selaput dara) si cewek yang masih perawan.

Sedangkan aku tak mau merusak keperawanan Reni. Aku hanya mencoba apakah permainan lidahku bisa menyebabkan Reni orgasme atau tidak.

Karena itu aku mulai menjilati bagian mana pun yang tersentuh oleh lidahku. Bukan hanya clitorisnya saja.

Reni hanya menggeliat-geliat, mungkin menahan geli-geli enak yang sedang dirasakannya. Bahkan lama-kelamaan suaranya pun mulai terdengar perlahan, “Beeeen... ooooh Beeeeeen..... ooooh.... ohhh... Beennnn.... “

Tubuh Reni pun kadang menggeliat, kadang mengejang. Seiring dengan jalan nafasnya yang kadang tertahan agak lama, lalu terhembuskan lagi... tertahan lagi.... terhembuskan lagi... dan begitu seterusnya.

Sampai pada akhirnya, tubuh Reni menggigil... lalu terdengar nafasnya berdesah, “Aaaaaah..... “

Ketika aku mau melanjutkan jilatanku, Reni menolak. “Jangan Ben... entah apa yang kurasakan ini... tadi memang enak sekali, tapi sekarang ngilu-ngilu. Mungkin yang kurasakan tadi itu puncak nikmatnya ya Ben. “

“Iya.... itulah yang disebut orgasme. Katanya sih sama enaknya dengan bersetubuh. “



Aku masih ingat benar semuanya itu. Bahwa di hari-hari berikutnya, kami bisa saja mencuri-curi kesempatan untuk melakukan dan melakukannya lagi.

Bahkan Reni pun kuajari tentang bagaimana caranya untuk melakukan felatio (ngemut kontol). Setelah Reni terasa trampil, aku pun sering mengajaknya main 69.

Tapi ada satu hal yang tetap kupegang teguh. Bahwa aku tak mau merusak keperawanannya. Biar bagaimana pun aku harus menjaga satu hal itu. Jangan sampai masa depan Reni kelam gara-gara perbuatanku.

Sang Waktu pun berputar terus. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun....





----ooo000ooo----​
 


D U A





Sudah 2 tahun aku kuliah dan tinggal di Bandung, sementara Reni melanjutkan pendidikannya ke sebuah universitas di Semarang. Pada masa itu handphone belum ada di negara kita. Telepon rumah pun masih dianggap barang mewah, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memilikinya. Maka satu-satunya cara berkomunikasi yang dianggap lazim pada masa itu hanyalah lewat surat.

Lewat surat-menyurat itu pula aku semakin menyadari bahwa Reni sangat mencintaiku. Sementara aku masih saja bimbang. Mungkinkah aku mencintai saudara sepupuku yang sudah kuanggap saudara kandungku sendiri ? Aku memang menyayanginya. Tapi apakah aku pun mencintainya ? Entahlah.

Selama 2 tahun itu pula aku tidak pulang, meski ada libur panjang. Karena aku ingin berkonsentrasi pada kuliahku, ingin cepat selesai dan bekerja.

Pada masa itu belum dikenal transfer lewat bank. Jadi kiriman uang dari Bi Yayuk selalu dilakukan lewat poswesel.

Memang kiriman uang dari bibiku itu selalu banyak, sehingga aku tak pernah merasa kekurangan. Bahkan teman-teman kuliahku yang sama-sama merantau di Bandung, sering meminjam uang padaku kalau mereka sudah kehabisan uang.

Dan liburan panjang ini aku sengaja pulang ke kampung keduaku (kampung pertama adalah di kampung orang tua kandungku yang terletak di daerah pegunungan, kampung kedua adalah kampung Bi Yayuk yang letaknya dekat pantai).

Aku harus bersikap dan berperilaku sebaik mungkin kepada Bi Yayuk, karena aku takkan bisa meneruskan pendidikanku sejauh ini kalau tidak ada Bi Yayuk dan segala kebaikannya.



Ketika kakiku menginjak pekarangan rumah Bi Yayuk, batinku tergetar. Teringat masa laluku yang banyak kenangan manisnya di rumah ini. Teringat masa kecilku yang ceria dan kasih sayang Bi Yayuk yang takkkan kulupakan seumur hidupku. Dan setelah remaja, langkah demi langkah itu pun terjadi. Menggoreskan kenangan indah yang tak mungkin kulupakan.

Tadinya aku mau mengetuk pintu depan. Tapi ternyata pintu itu tidak terkunci. Maka kubuka pintu depan dan langsung masuk ke dalam, dengan langkah mengendap-endap, karena ingin membuat kejutan.

Kucari ke dapur, Bi Yayuk tak ada. Ke pekarangan belakang juga tidak ada. Setahuku, kalau pintu depan tidak dikunci, berarti Bi Yayuk ada di rumah. Karena itu kucari ke kamarnya, yang berada di antara kamarku dan kamar Reni.

Kubuka pintu kamar Bi Yayuk yang tidak dikunci. Ternyata Bi Yayuk ada di kamarnya, sedang tidur sambil mendekap sebuah bantal guling.

Aku terkesiap ketika melihat daster Bi Yayuk terbuka sampai ke pangkal pahanya. Ia membelakangi pintu, sehingga bagian belakang paha putih mulusnya tampak jelas di mataku. Bahkan celana dalam putihnya pun tampak jelas di mataku.

Jantungku berdebar-debar. Tapi dengan cepat kutindas sambil berkata di dalam hatiku, “Jangan punya pikiran yang bukan-bukan ! Dia bibiku sendiri ! Dia yang merawatku sejak kecil dan membiayai pendidikanku sampai aku bisa kuliah di Bandung sekarang !”

Aku pun tak berani membangunkan Bi Yayuk. Kasihan, mungkin ia sedang nyenyak-nyenyaknya tidur sore, sehabis mengerjakan segala yang harus dikerjakan di rumah. Lalu aku iseng membuka pintu kamar Reni. Tiada kehidupan di kamar itu. Mungkin waktu liburannya berbeda dengan universitasku.

Kututupkan kembali pintu kamar Reni, lalu duduk di sofa ruang keluarga.

Kamarku, kamar Bi Yayuk dan kamar Reni berderet dan pintunya menuju ruang keluarga ini. Kamar yang paling depan adalah kamarku. Di samping kamarku adalah kamar Bi Yayuk. Sementara kamar Reni paling belakang.

Lama juga aku menunggu Bi Yayuk. Tapi dengan sabar aku menunggunya. Bahkan aku menyempatkan diri untuk mandi dulu, untuk mengusir debu dan keringat di perjalanan dari Bandung tadi. Pada waktu duduk kembali di sofa ruang keluarga, aku sudah mengenakan celana pendek dan baju kaus oblong yang serba putih. Hawa panas di kampung keduaku ini memang kurang cocok untuk mengenakan celana panjang.

Menjelang malam, pintu kamar Bi Yayuk terbuka.

Lalu tampak Bi Yayuk berdiri di ambang pintu sambil menggesek-gesek matanya. Bi Yayuk bertubuh tinggi dan agak montok, berkulit putih bersih seperti Reni. Dan kalau menilai kecantikannya, aku merasa Bi Yayuk lebih cantik daripada Reni. Tubuhnya lebih bagus daripada Reni. Satu-satunya yang dimenangkan oleh Reni hanya usianya. Lebih muda 16 tahun daripada Bi Yayuk. Ya menurut pengakuan Bi Yayuk, ia menikah pada usia 15 tahun, dengan tengkulak ikan yang punya banyak kapal penangkap ikan itu. Pada masa itu banyak gadis yang sudah menikah di bawah usia 16 tahun. Dan Bi Yayuk melahirkan Reni ketika usia adik ibuku itu baru 16 tahun.

Ketika aku pulang di masa liburan panjang ini, usiaku dan usia Reni sudah 19 tahun. Berarti usia Bi Yayuk sudah 35 tahunan. Tapi Bi Yayuk tampak jauh lebih muda daripada usianya.

Begitu Bi Yayuk muncul di ambang pintu kamarnya, aku langsung menghampirinya.

“Bena ?!” tegur Bi Yayuk dengan mata terbelalak.

“Iya Bi,” sahutku sambil membungkuk dan mencium punggung tangannya.

Bi Yayuk mengangkat badanku, lalu mencium pipi kanan, pipi kiri dan keningku. “Bagaimana keadaanmu selama ini ? Sehat-sehat aja kan ?” tanyanya sambil memegang kedua bahuku.

“Sehat Bi,” sahutku, “Bibi sendiri gimana ? Sehat ?”

“Sehat Ben, seha. Hmmm...kamu kok semakin ganteng aja Ben ?” Bi Yayuk mengguncang kedua belah bahku, lalu memijat hidungku.

“Bi Yayuk juga makin cantik aja,” sahutku keceplosan.

“Walaaaah...cantik dari mana ? Kan bibi sudah tua Ben. Kecantikan bibi sudah diambil oleh Reni.”

“Tapi Bi...kalau aku boleh bicara jujur, dalam segalanya Bi Yayuk lebih bagus daripada Reni,” kataku, “Reni hanya menang di usia saja...masih muda...tapi siapa pun akan bilang Bi Yayuk masih tampak muda.”

“Ogitu ya...bibi mau mandi dulu ya Ben. Nanti kita lanjutin ngobrolnya. Bibi sudah kangen sekali sama kamu. Malah tadinya bibi mau nengok kamu ke Bandung, untunglah kamunya sudah datang.”

“Iya Bi.”

Lalu Bi Yayuk melangkah ke pintu kamar mandi yang berdampingan dengan kamar Reni.

“Reni gak pulang liburan Bi ?” tanyaku agak keras supaya terdengar oleh Bi Yayuk.

Bi Yayuk menoleh, “Udah duluan liburan panjangnya. Baru tiga hari yang lalu dia pulang lagi Ke Semarang.”

Lalu Bi Yayuk masuk ke dalam kamar mandi.

Tidak seperti Reni (yang biasa mandi lebih dari sejam), hanya beberapa menit Bi Yayuk mandinya, lalu muncul lagi dengan badan dibalut handuk putihnya.

“Sudah mau makan ?” tanya Bi Yayuk sebelum masuk ke dalam kamarnya.

“Masih kenyang Bi,” sahutku, “Tadi makan dulu di depan lapang sepakbola itu.”

“O, ya udah,” kata Bi Yayuk sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Kunyalakan tv, tapi pikiranku tidak tertuju ke tv itu. Lagian gambarnya pun buram. Maklum rumah Bi Yayuk ini ada di pelosok.

Aku teringat pada Reni yang telah banyak menggoreskan kenangan di dalam lembaran kehidupanku. Namun aku tidak terlalu mencemaskan dirinya. Karena aku tidak pernah mengganggu keperawanannya.

Tiba-tiba terdengar suara Bi Yayuk memanggilku, “Beeen...!”

“Iya Bi...” sahutku sambil berdiri dan bergegas menuju pintu kamar Bi Yayuk.

Ketika pintu itu kubuka, kulihat Bi Yayuk sedang duduk di depan meja dan cermin riasnya. Dalam keadaan yang membuatku ragu untuk melangkah masuk. Karena ia hanya mengenakan celana dalam dan beha yang serba putih....!

“Kenapa Bi ?” tanyaku sambil buang muka, tak mau melihat ke arah Bi Yayuk (padahal hatiku ingin sebaliknya).

“Sini...masuk aja. Duduk di situ,” katanya sambil menunjuk ke arah tempat tidurnya, “Bibi mau bicara banyak.”

Kuikuti perintah adik ibuku itu. Duduk di pinggiran tempat tidur dengan kepala tertunduk. Dengan perasaan kuatir. Takut kalau Bi Yayuk sudah mengetahui perbuatanku bersama Reni dahulu, lalu akan mendakwaku. Tapi ternyata bukan masalah itu yang dibicarakannya.

“Coba perhatikan bibi secara seksama,” ucap Bi Yayuk yang sudah berdiri di depanku, masih dalam keadaan cuma berbeha dan bercelana dalam.

Membuatku kikuk, memandangnya dengan ragu, “Aaa...apanya yang...yang harus diperhatikan Bi ?” suaraku agak tergagap.

“Perhatikan aja semua, dari ujung kaki sampai ujung rambut bibi. Lalu nilailah secara jujur...apakah bibi ini masih menarik ?” tanyanya sambil melayangkan tatapan dan senyuman yang lain dari biasanya.

Aku tidak tahu kenapa Bi Yayuk menanyakan hal itu, dalam keadaan nyaris bugil pula. Tapi aku berusaha menjawabnya, “Sangat menarik. Bibi kan belum tua. Bibi cantik, malah lebih cantik daripada Reni.”

“Jangan punya tujuan menyenangkan hati bibi, Ben. Nilailah bibi sejujurnya,” kata Bi Yayuk sambil berputar-putar perlahan, seolah minta agar aku menilainya dari setiap sudut.

“Berdiri dong,” ucap Bi Yayuk lagi sambil menarik pergelangan tanganku, “ Biar lebih jelas menilainya.”

Aku pun berdiri di depan Bi Yayuk. Pada saat itulah ia memunggungiku, “Tolong lepaskan kancing kait beha bibi, Ben, Biar semakin jelas, untuk kamu nilai.”

Aku mulai berusaha mengatur pernafasanku yang mulai tak beraturan. Dan kulepaskan kancing kait beha yang terletak di punggung bibiku itu, dengan tangan gemetaran.

Bi Yayuk pun melepaskan behanya. Lalu melemparkan beha putih itu ke tempat tidurnya. Lalu membalikkan badan, jadi berhadapan denganku. Sambil memegang sepasang payudaranya yang begitu aduhai. “Bagaimana tetek bibi ini ? Masih menarik gak ?” tanyanya sambil tersenyum.

“Bi...ma...maaf...aku...aku...” kataku tergagap dan tak bisa menyelesaikannya.

“Kenapa ? Mau megang tetek bibi ? Peganglah...biar tau bahwa tetek bibi ini masih kencang, karena selalu dirawat.” Bi Yayuk menarik tanganku, lalu menempelkannya di permukaan payudara montok dan lumayan kencang itu.

Tapi hanya beberapa detik aku membiarkan tanganku menempel di payudara indah itu. Lalu kujauhkan tanganku dari payudara yang terlalu memancing hasrat syahwatku itu.

“Kenapa ?” tanya Bi Yayuk sambil memegang kedua sisi bahuku.

“Takut Bi...”

“Takut apa ?”

“Takut gak bisa mengendalikan diriku sendiri...ini saja sudah mulai sulit bernafas.... karena Bibi terlalu... terlalu menggiurkan...”

Belum selesai aku bicara, Bi Yayuk memegang kepalaku, lalu menariknya ke arah belahan payudaranya. Sehingga wajahku terbenam di antara dua bukit kembar yang terasa hangat itu. Disusul dengan terdengarnya suara bibiku yang jelita dan seksi itu, “Bibi sayang kamu Ben. Sayang sekali. Karena itu kamu boleh melakukan apa saja pada bibi...”

Dan aku bukan anak kecil lagi. Umurku sudah 19 tahun, sudah mahasiswa pula. Maka aku mulai mengerti apa yang diinginkan oleh Bi Yayuk sebenarnya. Tapi aku tetap bimbang, karena takut salah langkah (padahal “sesuatu” di balik celana pendekku sudah ngaceng berat...). Masalahnya, Bi Yayuk itu wanita yang sangat kuhormati. Wanita yang sudah begitu banyak menanam kebaikan padaku.

“Bibi ini sudah belasan tahun nggak disentuh lelaki,” kata Bi Yayuk ketika aku masih dalam kebimbangan, “Jadi wajarlah kalau bibi sering membayangkan hangatnya disentuh lelaki. Sudah banyak lelaki yang naksir sama bibi, tapi semuanya bibi tolak secara halus. Karena bibi takut mereka hanya ingin menguras harta peninggalan ayahnya Reni.”

Aku menatap Bi Yayuk dengan perasaan iba. “Lalu...apa yang bisa kulakukan untuk Bibi ?”

Tiba-tiba Bi Yayuk mencium bibirku. Dengan sangat hangatnya. Lalu ia mengelus rambutku sambil berkata dengan nada yang berbeda dari biasanya, “Sebenarnya bibi sudah lama memikirkan hal ini...bibi sudah memutuskan untuk memilihmu sebagai pria yang boleh menghangatkan diri bibi.”

“Iya Bi, dari tadi aku sudah menduga hal itu. Tapi aku tak berani mengatakannya, karena takut salah tebak.”

“Iya dong. Sekarang kamu kan udah mahasiswa. Masa belum ngerti apa yang bibi mau,” ucap Bi Yayuk sambil mengepit kedua pipiku dengan kedua tangannya, disusul dengan kecupan hangat lagi. Membuatku makin berani mendekap pinggangnya yang telanjang, lalu mencelucupi puting payudaranya. Bi Yayuk memeluk leherku, sehingga wajahku seolah terbenam di permukaan payudaranya.

Tak cuma itu. Bi Yayuk merebahkan diri ke atas ranjang dengan pelukan semakin erat di leherku. Membuatku perutku menghimpit perut Bi Yayuk yang sudah tak tertutup apa-apa lagi.

Jalan di hadapanku seolah terbentang luas, tanpa rintangan, tanpa prahara. Meski semuanya masih asing bagiku. Dan aku terdiam pasrah ketika kaus oblongku ditanggalkan oleh wanita setengah baya yang masih padat mengkilap dan penuh kehangatan itu.

Lalu Bi Yayuk mengelus dadaku sambil berkata, “Dulu waktu kamu masih kecil, bibi sering melihatmu telanjang. Setelah menjelang dewasa, dadamu bidang dan bagus gini. Kamu rajin olahraga ya ?”

“Iya Bi.”

Tiba-tiba tangan Bi Yayuk menyelinap ke balik celana pendekku, “Waktu masih kecil tititmu cuma segede telunjuk bibi. Sekarang udah segede apa ya ?”

Kubiarkan tangan Bi Yayuk menyelusup terus ke arah penisku. Dan...tiba-tiba ia memekik perlahan, “Beeen.... gak salah nih ? Punyamu kok jadi panjang gede gini ? Udah keras pula....! Buka dong celananya, bibi pengen lihat...!”

Penisku memang sejak tadi sudah ngaceng berat di balik celana pendekku. Kini kupelorotkan celana pendekku sampai terlepas dari kakiku, seperti yang Bi Yayuk minta.

Setelah aku telanjang, mata Bi Yayuk melotot, sementara tangan kanannya memegang batang kemaluanku yang sudah tegang sekali ini. “Bena... Bena.... gak nyangka punyamu sudah sepanjang dan segede ini...!”

Aku diam saja. Begitu juga ketika wajah Bi Yayuk mendekati batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, bahkan lalu menciuminya.

Aku memang sudah sering diperlakukan seperti ini oleh Reni. Tapi waktu Bi Yayuk yang melakukannya, sungguh jauh berbeda kesannya. Bahkan aku merasa bahwa kali ini aku tak usah mengendalikan diri.

“Kamu tau apa yang harus kamu lakukan sekarang...mmm...maksud bibi apa yang akan kita lakukan sekarang kan ?” tanya Bi Yayuk sambil menjilati leher penisku.

“Tau Bi,” jawabku singkat sambil memejamkan mata, karena jilatan Bi Yayuk terasa semakin membangkitkan nafsuku.

“Apa yang akan kita lakukan ?” Bi Yayuk melepaskan penisku, lalu merebahkan diri di sampingku.

“Kita akan melakukan hubungan seperti suami istri,” sahutku.

“Iya. Kamu gak keberatan menggauli bibi kan ?”

“Gak Bi. Aku malah ingin merasakan seperti apa rasanya menggauli perempuan.”

“Haaa ? Memangnya kamu belum pernah menyetubuhi perempuan ?”

“Belum Bi. Tapi aku sudah punya bukunya.”

“Buku apa ?”

“Buku pelajaran sex. Selain daripada itu aku sudah sering nonton filmnya.”

“Terus...bisa kamu praktekkan sekarang kan ?”

“Iya Bi...kalau Bibi tak keberatan, aku mau mempraktekkan semua yang pernah kutonton filmnya.”

Bi Yayuk memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Lakukanlah...bibi sudah ingin sekali merasakan hangatnya sentuhanmu...lakukanlah apa pun yang kamu inginkan. Mumpung kita hanya berdua saja di rumah ini sekarang.”

“Iya Bi.”

“Anggap aja bibi ini istrimu sekarang Ben.”

“Iya Bi,” sahutku sambil merayap ke atas perut Bi Yayuk, “Menurut buku yang pernah kupelajari, hubungan sex itu harus ada foreplay dulu... mmm... harus ada pemanasan dulu. Jangan langsung begituan.”

“Iya lakukan aja semua yang telah kamu pelajari itu. Mmm... celana dalam bibi juga nanti kamu aja yang lepasin ya.”

“Iii... iya Bi...”

Semuanya ini laksana mimpi saja, karena aku tidak merencanakan sebelumnya. Sedikit pun aku tak menduga akan terjadi sesuatu yang luar biasa bersama adik ibuku itu.

Bahwa aku mulai menghimpit Bi Yayuk. Lalu menciumi bibirnya sepuasku, yang selalu saja disambut dengan lumatan bibiku yang cantik dan seksi itu. Lalu bibir dan lidahku mulai bekerja untuk mencelucupi leher Bi Yayuk, membuat birahi kami semakin menggila. Sepasang payudara Bi Yayuk yang belum kendur itu pun tak lepas dari remasan dan celucupanku.

Mulutku pun mulai melorot turun ke pusar perutnya. Dengan penuh hasrat birahi, kujilati pusar perut Bi Yayuk, sehingga ia mulai menggeliat-geliat disertai elahan-elahan nafasnya.

Pada saat itulah aku mulai menurunkan lingkaran elastis celana dalam putih bersih Bi Yayuk.

Dan setelah celana dalam itu terlepas dari kaki Bi Yayuk, aku tercengang dengan nafas yang semakin memburu. Kemaluan bibiku itu, tiada rambutnya sehelai pun. Dan bentuknya yang tembem itu, wow, sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan kemaluan Reni.

“Bibi rajin mencukur rambutnya ya ?” ucapku sambil mengusap-usap kemaluan tembem dan sasngat menggiurkan itu.

“Iya, kalau keringatan suka gatel. Makanya bibi suka mencukurnya seminggu sekali. Emang kenapa ? Kurang menarik kalau gak ada jembutnya ya ?”

“Justru lebih bagus Bi... bakal lebih mudah menjilatinya.”

“Hah ?! Kamu mau jilatin punya bibi ?”

“Iya Bi. Di dalam buku yang pernah kubaca, menjilati kemaluan wanita itu termasuk dianjurkan. Supaya pihak wanita lebih siap untuk di... disetubuhi...”

“Masa sih ?! Dengan ayah Reni, bibi belum pernah dijilatin segala. Tapi punya dia sih sering bibi emut, karena dia mau digituin. Oooh... Beeen....” ucapan Bi Yayuk terputus di tengah jalan, karena aku mulai memainkan bibir dan lidahku untuk menciumi dan menjilati kemaluan bibiku.

Bi Yayuk mulai mengejang-ngejang dan mendesah-desah ketika aku mulai gencar menjilati kemaluan tembemnya. Terlebih setelah aku fokus menjilati kelentitnya (seperti yang dianjurkan oleh buku pelajaran sex itu).

Bi Yayuk pun semakin berceloteh seperti sedang ngelindur : “Bena... oooh... Benaaa... ini... ini kok enak banget Beeen.... ooooh.... baru sekarang bibi mer... merasakan enaknya di... dijilatin... ooooh.... jilatin terus kelentitnya Ben....enak sekaliii...”

Bi Yayuk meremas-remas rambutku sambil mendesah dan merintih histeris. Sampai akhirnya ia berdesis, “Masukin aja punyamu Ben... bibi udah gila nih....”

Aku pun berlutut di antara sepasang paha Bi Yayuk yang sudah direnggangkan, sambil meletakkan moncong penis ngacengku di permukaan kemaluan Bi Yayuk. “Harusnya pakai kondom kali ya ?” cetusku.

“Gak usah. Sebenarnya pake kondom itu gak enak,” sahut Bi Yayuk sambil memegang penisku dan mencolek-colekkan moncongnya ke celah kemaluannya yang sudah basah dan licin.

“Nanti kalau Bibi hamil gimana ?”

“Nggak bisa hamil. Kan bibi sebulan yang lalu sudah disuntik anti hamil. Bibi sudah merencanakan semuanya ini setelah menerima surat darimu bahwa kamu mau pulang liburan ...”

Aku memang sudah mengirim surat kepada Bi Yayuk, Memberitahu bahwa aku akan libur sebulan dan akan pulang ke rumahnya.

“Ayo dorong Ben...” pintanya sambil tetap memegangi penisku, mungkin agar jangan meleset arahnya.

Kuikuti instruksi bibiku itu. Kudesakkan penisku kuat-kuat... dan... blesss.... mulai melesak sedikit di liang kewanitaan Bi Yayuk yang sudah basah kuyup oleh air liurku itu.

“Duuuuh... sudah masuk Ben.... gila... punyamu kok gede gini ya....” desis Bi Yayuk sambil memeluk leherku, sehingga wajahku terjerembab ke samping kepala Bi Yayuk. “Entotin sedikit-sedikit dulu Ben... nanti makin lama juga bisa masuk makin dalam... tapi awas jangan sampai lepas... usahakan punyamu tetap di dalam memek bibi...”

“Iya Bi.... oooo.... oooohhhh.... ini enak sekali Bi... geli-geli enak gini...”

“Ini pertama kalinya punyamu dimasukin ke dalam punya perempuan ya ?”

“Iya Bi... oooh.... ternyata geli-geli enak gini yaaa... enak sekali Biii...”

“Punyamu juga enak banget Ben... panjang gede sih... ” ucap Bi Yayuk terengah ketika penisku mulai lancar menggenjot liang kewanitaannya. Lalu kurasakan kecupan -kecupan hangatnya di kedua belah pipiku, terkadang juga di bibirku. Membuatku semakin terlena dalam arus kenikmatan.

Dan... ketika wajahnya berada di bawah wajahku, demikian dekatnya, sehingga aku bisa memperhatikan kecantikannya dengan seksama.

“Bi… “ ucapku tersengal, “iii… ini pertama kalinya tititku dimasukkan ke dalam meki perempuan…. “

Bi Yayuk menatapku dengan senyum manis, “Baguslah… berarti kebujanganmu akan dilepasin di memek bibi ya… “

“Iii… iya Bi… “

“Ayo entot lagi Ben. Jangan direndem terus,” ucap Bi Yayuk sambil menepuk pantatku.

Sebagai jawaban, kutarik penisku perlahan, lalu kudorong lagi… hmmm… gesekan antara penisku dengan jepitan liang kewanitaan Bi Yayuk ini… luar biasa enaknya… !

“Dududuuuh… Biii…ini…ini enak sekali Biii….” rengekku sambil mengayun penisku dengan gerakan yang agak cepat.

Bi Yayuk semakin me3rentangkan kedua belah pahanya, sambil mendekap pinggangku. Dan berkata terengah, “Kon…kontolmu juga enak sekali Ben… mmmm… bibi bisa ketagihan ntar…”

“Sa… sama… aaa…aku juga pas… pasti ke… ketagihan Bi… “ sahutku terengah-engah.

Sementara penisku semakin lancar bermaju-mundur di dalam jepitan liang kemaluan Bi Yayuk.

Bi Yayuk pun tak tinggal diam. Pantatnya mulai bergoyang-goyang erotis, membuat persetubuhan kami semakin nikmat saja rasanya.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd