Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Jerk & Pervert Girl

Status
Please reply by conversation.

AyaLiliput

Semprot Baru
Daftar
7 Feb 2023
Post
33
Like diterima
6
Bimabet
BAB 1. TRUTH OR DARE

Vincent melirik jam tangan emas di pergelangan tangan kanannya, arah jarum jam menunjukkan tepat jam tujuh pagi. Mereka benar-benar menyewa tempat ini dua belas jam penuh. Vincent yang datang ke tempat ini karena dijemput paksa Farell di tengah pesta ulang tahun tetangganya sangat menyesal.

"Ibuku akan sangat marah jika tahu aku pergi," desis Vincent.

"Percayalah, Vin. Malam ini akan sangat menyenangkan," jawab Farell percaya diri.

Kelakuan teman-temannya tak jauh beda dengan orang gila, mereka menenggak bergelas-gelas wine dan bermain-main tidak jelas, tertawa pada lelucon murahan dan membully satu sama lain.

Mereka adalah anak-anak orang kaya yang hidupnya putus asa. Seperti halnya Vincent, mereka adalah para pengusaha-pengusaha muda yang terpaksa menjalankan bisnis kakek atau ayahnya. Hidupnya penuh dengan tuntutan dan aturan, ibu-ibu mereka menerapkan standar kualitas performa mereka di depan umum dengan tidak umum. Harus bisa segala hal, harus memiliki bermacam-macam softskill yang sang ibu tentukan, harus berpenampilan rapi dan menarik, harus berkarisma terutama di depan karyawan. Jika tidak, keluarganya akan memaksa mereka dengan cara apapun.

Tapi di luar keluarga, anak-anak malang itu bergaul sesukanya dengan yang lain, karena di rumah tidak mungkin bisa melampiaskan sisi nakalnya.

Vincent bersendawa sembari mengangkat bokongnya dari kursi empuk yang didudukinya. Aroma tak sedap menyeruak dari mulutnya, namun tak dipedulikan oleh teman-teman karena sudah biasa dengan aroma alkohol itu. Jam tujuh pagi, para penari perut yang bergantian memamerkan tubuhnya di ruangan VIP mereka, mulai satu persatu.

"Oh ayolah, Boy. Ini masih pagi," Gerry menarik tubuh Vincent hingga kembali duduk di meja mereka. Tidak seberapa, Vincent, Gerry, dan beberapa lelaki yang lain hanya bermain truth or dare di tempat elite ini. Mereka menghabiskan uang berjuta-juta untuk memesan ruang VIP kelab yang paling bergengsi di kota mereka.

Jika orang-orang pada umumnya menyewa tempat ini untuk memutar lucky wheel sebagai permainan seru mereka, atau memainkan kartu dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berjudi, maka berbeda dengan geng absurd Vincent. Mereka menyewa tempat ini hanya untuk bermain truth or dare seperti anak SD dengan botol minuman. Siapa yang kena putaran tutup botol minuman maka Ia yang menjadi korban, dan Ia harus memilih mengorbankan kejujuran atau tantangan.

Naas bagi Vincent karena Ia menuruti kemauan Gerry kali ini, padahal jam kantornya akan berlangsung satu jam lagi. Teman-temannya bersorak karena lagi-lagi Vincent yang mendapat ujung tutup botol itu.

"Aku pilih dare," ucapnya tidak berminat.

"Yakin? Kau yakin, Vin?" Farell menunjukkan jari telunjuknya ke wajah Vincent yang frustasi.

"Aku ingin Kau mencium perempuan tapi bukan perempuan di tempat ini, Vin," usul Gerry.

"Setuju, aku lebih setuju jika Kau menciumnya di tempat keramaian," sambung Farell.

"Lebih seru lagi kalau gadis itu tidak mengenalmu, Vin. Kita akan melihat bagaimana sebenarnya martabatmu di depan wanita," ucap Gerry lagi. Farell bertepuk tangan setuju disusul oleh teman-temannya yang lain.

Vincent kesal bukan kepalang, nafasnya naik turun, teman-teman laknatnya berusaha mempermalukannya kali ini, tentu saja Ia lebih suka memberikan segepok uang pada mereka seperti kegiatan berjudi pada umumnya. Tapi sayangnya, anak-anak para konglomerat itu sudah tidak berselera melihat uang. Hidup bagi mereka hanyalah hiburan bukan mencari uang, bahkan uanglah yang mencari mereka. Semalam suntuk ini Vincent menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Nasib sial menghinggapinya setelah Ia kabur dari pesta ulang tahun tetangganya.

"Kita pulang saja, Gerry. Atau Kau lebih memilih terlambat masuk kantor dan dimarahi nenekmu?" Elak Vincent.

"Oh, tidak bisa, Kawan! Kita masih ada urusan yang harus diselesaikan," Tommy yang sedari tadi diam saja sekarang ikut bersuara. Teman-temannya bertepuk tangan saking senangnya dengan ucapan Tommy.

"Kau harus mencium gadis dulu, Vincent," ucap Gerry mengingatkan konsekuensi yang harus Vincent terima. Farell tertawa terkikik di belakang ketiga temannya.

Satu botol anggur yang kebetulan berada di lantai, pecah berserakan akibat tendangan sepatu Vincent. Kebiasaannya jika sedang marah.

"Oh, santailah, Vin. Kita tidak harus seserius itu. Kau lelah? Ayo kita pulang," ucap Farell. Dua temannya yang lain menahan tawa karena mereka berhasil memancing emosi Vincent. Bagaimana tidak, mereka sangat kompak untuk memaksa Vincent melakukan hal yang sangat tidak bermoral. Mencium gadis di tempat keramaian secara random.

"Ah, aku malas menyetir. Bagaimana jika aku ikut denganmu saja, Rell?" Ujar Gerry.

"Aku harus mengantarkan Vincent ke kantornya. Tapi tidak apa-apa, ayo kita bertiga," jawab Farell.

"Berempat," sergah Tommy.

Farell terpaksa menjejalkan ketiga temannya ke dalam mobil. Anak-anak itu lebih suka kebersamaan receh mereka dari pada kehidupan mewah dan tertata yang disuguhkan di depan mata. Gerry menelpon sopirnya untuk mengambil mobilnya di tempat parkir kelab sementara Farell meminta pihak kelab agar mengantarkan sepeda motor besarnya ke studio tempat Ia menyalurkan hobi musiknya.

Ya, Vincent berangkat ke kantor tanpa mandi pagi terlebih dahulu, tapi sekretarisnya akan menyiapkan segala hal keperluan pribadi Vincent termasuk urusan mandi. Nanti, Ia bisa mandi kilat di kantornya setelah melewati lift khusus CEO hingga tidak siapapun tahu betapa joroknya atasan tertinggi mereka.

"Belum ada gadis lewat ya," celetuk Tommy mulai mengungkit tujuan utama mereka.

"Karena ini masih terlalu pagi untuk berkeluyuran, Tommy," tanggap Farell.

Vincent hanya diam saja sambil memasang wajah garang, tapi bagi teman-temannya tetap saja menggelikan.

"Oh, itu-itu," Gerry menunjuk pinggir jalan.

Ketiga temannya termasuk Vincent mengikuti jari telunjuk Gerry. Nampak di mata mereka seorang gadis berpakaian kantor berjalan searah dengan mobil yang mereka tumpangi. Bunyi klakson bersahut-sahutan di belakang mobil mereka karena Farell mengendarai sesukanya, kali ini dengan kecepatan sangat lambat karena mengimbangi jalannya gadis di pinggir jalan itu.

"Wah, lumayan cantik, Vin," ucap Gerry.

Dengan bodohnya Vincent mendekatkan wajahnya ke jendela mobil untuk membuktikan ucapan Gerry. Mereka beruntung karena tepat di depan mereka lampu lalu lintas menyala merah.

"Ayo Vin, sekarang waktunya," ucap Tommy.

"Vin, sebagai seorang gentleman Kau harus melakukan tantanganmu. Cepatlah turun mumpung lampu merah," ujar Farell menyemangati Vincent. Lebih tepatnya mendukung teman-temannya dalam upaya mendapatkan hiburan terakhir sebelum melewati hari-hari yang penat di kantor.

Gadis itu memang cantik, Vincent pun mengakuinya meski kemungkinan besar bukan gadis tipenya. Tanpa pikir panjang, Gerry membuka pintu dan mendorong Vincent keluar. Lelaki itu pun berjalan di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Farell mengacungi dua jempol kepada Gerry. Sedangkan Tommy berjoget-joget kecil di kursinya.

Vincent pikir lebih baik Ia berlari saja ke kantor dari pada satu mobil dengan para cecunguk tidak jelas itu. Di sisi lain teman-temannya bersorak gembira melihat kejadian di zebra cross tempat gadis itu menyeberang. Vincent membatalkan rencananya.

***

Masih belajar upload di Semprot, Gaess. Mohon dukungannya yaa
 
BAB 2. ARABELLA

Arabella memeriksa potongan rambut yang sudah dipoles oleh Alanis. Besok pagi Ia harus tampil prima karena Ia akan melakukan wawancara kerja. Semenjak lima belas kali gagal di babak seleksi administrasi, akhirnya kali ini Ia mendapat panggilan tes wawancara di sebuah perusahaan multinasional.

Satu kontrakan dibuat sibuk olehnya hanya demi melewati hari paling mendebarkan ini. Arabella telah menjadi pengangguran terkenal tingkat satu komplek kontrakan yang Ia tempati sejak kuliah. Semenjak mendapat telepon konfirmasi dari Divisi HRD Sidomuktiningjaya Group, Ia rajin merecoki teman-teman kontrakan untuk membantunya latihan wawancara.

"Nis, kok ini kurang ya?" Ucapnya saat menemukan sehelai rambut yang tertinggal. Alanis segera meneliti bagian yang ditunjuk Bella.

Rambut Bella dipotong menjadi sepuluh cm di bawah leher, sebelumnya Bella membiarkan rambutnya panjang menjuntai sampai ke bokong. Tapi Alanis bersikukuh dengan keyakinannya bahwa itu kurang rapi dan kemungkinan akan mengurangi nilai. Kalaupun mau Bella harus menyanggul rambutnya sekalian, tapi Bella justru tidak percaya diri dengan tampilannya jika rambutnya disanggul.

"Aku kok nggak berminat buat ambil posisi itu, ya," tiba-tiba Bella ragu-ragu dengan minatnya. Sebelumnya Ia sangat menginginkan posisi itu, sekretaris. Bahkan jika tidak bisa, Ia mau ditempatkan di posisi apa saja asalkan dapat pekerjaan.

"Bella, Kau itu udah lima belas kali ngajuin lamaran. Ini saatnya Kau maju, jangan nyerah, donk," tanggap Alanis.

Alanis yang dimintai tolong oleh teman satu kontrakannya yang super ribet dan moody, harus mengerahkan hati, tenaga, dan pikiran agar Bella tidak mundur.

"Sudah rapi, Bell," ucap Alanis.

"Makasih," jawab Bella.

Pagi-pagi sekali, Bella sudah bangun. Tepat jam lima pagi Ia bergegas mandi, sedangkan jadwal wawancaranya masih empat jam lagi. Alanis membantunya merapikan eyeliner saat Ia merasa kurang puas melihat riasan Bella.

"Rilekslah, Bell. Kau sudah belajar berminggu-minggu," ujar Alanis.

"Tetap saja aku grogi, Nis," tanggap Bella. Bahkan untuk mengambil makanan saja tangannya bergetar hebat.

"Kau punya kekuatan yang belum Kau sadari. Percayalah, Kau pasti bisa. Semangat," Alanis mengulangi mantranya.

Degup jantung Bella bertambah kencang saat Ia menenteng tas laptop ke luar kontrakan. Kantor kerja yang Ia lamar tak jauh dari kontrakannya, maka dari itu Ia mengikuti saran Alanis untuk jalan kaki saja.

Gila! Dua puluh menit jalan kaki, Alanis bilang dekat? Sesekali Bella membuka tampilan Google Map untuk memastikan dirinya tidak nyasar.

Saat Ia menyeberang di sebuah jalan besar melewati zebra cross, tiba-tiba seseorang menyergapnya dan ….

"Aaa tolooong …." Bella berteriak ketika tiba-tiba ada pangeran yang menciumnya pipinya di bawah tiang lampu lalu lintas.

Suara tawa meledak dari dalam sebuah mobil yang kaca jendelanya diturunkan. Lelaki dengan rambutnya awut-awutan yang tadi mencium pipinya, memasuki mobil itu. Mereka adalah komplotan lelaki sontoloyo yang pekerjaannya hanya membuat onar di masyarakat.

"Lihat saja, nanti kalian bakal viral," desis Bella.

Pagi ini sangat membuat suasana hati Bella hancur tidak karuan, bagaimana bisa rombongan yang mengendarai mobil mewah itu tiba-tiba melecehkannya di tempat umum. Tambah lagi, tidak ada yang menolongnya sama sekali pagi itu. Ia menangis lahir batin karena harga dirinya dihancurkan oleh orang tak dikenal.

Diacak-acaknya rambutnya yang sudah rapi, maskaranya luntur dan membuat pipinya hitam oleh cairan. Bella benar-benar bingung, Ia tidak tahu lagu bagaimana caranya mengembalikan mood dan harga dirinya yang sudah hancur berkeping-keping. Satu-satunya tindakan yang Ia tahu adalah menelpon Alanis.

Bella mendudukkan diri di depan pertokoan yang masih tutup, lalu lalang kendaraan di depannya sangat padat. Jam sudah menunjukkan angka 07.31 saat Ia mulai menelpon Alanis.

"Hallo, Bell?"

"Nis," suara Bella terdengar terisak.

"Kau kenapa, Kau nangis?" Di seberang sana, Alanis mendekatkan handphone-nya ke telinga.

"Aku dicium sama orang, di tengah jalan," akhirnya Bella menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Hah?! Kok bisa?"

"Nggak tahu," jawab Bella sekenanya.

"Tapi Kau nggak apa-apa?" tanya Alanis khawatir.

"Nggak apa-apa," jawabnya.

"Oke, syukurlah. Aku baru saja sampai kantor, nanti kalau Kau perlu kujemput, langsung telepon lagi," ucap Alanis.

Bella memang merasa dirinya tidak mendapat luka sedikitpun. Tapi perasaannya sangat hancur, Ia sangat malu. Andaikan mobil itu bisa Ia buru tadi, Ia akan mendorongnya hingga jatuh ke dalam jurang. Tapi sia-sia karena itu hanya khayalannya saja.

Ia menarik nafas, menghembuskannya perlahan, dan berusaha membuat senggukannya reda. Setelah dirasa cukup, Ia mengambil cermin kecil di tasnya dan menghapus maskara yang meluber sampai ke pipi. Bella menekadkan diri untuk melanjutkan perjalanan sampai kantor tujuan.

Sesampainya di kantor yang berdiri megah menjulang tinggi hingga membuat Bella harus mendongakkan kepala untuk melihat ujungnya, Ia bertanya kepada resepsionis yang kemudian mengarahkannya ke ruang tunggu seleksi calon karyawan. Para peserta lain yang juga lolos seleksi berkas sudah datang beberapa.

Bella menunggu gilirannya dipanggil memasuki ruangan wawancara. Suasana hatinya sudah tidak karuan, tapi Ia harus melewati hari ini setidaknya agar memiliki pengalaman tes wawancara secara langsung. Sesuai pengarahan petugas, seleksi wawancara akan melalui dua tahap, peserta yang lolos di tahap pertama akan maju ke tahap kedua.

Ada beberapa orang yang melamar sebagai sekretaris, padahal lowongan untuk pekerjaan ini hanya dua orang saja. Satu untuk posisi sekretaris di bidang personalia, dan satu lagi sekretaris di bidang pengadaan barang dan aset perusahaan.

Sebenarnya Bella bukan lulusan Jurusan Kesekretariatan, tetapi Manajemen. Hanya saja, Ia belum memiliki pengalaman bekerja sama sekali sedangkan lowongan yang pas dengan jurusannya harus memiliki pengalaman bekerja minimal satu tahun.

"Zhavia Arabella."

Akhirnya Ia dipanggil, Ia berdoa singkat sebelum beranjak dari tempat duduk.

"Kau melamar posisi sekretaris, padahal ada posisi yang lebih bonafit dan linier dengan jurusanmu," ucap ibu-ibu pewawancara.

"Iya, Bu. Karena kualifikasi saya lebih sesuai dengan posisi tersebut dari pada posisi staf manajemen," jawab Arabella sekenanya. Padahal Ia sudah berminggu-minggu belajar menjawab dengan benar dan santun.

"Lho, kenapa?" Staf HRD tersebut melontarkan pertanyaan atas jawaban Bella.

"Karena saya belum memiliki pengalaman bekerja," jawab Bella mulai gugup.

"Oh, fresh graduate. Saya periksa lagi ya, motivation letter-nya," ucap pewawancara sembari mengeluarkan isi map coklat milik Bella.

"Baik, Bu," jawab Bella.

Lihat? Bella berhasil melewati wawancara hari ini meski dengan jawaban yang pas-pasan dan sangat spontan. Ia menghela nafas lega saat keluar ruangan, diterima ataupun tidak itu urusan nanti. Yang terpenting bagi Balla sekarang adalah menenangkan diri setelah melewati hari yang sulit. Andai saja kejadian tadi pagi tidak terjadi, mungkin suasana hatinya lebih baik. Tapi Ia tidak bisa menolak takdir. Ia hanya berjanji akan membalas perbuatan orang tersebut jika bertemu.

Para peserta yang lolos dipanggil lagi oleh petugas dan disilakan masuk ke ruangan lain, yang belum beruntung dibolehkan pulang. Bella tidak menyangka bahwa dirinya masuk ke dalam kelompok yang lolos ke tahap berikutnya.

Sekarang Ia membuka pintu calon atasannya yang akan memberikan tes secara langsung. Tak lupa Ia mengetuk pintunya terlebih dahulu, itu ajaran Alanis. Saat Ia membuka pintu sosok itu kembali menghantuinya.

'Sepertinya aku pernah lihat orang itu, tapi di mana?' Bella bicara di dalam hati ketika berdiri di ambang pintu. Lelaki itu sedang mengamati layar monitor di depannya.

Oh, astaga! Lelaki itu yang tadi pagi menciumnya di tengah jalan. Apakah Ia tidak keliru? Mungkinkah orang itu hanya mirip saja? Bella membelalakkan matanya dan saat itu juga pandangan mereka bertemu.

***
 
BAB 3. THE BASTARD BOSS

Bella berdiri mematung, syaraf-syarafnya seakan lumpuh seketika, bibirnya bergetar tak teratur, kakinya lemah seperti ubur-ubur, rasanya seperti akan runtuh gedung bertingkat ini. Ia tidak salah, lelaki yang duduk di meja kehormatan sana adalah lelaki yang sama dengan lelaki brengsek yang melecehkannya dengan cara mencium di tengah jalan tadi pagi.

Empat jam lalu saat Ia menyeberang jalan di lampu merah, tiba-tiba disergap seseorang dari belakang lalu pipinya dilumat begitu saja. Bella hampir mati karena jantungan tapi untungnya gerakan refleksnya untuk menginjak sepatu lelaki itu menolongnya. Jika tidak, mungkin saja Ia sudah diculik. Tak ada yang menolongnya pagi tadi karena semua manusia sibuk mengurusi dirinya sendiri. Hanya Alanis yang menenangkannya via telepon.

"Kau?" Ucap lelaki itu lebih dahulu mengungkapkan keterkejutannya. Tak hanya Bella, Vincent juga terkejut bukan kepalang ternyata gadis yang tadi pagi sempat membuatnya dimabuk kepayang dalam hitungan detik, tak lain adalah calon karyawannya.

"Iya, Pak. Ini saya," tanggap Bella dengan kepercayaan diri penuh.

"Kau, Kau yang tadi pagi jalan kaki? Jadi …." Vincent berusaha menyangkal kenyataan di depannya. Tapi meskipun Ia menyangkal sekuat apapun, kenyataan tetap kenyataan dan Ia adalah pihak yang bersalah.

"Ya, Bapak telah mempermalukan diri Bapak sendiri di depan umum," Bella memutar balikan fakta. Anggap saja CEO di hadapannya yang mempermalukan dirinya sendiri, bukannya Bella yang dipermalukan.

Entah mendapat kekuatan dari mana, sekarang Ia memilih untuk menghadapi pelaku pelecehan seksual dari pada menghormati seorang petinggi perusahaan yang akan menyeleksinya. Pandangannya penuh dengan kebencian kepada lelaki itu, Ia duduk tanpa basa basi lalu menunggu apa yang lelaki itu ucapkan lagi.

"Kau tidak punya sopan santun sama sekali, siapa namamu?" Ucap Vincent berusaha menegur wanita di depannya. Bukan menegur, lebih tepatnya mengintimidasi demi menutupi kelakuan bejatnya tadi pagi. Tapi sayangnya, Bella tidak gentar sedikitpun. Ia malah menyeringai meremehkan usaha lelaki di depannya.

"Apa Bapak tidak bisa membaca isi data itu? Bapak tidak perlu repot-repot menanyakannya kepada saya," jawab Bella sembari meletakkan map coklatnya dengan kasar di meja Vincent.

"Orang kasar dan sesukanya sendiri sepertimu tidak pantas menjadi sekretaris, Zhavia Arabella," ujar Vincent. Demi apapun, lelaki di depan Bella sangat menyebalkan.

"Orang mesum dan bodoh seperti Bapak juga tidak pantas menjadi CEO!" Arabella menanggapi tuduhan Vincent.

"Mesum tidak berpengaruh bagiku untuk turun dari jabatan CEO dan tidak ada hubungannya dengan lamaran kerjamu. Aku tidak punya alasan untuk menerimamu di sini," tukas Vincent.

"Bapak telah melakukan pelecehan seksual kepada saya. Kalau Bapak tidak menerima saya sebagai karyawann di perusahaan ini, maka Bapak harus menerima konsekuensinya. Saya akan memviralkan kelakuan Bapak dan nama baik perusahaan ini akan tercemar dengan sangat cepat. Ingat, Bapak pasti punya musuh bisnis yang Bapak takuti," ujar Bella.

Vincent terdiam beberapa saat, Ia memang memiliki kekuatan raksasa di perusahaannya, tapi di luar sana Ia juga memiliki musuh yang tidak kalah besarnya. Mungkin saja jika Bella menyebarnya di media sosial, mata-mata perusahaan lain yang mengetahuinya akan membantunya mem-blow up kelakuannya, membantu Bella memviralkan kelakuan calon penerus Muktiningjaya.

"Oleh karena itu, Bapak harus menerima saya," sambung Bella setelah Vincent belum juga menanggapi permintaannya.

"Kenapa?" Tukas Vincent.

"Karena saya membutuhkan pekerjaan. Atau Bapak lebih memilih jika saya memviralkan kelakuan Bapak tadi pagi? Saya bisa meminta rekaman CCTV ke Polsek," ucap Bella.

"Kau bisa diterima di sini dengan satu persyaratan," putus Vincent pada akhirnya.

"Apa itu?" Bella tak mau mundur, namun tidak juga beriktikad untuk memperbaiki sikapnya pada lelaki di depannya.

"Kau masih ingat apa yang Kau terima tadi pagi?" Ucap Vincent diiringi seringai licik.

Melihat perangai Bella yang sangat angkuh dan keras, Ia memiliki asumsi bahwa wanita itu memiliki sisi binal dan sangat membuat Vincent terangsang. Hampir saja Vincent membayangkan yang tidak-tidak.

"Jadi, Bapak akan menciumku lagi?" Bella tidak percaya mengatakan itu. Laki-laki yang menduduki kursi CEO di perusahaan ini sudah gila rupanya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Ia akan berhadapan dengan orang-orang kaya seperti yang ada di novel. Bella kira, kisah CEO muda dan berakhlak bobrok itu hanya ada di novel saja, nyatanya tidak.

"Ya, aku akan melakukannya lagi," ucap Vincent tanpa berlama-lama.

"Saya tidak mau diperlakukan seperti wanita murahan," jawab Bella tegas.

"Oh, jadi benar Kau wanita murahan?" Vincent tertawa membayangkan bahwa perkiraannya benar wanita yang dandanannya norak ini sebenarnya adalah wanita kelab atau karaoke plus plus.

"Saya bilang saya bukan wanita murahan!" Bella menggebrak meja, kemarahannya memuncak.

Sebuah penghinaan yang sangat rendah bagi dirinya ketika Ia dinilai sebagai wanita murahan dan menjadi objek fantasi lelaki hidung belang seperti yang ada di depannya. Bella tak pernah sekalipun melakukannya bersama siapapun, meskipun Ia tahu karena sekarang akses informasi sudah sangat mudah. Bella hanya tahu dari film-film romansa dewasa di netflix.

"Dengarlah Pak Vincent Muktiningjaya, saya ke sini untuk melamar pekerjaan di perusahaan Bapak. Bukan untuk bersenang-senang seperti yang Bapak kira," desis Bella. Lelaki itu akhirnya berhenti tertawa.

"Saya hanya memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang berkompeten saja," tanggap Vincent dengan santai. Bella semakin kesal karena Ia rasa Vincent meremehkan kopetensinya.

"Saya telah melewati tiga tahap tes dan itu sudah cukup membuktikan kemampuan saya, Pak. Karena Bapak telah berbuat dosa kepada saya, maka di tahap ini saya minta Bapak menebusnya dengan meloloskan saya tanpa alasan apapun," otot Bella.

"Baiklah, Sayang."

Vincent berdiri dan dengan gerakan tiba-tiba Ia sudah kembali mendaratkan bibirnya ke wajah Bella. Kali ini tepat di bibir merah itu. Tangannya menangkup erat tengkuk Bella dan menjadikan gadis itu tidak bisa mengelak. Kecupan demi kecupan Vincent berikan secara sepihak kepada Bella.

"Oh, Kau menikmatinya?" Vincent berhenti untuk mengambil nafas dan Ia mendapat fakta bahwa Bella tidak menolaknya.

"Tidak," sangkal Bella. Ia membiarkan Vincent melakukan itu karena Ia yakin Vincent akan memberinya pekerjaan kali ini.

"Kau tidak menolak," ujar Vincent.

"Itu karena saya butuh pekerjaan," jawab Bella mengingatkan janji yang Vincent ucapkan barusan.

"Siapa bilang saya akan memberi pekerjaan hanya karena Kau memperbolehkan diriku menciummu?" seringai Vincent.

"Anda sangat licik, Pak!" Geram Bella. Sekarang Ia benar-benar marah, kecewa, dan malu. Dugaannya salah besar, padahal Ia tadi mendengar sendiri bahwa Vincent akan memberinya pekerjaan jika dirinya memperbolehkannya mencium lagi.

Bella sangat kecewa, pandangannya tertuju pada laptop yang masih menyala di meja Vincent. Mungkin sangat adil jika Ia membantingnya saja.

"Jangan," seru Vincent. "Baiklah, besok pagi Kau mulai bekerja," akhirnya Vincent menyerah.

***
 
BAB 4. SECRETARY

Hari yang paling berbeda dari hari biasanya, Arabella tidak menyangka bahwa hari itu akan sangat jauh dari prediksinya. Dicium di tengah jalan, mengikuti tes wawancara perdana dengan penuh perasaan campur aduk, lalu bertemu bos besar perusahaan tersebut yang ternyata adalah pelaku harassment atas dirinya yang sangat Ia benci.

"Bagaimana wawancaramu?" seru Alanis saat melihat Bella memasuki kontrakan dengan gontai. Alanis pasti penasaran dengan hasilnya, tapi apa yang Bella lakukan hanya menunjukkan keputusasaan dengan melambaikan tangan.

"Masih banyak kesempatan lain, Bell," ujar Alanis lebih dulu menenangkan Bella. Wajar jika Bella gagal di tes wawancara pertama karena belum punya pengalaman bekerja sama sekali.

"Aku lolos, Nis," ucap Bella meluruskan prasangka sahabatnya. Ia tidak bisa membayangkan betapa kecewanya Alanis jika Ia gagal setelah berminggu-minggu Alanis membantunya menyiapkan tes seleksi kerja.

"Hah? Aaa…." Teriak Alanis sembari merangkul Bella erat-erat dan mengacak-acak rambut tak berdosa itu.

"Tapi … tapi …." Bella ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tapi Ia sangat malu mengakuinya.

"Tapi apa Bell? Lihatlah Kau sudah diterima," Alanis mencengkeram bahu anak yang selalu pesimis dan moody di depannya.

"Nis, Kau tahu? Lelaki brengsek yang tadi pagi tiba-tiba menciumku di lampu merah itu ternyata CEO di kantorku," ujar Bella dengan murung, Bella mengerahkan segenap tenaga untuk mengeluarkan kalimat itu. Alanis membelalak tak percaya.

"Hah?! Benarkah? Terus apa yang Kau lakukan?"

Siapapun pasti tidak akan percaya dengan apa yang Bella alami bahwa di dunia nyata, apa yang dikisahkan di novel-novel benar-benar ada. Ada CEO brengsek yang mempermalukan diri sendiri dan orang lain dengan cara mencium wanita secara random. Bella sendiri tidak tahu mengapa Ia menjadi sasaran Vincent, Ia lupa menanyakan hal itu padanya. Ia baru menyadari sekarang.

"Meski aku sudah lolos wawancara tahap pertama, aku memaksanya agar Ia menerimaku apapun yang terjadi," jawab Bella.

Alanis menganga tak percaya, Bella kemudian menceritakan semuanya dengan detail hingga ke bagian paling intim dari semua rangkaian kejadian hari itu. Vincent menciumnya lagi di kantor.

"Ia menciumku, Nis," ucap Bella.

"Dan Kau bangga?"

Gadis di depan Bella menggeleng-geleng dengan decakan frustasi. Kelakuan Bella sungguh gila.

"Pelecehan tetap pelecehan. Kau tidak boleh terjerat Syndrom Stockholm, Bella!" Alanis tidak terima jika Bella mengikhlaskan begitu saja, apalagi sampai senang menerimanya.

Di novel-novel yang digandrungi gadis seusia mereka, memang sedang marak naskah yang mengangkat gadis jatuh cinta pada lelaki yang menculiknya, menyiksanya, atau melecehkannya. Novel jenis seperti itu laris manis karena dianggap sangat romantis dan menantang. Tapi di dunia nyata? Tidak mungkin cerita itu diyakini sebagai kisah romantis.

Pagi ini hari pertama semua karyawan baru menjalani pekerjaannya, pagi ini pula mereka baru mengetahui di mana mereka ditempatkan. Semua ini bertujuan untuk menguji lebih lanjut apakah mereka benar-benar loyal pada perusahaan atau tidak. Hasil akhirnya, ada tiga orang yang menempati posisi sekretaris di ruang kantor yang berbeda termasuk Bella.

Bella membelalak saat Ia ditempatkan di ruang kantor CEO. Peserta lain yang ada di aula tersebut bertepuk tangan, mereka takjub dengan gadis itu. Tapi tidak dengan Bella, Ia membelalak bukan karena takjub pada dirinya sendiri. Bella menggeram pada sekandal yang Vincent buat.

"Silakan Teman-teman menuju kantor masing-masing untuk mengikuti petunjuk teknis lebih lanjut. Tapi ingat, keputusan ini belum final karena bisa jadi Teman-teman akan dipindahkan di kantor yang berbeda, dan jangan lupa setelah jam kerja berakhir Teman-teman harus berkumpul kembali di sini," ucap staf HRD yang mengurusi penerimaan karyawan baru.

Bella segera keluar ruangan seperti yang lain, menuju ruang kantor kemarin yang menjadi pengalaman pahit di hari pertama Ia menginjakkan kaki di kantor ini. Dengan hati berdebar Ia menepis segala pikiran buruk yang menimpanya. Ia meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia akan bekerja bersama-sama sekretaris Vincent yang lain bukan bekerja sama dengan Vincent.

Sekretaris Vincent sudah ada tiga orang, yang satu sekretaris pribadi, sekretaris khusus kantor, dan sekretaris cadangan. Bella belajar dengan cepat kepada mereka bertiga, Ia beruntung karena hari ini Vincent ada rapat di luar kantor. Jadi Ia tidak perlu repot-repot memeras otak untuk menghadapinya. Vincent baru kembali ke kantor setelah istirahat siang tiba.

"Arabella, mau makan bersama saya?"

Benar saja, Vincent kembali dan langsung mendekati Bella. Ketiga sekretaris yang lain membelalak dan saling pandang. Bella sangat malu, mereka bertiga pasti memiliki prasangka buruk terhadap dirinya. Tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa anak Muktiningjaya yang satu itu suka bermain wanita.

"Arabella," bisik sekretaris pribadi Vincent mengingatkan Bella agar lekas bergegas dari depan layar komputer.

Sial, Bella terpaksa harus menemani lelaki muda bajingan itu makan siang. Ia bersikukuh untuk tidak terjebak dalam upaya apapun yang Vincent lakukan seperti kemarin. Kemarin sudah sangat keterlaluan, Ia menyesal telah dicium oleh lelaki brengsek yang dikutukinya.

"Omong-omong, Kau sudah melakukannya dengan siapa saja?"

"Hah? Apa? Bapak sangat tidak sopan! Saya tidak pernah sama sekali melakukan hal itu, harus berapa kali saya mengatakannya, Pak?"

"Jadi, Kau masih perawan?"

"Sudah saya katakan saya bukan wanita jalang yang Bapak kira," tegas Bella.

"Lalu Kau tidak berniat mengakhiri masa perawanmu?"

"Tidak. sampai akhir hayat," jawab Bella.

Vincent terperanjat dengan jawaban Bella. Manusia mana yang memutuskan untuk tidak melakukan hubungan badan seumur hidup, atau jangan-jangan Arabella adalah asexual yang tidak memiliki gairah sama sekali.

"Mengapa kemarin Bapak mencium saya di tengah jalan? Apakah Bapak sudah biasa mencium wanita secara random?" Tanya Bella mengingat hal yang sampai sekarang masih penasaran tentang Vincent, apakah Vincent mengidap penyakit mental tertentu hingga melakukan hal itu.

"Tidak, saya tidak segila itu," jawab Vincent.

"Tapi Anda melakukan hal itu, Pak Vincent," sanggah Bella.

"Kemarin saya sedang berlomba dengan teman-teman saya untuk mencium wanita sebanyak mungkin," jawab Vincent berbohong.

Ia terpaksa melakukan hal itu demi menutupi rasa malunya bahwa Ia kalah bermain game remeh temeh dengan teman-teman laknatnya. Bella mengerutkan dahi mendengar pengakuan itu, ternyata ada banyak orang sinting di dunia ini, tidak hanya Vincent saja.

"Sudah berapa wanita yang Bapak cium?" Tanya Bella lagi. Ia penasaran meski hal itu tidak menguntungkan sama sekali.

"Oh, maaf. Saya rasa itu bukan urusan Anda Zhavia Arabella. Tapi omong-omong, Kau ada waktu malam ini?"

Vincent mengalihkan perhatian, Ia tidak mau dirinya terus-terusan diinterogasi oleh gadis yang baru saja Ia kenal. Lebih baik Ia mencari kesempatan untuk mengeruk kecantikan Arabella.

"Malam ini? Saya ada agenda, Pak," jawab Bella asal-asalan. Ia merasa harus hati-hati dengan manusia berbulu harimau. Vincent bukan orang baik, buktinya Ia mau mengikuti kompetisi saru bersama teman-temannya. Di dunia mana yang melegalkan kompetisi cium gadis sebanyak mungkin? Hanya Vincent dan gengnya. Bella teringat suara tawa dari dalam mobil yang Vincent tumpangi, kemungkinan itu teman-teman yang Vincent maksud.

"Oh, padahal saya berencana mengajakmu nonton malam ini," Vincent menyayangkan penolakan Bella.

Ia tidak lagi mau menerima iming-iming dari lelaki itu. Malah, Arabella berharap jika dirinya dipindahkan saja dari pada satu kantor dengan lelaki brengsek yang tidak jelas kelakuannya. Hidupnya bisa hancur jika terus-terusan mengorbankan hati dan pikiran untuk hal yang menyiksanya.

"Mohon maaf, Kak Arabella. Menurut penilaian kami ternyata Anda lebih cocok jika ditempatkan di Divisi Pengadaan dan Perawatan Aset. Silakan memperbaharui kontrak kerja Anda," ujar Staf HRD yang menghubunginya.

Arabella senang bukan kepalang ketika mendengar dirinya tidak jadi ditempatkan di kantor CEO sangat pengumuman hasil akhir. Itu berarti Ia akan terhindar dari Vincent yang terkutuk. Ia bersyukur tadi siang menolak Vincent untuk kencan malam ini, mungkin saja ini akibatnya. Tapi Ia justru sangat senang karena Vincent sama sekali bukan tipe lelaki yang Ia sukai.

***
 
BAB 5. GEISHA (21+)

Berkas yang telah disaring oleh sekretaris perusahaan meluncur dengan lancar ke kotak masuk email Vincent. Satu persatu diperiksa kembali dengan teliti kemudian Ia bubuhi dengan tanda tangan. Biasanya jam tengah sepuluh ini, sekretarisnya akan masuk membawakan kopi americano kesukaannya. Sekali lagi, Ia melirik empat angka di jam digitalnya. Tidak biasanya sekretarisnya terlambat. Lagi-lagi sekretaris andalannya membuat kesalahan.

Pintu diketuk seperti biasa dan seseorang dengan gaun satin berwarna merah menyala masuk. Di tangannya nampan kayu di bawa dengan anggun. Secangkir kopi dengan aroma khas tampak tenang di nampan itu. Vincent melotot saat Geisha masuk tanpa pamit. Wanita itu lagi, apa maunya?

"Nungguin, ya?" Ucap Geisha dengan suara merdu nan manja, membuat orang yang mendengarnya merasa jijik.

"Geisha, untuk apa Kau ke sini?" Vincent mengerutkan dahinya tidak suka.

"Tentu saja untuk mengantarkan kopimu, Sayang," jawab Geisha.

"Aku punya sekretaris pribadi," ucap Vincent dengan ketus.

"Ssst, sekretarismu mengijinkanku, tenanglah," Geisha meletakkan nampan di meja, menyingkirkan keyboard dengan hati-hati, lalu duduk tepat di depan Vincent. Tangannya mengelus dengan lembut dada dan bahu Vincent.

"I own my self, Geisha. Tidak ada yang berhak mengaturku," Vincent menepis sentuhan tangan Geisha.

"Oh, begitu. Diminum dulu kopinya, Sayang," Geisha mengambil secangkir kopi yang Ia bawa lalu menyodorkannya kepada Vincent. Ia tidak akan menyerah sebelum Vincent sendiri yang menyerah.

Vincent mengambil cangkir itu dengan kasar, menenggaknya tanpa sisa dan meletakkan kembali ke nampan dengan suara gemeletak. Ia menatap wajah Geisha dengan tajam dan berujar, "Aku sedang bekerja. Katakan apa maumu."

"Aku tidak bermaksud apapun, Vincent. Tapi bisakah kita mengobrol sebentar?" Ucap Geisha sembari menyapu pipi dan bibir Vincent.

"Apa yang Kau bicarakan, cepatlah," Vincent merasa terganggu oleh sentuhan tangan Geisha.

"Kenapa Kau begitu serius, Vincent? Santailah sejenak," Geisha menaikkan satu kakinya ke meja hingga nampak celana dalamnya di depan Vincent.

Vincent menampar pipi Geisha begitu kesalnya hingga wanita di depannya mengerang kesakitan. Tak memedulikan reaksi Geisha, Vincent menariknya dengan kasar hingga turun ke pangkuan.

"Apa Kau sedang menggodaku?" Vincent mencengkeram dagu wanita yang kini ada di pangkuannya. Geisha tersenyum senang mendapati Vincent mulai berminat.

"Kemarilah," ujar Vincent sambil membuat bibir Geisha membuka.

Vincent lebih suka memaksa dan mendominasi kegiatan dari pada mendapat godaan dari wanita. Oleh karena itu Ia tidak suka jika wanita-wanitanya datang untuk menggoda. Kecupan lembut menyapa bibir ranum Geisha yang berkilau oleh lipstick. Perlahan, Vincent menaikkan intensitasnya lalu berhenti tiba-tiba sesuai keinginannya. Geisha yang menerima itu, mendesah frustasi karena berkali-kali Ia gagal membalas ciuman Vincent.

"Enak, Sayang?" Ledek Vincent.

"Vincent, please," erang Geisha.

Seringai kebahagiaan terlukis di wajah Vincent, Ia cukup puas dengan ketidakberdayaan wanita di depannya.

"Apa, hah?"

"Jangan begitu, ayolah," ucap Geisha lagi.

"Dasar wanita murahan," satu tamparan lagi mendarat di pipi Geisha.

Erangan rasa sakit dari lawan mainnya membuat Vincent bergairah. Geisha juga tidak keberatan dengan hal itu meski awalnya Ia tidak suka dengan kebiasaan tidak lazim lelaki di depannya.

Plak

"Ah."

Satu tamparan di belahan paha Geisha menghasilkan desahan mesra yang membuat Vincent semakin brutal.

"Lagi donk, Sayang," bisik Geisha.

"Memohonlah," tanggap Vincent.

Vincent semakin senang mendengar wanitanya memohon-mohon kepadanya. Sebaliknya, Geisha merasa dirinya sangat terhina namun juga semakin terangsang. Bagaimana bisa setelah dirinya menyempatkan waktu dan jauh-jauh ke kantor Vincent demi permintaannya tiga hari lalu, sekarang Vincent malah pura-pura dan mencampakkannya. Membuatnya seperti wanita yang sangat murahan.

"Kudengar Kau memiliki mainan baru," ucap Geisha saat Vincent mulai memainkan bukit kembar di dadanya.

"Tidak," jawab Vincent.

"Oh, mengaku saja, Vincent," ujar Geisha menahan kedua tangan Vincent.

"Kami belum memutuskan satu sama lain," Vincent berusaha memberi penjelasan agar tidak ada salah paham di antara mereka.

"Bend over here," Vincent menepuk meja kerjanya.

"Tidak, sebelum Kau jujur kepadaku," elak Geisha.

"Percayalah Ia bukan siapa-siapaku. Aku saja mengenalnya karena Ia melamar pekerjaan di sini," jawab Vincent dengan malas.

"Bagaimana bisa Kau menidurinya?" Geisha masih belum puas dengan jawaban yang Vincent berikan.

"Karena Ia tidak diterima maka Ia menyogokku," jawab Vincent.

"Kau menyukainya?"

"Tentu saja," jawab Vincent. Lelaki mana yang tidak menyukai gratisan untuk urusan ranjang mereka? Diakui atau tidak, Vincent tertarik pada Arabella meski hanya untuk memenuhi hasrat sesaatnya.

"Lalu mengapa yang Kau panggil aku bukan dia," ujar Geisha menunjukkan rasa tersinggungnya.

"Karena aku menginginkanmu juga, Kau masih menjadi milikku," jawab Vincent dengan ringan.

"Aku hanya pelacurmu," desis Geisha.

"Memang," Vincent mengiyakan pengakuan Geisha.

Wanita itu beralih dari tempatnya dan berusaha pergi. Rasa cemburu membakarnya dan membuatnya kehilangan selera lagi kepada Vincent. Ia tahu bahwa Ia hanya wanita panggilan yang selama ini sudah setia melayani Vincent dan sering membatalkan pesanan lainnya hanya karena Vincent. Tapi lelaki itu tidak juga menyadari pengorbanan Geisha. Jika Geisha tidak menyukai Vincent, tidak mungkin Ia mengutamakan lelaki itu dibanding yang lain.

"Mau ke mana?" Vincent bingung dengan gerakan Geisha yang tiba-tiba menjauhi dirinya.

"Pulang," jawab Geisha singkat.

"Tadi Kau menggodaku, Geisha. Jangan munafik dengan mengatakan Kau tidak berselera padaku. Kau hanya ingin mengulur-ulur waktu dan membuatku semakin frustasi. Kemari Kau anak jalang!" Vincent menarik tubuh Geisha dan membuatnya membungkuk di sisi meja kerjanya.

Gerakan tangan sensual menyapa tubuh Geisha dan satu persatu helai baju meluncur begitu saja ke lantai. Vincent merangkul Geisha dari belakang membisikkan sebuah permintaan yang sangat disukai Geisha.

"Tenanglah aku akan membuatmu bersenang-senang hari ini."

Ujung jari Vincent bergerilya di bibir bawah milik Geisha, berputar ke sana kemari membuat banyak cairan keluar dari lubang kenikmatan wanita. Geisha mengerang mendapati perlakuan Vincent yang sudah sangat berpengalaman dalam hal bercinta. Sesekali, lelaki itu mencubit belahan bola di depannya hingga berwarna kemerahan.

"Aww, sakit tahuuh," erang Geisha.

"Kau menyukainya," tanggap Vincent. Tangannya kembali bergerilya merangsang titik paling sensitif yang Geisha miliki hingga wanita itu mengerang memohon-mohon.

"Vincent, cepatlah. Kau terlalu lama," ucapnya. Vincent hanya tertawa dan tetap meneruskan aksinya.

Setelah dirasa telah memberikan fore play yang cukup, Vincent memasuki milik Geisha dari belakang. Sebuah gaya yang paling disukai dirinya dan Geisha karena kebetulan lekuk tubuh Geisha cocok dengan posisi itu, doggy style. Rintihan kenikmatan Geisha memenuhi ruangan 6×6 meter tempat Vincent bekerja. Vincent terus memompanya dan mengontrol dirinya agar tetap bertahan hingga Geisha bisa melakukan pelepasan bersama dirinya.

Tanpa mereka sadari sepasang mata telah berada di antara mereka. Namun saat mereka menoleh memergoki wanita di ujung sana, wanita itu mengangkat kaki dengan secepat kilat dan menutup pintu dari luar.

***
 
BAB 6. THE RIDICULOUS LIE

"Bella …." seru Vincent. Geisha juga sempat melihat wanita itu dengan jelas. Namun Bella lebih dulu berlari sekencang mungkin sebelum keduanya menghentikannya.

"Bella? Oh, jadi jalang itu yang tidur bersamamu? Ya ampun Vincent, sudah kubilang jangan tidur sama karyawan. Aku tidak bermaksud campur tangan kepadamu, Vin. Tapi ini semua bisa menghancurkan dirimu, risikonya terlalu besar," ujar Geisha sembari mengenakan kembali semua pakaiannya.

"Kau tidak punya hak untuk mengaturku, Geisha," tanggap Vincent.

"Tentu saja, aku hanya memberi saran. Tapi terserah dirimu akan memilih menghancurkan karirmu atau tidak," Geisha menggelengkan kepala.

"Meniduri karyawan itu tidak ada bedanya dengan meniduri wanita lain di luar sana dan aku akan tetap seperti ini-ini saja, duduk di atas kursi sambil memelototi layar komputer," bantah vincent.

"Kau sekarang sedang berada di atas awan, suatu hari nanti Kau akan merasakan betapa susahnya mencari pekerjaan," ucap Geisha.

Vincent membiarkan langkah Geisha menjauhi dirinya lalu menutup pintu dari luar. Alih-alih mencerna ucapan Geisha, Vincent justru penasaran mengapa Bella tiba-tiba mengunjunginya tadi dan. Ia menyesal telah memperlihatkan dirinya sedang berhubungan badan bersama Geisha di depan Bella. Gadis itu pasti cemburu.

Vincent terpaksa berbohong kepada semua orang bahwa malam itu Ia telah tidur dengan gadis yang diciumnya di lampu merah. Itu semua karena awalnya malam itu Vincent menghindari teman-temannya yang semakin brutal kelakuannya. Dengan kepercayaan yang penuh, Ia berkata bahwa Ia ada kencan dengan gadis tersebut. Sebuah kebohongan yang sempurna, semua orang percaya kepada Vincent termasuk Geisha.

"Hallo," Vincent mengangkat telepon Tommy.

"Hallo, Vin. Kau keluar malam ini?"

"Keluar, tapi tidak bersamamu. Kau kesepian?" jawab Vincent percaya diri diiringi tawa mengejek.

"Oh, tentu saja tidak. Justru aku akan mengajakmu pergi ke kelab. Sekarang sudah ada Farel dan Gerry. Tinggal Kau yang belum ke sini," ucap Tommy.

Oh, shit. Vincent sudah kapok melakukan permainan gila seperti kemarin lagi.

"Maaf, Tom. Tapi sepertinya aku lebih beruntung malam ini," ucap Vincent.

"Kau bersama wanita?"

"Tentu saja," jawab Vincent asal-asalan.

"Oh, bersenang-senanglah, Vin," ujar Tommy. "Eh, omong-omong anak mana yang Kau tiduri?"

"Kau ingat gadis di lampu merah yang kucium kemarin, Tom?" Ucap Vincent menjawab dengan absurd pertanyaan temannya.

"Kau gila, Vin!" Pekik Tommy di seberang sana. Vincent tertawa mendengar keterkejutan Tommy.

Pada faktanya Vincent hanya duduk terdiam di rumahnya sambil mencari tahu tentang Bella. Tapi yang Ia dapatkan hanya foto-foto selfie-nya di Instagram yang membuatnya semakin frustasi. Melihat fotonya saja membuat Vincent tegang, Ia tidak akan kuat jika tidak segera menutup fitur search di Instagramnya. Lebih baik Ia meminta orang kepercayaannya untuk mengulik siapa Bella sebenarnya.

"Pak Vincent," suara sekretarisnya membuyarkan lamunannya.

"Iya? Gimana, ada yang menarik?" tanyanya. Ia tengah meminta sekretaris pribadinya untuk mencari tahu tentang Bella, gadis yang membuatnya tidak bisa menahan diri sejak peristiwa di lampu merah.

"Nona Zhavia Arabella memiliki adik tiri bernama Milla. Milla bersekolah secara homeschooling dan saat ini Ia masih pendidikan setara SMP. Nona Zhavia Arabella fresh graduate dengan predikat Cumlaude. Tentang orangtuanya belum diketahui, rupanya mereka adalah orang penting, Pak," ucap Chelsea, sekretaris pribadinya.

"Tentang kuliah Bella?"

"Segera saya dapatkan, Pak," jawab Chelsea.

"Cari tahu juga tentang Milla dan orangtuanya," ujar Vincent.

Karena Vincent menemukan Bella di lingkungan kerjanya, Ia merasa harus berhati-hati jika mau tidur dengannya. Jangan sampai nanti kenikmatan semalam yang Vincent dapatkan justru menjadi bumerang. Berbeda ketika Ia menemukan wanita di kelab malam atau lewat jasa mucikari, Ia akan merasa aman-aman saja.

Saat Ia keluar dari lift di lantai satu, Ia melihat Bella sedang menuju ke ruang arsip. Kebetulan sekali. Vincent langsung memanggilnya dan gadis itu refleks menoleh.

"Bisa kita bicara?" Ucap Vincent tanpa basa-basi.

"Bisa. Kita bicara di mana, Pak?" Ujar Bella berlagak sopan karena menjaga image di depan teman-teman. Karyawan lain yang mendapati CEO-nya ingin bicara dengan Bella segera mengambil alih tablet yang digunakan untuk mencatat barang yang akan diarsipkan nanti.

"Terserah, aku ikut Kau saja," jawab Vincent. Jawaban paling menyebalkan bagi Bella.

Sambil wajah bersungut, Bella membawa Vincent ke kafetaria yang tentu saja agak sepi karena bukan jam istirahat karyawan. Bella menarik kursi dengan kasar untuk duduk dirinya.

"Mau bicara apa, Pak?" Tanyanya dengan ketus.

"Tentang menjelang siang tadi," jawab Vincent.

Bella tahu ke mana arah pembicaraan itu, Ia berdecih sembari menggelengkan kepala. Dasar bos mesum, batinnya.

"Apa Kau cemburu?"

"Aku jijiik, Pak. Bukan cemburu," jawab Bella dengan kesal. Vincent tertawa terbahak-bahak. Sia-sia Bella menyempatkan waktu dan meninggalkan pekerjaannya hanya untuk membicarakan hal menjijikkan seperti ini.

"Tidak ada yang lucu dari adegan seks bebas di tempat kerja, Pak. Apakah etika kerja di kantor ini tidak berlaku bagi CEO?" cibir Bella. Vincent semakin tertawa.

"Tapi saya menikmatinya, Nona Bella," ujar Vincent.

Bella terkejut dengan ucapan Vincent. Alih-alih menyesal, Vincent malah menanggapinya dengan santai seolah Ia sengaja mengajak dirty talk di tempat umum.

"Apa Anda seorang ekshibisionis, Pak?" Tanya Bella.

"Oh, Kau membicarakan salah satu kesukaanku, Bella. Ternyata saya tidak salah mengajakmu bicara sekarang," ucap Vincent.

Sangat menjengkelkan, tanpa berbasa-basi pun Bella segera beranjak dari tempat duduk dan bermaksud pergi secepat mungkin.

"Mau ke mana? Kita belum selesai bicara," Vincent memegang lengan Bella dan membuat gadis itu hampir terhuyung.

"Saya ada banyak pekerjaan, Pak," seru Bella.

"Saya yang mimpin perusahaan ini, tenang saja. Kau, tidak perlu takut dipecat hanya karena meninggalkan pekerjaanmu sejenak," ujar Vincent.

Bella memutar bola matanya kesal. Apa lagi maunya orang ini, apakah Ia tidak ada pekerjaan lain selain menggoda dan bermain wanita?

"Ada hal penting yang perlu kita bicarakan lagi, Pak?" Bella berusaha mengontrol emosinya agar tidak naik darah.

"Tadi mengapa Kau masuk ke ruangan saya begitu saja?" Tanya Vincent dengan nada menyalahkan Bella.

"Saya mau mengantarkan berkas yang harus ditandatangani waktu itu juga, tetapi sekretaris Anda tidak mau melangkahi keputusan Anda," jawab Bella dengan ketus.

Unfortunately, Bella malah menemukan CEO-nya sedang doggy style dengan tubuh indah wanita panggilannya. Bella merasa terkejut, jijik, sekaligus kecewa melihat Vincent melakukan hal demikian dengan jalang itu. Perasaan campur aduk yang sangat membingungkan, rasanya mata Bella sudah ternodai oleh adegan porno secara langsung.

"Oh, kukira Kau sengaja ke ruanganku untuk melanjutkan hal kemarin," ucap Vincent.

"Hal kemarin?" Bella dibingungkan oleh ucapan Vincent yang tidak lengkap.

"Ciuman kita, Kau sudah lupa? Apa perlu kuulangi agar Kau mengingatnya kembali?"

"Pak Vincent!" seru Bella.

Vincent tertawa melihat Bella geram, Ia rasa Ia telah berhasil mempengaruhi Bella. Semakin Bella jengkel mendengar ucapannya, itu berarti Bella telah menganggap ucapan Vincent serius.

***

Jika ingin membaca novel secara lengkap silakan kunjungi http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 7. GALA DINNER

"Vin, Geisha bilang Kau menginginkan wanita itu lagi tapi Kau takut sama dia, benarkah itu? Menggelikan sekali Kau Vin," ucap Gerry.

Vincent terkejut mendengar ucapan Gerry yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang ada. Mengapa Geisha bisa mengatakan hal itu, padahal Ia sama sekali tidak pernah mengatakan apapun tentang Bella kepada Geisha.

"Hah, takut? Ah, Geisha mengada-ada. Ia bilang apalagi tentangku, Ger?" tanggap Vincent.

Ia dan Gerry tengah berada di gym yang sama. Vincent menenggak air mineral equil yang Ia pesan dari bar. Ia mengusapkan handuk kecilnya ke leher kemudian kembali menuju ke tempat angkat barbel.

"Tidak ada," jawab Gerry singkat tanpa memandang ke arah Vincent. "Omong-omong mengapa Kau bertanya seperti itu? Kau takut Geisha menjelek-jelekkanmu?"

"Ah, tidak juga," sahut Vincent. Ia hanya takut jika kebohongannya meniduri Bella terdengar oleh Bella, akan hancur harga dirinya.

"Jangan mendekat, aku mau ganti," Vincent mengeluarkan kemeja dan celana kainnya dari dalam laci. Kamar ganti saat ini sedang penuh sedangkan Vincent tidak butuh berlama-lama karena Ia harus menghadiri jamuan makan malam keluarga. Kolega Ayahnya datang dari Los Angeles malam ini.

"Kau kira aku menyukai sesama jenis?" sahut Gerry sambil bersungut-sungut.

"Aku tidak menuduhmu seperti itu," tanggap Vincent atas kesalahpahaman temannya. Ia merasa Gerry malam ini sedang sangat sensitif.

"Kalau begitu, biarkan aku juga ikut ganti di situ," Gerry memegang daun pintu kamar ganti.

"Tidak bisa, kita harus bergantian," otot Vincent.

"Kalau begitu, aku dulu yang ganti," Gerry meminta Vincent untuk minggir. Tentu saja Vincent yang sedang dilanda ketergesa-gesaan sangat kesal.

"Tidak bisa, aku dulu." Vincent pun menarik daun pintu lebih kuat.

"Vin, bisakah Kau waras sebentar saja, aku sangat terburu-buru," ujar Gerry.

"Memangnya Kau kenapa?"

"Aku akan tidur bersama Geisha malam ini, Kau sendiri kenapa tergesa-gesa?" jawab Gerry membuat mulut Vincent menganga seketika.

"Hah?! A … aku ada jamuan makan malam keluarga," jawab Vincent.

"Halah, acara klasik," ucap Gerry.

"Ibuku akan mengamuk empat puluh hari empat puluh malam jika aku tidak ikut," keluh Vincent.

Akhirnya Vincent mengalah, pantas saja Gerry sangat sensitif, ternyata Ia sedang butuh pelepasan. Vincent menyesal telah memaksanya untuk menemani pergi ke gym sore ini. Tapi dengan begitu Ia jadi tahu bahwa ternyata temannya juga berlangganan wanita panggilan yang sama dengannya.

Tentang Geisha, Vincent sudah tidak heran dengan reputasinya sebagai wanita malam yang mau tidur dengan lelaki mana saja bak piala bergilir. Tetapi Vincent sangat heran kepada Gerry, apakah Ia tidak tahu jika Geisha baru saja melakukan hubungan intim bersama dirinya di kantor? Bukankah Ia sudah bertemu dengan Geisha dan membicarakan banyak hal termasuk membicarakan Bella?

Vincent menghela nafas sembari mempercepat laju mobilnya karena waktu semakin petang. Malam ini akan diadakan acara gala dinner yang entah ke berapa di keluarganya. Biasanya acara seperti itu dibarengi dengan acara pertemuan bisnis atau pertunangan antar anak pengusaha. Tapi Ia tidak peduli malam ini, yang penting Ia datang dan sesekali menjawab pertanyaan atau menyapa balik anak-anak gadis di sana.

Sesampainya di parkiran rumah -lebih tepatnya mansion, Vincent langsung masuk lift yang menuju kamarnya. Ia mandi kilat lalu berpakaian dan berdandan sebagaimana anak-anak keluarga besarnya yang lain. Kemeja dan jas hitam bertengger rapi di bahunya yang kekar, Vincent mematut diri di cermin sebelum keluar ke ruang tengah di mana seluruh keluarga besar dan kolega ayahnya berkumpul.

"Eh, Nak Vincent. Dari mana saja Kau baru muncul, Nak?"

Tiba-tiba saat acara inti belum dimulai, seorang Ibu duduk di seberang mejanya. Vincent memang memilih duduk di tempat yang masih kosong dan enggan berkumpul dengan Ayah Ibunya. Toh, tidak berkumpul dengan mereka pun, mereka sudah tahu dengan kehadiran Vincent.

"Habis dari gym, Tante," jawab Vincent singkat.

"Wah, kereeen. Cil, panggilkan Kakakmu suruh gabung ngobrol sama Nak Vincent," ucapnya pada anak kecil yang Ia bawa. Tingginya agak sama dengan tinggi meja makan di depan Vincent hingga tadi Ia mengira Ibu tersebut mendekatinya seorang diri. Vincent tidak terlalu memperhatikan, hanya saja Ia tertawa dalam hati mengingat pikirannya barusan yang negative thinking bahwa Ibu itu akan PDKT kepadanya.

"Kak Dona …." Gadis kecil yang dipanggil Cil tersebut berseru memanggil Kakaknya.

Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun menghampiri si pemilik suara. Wanita itu tinggi semampai dengan tubuh yang sangat ideal, Vincent sudah mengakui itu meski pada pandangan pertama. Ia duduk di samping Ibunya, berhadapan secara tepat dengan Vincent.

"Ini yang namanya Vincent, Don. Vin, kenalkan ini Primadona, anak Tante yang sekarang sudah besar," ucap Ibu tersebut. Vincent tidak ingat Ia adalah bagian dari keluarga besarnya atau kolega ayahnya. Lagi pula itu tidak penting baginya.

Primadona menganggukkan wajah kepada Vincent, lelaki itupun membalasnya dengan sama sopannya. Tak lama kemudian, mereka mengajak Vincent mengobrol -lebih tepatnya Ibu tersebut bertanya sedangkan Vincent menjawab. Vincent hanya mengerutkan dahi melihat Ibu dan anak-anak di depannya menanyakan hal remeh temeh kepada dirinya.

"Kamu lebih suka minum kopi atau teh?"

"Kopi, Tante," jawab Vincent.

"Lebih suka pakai kaos atau kemeja?"

"Mm… tergantung kondisi sih, Tante. Tapi sebenarnya lebih nyaman pakai kaos," jawabnya lagi.

"Oh, ya ya ya. Terus kamu sekarang lagi dekat dengan gadis mana?"

Hah? Oh My God. Vincent tidak berminat memiliki komitmen untuk menjalin hubungan kasih sayang dengan wanita manapun, Ia hanya suka wanita sekali pakai, dan sekarang entah sudah berapa ribu wanita yang Ia tiduri.

"Oh, tidak ada kok, Tante. Saya tidak suka pacaran," jawab Vincent. Ia tidak berbohong, nyatanya Ia tidak punya pacar. Ibu tersebut dan Primadona sama-sama terkejutnya.

"Ya ampun, sayang sekali. Padahal kalau Tante lihat kamu itu tampan sekali lho, Nak. Apa jangan-jangan kamu kalau bepergian selalu pakai masker dan kaca mata hitam?"

Vincent semakin risih dengan pertanyaan menyebalkan yang menyerangnya. Ingin rasanya Ia kabur begitu saja dari meja ini. Untungnya, handphone-nya berdering dan Ia mendapat kesempatan emas untuk beranjak dari kursi.

"Maaf, Tante. Ini kolega saya nelpon," ucap Vincent berbohong. Padahal yang menelepon adalah teman-teman laknatnya.

"Oh, teman bisnis," ujar Ibunya Primadona.

"Vin, ayo keluar," suara Farell langsung memekakkan gendang telinga Vincent.

"Aduh, Kau ini. Aku masih ada acara keluarga," desis Vincent.

"Kabur saja," seru Tommy yang suaranya terdengar dari jauh. Tidak ada Gerry karena Gerry sudah jelas sedang bersama Geisha.

"Oh, tidak bisa kalau sekarang. Aku nyusul tengah malam nanti," sahut Vincent.

"Halah, Vincent!"

"Acaranya belum selesai, Bro," Vincent semakin kesal dengan teman-temannya.

"Makanya kubilang kabur saja," Tommy mengulangi ucapannya.

Ia tidak suka berada di situasi seperti ini, gala dinner adalah acara kutukan baginya sementara bermain dengan teman-temannya di kelab malam adalah lebih kutukan lagi, tapi menyenangkan.

***
 
BAB 8. PRESTIGE

Handphone Bella bergetar, Ia meraba tempat tidur mencari di mana handphone miliknya berada. Seseorang mengiriminya pesan di tengah malam, Ia merasa sangat kesal, mengapa harus mengirimkan pesan jam segini? Apakah tidak bisa ditunda besok pagi saja atau sekalian tadi sore? Padahal Ia merasa baru saja bisa tidur.

Vincent.

Bella mengerjapkan mata sekali lagi, Ia menggelengkan kepala tidak percaya melihat siapa yang mengirimkan pesan. Dari mana orang itu mendapatkan nomornya? Ah, Bella menepiskan pertanyaan bodoh itu. Vincent memiliki beribu-ribu karyawan yang bisa dimintai apapun tentang Bella.

"Bella, aku ingin mengajakmu makan besok malam," pesan Vincent.

Bella melemparkan handphone-nya ke sisi lain kasurnya. Ia kembali memejamkan matanya dan melanjutkan tidur yang sempat terganggu.

"Nis, Kau tahu? Ada orang asing yang mengirimiku pesan tengah malam untuk mengajakku makan malam," Bella berseru sembari menuruni tangga.

"What?" Tanggap Alanis sambil tertawa.

"Orang itu adalah ... Coba tebak," Bella tak bisa menahan senyumnya.

"Orang yang menciummu di lampu merah." Alanis tertawa terbahak-bahak, beberapa teman satu kontrakan yang kebetulan sedang masak bersama juga ikut tertawa.

"Sudah kuduga Kau menyukai orang itu," Alanis memutar bola matanya.

Siapa yang tidak prihatin melihat korban pelecehan yang menyukai pelakunya. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi Alanis sangat menyayangkan Bella. Bella justru membela Vincent karena orang itu telah menyelamatkannya dari pengangguran. Terlebih, Bella justru memberikan kesempatan Vincent untuk kembali menciumnya di kantor. Bella telah menukar harga dirinya demi sebuah pekerjaan.

"Kau akan menghadiri ajakan itu bukan?" Tanya Alanis.

"Belum tahu, belum kujawab. Kurasa Ia hanya mengigau tadi malam," jawabnya.

"Semoga begitu," sambung Alanis.

Bella bekerja seperti biasa sebagai sekretaris divisi pengadaan barang. Entah mengapa hari itu terasa sangat cepat, padahal Ia baru saja menyelesaikan beberapa pendataan saja. Ia melirik layar handphone-nya, belum ada chat masuk lagi dari Vincent sedangkan Ia juga belum menjawab chatnya tadi malam.

"Sayangnya, hari ini kita harus lembur. Laporan bulanan dimajukan lima hari dari biasanya," ucap Kepala Divisi-nya memecah sepi.

"Semuanya harus lembur, Bu?" Tanya salah satu staf.

"Iya, bahkan hampir di semua divisi hari ini lembur," jawab perempuan yang memimpin divisi di mana Bella bekerja.

Bella tersenyum dalam hati, Ia bisa beralasan lembur untuk menolak undangan Vincent dengan sopan. Jika ternyata orang itu memaksa, Ia pun sudah menyiapkan amunisi untuk berdebat melawan Vincent.

Teman-temannya menghubungi keluarga ataupun mengatur ulang agenda sore ini karena harus lembur. Sementara Bella tersenyum riang gembira di dalam hatinya sambil membayangkan Ia menolak ajakan Vincent. Tetapi, seandainya Ia tidak bisa menolak karena Vincent lebih jago meluluhkan hati Bella. Maka Bella akan mengalah dan dengan berat hati menerima undangan itu.

Sejatinya ada rasa yang membuat Bella sesekali merindukan Vincent, tetapi Bella tidak terlalu menghiraukan itu. Terkadang jika teringat Vincent, Bella merasakan desiran asing di ulu hatinya. Tetapi Vincent tetaplah lelaki hidung belang yang harus Bella waspadai, itu yang membatasi Bella untuk tidak terperdaya tampang Vincent.

Resepsionis Divisi-nya memberi tahu bahwa Ia dipanggil ke Ruang CEO. Bella sudah pasti bisa menebak apa yang dilakukan Vincent. Lelaki itu pasti akan melakukan apa saja untuk membuatnya mengikuti kemauannya. Bella melangkah dengan ragu-ragu, namun Ia harus melakukan itu. Siapa tahu hanya urusan kantor seperti biasa karena ini masih dalam jam kerja.

"Kau sudah membaca pesanku bukan?" Vincent langsung melontarkan pertanyaan seperti yang ada di benak Bella.

"Sudah, Pak," jawab Bella.

"Kalau begitu Kau juga sudah tahu bagaimana seharusnya Kau menjawabnya," ujar Vincent.

"Maaf, Pak. Tapi sayangnya saya tidak bisa menghadiri undangan yang Bapak berikan kepada saya," jawab Bella.

"Mengapa?" Vincent bertanya dengan sangat biasa seolah Ia sudah tahu Bella pasti menolaknya mentah-mentah.

"Maaf, Pak. Saya harus lembur malam ini," jawab Bella dengan singkat dan cepat.

"Kau tidak harus lembur," ujar Vincent.

"Atasan saya yang memberi perintah," sangkal Bella.

"Saya atasannya atasan kamu," Vincent tidak mau menyerah.

"Jika Bapak memaksa saya untuk mendatangi undangan apapun di luar urusan kantor, saya tidak akan mau. Urusan saya dengan Bapak hanya bekerja dan saya bukan staf di kantor CEO lagi," jawab Bella.

Vincent mengamati wajah Bella dengan saksama, ada ketegasan di sana, ada luka yang belum sembuh, ada banyak bekas luka yang kian lama kian mengumpul.

"Bella? Kau masih membenciku?" Ucap Vincent dengan suara yang cukup dalam.

"Saya menyayangkan kelakuan Bapak dan saya juga tidak menyukai cara Bapak memandang saya," Bella mengakui itu semua di depan Vincent.

Bella tak perlu merasa sungkan mengungkapkan apa yang sebenarnya Ia rasakan kepada Vincent, apa lagi tentang kebenciannya. Di matanya, Vincent hanyalah lelaki anak orang kaya yang bebal lalu kemudian tuanya menjadi lelaki brengsek, hidung belang, dan tidak berperikemanusiaan.

"Sebenarnya undangan makan malam itu sebagai cara mengungkapkan permintaan maafku padamu," ucap Vincent.

"Kalau begitu saya maafkan, tetapi saya tetap tidak akan menghadiri undangan itu," tanggap Bella. Ia akan tetap pada pendiriannya, tidak makan malam bersama Vincent alias kencan. Dengan menghentakkan kaki akhirnya Bella keluar dari ruang CEO.

Hari semakin merangkak menuju senja, Vincent tercengang karena baru kali ini Ia mendapatkan penolakan dari seorang wanita. Tetapi Ia akan tetap memesan slot fine dinning di sebuah restoran Ia biasa dinner dengan kolega bisnisnya.

Ia akan bersikeras bagaimanapun caranya meski lewat tangan kanannya untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Meski gadis itu sangat bahaya untuknya karena sulit ditebak, Vincent akan menerobos segala cara yang ada. Surat tugas ada ditangannya, yang isinya adalah tentang laporan sekretaris divisi mengenai arsip bergerak milik perusahaan. Vincent memberikan itu kepada asistennya untuk disampaikan ke divisi pengadaan barang dan aset.

"Meghan, kirimkan Zhavia Arabella untuk tugas itu," Vincent mengingatkan Ketua Divisi.

"Lho, mohon maaf, Pak. Ia anak baru di sini. Ia belum berpengalaman. Apakah tidak sebaiknya yang menyampaikan sekretaris yang lebih senior saja, agar laporannya lebih jelas?" Jawab Ketua Divisi dengan terkejut.

"Jika begitu, bagaimana Kau melakukan kaderisasi jika tugas apapun diserahkan kepada senior?" tanggap Vincent dengan santai.

"Oh, baik, Pak. Baik." Meghan tak berani membantah lagi jika Vincent sudah balik bertanya. Vincent tersenyum lega, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tidak tertebak.

Ia memastikan sekali lagi agar acara nanti malam berjalan dengan lancar. Satu set meja makannya tak boleh berdekatan dengan meja lain meskipun itu fine dinning untuk dua orang. Vincent tak sabar menunggu malam tiba.

Sementara di sisi lain, Bella menggertakan gigi mendapati surat tugas itu. Tugas apa yang dilakukan di sebuah restoran ternama?

"Mungkin laporannya semi formal, Kau tidak usah terlalu tegang, Bella. Nanti kalau ada hal yang perlu ditanyakan kepada saya, bisa langsung WhatsApp. Saya tidak mungkin melepaskan staf begitu saja, apalagi yang meminta laporan kepada kita adalah CEO langsung," ujar Meghan saat melihat wajah Bella merah merona.

"Baik, Bu. Nanti saya hubungi Ibu jika ada hal penting," tanggap Bella.

Mau bagaimanapun Bella menolak, Vincent tetap menjadi pemenangnya. Ia memiliki kekuasaan di tempat Bella berada.

***
 
BAB 9. PRIVAT MEETING

Alunan musik jazz terdengar sayup-sayup sejak di pintu masuk restoran, restoran itu adalah milik Sidomuktiningjaya Group, Bella mengetahuinya dari logo yang terpajang di dinding belakang resepsionis. Vincent duduk di sebuah meja makan tersendiri yang terlalu besar untuk ukuran dua orang. Tapi Bella mengabaikan itu, yang ada di kepalanya saat ini adalah Ia dipanggil oleh CEO untuk mewakili divisinya menyampaikan laporan.

"Selamat malam Zhavia Arabella," ucap Vincent.

"Selamat malam, Pak. Ijinkan saya untuk memulai laporan …."

"Bella?" Vincent memotong ucapan Bella yang sudah mulai membuka map. Bella mendongak beralih memandang Vincent. Sebenarnya Bella ingin agar acara malam ini cepat selesai dan Ia tidak perlu lagi berurusan dengan Vincent.

"Alangkah lebih baiknya kita mengobrol santai terlebih dahulu," ucap Vincent.

"Bapak kelihatan desperate sekali," celetuk Bella. Vincent terkejut mendengarnya.

Ia baru menyadari ada yang berbeda dari Vincent, biasanya Ia terlalu fokus pada dirinya sendiri, tenggelam pada leluconnya sendiri, dan bersikap sangat menyebalkan di depan Bella. Tapi kini saat Vincent bersikap manis dan lembut, Bella menerjemahkannya sebagai ungkapan kelelahan Vincent.

"Aku sebenarnya bingung hidup ini untuk apa," ucap Vincent setengah menggumam.

Bella terbelalak mendengar itu.

"Bapak tidak usah khawatir, masih banyak yang membingungkan hidup ini untuk apa. Termasuk saya," tanggap Bella. Vincent mengerutkan dahi.

"Maksudmu apa?"

"Maksud saya, saya itu seharusnya sudah bahagia sekarang. Tetapi nyatanya saya tidak pernah menikmati apa yang namanya bahagia," ujar Bella. Vincent semakin mengerutkan dahi.

"Ekhm, sudahlah," Bella berdeham dan menggeser posisi duduknya.

"Benar, bagiku kebahagiaan juga hanya idealita saja. Meski secara kasat mata aku sudah tampak bahagia, tapi sebenarnya tidak begitu. Kau pasti melihatku sudah bahagia, kan?" Tanya Vincent.

"Menurut saya, Bapak sudah bahagia. Hanya saja Bapak kurang bersyukur," sanggah Bella.

Vincent terbatuk-batuk tepat saat pramusaji menata hidangan pembuka. Ia meminta maaf kepada staf-staf restoran tersebut.

"Kurang bersyukur Kau bilang?" Vincent memastikan Ia baru saja salah dengar.

Bella mengangkat alisnya, Ia akan mengatakan sesuatu lagi tetapi diurungkan karena terpotong oleh ucapan selamat makan dari pramusaji. Vincent mengangguk sopan dan mengucapkan terima kasih, begitu juga Bella.

"Selamat makan, Pak," ujar Bella.

"Selamat makan, Bella," tanggap Vincent

Keduanya menikmati sajian pembuka dalam diam. Makanan yang tersedia sebenarnya cukup enak dan mengundang selera, tetapi Bella tidak nyaman berada di tempat seperti ini hanya dengan Vincent. Bukannya bekerja seperti bunyi surat tugas, tetapi Ia malah enak-enak makan malam bersama Vincent.

"Apa yang Kau pikirkan tentang makan malam ini?"

"Sangat berlebihan, tetapi tidak worth," jawab Bella.

Vincent terkejut, tetapi Ia malah ingin tertawa dengan sindiran tajam Bella.

"Berlebihan untuk sebuah makan malam dan sangat tidak worth untuk sebuah acara laporan," Bella menjelaskan maksudnya agar tidak ambigu. Vincent tertawa, tapi Bella tidak.

"Sebenarnya aku hanya ingin makan malam denganmu," ujar Vincent. Bella melotot tidak percaya. Licik sekali lelaki ini.

"Oh, jadi Bapak memanfaatkan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi Bapak? Bahkan dihambur-hamburkan seperti ini?" Bella menggertakkan giginya.

"Tenang saja, aku tidak hanya CEO perusahaan ini. Tetapi perusahaan tersebut juga milikku. Kau tidak perlu khawatir, Bella," kekeh Vincent.

"Enak ya, bekerja di perusahaan warisan orangtua. Tetapi mohon maaf, Pak. Anda sangat tidak disiplin," ujar Bella. Lagi-lagi Vincent tertawa.

Vincent tidak juga memulai obrolan yang serius sampai makanan penutup disajikan. Ia hanya bicara ngalor ngidul dan membuat Bella jengkel.

"Sia-sia saya menggunakan surat tugas dari Bu Meghan kalau ternyata seperti ini. Mungkin sebaiknya saya melaporkan kepada Bu Meghan bahwa Anda menyelewengkan wewenang," ucap Bella. Vincent menanggapinya dengan tertawa.

"Tidak bisa begitu, Bella. Tindakanmu sangat konyol. Meghan tidak bisa berbuat apapun kepadaku," tanggap Vincent.

"Omong-omong bagaimana jika setelah ini kita nonton?" Ucap Vincent.

"Tidak!"

Bella menyadari kembali bahwa sebenarnya Vincent adalah lelaki hidung belang yang bersembunyi di balik jabatan CEO. Itu pun jadi CEO di perusahaan keluarganya. Jika tidak, mungkin Vincent hanyalah lelaki hidung belang yang hidup di jalanan dan menjadi buronan Satpol PP.

"Kau keras sekali," tanggap Vincent.

"Karena lingkungan sangat keras kepada saya, jadi saya harus bersikap keras untuk melindungi diri saya sendiri," jawab Bella.

"Mohon maaf, Pak. Jika tidak ada acara lagi, saya akan pulang."

"Lho, tidak bisa begitu. Kau sangat tidak sopan, setelah kenyang Kau pergi begitu saja," Vincent mencengkeram lengan Bella.

"Saya akan ganti semua yang saya makan," tanggap Bella.

"Ini acara kantor," Vincent mengingatkan Bella.

"Kalau begitu tidak ada agenda menonton di dalam surat tugas kantor," tanggap Bella.

"Kau ingin pulang? Mari kuantar," ujar Vincent mengalihkan topik.

"Saya akan naik taxi," Bella tidak bisa mengiyakan Vincent begitu saja, lelaki itu hidung belang, Ia harus berhati-hati.

"Vincent?"

Seorang wanita mendekat ke arah meja mereka. Sepertinya Ia juga baru saja makan malam di tempat tersebut. Wanita itu tinggi semampai juga cukup cantik.

"Lexa?"

"Sedang makan malam?" Sapa wanita dengan gaun hitam yang ditaburi payet-payet silver di seluruh permukaannya. Tampak mewah dan anggun di setiap mata yang memandangnya.

"Iya," jawab Vincent. "Oh, iya Bella. Kenalkan ini Lexa," Vincent berusaha memperkenalkan kedua perempuan itu satu sama lain. Bella mengangguk sopan tetapi perempuan di depannya justru terkejut.

"Vin, jadi ini wanita yang Kau tiduri beberapa hari yang lalu?" Seru Lexa. Vincent terbelalak lalu melotot kepada Lexa.

"Apa?! Bapak bilang ke orang-orang bahwa Bapak tidur dengan saya?"

BYURRR

Setengah mangkuk kuah sup daging sapi membasahi rambut Vincent. Lelaki itu terbatuk-batuk dan menghalau cairan sedap agar tidak masuk ke hidungnya.

"Hei, siapa Kau?" Tuding Bella kepada Lexa dengan jari telunjuknya.

"Aku? Hh, aku hanya temannya. Kau sendiri, sama kan?" Jawab Lexa dengan santai, namun bibirnya tersenyum miring.

"Hei, aku bukan teman tidurnya!"

"Ya, lebih tepatnya teman tidur yang diberi kesempatan spesial untuk bekerja di kantornya," ucap Lexa.

"Hei, sudah! Bella, ayo kita pulang," ujar Vincent sambil menarik lengan Bella.

"Saya bisa naik taxi sendiri!" Bella menepiskan tangan Vincent dengan kasar.

"Minggir," desis Bella.

"Bella, aku akan jelaskan semua ini. Kau bisa mendengarkan sambil pulang," ucap Vincent sambil mengikuti langkah Bella yang dihentak-hentakkan.

"Ini semua bukan masalah besar, Bella. Kau jangan terpancing ucapan wanita itu," ucap Vincent lagi.

"Mungkin bagi Bapak itu tidak masalah, tapi bagi saya masalah besar!"

"Bella, kalau Kau pulang sendiri justru akan lebih berbahaya. Percaya padaku," Vincent mengingatkan Bella dengan nada tulus.

"Bapak jangan macam-macam dengan saya," sekarang Bella menuding wajah Vincent.

"Tidak, aku janji," Vincent menangkupkan kedua telapak tangannya, bersumpah.

Bella mempertimbangkan ucapan Vincent, mungkin lebih baik Ia membiarkan Vincent mengantarnya malam ini saja. Ia mengangguk setelah memastikan handphone dan pepper spray ada di tas selempangnya.

***
 
BAB 10. DIRTY PARTY

Vincent melemparkan tubuhnya ke ruang VVIP kelab malam favoritnya setelah menunjukkan member card kepada petugas. Waitress sudah hapal apa yang Vincent minum saat lelaki itu melambaikan tangannya.

Vincent langsung melarikan diri ke kelab malam setelah menerima makian Bella di tengah jalan. Gadis itu nekat turun setelah berteriak-teriak memaki Vincent di dalam mobil. Semua orang pasti akan marah jika seseorang mengaku bahwa dirinya telah tidur dengannya. Tidak ada angin tidak ada hujan, Bella sangat jengkel kepada Vincent yang telah memamerkan kebohongan besar kepada teman-teman brengseknya. Apa kata orang-orang jika mereka mendengar dan mempercayai kebohongan yang Vincent sebarkan?

Di sisi lain, Vincent juga tidak menyangka kejadian di restoran tadi bakal terjadi. Lexa, salah satu wanita penghibur sebagaimana Geisha, ternyata ada di tempat mahal itu dan melabrak Bella yang tidak mengerti apa-apa.

"Vincent, sudahlah. Kau sudah menenggak terlalu banyak minuman, itu tidak baik bagi tubuhmu," Lexa mengambil alih botol vodka di tangan Vincent.

"Kau menyusulku? Untuk apa?" Racau Vincent.

"Tentu saja karena aku khawatir padamu, Sayang," jawab Lexa sembari menyeka cairan yang meluber dari sudut bibir Vincent dengan tissue.

Vincent menggeleng seperti anak kecil sedang merajuk, Ia sudah mabuk berat. Lexa tidak tahu harus bagaimana lagi, harapannya untuk bermalam dengan lelaki rupawan dan kaya raya itu harus kandas sudah. Padahal beberapa menit yang lalu Ia baru saja menyeringai senang saat mendapati mobil Vincent memasuki area kelab. Gadis udik yang Vincent bawa sudah aman.

"Hallo, Rell," Lexa mencoba menghubungi teman dekat yang biasa bersama Vincent di kelab.

"Ini siapa? Ada apa?" Sahut lelaki di seberang sana setengah berteriak.

"Farell, Kau memang kebiasaan tidak menyimpan nomor. Ini aku, Lexa," gerutu Lexa.

"Oh, Kau rupanya, ada apa?"

Terdengar dentuman musik yang lebih keras di seberang sana, Farell tampak enggan berpindah dari studionya.

"Vincent mabuk berat," keluh Lexa.

"Terus?" Tanggap Farell. Nada malas terdengar jelas dari mulutnya.

"Aku tidak bisa menolongnya," ucap Lexa.

"Lalu? Kau pikir aku pengasuhnya?"

"Farell, tolonglah," ujar Lexa setengah memohon.

"Aku tidak bisa, Kau tahukan aku sedang ada proyek besar? Sebentar lagi produksi musikku meluncur ke seluruh penjuru Asia Tenggara. Kau hubungi yang lain saja," tanggap Farell.

"Yang lain siapa maksudmu?" Teriak Lexa dengan kesal.

"Tommy atau Gerry," jawab Farell singkat.

"Bell, Bella …." racau Vincent.

Lexa mematikan telepon dengan geram. Lelaki di sampingnya pun meracau tidak jelas seperti memanggil-manggil nama gadis tadi. Ia merasa risih ketika Vincent menyebut-nyebut nama Bella meski dalam keadaan tidak sadar. Rupanya memberitahukan bahwa Vincent mabuk kepada teman-teman laknat lelaki itu adalah hal yang tidak mungkin berhasil.

Lexa sadar bahwa Vincent menyukai gadis itu sejak pertama kali Ia mendengar namanya dari mulut Vincent. Ia pun menepiskan rasa kecewanya karena hampir semua wanita di kelab ini pernah tidur dengan Vincent. Tetapi gadis itu? Ia bukan anak kelab ini sepertinya.

"Ger, Gerry. Di mana, Kau?" Ucap Lexa dengan berlagak semangat.

"Lembur di kantor," sahut Gerry singkat.

"Hai, aku sama Vincent di tempat biasa, kemarilah," ucapnya. Kali ini Lexa tidak akan memberitahu bahwa Vincent dalam keadaan mabuk berat.

"Tunggu sebentar," ujar Gerry lalu mematikan telepon secara sepihak.

Gemerlap lampu dan dentuman musik sudah menjadi makanan sehari-hari Lexa sebagai pemandu tamu di kelab malam. Seperti halnya wanita-wanita lain, Ia sangat senang jika mendapat klien seperti Vincent dan kawan-kawan. Pengusaha-pengusaha muda itu sedang dimabuk kebutuhan akan asupan kepuasan surga dunia. Uang yang mereka hamburkan juga tidak sedikit.

"Lexa?" Gerry muncul kurang sari sepuluh menit sejak Lexa menelponnya.

"Apa yang terjadi?" Gerry melihat Vincent terkapar bagai ikan asin di sofa.

"Vincent mabuk berat," jawab Lexa kesal.

Melihat berbotol-botol vodka berjajaran di meja, membuat perhatian Gerry teralihkan dengan cepat. Ia tidak lagi menatap Vincent si ikan asin, pikirannya melesat bersama ide gilanya. Ia menenggak sebotol sekaligus vodka pesanan Vincent.

"Gerry?!" Pekik Lexa. Gerry mengabaikan teriakan wanita di depannya yang kesal.

"Sekarang Kau mau ikut mampus bersama Vincent? Dasar lelaki!" umpat Lexa.

Setelah menghabiskan satu botol vodka, tangan Gerry bergerak menelusuri wajah mulus wanita di depannya. Lexa beruntung Gerry masih dalam keadaan sadar meski tidak seratus persen. Ia hanya melayang.

Mendapati sapaan tangan Gerry, Lexa merespon dengan bijak, "Sebenarnya aku menginginkan Vincent, tapi berandal itu sedang tidak berpotensi. Jadi, mari kita bersenang-senang."

Wanita dengan gaun hitam dihiasi tebaran payet itu merangkak naik ke atas tubuh Gerry dengan lihai. Wajahnya Ia condongkan ke depan tepat di atas wajah sang lelaki. Aroma vodka menyeruak dari mulut Gerry, Leza mengabaikan itu karena tujuannya malam ini adalah memuaskan Gerry.

Lumatan lembut Lexa lakukan di bibir Gerry dengan penuh perhatian, tangannya meraba kemeja lelaki itu di bagian dada, memberikan sensasi yang membangkitkan gairah dengan kelembutan gerakannya.

"Gerry, what do you want?" bisiknya sensual.

"Suck my dick, Bitch," Gerry merebut kontrol. Ia meraih tubuh Lexa dengan cepat dan menindihnya di lantai berkarpet.

"As you wish, Sir," jawab Lexa sembari mengerlingkan matanya.

Gerry kembali duduk di sofa dan melemparkan punggungnya di sandaran yang terasa empuk. Satu-satunya wanita sedang bersamanya meraba paha Gerry yang masih berbalut celana kain. Pusat perhatian Gerry seakan terpanggil mengikuti arah jari-jari wanita itu bergerak. Perlahan tapi pasti, Lexa berhasil membuka resleting celana Gerry.

Mau tak mau Lexa melakukan hal itu untuk Gerry meski sebenarnya Ia lebih menginginkan Vincent, karena Ia adalah pekerja di kelab.

Hampir setengah jam Lexa melakukan fellatio untuk Gerry tetapi lelaki itu tidak kunjung puas bahkan malah memintanya lebih.

"Vin cent," racaunya.

Gerry mengabaikan racauan Lexa yang terus memanggil-manggil Vincent. Gerry yakin lelaki itu tidak akan bangun dalam mabuknya kecuali disiram air es satu ember.

"Ger, please let me go home," ucap Lexa. Gerry tetap saja bersikeras meraih zipper dress hitam berkilap itu dan membukanya.

"Aku sedang tidak menginginkanmu sekarang," ucapnya.

"Oh, ayolah," ucap Gerry lagi.

"Aku menginginkan Vincent," tanggap Lexa. Ia kalap oleh pikirannya sendiri yang sudah melayang entah ke mana. Keduanya berhenti sejenak, tetapi kemudian Gerry menginginkan lagi.

"Gerry?" Tommy masuk dan mendapati ketiga anak manusia di ruang VVIP tempat mereka biasa berkumpul. Vincent tampak tidur nyenyak di sofa dengan rambut dan kemeja acak-acakan. Satu-satunya wanita itu sedang melakukan oral job kepada Gerry dengan gaun setengah terbuka. Sungguh beruntung lelaki paling brengsek di antara Ia dan teman-temannya -berempat, Gerry terlihat sangat menikmati malam ini.

"Oh my God," desis Tommy.

***

Cerita ini bisa diakses secara lengkap di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 11. DIRTY PARTY 2

"Kau mau ikut, Tom? Agh," racau Gerry.

"Tidak. Kalian menjijikkan," sahut Tommy.

"Ah, munafik Kau, Tom," tanggap Gerry.

Tommy menyandarkan punggungnya ke sofa dan meraih handphone di sakunya. Sembari tersenyum miring, Ia mengambil gambar Vincent yang sedang tidur nyenyak kemudian mengirimkannya ke Geisha. Tanpa menunggu balasan dari Geisha Ia memasukkan kembali handphone-nya ke saku laku mengambil sebotol vodka.

Setengah jam kemudian Geisha datang dan menggelengkan kepala kepada mereka berempat. Tommy dengan wajah seperti tidak berselera, mengabaikan Geisha begitu saja, sedangkan Gerry dan Lexa sibuk bergumul di depan mereka.

"Vincent, suamiku yang keempat, Kau kenapa, Sayang?" ucapnya sembari menyeka dahi Vincent yang berkeringat dengan tissue.

Tommy memutar bola mata dengan malas melihat tingkah laku wanita yang gosipnya sedang disewa Vincent dalam beberapa waktu. Geisha memang cantik dan memiliki daya pikat yang tinggi di mata setiap lelaki yang melihatnya. Tommy menepiskan pikiran tidak bergunanya, di mana-mana wanita hiburan malam memang memiliki daya pikat yang baik, bukan hanya Geisha ataupun Lexa.

Tubuh Vincent mulai menggeliat, Ia siuman dari mabuknya. "Ah, di mana ini?" racaunya.

"Di alam kubur," celetuk Tommy jijik.

"Sssh, Kau bersamaku, Sayang," ucap Geisha.

Geisha mengambil air putih dan menyodorkannya ke Vincent. Lelaki itu meneguknya rakus bagai satu hari tidak menyentuh air. Pandangan Vincent masih buram dan berputar-putar, tubuhnya terasa sangat ringan seperti sedang melayang, Ia bersendawa keras sekali dan membuat Gerry jengkel.

"Berisik sekali Kau, Vin," ucap Lexa.

"Hei, Lexa. Konsentrasi saja pada lelakimu," tanggap Geisha.

Tommy tertawa, "Jangan-jangan yang Kau pikirkan Vincent bukannya Gerry, Lex. Kasihan sekali Gerry."

Geisha ikut tertawa mendengar ucapan Tommy. Tangannya mulai nakal dengan menggerayangi kemeja Vincent, sepuluh menit kemudian lelaki di tangannya sudah bertelanjang dada. Ia menggigit-gigit kecil dada bidang yang berambut itu bersama godaan gilanya. Vincent semakin tidak berdaya oleh sentuhan-sentuhan yang Geisha berikan melalui ujung jemarinya.

"Bella, agh," racau Vincent.

"Bella? Anak ingusan itu? Bukan, ini aku Geisha, Vin," ujar Geisha menahan emosinya. Ia mengingatkan diri bahwa dirinya sedang melayani klien.

Dalam kondisi setengah sadar itu, Vincent menyebut nama Bella beberapa kali. Lexa yang melihat Geisha juga mengalami hal yang sama seperti dirinya, menyeringai puas. Dirinya tak mendapatkan Vincent malam ini begitu pula Geisha.

Diakui atau tidak Vincent menyukai Bella, tetapi untuk apa? Hidup Vincent sudah ditentukan oleh kedua orangtuanya termasuk perjodohan. Suka atau tidak, Vincent harus mengikuti perjodohan kedua orangtuanya jika tidak mau didepak dari silsilah keluarga. Masalah perempuan untuk ditiduri sepuasnya seperti malam ini, Ia bebas memilih dan mendapatkannya tanpa ada ikatan apapun.

Kesadaran Vincent mulai kembali sepenuhnya seiring dengan usaha keras yang dilakukan Geisha, perempuan itu terus memberikan rangsangan menyenangkan kepada Vincent. Ia mengerang saat rambut panjangnya ditarik oleh Vincent, lalu sekarang posisinya berbalik menjadi di bawah Vincent.

Kecupan-kecupan intens mendarat di dada Geisha tanpa bisa ditolak, kedua tangannya terpatri oleh tekanan telapak tangan Vincent yang besar. Ia mengerang dan mendesah-desah saat Vincent berganti mendominasi permainan. Lelakinya telah kembali padanya.

Malam bertambah panas ketika Tommy juga bermain dengan sejumlah wanita lain di ruangan yang sama. Aroma peluh dan alkohol bercampur menjadi satu, desahan dan erangan tak bisa diredam oleh suara musik kelab yang terhalang oleh pintu ruangan VVIP mereka.

"Bagaimana Vin, lebih enak bersama Geisha atau Lexa?" ledek Tommy membuat Vincent mendesis sebal.

"Semua wanita punya rasa yang berbeda, tergantung bagaimana cara menikmatinya," jawab Vincent. "Apa Kau tidak bisa merasakan sesuatu hingga harus pesan lebih dari satu, Tom?"

"Ahahaha, aku punya selera harem, Vin," kelakar Tommy.

"Ah, omong kosong," gumam Vincent menanggapi ucapan Tommy.

Vincent mengerti jika Tommy tidak bisa merasakan puncak kesenangannya dan hanya berusaha sekeras mungkin dengan berbagai percobaan. Kini Tommy sedang mencoba threesome ataupun foursome sekaligus orgyn bersama kedua temannya.

Geisha yang merasa dibandingkan dengan Lexa sedikit tersinggung, dengan cara yang anggun Ia ingin menunjukkan bahwa Ia adalah yang terbaik untuk Vincent. "Kau mau mencicipi Lexa, Vin?" ucapnya dengan menutupi keraguannya, pasalnya Lexa juga menyukai Vincent.

"Uhmm, aku sudah lelah," jawab Lexa. Gerry tertawa mendengarnya.

"Meskipun Kau terus-terusan berfantas bersama Vincent tetapi faktanya hanya aku yang bisa membuatmu kewalahan dalam puncakmu, Lex," ujar Gerry.

"Vincent juga bisa. Iya, kan Vin?" sanggah Lexa.

"Aku punya ide baru," celetuk Vincent.

"Bagaimana kalau kita swing pasangan malam ini, tiga estafet."

"Oke," Tommy mematikan cerutunya.

"Kau berani bertaruh, Tom?" tanya Gerry.

"Hei, harusnya aku yang bertanya padamu. Apa Kau masih punya cukup tenaga untuk melakukannya lagi, Kau nonstop dengan Lexa," tanggap Tommy.

Semalaman penuh mereka bersenang-senang di kelab hingga diusir karena membuat keributan. Tommy yang memiliki kesadaran paling penuh, menyewa hotel dan membawa teman-temannya ke situ. Bukan salah Lexa ataupun Geisha jika mereka sampai diusir karena yang memulai pesta kotor itu sebenarnya Vincent sendiri.

Semua ini adalah buntut dari acara makan malam dengan Bella yang berakhir berantakan beberapa jam lalu. Andaikan Lexa tidak memergoki mereka dan tidak menunjukkan mulut tajamnya, Vincent pasti baik-baik saja. Citra Vincent di depan Bella pun semakin buruk hingga Vincent merasa terhina oleh situasi ini.

President suite hotel yang dipesan Tommy cukup membuat mereka nyaman untuk beristirahat setelah menikmati pergumulan liar di kelab. Lebih beruntungnya, hari ini masih masuk akhir pekan hingga mereka tidak perlu repot-repot bangun pagi dan ke kantor dengan tergesa-gesa.

Geisha menggeliat sembari menguap saat ruangan mulai diterpa sinar kekuningan dari luar jendela. Lexa memutuskan untuk merapatkan selimutnya kembali dan mengabaikan gerakan Geisha di sebelahnya. Sedangkan semua lelaki yang bersama mereka sudah bangun dan sibuk dengan seduhan kopinya.

Aroma kopi yang diseruput pelan-pelan menyeruak dan membangunkan Geisha. Perempuan itu meraih handphone-nya dan memeriksa agenda hari ini. Jemarinya bergerak ke sana kemari dan tidak tahan untuk membuka fitur media sosial.

"Lihatlah, Vin. Kau viral," pekik Geisha.

"Viral kenapa?" tanya Lexa penasaran. Dengan masih mengucek matanya, Ia meraih handphone Geisha.

Gerry dan Tommy yang malas membahas dunia pergosipan tetapi ingin tahu apa yang viral dari Vincent ikut menengok ke layar handphone Geisha. Gerry semangat ketika Ia tahu telah memiliki bahan bully-an lagi untuk Vincent. Tommy tertawa terbahak-bahak pada apa yang sedang terjadi di media sosial.

"Mampus Kau, Vin. Mampus," ucap Tommy sambil tertawa.

"Sialan. Diam Kau, Tom!" Vincent marah besar dan melemparkan sepatunya ke sembarang arah.

"Oh, di mana-mana sedang membicarakanmu, Vin," ujar Gerry.

Geisha dan Lexa terkikik membaca komentar-komentar orang.

"Geisha, tutup handphone-mu!" ucap Vincent.

"Orangtuamu pasti illfeel," celetuk Lexa menambah bara emosi Vincent.

***

Cerita versi lengkap bisa disimak di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 12. BREAK THE TOXIC

Baca versi lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL

Bella sangat tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Vincent, ingin rasanya resign dari kantor sekarang juga meski belum menerima gaji pertamanya. Ia benar-benar merasa terhina. Dengan terus terang, Vincent telah mengakui bahwa Ia telah meniduri dirinya kepada teman-temannya.

Tidur dengannya Ia bilang? Meskipun Vincent berkali-kali meminta maaf, tetapi Bella tidak bisa memaafkan begitu saja. Membayangkannya saja Ia sudah jijik, lelaki itu malah mengakui dirinya telah menidurinya. Mungkin, mungkin saja Vincent memiliki nafsu pada Bella hingga Ia gila dan mengatakan kepada teman-temannya agar Bella frustasi.

"Bella, Kau sakit?" Tanya Alanis.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Kau kelihatan murung sekali, Bell," ucap Alanis.

"Mungkin aku akan datang bulan lagi," dalih Bella. Dalam hati Ia sedang mengutuk iblis di dalam tubuh Vincent.

Untung saja hari ini akhir pekan, jadi Ia tidak perlu berangkat ke kantor yang penuh demit. Sesuatu terlintas di benaknya, mungkin akan lebih baik jika Ia membuat sedikit gara-gara dengan Vincent. Seperti yang Ia ucapkan dulu, Ia akan memviralkan Vincent sekarang juga.

Berbekal akun-akun media sosial palsu, Ia memposting konten tidak senonoh tentang Vincent. Di platform cerpen dan novel, dengan ganas Ia membuat cerita-cerita fiksi yang ditulis dengan seolah-olah nyata tentang Vincent, tanpa sensor nama sama sekali. Vincent Muktiningjaya, CEO mesum yang rajin menggoda karyawannya.

Melalui akun Instagramnya, Ia memposting foto Vincent yang sedang telanjang dada di pantai. "Kangen suasana pantai, kangen yang pakai baju renang biru muda dengan lingerie merah di malam harinya," caption-nya. Tidak lupa Ia menambahkan hashtag nama Vincent dan perusahaannya.

Seumur-umur Vincent belum pernah membuat caption non formal di postingan apapun. Namanya benar-benar bersih di mata publik. Ia adalah generasi muda berbakat dan berkarakter dari kalangan konglomerat. Instagramnya penuh dengan postingan positif tentang semangat hidup dan berita kemajuan perusahaan yang dipimpinnya.

Bella memposting foto Vincent yang lagi-lagi bertelanjang dada, di gambar kedua Ia memposting foto wanita seksi yang wajahnya disensor kemudian memberi caption,

"I wanna come and cum to you."

Ratusan komentar membanjiri postingannya dalam hitungan menit. Bella kembali memposting foto lain di akun yang berbeda. Semua konten tidak senonoh yang berpotensi menjatuhkan nama Vincent. Masih ada ratusan caption yang Bella buat untuk menghancurkan nama Vincent. Hari liburnya benar-benar berfaedah, Ia tersenyum puas.

"Hahaha I'm the devil, you see?" Caption di foto Vincent yang Bella edit memegang botol vodka.

Bella tahu ini sangat berisiko, tetapi dendamnya lebih besar dari pada ketakutannya. Satu lagi, di naskah itu harus ada nama perusahaannya agar pembacanya bisa googling. Belum puas, Bella menggunakan foto terganteng Vincent sebagai cast tokoh di ceritanya.

Satu hari Bella bisa membuat tiga naskah dengan akun yang berbeda. Malamnya sebelum tidur, Ia kembali membuka handphone-nya. Gosip-gosip yang Ia buat di media sosial cukup mengundang perhatian publik meski tidak banyak. Ada yang penasaran dan ada juga yang malah balik menyerang akun palsu Bella.

Belum ada satu hari saja, akunnya sudah mendapat ratusan ribu notifikasi tanggapan para nitizen, postingannya di-repost oleh beberapa akun gosip. Vincent memang pengusaha muda yang sedang naik daun dan detik ini Bella mematahkan batangnya begitu saja.

Malam ini Bella tidur nyenyak setelah mematikan handphone-nya. Ia bahkan tak memasang alarm karena keesokan harinya masih hari libur. Tapi karena tidak sabar ingin melihat dunia per-iblis-annya dengan Vincent Ia menghidupkan handphone pagi-pagi, layarnya penuh dengan notifikasi komentar nitizen yang sengaja tidak dibisukan.

Ia beralih ke WhatsApp, grup kantornya yang khusus untuk obrolan non pekerjaan sangat ramai. Tentu saja membicarakan CEO mereka yang aibnya ditutup rapat-rapat oleh karyawannya sendiri. Bella tahu bahwa mereka disumpah untuk tidak membicarakan CEO mereka terutama yang buruk-buruk.

"Bagus ya, kamu ingin kita go to public, Bella?"

Wajah Bella memucat mendapatkan notifikasi WhatsApp dari Vincent.

"Ada apa ya, Pak?" Chat Bella pura-pura tidak tahu dengan jari gemetar.

"Saya tahu yang membuat akun palsu dan menyebarkan berita tidak benar tentang saya adalah kamu. Mengakulah! Atau saya datangi kontrakan kamu," chat Vincent.

"Lho, kok Bapak nuduh-nuduh saya seenaknya. Mungkin nitizen sudah tahu kebobrokan Bapak dan mereka ingin Bapak segera bertaubat sebelum ajal menjemput," balas Bella asal-asalan.

"Apa kamu bilang? Kamu mendoakan saya cepat mati?"

Vincent terpancing ucapan Bella, sekarang gadis itu merasa di atas angin.

"Siapa yang bilang Bapak cepat mati?"

"Bella, saya serius. Sekarang hapus semua postingan tidak senonoh kamu, atau saya akan bertindak!"

Jadi Vincent akan ke kontrakannya? Bella tidak takut karena ada ibu kost yang super ketat untuk menyeleksi tamu. Ia tidak akan membiarkan tamu mengganggu warga kost, apalagi tamu lawan jenis. Lebih baik kembali tidur setelah sehari penuh sibuk dengan media sosial dan memberi pelajaran kepada Vincent.

Handphone-nya berdering, Bu Meghan menelpon.

"Hallo, Bell. Bella tolong Kau tengok Instagramnya Pak Vincent," ucap Bu Meghan dengan gugup.

"Baik, Bu," tanggap Bella dengan nada ramah seperti biasa.

Penasaran apa yang diperbuat oleh Vincent karena Bu Meghan langsung yang menelponnya, Ia mengecek Instagram. Ia terkejut bukan kepalang. Benar-benar ada foto Bella di postingan Instagram pribadi Vincent.

"Yeah, I love you verry much. Baby girl."

Sial!

Postingan itu mengalihkan isu kebinalan Vincent menjadi gosip tentang Bella. Orang-orang penasaran dan mencari siapa perempuan di foto tersebut karena Vincent tidak men-tag-nya. Teman-teman kantor Bella membanjiri notifikasi WhatsApp, ada pula di antara mereka yang memberi komentar di postingan Vincent dengan men-tag Bella.

Satu jam kemudian terlihat postingan akun gosip yang menayangkan bahwa Vincent sanggup diwawancarai dalam waktu dekat tentang siapa wanita yang ada di postingannya.

Bella kehilangan arah, Ia tidak tahu harus berbuat apa dan merasa ketakutan. Apa yang Vincent posting mendapatkan atensi jauh lebih banyak dari semua yang Ia posting di akun-akun palsunya. Bermacam-macam tanggapan nitizen tentang kedua foto di postingan Vincent, tidak sedikit juga komentar jorok tentang dirinya.

"Haduh, rahimku anget, Bang. Mengapa Kau memilih anak ingusan itu daripada diriku? Aku lebih kenyal lho," Komentar ibu-ibu.

"Bang, kapan dimasukkin?"

"Jebol, awas jebol."

"Aduh, delapan puluh juta nih."

"Masa sih Vincent suka sama anak ini. Jangan-jangan akun ternak yang ramai kemarin, ternyata akunnya dia sendiri yang tergila-gila sama Vincent."

"Mungkin benar."

"Postingan ini bukan untuk nunjukkin kalau Vincent suka sama anak itu. Tapi satire."

"Satire, hahaha."

"Satire. Saking satire-nya sampai nggak ada yang paham kalau Vincent sedang menunjukkan kegilaan anak itu."

"Eh, siapa sih itu?"

"Cek komentar lain, udah banyak yang tag kok."

"Oh, namanya Arabella."

"Hah? Kayak anak negeri dongeng saja namanya."

"Namanya juga anak halu."

Bella muak membaca komentar jahat tentang dirinya. Ia beralih ke Instagram aslinya untuk menghapus akun. Direct message akun Instagram Bella mencapai sembilan belas ribu pesan. Followers-nya bertambah seribu kali lipat, dan notifikasi tag-nya puluhan ribu juga.

Bella benar-benar merasa down.

"Bagaimana, Bella? Kau puas?" chat Vincent.

***
 
BAB 13. THE DANGEROUS GIRL

Vincent kalang kabut gara-gara foto-fotonya yang sedang disorot publik di media sosial. Sekarang Ia takut pada Bella, gadis itu tidak bisa disepelekan. Akun Instagramnya diserang nitizen, komentar dan direct message semakin membanjiri akunnya setelah Ia memposting fotonya dan foto Bella secara terpisah di satu feed. Beberapa reporter gosip menemuinya secara langsung dan menanyakan hal-hal yang menjengkelkan.

"Sejak kapan Bapak Netflix & Chill bersama Nona Arabella? Tenang saja, ini off the record, kok."

Sial!

Untuk apa hal menjijikan itu ditanyakan, ingin rasanya Ia menjitak kepala reporter yang menyodorkan micnya. Vincent tersenyum menahan amarahnya dan menjawab dengan tenang.

"Saya tidak kenal Arabella itu siapa, saya juga baru tahu di dunia ini ada yang namanya Arabella setelah akun-akun fake itu memposting foto saya," ucap Vincent sambil menutup pintu mobilnya.

"Lho, Pak. Bukannya Bapak jatuh cinta pada wanita itu?" Seru reporter yang berada di bagian belakang.

"Itu postingan ajakan Bapak untuk …"

"Untuk apa? Saya hanya ingin melihat reaksi yang memposting foto saya dan membuat caption tidak senonoh," potong Vincent dengan sedikit geram. Ia menutup jendela mobilnya.

"Pak, Pak, tunggu. Bukankah Nona Arabella itu karyawan Bapak sendiri, ya?" teriak salah satu reporter saat mobil yang dikendarai Vincent mulai melaju. Reporter yang lain menoleh dan beberapa mereka membuka handphone.

Vincent merutuk dalam hati selama perjalanan menuju ke kantornya. Gadis itu harus diberi pelajaran, jika tidak, Ia akan semakin menjadi-jadi. Chelsea keluar dari ruangan CEO setelah semua berkas yang diperlukan Vincent hari ini beres. Perempuan mengangguk sopan tapi tidak juga mendapat balasan dari Vincent.

Ia marah pada situasi ini, posisinya bisa terancam jika keluarganya tahu. Mereka tidak akan menerima dalih 'hanya bercanda' jika Vincent beralasan Arabella hanyalah teman akrabnya dan mereka sedang bercanda. Tidak ada istilah bercanda dalam kamus hidupnya, keluarganya mendidiknya dengan keras hingga Ia berada di posisi seperti sekarang.

Vincent mengeluarkan handphone-nya dan menghapus feed yang menampilkan foto Bella. Ia mengirimkan pesan pada Bella sekali lagi.

"Bella, please hapus semua akun fake-mu. Gajimu akan kunaikan satu setengah kali lipat kalau kamu mau," chatnya.

"Maaf, Pak. Saya sedang bekerja, jangan ganggu," balas Bella.

"Ffffff," desis Vincent.

Gadis itu masih saja bisa membuatnya jengkel. Sekali lagi, Ia mengingatkan diri sendiri agar hati-hati karena gadis itu bisa sangat nekat kapan saja. Ia tersenyum simpul saat memiliki ide untuk membajak akun-akun itu, mengapa tidak sejak kemarin Ia menggunakan cara ini. Dipanggilnya Chelsea melalui interkom.

Tangan Vincent kembali mundur saat teringat bahwa aksinya bisa terekam oleh IT perusahaan dan keluarganya akan tahu. Akhirnya Ia memilih menelpon Chelsea menggunakan handphone-nya. Persetan jika perempuan itu merasa bingung sekarang.

"Chelsea, tolong carikan jasa hacker Instagram sekarang. Gunakan biaya dengan rekening pribadi saya," ujarnya.

Secuil permasalahan beres. Setidaknya akun-akun yang Bella buat tidak bisa beraksi lagi. Vincent bisa melanjutkan rapat-rapatnya dengan tenang hari ini. CEO muda yang brilian dan berkarisma tidak boleh goyah hanya karena ulah seorang gadis. Vincent harus menang.

Namun naas, sore harinya saat Ia akan kembali ke mansion, para reporter sudah bergerombol di depan pintu lift tempatnya biasa keluar. Untung saja, security memberitahu Chelsea. Vincent menggunakan kesempatan itu untuk mangkir ke divisinya Meghan untuk menemui gadis kecilnya.

Staf-staf di ruang kantor yang jauh lebih kecil dari pada ruangannya menunduk hormat saat berpapasan dengannya. Gadis itu masih sibuk di depan layar monitor meski jam kerja sudah berakhir. Vincent mendekatinya dengan langkah yang tidak bisa diinterupsi hingga Ia berada tepat di depan gadis itu.

Pandangan mereka bertemu, Bella tampak ragu di depannya. Vincent menyeringai puas, akhirnya gadis itu gentar juga. Ia membuka mulutnya lalu berucap, "Ada apa, Pak?"

"Ada apa katamu, kamu pandai sekali berpura-pura, ya," seringai Vincent. "Saya tidak terima atas apa yang kamu lakukan pada saya," geramnya

"Saya juga tidak terima atas apa yang Bapak lakukan kepada saya," tanggap Bella.

"Kamu bisa terjerat pelanggaran UUITE," ucap Vincent.

Bella tertawa, mengundang perhatian beberapa staf yang sedang berkemas-kemas di kantornya. Kapan CEO mereka mau berepot-repot ke ruangannya, apalagi untuk ribut dengan pekerja baru yang masih ingusan. Mereka yang sudah melihat keributan di medsos dan gosip di grup karyawan, menguping diam-diam percakapan Bella dan CEO mereka.

"Saya juga bisa menjerat Bapak dengan kasus pelecehan seksual beberapa kali. Jangan kira saya tidak bisa mendapatkan rekaman CCTV dari restoran itu," ujar Bella.

"Saya sudah bisa menarik masa, akan ada orang-orang yang bersaksi tentang apa yang Bapak lakukan kepada saya di lampu lalu lintas waktu itu. Banyak saksi masa meskipun mereka belum ada yang buka mulut," lanjut Bella.

'Sudahlah, Vin. Jangan mengaduk air yang sudah keruh. Baunya akan semakin menyengat,' bisik kata hati Vincent.

Benar, karyawan-karyawan senior yang sudah kenal dan loyal pada pemilik perusahaan ini bisa mengadu. Vincent memilih untuk menghentikan adu mulutnya dengan Bella sehingga gadis itu merasa menang.

Malamnya Farell menelpon Vincent, tidak ada pembicaraan sama sekali, Farell hanya tertawa terbahak-bahak. Teman-teman laknat itu sudah pasti menceritakan nasib Vincent kepada Farell. Belum juga mulai bicara, Farell sudah tertawa terlebih dahulu dan membuat Vincent jengkel.

"Sialan Kau, Rel," umpat Vincent. Ia mematikan teleponnya. Beberapa detik kemudian Farell menelpon lagi, Vincent membiarakan dering handphone-nya membuat kamarnya bising.

"Kau hanya perlu berusaha menidurinya, Vin," ujar Farell melalui voice note-nya.

Jika dipikirkan dengan akal sehat, Ia sangat hina di depan Bella. Ia membuat pengakuan palsu kepada teman-temannya bahwa Ia telah menikmati tubuh gadis itu. Lalu petaka itupun terjadi.

"Bella, kalau kamu mau bekerja sama dengan baik. Gajimu akan kunaikan satu setengah kali lipat, kamu tidak mau?" Vincent kembali mengirimkan pesan kepada gadis itu. Ia tidak mau gosip ini terus berlanjut merusak nama dan membahayakan dirinya.

"Bukan urusan saya kalau Bapak viral, itu salah Bapak sendiri. Saya tidak butuh gaji banyak yang penting saya bekerja," balas gadis itu. Lagi-lagi Vincent harus menggeram frustasi, Ia melemparkan handphone-nya sembarangan dan membenamkan wajahnya di selimut.

Keesokan paginya gosip tentang Vincent dan Bella lenyap begitu saja, membuat Vincent lega sekaligus heran. Bagaimana bisa gosip itu lenyap dalam sekejap? Tidak hanya akun-akun fake yang dibuat Bella yang hilang, tetapi semua postingan tentangnya di akun gosip juga hilang.

Apakah gadis itu sendiri yang menghilangkannya? Tidak mungkin. Bella tidak memiliki kekuatan apapun. Ia hanya seorang gadis baru lulus kuliah dan bekerja sebagai sekretaris divisi belum ada satu bulan. Di sisi lain, apakah orang-orang ayahnya yang melenyapkan gosip itu? Kalau begitu, orangtuanya sudah tahu Ia berulah dan jabatannya sebagai CEO muda sedang terancam. Ayahnya bisa mencabutnya dan kembali menjabat atau melemparkan jabatan itu kepada sepupunya.

"Sudahlah Vin, gadis itu memang tidak penting. Tidak ada untung bagi media untuk menyorotnya," hibur Geisha.

"Kalau mereka tahu tidak ada untungnya, mengapa kemarin-kemarin diliput?" sanggah Vincent.

***

Versi lengkap bisa disimak di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 14. MOMENTOUSNESS DATE

Simak versi lengkapnya di sini http://wbnv.in/a/6dhTTJL

Gadis itu melangkah memasuki area hotel bintang lima, pandangannya tertuju ke arah food court di samping hotel, sebuah tempat makan terbuka yang sangat asri. Ia menuju meja resepsionist yang berada di pintu masuk area food court.

"Selamat siang, Kak. Sudah reservasi?" sapa resepsionis.

"Sudah. Atas nama Aron," ujar gadis itu.

"Atas nama Tuan Aron, meja dua puluh tiga, Kak. Mau langsung pesan menu atau nanti saja?"

"Mm, nanti saja," jawab gadis itu.

Ia melangkah menuju meja kosong yang diberitahukan oleh resepsionis lalu duduk sembari menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya menyapu sekitar food court, orang-orang menikmati makanan sambil berbincang-bincang, ada pula yang bersenda gurau. Jemari gadis itu memegang buku menu tanpa bertenaga, dadanya bergemuruh menyuarakan kegugupannya. Nafasnya menghirup kuat-kuat udara ke dalam dadanya.

Lelaki itu datang mengenakan kemeja kotak-kotak berlengan pendek, mereka telah mengenal satu sama lain di dunia maya. Gadis itu melambaikan tangan saat melihat bahwa lelaki bernama Aron itu melihatnya dari pintu masuk.

"Aron," lelaki itu menyalami gadis di depannya.

"Arabella," jawab gadis itu sembari menyunggingkan senyum ramah.

"Sudah lama menunggu?"

"Belum," jawab Bella singkat masih dengan tersenyum.

"Maaf, aku sudah berusaha datang tepat waktu tapi tadi macet," ujar Aron menjelaskan kepada gadis itu agar tidak salah paham.

"Oh, tidak. Hanya saja aku datang lebih awal karena tidak suka ditunggu," tanggap Bella.

"Hmm, begitu ya? Sudah pesan menu?"

"Belum," jawabnya. Lagi-lagi dengan singkat.

Aron menuliskan pesanan menu di note yang tersedia tanpa memilih berlama-lama, Bella mengikutinya kemudian. Obrolan ringan mengalir sembari menunggu menu yang mereka pesan, baru kali ini rasanya Bella agak nyaman mengobrol bersama lawan jenis. Ia selalu canggung dan berhati-hati secara berlebihan bicara dengan lelaki, apalagi dengan Vincent.

"Dirimu jadi apa di perusahaan itu?" tanya Aron setelah Bella menjawab pertanyaan di mana Ia bekerja.

"Sekretaris Divisi Pengadaan Barang," jawab Bella.

"Sekretaris? Keren, fresh graduate masuk kerja langsung jadi sekretaris," ujar Aron setengah tak percaya.

Bella tersenyum sembari menyeka hidungnya yang tidak berkeringat dengan punggung tangan. Andai saja lelaki itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkin besok Ia tidak akan bertemu dengan lelaki di depannya lagi. Fresh graduate mana Tetapi Bella yakin suatu hari nanti Ia akan pergi dari kehidupan Vincent secara total, tak hanya pergi dari gedung perusahaannya.

Makan siang di pertemuan pertama mereka sangat menyenangkan Bella karena Aron adalah lelaki manis dan sopan, selain itu pengetahuannya juga luas. Dilihat dari wajahnya Ia seumuran dengan Bella, mungkin dua puluh tiga sampai dua puluh lima tahun. Kalau Vincent? Lelaki itu tidak usah dipikirkan umurnya karena sejatinya isi otak dan hatinya tetaplah kanak-kanak.

"Sejak kapan Kau suka BDSM?"

Aron mengalihkan topik pembicaraan mereka saat makanan yang dipesan sudah tertata rapi di meja. Mereka bertemu di sebuah alterbase lalu berkenalan lewat medsos. Aron menanyakan itu karena Ia tahu Bella memiliki kecenderungan untuk meminati BDSM.

"Mmm, aku tidak tahu," jawab Bella, pandangannya melirik kanan kiri seperti menyimpan rasa khawatir. Meski tempat makan ini adalah tempat umum yang letaknya di sekitar hotel, tetapi Ia masih khawatir jika pembicaraannya dengan Aron dicuri dengar oleh orang lain.

"Aku … sebenarnya sudah lama suka, tapi baru tahu namanya BDSM waktu kuliah semester enam," ujar Bella dengan suara dipelankan.

"Oh, ya baguslah. Itu berarti Kau beruntung. Selama ini tidak ada yang membahayakan, kan?" Aron menatap gadis di depannya lekat-lekat.

"Membahayakan?" Bella mengerutkan dahi kemudian kembali mengunyah pastanya.

"Maksudku, Kau tidak nekat mempraktekkan dengan sembarangan," ujar Aron.

"Oh, iya. Sejauh ini aku hanya punya fantasi, terus setelah tahu kalau aku memiliki kecenderungan minat BDSM, aku cuma bisa belajar sendiri," ucap Bella. Aron mengangguk-angguk.

Tidak ada yang salah ketika orang memiliki fantasi BDSM, hanya saja ketika mempraktekkannya, Ia harus benar-benar sadar tentang apa yang Ia lakukan, bisa mengukur risiko dan batas aman, serta melakukannya dengan orang yang sama-sama berkehendak. Jika tidak, maka semua itu tidak bisa disebut sebagai BDSM melainkan abusive.

Aron adalah gambaran lelaki yang sangat sempurna di mata Bella, bahkan sebelum gadis itu bertemu langsung. Bahasa percakapan yang Ia gunakan bersama Bella di media sosial menunjukkan bahwa lelaki itu luas wawasannya dan juga memiliki budi pekerti yang baik. Sosok Aron membuat Bella percaya bahwa di dunia ini ada juga lelaki yang pantas disukai, meskipun sangat langka.

"Memang sebaiknya sebelum memutuskan untuk menjalani dengan orang lain harus belajar mandiri dan memiliki self control yang baik terlebih dahulu. Karena sejatinya dunia BDSM itu juga seperti di kehidupan sehari-hari, kalau seseorang aslinya bertabiat buruk, di BDSM dia kemungkinan besar akan lebih buruk," ucap Aron kemudian menyesap minumnya.

Bella benar-benar terbuai oleh pesona Aron yang lihai menunjukkannya pengetahuannya, Ia baru sadar kemungkinan dirinya adalah seorang sapioseksual. Mungkin itu juga yang membuat Bella percaya dan mau diajak bertemu oleh Aron. Aron bukanlah lelaki bodoh yang berkeliaran di dunia alter untuk melampiaskan hasratnya.

Setelah hampir tiga jam menghabiskan waktu di meja makan dan sepertinya tidak ada lagi topik yang dibicarakan, Aron mengerti bahwa Bella mulai bosan.

"Kau ke sini naik apa?"

"Naik taxi," jawab Bella.

"Perlu kuantar pulang?" tanya Aron.

"Oh, tidak usah. Terima kasih, aku bisa pulang sendiri. Lagi pula tempat tinggalku dekat dari sini," ujar Bella.

Membawa orang asing ke tempatnya tinggal adalah hal yang sangat berbahaya jika menurut teori yang Bella yakini, apalagi Ia belum banyak mengenal Aron. Aron dikenalnya melalui alter base, base khusus peminat dunia dewasa.

Langkah mereka terhenti saat menuruni pintu keluar foodcourt, "Bella, jika kuamati Kau seorang sapioseksual. Benarkah?"

"Oh ya?" Bella memiringkan wajahnya sembari tersenyum malu.

"Mm, Kau sendiri?" tanya Bella dengan sedikit gugup. Apa yang Aron tanyakan benar-benar tidak Ia sangka.

"Aku menyukaimu," ucap Aron dengan suara dalam nan berat, seperti tercekat di leher.

Bella terkejut mendengarnya, Ia berdiri terpaku di antara pintu keluar food court dan kolam di mana terdapat air mancur di tengahnya, memandang lelaki di depannya yang melangkah mendekat. Degup jantung dan deru nafas Bella menyiksa perasaannya saat ini. Aron menatapnya lekat-lekat.

"Bella, bolehkah aku mengecupmu?" bisik Aron membuat telinga Bella semakin merinding.

"Lakukan yang Kau mau, Aron," ujarnya.

"Kau menyebut namaku," ujar Aron.

Aron mengecup bibir Bella sekali, meninggalkan sengatan luar biasa yang menghidupkan hampir semua syaraf di tubuh Bella. Lelaki itu mengecupnya sekali lagi seperti mempertegas apa yang telah Ia mulai. Bella mencecap bekas kecupan Aron dengan gerakan yang sangat pelan.

Kecupan kecil-kecil di antara bibir mereka berganti menjadi pagutan ganas saling memangsa. Keduanya terengah-engah mengambil nafas lalu mengulangi lagi dengan berusaha lebih baik. Suara gemercik air mancur tampak samar di belakang mereka, Aron dan Bella tak peduli pada ikan-ikan kecil yang menjadi saksi hidup adegan panas keduanya di siang bolong. Bella terus menikmati lumatan bibir Aron dan melupakan fakta bahwa warna lipstick-nya telah menulari bibir Aron.

"Sudah?" tanya Aron. Bella hanya mengangguk. "Katakan, Bella."

"Sudah, terima kasih banyak," katanya.

Antara hasrat dan rasa malu campur aduk menjadi satu mengalir deras bersama aliran darah Bella. Gadis itu sejenak merenungi apa yang telah Ia lakukan baru saja. Ini adalah ciuman tulus pertamanya di dalam hidupnya. Rasanya lebih nikmat dari pada ciuman menjengkelkan bersama Vincent. Bella benar-benar lega meski malu.

Aron menyeka dahi Bella yang penuh dengan peluh, kemudian lelaki itu memeluknya erat sebelum Ia pamit untuk berpisah.

"Aku akan kembali datang suatu hari nanti," bisik Aron meninggalkan pesan terakhir sebelum mereka berpisah hari ini.

***
 
BAB 15. YOUNG BILLIONAIRE

Vincent menuruni Huracan setelah stafnya membukakan pintu dan membantunya memegang payung meski cuaca tidak begitu panas. Jemarinya bergerak mengancingkan tuksedo hitamnya. Kacamata hitam bertengger tenang di atas hidungnya yang menonjol sempurna. Perjalanan keliling Asia selama dua bulan penuh menyisakan kelelahan, otaknya diperas secara marathon untuk melebarkan sayap bisnisnya di Sri Lanka, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Singapore Airlines menjadi tumpangan selanjutnya menuju Jakarta melalui Singapura.

Belum genap sepuluh menit Ia menyandarkan punggungnya di kursi pesawat, pikirannya tertuju pada rintisan bisnisnya di Palangkaraya. Bisnis konstruksi sangatlah menguntungkan saat ini, apalagi di sekitar wilayah yang sedang menjadi trending topic. Palangkaraya misalnya. Meski awalnya Vincent tertekan setelah memutuskan untuk menjadi CEO di perusahaannya sendiri, tapi sekarang Ia justru semakin menikmati permainan bisnis ini.

Vincent memejamkan mata memaksakan pikirannya beristirahat. Tetapi hati kecilnya berbisik bahwa Ia harus mendapatkan semuanya di usia muda, harta sebanyak mungkin. Tentang wanita Ia tidak tertarik memikirkan karena baginya tidak penting, pernikahannya telah ditentukan oleh orangtuanya sedangkan pemuas nafsunya selalu mendekat dengan sendirinya setiap malam.

Pesawat demi pesawat menjadi kendaraan utamanya selama dua bulan ini karena perjalanannya antar negara yang telah lama Ia agendakan. Ia berambisi menjadi Top Ten Young Businessman agar bisa membuktikan bahwa surga dunia itu benar-benar ada. Kini usahanya mulai Ia galakkan. Vincent membuat gebrakan dengan membuka cabang-cabang di penjuru Asia.

Bisnis konstruksi menjadi garapan utama meski masih ada puluhan bisnis lain yang juga Ia tekuni. Ia membuka jasa pembangunan infrastruktur di daerah minim sarana prasarana serta membuka usaha jasa pembuatan hutan buatan di wilayah rawan banjir dan longsor.

Karena mengikuti kemajuan zaman dan minat masyarakat, Vincent juga memiliki bisnis teknologi meski masih terbatas. Ia juga banyak menggunakan produk teknologi sendiri dalam bisnis konstruksinya, tentu saja hal ini bertujuan untuk menekan pengeluaran. Masih banyak eksperimen yang perlu Ia lakukan untuk membuat terobosan bisnis teknologi di Indonesia karena mayoritas masyarakatnya masih lebih percaya pada produk import dari pada produk lokal.

Tak banyak waktu untuk beristirahat di Ibukota, Vincent kembali sibuk di kantor setelah sehari turun di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ia harus mengejar target dan menambal agendanya yang sempat tertunda sebelum berangkat.

"Chelsea, urutkan pekerjaanku dari yang paling ringan. Aku masih lelah," ujar Vincent.

"Baik, Pak," jawab sekretarisnya.

Vincent berkutat di layar monitornya sembari menunggu sekretarisnya merombak jadwal. Ia memilih untuk mengecek email masuk yang sudah disaring terlebih dahulu oleh sekretaris. Surat-surat itu harus Ia ketahui dan tandatangani secara langsung. Ia memicingkan mata mendapati surat masuk atas nama Zhavia Arabella yang ternyata adalah surat permohonan resign. Resign setelah menerima kedua gaji pertamanya? Anak itu ada-ada saja, Vincent tertawa di dalam hati. Tidak bisa, gadis itu adalah hiburan tersendiri bagi Vincent.

Sembari menggertakkan gigi, Vincent menghapus email masuk yang berisikan surat resign Bella. Ia meraih gagang telepon dan memencet beberapa nomor.

"Pindahkan Zhavia Arabella ke kantor saya hari ini juga, saya perlu tambahan sekretaris," ucap Vincent kepada kepala divisi HRD tanpa perlu memaparkan alasan panjang lebar, setelah itu Ia mematikan telepon begitu saja.

Vincent meregangkan tangannya dan menguap, gadis itu tidak akan bisa kabur. Tetapi tak lama kemudian Chelsea masuk dengan wajah ragu-ragu.

"Arabella mulai hari ini bekerja di kantorku, aku yang memintanya," ujar Vincent menjawab pertanyaan tersirat sekretarisnya.

"Tapi staf sekretaris sudah cukup, Pak," ucap Chelsea.

"Terserah Kau mau memindahkan salah satu staffmu atau bagaimana, pokoknya Arabella harus di sini," ucap Vincent.

Chelsea tidak menanggapi ucapan Vincent dan hanya mengangguk mengiyakan lalu menutup pintu dari luar. Lelaki itu jika sudah ada maunya memang tidak mau dibantah, apalagi hanya oleh seorang sekretaris.

"Bagaimana penilaianmu pada Arabella?" Vincent ke luar ruangan dan menemui sekretarisnya di meja resepsionist kantornya. Hanya ada Chelsea di tempat tersebut, Vincent hapal bahwa sekretarisnya yang satu itu sangat anti makan makanan berat, Ia lebih memilih makan buah-buahan yang tersedia di lemari es dapur.

"Mohon maaf, Pak. Tapi saya kira kinerjanya jauh lebih buruk dari pada dua bulan lalu saat masih training," jawab Chelsea. Ia menunduk karena khawatir atasannya akan menyalahkan bahwa Ia tidak bisa memberikan didikan yang baik pada staf barunya.

"Ck, anak itu," gerutu Vincent. "Di mana Ia sekarang?"

"Sedang istirahat siang, mungkin di kafetaria bersama yang lain, Pak," jawab Chelsea.

"Beri tahukan padaku jika Ia telah kembali," ucap Vincent.

"Baik, Pak," tanggap Chelsea.

"Bapak menginginkan apa untuk makan siang?" tanya Chelsea karena melihat Vincent mengurungkan langkahnya menuju pantry.

"Terserah," tanggap Vincent. Ia sendiri juga tidak selera makan karena gadis itu gagal ditemui dan diajak makan satu meja bersamanya.

Di meja kerjanya Ia tertawa keras sampai terbahak-bahak melihat postingan akun Instagram Bella yang baru, gadis itu memasang foto selfie cemberut ala-ala jin kerasukan manusia. Tentu saja Bella tidak tahu jika Vincent melihatnya karena Vincent menggunakan akun fake. Akun pribadi Vincent telah diblokir sejak awal gadis itu membuat akun Instagram lagi pasca di-banned karena terlalu banyak hujatan dan laporan.

Bella sangat geram ketika surat resign-nya tak kunjung disetujui, malah sekarang Ia dipindahkan ke kantor Vincent. Ia mengutuk pihak HRD yang tidak bisa diajak kompromi. Jika Vincent sedang tidak berada di kantor maka tidak masalah, Bella sangat berharap Vincent tidak usah kembali ke kantor saja agar Ia tidak melihat bayangan Iblis hidung belang di hidupnya. Selama dua bulan kepergian Vincent kemarin, Ia sangat bahagia.

Karena menganggap pihak HRD tidak menanggapi surat resign-nya, atau mungkin Ia masih harus menunggu lebih lama lagi, Bella berpikir bahwa dipecat jauh lebih baik dari pada berlama-lama di kantor ini. Tidak masalah jika Ia dikeluarkan dengan tidak hormat, di-blacklist oleh perusahaan yang berasosiasi dengan Sidomuktiningjaya, karena Ia akan bekerja serabutan. Bella telah memikirkan itu beberapa hari yang lalu.

Di tim yang Chelsea pimpin, Ia sengaja bekerja dengan sembarangan. Tidak menyapa tamu dengan ramah, tidak menulis note dan jurnal. Membantah Chelsea ketika diminta menyusun target mingguan. Bella benar-benar nekat untuk membuat dirinya dipecat.

"Kau akan ikut denganku ke Palangkaraya besok," ucap Vincent menemui Bella.

"Saya?" tanya Bela sambil memiringkan bibirnya.

Chelsea dan kedua sekretaris Vincent yang lain menoleh mendengar jawaban Bella dengan suara dikencangkan.

"Iya. Apa Kau tunarungu dan aku harus bicara lebih dari satu kali?" gerutu Vincent.

"Maksud saya, mengapa harus saya? Masih ada yang lebih profesional dalam melayani Bapak. Mengapa tidak Chelsea saja?" ujar Bella.

"Chelsea terlalu tua untuk melayaniku, Kau lebih segar," tanggap Vincent.

"Apa?!!!" Pekik Bella. Vincent mengangkat satu alisnya menanggapi teriakan Bella.

"Apa Kau tidak kasihan pada Chelsea jika kusuruh-suruh membawa mesin cetak di lokasi proyek?" ujar Vincent.

Bella tersipu malu pada pertanyaannya sendiri, Ia sangat menyesal telah berpikir yang … ah, biasanya lelaki itu memang menjijikan. Tapi kali ini Ia sendiri yang berlebihan.

"Chelsea, buatkan Bella Surat Tugas," ucap Vincent lalu melangkah masuk ke meja kerjanya kembali. Dalam hatinya Ia bersorak gembira, Ia menang satu kosong dari gadis itu.

***

Versi lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 16. SECRETARY 2

Tak ada percakapan barang sedikitpun selama di pesawat. Bella enggan memulai sedangkan Vincent tidak mau bermurah hati memulai percakapan. Mereka duduk berjajaran menyandarkan punggung di kursi pesawat seperti orang asing. Saat sudah landing di Bandara Tjilik Riwut pun Bella hanya mengikuti langkah kaki Vincent tanpa bertanya apapun.

Setibanya di kamar hotel yang mereka pesan, Bella baru membuka suara, "Mengapa meski pesan double bed, mengapa tidak twin bed saja? Bapak sengaja?"

"Lho, sengaja apa?" tanggap Vincent.

"Bapak sengaja agar kita tidur bersama?" desis Bella sambil memincingkan matanya.

"Tidak, bukan saya yang memesan kamar ini. Tanyakan pada Chelsea, apakah dia sengaja menjodohkan kita," ujar Vincent.

Bella memutar bola mata malas, tidak ada gunanya bicara dengan lelaki itu. Mungkin nanti malam Ia akan mengalah tidur di sofa saja. Ia mengecek jadwalnya selama di kota ini sebelum mandi, besok pagi Vincent akan melakukan survey lapangan lahan kosong yang akan digunakan untuk bangunan hotel dan restoran, kemudian Vincent juga akan meninjau proyek yang sedang berlangsung.

"Kau tidak tidur?" tanya Vincent saat melihat Bella masih sibuk dengan handphone-nya.

"Saya akan mandi dulu, Pak," tanggap Bella.

"Baiklah. Sebenarnya ada bathtub yang bisa diisi bersama," ucap Vincent.

"Saya telah menyimpan nomor-nomor darurat di kota ini, Pak. Jika Bapak macam-macam saya tinggal klik fitur panggilan," ucap Bella.

"Apa yang Kau bicarakan, Bella? Lama-lama Kau tidak bisa memahami ucapan orang lain," ucap Vincent lalu Ia tertawa dan membuat Bella jengkel.

Saat Vincent keluar kamar mandi, Bella sudah terlelap di sofa depan TV. Ia membopongnya dan memindahkannya ke springbed dan membiarkan gadis itu tidur nyenyak di bawah selimut tebal. Wajahnya benar-benar cantik tanpa olesan bedak, bibirnya ranum kemerahan, garis matanya sangat tenang. Vincent meneguk air liurnya sendiri dan terus memandang Bella di sampingnya.

Vincent tak bisa tidur dengan tenang dan bangun jauh lebih awal dari pada Bella. Ia menyibukkan diri dengan seduhan kopi dan kue yang dipesan dari restoran hotel. Bibir Vincent menyesap kopi hitam pelan-pelan sembari memandang gadis di seberangnya yang menggeliat dan menguap. Tak kuat dengan pemandangan di depannya, Vincent terbatuk dan membuat Bella bangun.

"Lho, kok aku di sini?" gumam Bella dengan suara serak khas bangun tidur. Ia masih setengah sadar ketika mengucapkan hal itu.

"Kau selalu hampir jatuh dari sofa, aku memindahkanmu tadi malam," ujar Vincent.

"Oh, terima kasih, Pak," tanggap Bella. "Anda tidak berbuat macam-macam, kan?"

"Apa maksudmu?" tanya Vincent. "Macam-macam bagaimana?"

Bella mendesah frustasi dan mengacak-acak rambutnya, lelaki itu memang pandai bersilat lidah. Andai lelaki itu adalah boneka beruang, mungkin Bella sudah meremas-remasnya lalu menghamburkan bulu-bulunya.

Bella sangat buta tentang pengetahuan pembangunan seperti ini, Ia mengutuk keras mengapa harus dirinya yang dibawa oleh bos brengseknya itu. Bekerja sebagai sekretaris dengan background kuliah manajemen saja Ia harus mengulang pelajaran, apalagi yang sekarang Ia hadapi adalah tentang perteknik sipilan.

"Oh, Tuan Vincent. Selamat datang," ucap seorang lelaki dengan helm kuning khas pekerja. Lelaki itu adalah mandor dari proyek yang sedang Vincent borong.

Vincent mengangguk sopan sembari tersenyum ramah, begitu pula dengan Bella.

"Terima kasih banyak, Pak. Bagaimana, apakah ada kendala yang parah di proyek ini?" ucap Vincent.

"Sejauh ini tidak ada, Tuan," jawab mandor tersebut. "Mari mampir ke sekretariat, Tuan. Nyonya …"

"Saya Bella, sekretarisnya Pak Vincent," sahut Bella memotong ucapan mandor tersebut.

"Oh, Nona Bella, maaf," mandor yang telah dikenal oleh Vincent mengangguk sopan.

Baru kali ini Bella mendapatkan tugas mendampingi seorang bos besar, Ia merasa khawatir apakah jaraknya dengan Vincent terlalu dekat atau tidak, karena mandor tersebut mengira Ia adalah istri Vincent.

"Apakah posisi berdiri saya terlalu dekat dengan Anda, Pak?" bisik Bella sambil sedikit bergeser.

"Tidak, kita justru kurang dekat," jawabnya. Bella mendelik sambil menggertakkan gigi.

Bella melirik handphone-nya saat kembali ke mobil bersama Vincent. Ia menyembunyikan layarnya agar lelaki itu tidak mengintip.

"Apa yang Kau lakukan? Kau pikir aku tertarik pada handphone-mu?" gerutu Vincent. Bella tak menanggapi.

Sebagai sekretaris yang baru dua hari bekerja, tak banyak yang bisa dilakukan Bella dalam mendampingi CEO perusahaannya kecuali menjadi ekor Vincent yang mengikuti ke manapun Vincent pergi. Grup WhatsApp-nya bersama ketiga sekretaris Vincent yang lain ramai mengkhawatirkannya. Sekali saja Bella muncul untuk menanyakan sesuatu kepada Chelsea, grup langsung ramai menjawab sekaligus memberikan wejangan untuk Bella. Bella sampai pusing membacanya.

Menjadi sekretaris bukanlah target Bella, Ia melamar pekerjaan tersebut di divisinya dulu niatnya hanya untuk sementara. Tetapi sekarang Ia malah dinaikkan ke posisi sekretaris CEO dalam waktu dua bulanan sejak Ia diterima. Berjam-jam Ia merenung apakah hal ini tidak menimbulkan kecemburuan staf lain? Karena Ia mengamati naik posisi dan jabatan di suatu perusahaan sangatlah sulit, termasuk di perusahaan yang Vincent pimpin.

"Pak boleh saya menanyakan sesuatu?" celetuk Bella.

"Apa?"

"Kira-kira Bapak tahu tidak, mengapa HRD menaikkan saya dari sekretaris divisi ke sekretaris CEO?" ucap Bella.

Vincent mengedikkan bahu sambil tetap memegang Ipad-nya. "Memangnya kenapa?" Ia malah balik bertanya.

"Jujur, saya merasa terseok-seok. Saya kuliah jurusan manajemen, saya harus belajar dari awal tentang kesekretariatan. Baru adaptasi dua bulan sudah dipindahkan lagi," ucap Bella.

Vincent tertawa, "Kan Kau sendiri yang melamar jadi sekretaris."

"Tapi …"

"Bella, Kau tahu? Aku langsung menjadi CEO tanpa bekal apapun. Kita hampir sama dengan porsi yang berbeda, Kau masih beruntung," ucap Vincent pelan memotong ucapan Bella.

"Perusahaan ini jatah dari orangtua Anda, Pak," ujar Bella bicara pada diri sendiri.

"Iya," tanggap Vincent. "Saya hanyalah robot yang orangtua lahirkan, Bella," ujar Vincent dengan suara berat.

Baru kali ini Vincent mengungkapkan perasaan terdalamnya pada seorang staf. Tak ada yang tahu perasaan apa yang ada di dalam hati Vincent, Ia adalah CEO dingin dan kaku di kantor. Banyak di antara karyawan perempuan penggila tokoh fiksi, menyamakan Vincent dengan bos-bos besar di novel mereka.

"Bella, apa Kau tidur dengannya?"

Sial! Voice note yang Alanis kirimkan benar-benar menjijikkan.

"Apa itu?" pekik Vincent.

"Tidak, Pak. Maaf," ucap Bella. Giginya mengutuk Alanis dengan segala kesialannya.

"Ah, aku lupa mengatakannya. Mengapa kita tidak tidur bersama saja mumpung sedang di luar?" seru Vincent.

Bella menjerit dan tangannya refleks memukul kepala Vincent. Lelaki itu juga berteriak kesakitan karena Bella memukulnya dengan tiba-tiba. Sopir menoleh sekejap, tetapi langsung mengabaikan mereka karena mendapatkan pelototan dari Vincent.

"Lepaskan!" teriak Bella saat tangan kekar Vincent mendekap tubuhnya.

"Kau mungil sekali," ucap Vincent.

"Lepaskan," ucap Bella. Kukunya yang panjang mencakar lengan Vincent dengan ganas.

"Agggh, Kau keterlaluan," gerutu Vincent.

"Anda yang keterlaluan, Pak!" Bella berseru sekali lagi, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran meski berada di dalam mobil ber-AC, ada sesuatu yang menyengat dari sentuhan tangan Vincent di kulitnya. Bella bergidik ngeri.

"Jadi, Kita akan tidur bersama, kan?" ucap Vincent lagi.

"Tidak akan pernah. Jangan mengharapkan sesuatu yang mustahil, Pak!" desis Bella.

"Oh, mungkin saja. Buktinya temanmu sendiri menginginkan kita tidur bersama, tadi," ujar Vincent.

"Jangan bodoh, Pak. Teman saya justru khawatir," ucap Bella dengan nada kesal.

Mobil mereka berhenti tepat di depan lobby hotel mewah yang mereka tinggali saat ini. Vincent tersenyum bahagia sedangkan Bella membanting pintu keras-keras tanpa menunggu sopir membantu membukakannya. Biarkan mobil Vincent cepat rusak.

***

Versi lengkap bisa diakses di sini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 17. STUPID DRUNKEN

Akses lengkapnya di sini yaa http://wbnv.in/a/6dhTTJL

Bella melangkahkan kakinya mendekati jendela kamar yang terbuka, tampak Vincent di bawah sana sedang berenang di kolam yang jernih airnya. Ia merenung, 'Apakah ini tugas sekretaris jika sedang mendampingi bosnya keluar kota?' Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa hari yang lalu Ia mengajukan resign tetapi sampai sekarang surat pengajuan itu belum ada kepastian. Anehnya, Ia justru dipindahkan ke kantor CEO.

Melihat Vincent telah menyudahi acara berenangnya, Bella menyiapkan pakaian ganti di kamar, setelan kemeja, celana kain, dan jas seperti biasa. Ia juga memanaskan air jika nanti Vincent tiba-tiba menginginkan air hangat.

"Terima kasih, baru kali ini saya lihat Kau baik sekali," ujar Vincent mengetahui pakaiannya sudah disiapkan Bella.

"Bukankah itu tugas sekretaris, Pak?'

"Oh, jadi Kau sudah menerima posisimu dengan sukarela?"

"Maksud Bapak?"

"Hmm, tidak.”

"Anda menginginkan kopi?"

"Tidak, saya sudah punya anggur merah yang jauh lebih segar daripada kopimu,” sahut Vincent.

Bella menggelengkan kepala mendengar ucapan VIncent. Mendampingi Vincent adalah hal baru baginya, meskipun Ia enggan menjalani posisinya sebagai sekretaris lelaki itu, tetapi Bella tidak bisa memungkiri bahwa banyak pelajaran yang bisa Ia ambil. Ia membenci Vincent karena lelaki itu sangat jelas tidak berakhlak, tetapi prestasi dan kegigihan lelaki itu patut diacungi jempol.

Bella berkutat dengan catatan harian dan laporan perjalanan Vincent, lelaki itu mandi dengan cepat dan segera mengenakan baju yang telah Bella siapkan tadi. Tanpa berlama-lama, Ia menenggak anggur di kulkas langsung dengan botolnya. Kira-kira lima kali tegukan anggur itu sudah berkurang dua pertiga.

"Pak, Anda bisa mabuk jika seperti itu!" pekik Bella.

"Biarlah, biarkan aku bersenang-senang sejenak Bella."

"Tidak, Anda harus berdiskusi dengan saya tentang hasil kunjungan hari ini, kalau Anda mabuk, bagaimana proyek perusahaan bisa segera selesai?"

Ucapan Bella tidak digubris sama sekali oleh Vincent, bahkan sampai Bella menarik botolnya dan menyingkirkannya ke keranjang sampah luar kamar.

"Ternyata lelaki hidung belang ini hobi mabuk juga," gerutu gadis itu.

Vincent bersendawa, membuat Bella menjadi semakin jijik. Gadis itu sangat terganggu dan aktivitasnya mengerjakan laporan terhenti. Beberapa saat kemudian Vincent mulai meracau. Apapun yang ada di kepalanya saat ini keluar melalui mulut, Vincent benar-benar seperti orang gila.

"Katakan padaku kalau negeri dongeng itu lebih layak daripada kekayaan ayahku yang laknat."

"Sebentar lagi aku akan bebas. Aku akan melepaskan Muktiningjaya dari namaku."

"Nama sialan."

"Hufffh."

"Hidup ini untuk apa, sih? Hidup ini harta, tahta, dan Bellaaa," racauan Vincent membuat Bella terbelalak.

“Bella, aku menginginkanmu.”

“Aku sudah lama mendambakanmu. Kau wanita cantik dan nakal.” Vincent berjalan sempoyongan.

"Tidak! Anda sedang mabuk, Pak!" seru Bella. Gadis itu merasa takut dan menghindar.

"Aku mencintaimu, Bella. Aku sudah bosan bercinta dengan wanita di luaran sana. Aku ingin bercinta denganmu, Istriku," racau Vincent.

"Apa? Istrimu?!!!"

Bella bergidik ngeri mendengar racauan Vincent. Tidak mungkin Ia menjadi istri lelaki itu. Jangan-jangan selama ini apa yang Vincent ekspektasikan tentang dirinya adalah seorang istri baginya, tidak bisa! Tetapi biasanya ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah suara hati yang terdalam. Orang bisa jujur dan mengungkapkan rahasia apa saja jika sedang mabuk.

Bella menggelengkan kepala memikirkan itu semua. Ini bahaya, dirinya bisa terancam jika masih berada di ruangan yang sama dengan Vincent. Bella dengan secepat kilat membuka pintu dan melarikan diri. Napasnya terengah lega ketika mendapati lift, untung saja gerakan tangannya sigap untuk mengunci pintu kamar dari luar.

Handphone ada di sakunya, Ia menelpon Alanis. Gadis itu menggerutu ketika satu-satunya teman dekatnya di kost tidak bisa dihubungi. Bella menghela napas, mungkin Ia bisa meminta bantuan Chelsea, tetapi Ia merasa tidak etis jika membuka kebobrokan CEO-nya di depan sesama pegawainya.

Gadis itu hanya bisa mondar mandir di taman hotel ataupun area kolam renang, hari sudah mulai sore, matahari sudah kembali menguning. Ia melangkahkan kakinya ke kamar, berharap lelaki itu sudah siuman dari mabuknya.

"Aku ingin pergi, aku ingin pergi," racau Vincent terdengar dari luar. Mungkinkah Vincent sudah sadar dan Ia merasa terkunci di dalam kamar? Bella tidak yakin.

Bella melihat dengan gamblang bahwa Vincent sejatinya hanyalah anak yang hidupnya penuh dengan tekanan yang lahir dari orang kaya raya. Ia menyangkal tekanan demi tekanan dan melampiaskannya di luar rumah dengan mabuk-mabukkan dan seks bebas.

Setiap orang memiliki pagar penghalang di hidupnya, mungkin itulah pembatas VIncent yang tidak banyak orang mengetahuinya. Hampir semua orang yang melihat Vincent mengetahui lelaki itu adalah simbol keberuntungan. Ia lahir dan tumbuh dengan baik tak ada cacat sedikitpun. Impian setiap orang. Tetapi hari ini Bella melihat kembali betapa rapuhnya Vincent sebenarnya.

"Permisi Ibu, mohon maaf, apakah Ibu tamu di hotel ini?" seseorang menghampirinya.

"Iya, saya bersama Bapak Vincent," tanggap Bella.

"Oh, baik kalau begitu, maaf mengganggu. Selamat menikmati liburan, Bu," ujar perempuan itu sebelum berlenggang pergi.

Bella mendesah sebal, mungkin staf hotel itu mengira dirinya adalah gembel yang menumpang di rest area. Ini semua gara-gara Vincent yang tidak tahu diri.

Seseorang menelpon. Lelaki itu, lelaki yang Bella kagumi diam-diam tanpa bisa diharapkan, membuat gadis itu menghela napas menyingkirkan rasa gugupnya.

"Hallo, Aron," sapa Bella.

"Hai Arabella. Maaf tiba-tiba nelpon, boleh ngobrol sebentar?" sapa lelaki di seberang sana dengan lembut.

"Boleh-boleh, ada apa?" tanggap Bella.

"Sebenarnya tidak ada apa-apa, cuma heran saja hari ini Kau tidak update di medsosmu," jawab Aron.

Bella mengerjapkan mata menyadari ada sesuatu, lelaki itu tiba-tiba memedulikannya.

"Oh, aku sedang kunjungan kerja di Palangkaraya. Jadi nggak sempat update," ujar Bella.

"Lagi sibuk ya? Kalau gitu good luck kerjanya. Maaf ngganggu," ujar Aron.

"Enggak, ini lagi longgar jadwalnya," tanggap Bella.

Obrolan basa-basi bersama Aron sedikit mengisi kekosongan Bella yang sudah seperti kehilangan arah. Ia tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada sesuatu yang bisa Ia kerjakan di luar pekerjaan kantornya. Sementara laptopnya berada di kamar bersama dengan bosnya yang sedang mabuk parah.

"Kau belum tidur jam segini?"

"Belum," Bella menjawabnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Bertelepon dengan lelaki asing itu selama hampir satu setengah jam cukup membuat Bella lega. Gadis itu kembali ke lantai di mana kamarnya bersama Vincent berada. Tak ada suara dari luar, Bella membuka pintu perlahan. Pemabuk itu sudah tertidur. Bella menghela napas lega.

“Siapa yang menelponmu tadi malam?” tanya Vincent.

“Oh, mm, teman sekolah, Pak,” jawab Bella spontan.

“Kau selalu canggung dengan setiap orang?” tanya Vincent.

Bella mengernyit, Ia merasa Vincent tahu bahwa dirinya sedang berbohong.

“Tidak. Tadi malam yang nelpon bukan teman akrab, hanya kebetulan kenal saja,” ujar Bella. Vincent mengangguk-angguk tanpa melepaskan pandangannya dari Bella.

***
 
BAB 18. PATHETIC BOY

"Kapan Kau mengagendakan pertemuan untuk berkenalan dengan Primadona, Nak? Kau sudah cukup umur. Keterampilanmu mengelola perusahaan juga sudah bisa diakui kebolehannya," ucap Ibu.

Vincent terlonjak mendengarnya. Ia tidak bisa membantah apalagi menolak apa yang sudah Ibu ucapkan. Putra harapan yang dielu-elukan keluarga besar itu sudah dijodohkan dengan Primadona, tanpa pembicaraan sama sekali dengannya, tak peduli lelaki itu akan menyukai perempuan tersebut atau tidak. Yang terpenting adalah misi bisnis keluarga besar tercapai.

"Ibu, bisa tanyakan pada Primadona kapan Ia memiliki waktu luang?" tanggap Vincent.

“Baiklah. Keluarganya pasti juga sudah menunggumu,” ujar Ibu.

Vincent berpikir apakah keluarga Primadona memikirkan anaknya atau justru sama saja seperti keluarganya, lebih mengutamakan misi bisnis keluarga dan menggunakan perjodohan sebagai jalan bisnis. Alangkah sedihnya jika perempuan itu ternyata tidak menyukai perjodohan ini, Ia pasti sedang cemas.

Vincent beranjak dari ruang tengah ketika Ibu sudah kembali ke kamarnya, tangannya menyambar kontak mobil kesayangannya. Ketika otak dan hatinya dijejali dengan tuntutan demi tuntutan yang membuatnya semakin remuk, hanya teman dan alkoohol lah yang Ia cari. Jemari Vincent menggenggam erat kemudi mobil hingga memutih, rahangnya mengeras, tatapannya tajam ke depan. Ia benar-benar merasa seperti di neraka.

Di ruangan yang sama hampir setiap malamnya, sudah ada tiga temannya dan beberapa perempuan penghibur termasuk Geisha dan Lexa, favoritnya. Tanpa berbasa-basi Ia menenggak satu botol wine di meja dan mengabaikan tatapan semua makhluk hidup di situ.

"Bagaimana perjalananmu dua bulan keliling Asia, Vin? Kudengar Kau juga sempat melakukan perjalanan ke Palangkaraya dengan anak itu," ucap Gerry. Vincent hanya mengangkat tangan terbuka dan menunjukkan telapaknya, tanda Ia tidak mau ditanya.

"Akhir-akhir ini Kau bekerja dengan sangat keras, Vin," ucap Farell.

"Iya, Kau sangat ambisius untuk menjadi orang kaya," sambung Tommy.

"Hei, aku sudah kaya!" sahut Vincent tidak terima.

Farell dan Tommy tertawa mendengar temannya ngotot tidak jelas.

“Lalu apa yang Kau kejar?”

“Oh, aku tahu. Pasti anak ingusan itu. Ngomong-ngomong Kau suka padanya, Vin?” ucap Geisha.

Vincent tidak menjawab sepatah katapun pertanyaan Geisha.

"Take off your clothes, Slut!"

Jari telunjuk Vincent membuat Geisha terkejut, perempuan itu mengerutkan dahi sebelum akhirnya menanggalkan gaunnya di tempat itu juga. Sungguh pemandangan yang biasa bagi Vincent ataupun ketiga temannya apabila mereka sedang berkumpul. Geisha melangkahkan kakinya dan duduk di pangkuan Vincent hanya menggunakan setelan bra dan celana dalam warna merah plum senada. Jika sudah seperti ini, mereka tahu apa yang diinginkan Vincent, lelaki itu menggendong Geisha ke kamar yang tersedia di ruang VVIP. Ia tidak peduli dengan tawa-tawa kecil yang lain.

Sembari mengecup tengkuk perempuan itu, Vincent membisikkan sesuatu yang membuat Geisha merinding, "Kau tahu apa yang kuinginkan."

Jemari lentik dengan warna merah menyala di kuku-kukunya bergerak menyusuri kemeja Vincent, membuka kancingnya, dan menyingkirkan helaian itu lalu melemparkannya ke sisi ranjang. Ujung kuku menyentuh dengan lembut dada bidang lelaki itu sambil sesekali mengecupnya. Vincent menghela nafas meresapi apa yang Geisha lakukan pada tubuhnya, perempuan itu cukup terampil untuk membangkitkan gairah lelaki-lelaki di tangannya, termasuk Vincent.

"Kau terlalu lama, Sayang," geram Vincent.

Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah menindih makhluk yang bersamanya. Suara khas dentingan ujung gesper Vincent membuat perempuan itu dengan gesit membantunya membuka resleting dan membelai apa yang ada di dalamnya.

Berbanding terbalik dengan gerakan Geisha yang pelan dan penuh sensual, Vincent justru menggertakkan gigi dan dengan kasar menarik dua helai pakaian yang masih tersisa di tubuh Geisha. Perempuan itu kini utuh menjadi santapan malam Vincent.

"Aku ingin kekasaran malam ini," desis Vincent. Naluri hewan buasnya menggeram menguasai ruangan kecil di antara dua insan.

Geisha memejamkan mata ketika Ia tak kuasa menghadapi lelaki di depannya. Tubuhnya hanya bisa pasrah di bawah kungkungan otot kekar Vincent, sekeras apapun Ia memberontak hanyalah sia-sia yang Ia dapatkan.

"Tenanglah, Vin. Aku tidak akan ke mana-mana," ucap Geisha mencoba menghentikan Vincent, lelaki itu bisa membunuhnya dengan binal. Tetapi Vincent menulikan telinganya seolah tak ada suara apapun dari perempuan di bawahnya.

Sebenarnya Geisha pun sadar jika apa yang dilakukan Vincent hanyalah pelampiasan emosi semata. Tetapi Ia tidak bisa menolak, Ia masih ingin hidup lebih lama lagi sedangkan sebagian hidupnya kini ada di tangan lelaki itu. Gerakan Vincent semakin membrutal, helai-helai rambut Geisha di tangannya menjadi bukti nyata bahwa lelaki itu benar-benar melakukannya dengan sangat kasar.

"Vin, sakit Vin. Kumohon," isak Geisha.

"Vincent, kumohon berhentilah."

Vincent tak peduli dengan rintihan dan isak tangis perempuan di bawahnya.

"Katakan padaku, siapa kamu?" geram Vincent.

"Aku Geisha, aku Geisha. Aku pelacurmu," jawab Geisha dengan lirih. Rintihan kesakitan dari mulut perempuan itu terus memenuhi ruangan, membungkam desah erotis dari tenggorokan Vincent.

Air mata dan peluh membasahi hamparan spring bed kecil, Vincent melihat perempuannya menangis. Tangannya pun bergerak merangkul perempuan itu, tetapi dengan gerakan pedas Geisha justru menepiskannya.

"Bicaralah, Vincent. Hubungan badan bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahmu," lirih Geisha.

Bibir Vincent bergetar, Ia menyimpan banyak rasa tetapi kata adalah hal yang sangat berat untuk keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya bercerita, Ia tidak tahu bagaimana caranya bicara, karena sejauh ini yang Ia dapatkan hanyalah rasa kecewa buah dari pengabaian. Vincent dituntut untuk menjadi sempurna tanpa Ia bisa menolak sedikitpun.

Detik demi detik berlalu dalam diam. Tak ada yang angkat suara di kamar sempit itu, malam semakin larut dan pagi mulai menyapa. Geisha tertidur dalam tangisnya sementara Vincent terjaga bersama keputus asaannya.

"Bella, tolong antarkan barang-barang ini besok ke alamat ini," chat Vincent dengan melampirkan foto berkas di mejanya yang Ia ambil kemarin. Kemudian lokasi sebuah tempat makan bersama lampiran google map.

"Restoran Jepang, Pak?" tak selang satu menit terlihat balasan dari Bella.

"Detail ruang dan mejanya saya kabarkan besok, ya," balas Vincent tak peduli dengan pertanyaan gadis itu.

Vincent menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, Ia menggeleng ketika berpikir bahwa dirinya memiliki kecenderungan melampiaskan amarah dan rasa sedih kepada sex. Pedih rasanya ketika Ia menyadari hal itu memang nyata ada pada dirinya.

Melihat foto profil gadis itu di WhatsApp, Vincent langsung bergeleng memejamkan mata. Ia hampir saja membayangkan gadis itu untuk … ah, Vincent memang menyukainya. Tetapi dinding status hubungan mereka menyelamatkan gadis itu dari aksi gila Vincent. Seandainya mereka bukan kenal di kantor perusahaannya, mungkin gadis itu bukan sekretaris tetapi aset yang dimiliki Vincent.

Tidak. Gadis itu terlalu berbahaya, apa yang tidak Ia kehendaki bisa hancur di tangannya. Itulah yang Vincent ingat dari peristiwa perang dingin di media sosial waktu itu. Mengherankannya, hingga kini belum terungkap bagaimana proses kasus tersebut lenyap begitu saja. Apakah Bella adalah seorang hacker? Vincent tertawa. Tidak mungkin. Ia hanya takut berlebihan dan menduga-duga hal yang mustahil.

***
 
BAB 19. THE EXPECTATION

Baru saja pulang dari tugas luar pulau sudah dihubungi untuk mengurus pekerjaan lagi, melelahkan saja. Bella mengatupkan bibirnya membaca pesan dari Vincent. Sungguh mengganggu tengah malamnya. Padahal beberapa menit yang lalu Ia sangat senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan Aron. Di pertemuan kedua nanti, Ia berencana untuk mengambil hati lelaki itu dengan membicarakan apa yang mereka sukai di dunia BDSM.

Semenjak Bella dipindahkan ke kantor Vincent, lelaki itu memang lebih suka memberi tugas kepada Bella dari pada kepada ketiga sekretarisnya yang lain.

"Bella, ngomong-ngomong apa Kau sudah kenal Pak Vincent sebelum kerja di perusahaan ini?" bisik Keilla saat mereka berada di meja yang sama.

"Itu karena Bella supel kepada semua orang, Keil," sahut Chelsea.

"Kau tidak usah iri," sambung Virra.

"Tidak usah takut bicara pada siapapun termasuk Pak Vincent, itu akan membuatmu akan cepat dikenal dan diperhatikan," dalih Bella.

Kedua staf Chelsea, termasuk Chelsea tidak tahu sama sekali apa yang sebenarnya terjadi di antara Bella dan Vincent. CEO muda itu tidak pernah menampakkan watak aslinya kepada stafnya kecuali Bella. Jika Bella berminat untuk mengacak-acak reputasi Vincent mudah saja. Gadis itu sudah terlanjur memegang kartu merah Vincent.

"Bella, tolong ke ruangan saya," panggil Vincent melalui interkom.

Keilla mengambil alih komputer yang sedang digarap Bella tanpa diminta. Dengan beribu pertanyaan, Bella bergegas menuju meja Vincent.

"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan nada ketus.

Vincent mengangkat dagunya, wajah penatnya membuat Bella bersorak senang. Tampaknya Vincent tengah pusing mengurus pekerjaannya.

"Begini," ujar Vincent. "Karena waktu itu Kau tidak mau tidur denganku, maka aku ingin meminta ganti rugi padamu," lanjutnya.

"Ga … ganti rugi?" Bella mengerutkan dahi. Ia harus membayar berapa, belum tuntas Ia memikirkan mengapa Vincent memanggilnya, kini Ia juga mendengar mulut lelaki itu menagih ganti rugi.

"Aku ingin berhubungan badan dengan semua karyawan di sini selama seminggu penuh," putus Vincent. Seringai ganas tercetak di wajah lelaki berwajah tampan nan mengerikan.

Bella mendengar itu merasa jengkel, mengapa Ia harus bertanggung jawab atas kepuasan pribadi Vincent? Anehnya, Vincent memiliki keinginan itu dan saat mabuk Ia mengatakan bahwa dirinya adalah istrinya. Mungkinkah Vincent menginginkan dirinya? Bella bergidik ngeri, jangan sampai Ia bercinta dengan lelaki hidung belang itu.

Bercinta? Apakah lelaki itu memiliki rasa cinta? Oh, tidak. Ia hanya punya nafsu belaka, Ia tidak punya rasa cinta.

"Itu hanya keinginan jorok Anda, Pak. Mereka belum tentu mau menuruti …."

"Yang mau saja, yang tidak mau tidak usah," Vincent memotong ucapan Bella, membuat gadis itu menggertakkan giginya penuh amarah.

"Oh iya, satu lagi. Jangan menyampaikannya secara jelas," ujar Vincent. Keluarga dan jajaran direksi senior bisa bertindak jika mereka tahu.

"Lalu?" Bella memutar bola matanya.

"Terserah Kau yang penting berhasil," jawab Vincent kemudian mengibaskan tangan memberikan isyarat agar gadis itu kembali keluar dari ruangannya.

Bukan Vincent namanya jika tidak bersikap sewenang-wenang kepada Bella. Gadis itu mengutuk kelakuan kekanakan lelaki MKKB di balik pintu kayu berukir yang megah.

"Dasar Masa Kecil Kurang Bahagia! Makanya giliran sudah tua suka aneh-aneh," gerutu Bella dalam hati.

Aha, Bella menjentikkan jari ketika Ia mendapatkan ide untuk membuat survey rahasia di kantor tentang kehidupan di luar kerja. Ia bergegas masuk ke ruangan Vincent meninggalkan komputernya yang masih menyala. Ia menanyakan kepada Vincent tentang idenya.

“Terserah Kau. Kalau begitu kerjakan di rumah, jangan sampai Chelsea dan kedua anaknya tahu,” ucap Vincent.

Bella berdecih, Vincent memang bobrok.

Tugasnya semakin menumpuk dan membuat Bella sedikit jengkel. Sebelumnya Ia sudah mengagendakan untuk bertemu Aron setelah jam kantor selesai. Masih ada waktu jika hanya sekedar membuat angket, batinnya.

Layar handphone-nya berpijar, notifikasi pesan dari lelaki tampan dan cerdas membuatnya tersenyum senang.

"Bella, sampai jumpa nanti," chat Aron.

"Iya, Kak. Sampai jumpa nanti," balas Bella.

"Mau bahas apa saja nanti?"

"Bahas apa saja boleh, Kak. Tapi aku mau tanya-tanya preferensi," Bella semakin bersemangat.

Seperti apa yang disarankan orang-orang, jika ingin mengenal seseorang dari dunia medsos sebaiknya bertemu minimal tiga kali. Pada pertemuan pertama bisa jadi seseorang sangat menjaga penampilannya untuk menarik simpati lawan bicara, tetapi di pertemuan kedua atau ketiga kita sudah bisa mulai untuk membaca watak asli seseorang. Apakah Aron masih sama seperti sebelumnya, cerdas dan berkarisma?

Hari ini terasa sangat panjang, bel jam pulang kantor masih sangat lama. Bella bersikeras fokus pada pekerjaannya, memeriksa notulensi rapat yang dikumpulkan oleh Keilla dan Virra. Kedua rekannya sudah banyak berpengalaman menjadi sekretaris tingkat tinggi di perusahaan ini, sedangkan dirinya hanya punya pengalaman untuk mendampingi Vincent kunjungan ke luar pulau.

Jam pulang kantor masih satu jam lagi tetapi itu sangat lama, Bella menghela nafas. Ia iseng membuka tasnya apakah bedak, parfum, dan lipstik yang sudah Ia siapkan terbawa.

"Eh, kita belum pernah makan-makan bersama di luar, lhoo," ucap Chelsea.

"Iya, kita belum pernah jalan bersama di luar," sambung Keilla.

"Adain, yuk."

"Kalau besok saja bagaimana?" Bella mendahului yang lain agar jangan sampai mereka mengagendakan hari ini.

"Hmm, boleh. Tapi mengapa tidak sekarang saja?" tanggap Chelsea.

"Aku sudah ada acara di kost, Chelsea," ujar Bella.

Tidak mungkin baginya untuk berterus terang mengatakan bahwa dirinya akan menemui seorang lelaki, apalagi lelaki itu Ia kenal di dunia alter. Hancur lebur jika Vincent sampai mendengarnya. Lebih baik Ia mengajukan resign lagi jika vIncent sampai tahu.

"Besok saja tidak apa-apa," Virra mendukung usulan Bella.

"Kita ketemu di mana?" chat Aron. Bella membalasnya dengan lampiran peta.

"Tapi aku mau ke ATM dulu, Kak," tambah Bella.

"Oke."

Balasan singkat mendarat di layarnya. Bella ingin tahu bagaimana reaksi Aron ketika dirinya berlama-lama antre di ATM. Hal itu sering digunakan orang-orang untuk menguji kesabaran pasangannya. Aron bisa saja menggerutu dan menampakan rasa kesalnya ketika antrean ATM tak kunjung habis. Sebaliknya, Ia juga bisa bersabar menunggu Bella dan membuat gadis itu terkesan.

Setiap perempuan pasti memiliki ekspektasi terhadap lelaki, dan Bella adalah perempuan yang lebih suka membuktikan ekspektasinya meski akhirnya Ia mendapatkan hasil yang tidak sesuai. Itu terasa menyenangkan. Di luar sisi dominant Aron, lelaki itu pastinya tidak jauh beda dengan lelaki pada umumnya. Ada kriteria-kriteria penting yang Bella catat dan wajib dimiliki oleh lelaki yang ingin bersamanya.

Kecerdasan dan ketampanan Aroon tidaklah berarti jika ternyata lelaki itu adalah pecundang dan temperamental. Selihai apapun Ia di dunia BDSM, tidak akan berarti jika ternyata di dunia sehari-hari Ia adalah seorang penjahat. Bella belum mengenal Aron yang sebenarnya, Ia hanya memiliki ketertarikan pada lelaki itu yang sebenarnya lebih tepat jika dikatakan sebagai rasa penasaran saja.

***

Lengkapnya ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
Bimabet
BAB 20. LITTLE DESIRE

Awas, mengandung adegan dewasa. Versi lengkap ada di sini http://wbnv.in/a/6dhTTJL

Duduk berbicara bersama lelaki yang membuat nyaman adalah hal baru yang sangat menyenangkan bagi Bella. Ia seperti menemukan dunianya yang selama ini Ia cari. Ia menggali dan terus menggali apa yang ada pada lelaki tersebut. Ternyata Aron adalah lelaki ambisius dan perfeksionis. Sisi lain dari dirinya adalah seorang dominant sadist jauh di atas yang Bella perkirakan. Lelaki itu sebelumnya masih terlalu dini untuk mengenal BDSM, tetapi dengan sangat cepat Ia bisa mempelajari dan mengendalikan dirinya.

"Sebelum aku tahu tentang BDSM, sebenarnya aku sudah memiliki kecenderungan suka mendominasi dan sadis. Hanya saja aku tahu safety-nya setelah mempelajari BDSM dengan sungguh-sungguh," ucap Aron.

Mirip dengan dirinya yang sudah memiliki ketertarikan pada rasa sakit dan suka melihat lawan jenis yang membuatnya patuh juga tunduk. Mungkin dalam hal ini Aron adalah pantulan dirinya, Ia dominant secara alami. Menguntungkannya, Ia memiliki kehidupan yang mendukung. Memiliki peran dan jabatan penting sejak masih sekolah terus menyuburkan jiwa kepemimpinannya.

Aron bukanlah lelaki kaya seperti Vincent, tetapi Ia jauh lebih menarik daripada lelaki hidung belang mesum tidak tahu diri itu. Bella merasa sangat nyaman berada di dekat Aron meskipun baru dua kali ini bertemu. Hatinya dengan tenang bersandar pada lelaki di depannya.

"Jadi, Kau meyakinkan diri kalau dirimu adalah submissive masochist?" tanya Aron. Bella mengangguk menelan apa yang sedang Ia makan.

"Apa saja yang Kau sukai?" lelaki itu terus mengejar apa yang telah Ia mulai.

"Apapun. Tapi sebenarnya aku belum tahu banyak, jadi aku belum tahu apa yang sebenarnya kusukai," jawab Bella.

"Oh, begitu. Humiliation, suka? Public play?"

"Nggak tahu, belum pernah," jawab Bella.

"Oh, iya. Kau belum pernah scene, ya? Tapi tidak limit itu, kan?" ujar Aron.

"Tidak," jawab Bella dengan cepat. "Itu pasti menantang," ucapnya.

Aron terkekeh kecil, setelah gadis itu mengorek apa yang dirinya sukai sekarang gilirannya membantu dirinya untuk bereksplorasi. Kalau bisa sekarang juga di sini.

"Duduklah di sini," Aron menepuk pahanya. Ia mengangguk menegaskan pintanya pada gadis itu.

Dengan ragu-ragu Bella mendaratkan bokongnya di pangkuan Aron, lelaki itu tersenyum puas dengan tingkah Bella yang malu-malu tetapi tidak bisa menolak. Tak lama kemudian, tangan Aron menyelinap masuk ke kemeja bagian depan gadis itu. Bella terkejut dengan apa yang Aron lakukan.

"Tenanglah, aku hanya ingin bermain di sini," bisik Aron.

Bella menggeleng, memohon dalam diam atas apa yang Aron lakukan. Tetapi lelaki itu mengabaikan apa yang Bella lakukan. perlahan gerakannya semakin terasa setelah Ia berhasil masuk ke dalam bra di balik kemeja kerja Bella.

"Aron," keluh Bella.

"You're a pervert girl, didn't you?" bisik lelaki itu di tengkuk Bella. Tangannya yang lebar menguasai gundukan di dada gadis itu sembari sedikit menekannya.

Bella menahan desah oleh rangsangan yang baru pertama kali dalam hidupnya Ia terima, seperti inikah rasanya berada dalam genggaman seorang lelaki yang Kau kagumi? Aron tak hanya mempesona dari sisi kecerdasannya, tetapi keterampilan tangannya juga sungguh mengagumkan.

"Ah, Sir," ucap Bella sangat pelan.

Ini di tempat keramaian seperti pertemuan sebelumnya. Tetapi apa yang Aron lakukan kepadanya jauh lebih menantang. Lelaki itu memijat bongkahan dadanya di tempat umum. Dirinya begitu kecil dalam dekapan dan dominasi Aron, nyaman, menyenangkan, tapi memalukan.

"Ah, malu, Kak," desis Bella.

"Sst, diam," ucap Aron. "Ini yang Kau inginkan, kan?"

"Mmm. tapi …"

"Say thank you, Bella," potong lelaki itu tak membolehkan gadisnya mengeluh dan menghentikan kegiatannya.

"Thank you, Aron," ujar Bella.

Aron melanjutkan permainan tangannya di balik kemeja Bella, berada di belakang gadis itu dan memberinya kepuasan sembari menghirup aroma sampo adalah anugerah terbesar hari ini. Pertemuannya dengan Bella sungguh menyenangkan.

"Kau senang?"

"Iya, tapi malu," jawab Bella.

"Malu adalah tujuan utama dari perlakuanku padamu. Kau senang bukan, kupermalukan seperti ini?" tanggap Aron.

"Mmm," erang Bella.

"Katakan, aku tidak suka jawaban seperti itu," ujar Aron.

"Iya, aku malu tapi suka," ucap Bella.

Rasanya tak ingin membuka mata karena di sekeliling, aktivitas mereka sudah pasti menjadi tontonan pengunjung seisi kafe. Jika bukan Aron yang melakukannya mungkin Bella sudah berteriak dan menggampar siapapun yang melakukan itu kepadanya. Tetapi tidak bagi lelaki itu, lelaki yang berhasil membuat mata dan hati Bella tersihir begitu saja karena ketampanan dan caranya bicara.

Jemari Aron semakin liar dan bergerak menjepit puncak dada gadis di dekapannya, membuat gadis itu terlonjak dengan sedikit erangan.

"Ssst, tenanglah, Sayang," bisik Aron.

"Buka matamu," titahnya. "Buka."

Ini adalah hal yang sangat membuat Bella malu tiada banding, walaupun ternyata tidak seisi kafe memandangnya tetapi tetap saja beberapa pasang mata tidak beralih darinya. Beberapa dari mereka juga ada yang berbisik-bisik kepada pengunjung lain. Bagaimana jika di antara mereka adalah teman sekantornya atau temannya saat kuliah dulu? Atau mungkin saudara jauhnya yang tidak Ia sadari? Bella menggigit bibir membayangkan hal itu.

"Mau sampai jam berapa kita di sini?" bisik Aron.

"Kak, kita pulang saja," ujar bella.

"Jam tutup kafe masih lama, Kau mengusirku?" jawab Aron.

"Tidak, maksudku bukan begitu, Kak. Aku malu, mau sampai kapan kak Aron mendekapku seperti ini?"

"Sampai aku bosan, Sayang," seringai Aron.

Siapa yang tidak terangsang jika diperlakukan seperti ini di tempat umum? Bella terengah menahan desah dan panas di bagian paling privatnya. Lelaki yang mendekapnya tampak menggila untuk membuat Bella tersiksa oleh kenikmatan di tangannya.

"Jika Kau duduk tenang di pangkuanku seperti ini, aku tidak akan menghukummu. Tapi kalau kau berontak, aku akan memberimu sesuatu yang tidak kau duga. Duduk yang tenang, Bella," bisik Aron.

Bella menyerap apa yang lelaki itu ucapkan dengan sangat serius, Ia duduk seperti biasa sembari menghabiskan makanannya dan membiarkan dadanya dimanjakan oleh Aron. Hingga akhirnya lelaki itu melepaskannya menjelang kafe ditutup, tak ada protes yang Bella lontarkan karena khawatir lelaki itu akan menghukumnya.

Aron mengantarkan gadis itu sampai di depan kontrakan. Awalnya Bella menolak dengan halus, tetapi Aron tahu Bella takut jika dirinya mengusik privasi gadis itu.

"Aku hanya ingin memastikan Kau selamat sampai rumahmu," ujar Aron.

"Terima kasih atas semuanya," tanggap Bella.

"Habis ini langsung tidur?"

"Tidak, aku harus menyelesaikan deadline untuk besok pagi," jawab Bella. Ia harus mengurus keinginan bosnya yang aneh dan menjijikan.

"Oh, baiklah. Jangan lupa jaga kesehatanmu, Bell,"

"Iya, Kak," jawab Bella.

"Kau memanggilku dengan apa sebenarnya, 'Kak' 'Aron' atau 'Sir'?" Aron terkekeh membuat Bella tersipu malu.

"Tidak tahu lah belum nemu yang nyaman saja, Kak," jawab Bella.

Pertanyaan ini sepertinya adalah kode Aron untuk Bella, Ia pernah mendengar gadis itu memanggilnya 'Sir' di tengah aksi mereka. Bella hanya tersipu melihat Aron di kursi kemudinya memperhatikan dirinya.

***


Versi lengkap silakan kunjungi link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd