Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Jerk & Pervert Girl

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAB 21. CRAZY DRUNKEN

"Vincent, aku mendapat banyak pengakuan jika beberapa betina di kota ini akan berkencan denganmu. apa itu betul?” Lexa menyilangkan kedua tangannya di dada dan mencegah Vincent di pintu masuk kelab.

“Iya, dan banyak dari mereka adalah karyawanku. Ada masalah denganmu?” tanggap Vincent.

Lexa menggelengkan kepala, “Apa Kau sedang bunuh diri, Vin?”

“Ada apa Lex?” Geisha datang dan melihat kedua temannya sepertinya sedang membicarakan hal penting. Lexa berbisik.

"Kenapa, kenapa Kau melakukan semua ini, Vin?" Geisha menggelengkan kepala. Lexa terisak sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Ibuku menagihku lagi untuk menikahinya," jawab Vincent putus asa.

"Primadona?"

"What, come on Man, Kau lelaki. Kau punya kekuatan untuk menolak, dan itu adalah hakmu. Kau tidak harus melakukan apa yang tidak kau kehendaki," ujar Geisha.

"Lalu aku akan menjadi gelandangan?" gumam Vincent putus asa.

"Coba Kau pikirkan baik-baik, lebih penting mana dirimu atau harta orang tuamu. Vin, apa Kau tidak sadar sebenarnya hingga saat ini Kau hanya robot keluarga besar Sidomuktiningjaya. Kau terpilih menjadi pimpinan grup karena Kau mampu, dan mereka memanfaatkan kemampuanmu," tutur Geisha panjang lebar.

Sebenarnya Vincent sudah tahu tentang apa yang Geisha katakan sejak dulu. Tetapi Ia masih menggandrungi hidup mewah dari kekayaannya yang semu. Satu-satunya tempat yang membuatnya jadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura menjadi anak polos nan suci adalah di kelab ini dan tentunya di depan Bella. Sekretaris barunya itu telah tahu sisi hitam putih Vincent sejak hari pertama Ia menginjakkan kaki di gedung megah perusahaan Vincent.

“Maka dari itu aku akan tetap melakukannya, bukankah menyenangkan kencan dengan banyak wanita di setiap malamnya?” ujar Vincent.

“Bukan begitu caranya Vin,” ucap Lexa di tengah isaknya.

“Lalu apa bedanya dengan aku yang meniduri kalian setiap malam?!” Vincent meninggikan nada suaranya. Kedua perempuan di depannya terdiam.

Vincent benar-benar muak dengan semua ini, kehidupan yang dikemudikan oleh kedua orangtuanya, menjadi sempurna dengan sukses di usia muda, dikagumi banyak orang, menjadi objek dari kecemburuan para gadis dan sepupu-sepupunya. Semua hanyalah kebahagiaan semu, semua bukan keinginan dirinya.

Foto profil dengan nama kontak Zhavia Arabella memenuhi layar handphone-nya, gadis itu menelpon. Tetapi belum sempat Vincent menyentuh fitur terima panggilan karena kebingungannya, gadis itu sudah mematikannya terlebih dahulu. Vincent tersenyum kecil, gadis itu semakin membuatnya merasa gemas.

Entah Vincent sadari atau tidak, Ia selalu tertarik untuk meledek sekretaris barunya tanpa alasan yang jelas. Ia merasa puas ketika melihat Bella memposting kejengkelannya di media sosial. Lucu sekali karena gadis itu tidak sadar bahwa Vincent selalu menguntitnya tanpa Ia ketahui.

Empat digit di layar handphone-nya menunjukkan jam sembilan malam, Vincent bergegas melangkahkan kakinya menuju tempat di mana Ia memarkirkan mobil hitam andalannya. Malam ini surga-surga yang Ia dapatkan berkat bantuan Bella telah mulai datang. Bantuan Bella? Vincent bergeleng enggan mengakui bahwa gadis itulah yang membantunya melampiaskan kegilaan akhir-akhir ini.

Sebuah kamar kelas deluxe menjadi kediamannya malam ini, perempuan rambut panjang dengan sedikit ikal tampak malu-malu menyilangkan kaki di sisi springbed. Vincent tidak asing dengan perempuan itu meskipun Ia tidak tahu persis nama dan posisinya di perusahaan. Jika dipikir-pikir menggelikan sekali bercinta secara bergilir dengan masing-masing karyawannya setiap malam.

"Selamat malam, Bapak," ucap perempuan itu dengan dibuat-buat. Vincent tahu betul perempuan itu sangat gugup.

Bagaimana tidak, hampir setiap orang di kantornya mengenalnya sebagai CEO yang dingin dan sempurna. Tetapi malam ini Ia benar-benar menunjukkan taringnya yang mengerikan.

"Sebelum aku mengizinkanmu bercinta denganku, aku memiliki permintaan dan Kau harus berjanji untuk memenuhinya," ucap Vincent.

"Iya, Pak?"

"Jangan sampai kau membuka mulut tentang hal ini. Jika Kau sampai berani buka mulut, maka mulutmu dan mulut keluargamu akan kupastikan sobek," ujar Vincent dengan nada datar nan mengerikan.

"Ba … baik, Pak. Saya berjanji," ujar perempuan berambut ikal panjang yang cukup mempesona, wajahnya pucat pasi.

Vincent berdecih, bagaimana Ia bisa terangsang jika santapannya saja seperti ini, Ia berjalan menuju kulkas mini di sudut ruangan, mengambil sebotol air mineral dingin, lalu membanting pintu kulkas itu dan membuat perempuan yang bersamanya terlonjak ciut.

"Tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan dunia karirmu. Aku tidak peduli dengan posisi dan jabatanmu di kantorku, jadi layani dengan sebaik mungkin," ucap Vincent sembari membuka tutup botol dengan kasar.

Vincent menyandarkan punggungnya di sofa, menempatkan satu tumitnya di atas paha yang lain, tatapannya meremukkan nyali perempuan itu dengan tangan disilangkan di dadanya. Kupu-kupu malam sekaligus karyawan yang dipesannya mulai menggodanya dengan sedemikian mungkin. Namun sayangnya Vincent yang suasana hatinya sedang tidak karuan sama sekali tidak terpengaruh oleh godaan perempuan tersebut.

Lelaki tampan dan royal itu mengeluarkan ponselnya, bicara sesuatu pada seseorang lalu dengan bosan kembali menonton tarian-tarian erotis perempuan itu. Vincent maklum jika perempuan di depannya terkejut sekaligus takut ketika mendapat klien dirinya, tetapi itu sudah menjadi nasib karyawan-karyawannya yang memiliki kerja sampingan sebagai kupu-kupu malam. Vincent pun tidak memaksa, karena lelaki itu kenal dengan semua mucikari di kota ini yang mengurus anak-anaknya. Yang menjadikan perempuan itu ada di kamar ini adalah mucikarinya, dirinya hanya menjadi pelanggan biasa. Bella memang hebat bisa mengulik kupu-kupu malam yang bertebaran di kantornya, Vincent tersenyum mengingat gadis itu.

Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu kamar mereka, dengan masih menggunakan penutup wajah orang itu memberikan sebotol vodka kepada Vincent. Orang itu mengangguk lalu pergi mengabaikan ucapan terima kasih dari Vincent.

Seperti biasa, Vincent menenggak minuman memabukkan itu langsung dari botolnya. Tak peduli dengan tatapan nanar perempuan di depannya, Vincent terus meneguk sambil sesekali bersendawa.

“Tidak usah memandangku seperti itu, aku tidak suka,” ujar Vincent.

“Baik, Pak,” sahut perempuan tersebut masih dengan bahasa formal. Ia terkejut bukan kepalang karena orang yang masuk dalam jajaran tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja, kini sangat kontras dengan yang dikenalnya selama ini. CEO-nya menenggak vodka tanpa ragu-ragu di depannya.

Vincent mengangguk dan mengacungkan jari telunjuknya ke springbed, memberi isyarat pada perempuan itu untuk melaksanakan tugasnya. Seperti sudah menjadi candu, lelaki itu selalu membuang rasa penatnya dengan mabuk dan berhubungan badan. Vincent sudah tidak peduli dengan godaan perempuan itu yang melepaskan helai demi helai pakaiannya dengan sensual. Ia justru menarik kasar dan melemparkan semua kain yang melekat di tubuh perempuan itu, menindihnya, dan membisikkan sesuatu di tengah saranya yang mulai melantur.

"Bella," panggil Vincent dengan suara parau.

"Pak, mohon maaf nama saya bukan Bella," sahut gadis itu tak mengerti.

“Bella, aku merindukanmu,” ulang Vincent.

“Pak?”

“Arabella, pujaanku.”

Miris, Vincent terus menyebut nama gadis itu selama Ia melakukan aksinya. Racauannya membuat perempuan itu bingung sekaligus takut.

“Bella siapakah yang Bapak maksud?” ujarnya.

Vincent tak menjawab, Ia terus memompa apa yang Ia inginkan sampai perempuan di bawahnya mendesah senang. Perempuan itu dengan mudah menerima apa yang Vincent lakukan meskipun dengan seribu pertanyaan di benaknya. Ia menepiskan ucapan bos tertingginya karena mungkin bosnya sedang memikirkan nama perempuan yang disebut.

“Terima kasih, Pak. Anda membuat saya senang, sekarang saya akan berganti memuaskan, Anda. Apakah …”

“Baiklah, Arabella Dewiku,” racau Vincent.

***
 
BAB 22. SUSPICIOUSNESS

Bella menghela napas sembari tersenyum lega di balik pintu kamar tidurnya. Pertemuannya dengan Aron adalah pengalaman yang sangat mendebarkan, lelaki itu menuntunnya berbuat intim di depan umum dan itu sangat membuat Bella panas. Ada sesuatu yang tidak bisa disangkal di bawah sana, gadis itu basah oleh sentuhan-sentuhan mematikan Aron. Sampai detik ini dadanya masih bisa merasakan bagaimana tangan kekar itu bergerak.

Ketertarikan seksualnya yang berbeda dari orang biasa dan sangat-sangat tabu jika dijabarkan, kini mulai menemukan titik terangnya. Aron menunjukkan bahwa mereka berada di tempat yang sama, saling melengkapi dan saling memenuhi satu sama lain.

Lalu sekarang, Bella bukanlah gadis polos lagi. Ia telah melihat bahwa dirinya bukanlah gadis kecil menggemaskan seperti sebelumnya. Seseorang telah memberinya kenikmatan di bibir dan dadanya Bella sangat malu ketika teringat hal itu. Tetapi bagaimanapun Aron adalah lelaki yang baik. Ia bukanlah bosnya yang menjijikkan dan banyak bertingkah.

Bella mengedikkan bahu ketika Ia memikirkan Vincent, mereka bertemu setiap hari di koridor yang sama, di lift yang sama, dan terkadang di meja yang sama. Tetapi luka gadis itu akan perlakuan Vincent di awal perkenalan mereka takkan terlupakan oleh Bella. Mungkin Bella bisa memaafkan Vincent, tetapi Ia sama sekali tidak bisa melupakannya begitu saja. Vincent tetaplah orang yang sama yang melecehkannya di lampu merah saat Bella pergi untuk mencapai asanya.

Gadis itu menggeleng, menolak kenangan buruknya mengganggu tidurnya. Ia menyesal karena pengantar tidurnya adalah kenangan kelakuan bobrok Vincent. Andai Ia bisa menentukan jalan hidup ini, Ia mau hidupnya bahagia seperti di surga. Tapi kondisinya yang sebatang kara adalah hal yang sangat menyedihkan.

Bella bukanlah seorang anak yang berada di tengah keluarga harmonis seperti Vincent. Vincent sangat beruntung berada di tengah kedua orangtua yang utuh meski nasibnya berada di tangan mereka. Orangtua Vincent adalah pemegang kuasa atas semua yang ada pada lelaki itu. Ia dididik dengan keras hingga menjadi CEO muda yang disegani banyak orang. Ia menguasai semua bahasa internasional dan beberapa keterampilan di bidang seni dan olahraga.

Vincent adalah gambaran real pangeran impian setiap perempuan muda maupun sudah berumur. Siapakah ibu yang tidak ingin memiliki menantu seperti Vincent? Siapakah perempuan yang tidak mau disandingkan dengan Vincent?

"Hanya aku yang tidak mau dengan orang seperti dia, lelaki terkutuk dan menjijikkan,” gumam Bella pada dirinya sendiri.

Ia berangkat ke kantor seperti biasa, berjalan kaki dan menikmati mentari pagi dengan suka cita. Menepis kenangan memalukan ketika melewati lampu merah, dan berjalan seperti biasa memasuki menara gading Sidomuktiningjaya. Sesekali Bella mengangguk ketika berpapasan dan tak sengaja berkontak mata dengan karyawan lain. Ia menganggap itu adalah upaya yang paling sopan di Indonesia. Tetapi ketika telinganya mendengar bisikan kecil yang sangat mengejutkan, Ia refleks mengerutkan dahi.

“Itu yang namanya Arabella.”

Ia pernah mengalami ini sebelumnya, Ia seperti dejavu. Ia pernah mengalami ini sebelumnya tetapi hanya di dunia maya, ketika perang batinnya dengan Vincent membara. Tetapi kini Ia mendengar dengan kepala sendiri bahwa ada yang berbisik-bisik menyebut namanya dengan sinis. Bella menghela napas berusaha tidak peduli karena ini sangat mengganggu harinya.

Ketika Ia memasuki lift khusus yang langsung menuju ruang CEO, kekhawatirannya memuncak. Bagaimana jika Keilla dan Virra ternyata juga membicarakannya di belakang? Ah, itu tidak mungkin.

"Pagi, Bella. Kau berjalan sambil melamun," ujar Chelsea.

"Ah iya, ekhm. Pagi Chelsea," tanggap Bella dengan tergesa-gesa.

Melihat Chelsea, Ia semakin yakin bahwa orang-orang terdekatnya di kantor ini tidak membicarakannya di belakang. Bella mulai menghidupkan laptop dan membuka agenda hari ini. Melakukan tugas sesuai agenda dan beralih ke tugas lain apabila diminta Chelsea. Sesekali Bella menajamkan telinga kepada tiga orang di dekatnya.

"Bell, bisa Kau antar laporan kita ke Pak Vincent? Aku langsung menggunakan laptop karena ini belum fix," ujar Chelsea.

"Baik, Chelsea."

Sekretaris seniornya memang sangat perfeksionis, tetapi itulah yang membuat ketiga anak buahnya terpacu untuk belajar dengan keras. Bella membuka pintu ruangan Vincent dan dengan hati-hati membawa laptop Chelsea, lelaki itu tampak sedang bicara di gagang teleponnya. Kakinya dengan sangat anggun naik di meja tempat komputer dan seperangkatnya bertengger.

“Pecat semua yang membicarakan saya di belakang,” ucap Vincent.

Bella bergidik ngeri mendengarnya, mungkin kali ini Vincent sedang mengambil keputusan dengan ego-nya. Tetapi Bella tidak bisa berbuat apapun, Ia hanya akan bertindak jika apa yang Vincent lakukan merugikan dirinya.

“Nanti saya lanjutkan,” ucap Vincent di telepon. Lalu Ia menoleh ke arah Bella sembari mengangkat alisnya.

“Ada apa, Bella?”

“Laporan dari Chelsea,” ucap Bella. Vincent menerima dan langsung memeriksanya. Tak ada komentar apapun yang keluar dari mulut Vincent. Bella berdiri menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

"Tinggal saja, aku tidak mungkin menyelesaikannya dalam satu menit. Atau kamu mau menemaniku di sini?" ucap Vincent. Satu matanya berkedip di akhir kalimat tanyanya.

"Oh tidak, Pak," Bella dengan cepat melangkahkan kakinya dari area berbahaya. Mengabaikan Vincent yang menatapnya penuh arti.

Tetapi yang justru membuat Bella berpikir berulang-ulang adalah ucapan Vincent dengan seseorang di telepon barusan. Apakah Vincent benar-benar akan memecat karyawan-karyawan di sini hanya karena mereka membicarakannya? Bukankah Vincent sudah lama tahu bahwa dirinya memang menjadi bahan gosip yang dielu-elukan setiap karyawan perempuan di perusahaan ini?

“Bella,” panggil Vincent menghentikan keempat sekretarisnya beranjak dari kantor Vincent.

“Iya, Pak?” ujar Bella.

“Kau mau istirahat?” tanya Vincent.

Bella merasa jengkel karena sudah pasti Vincent akan memberinya tugas dan merampas haknya untuk beristirahat siang ini.

“Sayangnya ada berkas yang harus segera kita selesaikan dan Kau harus membantuku. Kau ingat fixasi proyek di Palangkaraya?” ucap Vincent, persis seperti dugaan Bella.

“Baik, Pak,” ujar Bella dengan jeritan di kepalanya.

Ketiga sekretaris Vincent yang lain mengangguk sopan dan membiarkan Bella melakukan tugas yang diberikan Vincent..

“Kemarin malam Kau menelponku dan Kau matikan sendiri, ada apa denganmu?”

Alih-alih membicarakan pekerjaan kantor, Vincent malah membicarakan hal pribadi setelah Bella masuk ke ruangan pribadinya. Bella yang tidak menduga hal ini, terkejut sekaligus takut.

“Emm, saya …”

“Kau menggodaku?”

“Tidak, Pak! Saya salah pencet,” ucap Bella setengah berteriak.

“Oh, salah pencet,” Vincent tersenyum miring.

“Harusnya pencet di sini, ya?” Vincent menarik batang hidung Bella hingga membuat gadis itu menganga karena kehabisan napas.

“Pak, Pak,” erang Bella.

“Atau di sini?” Vincent melepaskan tangannya tetapi Ia beralih mencengkeram dada kanan Bella.

Plak!

Tanpa berpikir panjang lagi, Bella langsung mendaratkan tamparan keras di pipi Vincent.

“Bapak tidak seharusnya kurang ajar begini!” desis Bella, air matanya menggenangi pelupuk dan satu detik kemudian tumpah membasahi pipinya.

“Hm?” Vincent mengangkat satu alisnya.

“Karena Kau anak nakal, Bella. jadi aku harus melakukan ini,” ucap Vincent pelan namun dalam, membuat bulu kuduk Bella berdiri.

***

Novel lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 23. THE RUMOUR

Ruangan Vincent yang dingin membuat Bella semakin merinding, hati kecilnya merasa takut tetapi otaknya dengan keras menolak dan melawan apapun yang Vincent lakukan kepadanya. Ia tidak boleh gentar, Ia harus melawan. Sudah cukup Vincent memperlakukannya dengan sangat hina selama ini, Ia tidak mau semakin hancur dan terluka.

Meremas dada perempuan tanpa adanya persetujuan adalah wujud pelecehan seksual, Bella naik pitam hingga tangannya refleks bertindak. Dan Ia sungguh tidak menyesal, Vincent harus diberi pelajaran.

"Sebelumnya aku akan mengucapkan terima kasih karena berkat usahamu aku bisa mengencani juga meniduri banyak perempuan cantik," ujar Vincent membuka suara setelah beberapa detik hening.

Rupanya tamparan tangan Bella terlalu kecil untuk Vincent rasakan, lelaki itu masih bisa bersuara dengan nyaman. Bahkan Ia mengapresiasi gadis itu dalam membantu kegiatan bejatnya.

“Anda akan menanggung dosa atas semua yang Anda lakukan, Pak. Ingat, hukum karma pasti berlaku,” desis Bella dengan suara lirih menahan amarah. Vincent tertawa mendengarnya, membuat gadis itu semakin jengkel.

“Saya tahu Anda sudah merasa berdosa, tetapi sayangnya Anda terlalu bebal dan nekat. Anda memecat karyawan yang membicarakan Anda di belakang karena mereka sudah tahu tabiat Anda yang sebenarnya, kan?” ucap Bella.

“Sayangnya dugaanmu salah, Bella,” tanggap Vincent.

“Aku justru memanggilmu ke sini untuk membicarakan semua ini, termasuk alasanku menyingkirkan mulut-mulut busuk itu,” ujar Vincent.

Bella tertawa miring tidak percaya, Vincent hanya berdalih dengan semua ini. Lelaki pemabuk itu pasti sudah gila jika Ia membiarkan namanya tercemar begitu saja, karena itu sama saja Ia mempertaruhkan jiwa dan raganya.

“Kau tidak tahu mengapa mereka berbisik-bisik menyebut namamu hari ini?” ujar Vincent.

“Saya tidak peduli,” sahut Bella. “Kalaupun mereka iri dengan karir saya yang melejit pesat, seharusnya itu menjadi motivasi mereka untuk belajar dengan cepat,” ketus Bella.

Vincent tertawa terbahak-bahak, “Dasar anak sombong. Tidak punya pikiran terbuka kamu ini, ya?”

“Bella, mereka bukan membicarakan prestasimu, mereka sedang menggosipimu kalau kamu kupu-kupu hidung belang. Eh, apa itu namanya, wanita malam?” Vincent berlagak mengerutkan dahinya, menyipitkan pandangannya.

Bella terbelalak tidak percaya, “Bagaimana bisa, Pak?”

“Mana saya tahu,” Vincent mengedikkan bahu sembari menampilkan ekspresi yang paling menyebalkan lagi.

Bella terpaku di tempat, bagaimana bisa perempuan-perempuan di kantor ini membicarakan dirinya dengan tuduhan hina itu? Bagaimana bisa, sedangkan mereka tidak saling kenal. Bella hanya kenal beberapa orang di divisi pengadaan barang dan aset karena dua bulan ditempatkan di divisi itu dan ketiga sekretaris Vincent.

Bibirnya bergetar, matanya nanar mendengar fakta bahwa ternyata hal yang sangat menjijikkanlah yang terlintas di kepala mereka akan dirinya. Bella tidak terima itu. Itu tidak benar!

“Tenang saja, aku akan mencari tahu siapa yang memulai gosip ini, lalu menyingkirkan dan membereskannya, jika kau memang perempuan baik-baik,” ucap Vincent.

Tentu saja Bella sedikit lega mendengarnya, pada nyatanya Ia bukanlah wanita malam seperti yang orang-orang bicarakan.

"Terima kasih, Pak," ucapnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Aliran oksigennya menuju otak seperti berhenti sekarang.

“Tapi jika ternyata Kau sebaliknya, maka Kau akan tahu risikonya,” lanjut Vincent.

"Kau mengakui bahwa dirimu perempuan suci, bukan?" seringai Vincent.

"Maksud saya bukan begitu, Pak. Saya hanya menolak tuduhan yang semestinya tidak ditujukan kepada saya," ucap Bella. Vincent memutar bola mata mendengar ucapan Bella.

Hari ini bagai hari kiamat bagi Bella, harga dirinya telah diacak-acak secara brutal di tempat Ia mengais rejeki. Rasanya sakit sekali, apakah seperti ini kejamnya drama di dunia kerja? Sikut menyikut tak peduli dilakukan kepada orang lain meskipun dengan cara yang sangat keji. Bella sangat terjatuh, ulu hatinya terasa nyeri. Teman-teman satu kantornya memfitnahnya habis-habisan.

Sekembalinya Chelsea, Keilla, dan Virra dari kafetaria kantor, suasana semakin menggerahkan. Ketiga perempuan itu diam membisu seperti menyimpan sesuatu. Mungkinkah ketiga perempuan itu sudah mendengarnya? Mungkin saja, mereka telah pergi ke kafetaria, tempat para karyawan-karyawan bertemu satu sama lain dan mengobrol sembari mengisi perut.

Bella melanjutkan pekerjaannya meski dengan perasaan hancur, Ia menunggu sampai jam pulang tiba. Jika hari sebelumnya Ia menunggu jam pulang dengan gusar karena akan bertemu lelaki pujaannya. Maka sekarang justru kebalikannya. Bella panik, Ia tidak berani menoleh kepada siapapun yang bersamanya. Ketiga teman kerjanya sekarang bagai hantu yang mengerikan di mata Bella.

Seusai jam pulang tiba, keempat sekretaris Vincent berpisah tanpa ucapan apapun. Sungguh ganjil karena biasanya mereka suka berlama-lama mengobrol setelah jam kerja habis. Bella pun langsung menuruni tangga manual bukan lift seperti biasanya. Ia menuju toilet yang kebetulan masih sepi.

Saat Ia buang air di dalam bilik, tanpa sengaja Ia mendengar namanya disebut-sebut lagi. Tetapi sekarang jauh lebih jelas. Perempuan-perempuan di kantor ini memang gila gosip, tak peduli di manapun mereka berada.

“Iya, jadi katanya, Beliau menyebut-nyebut nama Bella pas, ekhm sama si itu.”

Bella hampir tersedak saliva sendiri, untungnya Ia bisa menahannya. Jadi, saat Vincent melakukannya semalam, Ia menyebut namanya? Apakah lelaki itu mabuk? Sialan!

Bella mengutuk dalam hati, pantas saja mereka mengira dirinya adalah kupu-kupu langganan Vincent. Kurang ajar sekali memang lelaki itu. Kakinya terasa lemas seperti jelly, Ia bahkan merasa lebih baik untuk tidak keluar dari toilet saja. Tapi apa gunanya? Mulut-mulut dan telinga itu tetap akan bekerja semestinya, menggaungkan namanya dengan sangat hina.

Bella menahan emosi keluar dari gedung neraka yang menjulang tinggi, mengabaikan tatapan sinis dari orang-orang yang melihatnya. Lalu Ia memesan taxi agar cepat sampai kost dan tidak perlu berjalan menahan gondokan di dadanya. Bella tak kuasa menahan air mata yang bermuara di pelupuk matanya. Hari ini Ia sudah menangis, apakah Ia harus menangis lagi? Mengapa hidup ini sangat tidak adil?

Dirinya adalah perempuan yang dirampas haknya untuk berkarya dengan aman dan nyaman. Lelaki itu telah merampasnya, juga telah menghancurkan harga dirinya. Ia mengutuk Vincent yang telah dengan sembarangan menyebut namanya.

Mengapa harus namanya yang Ia sebut saat bercinta dengan orang lain? Itu karena Vincent mabuk. Tapi mengapa harus mabuk? Bella menggelengkan kepala. Sedang mabuk ataupun tidak, Vincent tidak seharusnya menyebut namanya. Tidak ada hak untuk membawa-bawa namanya di hadapan orang lain, apalagi jika sedang melakukan hal yang sangat pribadi.

Bella benar-benar bingung kepada Vincent. Sebenarnya ada apa dengan lelaki itu? Lelaki itu sebenarnya bodoh, tapi sulit ditebak dan sering di luar dugaan.

Bella tertidur bersama air mata yang mengalir, lalu terjaga oleh suara berisik anak-anak kost yang pulang tengah malam. Kelopak matanya sembab, tetapi bukan Bella jika bangun tidur tidak membuka handphone.

"PHK Massal di Menara Gading Sidomuktiningjaya"

Bunyi judul itu membuatnya terperanjat, sekitar satu jam lalu berita yang sangat mencengangkan rilis. Beratus-ratus karyawan Vincent di-PHK tiga jam setelah jam kantor hari ini berakhir. Keputusan yang cukup kejam. Tanpa ada aba-aba apapun, ratusan karyawan itu ditendang paksa dari tempatnya bekerja. Vincent benar-benar kejam. Tetapi anehnya semua itu sudah mendapat persetujuan seluruh dewan direksi.

Bella termenung. Mengapa Vincent melakukan ini? Apakah ucapannya tadi siang serius? Jadi mereka dipecat karena membicarakan dirinya? Membicarakan dirinya pasti juga membicarakan Vincent, mungkin itulah penyebabnya.

Beberapa menit kemudian Ia terpikir, semoga dirinya tidak termasuk yang dipecat. Bisa saja kena pecat karena Ia biang dari semua ini.

***

Simak lebih lengkap di sini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 24. THE GREAT CHALLENGE

Vincent kewalahan menghadapi bocornya skandal seks dirinya. salah satu perempuan yang Ia tiduri dengan nekat membuka mulut dan menyebabkan huru-hara di seantero kantor perusahaan Sidomuktiningjaya. Parahnya, nama gadis yang mewarnai gelap mimpi tidurnya terseret jauh dan dituduh sebagai wanita malam langganan Vincent. Vincent mau-mau saja memiliki gadis itu, tapi tidak dengan cara berbagi. Ia tidak rela jika Bella melayani banyak pria.

Menyikapi masalah itu, Vincent tidak ambil pusing. Ia menyingkirkan semua corong-corong sumber masalah di kantornya dalam hitungan jam. PHK massal dengan cara tidak hormat terjadi malam itu juga. Vincent memiliki hak penuh untuk mengelola perusahaan itu, dewan direksi senior yang membersamainya hanyalah paduan suara dan pemandu sorak, formalitas semata.

“Ini sangat penting untuk menjaga kepercayaanku. Tolong bekerja sama dengan baik dan jangan mempersulit diri. Tidak usah dibahas dan diungkit lagi karena ibuku akan sangat shock jika tahu,” ujar Vincent.

Tidak ada yang berani melawan di perusahaan yang dikuasainya, karena hanya akan sia-sia. Vincent hanya tunduk pada keluarga, akar dari semua kekuasaannya saat ini. Ia memang masih bergantung pada keluarga dan Ia mengakui itu. Tetapi suatu hari nanti Ia akan berdiri tegap sendiri, Ia yakin. Hanya menunggu waktu yang tepat. Sembari membesarkan nama dan hatinya, Vincent dengan sabar menghadapi semua yang ada pada saat ini.

"Bagaimana, Vin? Kau senang seperti tinggal di surga?" ledek Gerry.

"Sialan Kau, Ger," Vincent menoyor kepala Gerry dengan ujung botol.

Ketiga temannya sudah tahu dengan ulah bejat Vincent yang Lexa dan Geisha ceritakan. Awalnya Tommy terkejut, tetapi Farell dan Gerry justru tertawa terbahak-bahak dengan ulah Vincent kali ini. Sepanjang hidup, Vincent selalu gagal dengan rencana-rencana indahnya. Tepat dengan dugaan Farell dan Gerry, ulah Vincent gagal total bahkan menunai tragedi menggelikan.

"Sudah kubilang, kan. tidak ada mulut perempuan yang beres," ujar Farell.

"Memangnya semua mulut lelaki beres?" rajuk Geisha.

"Bukan begitu, maksudku perempuan itu identik dengan bergosip dan tidak bisa menjaga rahasia," ucap Farell.

"Idih, laki-laki kalau di belakang perempuan juga begitu," tanggap Geisha.

"Iya, parahnya yang mereka bicarakan itu sangat-sangat jauh mengerikan dari pada obrolan perempuan," sambung Lexa.

"Emangnya mereka bicara apa?" tanya Tommy.

"Apa yang kalian bicarakan di belakang perempuan itu tentang aset-aset perempuan, ada juga yang sharing testimoni setiap habis menidurinya. Jadi jangan heran kalau Kau dapat klien dari temannya klienmu sebelumnya, Geisha," papar Lexa panjang lebar.

Geisha meringis jijik, yang lain hanya tertawa-tawa kecil mengakui bahwa itu semua tidak salah. Tetapi Vincent tetap menampakkan wajah kakunya di antara mereka, Ia sedang tidak baik-baik saja. Sesekali layar handphonenya menampilkan notifikasi pesan dari jajaran HRD yang sedang lembur.

"Lalu apa yang Kau lakukan sekarang, Vin?" ucap Tommy melihat Vincent sibuk sendiri.

"Kupecat semua yang membicarakanku di belakang," jawabnya ringan.

"Walaupun itu yang tidur denganmu kemarin?"

"Iya," jawab Vincent lagi.

Suasana hening beberapa saat sebelum akhirnya Farell berujar, "Aku juga benci orang yang bermuka dua. Di depanku Ia memanfaatkanku di belakang Ia menjelekkanku."

"Farell, itu bukan bermuka dua lagi," ucap Lexa di tengah kebingungan teman-temannya.

"Lalu berapa?"

"Terserah," jawab Lexa ketus.

Geisha tertawa kemudian menyesap cairan dari pipa di gelasnya.

Malam sudah hampir habis, seperti biasa geng Vincent memang sangat suka menghabiskan malamnya di kelab. Apapun bisa mereka lakukan di sini sesuka hati. Jika mereka bosan untuk dirty party, masih banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk mendengarkan Lexa dan Geisha membicarakan drama Korea yang sedang mereka ikuti.

Seperti halnya Vincent, mereka semuanya bukan pengangguran yang rumahnya di kelab. Namun kelab adalah pelarian favorite mereka dari penatnya kehidupan yang mereka jalani.

"Kalian suka sekali membicarakan oppa-oppa, mengapa tidak didatangi saja ke sana?" timbrung Tommy.

"Tom, Kau tidak tahu kultur di sana. Asal aku mau saja, aku bisa memacari salah satu artis favorite-ku. Tetapi aku belum siap menerima risikonya," ucap Lexa.

"Risiko? Emangnya apa yang Kau takutkan?"

"Kegilaan penggemar mereka bisa menular. Puluhan juta penggemar yang tadinya membuat kita serasa disembah akan berbalik mencelakakan kita. Aku tidak mau gila hanya karena menikah dengan artis Korea," Lexa kesal karena para lelaki yang ada di sekitarnya tidak mengerti. Mereka tidak suka mengikuti gosip seru di negeri para oppa tinggal.

"Seperti penggemar Vincent ya? Mereka mati-matian membuatnya sempurna hanya untuk mereka elu-elukan sendiri?" celetuk Gerry.

"Mengapa semuanya dianalogikan kepadaku?!" teriak Vincent.

Teman-teman laknat yang tidak tahu diri memenuhi ruangan dengan tawa menyebalkan. Secara tidak langsung mereka sedang menyinggung kultur di keluarga besar Vincent. Orangtua Vincent bersikeras agar putranya sukses dan menjadi subjek kecemburuan para sepupunya. Mereka bangga dengan kesuksesan Vincent tanpa bertanggung jawab dengan kondisi batin anak itu.

"Mengapa Kau marah, Vin? Memang pada kenyataannya begitu. Lalu Kau tidak bisa berbuat apa-apa, kan?" otot Gerry.

"Akan kubuktikan kalau kalian semua salah. Aku bisa keluar dari semua ini," geram Vincent.

"Baiklah. Satu hal saja, apa Kau bisa menentukan pernikahanmu sendiri tanpa kehendak mereka?" racau Gerry yang sepertinya sudah setengah mabuk.

"Aku terima tantanganmu," desis Vincent.

"Aku ikut bertaruh," Farell mengangkat tangannya.

"Aku tebak Kau hanya akan menyesal, Vin," ujar Tommy mengejek.

"Memangnya Kau sudah punya calon istri selain yang sudah disodorkan Ibumu, Vin?" tanya Geisha.

Vincent mengerutkan dahi lalu membuka mulutnya, "Belum." Jawabnya singkat membuat semua yang ada di ruangan VVIP kelab tertawa.

Vincent tidak berekspektasi untuk memiliki pasangan hidup dengan kriteria tertentu. Tetapi ketika Ia dihadapkan dengan perjodohan bisnis lagi-lagi Ia merasa sangat ingin memberontak. Menikahi Primadona yang cantik jelita pilihan Ibunya sama dengan membawa kamera perekam hidupnya ke kehidupannya yang baru. Nasibnya tidak akan berubah meskipun dengan status keluarga baru.

"Belum? Bagaimana jika kau nikahi saja anak ingusan itu, Vin. Kulihat Ia sangat membencimu. Itu pasti sangat seru jika Kau bisa menundukkannya," seringai lexa.

"Si Bella kecil itu?" ujar Geisha.

"Iya, yang tempo hari mengamuk di restoran," Lexa tertawa.

"Aku bisa melakukannya. Asal masing-masing kalian memberiku kado pernikahan termahal yang kalian punya," Vincent menjentikkan jarinya.

"Vin! Kau gila, ya?" Tommy melotot ke arah lelaki itu.

"Biarkan saja, Tom. Ia sudah gila sejak dulu," timpal Gerry.

"Kau serius dengan ini semua, Vin? Kukira kita bercanda," ucap Farell.

"Sialan kalian!" umpat Vincent.

"Tapi tenanglah, usaha permusikanku tidak akan bangkrut jika hanya untuk membelikanmu mobil sembilan ratus juta," ujar Farell.

"Itu terlalu murahan," decih Vincent.

"Yang penting kau buktikan dulu, Vin. Urusan kado pernikahan untuk menambal kemiskinanmu nanti urusan kami," ucap Gerry.

Ucapan sarkas Gerry yang sangat dalam, membuat dada Vincent semakin bergemuruh. Sudah barang tentu jika Ia menikahi perempuan selain Primadona, kekayaan dan kemewahannya akan hilang dalam hitungan detik.

***

Simak versi lebih lengkap di sini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 25. ANNIHILATION

http://wbnv.in/a/6dhTTJL

"Bella, Kau sudah mendengar berita semalam?" Alanis berdiri di pintu kamar dengan cemas.

"Sudah," jawab Bella singkat.

"Kau sendiri kena PHK atau tidak?" ucapnya masih dengan buru-buru.

"Tidak. Kalaupun kena, aku tidak peduli," jawab Bella.

Alanis mengerutkan dahi setelah beberapa detik terkejut. Ia tahu bahwa Bella tidak menyukai tabiat bosnya, gadis itu pasti memikul beban pikiran karena sekarang Ia malah ditempatkan di kantor CEO.

Suasana gedung Sidomuktiningjaya tampak lebih lengang dari biasanya. Bella tahu ini semua karena ulah dirinya yang menyebabkan ratusan karyawan kehilangan pekerjaan. Ia merasa senang sekaligus sedih. Ia senang karena Vincent terang-terangan membuktikan tanggung jawabnya untuk melindungi dirinya, tapi itu tidak lepas dari ulah Vincent juga. Sedih karena Ia dan Vincent telah tega menghilangkan pekerjaan bagi ratusan orang di perusahaan besar.

"Pagi Chelsea," sapa Bella.

"Pagi," tanggap Chelsea berusaha seperti biasa.

Bella tahu ada yang disembunyikan oleh Chelsea, tapi lebih baik Ia pura-pura tidak tahu saja. Hingga satu jam berlalu, dua temannya tidak juga muncul. Bella menghela napas meraba fakta bahwa Virra dan Keilla tidak datang bukan karena ijin sakit atau cuti.

"Chelsea, masuk."

Suara Vincent terdengar dari pintu kayu berukir yang lebar. Lelaki itu memanggilnya secara langsung tanpa melalui interkom atau telepon. Secara refleks kepala Bella menoleh ke arah lelaki itu, Ia menangkap tatapan tajam dari Vincent. Untuk mengalihkan pikiran dari lelaki itu, Bella membuka handphone-nya. Notifikasi pesan dari Aron sudah bertengger di layar.

"Bagaimana harimu?" chatnya.

"Baik. Sudah berangkat kerja, Kak?"

"Sudah, ini sebentar lagi mulai rapat," tak berselang lima belas detik balasan Aron sudah tiba.

"Good luck, Kak," balas Bella.

Wajah Chelsea pucat pasi saat keluar dari ruangan pribadi Vincent, Bella berpikir apakah jangan-jangan Vincent melakukan hal serupa dengan dirinya kepada perempuan itu. Apakah Vincent menciumnya, membelai rambutnya, atau bahkan? Ah, untuk apa Ia memikirkan hal itu. Bella menggelengkan kepala menepis pikiran konyolnya.

Chelsea kembali berkutat di depan komputer tanpa menoleh maupun berbicara dengannya. Bella mengabaikan hal itu meski sebenarnya Ia masih saja penasaran dengan apa yang Vincent lakukan.

Anehnya, di kantor sama sekali tidak ada pembicaraan tentang PHK massal. Karyawan-karyawan yang biasanya gemar bergosip sama sekali membisu tentang apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Begitupun dengan Chelsea, Ia sama sekali tidak membicarakan Virra dan Keila. Mereka berdua sudah tidak lagi berangkat kerja, tanpa perpisahan, tanpa kabar, dan tanpa alasan yang diketahui secara jelas oleh dirinya, Chelsea pun tidak tahu. Bella memberanikan diri membuka suara pada Chelsea.

"Chelsea, Kau tahu alasan PHK massal di perusahaan ini?" bisik Bella.

Chelsea menggeleng dengan tegas, bukan jawaban tidak tahu melainkan isyarat bahwa sebaiknya Bella tidak membicarakan hal ini. Bella tertawa dalam hgati mendapat jawaban dari Chelsea. Lelaki itu memang biadab, Ia menutup paksa mulut siapapun yang mengusiknya.

Saat jam dua siang tiba dan Bella mengantarkan kopi kedua Vincent ke ruangannya, lelaki itu menghentikan Bella agar tidak langsung keluar dari ruangannya.

“Bella,” panggil Vincent.

"Iya, Pak?"

"Kau pendiam akhir-akhir ini," lelaki itu terlihat enggan untuk berbicara, tetapi tatapan matanya menunjukkan yang sebaliknya.

"Ada yang ingin Anda bicarakan, Pak?" seringai Bella. Gadis itu kembali memasang antenanya tinggi-tinggi.

"Sekarang kantor terasa sepi," ucap Vincent setelah menyesap kopinya sedikit.

"Iya, yang cantik-cantik sudah langka di kantor, kan udah Bapak pecat," tanggap Bella.

Vincent tertawa terbahak-bahak sampai jongkok dan perutnya sakit, tangannya tak kuasa beralih dari perutnya.

"Kau pandai bicara, ya?" ucap Vincent kemudian.

"Saya hanya membicarakan apa yang ada, Pak," jawab Bella.

"Lalu Kau tidak berterima kasih kepadaku?" Vincent mengangkat satu alisnya.

Lelaki itu sungguh menggemaskan, siapakah yang berwenang untuk mengapresiasi kebobrokan yang ditutupi dengan kebobrokan lainnya?

"Saya kira Anda seharusnya meminta maaf kepada saya karena telah menggunakan saya sebagai objek fantasi secara sembarangan. Bahkan sampai membawa-bawa nama saya ketika berhubungan badan dengan orang lain," lugas Bella.

Vincent kembali tertawa, sebuah penghinaan yang secara tidak langsung ditujukan kepada gadis itu tanpa perlu menggunakan kata-kata.

"Sayangnya aku tidak suka meminta-minta, memaafkan adalah urusanmu. Tetapi aku tidak peduli dengan pemberian maafmu," ujar Vincent.

"Kalau begitu, berterima kasih juga menjadi urusan saya dan terserah saya mau mengucapkannya atau tidak," tanggap Bella.

Vincent menyipitkan pandangannya mendengar ucapan kekanakkan Bella yang Ia ucapkan dengan sedemikian rupa tetapi hasilnya malah menggemaskan di mata Vincent.

"Kau tidak harus berterima kasih dengan ucapan, kemarilah, Nak," ujar Vincent menepuk pahanya sembari mengangguk.

Tentu saja Bella tidak bersikap bodoh dengan membiarkan Vincent menempatkan dirinya di pangkuan.

"Ini di kantor, Pak!"

"Oh, jadi kamu mau yang tidak di kantor?" seringai Vincent. Ia berdiri dan mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Bella.

Tanpa sempat Bella hindari, bibir Vincent sudah mendarat di bibirnya. Mencecap setiap inchi dari lapisan kenyal berwarna pink peach. Kali ini Bella sedikit merasakan bahwa Vincent melakukannya dengan santai. Bella merasakan bahwa Vincent memberinya kesempatan untuk membalas kecupan itu, dan Ia melakukannya.

Ini pengalaman ciuman kedua yang terasa nikmat setelah ciuman pertamanya dengan Aron beberapa hari yang lalu, lebih tepatnya belum ada satu minggu. Tetapi senikmat apapun Vincent memberinya kecupan, Bella tetap menyangkal. Ia akan lebih menikmati kecupan Aron daripada Vincent.

"Kau menikmatinya, Sayang?" tanya Vincent dengan lembut. Usapan tangan di puncak kepala Bella Ia berikan ketika menyudahi aksi mereka.

"Tidak!" jawab Bella.

"Haha, Kau berbohong," kekeh Vincent.

"Masih banyak lelaki yang jauh lebih nikmat, Pak. Anda tidak usah sombong," seru Bella.

"Apa katamu?"

Vincent tidak percaya bahwa Bella mengatakan itu. Ia kira, gadis itu menerima ciuman hanya darinya saja. Tetapi ternyata 'masih banyak lelaki' yang juga menikmati betapa manis dan menyenangkannya bibir Bella.

Gadis itu meninggalkan ruangan dan membiarkan Vincent yang tengah terperangah dengan apa yang Ia dengar barusan. Ia menggelengkan kepala, setidaknya hari ini sudah mendapatkan kesenangan yang Ia idam-idamkan tiap hari.

Meninggalkan meja kerja Vincent setelah melakukan adegan menyenangkan membuat langkah Bella terasa seperti melayang beberapa inchi di atas lantai. Ia menundukkan kepala tetapi mengintip Chelsea di sana, perempuan itu sedang konsentrasi di depan layar monitor.

"Lama sekali," ucap Chelsea.

"Kau juga lama sekali pagi tadi," tanggap Bella.

Chelsea tidak berkomentar lagi, membuat Bella salah tingkah. Ia berusaha menenangkan diri dengan menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

"Ekhm, aku tidak bermaksud memaksamu memberitahuku," ucap Bella. "Tapi aku kira, itu hanya masing-masing pribadi kita yang berhak tahu," lanjutnya.

"Iya," tanggap Chelsea. "Yang jelas kita di sini hanya pekerja. Jadi tidak usah bertingkah jika tidak ingin di-kick."

Bella melototi layar monitor mendengar ucapan Chelsea. Jadi? Semua karyawan di sini diintimidasi, sedangkan dirinya tidak diintimidasi. Vincent benar-benar brengsek.

***

Versi lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 26. WILLINGLY

"Kau benar-benar ingin melakukannya, Bella?" ucap Aron dengan sungguh-sungguh. Netranya menatap gadis di depannya lekat-lekat. Bulu kuduknya turut meremang, tidak ia sangka gadis itu berkata demikian kepadanya. Berterus terang meminta kesempatan untuk scene BDSM dengan sangat gamblang.

Bella menunduk, membisu, dan mengingat kembali apa yang barusan Ia katakan kepada Aron. Ia ingin melakukannya? Benarkah? Bella memang memiliki fantasi dan keinginan untuk mengambil sesi BDSM, tetapi apakah Ia benar-benar sudah siap? Atau hanya pelampiasan keinginan yang terburu-buru saja?

“Iya, Kak,” ucap Bella dengan lirih.

“Sudah yakin?” tanya Aron sekali lagi.

“Sudah,” jawab Bella masih dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap pandangan lelaki di depannya.

“Tatap aku, Bella,” ucap Aron dengan nada dalam.

Pembahasan ini sangat besar pengaruhnya terhadap sikap Aron dan keyakinan Bella. Pembicaraan tentang sesi di mana Ia akan menyerahkan jiwa dan raganya kepada orang lain.

“Bella, apabila Kau ingin melakukannya. Kau harus sudah punya kepercayaan penuh padaku. Apa Kau benar-benar percaya padaku?”

Lagi-lagi Bella hanya mengangguk, tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’. Ini sangat tidak sesuai dengan apa yang Ia kira. Dirinya sudah ciut terlebih dahulu untuk melakukan semua rencananya. List topik pembicaraan yang Ia susun dari rumah hancur sudah.

"Sebentar, Bell. Sebenarnya apa yang mendasari Kau menginginkan mengambil sesi ini?"

Tidak mudah bagi Aron untuk mengiyakan keinginan gadis di depannya begitu saja. Ia baru mengenalnya meskipun terhitung sudah dua kali membuktikan bahwa gadis itu benar-benar submissive.

"Aku… aku ingin mewujudkan fantasi-fantasi yang ada di pikiranku. Aku ingin mengeksplorasi duniaku ini lebih luas," ujar Bella.

Tentu saja kebanyakan orang yang memiliki ketertarikan terhadap dunia ini akan menjawab seperti itu.

"Tidak ada pikiran kalau ternyata Kau menginginkan scene untuk memvalidasi bahwa dunia BDSM ini ada?"

"Sebenarnya justru lebih ke memvalidasi apakah aku benar-benar into BDSM atau tidak, sih," jawab Bella.

Bella sudah membuktikan bahwa lelaki di depannya adalah sang dominan. Aron menahan tawanya.

"Lalu Kau ingin membuktikannya denganku? Mengapa Bella?"

"Karena aku percaya padamu, Kak."

Tidak ada orang lain yang Bella kenal di dunia BDSM yang bisa Ia temui di reallife. Aron lah satu-satunya. Oleh karena itu dengan siapa lagi kalau bukan dengan Aron.

“Bagaimana jika nantinya aku tidak sesuai yang Kau kira? Kau baru mengenalku di dunia maya, dan kita baru bertemu tiga kali,” ucap Aron.

"Maksudnya bagaimana, Kak?" Bella mengerutkan dahi. Apakah tidak cukup Ia mengenal Aron sejauh ini.

"Aku datang kepadamu melalui celah sisi lainmu, saat Kau sedang sangat mendambakan seseorang yang bisa memenuhi hasratmu. Kau tidak tahu sama sekali aku seperti apa, Bella."

Tentu saja Aron adalah orang yang luas pengetahuannya dan banyak pengalaman. Itulah alasan yang menyebabkan Bella mempertimbangkan bahwa Aron adalah orang yang tepat untuk dirinya.

"Aku tidak peduli dengan kehidupanmu di reallife, Kak. Yang aku butuhkan adalah sisi lain Kakak di dunia BDSM ini. Aku yakin reputasimu di BDSM tidak buruk," ucap Bella sembari meyakinkan diri.

"Terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Tapi aku belum memberikan jawaban untukmu, Bell. Apakah aku mengiyakan atau tidak, aku tidak bisa menjawabnya sekarang," ujar Aron.

"Baik, Kak. Terima kasih," ucap Bella.

Pertemuan dengan Aron belum menghasilkan jawaban final namun itu sudah cukup jauh jika melihat apa yang Aron ucapkan, itu sangat mencerminkan bahwa Aron adalah seseorang yang sangat hati-hati dalam bertindak. Bella pulang membawa bekal pikiran yang mengisi benaknya sepanjang hari. Ia telah melakukan satu dari list yang Ia pertanyakan kepada Aron, dan itu adalah pertanyaan utama.

“Kak, kalau aku mau scene. Syaratnya apa?”

Itulah yang Bella ucapkan beberapa saat yang lalu. Ia memejamkan mata dan meraih bantalnya, rasanya sangat memalukan ketika Ia sendiri yang mendahuluinya. Tetapi apa salahnya jika Ia berinisiatif? Itu adalah jalannya berkomunikasi dengan Aron, jika tidak begitu mungkin selamanya Ia hanya berkomunikasi dengannya. Aron bertanya Bella menjawab. Tetapi semenjak pertemuan ketiga barusan semuanya terasa berbeda. Semua terasa lebih menantang.

Aron tak henti-hentinya menguji kepercayaan dan keyakinan Bella. Bahkan di tengah Ia membicarakan hal-hal yang lebih rinci di chat mereka.

"Memangnya apa saja yang Kau inginkan jika aku jadi memberimu kesempatan untuk ambil sesi nanti?"

"Hmm, nggak tahu. Yang penting scene aja pokoknya, Kak," balas Bella.

"Lho? begini, Bell. Kalau aku tidak tahu apa yang Kau inginkan, aku tidak tahu harus memberimu apa," Aron kembali menanyakan kepada Bella sampai gadis itu menjawabnya dengan jelas.

"Ya sudah begini saja, fantasi kamu apa saja selama ini?" kejar Aron karena Bella belum juga membalas pesannya.

"Banyak, Kak," balas Bella.

"Apa saja?"

Mengapa ketika seperti ini isi otak Bella malah mandeg, Ia heran sendiri. Sekarang Ia seperti anak bodoh, bahkan hanya ditanya maunya apa Ia tidak bisa menjawab dengan lugas. Ia menghela nafas frustasi.

"Aku tunggu sampai Kau menjawabnya, Bella," chat Aron masuk lagi.

"Iya, Kak. Aku kasih tahunya besok saja, boleh?"

"Boleh."

Bella berjingkrak melihat jawaban Aron, Ia sangat lega. Lelaki itu sungguh pengertian, sekarang Ia bisa tidur dengan nyenyak dan akan memikirkan keputusannya lagi besok pagi. Aron adalah lelaki paling pengertian dan menyenangkan yang Bella temukan. See? Ia bukan pemaksa. Ia dominant yang baik.

Tetapi sebenarnya apa yang Ia kejar di dunia BDSM ini? Ia belum tahu jawaban yang paling tepat. Semakin ke sini Ia merasa hanya memiliki rasa penasaran saja, penasaran bagaimana rasanya dimiliki secara emosional oleh orang lain, penasaran bagaimana mewujudkan nikmatnya rasa sakit yang Ia bayangkan selama ini. Penasaran bagaimana rasanya dikendalikan oleh orang lain tanpa bisa melawan sedikitpun.

Percakapannya dengan Aron untuk sementara berhenti, lelaki itu tidak mengiriminya pesan lagi seolah mengatakan bahwa Ia sedang menunggu jawaban Bella. Rasa takut akan kegagalan karena Aron menolak gara-gara Bella menjawabnya terlalu lama, menyebabkan gadis itu beralih untuk membuka kembali lembaran-lembaran yang memberinya petunjuk tentang Aron.

Bella menyimak kembali semua apa yang Aron posting di media sosialnya. Malam ini, alih-alih menggali apa yang Ia mau, Bella malah berusaha mencari tahu Aron lagi meskipun sebelum bertemu dengan Aron Ia sudah hapal betul tentang lelaki itu. Sekarang memorinya hilang tak berjejak.

"Tidak usah dipaksakan, aku memberimu waktu dua hari, Bella."

Seolah mengerti kekalutannya saat ini, pesan itu mendarat di layar handphone Bella.

"Iya, Kak. Terima kasih," balasnya cepat.

Malam semakin larut tetapi Bella tidak bisa menghentikan pikiran yang memenuhinya. Ia teringat sekarang bahwa Ia pernah mengisi borang berlembar-lembar yang berisi lengkap tentang list preferensi di dalam BDSM. Bella mendapatkannya dari situs internet saat Ia mencari-cari jurnal penelitian yang membahas BDSM. Dulu, Ia rajin sekali untuk membaca jurnal semacam itu sebelum waktunya habis di kantor Vincent.

Di luar negeri banyak ahli yang membahas BDSM secara rinci, Bella dengan susah payah memahaminya karena naskahnya menggunakan Bahasa Inggris. Bahasa kutukan yang menyebabkan nilai kuliahnya tidak bisa mencapai sempurna. Kemampuannya berbahasa Inggris sangat menyedihkan.

Di tengah kesibukannya mencari berkas-berkas itu di dokumen laptopnya, Ia teringat Vincent yang sangat pandai bahasa asing. Bahkan lelaki itu menguasai semua bahasa internasional sekaligus. Sialan. Mana mungkin Ia meminta bantuan lelaki itu untuk membantunya menerjemahkan?

***

Versi lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 27. HIS PROSPECTIVE FIANCEE

Menjalani pekerjaan sekretaris meskipun tidak sesuai jurusan yang Ia pelajari saat kuliah sudah tidak bermasalah lagi bagi Bella. Ia bisa mempelajarinya secara otodidak dengan cepat. Hari-harinya Ia lalui dengan senang hati tanpa mengeluhkan kesulitan pekerjaannya lagi.

"Kau terlihat semangat sekali hari ini," ujar Vincent saat keluar dari ruang kerjanya dan mendapati gadis itu duduk sendirian di balik layar monitor.

Bella memutar bola matanya mendengar ucapan Vincent. Tak pernah Ia melihat bosnya menggoda Chelsea ataupun karyawan lain di kantor ini kecuali dirinya. Sama sekali tidak pernah, bahkan sikapnya saja terkenal sangat dingin dan kaku.

"Selamat bekerja ya, Sayang. Aku akan memberi sambutan pada karyawan-karyawan baruku," ucap Vincent diakhiri dengan mengecup dahi Bella.

"Sialan," umpat Bella lirih. "Semoga Anda segera mendapatkan sekretaris baru untuk menggantikanku membantu Chelsea, Pak," seru Bella.

Vincent berbalik dan mengurungkan langkahnya.

"Benarkah? Apa Kau bilang tadi, penggantimu? Kau yang melamar pekerjaan di sini, memaksaku menerimamu, lalu resign seenaknya? Tidak bisa, Bella!" bisik Vincent penuh muslihat.

Vincent meninggalkan meja sekretaris dengan bersiul-siul kecil penuh kemenangan. Bella menggerutu, Vincent sangat belagu di depannya tetapi jika di depan karyawan lain Ia memasang muka sedingin mungkin.

"Ada apa, Bell? Kulihat Kau marah-marah sendiri."

Suara Chelsea mengagetkan Bella, perempuan itu mendaratkan bokongnya dengan anggun seperti biasa lalu menyeruput air putihnya.

"Oh, tidak ada apa-apa. Kau sudah selesai rapat, Chelsea?" ujar Bella.

"Sudah. Memuakkan sekali karena aku harus mendengarkan angka-angka yang sebenarnya bisa kubaca sendiri," keluhnya.

Oh, andaikan Chelsea tahu. Baru saja di sini jauh lebih memuakkan karena Chelsea pergi mengikuti rapat sedangkan Bella terpaksa harus menghadapi CEO mata keranjang yang mulutnya sangat laknat. Vincent tidak akan menggoda Bella apabila ada Chelsea ataupun karyawan lain di dekatnya. Itulah mengapa Bella merasa aman jika ada banyak orang di sekitarnya, Ia merasa sangat dirugikan dengan di-PHK-nya Virra dan Keilla.

Sekarang, Vincent mengganti karyawan-karyawannya yang tidak bisa menjaga mulut dengan karyawan baru. CEO muda itu tidak akan pusing ketika Ia kehilangan ratusan karyawan yang sudah berpengalaman, Ia lebih mementingkan reputasi dirinya.

"Bella, besok pagi aku ada tugas di luar. Pesta pertunangan sepupuku yang juga menjadi pimpinan di salah satu anak cabang. Kau bersiap-siap ya," ucap Vincent sekembalinya dari aula perusahaan.

Sebelum mendapat tanggapan dari Bella sedikitpun, Ia sudah menutup pintu raung kerjanya. Gadis itu mendesah sebal, bukan karena tugas yang Vincent berikan kepadanya tapi sikap Vincent membuatnya ingin meremas kepala orang itu.

"Apa sebelum aku di sini Pak Vincent selalu seperti itu, Chelsea?" tanya Bella pada seniornya.

"Maksudnya seperti itu bagaimana?" Chelsea mengerutkan dahi.

"Saat Ia memintamu mendampinginya untuk kegiatan di luar, apa Ia selalu seperti itu?" Bella bertanya dengan lebih jelas.

"Mmm, sebelumnya Pak Vincent malah tidak pernah menunjuk siapa yang akan mendampinginya di acara luar kantor. Beliau hanya memberitahukan undangannya kepadaku, lalu aku akan memilih Keilla atau Virra," papar Chelsea.

Bella mengangguk-angguk, jadi Vincent sengaja memerasnya untuk melakukan tugas-tugas tambahan bahkan di luar kantor dan memanfatkan posisinya yang lebih tinggi darinya. Bukankah menghadiri pesta pertunangan adalah acara pribadi? Vincent sengaja memanfaatkannya dengan memberinya perintah di kantor. CEO itu telah menyisipkan kepentingan pribadinya di tugas karyawan.

Pesta pertunangan yang sangat mewah dan dihadiri pengusaha-pengusaha terkenal sekelas Vincent serta pejabat-pejabat tinggi digelar di ruang pertemuan hotel bintang lima. Bella merasa lega ketika Ia memutuskan untuk mengenakan gaun terbaiknya hari ini. Alanis juga membantunya merias wajahnya dan melukiskan Ia alis yang semakin membuatnya tampak lebih dewasa.

Ia dan Vincent berjalan bersama secara berdampingan, menyalami satu demi satu tamu yang berpapasan dengannya.

"Ini calon tunangan Anda, Pak? Cantik nian, semoga langgeng," ucap seseorang yang baru saja menyalami Vincent. Lelaki di samping Bella dengan sangat manis mengangguk sempurna.

Bella menggertakkan gigi mendapati tingkah Vincent. Sekarang lelaki yang baru saja menyalami Vincent beralih menyalaminya.

"Namamu siapa, Nak? Pasti bahagia ya, dengan lelaki sempurna seperti Pak Vincent?"

"Saya Arabella, Pak. Sekretaris Pak Vincent," ucap Bella sembari mengangguk mantap, hatinya mengutuk Vincent yang sembarangan mengakuinya sebagai calon tunangan.

"Mengapa Bapak tidak mengoreksi orang itu, tadi?" bisik Bella kesal.

"Biarkan saja, lagi pula Kau jauh lebih cantik dari pada calon tunanganku yang sebenarnya," jawab Vincent.

Isi kepala Bella terasa seperti meledak, bosnya yang biadab tidak juga merubah sikap kepadanya meski di tempat seperti ini. Ia tetap menjadi lelaki yang sangat menjengkelkan. Bella hanya menjadi aksesoris yang dipasang untuk mempertegas kesempurnaan Vincent di sini. Tak ada seorangpun yang memandangnya sebagai sekretaris hebat, orang-orang hanya melihat lelaki di sampingnya sebagai pengusaha muda yang sangat sukses.

"Anda begitu gencar tebar pesona dan memamerkan kehebatan di mana-mana. Menjaga image positif dan tidak segan-segan menyingkirkan siapapun yang mengusik kehidupan pribadi. Tetapi Anda tetap saja manusia bobrok yang menyedihkan di depan saya, Pak," cibir Bella.

"Oh, ya? Aku senang Kau sangat perhatian kepadaku dan meluangkan waktu untuk mengamatiku setiap hari, Bella," tanggap Vincent.

"Tanpa mengamati pun saya bisa berkata demikian, Pak. Tidak usah terlalu percaya diri," Bella kesal dengan lelaki di depannya yang bermuka tembok.

"Iya, aku tahu karena ikatan batin kita sangat kuat," ujar Vincent.

"Hh, terserah Anda." Bella mendesah frustasi.

"Tentu saja terserah padaku, memangnya terserah siapa lagi?"

Bella mengangkat bokongnya bergegas meninggalkan meja yang mereka tempati.

"Eitsss, mau ke mana?"

Belum ada satu langkah, lengannya sudah berada di cengkeraman Vincent. Ekspresi lelaki itu jauh lebih menyebalkan dari pada caranya menarik tangan Bella.

"Kita harus selalu terlihat dekat dan akur karena kita sepasang CEO dan sekretaris. Jika tidak, orang akan bingung Kau bersama siapa di sini," bisik Vincent sangat dekat dengan telinga Bella, membuat gadis itu meremang.

Benar juga, bersama siapa lagi Bella di acara mewah dan sakral seperti ini jika bukan bersama Vincent? Tetapi Bella tetap saja merasa jengkel dengan kelakuan lelaki itu, sombong dan sok suci di depan orang-orang.

"Mereka memandangimu," bisik Vincent kepada Bella.

"Aku tidak suka mereka menikmati kecantikanmu. Kau dandan di salon mana?" Vincent berlanjut merajuk.

"Temanku," jawab Bella singkat.

"Salon temanmu?"

"Temanku yang mendandaniku. Aku tidak dandan di salon, Pak," ketus Bella.

"Oh, kukira," Vincent bergumam pelan.

"Ada apa, Pak? Riasan saya terlalu norak?" Bella sedikit panik. Menggunakan riasan tebal saja Ia sudah risih, sekarang malah ada lelaki yang mengomentari riasannya.

"Tidak. Maksudku, aku akan membeli salon langgananmu agar tak ada yang menggodamu, termasuk para shemale yang meriasmu," ujar Vincent.

"Awas saja jika Anda sampai mengusik sahabat saya, Pak. Saya tidak akan memaafkan siapapun seumur hidup," tegas Bella.

"Hmm," gumam Vincent.

Sebuah rombongan mendatangi meja di mana mereka duduk, Vincent dan Arabella dengan ramah menyilakan mereka bergabung. Dari caranya mereka berbicara, tampak jelas bahwa mereka adalah orang dekat Vincent, mungkin keluarga besarnya.

"Kau tidak bersama Primadona? Apa jangan-jangan kalian belum dekat? Jangan sungkan-sungkan untuk mendekatinya, Vincent. Laki-laki harus pemberani, jangan malu-malu," ucap ibu-ibu sosialita di antara mereka.

What what what???

Siapa itu Primadona? Bella menajamkan telinga agar mendapat petunjuk tentang nama perempuan yang mereka bicarakan. Vincent tersenyum mendapati pidato ibu-ibu itu.

"Iya, Tante," jawabnya sopan.

Rombongan itu asyik berbicara dengan akrab dan mendominasi meja yang Vincent tempati lebih dulu. Vincent lebih banyak diam sedangkan Bella memasang pendengarannya tajam-tajam. Rupanya mereka adalah keluarga besar sekaligus rekan bisnis keluarga Vincent. Yah, memang Vincent tumbuh dalam keluarga pengusaha kaya raya.

Beberapa kali nama Primadona juga disebut, mereka membicarakan bahwa perempuan itu mulai sukses di dunia hiburan dan modelling. Bella sangat penasaran, seusai rombongan itu pergi, Ia memberanikan diri bertanya kepada Vincent.

"Apakah mereka salah satu petinggi Sidomuktiningjaya Group, Pak?" ujar Bella.

"Iya. Mereka menumpang grup kita," jawab Vincent bosan.

"Oh, pantas saja mereka akrab sekali dengan Anda," ucap Bella.

"Mereka caper, sok akrab. Kau tahu kenapa, Bella?" ucap Vincent dengan sedikit mendesis. Dari suaranya Ia tampak kesal, Bella hanya menggeleng.

"Karena anak mereka adalah calon tunanganku," desis Vincent.

Ulu hati Bella bagai disambar petir, ada rasa terbakar di sana. Entah mengapa Ia merasakan sesak napas mendadak. Ada rasa kecewa tanpa sebab terhadap lelaki di depannya.

Tidak, Ia tidak mungkin cemburu dan iri dengan perempuan bernama Primadona itu. Lucu sekali mengapa harus sakit hati pada kehidupan pribadi bosnya.

***

Simak cerita lebih lengkap di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 28. LAST PREPARATION

Bella dengan mengendalikan rasa gugupnya menunggu Aron yang akan datang beberapa menit lagi. Ia sengaja datang lebih awal agar tidak mengecewakan Aron. Sekali lagi, Ia membuka daftar yang diminta Aron dua hari yang lalu.Sebenarnya Ia sudah mengirimkan soft file-nya kepada Aron. Tetapi menurutnya lebih efektif jika Ia juga mencetaknya.

Aron datang seperti biasa, menyapa Bella dengan ramah dan meminta maaf karena terlambat.

"Maaf, ya. Tadi macet, antre lampu merah empat kali," ucapnya.

"Iya, Kak. Tidak apa-apa," ucap Bella.

"Itu kamu cetak daftarnya?" Aron menunjuk daftar di depan Bella.

"Iya, Kak."

"File-mu malah belum kubaca. Aku lembur tiga hari. Boleh kulihat?"

Bella mengangguk dan menyodorkan beberapa lembar HVS kepada Aron. Lelaki itu mengamatinya beberapa saat sambil sesekali mengangguk-angguk.

“Dengan segini banyaknya list ketertarikanmu, sebenarnya Kau memiliki fantasi jadi apa, Bell? Littlle, school girl, bitch, maid, pet, atau rope bunny?” tanya Aron sembari mengamati daftar preferensi yang diberikan Bella.

Sungguh suasana yang aneh karena ini lebih mirip seperti sesi tes wawancara, Aron menanyainya sementara Bella menjawab. Tetapi jika tidak begini, mau bagaimana lagi Aron mengetahui apa yang gadis itu mau? Bella terkadang menjadi gadis pasif dengan orang-orang tertentu, salah satunya dengan Aron.

“Aku penasaran jadi little, tapi pingin coba rope bondage juga,” jawab Bella.

“Nggak pingin nyoba pet? nggak suka?” ujar Aron mengalihkan perhatian, membuat Bella menjadi semakin berpikir apa yang Ia inginkan.

“Bukannya nggak suka, Kak. Aku mau aja, tapi lebih suka jadi little girl gitu,” tanggap Bella.

“Maid?” tanya Aron lagi.

“Aku nggak bisa masak,” tanggap Bella.

“Ya kalau nggak bisa udah pasti dihukum, jadi little pun juga tidak ada kemungkinan buat menghindari task memasak. Limit kamu apa di sini tadi?” ujar Aron.

“Hmm, blood, dirty stuff,” Bella tampak mengingat-ingat.

“Kalau have sex?”

“Belum pernah,” jawab Bella.

Aron mengangkat wajahnya dari konsentrasinya ke kertas HVS. Heran dengan gadis di depannya, Ia kira selama ini Bella hanya menutupi kebinalannya dan berlagak polos. Tapi ternyata di waktu menjelang kegiatan yang sangat sakral ini Ia kembali menegaskan bahwa Ia belum pernah melakukan apapun baik scene maupun have sex.

“Limit?” tanya Aron kembali ke tujuan utama.

“Iya,” Bella mengangguk.

“Limit atau cuma takut karena belum pernah?” ulang Aron.

“Takut sih,” kali ini Bella memberikan jawaban yang berbeda. Aron terkekeh kecil.

“Kalau kita melakukannya di scene pertama kita bagaimana?” tanya Aron.

“Emm, gimana ya, Kak?”

“Aku tidak akan memaksamu, Bella,” ujar Aron. tetapi sorot matanya melemparkan rayuan mematikan.”

“Boleh,” jawab Bella pada akhirnya.

Melakukannya pertama kali dengan orang yang Ia kagumi, mengapa tidak? Ia lelaki yang sangat sesuai dengan standar hidup Bella. Sekarang waktunya Ia memberi dan mendapatkan apapun dari lelaki itu, termasuk bersenang-senang bersama.

Aron menghela napas lega, Ia kembali memeriksa daftar yang Bella susun dan sesekali mengangguk.

"Kamu takut serangga?" tanya Aron.

"Iya, Kak," jawab Bella singkat.

"Kalau aku pakai serangga buat tools hukumanmu gimana?" Aron menyeringai, mengangkat satu alisnya kepada Bella.

Bella hanya diam, Ia tidak menyukai serangga sekaligus sangat takut. Aron belum melepaskan pandangan darinya dan membuat gadis itu salah tingkah.

"Biasakan menjawabku dengan segera, Bella," ucapnya.

"Nggak mau, Kak," ucapnya kemudian.

"Kenapa nggak mau? Ini kamu nggak limit, lho," ujar Aron.

"Ya sudah, tidak apa-apa, Kak," ucapnya kemudian.

"Oke," gumam Aron. Lelaki itu terus menekan apa yang Bella tidak sukai menjadi daftar yang ingin dicoba.

Jika Bella menolak halus apalagi tanpa alasan yang kuat, Aron dengan sangat persuasif memberinya logika bahwa itu tidak berbahaya dan justru sangat menyenangkan. Menggiring orang lain untuk mengikuti apa yang Ia mau adalah salah satu kemampuan Aron.

Banyak daftar yang awalnya tidak disukai Bella berubah menjadi daftar yang justru ingin dicoba. Malam ini kembali menjadi obrolan-obrolan intim nan serius. Bella seperti mendapat pengaruh dominasi pikiran dari Aron, tidak mudah baginya untuk menolak apa yang Aron mau, karena Bella rasa itu tidak akan merugikannya. Selama itu menyenangkan Aron, mengapa tidak?

Lelaki itupun telah jauh memberinya afeksi yang tidak Ia dapatkan dari orang lain. Bella tidak pernah bisa sedekat ini dengan seorang lelaki meski sebenarnya Ia juga hanya memiliki sedikit teman perempuan. Gadis itu tidak suka keramaian dan lebih tertarik untuk bergaul dengan sedikit teman. Tak mudah baginya untuk menerima orang lain di dekatnya. Tapi kini Aron justru menjadi orang yang terang-terangan Ia kejar.

Aron telah memberinya kesempatan untuk bersama-sama mewujudkan fantasi yang Ia miliki, hari semakin dekat dengan waktu yang telah mereka tentukan. Sekarang tinggal menentukan tempat dan hal lain yang mungkin perlu.

“Kau bisa membatalkannya paling lambat dua hari sebelum kita melakukannya. Aku tidak akan memaksamu sama sekali. Aku menghargai keputusanmu apapun itu, pikirkan baik-baik, Bella.” Lelaki itu sekali lagi mengingatkan Bella agar tidak terburu-buru melakukan apa yang Ia dambakan.

Alih-alih membuat Bella gentar, ucapan Aron justru seakan menantangnya. Hari-hari Bella dipenuhi dengan semangat menunggu hari yang telah ditentukan tiba. Sedikit demi sedikit Ia menyiapkan apa saja yang perlu Ia lakukan.

Bella mencari orang yang tepat untuk Ia jadikan safety call nanti. Ini sangat penting jika nanti pada kenyataannya Aron lepas kontrol pada saat scene. Atau hal yang lebih membahayakan terjadi tanpa Ia duga.

Aron betul, Bella belum benar-benar mengenalnya, bagaimana jika nanti ternyata Aron hanya manis di mulut saja. Bagaimana jika nanti ternyata Ia adalah penjahat kelas kakap yang bersembunyi dibalik kecerdasan dan kelihaiannya berbicara, bagaimana?

Safety call sangat penting baginya, Ia harus punya orang yang dapat dipercaya dan diandalkan saat Ia hanya berdua bersama Aron di ruangan yang sama dalam kondisi yang tidak memungkinkan Ia melawan lelaki itu.

Sebesar apapun rasa percaya Bella pada Aron, lelaki itu tetaplah manusia biasa. Ia bisa saja khilaf ataupun lepas kendali. Atau mungkin malah bisa jadi seperti yang Ia takutkan, ternyata Aron adalah orang jahat. Itulah sebabnya Bella harus berhati-hati, apalagi ini pertama kalinya Ia mengambil sesi BDSM.

Chelsea? Alanis? Atau bahkan Vincent?

Bella menggeleng, tidak mungkin Ia meminta bantuan Chelsea apalagi Vincent. Dua manusia itu sama-sama membahayakan nasibnya. Chelsea hanya teman kerja yang justru Ia harus merahasiakan apapun darinya. Teman di dunia kerja sejatinya adalah kompetitor dan Bella harus hati-hati dengannya.

Vincent? Mana mungkin? Bella tertawa ketika terlintas di pikirannya untuk meminta bantuan pada lelaki bejat itu. Bisa-bisa dirinya malah akan menjadi santapan predator itu di tempat yang sama. Atau setidaknya Ia akan menjadi bulan-bulanan setiap hari karena terang-terangan menunjukkan sisi abu-abunya.

Mungkin Alanis adalah alternatif yang tepat, tetapi Ia perempuan lemah sama seperti dirinya. Alanis memiliki kekasih, itulah yang menenangkannya. Bella bisa meminta Alanis menelponnya di jam tertentu dan apabila Ia tidak mengangkatnya, maka itu berarti Alanis harus datang ke lokasi dan membawa orang lain.

"Ini pertama kalinya aku melakukannya, tolonglah, Nis," ucap Bella.

"Mengapa aku harus membawa Bebebku segala sih, Bell? Aku malah khawatir nanti dia ngajak check in," tanggap Alanis.

"Tapi Kau aman kan, sama dia?" Bella bertanya balik.

"Iya, ya okelah kalau begitu," ujar Alanis.

***


Simak cerita lebih lengkap di link ini http://wbnv.in/a/6dhTTJL
 
BAB 29. LOOKING THE STARS

“Bagaimana keadaanmu, Bella?” chat Aron di suatu sore saat Bella baru saja kembali dari kantor. Ia dan Aron sangat intens berkomunikasi, bahkan jika Bella tidak membalas chat Aron dalam waktu satu jam saja, lelaki itu langsung menelponnya.

“Baik, Kak,” balas Bella.

“Do you feel good now?”

“Hmm. nggak tahu kak. Aku baik-baik saja tapi rasa-rasanya sering cemas gitu,” balas Bella.

Anehnya semakin mendekati hari yang tempo hari Ia tunggu-tunggu, Bella malah semakin cemas. Ia tidak tahu mengapa Ia merasakan itu.

“Kau takut akan scene kita nanti? Bella, aku tidak akan mencelakaimu. Aku hanya akan melakukan apa yang sudah kita sepakati,” chat Aron.

Tak ada balasan dari Bella. Gadis itu merasa sedih dan ingin menangis saja tapi Ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Ia bukan takut akan scene yang akan Ia lakukan, Ia percaya Aron tidak akan membahayakannya. Ia sendiri juga bingung sendiri karena penyebabnya sangat tidak jelas.

Hari ini Ia melewati hari-harinya di kantor dengan sangat tidak nyaman. Satu hal yang mampu menenangkannya adalah berbalas pesan dengan Aron..

"Kita jalan-jalan, yuk. Baiknya kita ketemu dimana, nanti aku jemput," chat Aron.

"Di dekat toserba saja, Kak. Makasih udah ngajak jalan," balasnya.

Bella cepat-cepat bersih-bersih diri dan memastikan tampilannya casual tapi tetap menarik. Ini pertama kalinya Ia jalan-jalan dengan seorang lelaki. Meskipun tidak sepenuhnya mengobati rasa tidak nyamannya tetapi setidaknya ada yang menemaninya.

Bella segera memberitahu Aron ketika Ia sudah sampai di tempat yang mereka janjikan. Ia sengaja membisukan semua notifikasi yang berhubungan dengan pekerjaan di kantornya. Sekali ini saja, Ia ingin lepas dari penatnya kehidupan kantor.

Aron membuka kaca jendela saat dilihatnya gadis itu sudah menunggu. "Naik," serunya.

Bella mengangkat wajah dari handphone-nya dan segera masuk ke mobil lalu duduk di samping lelaki yang memanggilnya.

"Sudah lama, ya? Naik apa?"

"Naik ojek, Kak," jawabnya singkat.

"Kita mau ke mana?" ujar Aron Ia sedikit melirik ke arah Bella.

"Terserah, Kak. Aku ikut saja," tanggap Bella dengan pandangan kosong ke depan.

"Lho, kok gitu?"

Aron mencium bahwa suasana hati Bella benar-benar sedang sangat buruk.

Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk menentukan sendiri ke mana Ia akan membawa Bella. Jalan-jalan sambil menikmati jajanan sudah cukup membuat Bella merasa lebih baik. Ini jajanan tidak sehat, tetapi Bella tidak peduli. Ia merasakan betapa enaknya menikmati makanan-makanan berbahan dasar gandum dan tepung tapioka yang digoreng dan ditaburi bumbu pedas.

"Kau tidak takut menjadi gemuk? Biasanya perempuan selalu sangat selektif untuk sekadar mengisi perut," tanya Aron dengan nada meledek.

"Makan makanan seperti ini sesekali tidak apa-apa, yang penting jangan sampai setiap hari," ucap Bella. Gadis itu dengan lahap menghabiskan makanan bersama Aron.

Setelah puas berada di area pedagang kaki lima yang menjual aneka jajanan, Aron menawari gadis itu untuk menonton bintang dari alam terbuka. Bella dengan sangat senang hati menerima ajakan lelaki itu.

"Karena kemungkinan besar di sana sangat dingin, jadi kita sebaiknya bawa minuman jahe dulu," ujar Aron.

"Oh gitu, Kak? Ya sudah kita beli di sini saja dulu buat jaga-jaga," tanggap Bella.

Di kedai minuman tak jauh dari area jajanan di pusat kota, Aron mengeluarkan dompetnya dan bersikeras menolak uang yang disodorkan Bella.

"Tadi sudah pakai uangmu, sekarang giliranku," ujar Aron.

"Eh tadi kita bayar sendiri-sendiri," sanggah Bella. Sudah jelas-jelas Ia dan Aron membeli jajanan berbeda di gerobak yang berbeda.

"Tapi aku makan bagianmu terlalu banyak," ujar Aron. Bella memilih untuk mengalah karena petugas kedai itu terang-terangan memandanginya.

Dengan kecepatan sedang karena penerangan jalan yang terbatas, Aron mengemudikan mobilnya menuju tempat yang Ia maksud. Bukit dengan lapangan terbuka. Sekilas tempat itu seperti dikelilingi oleh bintang-bintang karena kanan, kiri, depan, dan belakang penuh dengan bintang-bintang.

Langit dan bumi seakan menyatu menyajikan pemandangan yang sangat indah. Kerlap-kerlip bintang beradu dengan kerlap-kerlip lampu di hamparan sana. Lampu kendaraan malam tampak sangat dinamis dari atas.

Udara dingin terasa mulai menyerang saat air jahe yang mereka bawa berangsur kehilangan asapnya. Aron menanggalkan jaketnya dan memakaikannya ke bahu gadis yang beberapa cm di bawahnya.

"Terima kasih," ucap Bella.

"Kau senang?" ucap Aron merangkulkan lengannya ke leher Bella.

Entah ukuran tubuh Bella yang terlalu kecil atau Aron yang kebetulan lebih besar, Bella tampak mungil berada di rangkulan Aron. Lelaki itu sesekali mengecup puncak kepala Bella yang beraroma lidah buaya.

Sungguh nyaman berada di dekapan Aron, Bella sama sekali tidak merasa canggung seperti yang biasa Ia alami dengan orang lain. Aron sangat hangat dan menenangkan.

"Kau sudah tidak sedih lagi? Mengapa tadi Kau tampak sangat murung?" bisik Aron.

"Aku tidak tahu, Kak. Mungkin aku lelah," ujar Bella.

"Cari tahu yang menyebabkanmu lelah, itu menyakitkan tetapi dengan begitu Kau juga akan menemukan obatnya," ucap Aron.

Bella tidak tahu mengapa suasana hatinya turun sangat jauh beberapa hari ini. Seingatnya, Ia jarang memendam emosi. Bahkan Ia jauh lebih sering melampiaskan emosinya tanpa tanggung-tanggung. Ia akan menggebrak orang yang mengusiknya tanpa pandang bulu, Ia juga mau bicara dengan cara yang sangat menohok jika seseorang sengaja menjatuhkannya.

"Kau tidak ingin foto di sini?" ucap Aron.

"Aku lebih suka memotret pemandangannya, dan suasana di sini," tanggap Bella.

Ia pun mengeluarkan handphone-nya dan mengambil beberapa gambar dari angle yang berbeda. Muda-mudi yang berpasang-pasangan juga tak ketinggalan mendarat di galeri handphone-nya. Bella lebih suka memotret objek berupa pemandangan dan suasana dari pada memotret dirinya sendiri.

Karena Ia mengeluarkan handphonenya, maka Ia tahu bahwa ratusan notifikasi sudah memenuhi layar. Ia membuka sedikit, tampak chat Vincent yang menduduki urutan teratas.

"Bella, mengapa Kau tidak membalas pesan-pesanku? Kau baik-baik saja?"

"Kau di mana, sekarang?"

"Bella, tolong balas."

Pesan Vincent membanjiri notifikasinya, setidaknya ada dua puluh pesan masuk

"Di mana? Aku akan segera ke situ," pesan Vincent baru saja masuk.

Dengan santai Ia membagikan gambar yang baru saja Ia ambil, "Pemandangan di sini sangat bagus, Pak. Mohon maaf karena slow respon di luar jam kerja."

"Kak, sudah terlalu malam, bukan?"

"Iya, kita berangkat masih sore. Tidak terasa sampai malam begini," ujar Aron.

Mungkin Aron sedang tidak peka hingga Bella memperjelas maksudnya.

"Kita pulang dulu saja, Kak. Lagi pula kita akan masih bertemu di scene nanti," ujar Bella.

"Lho, tidak menginap saja sekalian?"

"Ini masih bisa untuk check in," ujar Aron.

"Tidak usah, Kak. Maaf ini banyak kerjaan kantor yang numpuk, bos udah nungguin karena besok banyak deadline," ujar Bella. Bagaimanapun Ia tidak mau jika menginap tanpa rencana. Aron mengikuti kemauan Bella tanpa banyak bicara lagi.

"See you on our great day," bisik Aron di tengah perjalan pulang mereka.

"See you, Sir," jawab Bella.

***
 
BAB 30. JEALOUS?

Vincent menghela napas frustasi di depan layar monitor, entah mengapa akhir-akhir ini Bella terlihat murung, membuatnya merasa bersalah. Ia tidak pernah melihat Bella seperti itu, sekarang Ia sadar bahwa dirinya jauh lebih baik ketika mendapati Bella menampilkan wajah jengkel dan mengerikan.

Melihat Bella tidak menikmati hari-harinya, Vincent merasa ada yang salah dengan semua ini, atau bisa jadi ada orang lain yang mengusik gadis itu. Tetapi setahu Vincent gadis itu tidak dekat dengan laki-laki manapun.

Gadis yang sedang dipikirkannya tampak sedang berkutat dengan komputernya di balik meja sekretaris di sebelah Chelsea. Anehnya hari ini Ia lebih sering menyentuh handphone-nya dari pada sebelumnya. Vincent melihatnya dari kaca jendela kantornya melui sela-sela tirai yang sengaja Ia renggangkan.

Jika memang gadis itu memiliki kekasih, mengapa Ia tidak tahu. Tidak mungkin gadis itu tidak memamerkannya di media sosial, apapun yang Ia lewati semuanya ada di media sosialnya. Instagramnya ibarat televisi yang menampilkan berita kehidupan Bella secara live. Vincent selalu tahu apa yang Bella santap di kafetaria kantor, kegiatannya berbelanja bersama teman-teman kontrakan, hingga film apa saja yang sedang Ia tonton.

“Siapa tahu kau hanya tidak tahu bahwa dirinya memiliki lelaki lain, Vin. Kau hanya bersamanya di kantor saja,” ucap Tommy.

“Tidak mungkin, aku selalu memantau akun media sosialnya. Tidak ada siapa-siapa di situ,” jawab Vincent putus asa.

“Kau yakin, Vin? Bukannya akunmu sudah di-block sejak dulu?” tanya Tommy lagi.

“Aku tidak sebodoh itu, Tom. Aku masih bisa menggunakan fake account untuk menguntit anak kecil seperti dia,” ujar Vincent sedikit geram.

“Social network bukan hanya WhatsApp, social media pun tidak hanya Instagram,” seru Farell.

“Tuh, dengarkan Vin,” timpal Geisha.

“Anak ingusan itu ternyata pintar juga, ya. Kau harus hati-hati, Vin. Ia tidak sepolos yang kukira,” ucap Lexa tanpa mengalihkan konsentrasinya dari cermin kecil dan bedaknya.

Tommy dan Geisha menahan tawa teringat kejadian yang diceritakan Lexa di restoran dulu.

“Sudahlah Vin, ini hanya perasaanmu saja. Apa Kau sudah memastikan bahwa gadis itu sedang membencimu?” ujar Geisha.

“Orang yang menghindarimu secara terang-terangan bisa jadi dia sedang jatuh cinta kepadamu secara diam-diam dan ragu untuk mengungkapkannya,” sambung Lexa.

Vincent malam ini mati kutu di depan teman-temannya, suasana hatinya memburuk seiring dengan sikap yang Bella lakukan akhir-akhir ini. Gadis itu sangat murung di kantor dan nampak menghindari dirinya. Ia tidak bereaksi apapun ketika Vincent meledek ataupun mengajaknya bicara.

“Tidak kusangka Kau benar-benar jatuh cinta pada gadis korban ToD-mu. Ini jadi pelajaran buat kita semua, kalah ToD tidak selamanya buruk,” ujar Farell, yang lain menanggapinya dengan tawa yang mengolok-olok Vincent.

“Sialan kalian, aku hampir tertabrak mobil waktu itu,” gerutu Vincent.

“Tapi Kau sangat beruntung bisa mencium perempuan secara gratis,” bantah Tommy.

“Gratis katamu? Aku terpaksa menerimanya sebagai karyawan di kantorku,” otot Vincent.

“Kau terlalu menunjukkan kesombonganmu, Vin. Gengsi itu tidak selamanya baik. Mengapa tidak Kau akui saja bahwa Kau menjadikannya sekretaris pribadi karena Kau ingin dekat dengannya?” Gerry yang sedari tadi diam, angkat bicara.

“Aku melihat foto kalian di liputan saat kalian mendatangi pesta pertunangan sepupumu,” acung Lexa. Ia membuka handphone dan mencari bukti yang Ia maksud.

“Woow.”

Lima pasang mata itu bersama-sama menyimak berita yang sebenarnya tidak penting, tetapi sangat ampuh untuk digunakan sebagai bahan untuk membakar otak dan hati Vincent.

“CEO muda Sidomuktiningjaya Group tampak mesra bersama sekretarisnya”

“Woow, luar biasa.”

“Kita bantu agensi berita ini agar website-nya laku keras. Rell, Kau repost di Instagrammu,” ucap Gerry dengan berapi-api.

“Awas saja, besok pagi aku pastikan kantor berita itu hancur kalau Kau sampai melakukannya, Rell. Ingat perusahaan musikmu juga baru berumur balita,” seru Vincent.

Anak-anak laknat itu tertawa terbahak-bahak melihat emosi Vincent terpancing, Vincent adalah hiburan utama mereka di kelab VVIP. Tidak sia-sia jika menyewa ruangan VVIP itu semalam penuh asal ada Vincent. Tetapi sayangnya malam ini Vincent tidak bisa menghabiskan waktunya di kelab sampai pagi. Ia harus menyiapkan urusan kantornya, komunikasinya dengan Bella agak renggang.

Tak banyak yang dilakukan Vincent di apartemennya, Ia tidak bisa konsentrasi sama sekali. Pikirannya selalu beralih ke gadis itu dari yang seharusnya Ia selesaikan di layar monitornya.

Vincent membuka handphone-nya ketika ada notifikasi bahwa Bella mengirimkan sebuah postingan. Ia men-screenshot dan mengirimkannya ke grup teman-temannya.

“Ada yang tahu ini di mana?”

“Restoran ujung kota, salah satu grup musikku menjadi brand ambassador situ,” balas Farell dengan cepat dengan melampirkan peta.

Tanpa menunggu balasan selanjutnya, Vincent meninggalkan laptopnya yang masih menyala. Pikirannya fokus untuk berlomba dengan waktu menuju restoran yang telah Farell sebutkan.

Jalanan cukup ramai membuatnya semakin mengeratkan jemari tangannya di kemudi mobil. Apa yang dilakukan gadis itu di sebuah restoran ternama ujung kota? Petunjuknya jelas, dua porsi makanan yang tersaji di meja depannya adalah bukti bahwa gadis itu tidak sendirian.

Lagi pula untuk apa Ia memutuskan untuk datang ke tempat ini jika Ia sudah tahu, bukan Vincent namanya jika tidak ingin menyelesaikannya saat itu juga. Di sisi lain fakta mengatakan bahwa lelaki itu sudah gila karena Ia melakukan itu, lepas dari rasa penasaran saja atau benar-benar akan menyelesaikan ini. Ia ingin menyeret paksa gadis itu jika memang sedang bersama lelaki lain.

Setelah berdebat dengan emosi sepanjang jalan, akhirnya Vincent memasuki area halama restoran itu. Belum juga Ia memarkirkan mobil dengan benar, Ia menangkap sesuatu yang sangat mencengangkan. Di jarak nun jauh di sana, Bella nampak bercakap-cakap dengan seseorang. Nanar tak berdarah perasaan Vincent, gadis itu ternyata memiliki seorang lelaki tanpa sepengetahuannya.

Vincent benar-benar kecewa, Ia tidak menyangka sesakit ini rasanya mengetahui gadis itu telah memiliki tambatan hati lain. Seumur hidup, baru kali ini Ia merasakan betapa sakitnya cemburu.

Cemburu? Benarkah? Seharusnya tidak, Ia telah dipastikan akan bersanding dengan Primadona. Bukan sekretarisnya yang sekarang sedang bersama lelaki lain.

Ia memejamkan mata, andaikan Ia berani masuk dan menghampiri gadis itu dengan berani seperti yang Lexa lakukan kepadanya. Andaikan saja. Tetapi perasaan sakit hati Vincent lebih mendominasinya.

Ia kalah, Ia telah kalah. Gadis itu memiliki lelaki lain.

Vincent merenung, apa yang sekiranya lelaki itu punya yang tidak dipunyai dirinya? Ia telah memiliki segalanya, Ia sempurna. Tetapi gadis itu ternyata lebih memilih lelaki lain.

Oh, apakah dirinya pernah memberinya pilihan? Atau setidaknya pernah mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan benar kepada gadis itu? Ia kira itu tidak penting. Ia mengira, alangkah baiknya jika gadis itu yang akan mengemis rasa cintanya kepadanya. Seperti yang Ia lakukan kala menginginkan pekerjaan.

Vincent merasa sangat hina jika Ia lebih dulu mengakui ketertarikannya pada Bella, Ia tidak sudi mengakuinya apalagi sampai mengemis agar Bella membalasnya.

Beginilah, nasi sudah menjadi bubur. Vincent terlambat.

***
 
BAB 31. ONE DAY BEFORE

Malam ini Bella kembali menghabiskan waktunya bersama Aron. Lelaki itu ingin bertemu sekali lagi sebelum scene, memastikan gadisnya baik-baik saja adalah tujuan utamanya setelah Aron tahu bahwa Bella bisa terserang mood swing kapan saja.

Dengan senang hati Bella mengiyakan ajakan makan malam Aron, Ia beruntung karena tidak ada waktu luang baginya yang bisa menjadi celah untuk memikirkan pertunangan Vincent. Lagi pula untuk apa? Pertunangan Vincent dengan perempuan bernama Primadona bukan urusannya sama sekali.

Percakapan-percakapan random bersama Aron tidak terasa menghabiskan waktunya di antara makan malam, hingga akhirnya Bella teringat akan sesuatu yang sangat penting.

"Kak kalau boleh tahu besok skenarionya seperti apa, Kak?"

Aron tersenyum mendengar pertanyaan Bella. Ia mengerti Bella sudah tidak sabar untuk mengeksplorasi dirinya di dunia itu. Gadis yang memiliki keinginan untuk menyicipi bagaimana rasanya berada dalam kungkungan dominasi orang lain, tampak memohon dengan jelas di depan Aron.

"Aku belum pernah menggunakan skenario, Bella. Tapi kalau itu kehendakmu, mari kita buat bersama," tanggap Aron.

"Aku sudah tahu semua wishlist yang ingin kau coba. Sekarang Kau ingin aku menentukan yang mana dulu yang akan kuberikan padamu, atau Kau punya permintaan lain?" ucap Aron.

Pembicaraan yang semula random membahas hobi dan pengalaman sehari-hari, beralih menjadi serius. Aron tidak akan lalai apapun yang Bella telusuri di dunia BDSM. Ia akan tetap mengawalnya dan Ia merasa peduli tentang apa yang Bella pikirkan.

Aron menunggu Bella membuka mulut, tetapi seperti yang Ia hapal, gadis itu mati kutu dan bungkam ketika dirinya sudah mulai menekannya. Padahal barusan Bella memulai percakapan yang sangat penting. Aron mengangkat satu alisnya dan menatap Bella ketika gadis itu sedikit mengintip dari balik wajahnya yang menunduk di bawahnya.

"Mmm, aku tidak tahu," ucapnya.

"Oke, kalau begitu biar aku mengusulkan padamu, nanti Kau bisa menginterupsinya kalau tidak suka. Bagaimana?"

"Boleh," tanggap Bella lega.

"Ekhm, sepertinya Kau tipe yang tidak bisa menerima tekanan. Jadi kemungkinan aku akan prefer to guide you softly. Tetapi aku akan tetap kasar pada saatnya. Kau akan mengikuti semua mauku dan jika tidak, aku akan bertindak kasar untuk menghukummu," ucap Aron tanpa menanggalkan pandangannya dari wajah Bella.

"Aku suka suasana temaram dan dingin, jadi kemungkinan aku kan mematikan lampu dan menghidupkan AC dengan suhu serendah mungkin. Itu sudah pasti, Kau tidak bisa menolaknya kecuali Kau alergi dingin dan phobia kegelapan," lanjut Aron.

Bella mengangguk kecil tanpa sadar.

"Having sex tidak masuk limit, jadi aku akan tetap melakukannya padamu. Kecuali Kau mengucapkan safeword-mu."

"Satu hal yang jangan sampai Kau lupakan, safeword," ucap Aron. "Aku peringatkan dari sekarang, Bella."

"Baik, Kak. Terima kasih," ucap Bella pelan.

Bahkan sebelum scene pun, Aron sudah menunjukkan taringnya.

"Bella, boleh aku minta kamu melakukan sesuatu?"

"Iya, Kak?"

"Panggil aku dengan sebutan kehormatanku mulai dari sekarang," ucap Aron setengah berbisik. Nada suaranya dalam menandakan Ia serius meminta hal itu.

"Baik … Sir," ujar Bella.

"Kau ragu-ragu?" ucap Aron.

Pertanyaan itu seolah menjadi tuduhan telak kepada Bella. Menggunakan sebutan kehormatan untuk memanggil Aron sangat merubah power-nya. Seolah ada yang terserap dari dirinya menuju keluar raga. Bella tidak mengerti itu apa, tapi Ia merasakan itu semua.

"Maaf, Sir," lirih Bella.

"Sekarang, pergi ke kamar mandi, lepas bra-mu, dan ganti dengan ini," ucap Aron sembari mengeluarkan dua benda dari pouch-nya.

Bella terkejut melihat sepasang nipple clamps dan vibrator pipih di depannya. Ia melirik kanan kiri dan memastikan orang-orang tidak melihatnya.

"Bisa cara pakainya, kan?" ucap Aron dengan suara tanpa dipelankan. Bella hanya mengangguk.

"Ini tidak perlu dimasukkan, cara pakainya seperti Kau memakai pembalut kecil," ucap Aron.

Bella merasakan perutnya mules membayangkan dirinya memakai benda itu. Aron pasti sedang menghukumnya karena Ia ragu-ragu.

"Lakukan sekarang, Bella. Atau aku akan melepas paksa bra-mu di sini," desis Aron.

"Baik, Sir," ujar Bella sembari berdiri dan meraih benda keramat itu dari atas meja. Ia menggenggam erat agar tidak sampai terlihat oleh orang. Tetapi sialnya, Aron menyalakan remote control dan membuat tangannya terkejut. Hampir saja Bella membuka tangannya dan menjatuhkan benda itu.

Perjalanan ke kamar mandi terasa jauh lebih lama, Bella bernapas lega ketika Ia mengunci dirinya di dalam toilet. Sekarang waktunya Ia melakukan apa yang diperintahkan Aron.

Dengan hati-hati Ia melepas kemeja yang dipakainya sebagian, lalu menanggalkan bra-nya seperti yang dikatakan Aron. Bella mengutuk diri karena menggunakan kemeja warna cerah. Benda keramat itu terasa menggigit di organ sensitifnya, tetapi gadis itu memutuskan untuk tetap memakainya dengan ketat. Lebih baik menahan sakit dari pada menanggung malu jika nipple clamps yang Ia pakai jatuh di tengah-tengah keramaian.

Ini pertama kalinya Bella menerima perintah secara langsung dari Aron untuk melakukan sesuatu. Desiran di ulu hatinya tak kunjung reda ketika benda bergetar itu kini berada di pangkal pahanya. Sekarang Ia merasa bahwa Aron mulai menguasainya.

Sekembalinya dari kamar mandi, Bella duduk dengan canggung di hadapan Aron, lelaki itu menatapnya seperti akan melahapnya mentah-mentah. Bella meremas pakaian dalam yang sudah ditanggalkannya yang Ia pegang di balik kemejanya.

“Berikan padaku,” ucap Aron sembari mengangguk ke arah gadis itu.

Bella melakukannya, melalui tangan yang terulur di bawah meja, Ia menyerahkan pakaian itu kepada Aron.

“Bagaimana rasanya?” tanya lelaki itu setengah menggoda.

“Malu,” ucap Bella lirih. Aron terkekeh senang.

“Bagaimana jika seperti ini?”

Benda pipih keramat yang bersemayam di selangkangan Bella bergetar hebat. Gadis itu terlonjak dan hampir saja berteriak, Ia mencengkeram pinggiran meja kuat-kuat.

"Ampun, Sir," lirih Bella.

"Duduklah dengan benar seperti biasa," desis Aron.

"Baru seperti ini Kau sudah menggelinjang tidak jelas? Besok aku akan melakukannya lebih jauh dari ini, Bella," ucap Aron.

"Ampun, Sir," hanya itu yang bisa Bella ucapkan.

"Mulai dari sekarang biasakan melakukan semua yang kuperintahkan tanpa ragu-ragu, apalagi dengan protes," ucap Aron.

"Aku sangat menyukai kepatuhanmu, oleh karena itu jangan melakukannya seperti tadi," lanjut Aron.

Bella merinding mendengarnya, sebagian hidupnya seolah sudah menjadi bagian dari milik lelaki itu. Tak ada celah baginya untuk menyangkal dan membantah apa yang lelaki itu ucapkan.

"Sekarang, mari kita pulang. Kau butuh menyimpan tenaga karena aku akan menggunakan tubuhmu besok," ujar Aron.

"Baik, Sir," jawab Bella.

Saat Bella beranjak keluar, Ia melihat sebuah mobil yang tidak asing meninggalkan halaman restoran. Ia berusaha mengingatnya karena mobil itu sangat familiar. Pajero hitam milik Vincent. Bella terkejut, apakah lelaki itu baru saja makan malam di restoran ini juga? Jika benar, seharusnya Ia bisa melihatnya sebelum ini. Mungkin dirinya terlalu asyik mengobrol dengan Aron hingga tak menyadari kehadiran lelaki itu. Sudahlah, jika memang benar seharusnya Ia bersyukur jika Vincent melihatnya sedang bersama seorang lelaki. Ia pikir, Ia saja yang bisa memamerkan calon tunangannya yang cantik jelita? Bella juga bisa menunjukkan bahwa dirinya bisa mengambil hati lelaki, setidaknya untuk melengkapi sisi lain dirinya.

Mobil Aron berhenti di depan gadis itu, sejak malam ini sampai scene berakhir, Bella adalah hak milik Aron sepenuhnya. Ia akan bertanggung jawab terhadap keselamatan gadis itu dan memastikannya sampai di kost.

***

Untuk cerita lebih lengkap silakan kunjungi aplikasi Webnovel. Judul cerita ini adalah The Jerk & Pervert Girl
 
BAB 32. THE GREAT DAY (bdsm scene 21+)

Temaram lampu tidur menerangi ruangan 4x6 meter, jendela yang menghadap ke udara bebas sengaja tidak ditutup meski udara di lantai lima puluh sangat dingin menjelang tengah malam ini. Sayup-sayup musik yang didengungkan oleh Chris Isaak terdengar lirih.

Gadis dengan mata tertutup oleh kain satin berwarna merah terang menahan sensasi panas lelehan lilin yang mendarat di punggungnya. Posisinya yang berdiri terikat membentuk huruf X tepat di jendela kamar menjadikan tangan dan kakinya tak dapat menghalau tangan lelaki di belakangnya untuk terus meneteskan lilinnya.

Sesekali lelaki itu memastikan bahwa gadis di tangannya masih bernafas normal. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulut gadis itu kecuali erangan-erangan kecil. Cairan bening menetes dari sudut bibirnya yang penuh oleh ballgag.

"Are you okay, Bella?"

"Yehhsh, Sir," sahutnya kepada lelaki yang berbisik ditelinganya.

Malam ini Bella menikmati sesi pertamanya setelah beberapa bulan Ia menjalin komunikasi intens dengan seorang lelaki pilihannya. Ia dipertemukan dengan lelaki yang tepat setelah lima tahun berselancar di dunia fantasi dewasa.

Lelaki itu mengganti sasarannya ke tubuh bagian depan Bella dan sontak mendapat erangan hebat. Cairan lilin membeku seketika saat mendarat di tubuh dingin Bella. Lelaki dengan suara lembut itu menggoda dua gundukan kembar dengan lilin panas. Bella menggeleng dan meronta mendapati tetesan-tetesan lilin yang tak kunjung berakhir di tubuh bagian depannya.

"Tahan," titah lelaki itu dengan dingin.

"Kalau Kau terus bergerak maka kita akan pindah ke balkon," bisiknya.

Bella diam sejenak tetapi terlonjak seketika karena lilin panas itu mendarat tepat di puncak dadanya.

"Aggh, aggh," erangnya.

"Okay, Sayang. Tapi karena Kau terus bergerak, maka kuanggap Kau menginginkanku untuk membawamu ke balkon."

Lelaki itu melepas borgol di kedua pergelangan tangan dan kaki Bella, melepas ballgag sekaligus blindfold di wajahnya, lalu menarik gadis itu menuju balkon.

"Malu, Sir," lirih Bella. Lelaki itu menyeringai, meraih rambut gadis itu lalu menariknya ke belakang, melumat kuat-kuat bibir ranum berwarna merah sang gadis. Ia yakin gadis itu butuh kehangatan di tengah dinginnya angin malam lantai lima puluh dalam keadaan telanjang.

"Ini akan membuatmu semakin basah," ucapnya seraya mengenakan nipple clamps di kedua puncak dada Bella, remahan lilin yang mengeras berjatuhan ke lantai, lelaki itu mengabaikannya dan memposisikan dirinya duduk di sebuah kursi balkon.

"Fellatio, Sayang," ucap Lelaki itu dengan lembut.

Bella melakukannya seperti yang sebelumnya Aron ajarkan. Gerakannya masih kaku dan sangat ketara dipaksakan agar tidak melakukan kesalahan, akan sangat fatal jika Ia keliru menggigit kejantanan lelaki di depannya. Meskipun begitu, Aron tetap terangsang dengan hebat karena Bella cukup berusaha keras membuatnya menikmati kesukaannya.

Setelah mengerang dan merasa tidak akan tahan lagi, Ia menggendong Bella ke ranjang kamar. Bella merasakan kasih sayang yang luar biasa saat Aron membaringkannya di ranjang yang empuk. Lelaki itu berkutat dengan talinya dan menyatukan ke dua pergelangan tangan Bella di kepala ranjang. Simpul sederhana namun cukup nyaman di tangan gadis itu.

Aroma mint bercampur cytrus merasuk ke dalam indra penciuman Bella yang tengah terpesona pada tatapan dalam sekaligus teduh netra lelaki di atasnya. Bella mencoba menguasai dirinya dengan menyunggingkan senyum manis kepada lelaki itu.

"Ingat Bella. Kau telah mengizinkanku untuk masuk dan membuka gerbang mahkotamu, jika Kau berubah pikiran katakan padaku sekarang," ujar Aron.

"Aku percaya padamu, Sir Aron," sahut Bella.

"Kalau begitu bersiaplah." Aron melumat bibir Bella dengan lembut, tangannya membelai dan meremas dua gundukan di dadanya dengan jantan. Sesekali Ia menggesekkan batang paling berharganya ke bibir bawah Bella.

Gadis itu mendesah dalam nafasnya, Aron beralih menggerakkan jemarinya menyapa cairan yang mulai keluar dari lubang kenikmatan gadis itu.

"Kau basah, Sayang," bisiknya.

Dengan sigap, Ia meraih sachet pengaman di meja sebelah ranjang, lalu memakainya dengan cepat. Aron kembali memberikan rangsangan kenikmatan kepada Bella dengan menggerakkan jarinya hingga Bella mengerang hebat. Sesekali Ia menggodanya dengan menggesekkan batangnya lagi.

"Please, Sir," erang Bella.

"Please what?"

"Fuck me, please," ujar Bella.

"Beg, correctly!" desis Aron.

"Ah, Sir," Bella kehabisan kuasa karena Aron tak kunjung berhenti menggodanya hingga gadis itu lemah tak berdaya.

"Aku akan tetap seperti ini jika Kau tidak memohon dengan benar," ucap Aron sembari memutar-mutarkan jarinya di mulut lubang kenikmatan gadis di bawahnya.

"Aku mohon Engkau memberiku kesenangan malam ini, Sir. Izinkan aku bersenang-senang bersamamu. Bring me to your heaven, please," ucap Bella dengan suara terputus-putus.

"Ini akan sedikit sakit, tapi percayalah padaku. Kau akan menyukai ini semuanya," bisik Aron.

Batang kehormatannya melesak perlahan bagaikan pasak yang tajam. Memberikan sensasi baru bagi gadis itu dan membuatnya menangis bahagia di bawahnya. Ada yang terluka di bawah sana tetapi itu membuatnya melayang ke surga dunia yang belum pernah Ia singgahi.

"Sakit?" Tanya Aron. Bella mengangguk lemah, semestanya bagai meledak dan berganti menjadi gumpalan nebula kembali. Dunianya bereinkarnasi menjadi alam yang baru.

"Maafkan aku, Sayang. Aku melakukannya karena Kau menginginkannya," ujar Aron.

Lelaki itu melepaskan tali katun yang menjerat kedua tangan Bella di kepala ranjang. Dipeluknya erat-erat tubuh ringkih gadis itu dengan hangat hingga nafasnya kembali teratur.

Aron mengambil botol air mineral dari dalam kulkas, tangannya yang dingin mengusap bagian bawah perut Bella dengan pelan. Bella terlonjak kaget dengan sensasi itu tetapi Ia membiarkan lelaki kesayangannya terus melakukan aksinya.

"Percayalah, Kau akan kembali nyaman dengan ini," ujar Aron.

"Kompres dingin, Sir," ujar Bella.

"Iya, begitu."

Beberapa menit yang lalu Bella telah menyerahkan mahkota keperawanannya kepada lelaki asing yang dikaguminya, berbulan-bulan Ia menjalin hubungan mesra setelah saling mengenal dari dunia alter, dunia kinky. Bella menyukainya karena Aron adalah lelaki tanggung jawab dan bisa dipercaya kejujurannya.

Sinar kekuningan mulai muncul dan mendarat di hamparan permukaan bumi jauh di bawah sana. Bella membuka mata saat dering telepon tak kunjung berhenti.

"Hallo," Ia mengumpulkan kesadaran.

"Hallo. Atas nama Tuan Aron?"

"Iya, benar. Ini temannya," sahut Bella sekenanya.

"Menu sarapan akan segera di antar ke ruangan lima menit lagi, kami pastikan lagi ya, Bu. Dua cup puding, dua porsi nasi goreng ayam bakar, dan dua jus mangga," ucap wanita itu melalui telepon.

"Aduh, saya nggak tahu. Tapi mungkin bisa dibawa ke kamar kami saja dulu, Bu," ucap Bella.

"Baik, Bu," tanggap wanita itu lalu mengucapkan terima kasih.

Aron membuka pintu kamar mandi. "Siapa yang nelpon?" Tanyanya.

"Room service, Sir. Memastikan menu sarapan," jawab Bella.

"Oh, Kau menyukai pesananku? Kalau tidak, kita ganti saja, atau mau makan di luar?" Aron memastikan gadis itu sarapan pagi ini sebelum berpisah dengannya.

"Tidak usah, Sir. Aku menyukainya," jawab Bella.

***

Cerita lebih lengkap ada di link ini http://wbnv.in/a/6dfuP7E
 
Bimabet
BAB 33. THE GREAT DAY 2 (bdsm scene 21+)

"Tadi malam aku jelek ya, Sir?" tanya Bella.

"Ha? Jelek? Jelek maksudnya bagaimana?" Aron mengerutkan dahi, gadis itu menanyakan sesuatu yang sangat membuatnya bingung.

"Apa aku mengecewakanmu tadi malam, Sir? Maaf jika aku tidak bisa membuat Sir puas," ucap Bella.

"Kau sangat bertalenta, Bella. Percayalah pada dirimu sendiri. Aku tahu Kau terlalu banyak menonton adegan scene di internet, tapi asal Kau tahu, scene yang sebenarnya tidak semulus seperti yang di video settingan," tutur Aron.

Aron memeluk gadisnya erat-erat, hangat tubuhnya menularkan energi kasih sayang kepada gadis itu. Hal yang tidak pernah Ia dapatkan seumur hidup Ia dapatkan hari ini bersama lelaki itu. Bella sama sekali tak pernah mendapat kasih sayang lelaki sedekat itu meskipun dari seorang ayah.

Aron benar-benar lelaki pertama yang memberikan semua hal yang tidak Ia dapatkan dari makhluk lelaki. Tetapi bagaimanapun Aron memberikan semua itu, Ia tidak bisa berharap lebih. Bella hanya memiliki hubungan dengan Aron di dunia alter saja. Ia pun tidak tahu apakah di luar ini Aron sudah memiliki istri, kekasih, atau yang lainnya. Bella juga bukan satu-satunya submissive yang scene dengan Aron. Lelaki dominant itu telah memiliki permanent slave jauh sebelum Ia mengenal Bella.

"Apa yang Kau inginkan sekarang?" tanya Aron setelah memastikan gadisnya merasa lebih baik.

"Aku ingin mencoba tools yang Kau bawa, Sir," bisik Bella.

"Benarkah?" Aron mengecup leher Bella dan mengeratkan dekapannya. "Kau akan merasakan sakit yang luar biasa, Sayang. Tapi aku akan sangat senang jika Kau bisa menikmatinya."

"Kalau begitu aku ingin menyenangkanmu, Sir," ucap Bella.

"Baiklah, jangan lupa safeword-mu. Bersiaplah," ucap Aron. Ia melepaskan pelukannya dan memposisikan gadisnya membungkuk di tepi springbed.

Bella membenarkan posisinya senyaman mungkin hingga Ia bisa mencengkeram bed cover dengan bebas. Tak berselang setengah menit, benda panjang yang dingin dari kulit sintesis membelai dengan lembut bokongnya.

"Naikkan sedikit pantatmu," ucap Aron. Bella melakukannya.

Gadis itu mulai merasakan betapa lembutnya sentuhan leather whip yang membelai bokongnya, Ia merinding memikirkan bagaimana benda itu mengoyak kulitnya.

ctarrr

"Aghhh," pekik Bella.

Gadis itu menggeliat merasakan betapa ganasnya rasa sakit yang menyerang kulit di tubuh belakangnya.

"Sakit, Sir," suaranya bergetar.

Aron tidak menggubris erangan gadis di depannya, Ia mengayunkan lagi benda panjang di tangannya setelah beberapa kali menggoda bongkahan bokong itu dengan belaian lembut.

Lagi-lagi cambukannya disambut dengan erangan dan geliatan Bella di springbed. Isakan kecil mulai terdengar dari mulut gadis itu. Ini memang yang pertama kali bagi Bella, tetapi Aron sama sekali tidak memberi ampun. Gadis itu yang telah memohon kepadanya, sekarang harus menerima apa yang Ia minta.

Aron menghitung dalam hati, Ia menghela napas setelah hitungannya mencapai tujuh angka. Guratan merah di bongkahan bokong di depannya membuatnya semakin bergairah. Satu tangannya membelai dengan lembut. Erangan dan desahan meluncur dari mulut gadis itu. Bella mulai terangsang.

"Tiga hitungan lagi, Bella," ujar Aron.

"Ampun, Sir," racau Bella. "Ampun, kumohon."

"Kau yang telah memintaku, ingat itu!" sahut Aron.

Satu hantaman mendarat dengan keras di tempat yang sama, mempertegas guratan merah yang telah terukir sebelumnya. Bella melonjak, posisinya berbalik menjadi berbaring.

“Posisimu, Bella. Aku akan mencambuk dadamu jika Kau seperti ini,” peringat Aron dengan dingin. Bella tidak membantah dan kembali ke posisi semula, bersiap menerima cambukan lagi di bokongnya.

Dua sisa hantaman yang Aron berikan jauh lebih kuat dari delapan sebelumnya, membuat Bella menjerit dan menangis terisak. Aron meraba daerah paling intim yang dimiliki gadis itu. Basah.

“Seperti yang kau tahu, aku menerima persembahanmu, Jalang,” bisik Aron.

Remasan-remasan tangan kekar itu membuat Bella memeras air matanya di bed cover tempat ia membenamkan kepalanya. Aron sesekali menggodanya dengan menggesekkan batang kehormatannya di antara dua pangkal paha Bella.

“Please, Sir,” racau gadis itu.

“Hmmm? Please what, Bitchy?”

Aron tidak lekas memberikan apa yang Bella pinta, Ia senang melihat gadis itu memohon kepadanya. Bibir Bella bergetar menyuarakan racauan tidak jelas. Perih di belahan tubuhnya menimbulkan gejolak hebat akan kenikmatan badaniah yang hanya bisa dipenuhi oleh lelaki di belakangnya. Tetapi apa yang Ia dapatkan justru siksaan hebat yang menguras semua emosi dan logika dirinya. Aron menggodanya tanpa ampun.

"Bring me to your heaven, Sir. Please," ucap Bella dengan jelas setelah mengumpulkan segenap tekadnya.

"Dasar jalang!" desis Aron.

plak!

"Terima ini!"

Batang kehormatan Aron memenuhi apa yang Bella pinta setelah tangan kekar lelaki itu memberikan tamparan keras di paha Bella. Gerakan cepat nan kasar Aron lakukan melalui sisi belakang gadis itu. Akhirnya Ia mendapakan doggy style kesukaannya.

"Kau menyukai ini, Jalang?" racaunya.

Bella tak mengerti mengapa Aron melakukannya sekejam ini. Kali ini Ia benar-benar kasar. Tarikan jemari Aron di rambut Bella semakin menambah dosis penghinaan yang Bella rasakan. Sekarang Ia bagai perempuan murahan yang diperkosa dengan brutal oleh predator.

"Say something to me," ucap Aron sembari melanjutkan apa yang telah Ia dapatkan.

"Thank you, Sir," rintih Bella.

"Kau benar-benar jalang. Sudah berapa lama Kau menginginkan ini, huh?" geram Aron.

Rasa pegal di paha gadis itu mulai terasa jelas, berada di bawah kungkungan lelaki yang tak henti-hentinya memompa hasratnya. Bella merintih dan memohon agar lelaki itu menghentikan aktivitasnya. Tetapi apa yang Aron dapatkan tak mungkin Ia lepas begitu saja. Bella telah memancing sisi liar Aron untuk keluar dari persemayamannya.

"Pardon me, Sir. Please," rintih gadis itu tak henti-hentinya mmohon agar Ia dilepas dari siksaan pagi ini.

"Aku belum sampai, Jalang. Kau jangan menggangguku," desis lelaki itu dengan padangan sekejam iblis.

Pagi itu Bella memuaskan Aron hingga lelaki itu mencapai puncaknya berkali-kali. Dekapan hangat kembali mendarat di tubuh mulus Bella saat hari menjelang siang tiba.

"Apa aku benar-benar jalang, Sir?" tanya Bella dengan suara serak.

"Ssst, ini cuma scene, Kau tidak benar-benar jalang di luaran sana. Kau anak baik," bisik Aron.

Tangan kekar Aron terus membelai rambut panjang Bella yang sudah sangat berantakan. Sesekali lelaki itu bergerak merapikannya dengan jari.

"Aku ingin Kau mandi sekarang dan aku ingin memandikanmu," ucap Aron.

Gadis itu meringkuk tenang dalam gendongan lengan berotot lelaki yang bersamanya. Dengan hati-hati didaratkannya Ia di bathtube yang telah terisi air. Bella melonjak ketika Ia mendapati rasa pedih dari air yang menyentuh kulit-kulit sensitifnya.

"Terlalu dingin? Aku akan menambahkan air hangat," ujar Aron.

"Terima kasih, Sir," ucap Bella.

Aron kembali memeluk gadisnya setelah memastikan air yang ada di bathtube terasa nyaman.

"Apa yang tidak Kau sukai selama kita bersama?" bisik Aron.

"Aku menyukai semuanya, ini pertama kalinya aku mendapatkan hal yang hanya ada di pikiranku saja, Sir," tanggap Bella.

Aron terkekeh mendengar jawaban gadis itu, Ia mengecup dahi gadisnya dengan lembut.

***

Untuk menyimak cerita lebih lengkap silakan kunjungi aplikasi Webnovel. Judul cerita ini adalah The Jerk & Pervert Girl
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd