Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Ada yang Kebetulan (Sebuah Kisah Nyata)

Singkat cerita diruangan komputer,

Teh Desi tampak melamun, menerawang jauh. Tampak bulir air mata keluar dari kedua sudut matanya.

"Hey,.. Teteh koq malah menangis sih bukannya menikmat lagu,?" ucapku.

"Habis Aa puter lagunya yang begini. Membuat teteh membayangkan bakal sepi hari-hari teteh," jawabnya.

Kebetulan saat itu lagu yang aku putar memang sengaja untuk membuat Teh Desi jadi melow.

House for Sale lagu miliknya Band Lucifer asal Belanda. Kenapa saya memilihkan lagu itu? Pertama Teh Desi pernah hidup di jamannya lagu itu saat Populer, dan kedua, Teh Desi saat kecil pernah ikut orang tuanya tinggal di Belanda.

"Sudah jangan menangis, toh cuma lagu ini," terangku menghibur sembari mengusap bahu Teh Desi.

Teh Desi bukannya risih saat aku mengelus bahunya yang bermaksud menenangkan namun malah mencengkeram lenganku sembari kepala kirinya di jatuhkan ke tanganku yang masih menempel dibahunya.

Saat aku hendak mengelus rambut Teh Desi, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ada telpon masuk.

"Om, nenek lagi ada dirumah ibu, tadi pagi Alfin jemput saat Om sedang tidur. Nenek mau nganter ibu ke rumah sakit, katanya sih nginep disini" ujar Alfin keponakanku dari balik telepon.

Suasana yang mendukung ujarku dalam hati. Tak berselang lama, aku bangkit untuk mengunci pintu agar situasi kondusif.

"Masih pagi, Teteh mendingan temani aku saja dulu. Kan tidak ada kesibukan ini. Mamah juga ternyata besok pulangnya. Ibunya Alfin sakit katanya," jelasku sembari duduk mendekati Teh Desi.

Kulihat kulit Teh Desi yang mulus ditumbuhi bulu-bulu halus dilengan dan kakinya.

Aku memberanikan diri mengelus lengan Teh Desi yang mulus itu. Teh Desi hanya tersipu malu tanpa berani menepis.

"Heeemmm, Teteh bersih. Aku saja tidak bosan untuk menatapnya. Apalagi kalau dikasih lihat yang lebih," godaku.

"Aachh,... Aa mah bisa saja. Teteh kan sudah tua. Lebih menarik anak ABG sekarang, A," jawab Teh Desi.

"Enggak, Teteh saja udah cukup bagiku," rayuku. Gombal namun tak murahan.

Secara perlahan dengan nekat dan jantung berpacu keras, aku memberanikan diri mengelus dari lengan merangkak naik ke bahu.

Posisi Teh Desi aku sandarkan ke dinding. Beliau menurut saja. Tak bereaksi. Tak lupa ku sodorkan bantal untuk dijadilkan alas duduk lesehan ataupun dijadikan sandaran.

Aku semakin nekat, telapak tanganku mulai mengelus leher dan tengkuknya. Teh Desi menggeliat antara geli dan terangsang.

Yaa,... Aku semakin nekat. Kali ini mencium leher kirinya. Turun kebahu. Nafsuku semakin terpacu ketika melihat tali BH warna hitam yang menopang buah dadanya.

Teh Desi menggeliat, posisi dudulknya mulai membungkuk seolah membiarkan aku untuk mengecup tengkuk bahkan mungkin membiarkan aku untuk menjamah lebih jauh.

Teh Desi menggeliat dan menepis bibirku saat hendak mengecup daun belakang telinganya.

"Pintunya udah yakin dikunci, A,?" Tar tiba-tiba ada orang masuk bagaimana?," tanya Teh Desi.

"Dari tadi juga sudah aku kunci semuanya. Dijamin aman sentosa" tegasku.

Setelah jeda, aku semakin berani. Tidak ragu dan takut lagi untuk menjamah Teh Desi lebih dari tadi.

Aku lanjutkan mengecup bahkan menjilat daun telinga belakang Teh Desi. Bahkan turun ke tengkuk dan bahu.

Aroma minyak wangi yang Teh Desi pake semakin memancingku untuk bertingkah liar. Kecupan dan jilatan kecil dari bahu dan tengkuk kini berajak ke telinga kiri Teh Desi, aku bisikan sesuatu agar Teh Desi semakin tergoda dan terangsang.

"Iloveu you, teh. Teteh geulis. Dari dulu aku mengkhayalkan ini terjadi," bisiku pelan.

Teh Desi tidak menjawabnya tapi malah semakin meremas lengan dan pahaku.

Serangan syahwatku kepada Teh Desi semakin menjadi sejadi-jadinya.

Akhirnya kita duduk berhadapan beralaskan karpet yang empuk. Bak adegan Kama Sutra karya populer dari Vatsyayana, sang filsuf Hindu dalam kitab Weda yang dipercaya telah hidup sekitar abad 3 di India.

Kita saling rangkul. Saling peluk dan pagut. Demi memancing Teh Desi makin menggebu, aku perlakukan dirinya dengan sangat lembut.

Teh Desi memeluk erat, seakan enggan melepaskan. Buah dada yang menyembul dari balik bajunya tak ayal bersentuhan dengan dadaku.

Aku kecup keningnya. Pipi, leher kiri-kanan. Tanganku ikut bertingkah liar, mengelus punggungnya.

Bibir kita saling kecup, lidah kita menari tanpa mempedulikan air liur yang telah bercampur.

"Aacchhh,...," desah Teh Desi terdengar parau.

Aku semakin menggebu, baju semi daster yang ia kenakan aku naikan. Perlahan demi perlahan kesempurnaan ciptaanNya aku nikmat utuh.

***Bersambung


Mulus Trasi
 
sepertinya menarik
ijin naro sendal dimari ya hu
sambil nungguin update
 
Teh desi yg tidak bakalan ada yg bisa menolak ketika di ajak bikin keringat bersamanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd