Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Update 13 Mei '24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Lost & Found 4.4.1

Gagah merasa dirinya siap melakukan apa saja demi Bu Norma. Bagaimanapun caranya, akan dia bawa pulang wanita itu. Apalagi, Ustazah Nuzula sudah memberinya restu. Tidak ada lagi ragu. Tidak perlu menunggu-nunggu. Pantang dia kembali dengan tangan kosong. Oleh karena itu, ketika pusaran air menelannya, dia membiarkan. Mengikhlaskan. Sesuatu memberitahunya bahwa gelembung-gelembung air yang mengurungnya bukan musuh.

Gagah memejamkan kelopak mata. Rasanya seperti selamanya. Kegelapan yang di dalamnya dia tak bisa bernapas itu memberinya tenang. Seperti janji sungguh-sungguh dari kekasihmu, kira-kira. Hingga akhirnya tubuh Gagah terempas pada permukaan yang keras dan membangunkannya.

Bertumpu pada satu lututnya, lelaki dalam balutan singlet hitam dan celana taktis itu mengedarkan pandang. Dia sedang berada di halaman sebuah rumah gedong. Luas. Megah. Tampak kesepian di tengah hutan yang emmenjara dari delapan penjuru mata angin. Tidak ada jalan setapak dari barisan pepohonan menuju ke sana. Seakan-akan tempat itu tiba-tiba saja tumbuh di sana.

Keanehan ini kurang mengusik benak Gagah jika dibandingkan dengan betapa serupanya gaya bangunan itu dengan rumahnya sendiri. Rumah yang tetap dia tinggali bahkan ketika semua orang sudah mengungsi. Rumah masa lalu yang tak ingin dia kenang-kenang lagi.

Gagah ingat betul hari-hari itu. Perang sudah menggedor gerbang rumahnya. Dia bersikeras bertahan di sana hingga saat-saat terakhir. Hanya ketika dia yakin Ustazah Nuzula tidak akan kembali, baru dia pergi.

Sebagaimana rumahnya saat itu, rumah yang kini dia pandangi juga sesepi kuburan. Lampu-lampu menyala namun tidak ada orang. Kabut menyelimuti tanah hingga mustahil baginya melihat jari kakinya. Pelan dia berdiri dan memantapkan hati. Dia belum lupa pada janji yang dia buat sendiri. Dia ada di sana untuk sebuah misi. Bu Norma, misinya, pasti ada di dalam sana. Entah di ruangan mana.

Hanya ada satu cara mengetahuinya.

Halaman rumah Gagah seberangi dengan mata dan telinga yang tajam. Selain bunyi sepatunya yang basah, dia cuma mendengar nyanyian serangga malam. Akan tetapi, tidak ada yang tahu. Bisa saja ini semua perangkap. Karenanya, tidak ada salahnya waspada.

Usai menaiki anak-anak tangga pualam, Gagah tiba di teras tanpa kendala. Pintu utama rumah menunggunya. Kedua daunnya yang dicat putih tertutup rapat. Dia sentuh gagangnya. Pintu itu bergeming saat dia coba buka.

Gagah mengharapkannya. Siapa pun empunya rumah di tengah antah berantah ini bukan orang bodoh. Atau sembrono. Tamu tak diundang pastilah merupakan hal terakhir yang dia butuhkan. Malang bagi orang itu, raksasa kita tidak peduli. Pria berambut gondrong itu tidak akan ciut nyali hanya karena lembaran kayu menghalangi dia dari tujuan.

Gagah umumkan kehadirannya dengan satu tendangan keras. Pintu menjeplak terbuka seketika. Lepas dari engselnya. Tanpa mengucap permisi si raksasa persilakan dirinya memasuki ruang depan bermandikan cahaya. Di sana juga tidak ada siapa-siapa. Tidak ada yang memarahinya atas kerusakan yang dia buat.

Gagah dihadapkan pada tiga pilihan. Lurus dan naik ke lantai dua, ke kiri mengikuti deretan lukisan pemandangan yang memenuhi dinding, atau ke kanan—yang dari sana dia dengar sayup-sayup jeritan. Disaksikan kandelir lampu yang bersinar dingin, pria itu membiarkan indera dengarnya membimbing. Dia lewati pilar-pilar tinggi yang membawanya ke ujung akhir ruangan.

Selera pemilik rumah itu boleh juga. Belum Gagah temukan dekorasi, mebel, perabot atau pun hiasan yang tampak tidak pantas ada di sana. Dari ruang depan, dia telusuri lorong-lorong panjang. Satu demi satu ruangan dia periksa. Untungnya, dia tidak perlu repot-repot menendangi pintu-pintu yang dia jumpai dalam pencariannya. Dengan demikian, dia jadi lebih fokus menentukan sumber suara.

Kian lama langkah pemuda itu berderap, kian nyaring jeritan yang tadi. Asalnya tak kunjung dia temukan. Meski begitu, dia tahu dia dekat.

Gagah hentikan dirinya sendiri saat dia seratus persen yakin bahwa yang menjerit-jerit itu adalah Bu Norma. Suara wanita itu masih membayangi benaknya sejak dia saksikan Kopral menyetubuhinya di dapur pondok, empat bulan yang telah lewat. Wajahnya mengeras. Tangannya mengepal. Dengan urat leher yang tegang, Gagah tiba di hadapan sebuah ruangan. Pintu menghalangi tatapannya dari apa yang berlangsung di dalam. Meski punya tebakan, Gagah mengintip juga dari lubang kunci.

Dan napasnya pun tercekat.

Di depan meja rias, Bu Norma sedang menungging. Satu kakinya ditekuk di atas kursi. Tangannya bertumpu pada meja. Kepalanya yang terbungkus hijab mengangguk-angguk. Payudara yang bebas bergoyang seirama sodokan pada anusnya. Lendir bening bercampur putih sperma menetes-netes dari bibir vagina yang terkuak. Dan... perutnya yang buncit bergetar setiap kali pantatnya yang bulat dan sekal dihantam dari belakang.

Sejak kapan Bu Norma hamil? batin Gagah sambil menjilat bibir.​

pregnant Bu Norma
56028cf784bb57674f38c3c69d41a9629732a188-high.webp


Jika bukan karena penampilan pria yang sedang menyodomi Bu Norma tampak lebih mirip ular daripada manusia renta, Gagah ingin menyaksikan lebih lama. Gerakan penuh nafsu kontol pria itu pada lubang kotoran Bu Norma tampak terlalu indah untuk dilewatkan. Juga, dia ingin tahu. Sebinal apa wanita yang hendak diselamatkannya? Benarkah dia seperti yang Kancil ceritakan padanya? Dari jerit, desis, desah, dan erangan yang mampir di telinganya, Gagah tahu Bu Norma kesakitan. Dia juga mendengar sendiri dari bibir Bu Norma betapa wanita itu tersiksa. Tak berdaya.

Namun, di samping itu Gagah juga yakin Bu Norma menikmatinya. Buktinya, anus perempuan hamil itu terus saja mengembang-mengempis menyambut sodokan kontol si pria yang Gagah curiga bukan manusia. Kontol itu berkilau. Pemiliknya akan menariknya hingga hanya kepalanya yang tersisa sebelum membenamkannya ke pantat Bu Norma sampai mentok. Sampai cuma kantung telurnya saja yang tidak masuk. Pemandangan itu jujur membuat kemaluan Gagah berdiri. Adem-panas badannya.

"Ayo, Bu," kata Sukar sambil tetap menggenjot dubur Bu Norma saat wanita itu menggigit bibirnya dan terlihat akan orgasme untuk kali yang kelima sejak dia setubuhi di depan cermin yang merekam aksi mereka, "jangan ditahan. Lepaskan, Bu. Kayak tadi. Wanita secantik dan seseksi Bu Norma memang diciptakan cuma buat satu tujuan, kan? Ahh, ahhh, ahhh!"

Sukar muncrat di dalam pantat bulat Bu Norma. Walau begitu, dia tak memelankan tempo genjotan. Akibatnya, berbusa kontolnya berikut anus Bu Norma. Iseng-iseng dia betulkan letak kacamata si wanita. Tadi, usai merobek jubah korbannya dan melemparnya entah ke mana, dia pasangkan lagi kacamata Bu Norma.

Lebih seksi, katanya.

"Nggak akan bosen, Bu, aku pejuhi kamu," kata Sukar sambil memegangi pinggang Bu Norma yang dia maju-mundurkan.

Plak-plak-plakk!

Begitu bunyi tumbukan kelamin yang mereka timbulkan.

"Bilang dong, Bu. Enakan mana? Kontol saya apa kontol suamimu?"

Bu Norma menggeleng-geleng. Pertanyaan tidak bermutu!

"Bu Norma suka, kan, saya entot begini? Hm? Ayo ngaku...."

Lagi-lagi Bu Norma menggeleng. Kepala yang seberat batu lalu dia tundukkan hingga hampir membentur meja. Meski tidak menginginkannya, dia sudah klimaks berkali-kali diperkosa lelaki yang bukan suaminya. Lelaki yang bahkan bukan manusia. Lelaki yang secara usia pantas menjadi kakeknya. Bagaimana pun juga, Bu Norma cuma wanita biasa. Sodokan pada lubang kemaluan dan kotorannya membiusnya. Kontol yang tanpa henti memejuhi dirinya itu mengajaknya gila. Mengajaknya bergembira.

Oohhhhh.... kenapa zina begitu enaknya?

"Ehmmmmmm.... Mbaaahhh.... ohhhhhh"

"Iya, Bu?"

"Akuuuu keluaaaarrrr!"

Lagi-lagi, pertahanan Bu Norma jebol. Vaginanya berkedut hebat sebelum memuncratkan cairan cinta ke mana-mana. Lututnya lemas seketika. Siluman di belakangnya tahu dia sudah tidak kuat lagi. Namun, bukannya menjeda, lelaki setengah ular itu justru makin kencang menggenjot pantatnya. Bokongnya ditampari. Dari yang kiri. Lalu ke yang kanan. Bekas telapak tangan tercetak jelas pada kedua daging kenyal itu.

Bukan hanya itu. Jilbab Bu Norma tiba-tiba dijambak dari belakang. Dagunya kini terangkat. Payudaranya membusung menggoda. Mengayun naik-turun-naik-turun-naik-turun dengan indahnya. Mulutnya lebar terbuka. Di atas wajahnya, dia temukan wajah renta penuh sisik sang pemerkosa. Mata mereka bertemu. Yang satu dikuasai nafsu. Yang satu tanpa daya menerima nasibnya. Selamanya dia akan jadi milik pria itu. Dia akan dientot lagi, lagi, dan lagi.

Bahkan jika dia mati, Bu Norma curiga mayatnya masih akan diperkosa.

Mendapati korbannya masih saja enggan namun tetap tak kuasa menolak hidangan kenikmatan yang dia suguhkan, Sukar menyeringai. Dari sela mulut tak berbibirnya, sebentuk lidah bercabang nan panjang mengular ke luar. Ujung kembar lidah itu mulanya menjilati dahi, turun ke netra di balik kacamata yang melorot, lanjut ke hidung bangir Bu Norma dan tak lupa pipi yang merona sebelum menelusup masuk ke dalam mulut si wanita. Di sana, lidah itu membelit lidah Bu Norma. Merangsangnya untuk kesekian kalinya.

Sementara lidahnya sedang disandera, Bu Norma rasakan sebuah telapak tangan secara semena-mena meraba-raba buah dadanya yang kencang. Dari puting-puting yang mengacung sempurna, sepasang gunung kembar itu pun memuncratkan air susu saat mereka silih bergantian diremas-remas. Jadi kotor cermin di depan si wanita berkacamata. Bercak-bercak putih penuh nutrisi terbuang sia-sia.

Baik Bu Norma maupun Sukar sama-sama larut dalam dosa mereka hingga tak ada yang menyadari keberadaan Gagah yang mengendap tanpa suara dari celah pintu yang dia buka. Dengan celana yang sesak, raksasa itu tiba di belakang keduanya. Meski senggama yang sedang berlangsung di depan matanya enak dipandang, hatinya meradang. Kopral, Tokek, dan Kancil sudah lebih dulu mencicipi Bu Norma. Bodoh sekali dia kemarin sok-sokan tidak doyan. Dan sekarang, dia kedahuluan lagi oleh makhluk yang entah apa sebenarnya.

Sepenuhnya menginginkan Bu Norma untuk dirinya sendiri, Gagah cekal leher si pria renta. Saat itu juga dia sentakkan makhluk berisisk itu ke belakang. Kuatnya tenaga si raksasa mencerabut paksa kontol berlendir yang sedang mengaduk-ngaduk lobang tahi Bu Norma. Tiba-tiba tak lagi dipegangi, tubuh wanita itu pun ambruk ke atas meja.

Sukar, yang belum sadar akan apa yang sedang terjadi, hanya bisa menyaksikan dari lantai tempat dia terkapar saat Gagah melangkah ke arahnya dengan Maut terpancar dari matanya. Bertubi-tubi pukulan yang kemudian datang dia terima tanpa bisa apa-apa. Dan lain dari dulu sebelum dia jatuh cinta pada Bu Norma, dia rasakan sakit. Kemanusiaannya seperti dikembalikan padanya. Dia menderita karenanya. Darah yang memenuhi mulutnya terasa asin di lidahnya.

Puas membuat siluman ular itu babak belur, Gagah menengok ke belakang. Bu Norma kini bersimpuh di lantai. Kepalanya nyender di kaki meja. Tangan-tangannya membentuk perisai di depan perut yang besar.

Hamil anak siapa itu Bu Norma, pikir Gagah sebelum sesuatu menggigitnya.

Segera Gagah kembali menghadap kakek-kakek yang barusan dia hajar. Tidak ada lagi manusia di sana. Hanya seekor ular sebesar paha yang kemudian secepat kilat membelitnya. Kepala ular itu membekap pinggangnya yang kanan. Deretan gigi bergerigi mirip gergaji menancap pada kulitnya.

Gawat, pikir Gagah saat reaksi yang dia beri kurang cepat.

Selagi Gagah bergulat dengan ular yang tadinya adalah Sukar, Bu Norma mengumpulkan napasnya. Nyawanya. Kesadarannya. Meski tak sedang disodomi, bukan berarti dia lega. Badannya sudah kadung remuk redam. Seakan-akan serombongan kerbau baru saja menginjak-injaknya. Lantai di bawah bokongnya menggenang, menambah pedih pada vagina dan anusnya. Kedua lubang itu sudah dijamah banyak orang. Benar. Tapi baru sesakit ini Bu Norma merasakan imbasnya.

Kepala yang kini seringan kapas seperti bisa terbang.

Ketika akhirnya dia memandang ke seberang, Bu Norma masih merasakan nyeri pada perutnya. Nyeri itu sama sekali tak membantu wanita itu memahani kelahi di depannya. Butuh beberapa lama baginya sebelum menyadari bahwa yang sedang dibelit ular itu adalah Gagah, raksasa teman Pak Pur. Pria itu merupakan satu-satunya bandit yang belum menodai kehormatanya. Yang memilih undur diri daripada menyaksikan Bu Norma dilecehkan di meja makan.

Jika kekhawatiran Bu Norma dapat memberi Gagah tambahan tenaga, lelaki itu membutuhkannya. Bukan main liatnya otot-otot ular yang tengah coba meremukkan badannya. Belum lagi sedari tadi dia belum juga berhasil membuat ular itu berhenti menggigitnya. Memang gigi-gigi sang ular tidak didesain untuk mencabik-cabik, namun jika dia biarkan, dia tahu akibatnya akan fatal.

Harapan Gagah meroket saat dia dan si ular berguling membentur lemari pakaian besar. Geragapan lemari itu dia buka. Dia gedor-gedor dindingnya supaya berjatuhan besi-besi gantungan pakaian. Sekenanya dia sambar salah satunya. Tanpa sempat meluruskan ujung meelngkung hanger dalam genggaman, dia ayunkan senjata barunya. Perpaduan kerasnya sisik ular dan gaya yang ditimbulkan bacokan menyebabkan besi itu melengkung.

Tak putus asa, Gagah mencoba lagi dan lagi. Dari satu hanger ke hanger berikutnya. Hingga akhirnya empat mata hanger menancap di sekitar kepala ular yang membelitnya. Serangan tersebut jauh dari memuaskan. Reptil keparat itu masih ngotot juga.

Akan tetapi, untuk sesaat, belitan yang membungkus setengah badannya Gagah rasakan mengendur. Tanpa membuang-buang kesempatan, dia cengekram rahang atas dan bawah si binatang melata.

Sembari menggertakkan gigi, Gagah paksa mulut ulat itu membuka. Sedikit demi sedikit usahanya membuahkan hasil. Enggan melepas momentum, dia terus saja jauhkan kedua rahang hewan itu bahkan sesudah gigi-gigi bergerigi terlepas dari kulit pinggangnya.

Seraya berteriak kesetanan, Gagah kemudian robek mulut ular itu. Rahang yang aslinya dapat lepas dari engselnya ketika sang ular menelan mangsa yang besar itu tak berdaya dihadapkan pada kekuatan serta murka si raksasa. Sebelum mulutnya robek sepenuhnya, manik merah mata si ular sanca berkedip sekali. Tampaknya dia terkejut. Tidak percaya ada yang bisa mengalahkannya.

Meski mulutnya sudah robek dan kini badannya tak lagi mampu membelit, ular itu tak langsung mati. Sesudah Gagah membebaskan diri, dia amati binatang itu menggeliat-geliat mirip cacing kena siram air sabun. Dengan ngeri dia menunggu apa yang akan terjadi. Dia tidak yakin mampu bergulat sekali lagi.

Untung bagi Gagah, bukan cuma dia yang membenci si ular. Bukan cuma dia yang mau makhluk itu mati. Menggunakan pecahan kaca dari cermin yang dia pukul dengan tinjunya sendiri, Bu Norma menusuk-nusuk kepala ular itu hingga tak lagi berbentuk. Merah muncrat ke mana-mana. Mengotori perut dan dada telanjangnya. Menodai wajah lelah dan jilbabnya. Mengaburkan dunia di balik kacamata.

Bu Norma baru beringsut menjauh dari bangkai Sukar saat dia menengok ke belakang dan mendapati Gagah memandanginya seakan-akan dia jelmaan dewi penjaga neraka. Sembari menutupi ketelanjangannya dengan tangan menyilang di depan dada, wanita itu berkata, "Dia pantas mati."

Gagah meneguk ludah, lalu mengangguk. Entah kenapa, Bu Norma yang belepotan darah musuh tampak sangat-sangat menggairahkan di matanya. Jika sebelumnya dia cuma ingin mencicipi Bu Norma dalam rangka membuktikan pada dirinya sendiri bawa wanita berhijab itu dapat menggantikan tempat Ustazah Nuzula di hatinya, sekarang dia semata ingin menancapkan sedalam-dalamnya kontol besarnya pada rongga vagina Bu Norma.

Sebelum nafsu hewaninya mengambil alih, perhatian Gagah tersita oleh gempa yang tiba-tiba melanda. Meski kecil saja, guncangan yang pergi secepat datangnya itu meninggalkan jejak yang mustahil luput dari perhatiannya. Bu Norma agaknya juga sama. Dari cara wanita itu menatap retakan-retakan pada langit-langit dan dinding kamar, dia tahu dia harus kabur secepatnya.

Mereka harus angkat kaki kalau masih sayang nyawa.

Tanpa diminta, Gagah raup tubuh telanjang Bu Norma dari lantai. Mengabaikan luka-lukanya sendiri, lelaki itu berderap membopong Bu Norma ke luar kamar. Mulanya, pintu depan yang dia tuju. Zig-zag dia menghindari kematian yang datang dari atas dan samping. Tetapi, saat kian banyak saja puing-puing bangunan berjatuhan, dia pun ambil jalan keluar tercepat. Dari jendela terdekat, dia kemudian melompat. Kaca jendela itu hancur terkena hantaman bahunya. Kaki-kaki lelaki itu kemudian mendarat dengan sempurna di rumput taman yang berselimut kabut.

Tahu belum aman, Gagah pun kembali berlari. Dan benar saja. Bukan cuma runtuh, rumah di belakang mereka ambruk hingga ke pondasinya. Tanah di bawah mereka berguncang saat bumi menelan seluruh bangunan. Menyisakan lubang menganga. Orang tak akan percaya di sana sebuah rumah pernah ada.

Dalam dekapan Gagah, Bu Norma memeluk erat leher lelaki itu. Bahkan jika yang runtuh adalah langit di atas kepala mereka, wanita itu merasa segalanya akan baik-baik saja. Entah massa otot si raksasa atau wajahnya yang seram yang menjadi biangnya, Bu Norma sendiri kurang tahu. Yang jelas, saat gempa mereda dan mereka berhenti di bawah kanopi hutan, dia enggan cepat-cepat turun. Seakan-akan dia ingin digendong lebih lama. Ingin terus dekat dengan lelakinya.

"Udah," kata Gagah pada Bu Norma untuk pertama kalinya sejak mereka berjumpa, "aman kayaknya."

Dari mengamati sekeliling, di bawah temaram rembulan, Gagah dan Bu Norma bersitatap. Tidak ada sedikit pun rasa jijik terpancar dari sorot mata si pria. Begitupun sebaliknya. Mereka ibarat bocah SMA yang jatuh cinta pada pandangan pertama.

Dan tahu-tahu saja, Bu Norma kita menyosor bibir pemuda yang telah menyelamatkannya. Singkat saja pertemuan bibir mereka. Namun, itu cukup membuat dada keduanya berdebar. Jika tadi jantung mereka berdegup cepat karena adrenalin, kini penyebabnya adalah nafsu.

Ya. Bu Norma tahu lelaki itu menginginkannya. Gagah pun demikian. Mereka sama-sama paham apa yang akan terjadi selanjutnya di antara laki-laki dan perempuan yang saling suka. Fakta bahwa mereka belum kembali ke alam manusia tak mencegah pasangan beda usia itu untuk bercumbu. Di lantai hutan mereka berpelukan.

Di atas pangkuan Gagah, Bu Norma terbakar birahi. Sesuatu yang besar mengganjal kemaluannya. Oh, dia bisa menebak ukuran batang pahlawannya. Dan sebagai ucapan terima kasih, dia tahu ganjaran apa yang pria itu pantas terima. Sembari membimbing Gagah agar meremasi gunung kembarnya, Bu Norma cari-cari resleting celana jagoannya.

"Ehmmm, Bu?" tanya Gagah seraya meraup udara. Ngos-ngosan juga dia meladeni french kiss Bu Norma. Belum lagi, sekarang wanita itu mencari-cari kemaluannya. Seakan-akan, mereka sedang bulan madu saja. Jauh dari marabahaya. Di sana mau senang-senang saja."Apa... Bu Norma yakin?"

Bu Norma tersenyum. Dia mengangguk.

"Mas udah selametin saya." Dahi Bu Norma mengerut tipis, coba mengingat nama pahlawannya. "Saya hutang nyawa ke Mas... Gagah?"

"Tapi," jawab Gagah sesudah dia menelan ludahnya juga ludah Bu Norma, "perut Bu Norma gimana?"

Bu Norma masih belum menghapus senyumnya. Pada umumnya, selama yang bersangkutan nyaman, kehamilan bukan penghalang orang bercinta. Sukar adalah contoh buruknya. Siluman itu cuma mau menyiksa, sebenarnya.

Sambil membenahi letak kacamatanya, Bu Norma berkata, "Aman, kok, Mas."

Gagah sangsi. Seumur-umur baru ini dia mau ngentot wanita hamil. Bagaimana kalau kenapa-napa? Percuma kalau dia selamatkan Bu Norma cuma agar si wanita menderita.

"Kita coba dulu, ya?" tawar Bu Norma, mata mengerling manja.

"Bu Norma," panggil Gagah saat Bu Norma mengeluarkan kemaluannya dan terpana.

"I-iya, Mas?"

Kontol Gagah, bahkan dalam kondisi setengah tegang saja, tidak muat di tangan Bu Norma. Panjangnya sekarang sekurang-kurangnya sekitar 16 centi. Sama panjangnya dengan punya Kancil. Bagaimana nanti? Belum lagi, warnanya yang lebih gelap dari semua penis yang dia pernah coba mengingatkan Bu Norma pada bokep-bokep blackened yang Dokter Abi suka tonton itu.

"Bu Norma tahu, kan?"

Pertanyaan Gagah mengembalikan fokus Bu Norma.

"Tahu apa, Mas?"

"Ini... dosa, Bu."

Setengah tidak percaya, Bu Norma perhatikan raut muka Gagah dengan saksama. Dia kira lelaki itu bercanda. Ternyata tidak. Ada kepolosan seorang bocah dipantulkan matanya. Berbeda dengan Kancil yang polos karena kurang jam terbang, polosnya Gagah agaknya disebabkan oleh alasan yang sama sekali berbeda.

Hm. Menarik, pikir Bu Norma. Sepertinya, di balik wajah garang, rambut gondrong, badan kekar, serta kontol jumbonya, Gagah menyimpan rahasia. Yang tidak bisa sembarang orang buka.

Hanya ada satu cara mengetahuinya.

"Saya... ehm," kata Gagah begitu Bu Norma mulai mengurut penisnya, "emoh kalau Bu Norma kepaksa."

Lagi, Bu Norma terkejut.

"Lha kenapa, Mas?"​

til centil centil
05939de31bc0945b408f2869189b9e4cb173042d-high.webp

Berkedip cepat, Gagah berkata, "Buat saya... ah, cewek kayak Bu Norma cocoknya disayang-sayang gitu."

Cewek? Pintar betul lelaki itu memuji Bu Norma awet muda tanpa melebih-lebihkan apalagi dibuat-buat.

"Mas sayang saya?"

Kini Bu Norma membelai buah zakar Gagah yang tegang dan rapat menggantung pada pangkal kejantanannya. Si pria pun dibuat mendesah. Halusnya telapak tangan wanita itu tidak main-main, dia mencatat dalam hati. Kancil tidak membual ternyata.
"Maaas?" tanya Bu Norma saat Gagah cuma menggumam-gumam saja menikmati servis tangannya dan lupa menjawab.

"Ehmmm?"

"Mas sayang saya?"

Kali ini, Gagah mengangguk.

"Kenapa? Kita, kan, baru kenal."

Oh, andai Bu Norma tahu dalam empat bulan terakhir adalah dirinya yang Gagah bayangkan saat dia bercinta dengan Daisy atau ketika lagi coli.

"Maaas?"

"Iya, Bu?"

Gagah membuka matanya.

"Mas, kok, bisa sayang saya, lho? Jangan bilang Mas dulu murid saya."

"Hmmm. Kenapa, ya?" Gagah coba mencari-cari jawaban yang terdengar pintar. Tidak ada, sayangnya. Bukan gaya dia juga. "Yaaa, saya sayang aja. Masa nggak boleh, Bu?"

Bu Norma tersipu. Malu. Semua lelaki yang pernah menzinai dirinya memuji badannya. Dengan cara mereka masing-masing, tentunya. Ada yang mau dia jadi boneka seks, istri, sampai gundik. Wajar. Mereka sudah merasakan kehangatan mulutnya. Sudah menyusu padanya. Kontol mereka sudah dijepit lobang surgawi dan lobang tahinya.

Lha ini, Gagah bahkan belum dapat apa-apa.

Jujur, baru kali ini hati Bu Norma seberbunga-bunga ini. Dia bahkan tak ingat bunga-bunga yang sama pernah mekar pada malam pertama dengan suami sahnya.​

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd