Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Trix!

jeng Eliza jadi kayak malu malu gitu ...

... timbul sebentar terus tenggelam lagi ... tenggelam lagi terus timbul sebentar ...
 
Please.... jangan sakiti Nanas :sendirian:
Aku ga tega kalo nanas disakitin
 
kyaaaah.... udah pada nungguin.... benernya mau aku rilis malam ini, tapi bene cape banget..... cuma sanggup rilis yg di versi oranye dulu, versi biru harus dikasi BB Code ini yg bikin pusing, besok malem yah teman-teman.... oia, ini belum tamat, masih ada Epilog....

tapi kalau masih ada tenaga, aku coba deh rilis tar... doain ajah
 
kyaaaah.... udah pada nungguin.... benernya mau aku rilis malam ini, tapi bene cape banget..... cuma sanggup rilis yg di versi oranye dulu, versi biru harus dikasi BB Code ini yg bikin pusing, besok malem yah teman-teman.... oia, ini belum tamat, masih ada Epilog....

tapi kalau masih ada tenaga, aku coba deh rilis tar... doain ajah

Akoh tak sabar menanti :tidak:










:Paws:
 
kyaaaah.... udah pada nungguin.... benernya mau aku rilis malam ini, tapi bene cape banget..... cuma sanggup rilis yg di versi oranye dulu, versi biru harus dikasi BB Code ini yg bikin pusing, besok malem yah teman-teman.... oia, ini belum tamat, masih ada Epilog....

tapi kalau masih ada tenaga, aku coba deh rilis tar... doain ajah

Rilis sekarang plis :cim::cim:
 
TRIX VER 3.0

KALAU KALIAN NGGAK IKUTIN VERSI ORANYE YANG UDAH DI-REBOOT,

SILAHKAN BACA DARI PART 53.

NGGAK BANYAK YANG BERUBAH, CUMA AKU RAPIKAN SAJA
___________________________


Part 73
Apertura
by: R.M Distrodiningrat





"Elu ada password-nya forum-nya Trix, Jo?"

"Ngapain, nanya? Mau lu hack?"

"Kagaklah, siapa tahu kita menemukan petunjuk dari inbox-nya, barangkali?"

"Gue tahu semua akun virtual Trisna. Kecuali itu."

"Berarti elu tahu password e-mail-nya, dong?"

Aku mengangguk.

"Nah, itu malah lebih bagus lagi."

─Nanas mengalihkan pandangan ketika aku memasukkan nama akun dan kata kunci yang kami bagi berdua.

"Nah. Karena kalau ngenet make Chrome, biasanya browser history-nya tersimpan di server mereka... eh, gue ngomong gini bukan karena di-endorse Google, yah... hehehe..." Si Kepo mengutak-atik pengaturan akun Google milik Star, sampai akhirnya..., "...tadaaaaaaa...." bibir Nanas menyunggingkan senyum kemenangan.

Nanas membuka browser history. Pandangan kami segera tertuju pada rekam jejak virtual seorang Trickst∆r. Kebanyakan laman forum. Nyaris tak ada yang aneh selain salah satu thread yang paling sering dibuka olehnya.

"Gathering Nasional. Gue emang sempet mau ikutan sih, udah daftar malah, tapi karena situasi lagi hectic gue batal ke Jogja."

Mata kami bergerak menelusuri nama-nama orang yang paling sering membalas pesan Trickst∆r pada message board, tentu saja, dua nama itu yang paling sering muncul. Meiji dan Piscok, bahkan Piscok mengajak Star bertemu di Jogja.

"Hmmm... interesting...," Nanas manggut-manggut sambil membelai dagu bak detektif Conan ketika menemukan petunjuk.

"Benernya gue perlu lihat isi inbox private message-nya, tapi berhubung elu nggak tahu password forum-nya, jadi...." Tangan Nanas bergerak cepat pada tetikus, membuka fitur 'lupa password'.

Muncul kode Captcha. Muncul beberapa pertanyaan pribadi yang menjadi verifikasi ketika kamu melupakan kata kunci.

Nanas menekan tombol konfirmasi.

"Gue cuma berharap Trix memakai alamat e-mail ini waktu daftar forum... karena...."

Terdengar suara notifikasi surel masuk. Pemberitahuan kata kunci yang baru ada di dalamnya.

"Tadaaaaa...." Mata Nanas langsung berbinar ketika antarmuka halaman log in berhasil terbuka.

"Positif. Trix ketemu sama Piscok kemarin siang. Dia kayanya bener-bener desperate sampai mau diajak ketemuan sama orang asing. Did something happen, Jo?"

"Gue berantem sama Trisna."

"Ach, so..." Nanas mengerling bahagia.

"Fokus!"

"Hehehe... sorry, kebanyakan nonton Rumpi No Secret..." Nanas tersenyum. "Tapi sekarang kita punya petunjuk."

Nanas memperlihatkan isi kotak masuk akun forum Trickst∆r. Hampir semua berisi pesan pribadi dari Piscok yang merayunya untuk bertemu. Ironisnya, kami tidak memiliki petunjuk apapun selain nama alias dan avatar bergambar kucing.

Nanas menunjuk nama sebuah kafe di bilangan Gejayan. Piscok sepertinya mengajak Star bertemu di tempat itu. Setelah itu tidak ada aktivitas yang terlihat di forum selain riwayat log in terakhir duabelas jam yang lalu.

"Elu bisa ngelacak alamat IP, jo?"

Aku menggeleng, "tapi gue tahu siapa yang bisa."

─Aku meminta bantuan Momod Redho untuk mengintip alamat IP yang digunakan Piscok.

"Setidaknya kita tahu dari mana harus mencari."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Matahari telah condong ke barat dan menggelapkan cakrawala. Nanas duduk menghadapi layar monitor. Matanya yang bundar bergerak meniti barisan chat yang ditinggalkan Piscok. Di saat-saat seperti ini bakat kepo-nya ternyata sangat berguna. Aku sedang berkoordinasi dengan Redho dan anak-anak Valhalla untuk melacak keberadaan Piscok dan Star ketika aku mendengar pintu kamarku diketuk.

Nanas membuka pintu. Mbak Juminten melongok ke dalam.

"Mbak, ada yang nyari."

"Siapa?"

"Yang tadi siang. Sekarang datang lagi."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Hati-hati, aku mengintip ke arah ruang depan yang digunakan untuk menerima tamu dari balik tirai kerang. Tiga orang duduk di situ tanpa melepas sepatu. Aku bisa melihat jejak-jejak basah di atas lantai yang berwarna kelabu. Badan tegap dan rambut cepak khas militer. Orang suruhannya Babe Piscok? batinku mengantisipasi

Seorang yang kutenggarai sebagai pimpinan langsung berdiri begitu melihatku melangkah memasuki ruang tamu. Tangannya bergerak menjabat. Aku menjaga jarak aman. Mengamati dengan waspada.

Usia pertengahan 30-an, aku menaksir. Tubuh tegapnya dibalut celana jins dan sweater kelabu yang basah terkena hujan. Langit mendung dan lampu penerangan yang belum dinyalakan membuat sekelilingku tampak gelap dan remang, tapi aku bisa menangkap raut khawatir di wajahnya yang dipenuhi cambang tipis.

"─temannya Trisna?" ia menyebut nama panjangku.

Aku mengangguk.

"Saya Arga, Tris mungkin pernah cerita."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Aku baru mengenali wajahnya begitu lampu yang tertanam pada kandil di langit-langit memancarkan cahaya temaram. Raut tegas yang selalu berada dalam foto keluarga yang diperlihatkan Star padaku ketika menceritakan orang yang paling sayang terhadap dirinya selain aku.

Adalah Bang Arga, kakak tertua Star yang berdinas di Kartasura. Star pernah bercerita beberapa kali tentang kakaknya, perwira lurus yang berbanding 180 derajat dari ayahnya yang korup. Dekat dengan penguasa sejak rezim Orde Baru, sang ayah berharap besar bahwa si sulung akan melanjutkan dinasti politiknya, meski sang perwira lebih memilih mendaki jenjang karir militer ketimbang maju dalam pilkada seperti anak politikus dari partai tetangga.

"Adik saya menghilang," kata Bang Arga tegang. Tangannya bergerak mengulurkan ponsel. Ada pesan masuk dari adiknya di situ.

"Dua hari yang lalu saya mendapat SMS dari Trisna yang berisi permintaan maaf dan selamat tinggal."

"Saya kira dia hanya mencari perhatian seperti biasa. Tapi waktu teman kuliahnya dibunuh, dan Trisna tidak bisa dihubungi, saya tahu ada yang tidak beres." Bang Arga berkata sambil menaiki tangga menuju lantai dua.

Bang Arga menghela napas berat melihat kondisi kamar Star yang berantakan.

"Trisna sakit," kata Bang Arga lirih, ujung jarinya mengusap pada figura foto keluarganya yang terpecah.

"Saya tahu."

"Dan bapak punya banyak musuh."

Sudut mata Bang Arga melirik pada Nanas yang terlihat mengintip takut-takut dari ambang pintu.

"Waktu kita tidak banyak. Kalau kamu benar-benar peduli kepada Trisna, kamu harus bisa bekerjasama. Saya memerlukan semua informasi tentang Trisna. Siapa yang ditemuinya. Siapa yang dihubunginya selama dua hari terakhir ini."

Nanas melirikku khawatir. Mengungkap aktivitas incognito Star kepada aparat berseragam loreng terdengar sama buruknya dengan melapor kepada polisi.

"Kalian bisa percaya kepada saya," Bang Arga berkata, seolah menangkap raut keragu-raguan di wajah kami berdua, "Saya sedang bebas tugas, lagipula saya bicara sebagai kakak Trisna."

Aku dan Nanas saling berpandangan. Pilihan apa lagi yang kami punya?

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

"Ini situs berbahaya," desis Bang Arga ketika wajahnya terpantul di atas antarmuka situs yang didanai dengan iklan judi online itu. "Kamu tidak tahu orang seperti apa yang bisa kamu temui di tempat seperti ini."

Adzan Maghrib terdengar sayup ketika kami bertiga duduk di depan komputerku yang menyala redup. Alamat IP yang digunakan Star untuk mengakses forum ternyata sama dengan alamat IP Babe Piscok. Kalau benar orang itu yang terlibat dalam pembunuhan Ratu, berarti Star berada dalam bahaya.

2 orang anak buahnya yang menghadapi dua unit komputer jinjing di ruang tamu berhasil melacak lokasi log in terakhir Star yang berasal dari jaringan WIFI sebuah apartemen mewah yang baru dibangun tahun lalu.

Meski besar kemungkinan disamarkan dengan proxy, tapi setidaknya kami memiliki petunjuk untuk melacak si biang kerok. Sekarang masalahnya tinggal adu canggih teknologi korps Sandiyuda dengan mafia dunia hitam.

Terdengar suara mobil dinyalakan dari luar pondokan, Bang Arga melangkah terburu dan melompat naik ke dalam mobil.

Aku berniat turut serta, tapi dicegahnya.

"Ini adalah urusan pribadi keluarga saya. Kalian tidak usah ikut campur."

"Saya akan menyelidiki hal ini. Jika ada informasi, hubungi saya." Bang Arga memberikan nomornya yang bisa dihubungi.

Bang Arga menatap tajam ke arahku.

"Dan tolong, jauhi adik saya."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Sandyakala kehilangan warna oleh awan gelap yang menggantung di cakrawala. Hujan yang turun nyaris tanpa akhir selama dua hari terakhir ini membuat gorong-gorong meluap dan kemacetan panjang mengular nyaris di semua penjuru kota. Pukul tujuh lewat sepuluh aku baru sampai di perumahan mewah di Ring Road Utara.

Aku mengarahkan kemudi pada jalan paving yang berujung pada sebuah cul de sac. Sepi. Hanya terlihat satu-dua anak buah Mamet yang berjaga di teras town hose bergaya Catalan itu.

Bang Arga yang menghubungi dari tempat persembunyian Piscok tak menemukan apapun selain jalan buntu. Tempat itu ditinggalkan dengan terburu-buru, dia langsung tahu dari sprei yang dibiarkan berantakan dan gelas-gelas minuman berisi wine yang dibiarkan tergeletak pada meja.

Komputer jinjing Star masih terletak di atas pengisi daya, bersama ransel dan pakaian kotornya yang dibiarkan berserak di lantai kamar tidur. Positif, anak itu pernah berada di sana.

"Aneh. Katakanlah dia ingin berbuat jahat kepada Trisna, dia seharusnya tidak meninggalkan bukti sedikitpun. Ini terlalu sloppy buat orang yang sudah berhasil mengacak-acak forum."

"Dia sengaja meremehkan."

"Or perhaps. Dia sengaja ingin ditemukan," sambungku

"Orang sesinting apa yang punya jalan pikiran seperti itu?"

Aku mengangkat bahu. "A-J, kali?"

Hujan turun kian deras. Nanas berusaha mengusir rasa cemas dengan menenggak alkohol di ruang tamu, sementara beberapa teman Mamet yang ditugaskan menjaga markas terlihat antusias mengajak janda bertubuh sintal itu bercakap-cakap. Aku mencium bau alkohol yang berasal dari sebotol Mansion yang dibuka. Seorang menawariku segelas. Tapi aku menolak tegas.

Bukan anak forum. Teman-teman nongkrong Mamet yang kebanyakan berprofesi sebagai bouncer di klab malam, jawab mereka ketika kutanya. Mamet bilang mereka bisa dipercaya. Tapi justru itu yang membuatku merasa tidak aman.

Iko mengatakan si biang kerok ternyata mengendalikan tiga faksi sekaligus dalam papan caturnya. Valhalla dengan Piscok. LXW dengan Jeng Eliz. Conformist dengan A-J yang menjadi ahli strategi Flo. Siapa yang bisa menjamin kalau Sang Mastermind tidak menyusup ke dalam kelompok ini?

Aku menyeduh segelas kopi hitam sambil mengamati situasi dari kejauhan. Dua orang tampak berjaga di teras depan. Satu orang di halaman belakang. Pisau butterfly ada di saku celana, dan kuharap tidak pernah kugunakan....

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​



Pukul sembilan malam. Iko masih belum berhasil dihubungi. Ponselku akhirnya menyerah ketika bar baterainya pupus di satu balok terakhir dan terpaksa kutancapkan pada pengisi daya di ruang tamu.

Komunikasi terakhir dengan Iko adalah ketika ia menghubungiku untuk memberitahu identitas Piscok ─yang segera kubagi dengan Bang Arga. Perwira menengah itu lalu mendapatkan informasi A1 mengenai orang yang mengurus uang keamanan di Incognito Bar, ─seorang broker─ yang menghubungkan dunia hitam dengan pejabat tinggi, beking agar klub pecinta sesama jenis itu bisa terus beroperasi.

"Guess who," kataku pada Nanas.

"Bokapnya Trix?"

"Yep."

Hujan turun makin deras. Ada perasaan dingin yang perlahan merambati pembuluh darahku menyadari kepingan-kepingan puzzle yang seolah tidak saling berkaitan ternyata saling berhubungan satu sama lain....

Tangan Kiri Sang Iblis. Aku nyaris tak percaya ketika Bang Arga mengungkap semua. Pesan dari Bang Arga masuk beserta sebuah foto rekaman CCTV. Mataku sontak menajam. Aku melihat Star di layar. Mengenakan dress merah gelap didampingi seorang pria berbadan tegap menuruni elevator. Piscok? batinku. Karena Star tidak seperti sedang disandera.

Bang Arga: yang ini orangnya? mohon konfirmasi A.S.A.P

Aku belum pernah bertemu Piscok, kubalas. Karena yang pernah bertemu dengan orang ini person to person hanyalah: Meiji, Flo, dan Star.

Pesan itu kuteruskan pada Iko untuk mengkonfirmasi identitas sang mastermind, tapi tentu saja, hingga tengah malam belum ada balasan.

Berkas foto kedua terkirim ke dalam ponselku. Ada foto sekelompok pengusaha yang sedang memancing di kepulauan Raja Ampat. Salah satu wajah aku kenali sebagai ayah Star −seorang pejabat publik yang sedang memegang seekor ikan kakap, sementara di sampingnya duduk seorang laki-laki tegap dengan brewok tebal dan mengenakan kacamata hitam.

Piscok, batinku geram. Aku sedang mencoba mengingat-ingat di mana aku pernah bertemu dengan bajingan itu ketika sosok ketiga yang berada di latar belakang menarik perhatianku. Laki-laki yang mengenakan topi merah dan terlihat merokok di kejauhan. Kaca mata hitam. Kaus distro rancanganku. Dan brewoknya tampak familiar. Mataku bergerak memicing. Aku harus memperbesar dengan 3 kali zoom untuk melihat dengan jelas piksel demi piksel yang makin lama makin tampak jelas.

Asu buntung.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Punggungku segera menegak, sikap tubuhku segera berubah waspada. Dari mana logikanya Rejos bisa berada dalam frame yang sama dengan ayah Star?! Batinku panik.

Aku berusaha bersikap tenang, mengamati situasi sekitar, dan menemukan opsi terbaik untuk melarikan diri. Seorang terlihat menelpon di teras. Pintu keluar ada di sebelah kiri. Kunci mobil berada di saku kiri. Sekarang tinggal Nanas. Bajingan betul.

"Nas... gue mau ngomong, penting," aku berkata, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Apa, Jo...? Elu dengerin mop-nya oom ini deh.... Lucu banget, tahu!" Nanas tampak terlalu mabuk untuk menyadari bahwa kami sedang berada dalam bahaya.

Suara kekehan mesum terdengar menimpali racauan janda satu anak yang berada dalam intoksikasi etil-alkohol itu.

Aku merampas gelas di tangan Nanas, dan menarik tubuhnya berdiri. "Nas. Dengerin gue. Elu udah kebanyakan minum."

"Ah payah, nggak seru lu, Jo...," Nanas merengek manja, melingkarkan kedua lengannya di leherku.

"Iya, boss... ikut minum sama kitorang, kah!" seorang menimpali dengan wajah kurang senang.

"Makasih, tapi saya lagi mengurangi alkohol," tegasku ketus.

Aku membopong Nanas yang setengah sadar menuju pintu keluar, tapi seorang berdiri menghalangi. Tegap, berkulit hitam khas Indonesia timur.

"Mau kemana, kaka? Biar saya temani, kah?"

"Ke Circle K. Kalian mau nitip? Nanti saya belikan bir satu krat."

Aku tersenyum menipu, mempercepat langkah ke arah mobil. Gemetar, aku memasukkan kunci ke dalam slot pintu mobil. Namun bayangan lelaki berkulit hitam itu tiba-tiba terlihat memantul dari kaca jendela.

"Abang Rejos bilang torang belum boleh pergi."

"Bilang sama Rejos. Saya cuma pergi sebentar."

"Aduh kaka, nanti beta dapat marah."

Tiga orang berdiri dan mendekati kami dari belakang. Seorang memegang pundakku dan kutepis kasar.

"Lepas!" hardikku geram.

"Eh, jangan marah-marah, kaka... beta di sini cuma mau bantu kaka torang...."

Mataku bergerak nyalang, mencari benda terdekat yang bisa kujadikan senjata.

"Kalau saya jadi kaka, saya tidak akan melakukan tindakan bodoh. Abang Rejos dalam perjalanan, sebentar lagi tiba."

Seorang merenggut Nanas kasar pada lengannya, membuat anak itu meringis kesakitan. Seorang lagi menyibak jaket kulit dan memperlihatkan belati besar di pinggangnya. Seorang memepetku pada sudut mati.

Tak ada jalan keluar.

Keparat.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​

Terlihat cahaya lampu yang mendekat dari kejauhan disusul suara ban berdecit ketika mobil itu berhenti tepat di depan gerbang. Mamet, Rejos, dan teman-teman mereka yang berbadan kekar melompat keluar dari dalam mobil. Basah kuyup dengan kaki belepotan lumpur, langsung mengelilingi kami yang disandera di ruang tengah.

"Mana yang lain?" aku menghardik, mencoba tak menunjukkan rasa takut.

Mamet tak merespon. Rejos hanya menggedikkan bahu lalu melepas sepatunya yang dipenuhi lumpur.

"Duduk, Jo. Ada yang mau gue omongin," Rejos berkata dingin.

Aku melirik pada asbak besar di atas meja, vas bunga di dekatnya, dan aku hanya berharap tidak perlu menggunakan salah satu daripada benda-benda itu untuk menghantam kepala Rejos.

"Gue serius. Iko dan Flo elu kemanain, heh?!""

"Ada...," sahut Rejos tanpa mengalihkan pandangan yang mengawang di kejauhan.

Lima orang berbadan kekar muncul mengelilingiku. Mamet duduk di di depanku menyeringai memandangi lekuk tubuh yang tercetak jelas di balik kaus tipis yang ku kenakan.

"Jo. Ini nggak seperti yang kamu bayangkan.

"Gue nggak mau elu salah nangkep. Kita di sini sama sekali nggak bermaksud buruk. Setidaknya sama elu."

"Gue bakalan percaya kalau gue lihat temen-temen gue."

"Mereka... aman...," kata Rejos pelan, sambil melirik ke arah Mamet. "Sekarang gue cuma perlu elu ikut gue."

"Jos. Elu temen gue dari jaman susah. Gue tahu elu bukan orang-orang yang mengandalkan kekerasan untuk menyelesaikan masalah," aku berkata mempersuasi.

“Dan elu juga seharusnya tahu. Gimana susahnya menjaga komunitas sampai segede ini,” Rejos menarik napas panjang, seolah sedang menahan emosi jiwa di dadanya. “Jujur. Elu juga nggak bakalan bisa terima kalau Iko diam-diam menjadi informan Polisi.”

“TAI, LU! JAGA OMONGAN LU, YA!”

“Udahlah, elu nggak usah belain dia lagi.”

“BELAIN APA?! LU YANG BENER KALAU NGOMONG!!!”

“TAIK LAH!!!!” suara Rejos berubah meninggi.

“Jos. Kalaupun itu emang benar, bukan kaya gini caranya.”

"Jo... Kami terpaksa melakukan ini. Kami sudah berusaha menyingkirkan Iko dengan cara yang paling halus. Seharusnya semua ini sudah selesai waktu Iko dikeluarkan dari komunitas. Tapi elu dan Flo malah melibatkan dia lagi ke dalam masalah!"

Geledek besar terdengar bersama dengan aliran darahku yang membeku.

Serangan pertama pada lapak Trix...

Pertemuan dengan Admin dan Meiji di Jakarta...

─ Semua rencana brilian yang ditujukan demi satu tujuan....

Rejos tersenyum dingin. "Elu nggak mungkin terlalu naif kalau berpikir 'kasus biang kerok' difabrikasi buat naikin nama Trix doang, kan...?"

"Jos... jangan bilang... elu...."

Seringai kemenangan terbit di bibir Rejos.

"It can't be helped. Seharusnya Iko tahu, begitu dia berniat melakukan itu, kepalanya bakal jadi incaran bandar judi dari Hong Kong sampai Makau. That bastard has kicked the hornet's nest."

"Tapi bukan begini caranya!"

"Gue bisa bilang apa? Ini semua 'pesanan' dari 'atas'."

"Gue kecewa sama lu, Jos."

"Seharusnya elu bilang itu sama Iko," dengus Rejos geram.

Nanas meringkuk di ujung sofa satunya, Jo bisa mendengar suara tangisannya yang gemetar. Suara mobil terdengar dinyalakan dari arah garasi dan halaman.

"Ikut," perintah Rejos tegas.

"Ke mana?"

"Ketemu sama temen-temen lu."

"ELU APAIN TEMEN-TEMEN GUE, NJING!"

"Tergantung," kata Rejos dingin. "Elunya bisa kooperatif apa enggak."

Rejos memerintahkanku berdiri untuk digeledah. Tangan menempel di tembok dan kedua kaki yang dibuka lebar-lebar. Mamet tercengir girang ketika diperintahkan untuk mengeksekusi. Dengan senang hati melucuti dompet, ponsel, dan butterfly knife yang berada di kantung.

"Njir, ngeri gue," decih Mamet melecehkan sambil melemparkan senjata tajam itu ke arah Rejos.

Gemetar, Nanas hanya bisa menunduk ketika tubuhnya diikat. Pekikan tertahan terdengar sepasang matanya ditutup dengan kantung, namun benda tajam yang mengancam di pinggangnya membuat sang single mom meringkuk.

"Jos. Elu salah kalau mengira gue sama sekali nggak punya rencana."

"Do you?"

Tangan Mamet yang bergerak pada pinggangku. Aku merasakan napas bau Mamet yang mendengus di tengkukku. Tubuhku menegang. Mengantisipasi gerakan apapun yang akan terjadi satu detik kedepan.

"Sorry, Jo. Tapi kami terpaksa melakukan ini."

─ tiba-tiba Nanas memekik tertahan .

"ANJ─" kata-kataku tidak selesai, karena bibirku tiba-tiba dibungkam dengan sapu tangan. Bau tajam. Trichlorometana. Otakku segera memberi tanda bahaya, namun beberapa partikel-partikel memabukkan sudah terlanjur terhisap ke dalam paru-paru.

Ada amarah yang tiba-tiba mengambil alih koordinasi susunan saraf pusatku.. Amarah yang menggerakkan tanganku dengan sendirinya.

Kepalaku terasa ringan. Ketika tersadar Mamet sudah terkapar di lantai dengan kepala bersimbah darah. Tanganku gemetar memegang asbak yang pecah pada ujungnya.

Meradang, aku menghantamkan asbak pada seorang lagi yang masih terperangah sehingga pria berbadan gempal itu menyusul Mamet memegangi tulang hidungnya yang patah. Seorang berusaha menerjang dan segera kusambut dengan tendangan pada selangkangan. Dua orang mengapit dari kanan dan kiri, memegangi kedua lenganku yang bergerak memberontak. Aku berteriak garang. Hingga bogem mentah Mamet yang menghantam tulang rahangku membuatku jatuh tersungkur.

Pandanganku terasa berkunang. Rasa darah pada bibir. Aliran adrenalin yang membanjiri pembuluh nadi menyamarkan rasa sakit dari ujung-ujung syarafku. Terhuyung, aku mencoba bangkit, tapi tendangan sekuat tenaga dari pria bertubuh Ade Rai itu menghantam tepat pada ulu hati, membungkam perlawanan sia-siaku. Nanas menjerit histeris namun segera dibungkamm beramai-ramai.

"BAJINGAN INI EMANG SEKALI-SEKALI HARUS DIKASIH PELAJARAN!" dengus Mamet sambil menjambak rambutku dan menyeretku di sepanjang ruang tamu.

"ANJING, LO MET!! LEPASIN GUE!!! LEPASIN GUE!!! GUE MATIIN KALIAN SEMUA!!!!" jeritku sambil meronta dan mencakari tubuh gempal sang bajingan.

"DIEM LU, BAJINGAN!!!" bogem mentahnya kembali bersarang pada wajahku.

Mamet, bajingan berambut gundul itu memerintahkan anak buahnya memegangi tanganku, lalu menyumpalkan sapu tangan berlumur Kloroform di mulutku.

Aku membeliak meronta, mengerahkan seluruh daya upaya untuk bisa melepaskan diri. Aku menendangi selangkangan Mamet, mencakari kepalanya, dan menghantamkan tinjuku sekuat tenaga. Tapi kamu tahu itu sia-sia. Cengkeraman kedua bromocorah itu terlalu erat membelenggu gerak tubuhku. Kamu juga tahu, tak butuh waktu lama hingga aku kehilangan tenaga dan yang tersisa hanya rasa putus asa yang hadir bersama otot-ototku yang kehabisan glukosa.

Partikel obat bius itu mulai memberikan reaksi. Aku masih mempertahankan sedikit kesadaranku. Tapi dari persepsiku dunia mulai terlihat limbung, dan telingaku tidak bisa mendengar apapun selain gema-gema triol yang tak terdengar jelas.

Bunyi denging.

Kemudian hening.

Hening.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​


Written by: ________???___________
Jo tidak tahu sudah berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Deru mesin. Guncangan yang terasa sesekali. Ia hanya merasakan laju mobil melambat yang berbelok tiba-tiba. Kepalanya pening. Dan telinganya masih berdenging. Tubuhnya yang terasa limbung membuatnya kehilangan orientasi akan arah dan waktu.

Terasa guncangan keras ketika ban radial itu menggilas beberapa speed bump tanpa mengurangi kecepatan. Jalan menurun dan sedikit berputar, ─mereka memasuki basement sebuah gedung. Terdengar deru mesin sebelum akhirnya berhenti didahului suara berdecit tertahan.

Jo hanya merasakan dirinya dibopong di lorong panjang berwarna putih. Nyala neon. Suara dengung pendingin udara. Jo merasakan dingin yang tak biasa ketika mereka melangkah semakin jauh ke dalam. Pandangannya mengabur, tapi Jo bisa menangkap deretan daging-daging beku yang tergantung pada kait besi. Bunga es yang mengeras pada langit-langit. Kabut tipis terlihat dari cuping hidung setiap napasnya mengembus. Mereka sedang berada dalam lemari pendingin raksasa.

Sebuah pintu baja terletak di ujung satunya. Pandangan Jo segera disambut dengan pemandangan ruangan besar denga keramik kusam di keempat sisinya. Beberapa meja besi. Genangan darah yang belum sempat dibersihkan. Kamu tahu itu tempat apa. Tapi Jo bahkan tidak bisa memikirkan apapun. Bahkan ketika tubuhnya dibaringkan di atas meja besi yang digunakan untuk memotong-motong daging has.

Napas Jo terlihat tersengal, berusaha mempertahankan kesadarannya. Sepasang matanya menatap nanar, Nanas dibaringkan di meja besi di sebelahnya. Janda bertubuh montok itu sedang ditelanjangi, bajingan-bajingan itu sepertinya tidak sabar lagi untuk mencabuli perempuan berdarah Arab itu.

"An.... Jing...," bibir Jo mengumpat lemah, karena Mamet juga melakukan hal yang sama kepada dirinya.

Menyeringai kurang ajar, bajingan itu mengusap-usap bagian-bagian tubuhnya yang paling pribadi. Jo membeliak geram, menggerang tanpa bisa melakukan perlawanan ketika sebelah tangan Mamet menyingkap kaus basah dan menampakkan sepasang buah dada mungil yang dibebat dengan kemben ketat.

"Sudah lama banget gue pengen ngedeketin elu, mbak. Tapi sayangnya 'yayang-lu' selalu ngelindungin elu dari dulu....,"

Mamet menyeringai mesum. Lampu neon yang temaram berayun di atas wajah Jo yang tirus. Rambutnya masih basah dan tergerai, jatuh tepat di bawah telinga. Dagunya yang lancip dan hidungnya yang bangir terlihat menggoda, juga sepasang bibirnya yang lembut dan tebal dan selalu berhasil mengundang siapapun untuk melumatnya berlama-lama.

Dan Mamet. Bajingan gundul itu, memandangi wajah Jo dengan mata tak berkedip. Buah jakunnya bergerak turun naik di dalam kerongkongannya yang mengering. Leher jenjang Jo yang berwarna putih pualam berserta pundaknya yang telanjang membuat posisi Mamet makin tidak tenang karena sesuatu yang mengeras di dalam celananya.

Mamet menurunkan kemben ketat Jo, bibirnya kini terbenam pada tajuk-tajuk merah muda yang disangkal Jo selama ini.

"Bangsat, lu mbak... sayang banget muka secakep elu cuma jadi lesbi," dengus Mamet termegap-megap menjilati buah dada mungil itu..

Wajah Jo membeliak geram ketika satu persatu pakaiannya dilucuti dan Mamet ikut melepas gesper sabuk dan menurunkan reitsleting. Sepasang paha Jo dibuka lebar-lebar, dan Mamet agak berjinjit demi mengarahkan ujung tumpulnya di belahan kewanitaan gadis tomboy itu.

"Rileks... tenang aja, mbak... gue bakalan lembut."

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●​




By: Trickst∆r

Joanna Sandrioriva. Aku langsung tahu kalau dia adalah belahan jiwa.

Tapi kita sama-sama wanita, kata Jo ketika aku menyatakan cinta untuk kali pertama.

Tapi kamu selalu mengajak tidur cewek-cewek nggak jelas di kamarmu, protesku. Kenapa saya dijadikan pengecualian?

Karena kamu beda, kata Jo.

Kenapa?

Karena nanti saya jadi benar-benar sayang sama kamu, jawabnya setengah bercanda.

Ih. Gombal! Wajahku tersipu.

Lagipula kita tidak akan bisa jadi satu.


Bersambung...


Thx to:


Sis Era

Agan Dhani

Andre Diaz

Ulrich

Speeza

Abond

Aryosh​
 
uwoww:jempol:wfff mantabbb...

berarti ane kudu ambil dari part MaTiga dunk..
:pusing:


bisa banghet :jimat:jeng Eliz ambil moment​
 
@mtroyes maunya rilis dari kemren2 tapi masih panas LZ-nya...
belum tamat ini kak masih ada dua part lagi, part Trix dan part Jo

oia, kudu baca dari part 53, tapi itu sekitar 6 update ke belakang,
jalan cerita tetap sama, tapi aku kasih upgrade keren banget buat kepribadian Trix, baca aja...
kalau nggak baca tar kemungkinan besar bingung klau Trix narasinya pakai sudut pandang orang kedua

buat yg bingung kenapa Jo cewe, itu benerna udah jelas banget clue-nya dari awal cerita
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd