13
Oke, si Budi ini lahir di keluarga biasa-biasalah. Bapaknya punya usaha kontraktor sama jasa penyuplai personel cleaning service. Ibunya karyawan swasta sebagai admin. Budi ini anak semata wayang dan sangat disayang. Saking disayang ortunya, Budi jadi sedikit terkekang. Dia kalau pulang malam pasti diteleponi. Kalau mau menginap atau liburan pasti ditanya macam-macam. Tapi segala kebutuhannya terpenuhi. Sangat terpenuhi. Apa pun yang dia mau pasti dibelikan. Hidup Budi tidak pernah kekurangan. Kekurangan dia hanya satu: dianggap anak manja di sekolahnya sehingga dia dilabeli anak mami.
Label anak mami itu terbawa sampai ke SMA. Habis dari SMA, dia masuk ke kampus bersama beberapa orang temannya. Teman-temannya itu yang membawa label anak mami Budi ke kampus. Itulah sebabnya dia menjomblo dari semester satu sampai semester lima. Di semester lima inilah dia dikirim ke daerah KKN yang sebut saja daerah P.
Daerah P ini bagian baratnya Jawa Barat terus dekat ke pantai selatan. Nah, di daerah P ini ada satu perwakilan desa yang tugasnya carikan rumah buat mahasiswa KKN, menyediakan transportasi untuk ke kota buat belanja, dll, dll. Intinya orang ini penyambung urusan mahasiswa dengan desa. Nama orang ini Bim.
Bim ini orangnya genit enggak keruan. Hari pertama rombongan Budi sampai di daerah P, si Bim sudah goda-godain anak-anak cewek. Walaupun menggodanya cuma lewat omongan, sih, tapi tetap bikin para perempuan malas.
Skip ke masa akhir KKN. Waktu itu Budi kebagian tugas buat menyerahkan motor milik Bim yang biasa mereka pakai buat operasional beli air mineral gallon, belanja ke minimarket, dan sebagainya. Waktu dikontak, Bim lagi enggak ada di rumah, tapi dia sedang ada di desa sebelah. Katanya dia lagi bantu orang pindahan. Jadilah Budi naik motor ke desa sebelah.
Sesampainya di rumah yang dimaksud Bim, Budi disambut seorang perempuan muda yang cuma pakai kaus tanpa celana. Budi bisa melihat celana dalam berwarna cokelat muda. Perempuan itu sedang membuang sampah ke luar rumah. Ketika mereka bertatap mata, perempuan itu tersenyum dan memanggil Bim. Bim keluar cuma pakai celana boxer. Tok, itu doang. Perutnya yang sedikit buncit bergoyang-goyang waktu dia jalan.
“Ini, A Bim, motornya saya balikin. Makasih banyak, ya,” kata Budi sambil memberikan kunci motor pada Bim.
“Duduk dulu, Bud. Nanti saya antar kamu pulang pakai motor ke rumah. Neng, bikinin Aa ini kopi dulu sambil tunggu,” kata Bim sama perempuan muda tadi. Menghilanglah perempuan muda itu ke dalam rumah. Bim juga masuk. Tidak lama, keluar seorang perempuan yang usianya mungkin sekitar empat puluh dari dalam rumah. Dia tinggi, putih, mulus, tapi agak gemuk. Rambutnya panjang ikal. Bibirnya merah merona. Matanya besar. Dan dia cuma pakai daster tembus pandang dengan tali di bahu dan panjangnya hanya sebatas paha.
Anjir, ini pertama kalinya Budi melihat perempuan dua biji yang pakai baju sedikit banget. Tanpa sadar si otongnya Budi bergerak naik. Budi buru-buru membenahi posisi duduknya.
“Ini mahasiswa yang itu?” tanya perempuan itu pada Bim.
“Iyah. Ganteng, kan. Paling ganteng dia doang,” kata Bim menjawab dari dalam rumah.
“Iya, ganteng.”
Budi salah tingkah.
“Sudah mau pulang, ya?” tanya perempuan itu.
“Iya,” kata Budi.
Perempuan itu tersenyum menggoda ke arah Budi. Budi semakin canggung.
Bim keluar dari dalam rumah dengan pakaian lengkap. Dia pakai jaket dan mengajak Budi naik motor untuk dia antar pulang. Di perjalanan, mereka berhenti sebentar di rumah Bim untuk ambil rokok. Di rumah Bim, Budi memberanikan diri bertanya.
“Tadi siapa, A? Warga baru?” tanya Budi.
“Iyah. Anak sama ibu. Cantik-cantik, ya? Suaminya enggak ada. TKI katanya tapi enggak pulang-pulang.”
“Oh.”
Bim menyalakan rokoknya lalu menatap Budi.
“Kenapa, A?” tanya Budi yang tidak nyaman dipandangi Bim.
“Enak.”
“Apanya?”
“Ya, anak ibu itu. Ibunya agresif. Anaknya malu-malu kucing.”
WUANJEEEEEENG!!! AA INI HABIS THREESOME SAMA ANAK IBU!!
Membayangkannya membuat Budi terdiam. Maklum anak masih relatif polos dikasih info begituan, ya, setep juga.
“Kamu mau enggak kayak gitu?” tanya Bim.
“Hah?”
Bim tersenyum setan. “Nanti saya kasih. Jangan sampai kamu pulang dari sini enggak bawa apa-apa. Naik.”
Budi bingung. Dia naik ke motor lalu pasrah mau dibawa ke mana oleh Bim. Ternyata Budi dibawa ke pantai. Tapi bukan pantai yang biasa orang datang. Bim membawanya ke balik bukit yang pasirnya bercampur rerumputan. Bim memarkir motor di dekat bukit pasir lalu mengajak Budi mendekat ke air. Ombaknya cukup tenang jadi Budi tidak khawatir akan ditenggelamkan Bim kalau ternyata orang itu berniat jahat.
“Kamu tunggu di situ,” kata Bim.
Budi berdiri di pasir sementara Bim berjalan ke ombak yang baru pecah di bibir pantai. Dia mencelupkan tangan kanannya ke air dan seperti mengambil suatu benda kecil. Bim kembali kepada Budi dan menyerahkan cincin kecil dengan batu merah sebagai matanya.
“Ini buat kamu.”
“Apa ini, A?”
“Pengasih. Bukan, sih. Lebih kuat.”
“Maksudnya?”
“Kalau kamu pakai ini, kamu bakal bisa dapat cewek manapun yang kamu mau.”
Badan Budi merinding disko mendengarnya. Dia tergiur tapi takut tapi dia mau bisa dapatin cewek mana pun.
“Mau enggak?”
Budi mengangguk.
“Nih, pegang.”
Budi berharap bakal ada setrum menjalar dari cincin itu ke seluruh badannya atau perasaan apaaa gitu. Tapi tidak ada. Cincin itu seperti cincin biasa.
“Cara pakainya gimana?”
“Enggak tahu,” jawab Bim.
“Loh?”
“Pakai saja dulu nanti kamu bakal tahu caranya.”
Inilah awal mula kelahiran Green Lantern bernama Budi. Eh, Red Lantern, deng. Diterimanya cincin itu terus dia taruh di dalam saku celana. Seharian itu dia sibuk menyiapkan kepulangan dari daerah P kembali ke kota. Setelah santai dan dia beserta rombongannya naik bus menuju kota, Budi baru teringat sama cincin itu. Dia ambil terus coba dipasang di jari. Cincin itu kecil jadi cuma muat di kelingking tangan kiri. No problem, lah, pikirnya.
Dipandanginya terus cincin itu tanpa tahu cara pakainya. Dalam kebingungannya, Budi sudah mulai berandai-andai cewek yang mana yang mau dia pakai sebagai kelinci percobaan. Otaknya memberi banyak sekali nama. Ada cewek di kampus yang dia taksir, ada senior paling cantik sekampus, terus ada tetangga, terus ada sepupu, terus ada teman SMA. Duh, saking banyaknya dan liarnya bayangan Budi, penisnya tegang tanpa sadar. Buru-buru dia memikirkan hal lain. Tapi apalah daya, dia hanya bisa memikirkan cara pakai cincin di jarinya itu.
Lalu dia melihat ke arah teman satu kelompok KKN-nya. Ada satu orang perempuan yang wajahnya paling cantik di antara yang lain. Wajahnya mungil, kulitnya putih, badannya imut-imut, dan berjilbab. Namanya Hani. Kenapa enggak dicoba sama dia saja?
Masalahnya….
Ini cara pakai cincinnya gimana?
Perjalanan dari daerah P menuju ke kampus di kota memakan waktu kurang lebih lima jam. Dalam perjalanan, Budi yang kebingungan memikirkan cincin ketiduran. Nah, waktu tidur ini dia mimpi didatangi sama seekor burung yang suaranya kayak kambing. Budi ingat dia mengobrol sama burung ini di dalam mimpi tapi dia tidak ingat detail pembicaraannya apa. Tahu-tahu dia terbangun dengan badan berkeringat dan dadanya sakit luar biasa. Dia batuk-batuk seperti tersedak. Setiap dia batuk dadanya tambah sakit. Teman-temannya yang satu bus sempat panik. Untungnya batuk Budi berhenti tidak lama.
“Kamu kenapa? Mimpi? Teriak-teriak gitu mimpinya?” kata seorang temannya.
“Masa?”
“Iya. Kayak mimpi buruk.”
Padahal Budi tidak ingat dia mimpi apa. Satu hal yang dia tahu. Kini Budi tahu cara pakai cincinnya. Tidak tahu bagaimana, cara pakai cincin itu sudah ada di kepalanya. Mungkin hasil bicara sama burung bersuara kambing tadi. Budi sempat merinding memikirkan mimpinya. Kok, bisa dia bicara sama burung pakai bahasa kambing?
Cara pakai cincinnya sederhana. Mata cincinnya yang berupa batu merah kecil itu mesti menempel ke kulit perempuan yang mau dia … “pelet”. Nanti batu itu bakal terasa dingin atau panas. Kalau dingin berarti cincinnya harus ditempel berkali-kali sampai terasa panas. Kalau sudah panas, maka perempuan itu bakal langsung terpikat sama Budi. Kalau sekali tempel langsung panas, berarti perempuan itu memang satu “getaran” sama Budi. Perempuan itu bakal langsung terpikat sama dia.
Tapi batu itu minta “mahar”. Setiap satu bulan sekali, Budi harus memberi makan tujuh orang anak yatim piatu. Kalau tidak, Budi bakal sakit.
Enteng, pikirnya.
Maka dimulailah uji coba sama Hani.
Sesampainya di kampus, setelah mengangkuti barang-barang dari dalam bus, rombongan KKN Budi saling bersalaman sebagai perpisahan. Satu persatu Budi salami, yang cowok dia peluk. Nah, pas bagian Hani, Budi sengaja bersalaman dengan dua tangan karena cincinnya ada di jari tangan kiri. Tidak lupa, mata cincinnya dia putar sehingga berada di bagian telapak tangan. Dia genggam erat-erat tangan Hani.
Deg.
Cincinnya terasa hangat.
Budi memerhatikan ekspresi Hani. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang aneh. Apakah berhasil?
Setelah bersalaman, rombongan Budi sedang menunggu dijemput oleh para orang tua. Budi dan beberapa temannya tidak dijemput karena mereka kos. Teman-teman Budi mengajaknya segera pulang, tapi Budi berkilah. Dia bilang mau tunggu semua orang dijemput dulu baru pulang. Padahal Budi mau menyentuhkan cincinnya pada Hani lagi.
Ketika orang tua Hani datang, Budi mengajak Hani tos.
Deg.
Cincinnya terasa lebih hangat tapi belum panas.
Hani sudah siap pergi. Dia sedang menaikkan barang-barangnya ke dalam mobil. Budi putar otak untuk menyentuh kulit Hani lagi. Kesempatan datang ketika salah satu teman Budi mengajak Hani fist bump. Budi segera ikut-ikutan. Dia putar cincinnya supaya si batu menghadap atas. Fist bump terjadi.
Deg.
Panas.
Panasnya seperti memegang api pada lilin. Sakit tapi hanya terjadi kurang dari sedetik. Ekspresi Hani berubah. Dia menatap Budi lebih lama dari biasanya. Kemudian dia tersenyum dan melambai kepada teman-temannya. Kepada Budi dia menatap satu kali sebelum menutup pintu mobil.
Jantung Budi dag dig dug tidak terkendali. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekembalinya ke kamar kos, Budi mandi dan bersiap untuk istirahat. Ketika dia mau tidur, muncul pesan di HP-nya. Pesan dari Hani.
“Lagi apa? Udah tidur? Teleponan yuk.”
Budi nyengir.
Nyengir semakin lebar.
Lalu dia tertawa puas sambil menari-nari di kamarnya.