Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Sedih rasanya ditinggal hiatus Suhu TJ/Augustus, tapi tetep mendoakan yang terbaik buat beliau, dilancarkan apapun urusannya

Awalnya Sempet sedih juga ngira kalo cerita Ayu n Aida bakalan di skip dulu sampe Suhu TJ balik lagi, ternyata tetap diteruskan juga sama Suhu lainnya
(Forum ini emang penuh maestro penulis hebat)

Dari komentar Suhu Bala, kayanya bakalan lebih dari 1 orang yang Join di project besar cerita ini nih, jadi penasaran siapa lagi selain Suhu @pujangga2000 yang bakal gabung disini, cz cukup banyak juga penulis2 besar yang udah bikin cerita2 legend di Forum ini
Sayangnya kalau benar masih ada penulis yang lain selain pujangga2000 bakal ikut berkolaborasi, Suhu @Pietrogiza hampir pasti tidak termasuk di dalam barisan ini.
 
karena ini forum gratis dan siapaun bisa mengakses, mungkin para pembaca bisa berkomentar yang berbobot daripada sekedar nitip sepatu atau sendal, atau hanya terima kasih saja, bagi para penulis feedback yang berbentuk komentar seperti prediksi jalan cerita itu menjadi imbalan yang sepadan dengan jerih payah suhu yang mendedikasikan karyanya disini, apalagi sekali update suhu tomat bisa menhadirkan cerita dengan diksi yang panjang hingga 8000 kata atau lebih, gak gampang loh untuk membuat bab cerita sampai 8000 kata, kalau komennya berbobot pasti suhu penulisnya semakin bersemangat
Saya setuju banget. Kadang sebagai penulis ingin dukungan dari para pembacanya. Seorang penulis butuh dukungan biar semangat nulisnya tetap menyala. Komentar dari pembaca, terutama yang ngebahas isi ceritanya, bisa jadi energi ekstra buat ngeboost semangat si penulis. Komentar positif bikin si penulis merasa dihargai. Itu menjadi tanda bahwa ceritanya bener-bener disukai pembaca. Terus, kalau ada kritik yang membangun, itu sangat membantu si penulis untuk makin berkembang. Saran-saran dari pembaca bisa jadi panduan buat memperbaiki cerita. Semua ini bikin penulis semakin termotivasi buat terus nulis.
 
Cerita mesum masa bawa nama Tuhan hu wkwkkw
Jangankan ini , hijab, cadar, status ustadz, ustadzah aja di forum esek2 ini harus normatif. Kocak bener forum yang memang secara agama pun ini sudah tidak normatif malahan aturannya normatif. Ibarat kalau sex bebas itu haram , tapi pelakunya di sebut pelacur murahan tidak boleh. Wkwkwkwk
 
Bimabet
BAGIAN 14
TERGODA




Bukan maksudku, lukai hatimu.
Maafkan aku. Membuat hancurnya hatimu.
Aku tergoda
.”

Tergoda, Five Minutes.





“Sudah siap, Nduk? Suamimu dan anak-anak sudah tidur kan? Bapak sudah tidak sabar.”

Intan menundukkan kepala dan memejamkan mata. Ia mendesah dan menarik napas dalam-dalam. Untuk kesekian kalinya dia tidak akan bisa meminta pertolongan kepada suaminya dan juga Mas Ardian yang sangat dia kagumi dan selalu menjadi pahlawannya.

Intan benar-benar sendirian kali ini.

Ibu muda jelita itu membuka mata dan menatap wajahnya di cermin. Banyak orang bilang dia cantik, Intan merasa dia biasa-biasa saja. Banyak orang pernah menembak ingin menjadikannya pacar atau bahkan suami, tapi Intan hanya memilih satu orang yang terbaik, yang kini tergolek tak berdaya di pembaringan. Dia tak pernah melayani orang lain selain sang suami.

Sebelumnya dia tak pernah melayani orang lain.

Kini dia sudah kotor.

Kesuciannya sebagai seorang istri sudah dihancurkan dengan satu sesi menjijikkan bersama Pak Wing. Tapi penderitaannya masih belum berakhir, Intan tahu, dia harus melayani satu orang lagi.

Satu orang yang jauh lebih menjijikkan dari sebelumnya.

Saatnya telah tiba.

Sudah siapkah dia?

“Su-sudah,” balas Intan dengan gugup.

Seharusnya dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi dengan penampilannya sekarang. Setelan baju kerja yang dia kenakan saat ini sungguh sangat serasi. Terlihat dewasa, namun tetap menggiurkan bagi laki-laki normal manapun yang menatapnya. Roknya meskipun panjang dan sopan, tapi tetap saja ketat di bagian pantat dan mencetak kemolekan pantatnya dengan indahnya. Pinggul dan pantat bulatnya nampak dengan jelas dan menyegarkan.

Rok tersebut dipadukan dengan kemeja lengan panjang, yang lagi-lagi meskipun lengan panjang namun bentuknya mengikuti lekuk tubuh Intan. Tidak terlalu ketat namun tetap tidak bisa menyembunyikan keelokan pinggang Intan yang ramping. Kerudung yang senada dengan warna roknya semakin membuat aura keayuannya malam ini semakin bersinar terang.

“Bapak tunggu di depan,” ucap Pak No kembali sebelum meninggalkannya.

Intan lalu mengambil sepatu hak tinggi yang sudah disiapkan tadi dan langsung mengenakannya. Meskipun tidak suka, tapi mau tidak mau dia harus segera menyusul bapak mertuanya. Dia pun berjalan meninggalkan tempat dimana dia biasa bersolek tersebut.

Intan menatap ke langit-langit, seakan berbincang.

Kapan cobaan seperti ini akan segera berakhir?

Tak!Tak!Tak!


Intan sudah mencoba berjalan sepelan mungkin, namun bunyi langkah kaki dari sepatu hak tinggi yang dikenakannya masih tetap terdengar. Hal tersebut tentu membuat perhatian Pak No yang sebelumnya ke layar televisi teralihkan.

Pak No memandang Intan yang sedang berjalan dengan mulut menganga. Dirinya sekarang tak ubahnya seperti serigala tua yang sedang menunggu kedatangan mangsanya sendiri. Air liurnya hampir menetes melihat betapa cantik dan anggunnya saat sang menantu berjalan mendekat ke arahnya.

Jan, ayu tenan mantu ku ki, bengi iki aku bakalan iso ngrasake jepitan tempik’e. Pokokmen ora oleh kesusu. Kudu dinikmati.

Pak No nyengir lebar.

“Benar-benar cantik kamu, Nduk. Kasihan bener si Hendra, punya istri secantik kamu tapi tidak bisa menikmati tubuh indahmu ini, hahaha,” ucap Pak No saat Intan berhenti dan berdiri sekitar dua meter dari tempat mertuanya itu duduk.

Intan terdiam dan terhenti.

“Kenapa berhenti di situ? Ayo kesini!”

“Apa tidak bisa di saat seperti ini tidak usah membahas Mas Hendra? Aku ini menantumu, Mas Hendra itu anak kandungmu sendiri, kenapa bapak bisa jadi setega ini sih?”

“Yah, namanya juga tergoda, Nduk, salah sendiri cantik dan menawan.”

“Jangan main fitnah, sejak kapan saya pernah menggoda bapak?”

“Tergoda kan belum tentu karena sengaja digoda, tubuh indahmu ini yang secara tidak langsung menggodaku. Lagipula, mana mungkin ada laki-laki yang tidak tergoda kalau tinggal serumah dengan wanita cantik sepertimu, Nduk?”

“Jadi maksudnya aku yang salah?”

“Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya, Nduk.”

“Bapak tuh kebiasaan kalau ngomong mutar-muter!”

“Hahaha, ngomong-ngomong, mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Duduk sini.”

Tidak ada pilihan lain dan tidak mungkin juga menolak, Intan pun berjalan kembali mendekat ke arah sang mertua. Intan juga langsung duduk di samping Pak No. Saat duduk itu dia baru menyadari ada sesuatu di hadapannya, tepatnya di meja ruang tamu rumahnya. Intan memfokuskan kembali pandangannya seraya tak percaya dengan apa yang dia lihat. Intan kembali mempertegas pandangannya tapi apa yang dia lihat tidaklah salah.

“Pak, maksud bapak apa ini? Sejak kapan bapak punya minum-minuman seperti ini?”

“Tidak usah kaget segitunya lah, kita sudah sama-sama dewasa ini.”

“Tapi ini dilarang pak, ini minuman keras!”

“Ndak usah bawa-bawa dilarang atau tidak, kamu pikir pulang pergi kerja bareng laki-laki lain itu perbuatan baik? Tidak menimbulkan fitnah? Kalau hanya sekali dua kali okelah, lah kamu ini hampir setiap hari loh pulang bareng si kunyuk Ardian itu. Belum lagi kemarin, kamu ke rumah sakit dengan diantar oleh atasanmu itu… siapa yo namanya? Kok aku lupa… Wong? Wongso? Wang? Wingki? Wing…?”

“Ta-tapi Pak, ka-kalau itu kan…”

Intan kembali gugup. Memang tidak bisa dipungkiri kalau kata-kata dari mertuanya itu ada benarnya, dan sangat menohok. Memang tidak pantas bagi wanita yang sudah bersuami sepertinya terlalu dekat dengan laki-laki lain, apalagi laki-laki tersebut juga sudah berkeluarga. Tapi mau bagaimana lagi, dia hanya perempuan biasa yang sekuat apapun menolak kebaikan orang lain di saat kondisinya yang terpuruk seperti saat ini pasti akan berat. Intan butuh seseorang yang bisa mendengar keluh kesahnya. Intan butuh seseorang yang hadir kapanpun di saat dia butuh, dan Ardian selalu ada untuknya. Bukan sebagai seorang kekasih, tetapi sebagai kakak, mentor, senior, dan seorang pahlawan.

“Halah! Tidak usah tapi-tapian. Sama saja. Sama-sama dosanya. Bedanya yang ini tidak ada yang tahu jadi tidak bikin orang lain mikir macam-macam, lah kalau kamu? Siapa yang bisa mencegah warga Kampung Bawukan sini tidak bergunjing kalau lihat kamu setiap hari pulang kerja diantar oleh Ardian? Belum lagi orang cluster? Kamu pikir istrinya tidak cemburu? Mikir to! Mikiiiiiir!”

“Pak, itu semua tidak seperti yang bapak pikirkan.”

“Aku ora peduli mau kenyataan atau enggak, intinya kan kamu dekat dengan laki-laki lain, padahal kamu ini sudah punya suami. Sudah-sudah, kalau nyeng-nyong terus gini kapan kita mulainya? Aku sudah tidak sabar untuk mencicipi tubuhmu ini cah ayu. Pindah sini!” Perintah Pak No sambil menepuk-nepuk paha kirinya.

“Pak, apa tidak bisa kita menghentikan perbuatan ini pak? Ini dosa pak.”

“Pindah sini!!” Perintah Pak No kembali dengan lebih tegas.

Intan pun bangkit kembali. Dia menggeser berdirinya sedemikian hingga berdiri di antara kedua paha mertuanya. Dia merubah arah berdirinya sedikit lalu… pantat bulatnya itu akhirnya mendarat juga di paha sang mertua cabul.

“Hahaha, akhirnya, tunduk juga kamu Nduk sama bapak. Kamu itu harusnya beruntung punya mertua seperti aku yang perhatian denganmu. Bayangkan saja kalau aku tidak perhatian, mau sampai kapan kamu akan ngobel-ngobel sendiri tempikmu itu?”

“Pak, tolong jangan bahas rekaman itu lagi, aku mohon.”

“Hehehe, memang kenapa sih? Malu ya ketahuan butuh belaian sampai nyari kepuasan sendiri gitu? Makanya Nduk kamu itu nurut saja sama bapak, dijamin kamu tidak akan merasakan kesepian lagi.”

“Ta-tapi tidak dengan bapak juga.”

“Lalu dengan siapa? Sudah ada daftar laki-laki lain yang kamu pilih jadi suami? Sudah ada niat buat ninggalin Hendra?”

“Bu-bukan begitu juga pak, maksudku, aku maunya hanya dengan Mas Hendra.”

“Mau nunggu sampai kapan?”

“Sampai kapanpun Mas Hendra bisa sembuh.”

“Naif banget kamu jadi orang.”

“Maksud bapak gimana? Jangan muter-muter lagi.”

“Kamu ambil botol dan gelas itu, lalu tuangkan untukku.”

“Ta-tapi pak…”

“Cepat!”

Intan pun menuruti perintah Pak No. Dia ambil botol dan satu gelas yang ada di meja. Dia lalu menuangkannya sesuai dengan perintah sang mertua. Gelas yang sudah terisi setengah itu lalu diberikan kepada sang mertua.

“Terima kasih Nduk, kamu ambil gelas itu lagi dan tuangkan untukmu sendiri.”

“Pak, aku tidak bisa minum ini.”

“Kamu mau minum sendiri atau aku cekoki?”

“Pak, kenapa harus ada beginian sih?”

“Kamu mau minum sendiri atau aku cekoki?”

Lagi-lagi tidak ada pilihan lain bagi sang ibu muda jelita yang harus melayani mertuanya itu. Diambilnya satu gelas lagi dan diisinya dengan cairan yang berada di dalam botol.

“Bersulang!” ucap Pak No sambil menyodorkan gelas yang dia pegang kepada sang menantu. Karena sudah capek dan tidak mau berdebat lagi, Intan pun hanya bisa menuruti kemauan sang bapak mertua.

“Minum!” perintah Pak No kembali.

Pak No sendiri langsung meminum minuman keras yang ada di gelasnya. Sedangkan Intan, meskipun ragu tapi juga tidak punya pilihan lain mengikuti perintah mertuanya.

“Hueeek!”

Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia sama sekali tidak nyaman dengan rasa minuman keras itu. Bisa dibilang dia memang tidak pernah sama sekali meminum minuman keras sebelumnya, dan seperti yang Intan bilang sebelumnya – hal ini dilarang.

Iiih!! Jadi seperti ini rasanya miras? Pait banget! Apa enaknya coba? Heran sama orang-orang yang minum ginian. Sampai kecanduan lagi. Aneh.

“Hahaha, ekspresi mukamu lucu banget Nduk, ini tuh cuma jamu, ndak bahaya, ayo minum lagi…”

“Ga enak pak, pait…”

“Nanti lama-lama juga terbiasa kok, ayo tuang lagi.”

Minuman di gelas bapak mertuanya ternyata sudah habis. Intan pun lalu mengambil lagi botol yang tadi sudah ditaruh.

“Tambah lagi punyamu.”

“A-aku tidak mau. Aku tidak suka…”

“Tambah! Siapa yang peduli kamu suka atau tidak!? Ini perintah!”

Intan lalu menuangkan lagi minuman beralkohol itu ke gelasnya juga.

“Minum!”

Intan pun menurutinya. Dia tidak sadar bahwa hal tersebut memang sudah direncanakan oleh Pak No kepadanya. Tanpa disadarinya juga tubuhnya mulai memanas. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Wajahnya memerah. Dan yang paling berbahaya tentu saja suasana hatinya yang mulai berubah.

Intan yang awalnya tegang dan canggung secara perlahan mulai rileks seiring dengan tegukan miras yang ada di gelasnya. Bahkan ketika Pak No sudah mulai menggerayangi sebagian tubuhnya, dia hanya pasrah saja. Dalam keadaan normal dan tanpa tekanan, dia pasti sudah akan menampar wajah bapak mertuanya itu dengan sepatu hak tinggi miliknya. Menjejalkan ujung hak tinggi sepatunya itu ke dalam congor mertuanya yang cabul itu.

Di sisi lain, saat Intan sudah mulai teler, Pak No masih sadar seratus persen. Dia hanya menggebu di dua gelas pertama, sisanya hanya berpura-pura. Berbeda dengan Intan yang dengan pasrahnya menuruti perintah sang mertua. Alhasil, sekarang kendali sepenuhnya berada di tangan Pak No.

Tangan tua yang sudah mulai keriput itu lalu melancarkan aksinya. Tangan kanan mendarat di paha Intan yang tertutup dengan rok span ketat. Diusap-usapnya paha mulus itu ke segala arah. Intan yang sudah mulai nge-fly pun hanya bisa melakukan perlawanan seadanya.

Tidak berarti sama sekali untuk Pak No.

Bahkan ketika tangan kiri Pak No juga sudah mulai menyusup ke ketiak kiri Intan dari belakang, ibu muda dua anak itu hanya menggelinjang pelan lalu kembali menuangkan kembali miras dari botol ke dalam gelasnya.

“Kamu cantik sekali Nduk malam ini, boleh ya bapak nemenin kamu cah ayu?” goda Pak No. Sengaja dia ingin mengetahui sejauh apa menantunya yang cantik jelita itu teler.

“Ndak boleh pak, dosa,” tolak Intan pelan. Tapi hanya ucapan semata. Buktinya, tubuhnya masih rileks berada di dalam pangkuan sang bapak mertua.

“Masa sih Nduk, kasihan loh kamu ini tiap malam kesepian, mbok sini sama bapak biar sama-sama enak,” bisik Pak No ke telinga kanan Intan. Tubuh Intan langsung merinding merasakan hembusan angin yang masuk ke dalam telinganya. “Boleh ya Nduk, tau ndak, rasanya bapak itu merasa bersalah banget loh kalau tubuh indahmu ini kedinginan tidak ada yang menghangatkan, contohnya seperti ini,” lanjut Pak No sambil memeluk tubuh Intan dari samping.

“Ahh…” desah Intan pelan.

“Payudaramu ini, indah sekali loh, apa kamu tidak kangen ada tangan laki-laki yang menjamahnya?” remas Pak No pada payudara sekal milik Intan.

“Ahh…emhh…”

“Bibirmu ini, juga sangat menggoda sekali, apa kamu tidak pengen ada lagi lidah yang bermain-main di dalam sana?”

“Ahh…slurpp…” tanpa sadar Intan merespon usapan jari Pak No di dalam bibirnya dengan langsung menjilat jari keriput tersebut. Namun hanya sebentar saja jari itu bermain-main di dalam mulut Intan. Pak No masih ingin menggoda menantu tersayangnya itu.

“Dan pantat bulat mu ini loh, memangnya kamu tidak kepengen lagi menggoyang sebuah kontol perkasa sambil menjepitnya di dalam tempikmu Nduk?” bisik Pak No kembali.

Jiwa yang sudah setengah melayang, dan dibisikin bahasa-bahasa nakal seperti itu membuat tubuh Intan semakin melayang. Meskipun raganya masih menapak, tapi rohnya sudah mengawang-awang. Alam bawah sadarnya seperti sudah dicuci otaknya oleh kalimat-kalimat nakal Pak No.

“Ahh…Pak…akuh…”

“Sekali lagi bapak tanya Nduk, boleh ya bapak temani kamu malam ini?”

“Ahh…Pak…akuh…akuh…”

“Jawab saja Nduk, tidak usah ragu.”

Intan masih belum bisa menjawab. Di sisa-sisa kesadarannya yang mungkin hanya tinggal satu persen itu gejolak hatinya berkecamuk. Antara ingin menolak tapi apa daya, ibarat berperang, dia sudah kalah. Tubuhnya sudah sekarat. Hampir mati. Antara melawan lalu mati, atau menyerah kalah tapi lalu akan merasakan indahnya kenikmatan duniawi.

Lalu dengan gerakan perlahan…

Intan menganggukan kepalanya pasrah.

Pak No pun tersenyum. Tangan tuanya lalu meraba kembali ke area dada Intan. Bukan untuk meremas kembali, namun pria tua itu berniat untuk melolosi kancing kemeja Intan.

Satu kancing.

Dua kancing.

Tiga kancing.

Tiga kancing terlepas. Area dada Intan kin terekspos keluar. Belahan dadanya terlihat sangat menggoda. Bra warna hitam yang dia kenakan terlihat sangat kontras dengan kulit payudaranya yang putih mulus. Saking putihnya, urat-urat tipis yang ada disekitar daging kenyal itu tampak terlihat samar-samar.

“Bapak mau nyusu Nduk, boleh ya?” pinta Pak No, akan tetapi karena sudah tidak sabar pria tua itu mengeluarkan sendiri salah satu puting payudara Intan dari sangkarnya lalu menghisapnya kuat-kuat.

“Ahh…bapak…ahh…”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Puting payudara mu ini, sayang banget Nduk kalau tidak ada yang menjilati dan menhisapi seperti ini…”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Ahh…bapak…gelihhh…ahh…”

Tubuh Intan terasa semakin melayang. Tanpa sadar dia malah ikut meremas rambut kepala Pak No yang sudah setengah beruban. Usapan dan remasan itu tentu saja memberikan pertanda bahwa Intan mulai memberikan lampu hijau yang semakin menyala terang. Membuat api birahi Pak No semakin terbakar membara.

Pria tua itu lalu membimbing Intan untuk bangkit setelah puas menjilati dan mengulum puting payudara sang menantu. Meskipun agak limbung namun Intan masih kuat berdiri di depan Pak No. Sang mertua lalu memelorotkan celananya hingga semata kaki sebelum memberikan isyarat kembali kepada Intan.

“Kontol besarku ini yang malam ini akan menghilangkan dahaga mu Nduk, apa kamu sudah siap?”

Jangan mau! Jangan mau! Jangan mauuu! Jangan mau!

Batin Intan bergejolak. Tapi apa yang ia lakukan beda seratus persen dengan apa yang dia inginkan. Intan kembali mengangguk.

“Kalau begitu, ayo gantian Nduk, gantian bikin kontol bapak mengeras, karena kontol bapak ini yang malam ini akan membuatmu menjerit-jerit keenakan.”

Intan lalu bersimpuh di depan Pak No. Masih lengkap dengan sepatu hak tinggi yang masih dia kenakan. Tanpa disuruh lagi ibu muda itu lalu menggenggam batang kemaluan Pak No yang masih setengah tegang. Pemandangan ini tentu sangat menggairahkan bagi yang melihatnya. Bagaimana tidak, ibu muda berparas cantik dan jelita yang tampil elegan itu bersimpuh di depan seorang pria tua yang siap mendapatkan pelayanan duniawi.

“Kocok Nduk, tangan halusmu itu memang sudah seharusnya menjadi pemuas kontol perkasaku.”

Intan lalu mengocoknya. Naik turun hingga lama-lama mengeras juga benda pusaka itu.

“Kulum Nduk, bibir mu itu mulai sekarang tugasnya adalah menjilati urat-urat yang ada di kontolku.”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!
Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

Dengan rakus Intan menjilati, mengulum, dan mengoral penis bapak mertuanya sendiri. Akal dan logikanya memang telah hilang untuk saat ini. Yang ada hanyalah kepuasan duniawi yang hendak dia cari.

“Ahh…edan…ternyata memang enak betul di emut-emut sama bibirmu Nduk, sayang sekali Hendra ndak bisa merasakannya lagi, ya sudah sekarang sama bapak saja ya Nduk, hahaha.”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!
Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Ahh…su-sudah Nduk sudah, sekarang bangun.”

Intan menurut. Intan berdiri kembali. Di depan Pak No kini berdiri seorang perempuan cantik yang meskipun masih mengenakan kerudung namun area dadanya terbuka lebar. Bahkan kedua puting payudaranya itu mencuat keluar dengan sangat menantang.

“Putar balik, lalu angkat rokmu setinggi-tingginya.”

Intan kembali menurut, dia putar tubuhnya hingga membelakangi si pria tua. Setelah itu dia menarik roknya yang meski ketat itu namun masih bisa terangkat sampai sebatas pinggang.

Pak No lalu memajukan tubuhnya. Tanpa basa-basi dia mengulurkan tangannya sendiri ke memelorotkan celana dalam tipis milik Intan.

“Ahh…” Intan kaget tapi karena sudah dilanda birahi juga, hanya lenguhan pelan itu yang keluar dari dalam mulutnya.

PLAK!!

Tampar Pak No pada pantat bulat Intan.

“Awwhh…”

PLAK!!

Ditampar kembali pantat bulat itu.

“Awwhhh…”

PLAK!! PLAK!!

“Aww Ahh…pak…sakit…aahh…”

“Hehehe, nungging Nduk, pegangan pada meja itu.”

Lagi dan lagi Intan menuruti perintah bapak mertuanya. Posisinya sekarang berdiri menungging di hadapan sang mertua dengan tangan bertumpu pada meja, dan dengan bawahan polos tanpa sehelai benangpun yang menutupi. Hal tersebut tentu membuat sang mertua blingsatan menahan birahi untuk segera menyodokkan kontol perkasanya ke dalam lubang sempit yang berada di depannya. Belum lagi dengan sepatu hak tinggi yang masih Intan kenakan, aksesoris tersebut membuat pantat Intan semakin menungging. Membuat pantat tersebut semakin menantang. Membuat kaki Intan semakin terlihat jenjang.

Namun sebelum menjejalkan batang perkasanya ke dalam tempik sang menantu, Pak No berniat menjejalkan terlebih dahulu sesuatu yang lain ke dalam celah bibir lembab itu.

Apalagi kalau bukan lidah tuanya yang tajam itu.

“Ahh ahh ahh…pak ahh ahh…”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Ahh ahh…ahh ahh…”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Ahh ahh…ahh ahh…”

Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!! Slurpp!!Slurpp!!Slurpp!!

“Ahh ahh…ahh ahh…”

“Memang tempik jempolan ini, masih terlihat rapat dan harum wangi, kamu pasti rajin merawatnya untuk bapak mertuamu ini ya Nduk cah ayu, hahaha, bapak masuk sekarang ya Nduk?” oceh pria tua itu sambil memainkan ibu jari kanannya di sela-sela bibir kemaluan sang menantu.

“Ahh ahh…pak…ahh ahh…emhh…”

Saat yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Penetrasi itu akan segera terjadi. Celah kenikmatan itu akan segera terbelah. Siap tidak siap Intan akan segera menerima takdir pahitnya. Menjadi pemuas nafsu bapak mertuanya sendiri.

Ibu muda itu memejamkan mata.



.::..::..::..::..::.



Intan membuka mata.

Ia terbangun kala suara panggilan beribadah berkumandang dari salah satu tempat ibadah yang berada di Kampung Bawukan. Kepalanya terasa pusing. Dirinya sempat kaget dengan kondisinya sekarang yang terbangun di kamar mertuanya, namun tidak perlu waktu lama untuk dirinya menyadari kejadian yang sudah terjadi semalam.

Kehormatan yang selama ini selalu dia jaga itu kini telah hancur oleh ayah dari suaminya sendiri. Parahnya mereka melakukannya di rumah yang selama ini mereka tinggali. Jauh lebih parah lagi mereka melakukan hal tersebut saat Hendra dan Bu Indri sama-sama sedang terbaring tak berdaya. Entah seberapa besar dosa yang akan dia tanggung, batin Intan. Entah seberapa berat karma yang akan dia terima suatu saat nanti.

“Sudah bangun kamu, Nduk?” terdengar suara menyebalkan dari samping Intan. Sang mertua ternyata juga terbangun.

Tidak ada balasan dari Intan. Ibu muda beranak dua itu diam membisu sambil masih berbaring di pembaringan yang seharusnya menjadi tempat tidur ibu mertuanya.

Ranjang ini ranjang ibu. Kenapa malah aku yang berada di sini? Melayani mertuaku? Kenapa aku rusak semua hubungan kita? Kenapa aku mengkhianati semuanya? Hubunganku sebagai istri Hendra, ibu anak-anakku, dan menantu bu Indri yang selama ini menganggapku anak sendiri… semua hubunganku dengan mereka, kurusak dengan sadar.

“Tidak apa-apa kalau tidak mau menjawab, mendengar suara desahanmu semalam sudah cukup buatku, hahaha.”

Intan lalu merubah posisi tidurnya miring membelakangi sang mertua. Meskipun jijik dengan kata-kata mertuanya, entah kenapa tubuhnya masih terasa berat untuk meninggalkan tempat tersebut. Ia bahkan membiarkan saja ketika satu tangan Pak No meraih buah dadanya dan meremas-remas dengan lembut, menyentil-nyentil pentil susunya dengan nakal.

Intan kembali terbayang kejadian semalam. Semalam… ia sudah menyerahkan tubuhnya pada Pak No.

Hal tabu apa yang tengah mereka jalani saat ini? Seorang menantu melayani nafsu seks mertuanya. Mengkhianati suami dan ibu mertua. Intan mendesah kecil. Manusia seperti apa dia ini? Selama ini dia menganggap pak No menjijikkan, bukankah sekarang dia juga sama saja menjijikkannya?

Aku adalah istri yang durhaka, aku adalah seorang ibu yang menjijikkan.

Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir deras membasahi pipi hingga ke bantal yang dia pakai.

“Tenanglah. Ini baru awal dari lembaran baru hidupmu.”

“Hah!? Ma-maksud Bapak apa? Bapak kan sudah janji kita hanya akan melakukan ini sekali saja!? Jangan main-main!”

“Hahaha, awalnya aku pikir juga akan seperti itu. Cukup sekali saja tahu lezatnya rasa memekmu dan ya… sudah begitu saja. Aku mengira rasanya akan sama seperti tempik-tempik wanita-wanita bayaran yang pernah aku rasakan, tapi ternyata tidak, aku benar-benar menikmati permainanmu semalam, Nduk. Memek sempitmu itu benar-benar membuatku ketagihan. Luar biasa. Aku tidak ingin ini semua berakhir begitu saja. Hahaha. Yang semalam bukan yang terakhir, sayang.”

“Bi-bisa-bisanya! Kenapa Bapak tega sekali melakukan ini?”

“Sampai kapan kamu akan menanyakan pertanyaan yang sama?” tangan pria tua itu terus bergerak memeras susu Intan sembari memilin-milin puting-nya yang imut, “hmm… susu kamu ini memang menggairahkan, Nduk.”

“Bajingan!” umpat Intan pelan sambil meremas ujung selimut yang menutupi tubuh telanjangnya.

Kepala Pak No mendekat ke telinga Intan, “Hidup itu berat, Nduk, dan akan semakin berat. Kamu tahu sendiri Hendra makin kesini makin tidak bisa diandalkan. Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa diandalkan di rumah ini saat ini. Kamulah tulang punggung keluarga kita.”

“Maksud bapak apalagi sih?”

“Suatu saat nanti kamu pasti akan paham. Ngomong-ngomong, biasanya jam berapa kamu bangun mengurusi anak dan cucu ku?” tanya Pak No sambil ikut merubah posisi tidurnya menjadi miring ke arah sang menantu. Tubuhnya otomatis merapat ke tubuh Intan. Kemaluannya yang semalam telah berhasil mengobrak-abrik liang senggama milik istri anak kandungnya itu kembali menempel pada pantat bulat sang menantu. Intan yang merasakan hal tersebut reflek ingin menjauh tapi segera ditahan oleh Pak No dengan memeluk tubuhnya dari belakang.

“Bapak apa-apaan sih? Sudah pagi pak, sebentar lagi anak-anak bangun.”

“Kamu pikir aku nanya panjang lebar tadi itu buat apa kalau bukan untuk memastikan kondisi di luar?”

“Pak…”

“Jam berapa biasanya mereka bangun?”

“Se-setengah enam biasanya, kadang jam enam.”

“Masih ada setengah jam lebih. Setidaknya bisa melakukannya sekali lagi. Aku ingin kontolku dijepit tempik sempitmu lagi.”

“Pak!! Jangan gila!! Ini sudah pagi! Mas Hendra bisa mendengar kita…”

“Kamu harus mulai terbiasa dengan semua ini.”

“Bapak ngomong apa sih?”

“Kamu bukan orang bodoh, Nduk. Aku tahu kamu sangat cerdas di balik wajah manismu yang seakan tanpa salah itu.” Kemaluan Pak No kian menempel di lekukan pantat Intan, “Kita bukan orang kaya, sekalipun kamu bekerja, apa iya bisa punya duit banyak untuk memenuhi semua kebutuhan? Susah kan? Bekerja siang malam untuk upah yang seupil apa gunanya? Hanya bisa makan untuk hari ini tanpa tahu besok apakah bisa makan lagi atau tidak.”

“Mmmh…” Intan menggigit bibir bawahnya, remasan tangan Pak No di dadanya kian kencang. Payudaranya terasa sakit.

“Tahukah kamu, kalau dengan tubuh indahmu ini, kamu bisa mendapatkan segalanya?”

“Bapak masih mabuk!”

“Bayangkan…” ucap Pak No sambil tersenyum senang, ia memeluk Intan dari belakang dengan posisi tubuh menyamping. Pria tua itu menyusupkan tangannya di antara lengan Intan dan membelai salah satu payudara indah sang menantu.

“Pak! Emhh… udah ah! Apa-apaan sih! Sedari tadi…” tepis Intan namun sia-sia. Tenaganya tentu tidak sebanding dengan tenaga pria seperti Pak No.

“Bayangkan, Nduk…”

Intan terdiam, wajah Pak No sangat dekat dengan pipinya. Bibir mertuanya itu sesekali menyentuh telinganya saat berbicara.

“Bayangkan, seandainya kamu bisa mengendalikan Ardian ataupun bos kamu itu. Mereka akan menurut kepadamu dan melakukan apapun yang kamu inginkan.”

“Edan!! Bapak sudah gila rupanya!! Sinting!! Setelah berhasil menikmati tubuhku, Bapak mau aku menjual diri?”

Intan sangat kesal dan geram. Ibu muda itu berpikir kalau membiarkan sang mertua menikmati tubuhnya saja itu sudah merupakan kesalahan yang besar dan tidak termaafkan, ini malah dia mendorong Intan untuk menjual diri.

Iya betul, dia sudah membuat sebuah kesepakatan dengan Pak Wing, namun itu lebih karena sedang dalam kondisi darurat dan terpaksa. Bukan karena permintaan atau mungkin hanya semacam fantasi belaka dari pria tua bau tanah yang sedang birahi.

“Bayangkan saja dulu. Kamu bisa memanfaatkan tubuh indahmu ini untuk mengambil keuntungan dari pria-pria mesum itu, kamu pasti akan menjadi ratu bagi mereka,” ucap Pak No kembali sambil membelai gunung kembar milik Intan. Tidak hanya membelai, puting payudara Intan yang menggemaskan itu tak lepas dari sasaran plintiran dari jari telunjuk dan ibu jari milik Pak No.

“Ahh… pak… ahh… mmmh… A-aku tidak mau! Ma-Mas Ardian bukan pria seperti itu, dia pria baik-baik, tidak seperti Bapak.”

“Hahaha, apa kamu berani bertaruh, Nduk? Apakah kamu berani menerima tantangan?” tanya Pak No kembali sambil terus memberikan rangsangan pada sang ibu muda cantik jelita yang kini menggelinjang nikmat tanpa sadar.

“Ahhmm… ta-tantangan apa?”

“Kamu goda Ardian dengan pesonamu. Jika dia tidak merespon, aku akan melepaskanmu dari jeratanku, tapi…jika dia merespon… maka kamu harus ikut dengan rencanaku, bagaimana?”

“Re-Rencana Bapak a-apah ahh… mmmhhh…?” Intan semakin menggelinjang manakala tubuhnya yang semakin intens menerima sentuhan dan rangsangan dari Pak No. Bahkan dia sudah merasakan kemaluan Pak No yang sudah mulai mengeras dan mulai menyundul-nyundul belahan pantatnya.

“Aku ingin kamu mengusahakan sesuatu yang akan mengubah nasib kita sekeluarga, Nduk. Heheh. Kamu mau kan? Ini semua demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan anak-anakmu.”

“Ahh… ahh…” lagi-lagi Intan mulai kalut menghadapi gempuran birahi yang diterimanya.

“Kamu hanya perlu menjalankan semua yang aku perintahkan.”

“Pak… ahh… geliihh…”

“Pertanyaanku belum kamu jawab. Memangnya apa yang bikin kamu geli?”

“Pu-puting aku pak ahh… jangan dimainin… na-nanti aku akan…”

“Dimainin seperti ini ya?” bukannya berhenti, Pak No malah semakin intense memberikan stimulasi pada ujung puncak gunung kembar milik Intan itu.

“Ahh ahh ahh pak…”

“Maukah kamu mengikuti rencana yang aku rancang tadi, Nduk? Mau melakukannya?”

“Ta-tapi… ahh… aku tidak tahu harus berbuat a-apa…”

“Setidaknya setuju dulu dengan rencananya. Maukah kamu melakukannya?”

“Ahh pak ahh geli… ahh ja-jangan disodok lagi ahh… nanti anak-anak bangun ahh… pak…”

“Kamu itu ngomong apa sih, Nduk? Bapak ga ngapa-ngapain loh, bapak cuma meluk kamu… jadi bagaimana? Maukah kamu melakukannya?”

“Bapak… ahh… jangan didorong lagi! Ahh…pak ahh… paakkhhh… bapak… ahh…”

Batang kejantanan keras Pak No kembali beraksi. Setelah menyelip ke belahan pantat bulat mulus milik sang menantu, kini penis itu menonjok lagi liang cinta sempitnya.

Pertahanan Intan kembali jebol.

Di saat pikiran Intan kalut, tanpa bisa dicegahnya Pak No sudah memposisikan sedemikian rupa sehingga ujung kepala kontol perkasa miliknya berada di sela-sela bibir kemaluan sang menantu.

Batang perkasa itu pun melesak masuk kembali tanpa hadangan memenuhi sela-sela ruang kosong yang sudah sangat jarang dimasuki oleh Hendra dengan kondisinya saat ini.

“Kamu hanya perlu melakukan seperti ini pada orang-orang yang dekat denganmu itu, Nduk, dan kamu akan menguasai mereka berdua. Maukah kamu melakukannya?”

“Ahh… ahh… ahh…”

“Jawab!”

“Ahh…ahh…i-iyahh…terserah bapak sajaahh…ahh…”

“Hahaha… pancen memang menantu idaman kamu itu, sekarang sudah tahu kan harus apa?”

Intan mengangguk sambil memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Ia tak tahan, benar-benar tak tahan, lama kelamaan tak tahan.

“Kalau sudah tahu apa yang harus kamu lakukan nanti, bagaimana dengan yang sekarang? Kamu mau ini dilanjut atau tidak?” jebak Pak No. Dia memang sengaja untuk memancing Intan agar bisa mengeluarkan sisi lain dari dirinya.

Intan merasa kesal. Bukan hanya tidak bisa menolak, tapi dirinya sekarang seperti dipaksa untuk mempermalukan dirinya sendiri. Ingin sekali rasanya menolak tapi gesekan urat-urat kasar dari kontol besar dan panjang milik bapak mertuanya itu terasa sangat nikmat. Perang batinnya semakin berkecamuk.

Tolak!

Lanjut.

Tolak!

Lanjut.

Lanjut. Dia ingin lanjut. Sialan! Sialan! Sialaaaaaaan! Pria tua itu sudah merangsangnya dengan hebat dan Intan tidak bisa mundur dari kenikmatan yang sudah terlanjur ia rengkuh. Kenikmatan yang diberikan bapak mertuanya memang tidak bisa disangkal olehnya. Bahkan bila dibanding dengan Hendra pun, suaminya itu tidak ada apa-apanya. Dia jijik, tapi ini enak sekali. Dia merasa direndahkan sampai merasa bagaikan sampah, tapi ini sungguh luar biasa tak terbayangkan rasanya.

Intan ingin lanjut. Tapi mulutnya terkunci, berat rasanya ingin mengucapkan satu kata itu.

“Dilanjut, atau tidak, Nduk?” tanya Pak No sekali lagi sambil menarik pelan batang kejantanannya sampai sebatas ujung kepalanya saja yang masih berada di dalam lubang kenikmatan Intan.

“Ahh…pak…ahh…ja-jangan…ahh…jangan…”

“Jangan apa? Jangan dilanjut?”

“Pak…ahh…jangan…jangan di…jangan dilepas ahh…ahh…”

“Hehehe, bapak sodok lagi yah kalau begitu, hehehe,” goda Pak No lagi yang belum puas-puasnya menggoda kembali istri dari anak kandungnya itu.

“Bapak…ahh…lakukan saja semau bapak…ahh…”

“Hahaha, baiklah kalau kamu sudah mengijinkannya, hahaha, terimalah kontol ku ini sekali lagi, kamu pasti tidak akan menyesal mendapatkan ini.”

“Ahh…ahh…ahh…”

Pagi pun menjelang. Saat orang-orang lain mulai bangun untuk memulai kesibukan masing-masing, Intan dan ayah mertuanya justru malah memulai kesibukan yang lain yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan.

Di kamar yang seharusnya menjadi tempat sakral hanya untuk Pak No dan Bu Indri itu, pagi ini ada Intan yang menggantikan posisi sang Ibu mertua, menjadikan tubuh indahnya sebagai pemuas nafsu seorang laki-laki hidung belang. Menjadikan lubang kenikmatannya sebagai ladang pembuangan pejuh dari seorang mertua yang cabul.

Teriakan teredam, desahan silih berganti terdengar lirih. Tak ada yang tahu. Tangisan sendu berganti lenguh nikmat tak berbatas.

Intan tenggelam.



.::..::..::..::..::.



Intan berjalan sambil membawa kotak bekal makan siangnya ke pantry. Hari ini dia membawa bekal dari rumah karena harus menekan pengeluaran. Hanya sedikit saja teman-teman kantornya yang rutin membawa bekal dari rumah, jadi pantry tidak terlalu ramai setiap harinya.

Ibu muda jelita itu memilih untuk duduk di salah satu meja yang kosong dan berada di sudut, tak jauh dari stack dispenser. Setelah mempersiapkan semuanya dan berdoa, Intan mulai makan.

Intan memakan bekalnya dengan lahap. Perutnya sudah keroncongan akibat energi yang terkuras dari pagi menghadapi pekerjaan yang semakin hari semakin menumpuk. Tidak ada habisnya pikirnya. Tapi gaji hanya segitu-segitu saja, yah nasib jadi budak korporat. Tapi Intan tahu, dia harus tetap bersyukur karena dari penghasilannya yang mungkin tidak seberapa, dia masih bisa mendukung keluarganya sebagai satu-satunya yang mendapatkan pemasukan rutin.

Sambil makan Intan tiba-tiba teringat lagi dengan kejadian yang dia alami semalam dan juga tadi pagi. Namun dari semua itu yang mengusik pikirannya adalah justru rencana yang diungkapkan oleh sang mertua. Meskipun tidak secara terang-terangan Intan mulai menangkap apa yang menjadi keinginan sang mertua.

Sebenarnya selain pekerjaan, hal tersebut juga menguras pikirannya dari pagi tadi.

Apakah dia harus menuruti rencana busuk sang mertua, atau tidak. Kalau menuruti berarti sama saja menjadikan dirinya sendiri sebagai umpan. Atau sama saja seperti alat yang digunakan untuk mendapatkan ambisinya.

Tapi kalau tidak, dia sendiri tidak yakin akan masa depan keluarga besarnya. Kondisi Hendra yang tak kunjung ada perkembangan tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga lagi. Mau tidak mau dia sendiri yang harus membanting tulang untuk kedua buah hatinya. Bukan kah ini adalah salah satu jalan pintas untuk mereka semua?

“Tumben nih, sendirian. Biasanya kamu makan siang bareng Ardian?”

Tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya. Intan menoleh. Ada seorang wanita jelita berdiri di sampingnya, berkerudung, fashionable, dari kalangan manajemen tingkat atas, wajahnya tipis polesan tapi cantik menawan, tinggi, dan penuh percaya diri.

Intan tahu siapa dia.

Beberapa kali Ardian pernah menyapanya saat berpapasan. Dia juga tahu dari teman kerjanya itu siapa sebenarnya wanita yang saat ini tengah berbicara dengannya.

Wanita itu bernama Sabrina, dia tidak berasal dari cabang yang sama dengannya dan Ardian. Intan tahu kalau Sabrina berasal dari kota lain tapi akan sesekali datang untuk melakukan audit. Lebih jauh lagi, wanita ini adalah seseorang yang dia tahu adalah kakak ipar dari Shinta, istri Ardian. Sebagai seorang wanita yang kuat dengan indra perasanya, tentu saja Intan sadar dengan apa yang ada di balik intonasi suara Sabrina yang tidak enak tersebut.

Tapi Intan adalah Intan. Dia tidak akan semudah itu bergeming terhadap lawan yang manapun. Intan tersenyum manis.

“Iya nih Mbak Sabrina, masih ada sisa lauk semalam, saya hangatkan untuk makan siang daripada tidak ada yang makan di rumah. Lumayan dibawa buat bekal, ngirit untuk makan siang,” balas Intan dengan ramah.

Tentu saja dia tidak ingin terlihat mencari lawan, meskipun lawan bicaranya itu sudah jelas-jelas hendak mengintimidasinya.

“Baguslah. Seharusnya memang begitu. Jangan sama laki orang, kan kalau keseringan bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Intan mendesah, ini nih. Dimulai psy-war-nya.

“Maksudnya, Mbak? Maaf saya tidak paham,” balas Intan masih mencoba menahan diri.

Nih orang maunya apa sih? Ga ada angin ga ada hujan tau-tau ngoceh ga jelas. Iya, aku paham kalau kedekatanku sama mas Ardian itu ga baik, ngerti juga kalau kamu itu kakak iparnya Shinta, tapi apa hak kamu menggurui seperti ini? Kan Ardian-nya sendiri yang pengen dekat sama aku!? Hih!! Dasar perempuan aneh.

“Yakin tidak paham?”

“Yakin, Mbak. Maksud Mbak apa ya?”

“Halah! Pura-pura saja kamu itu! Pura-pura polos tapi tahu-tahu nusuk dari belakang! Mbok ya inget kalau kamu ini perempuan. Seorang istri juga seorang istri. Kamu tentu gak mau kan kalau ada perempuan lain yang mendekati suami? Coba bayangkan kalau… eh, suamimu kan…”

“Mbak! Mbak Sabrina maunya apa sih?!” tanya Intan dengan suara yang mulai meninggi. Dia meletakkan kembali sendok garpu yang tadi sudah dipegang. Nafsu makannya mendadak menghilang. Dia berdiri, “Kalau Mbak tidak suka sama saya ya tinggal ngomong saja, tidak usah bawa-bawa suami saya! Memangnya kenapa dengan suami saya? Ya! Suami saya sedang sakit! Ya! Suami saya sedang tergolek lemah di rumah! Tapi bagaimanapun keadaan suami saya sekarang, saya tetap mencintainya sepenuh hati! Jadi dijaga ya omongannya, Mbak.”

Sabrina tidak mau kalah, dia juga panas, “Maka dari itu, kalau kamu memang masih mencintai suamimu itu, tahu diri dong! Jangan seenak wudel deketin suami orang!”

“Mba! Siapa sih yang mau deketin suami orang? Saya dan Mas Ardian tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas teman kerja. Silakan tanya ke mas Ardian!”

“Cih! Pelakor mana ada yang mau ngaku. Jabatan kamu itu di sini masih rendah, jangan berani-beraninya mengancamku! Sudahlah, Intan. Akui saja kalau kamu naksir Ardian. Teman kerja kok pulangnya bareng terus!? Mencurigakan gak sih!? Oke, sekarang bisa aja cuma temen pulang kerja, selain itu kalian juga teman makan siang, lama-lama nanti bakal jadi teman… hmmm,” Sabrina tersenyum sinis, “hotel deket sini di mana sih?”

Wajah Intan mulai memerah, “Bener-bener ya, Mbak ini! Hati-hati kalau ngomong! Omongan itu doa, jangan salahkan saya kalau apa yang Mbak ucapkan tadi akan jadi kenyataan suatu hari nanti!”

Intan sudah kehilangan kesabarannya. Entah ucapannya itu adalah sebuah niat yang benar-benar akan dia lakukan, atau hanya sekedar luapan emosi semata. Dia pun tidak paham.

“Tuh kan! Kamu ini memang sudah ada niat jelek!”

“Saya tidak pernah melakukan apa yang Mbak sebutkan! Sama sekali jauh dari apa yang saya dan Mas Ardian lakukan! Ya, jabatan saya di sini memang masih rendah, tapi bukan berarti Mbak Sabrina bisa memandang saya dengan rendah. Saya tidak akan diam saat didesak.”

“Kamu ini memang…”

“Maaf, Mbak. Jangan salah paham. Saya tidak mengancam, atau ingin melawan. Tapi lebih baik kita tidak melanjutkan perbincangan ini. Banyak mata memandang. Saya takut nanti Mbak Sabrina malu sendiri.”

Karena saking kesalnya dan tidak ingin membuat keributan di kantor, dia pun menutup kembali kotak tempat bekal makan siangnya dan beranjak meninggalkan Sabrina begitu saja. Sebenarnya ingin sekali dia membalas perkataan Sabrina dengan mengungkit statusnya yang pernah bercerai, tapi dia masih menahannya karena tidak ingin urusannya menjadi lebih panjang.

“Nah, kan? Bener kan!? Niat aslinya udah keliatan. Pakai mengelak segala. Sekarang bisa-bisanya bilang omongan adalah doa. Memang tidak tahu diuntung kamu ini. Awas saja kalau kamu sampai berani mengusik rumah tangga Shinta! Aku sendiri yang akan menggunduli rambutmu itu! Akan kubuat kamu dipecat dari perusahaan ini!!”

Samar-samar Intan masih bisa mendengar ucapan Sabrina dari kejauhan, tapi dia tidak memperdulikannya lagi. Dia terus berjalan meninggalkan pantry dan kembali ke ruangan kerjanya. Air mata Intan meleleh tanpa bisa ia tahan. Sebegini rendahkah orang memandangnya? Tidak bolehkah ia punya tempat untuk bersandar?

Aku harus bagaimana, Mas Hendra? Kalau begini terus, aku lama-lama tidak kuat. Aku ingin terjun dari tebing yang paling tinggi di Pager Jurang. Aku ingin bebas lepas tanpa beban lagi, Mas. Aku harus bagaimana?

Saat tiba di tempat duduknya kembali, tidak sengaja dia berpapasan dengan Pak Wing yang baru saja keluar dari ruangannya.

“Lho? Intan? Kenapa matamu merah begitu? Kenapa kamu?”

Intan menghapus air matanya dengan punggung tangan, suaranya terdengar parau. Dengan ketus ia menjawab pria tua yang kemarin bersikap menjijikkan kepadanya itu, “Bukan urusan bapak.”

Pak Wing tersenyum, “Kamu tau gak? Kamu itu semakin galak malah semakin nggemesin loh, apa lagi bibirmu itu. Hehehe.”

“Maaf. Mohon sadar situasi. Kita berdua sedang di kantor. Saya sadar punya kontrak lain dengan bapak, tapi jangan bikin semuanya berantakan hanya karena nafsu sesaat. Maafkan saya, ijinkan saya bekerja terlebih dahulu.”

“Hahaha, maaf-maaf, ngomong-ngomong itu kotak makan masih penuh kayaknya, tidak jadi makan?”

“Sekali lagi. Bukan urusan bapak.”

“Hahaha, sepertinya memang sedang ada masalah, mau ikut aku nggak?”

Sebenarnya Intan malas untuk keluar kantor siang-siang begini, apalagi pergi dengan Pak Wing yang sudah mengikatnya dengan sebuah kontrak perjanjian menyebalkan itu. Tapi entah dapat bisikan dari mana, atau mungkin juga karena mood-nya yang sudah rusak akibat ucapan Sabrina tadi, tiba-tiba Intan merasa ajakan Pak Wing tersebut sebagai sebuah angin segar yang mungkin dapat mengembalikan mood-nya kembali seperti semula.

“Kemana?” tanya balik Intan masih pura-pura jaim.

“Cari angin. Makan siang. Yang penting menghindar dari penatnya pekerjaan siang ini. Kamu sedang tidak banyak kerjaan kan?”

Intan mendengus, “Gak banyak apanya. Bapak tidak melihat tumpukan pekerjaan yang menggunung di meja saya?”

“Masa sih? Lho ini pekerjaan toh? Aku pikir cuma printout yang akan kamu sebar. Beneran ini kerjaan?”

“Lihat saja sendiri!” balas Intan dengan berpura-pura acuh.

Baru sekali ini dia bisa merasa bodo amat dengan atasannya tersebut. Intan tetaplah hanya seorang perempuan biasa. Perempuan biasa yang ketika mood-nya sedang tidak baik maka ingin dimengerti oleh siapapun yang berada di dekatnya. Dia bahkan tidak peduli jika itu Pak Wing sekalipun.

Pak Wing memeriksa tumpukan pekerjaan Intan, “Hmm, bener juga. Cukup banyak yang harus kamu selesaikan. Tapi… ya sudah gampang lah! Tugas utamamu sekarang itu seperti yang ada di perjanjian. Kalau pekerjaan setumpuk ini urusan kecil. Nanti aku bisa bagi setengah ke yang lain. Syaratnya cuma satu. Mau tidak ikut denganku sekarang?”

“Kemana dulu? Yang jelas dong pak kalau ngajak, saya tidak akan mau kalau tidak jelas kemananya.”

Intan hampir saja tidak bisa menahan senyumnya karena merasa terhibur dengan usaha atasannya tersebut dalam mengembalikan suasana hatinya.

“Hmm… minggu depan kita ada mau ketemu sama klien penting, aku mau meeting denganmu untuk membahas rencana pertemuan minggu depan itu, dan seperti yang kamu sampaikan tadi, tidak mungkin kita membahasnya di sini, bukan?”

“Hmm… jadi sudah dimulai perjanjian kontraknya?”

“Sepertinya begitu.”

Intan mendadak lesu. Cobaan demi cobaan sepertinya akan sering menghampirinya sekarang-sekarang ini. Semalam mertuanya. Barusan tadi dengan Sabrina. Sekarang Pak Wing, tidak ada jaminan juga kalau Pak Wing tidak akan meminta sesuatu yang lebih saat meeting nanti.

Dasar!

Memang iya minggu depan sama tamu, tapi sekarang kamu pasti ingin nyicip duluan kan? Dasar pria hidung belang! Kenapa sih semuanya seolah memberikan jalan pada rencana Pak No? Tadi juga si Sabrina bikin jengkel! Bikin aku makin kesel sama istri Ardian dan kakaknya. Kalau sudah begini aku jadi pengen ngisengin mereka sekalian.

Belum selesai urusan itu, sekarang Pak Wing. Hmm… apa aku setir Pak Wing sekalian saja ya? Siapa tau bisa mengurangi beban kerjaanku di kantor, lumayan kan kerjaan berkurang gaji nambah.

Sabrina bilang jabatanku rendah? Memang. Tapi dengan memanfaatkan pak Wing, ada kemungkinan karir aku bisa melesat. Dengan begitu, Sabrina sialan itu tidak bisa menghina aku lagi.


Intan menghela napas, “Ya sudah, tapi bapak janji ya load pekerjaanku dikurangi? Tidak cuma separuh, tapi tiga perempat.” Ibu muda jelita itu memotong tumpukan pekerjaannya dan sekitar tujuh puluh lima persen ia geser ke depan Pak Wing yang tersenyum kecut. “Segini. Serahkan ke karyawan lain. Kalau tidak, aku tidak mau pergi.”

“Tentu saja sayangku,” balas Pak Wing sambil melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar ucapannya. “Tentu saja aku tidak ingin membuat ujung tombak perusahaan ini kecapean, lebih baik tenagamu kamu gunakan untuk menservis konglomerat-konglomerat calon pelanggan perusahaan ini, hahaha.”

“Dih, sayang-sayang apaan, jijik ah. Ya sudah, bapak berangkat duluan saja, jangan lupa pesanin saya taksi online, saya tidak mau keluar dari kantor ini bareng satu mobil dengan bapak. Banyak mata, banyak mulut ember.”

“Ah iya, benar juga, memang pintar kamu, hahaha, oke aku duluan ya cantik.”

“Iyaaa… apa sih! Huh! Gombal banget bilang-bilang cantik,” protes Intan. Mulut memang protes, tapi separuh hatinya sudah hampir melayang karena gombalan dari sang pria tua. Seutas senyum pun mengembang dari bibir cantiknya. Intan bukanlah perempuan bodoh. Dia tahu bagaimana harus bersikap di dalam kesusahan. Mungkin ini yang disebut kesempatan dalam kesempitan. Intan berbicara dengan dirinya sendiri.

Kamu tak akan bisa melawan dan mengelak. Apalagi kalau dilawan pun kayaknya semesta tidak ada yang mendukung. Kamu hanya bisa pasrah dan menjalani saja. Harus mau saat dimanfaatkan untuk urusan perusahaan.

Beginilah nasib punya hutang budi. Beginilah nasib punya bos mata keranjang. Beginilah nasib punya bapak mertua penjahat kelamin.

Bertubi-tubi masalah menghantam dan menghadang. Tapi… seorang wanita bukanlah makhluk lemah. Ya, dia kalah dari segi fisik, kalah dari segi materi, jadi… kalau tidak bisa dilawan, mungkin bisa dimanfaatkan. Harus dimanfaatkan balik. Tidak boleh diam saja dan menjadi pecundang.

Sudah saatnya kamu menggunakan Pak Wing.




.::..::..::..::..::.



.:: KEESOKANNYA



“Yang bener, Mbak? Mbak ngomong seperti itu ke Intan?” tanya Shinta kaget melalui panggilan telepon-nya.

Bener dong say, ngapain juga aku bohong, tapi ga tau juga sih tadi itu kenapa aku bisa tiba-tiba kesel banget sama dia. Mukanya itu loh, sok polos sok cantik, padahal mah hatinya busuk, cantikan juga kamu kemana-mana.”

Shinta terdiam. Entah kenapa dia bimbang, antara lega tapi juga berdebar. Menyadari sang mantan adik ipar terdiam, Sabrina langsung menyambung.

“Ga apa-apa kan aku begitu ke Intan?”

“Ah? Oh. Hehehe, ga apa-apa sih, Mbak. Justru aku yang makasih banget mbak udah mewakili aku, soalnya aku sebenarnya juga sudah pengen banget ngelabrak tuh perempuan gatel. Habisnya aku kesel banget mbak.”

Nah, iya. Setiap kali denger cerita kamu, aku juga jadi gemes banget sama nih cewek. Demen bener ngericuhin rumah tangga orang lain.”

Shinta terdiam lagi. Sabrina mulai membaca ada sesuatu yang tidak beres pada sang mantan adik ipar.

Shin? Kamu tidak apa-apa?”

Shinta masih terdiam. Sabrina mulai curiga. Ini tidak beres. Ada sesuatu yang tidak beres. Ada yang berbeda dari Shinta dan itu alarming, membahayakan.

“Shin, ada yang mau kamu ceritakan ke Mbak?

Suara Shinta bergetar, “Se-sebenernya ada, Mbak. A-aku mau cerita lagi, ada masalah lagi di rumah. Mbak… sedang ga sibuk kan?”

Santai aja. Jam segini mah jamnya aku santai. Aman kok, kalau kamu memang ada yang harus diceritakan, cerita aja sayang. Ada apa? Kenapa lagi?”

“Ta-tapi Mbak janji ga bakal cerita ke siapa-siapa ya? Aku cuma bisa cerita ke Mbak aja tentang hal ini.”

Tambah aneh. Sabrina curiga sekaligus khawatir, “Janji, sudah berapa lama sih kita kenal dekat? Kamu itu udah aku anggap seperti adik kandung ku sendiri meskipun aku sudah pisah sama mas-mu itu, jadi kamu gak usah khawatir. Ada apa sih, Shin? Cerita dong ke Mbak. Kok aku jadi khawatir.”

“Emhh… jadi… emhh… kemarin malam itu…”





BAGIAN 14 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15




WHAT'S NEXT?
WE WILL BE TAKING A NEW YEAR’S BREAK. HAVE A HAPPY NEW YEAR, AND SEE YOU IN JANUARY.
(HOPEFULLY) WITH OUR NEW AUTHOR(S)
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd