Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 16 | BIAS ASMARA
Cerita oleh @CemplungKalen | Editing oleh @killertomato








Malam semakin larut.

Kampung Bawukan sudah semakin sepi. Namun mata Reva masih belum bisa terpejam hingga menjelang tengah malam. Beberapa kali ia membolak-balik badan. Ke kanan, tidak nyaman, ke kiri, tidak enak. Otaknya seperti tidak mau berhenti berpikir barang sebentar saja untuk membiarkan dia tenang dan dapat beristirahat di hari yang sangat panjang ini.

Dia menoleh ke samping, menatap sosok manis calon adek iparnya yang sudah lebih dahulu terbang ke alam mimpi. Reva iri. Ia ingin sekali bisa seperti Dena, tidur lelap seolah tanpa beban. Ia juga sangat ingin memberi jeda pada raga dan pikirannya dalam lelap. Namun, jangankan untuk tidur. Rasa kantukpun sama sekali tak mendatanginya hingga saat ini.

Heeeeehhhh…

Helaan nafasnya begitu dalam, untuk yang entah ke berapa kalinya.

Kenapa semua ini harus terjadi kepada dirinya?

Reva menatap langit-langit kamar, namun pikirannya sedang tidak di situ. Dia terus terbayang kejadian demi kejadian selama dua hari ini di kampung halaman sang calon suami.

Sebelum berangkat, dalam benaknya sebenarnya sudah tersusun banyak harapan dan rencana indah, terlebih Prima sudah banyak bercerita tentang Kampung Bawukan. Reva memang belum pernah ke tempat ini, tapi cerita tentang keindahan kawasan lereng Gunung Mandiri tentu sudah termahsyur dan masuk ke telinganya. Belum lagi beberapa foto yang diperlihatkan oleh Prima kepadanya, menambah rasa penasaran sekaligus excited pada tempat ini. Jadi, meski belum masuk dalam bucket list tujuan berliburnya, mendatangi kawasan ini tentu tidak ada salahnya.

Rasa penasaran itu memang sempat terbayar, dengan bukti nyata yang terpampang jelas di depan matanya, terutama saat ia dan Prima mengunjungi Pager Jurang. Di sana, ia melihat keindahan yang jauh lebih memanjakan mata ketimbang hanya melihat dari foto saja. Di sana, ia mendapatkan momen sekian menit yang mampu membawa ketenangan dalam diri.

Sayangnya, dalam 2 hari ini hanya momen itu saja yang menjadi pengalaman berarti Reva menikmati keindahan kampung halaman sang kekasih. Dia justru lebih banyak mengalami kejadian yang sama sekali tidak ia inginkan. Kejadian menyebalkan, suram, dan bahkan hampir merenggut kesuciannya.

Heeeeehhhh…

Lagi-lagi sebuah helaan panjang, ketika dalam lamunannya ia kembali teringat memori tak menyenangkan yang ia peroleh dari pria kurang ajar bernama Sukirlan. Momen saat lelaki tak sedap dipandang itu datang mengganggu sarapan paginya bersama keluarga Prima, hingga momen suram kala ia harus menerima pelecehan dari sang preman penguasa kawasan Pager Jurang.

Reva yang ingin jauh-jauh membuang memori mengerikan itu, justru kembali teringat saat bibirnya dicium bahkan dilumat oleh Sukirlan. Saat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh juragan buah itu. Saat buah dada kenyalnya dipegang dan diremas tanpa permisi oleh sang preman.

Memang hanya sebentar, tapi nyatanya hal itu memberikan sensasi yang terasa jauh lebih luar biasa ketimbang yang pernah ia rasakan bersama Prima, meski Reva sama sekali tak ingin mengakuinya. Namun bagaimanapun ia mencoba, tubuhnya tak bisa berbohong, dan Reva menyadari hal itu.

Iiiiiiihhhh…

Reva bergidik mengingat sensasi yang ia dapatkan saat menerima ciuman dan remasan dari Sukirlan. Semua yang diperbuat oleh Sukirlan, jauh lebih membuatnya merinding geli dibandingkan dengan Prima. Tak sedikitpun gadis itu ingin membandingkan, tapi lagi-lagi tubuhnya tak bisa bohong.

Prima jelas kalah dari Sukirlan. Prima memang jauh lebih tampan, lebih pintar, dan lebih bermasa depan cerah daripada Sukirlan. Namun soal percintaan, Prima hanya memiliki satu-satunya pengalaman dengan Reva seorang. Sedangkan Sukirlan, jangan ditanya lagi. Playboy maksa itu, entah sudah berapa banyak wanita yang ia taklukan.

Belum lagi kejadian hari ini, dimana dia mengalami peristiwa paling ditakutkan oleh semua perempuan di dunia ini. Jika Sukirlan terlambat sedikit saja, Reva bisa-bisa kehilangan kesuciannya, direnggut oleh seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal. Beruntung di saat yang sangat tepat, Sukirlan datang menjadi pahlawan penyelamatnya.

Wagu. Benar-benar aneh menyebut Sukirlan sebagai pahlawan bagi Reva mengingat sehari sebelumnya pria itu justru menjadi tersangka yang melecehkan dirinya.

Tapi ya kalau bukan karena Mas Lan, aku akan benar-benar… Aaaaahhh…

Reva bergidik ngeri mengingat kejadian pagi tadi. Lagi-lagi ia bersyukur, masih bisa selamat berkat pertolongan Sukirlan. Meski ia harus merelakan bagian paling intim miliknya dilumat oleh lidah kurang ajar pria tak dikenal itu, tapi setidaknya keperawanannya masih terjaga.

Tapi, Mas Lan itu… Hiiiiii… Kok bisa gitu ya? Apa memang kayak gitu?

Tubuh Reva kembali bergidik, dan merinding. Ia mengingat kejadian tadi, namun bukan saat dirinya nyaris diperkosa. Ia mengingat kejadian di kios buah milik Sukirlan. Sebuah kejadian dimana ia harus melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lihat.

Karena makanan yang dibawa dan akan diberikan kepada calon mertuanya sudah tumpah berserakan, mau tak mau ia menerima tawaran dari sang penyelamat untuk mengganti dengan buah-buahan. Apalagi Reva bisa sejenak membersihkan badannya yang terkena lumpur di kios buah Sukirlan.

Sukirlan menyuruh Reva ke toilet sederhana yang ada di kios itu untuk bersih-bersih, sambil menunggu dirinya mempersiapkan buah yang akan diberikan ke Pak Yus dan Bu Rum. Meski sederhana, dengan pintu yang tidak ada kuncinya, namun setidaknya Reva bisa menyingkirkan lumpur yang sudah mulai mengering di kakinya, yang membuatnya tak nyaman.

Namun sayangnya, Reva justru membuat kesalahan fatal.

Dia yang masih cukup shock dengan kejadian yang menimpanya tadi, bukannya cepat-cepat membersihkan diri, justru ia terdiam dalam lamunan. Ia tak sadar berapa lama melamun dalam keadaan celana training-nya sudah dilepas dan digantungkan, dengan tangan sudah memegang gayung warna pink berbentuk love. Sampai akhirnya gedoran di pintu dan teriakan Sukirlan membuatnya sangat terkejut.

“Revaaaa…?! Sudah belum? Lama banget sih? Kamu mandi apa ngapain sebenarnya? Buruaaan… Aku kebelet kencing ini…!”

“Ee… Eehh… Ii… Iyaa… Sebentar…”

Reva terkejut, terlalu kaget sampai tak tahu harus berbuat apa.

“Aaaahhhh lama!”

Braakkk.

“Loh…! Heh Mas…! Tunggu dul…”

Reva tercekat. Ia mematung. Sukirlan yang ternyata sudah tak sanggup menahan kantong kemihnya yang penuh, membuka pintu toilet itu dengan sebuah dorongan keras. Tak peduli dengan Reva yang belum menyelesaikan urusannya, dia langsung menarik turun celananya dan…

Ssrrrrrrrrrrrrrr…

Reva terpaku. Jarak antara dirinya dan Sukirlan cukup dekat, membuat matanya bisa dengan jelas melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lihat.

Besar.

Panjang.

Hitam.

Berurat.

Kesan pertama yang terlintas di dalam benak Reva, ketika matanya melihat ke arah bawah, pada sebuah benda yang dibiarkan bebas tanpa dipegang oleh sang pemilik. Benda yang ujungnya sedang memancarkan air seni dengan begitu derasnya.

Iiiiiiiihhhhh…

Badan Reva bergidik. Ia merinding, bulu kuduknya meremang saat mengingat dengan cukup detail bagaimana bentuk benda kebanggaan Sukirlan itu. Ia sampai harus merapatkan pahanya karena merasakan ada desiran aneh yang muncul di area pribadinya itu.

Reva mendengus kesal karena Sukirlan telah ‘memerawani’ sepasang matanya. Ia sangat kesal karena harus rela melihat batang penis milik Sukirlan, sebagai penis pria dewasa yang ia lihat secara langsung di depan mata kepalanya sendiri. Bukan sekedar melihat, tapi jarak yang cukup dekat membuatnya bahkan bisa mengingat setiap detail bentuk, warna, ukuran, hingga urat-urat yang menghiasi batang perkasa itu.

Mematungnya Reva ternyata memberikan cukup waktu bagi Sukirlan untuk bisa kembali menimati pemandangan indah dari putih dan mulusnya kaki Reva meski masih ada sisa lumpur kering yang belum dibersihkan. Ia bahkan bisa melihat dengan cukup jelas, rambut-rambut halus yang tercukur rapi menghiasi pangkal paha wanita pujaannya itu.

Pemandangan indah itu tentu saja membuat nafsu Sukirlan muncul lagi tanpa bisa ia tahan. Akibatnya penis yang sedang dipakai untuk buah air itu, yang sebenarnya sudah cukup besar, jadi semakin bertambah besar dan terlihat lebih keras lagi.

Hal itu membuat Reva makin takjub dalam diamnya. Sukirlan bisa menyimpulkan hal itu, dari mata Reva yang semakin melebar. Sukirlan tersenyum lebar. Hal ini sebenarnya tak pernah ia rencanakan, tapi ia senang karena kini bisa memamerkan pusaka saktinya di hadapan sang dara jelita.

Ssssssshhhhhhh…

Bagian intim Reva makin terasa berdesir. Ia sampai harus menggesekkan pahanya yang telah ia rapatkan. Apalagi ketika mengingat ucapan Sukirlan tadi.

“Aku berani taruhan, kontolku ini pasti lebih gede dari punya si Pe.”

Deg

Seketika Reva tersadar dan langsung membalikkan badannya membelakangi Sukirlan.

“Eh! Apa-apaan sih, Mas! Kurang ajar banget! Sudah tahu ada orang di dalam main selonong aja! Buruan keluar sana!” hardik Reva yang ditanggapi dengan tawa santai oleh Sukirlan.

Yo ngko sek tho, nanti dulu. Wong aku masih kencing ini lho. Masa yo aku keluar sekarang? Bisa kemana-mana kencingku nanti,” balas pria itu sambil menikmati keindahan bongkahan pantat yang dipamerkan tanpa sadar oleh sang pemilik.

Reva meremas gemas gayung love yang ia pegang. Ingin sekali rasanya melemparkan gayung itu ke muka jelek si Lan. Tapi tak lama kemudian ia mendengar kalau lelaki itu sudah selesai mengeluarkan kencingnya, yang artinya tak lama lagi pria itu akan segera pergi.

Namun, bukan Sukirlan namanya kalau tak memanfaatkan situasi yang menyenangkan baginya ini. Tanpa mencuci ujung penisnya, bahkan tanpa memasukkan batang itu ke celananya, ia bergerak searah jarum jam yang kemudian membuat ujung batang jahanam itu menyentuh bahkan menggesek bongkahan pantat Reva, yang membuat gadis itu terhenyak.

“Sabar ya, gadisku. Nggak lama lagi kamu bisa kok ngerasain kontol gedeku ini. Aku jamin, kontolku ini akan jauh lebih nikmat dari pada kontol si Pe. Dan aku yakin, setelah itu kamu nggak akan bisa lepas dari aku. Kamu akan benar-benar menikah denganku.”

Uugghhhh…

Reva tak bisa melupakan begitu saja kejadian itu. Ia telah benar-benar dilecehkan oleh Sukirlan. Setelah sebelumnya hanya ciuman di bibir dan remasan di dadanya yang masih tertutup pakaian, tadi kulit mulusnya telah disentuh oleh ujung batang kejantanan pria itu.

Pangkal paha Reva terasa semakin geli. Ia arahkan jarinya kesana, lalu diapit oleh kedua kakinya yang masih saja ia gerak-gerakkan.



.::..::..::..::..::.



“Hah? Mau ganti vendor, Mas?”

Prima masih terduduk lemas. Ia sudah kehilangan nafsu makannya pagi ini. Padahal lauk-lauk yang tersaji di meja saat ini adalah makanan kesukaannya, yang dimasak dengan sepenuh hati oleh ibunya. Bukan tanpa alasan, karena ia baru saja menerima telepon yang membawa kabar kurang baik untuk dirinya, dan juga Reva.

“Iya sayang, mau nggak mau kita harus ganti vendor,” jawabnya lemas.

“Tapi, apa harus ganti, Mas? Apa tidak bisa diusahakan dulu sama orang yang itu?”

Prima nampak menggeleng menjawab pertanyaan Reva.

“Ini tadi Mas Bimo telepon, ngabarin kalau rumah sama studionya ludes Dek, habis terbakar. Semua alat-alat fotonya, termasuk file foto-foto milik customer-nya yang belum sempat diambil, juga raib. Kasihan dia Dek, kerugiannya nggak kira-kira. Tapi dia tadi bilang bakal balikin DP yang udah kita transfer kemarin.”

Reva mendengus kesal. Saat ini dia sama lemasnya dengan Prima. Kabar yang sangat buruk baginya harus ia terima di waktu sepagi ini. Studio foto yang sudah mereka booking untuk melakukan prewed yang mereka rencanakan besok, mendapatkan musibah luar biasa.

Rumah yang juga merangkap menjadi studio foto itu, dini hari tadi ludes dilahap si jago merah. Sebuah kebakaran yang terdengar begitu mengejutkan dan aneh, mengingat di lingkungan itu hanya rumah dan studio foto itu saja yang terbakar sampai habis.

Reva merasa rangkaian hari-harinya di Kampung Bawukan ini belum mau berhenti memberinya kenangan buruk. Setelah 2 hari mengalami peristiwa yang sangat ingin dilupakan, tentu ia berharap hari ini mendapatkan sesuatu yang berbeda, yang menyenangkan, yang membuat hatinya bahagia, yang setidaknya bisa menebus kemuraman 2 hari pertamanya di desa ini. Namun nyatanya, hari masih pagi tapi dia sudah harus menerima kabar seburuk itu.

Reva juga sama seperti calon suaminya, sudah kehilangan nafsu makan, padahal dia baru menyendok beberapa suap saja. Dia benar-benar merasa bad mood hari ini. Untungnya, kedua orang tua Prima sudah berangkat ke sawah, dan Dena juga sudah berangkat sekolah, sehingga ia tak perlu merasa tak enak karena tak menghabiskan sarapannya.

Reva sama sekali tidak peduli dengan DP yang ia bayarkan, meskipun jumlah uang yang ia keluarkan untuk persiapan pengambilan foto prewed ini tidak sedikit. Dia sangat paham, kalau yang dialami oleh studio foto itu bisa terjadi kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Dia pun sebenarnya tidak berharap uang itu akan ditransfer kembali kepadanya, karena ia tahu Mas Bimo, sang pemilik studio foto, pasti sekarang juga sedang sangat kesusahan.

Yang menjadi biang kerok bad mood-nya adalah karena hal itu terjadi hanya sehari sebelum agenda prewedding itu dilakukan. Reva sudah mempersiapkan semuanya dengan baik dari jauh-jauh hari. Pakaian apa yang akan dia dan Prima pakai besok, sudah tertata rapi di koper mereka. Tingga disetrika lagi nanti malam, atau besok pagi. Untuk make-up pun, dia juga sudah mempersiapkan semuanya. Detail-detail kecil kelengkapan acara, juga sudah ada semua. Gadis itu benar-benar well prepared untuk menghadapi momen penting dan bersejarah dalam hidupnya.

“Terus, solusinya gimana, Mas?”

Prima tak langsung menjawab. Pria itu menyesap kopi hitam yang juga dibuatkan oleh ibunya tadi. Setelahnya, ia mendesah panjang.

“Aku juga belum tahu, Dek. Kita harus cari vendor pengganti, tapi terus terang aja, aku nggak yakin kita bisa dapat dengan waktu yang begitu mepet. Apalagi, aku udah lama nggak pulang Dek, aku nggak punya banyak teman disini, nggak tahu harus menghubungi siapa di saat seperti ini. Studio foto milik Mas Bimo itu, satu-satunya yang aku kenal, dan sekarang sudah ludes terbakar.”

Lidah Reva kelu tak bisa membalas ucapan calon suaminya. Reva mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Prima itu sangat berdasar. Mencari studio foto untuk melakukan foto prewedding sebenarnya bukan perkara sulit. Tapi jika itu untuk besok, atau setidaknya bisa diundur dua hari lagi, akan sangat sulit mencarinya. Apalagi Reva tentu tidak mau asal memilih. Ia pastinya ingin mendapatkan hasil terbaik dari setiap jepretan sang fotografer.

“Kamu nyari tukang foto, Pe?”

Sepasang calon suami istri itu, yang sedang lemas tak bersemangat, tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang mulai familiar di telinga Reva. Suara yang sangat tidak ingin ia dengarkan saat ini.

“Loh, Lan? Kamu kok tahu?” tanya Prima sambil berdiri hendak menyalami sang preman kampung itu.

Prima pun sebenarnya juga sama sekali tidak mengharapkan kedatangan pria itu. Mood-nya juga sedang tidak baik. Kedatangan pria seperti Sukirlan sudah pasti tidak akan membuat mood-nya menjadi lebih baik, bahkan bisa memperburuk suasana hatinya.



Ditanya oleh Prima, sama sekali tak ada jawaban dari pria berwajah ganjil itu. Bibirnya justru tersenyum. Prima curiga kalau Sukirlan tersenyum karena menatap calon istrinya, tapi ternyata arah pandangan pria itu tidak ke Reva.

“Waaah, lha ini yang tak cari. Kebetulan aku belum sarapan, Pe. Aku nunut madhang yo¸ numpang makan Pe.”

Tanpa menunggu jawaban dari Prima, Sukirlan langsung saja mengambil tempat di samping Reva. Karena tak ada piring kosong yang disiapkan, pria itu mengambil piring tempat lauk dan langsung mengisinya dengan nasi. Seperti sebelumnya, tak tanggung-tanggung nasi yang ia ambil - nyaris membuat kosong wakulnya.

Yang agak mending dari sebelumnya, kali ini Sukirlan terlihat seperti habis mandi. Memang tak ada pengaruhnya pada wajah aneh pria itu, masih saja tak menambah ganteng, tapi setidaknya kali ini ia lebih bersih. Mengambil makanan pun, meski tak tanggung-tanggung jumlah yang diambil, namun ia lakukan dengan lebih ‘sopan’, hal yang tentunya membuat Prima dan Reva agak heran.

“Heeeeerrrrggggghhhh…”

Suara sendawa terdengar keras dari mulutnya setelah semua makanan yang ada ludes dihabiskan oleh Sukirlan.

“Mau nambah lagi, Lan?” tanya Prima berbasa-basi, yang ditanggapi dengan tatapan tajam Reva tanda tak setuju. Lagipula memang sudah tidak ada makanan di dapur.

“Nggak Pe, wes wareg aku. Nanti aja kapan-kapan kalau aku kesini, kamu siapin makanan lagi,” jawab Sukirlan seenaknya, sambil menyandarkan punggungnya di dinding kayu rumah ini.

“Lan, kamu tadi tanya soal tukang foto. Kok kamu tahu aku lagi butuh fotografer?”

“Lha kan aku denger obrolan kalian tadi. Lagian aku tahu Bimo Studio, dia kan beberapa kali ke daerah sini, buat ambil foto juga.”

Sukirlan lalu mengambil HP nya, tak lama kemudian memperlihatkan layar HP itu kepada Prima dan Reva. Sepasang calon suami istri itu nampak terkejut. Mereka melihat video kebakaran yang luar biasa besar.

“Itu rumah si Bimo yang kebakaran. Temenku jadikan status WA. Tadinya aku kesini mau tanya ke kamu, apa kamu pakai mereka buat foto prewed, ternyata belum aku tanya malah udah denger obrolan kalian.”

Prima dan Reva nampak terdiam. Mereka berdua sama-sama bingung.

“Kamu ada solusi nggak, Lan?” tanya Prima.

Sebenarnya dia tahu itu adalah pertanyaan hopeless, tidak ada harapan bakal ada solusi dari Sukirlan. Siapa lah dia? Hanya seorang pemuda problematik pemilik kios buah di sebuah desa kecil dari lereng Gunung Mandiri. Mana mungkin pria seperti itu punya solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh dirinya dan calon istrinya.

“Maksudmu tukang foto? Kalau mau nyari yang sebagus Bimo, aku nggak ada kenalan. Tapi kalau yang bisa dan punya studio foto, ada,” jawab Sukrilan dengan cueknya.

Prima dan Reva saling tatap dengan wajah terkejut.

Mereka seperti melihat titik cahaya dibalik gelapnya kabar yang mereka terima pagi ini. Masih ada harapan, jika pemotretan prewedding mereka bisa tetap dilakukan sesuai rencana.

“Siapa Lan? Orang mana?”

“Pak Barsono, temennya Mas Man.”



.::..::..::..::..::.



Meski tengah hari, namun cuaca di Pager Jurang tak terlalu terik. Banyaknya pepohonan yang cukup tinggi membuat kondisi di kawasan ini lebih rindang, menambah kesejukan dan kenyamanan lokasi.

Reva dan Prima sudah sampai di sana, duduk-duduk di warung yang masih tutup. Keduanya nampak membawa serta koper yang memang sudah mereka persiapkan. Selain mereka berdua, ada juga 2 orang pria yang sedang berkeliling melihat lokasi Pager Jurang. Salah satunya terlihat serius dan berusaha membidikkan kameranya ke beberapa arah, mencari sudut yang bisa memberikan hasil yang lebih bagus. Beberapa kali ia menganggukkan kepala pada pria yang mendampinginya.

“Mas, yakin nggak sama orang itu?” tanya Reva memperhatikan Sukirlan bersama dengan seorang pemuda yang diperkenalkan sebagai asisten fotografer.

Prima tersenyum dan membenahi sedikit rambut yang keluar di dahi Reva, “Ya kita lihat dulu aja nanti hasilnya gimana Dek. Sejujurnya, aku nggak tahu siapa itu Pak Barsono, di mana studio fotonya dan seperti apa kualitas mereka. Apalagi sekarang yang dikirim ke sini kan asistennya, bukan Pak Barsono-nya sendiri.”

Prima yang mencoba menenangkan Reva sebenarnya antara yakin tak yakin, dia tidak pernah mendengar ada fotografer profesional di kampungnya yang kapabel menangani sesi foto seserius prewedding. Dia jadi lebih ragu lagi saat Sukirlan memberi tahu ternyata Pak Barsono sedang ada keperluan dalam waktu beberapa hari ini, sehingga meminta asistennya yang hari ini jadwalnya kosong untuk menggantikan dirinya.

Sempat Prima dan Reva bernego untuk pengambilan fotonya besok saja, agar tetap sesuai rencana. Namun ternyata asisten Pak Barsono hanya ada jadwal kosong hari ini. Sempat berusaha mencari solusi lain, tapi ternyata beberapa studio foto yang dihubungi juga tidak bisa karena waktu yang terlalu mepet, jadwal mereka sudah terlanjur penuh. Akhirnya, mau tak mau Prima dan Reva bersedia menerima bantuan dari Sukirlan. Setidaknya bisa dicoba dulu, siapa tahu hasilnya memang bagus.

Reva menggelengkan kepala. Untuk kedua kalinya Sukirlan seolah hadir sebagai penyelamatnya. Jika kemarin lelaki itu menyelamatkannya dari percobaan pemerkosaan, kali ini Sukirlan menyelamatkan agenda utama yang membawanya jauh-jauh mengunjungi lereng Gunung Mandiri ini.

Sebenarnya benar-benar aneh. Wagu sak pol e, aneh seaneh-anehnya, jika lagi-lagi harus menyebut Sukirlan sebagai seorang pahlawan. Tapi ngomong-ngomong soal aneh, hari ini Reva tidak mendapati Sukirlan melirik ke arahnya.

Kemarin, habis ditolong sama Mas Lan, ada kejadian yang nggak ngenakin. Apa jangan-jangan hari ini…

“Kalian bisa pakai warung-warung disini buat ganti baju. Silahkan pilih yang mana aja, senyaman kalian aja,” ucap Sukirlan membuyarkan lamunan Reva.

Rupanya Sukirlan sudah selesai mengantarkan pemuda asisten fotografer itu berkeliling untuk mencari spot mana saja yang bisa mereka pakai dengan pemandangan yang indah. Pemuda itu langsung mempersiapkan alat-alatnya. Sempat Prima melirik, dan meskipun tidak paham mengenai alat-alat fotografi, tapi melihat dari apa-apa saja yang disiapkan oleh si pemuda, Prima bisa sedikit lebih tenang.

Orang ini kayaknya cukup meyakinkan.

Sukirlan yang masih berdiri dengan cuek menyalakan rokoknya.

Diam-diam, Reva sempat beberapa kali melirik ke arahnya. Gadis itu merasa agak heran pada Sukirlan. Lelaki itu nampak berbeda dari sebelumnya. Hari ini, tidak ada lirikan, senyuman, seringai, apalagi kata-kata mesum keluar dari mulutnya.

“Pe, ini kamu nggak bawa minuman, apa cemilan gitu?” tanya Sukirlan sambil melihat ke sekitar Prima dan Reva.

“Eh, enggak Lan. Lha kamu nggak bawa?”

Lho, piye tho kowe kuwi Dab? Gimana sih, kan yang punya acara kamu, masa ya aku yang nyiapin minuman sama cemilan?”

Prima meringis. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia menatap Reva yang nampaknya juga merasakan hal yang sama. Padahal mereka berdua adalah orang yang terbiasa dengan detail-detail kecil dan persiapan sebaik mungkin. Pergi ke tempat seperti ini untuk pengambilan foto prewed, pastinya tidak akan sebentar. Harusnya mereka sudah kepikiran untuk setidaknya membawa minuman.

Lha tak pikir, warung-warung di sini buka, Lan,” ucap Prima seolah tak ingin disalahkan.

Sukirlan geleng-geleng kepala. “Ya nggak tiap hari dong Pe bukanya. Ini bukan weekend, mana masih jam segini lagi. Siapa yang mau buka warung kalau nggak ada yang beli?”

Sekali lagi Prima dan Reva saling tatap. Mereka sudah terlanjur sampai, dan pemotretan bisa segera dimulai. Kalau harus turun dulu untuk membeli minuman dan cemilan, malah akan tertunda. Iya kalau cuacanya masih bagus seperti ini, kalau nanti jadi mendung? Terus hujan?

Prima pun kemudian menatap penuh harap ke Sukirlan. Juragan buah itu balas menatap Prima, lalu menatap Reva. Ia kembali menggelengkan kepalanya.

“Kalian mau minum apa?”

“Terserah aja Lan, yang gampang aja, yang nggak ngerepotin.”

“Yang nggak ngerepotin itu bawa sendiri, Pe. Atau nggak bawanya dari tadi waktu mau berangkat.”

Prima makin merasa tak enak. Begitupun Reva. Sebenarnya mereka tak mau sepenuhnya disalahkan, karena yang terjadi sejak tadi pagi hingga sekarang ini cukup membuat isi kepala begitu penuh, sampai-sampai masalah minuman saja terlewatkan.

Meskipun menyebalkan, ternyata Sukirlan ada sisi baiknya juga. Kalau dipikir-pikir lagi, siapa orang di Kampung Bawukan yang berani merepotkan Sukirlan? Apalagi Prima, yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, yang selama ini selalu nurut saja apa yang dikatakan dan diinginkan olehnya. Namun sekarang, Sukirlan yang sedang direpotkan oleh Prima itu nampak menghubungi seseorang.

“Halo, Mbak Yeni? Tolong sampeyan bawakan minuman ke Pager Jurang ya, ambil aja yang ada di kios. Oh iya, sama bawa buah sekalian.”

“………………………”

“Yang gampang aja, jeruk boleh, salak boleh, terserah.”

“………………………”

“Minta dianter aja sama Kohar atau Gandos.”

“………………………”

Yowes ndang cepet, tak tunggu. Wes ngelak aku Mbak.”

Sukirlan mengakhiri teleponnya dan kembali menghisap rokoknya dengan cuek. Tak terlihat raut kesal yang berlebihan kepada Prima, hanya mungkin kesal karena memang sudah haus saja. Wajar, karena sejak sampai di sini, dia yang lebih sibuk mengantarkan fotografernya berkeliling mencari spot yang bagus.

Cueknya juragan buah itu, sebenarnya cukup membuat Reva senang. Dia tak harus berpura-pura sabar menghadapi sikap buruk Sukirlan. Tapi entah kenapa, karena pria itu adalah Sukirlan, rasanya ada yang kurang jika sikapnya biasa-biasa saja seperti itu.

“Dek, ayo ganti baju dulu,” ajak Prima kembali membuyarkan lamunan Reva.

Gadis itu pun mengangguk. Ia lalu berdiri dan mengamati sekitar, mencari tempat yang dirasa paling ‘aman’ untuk mempersiapkan diri. Berganti pakaian lalu bersolek. Setelah memilih satu tempat yang dirasa paling aman, Reva tak membuang waktu. Prima mengikuti sang calon istrinya itu, ikut memastikan tempat yang dipilih oleh Reva memang aman baginya.



.::..::..::..::..::.



Sesi foto sudah berjalan hampir setengah jam. Beberapa tempat sudah mereka coba. Dan ternyata baik Prima maupun Reva cukup puas dengan hasil Seto, asisten dari Pak Barsono.

“Istirahat bentar Mas, Mbak. Sambil sekalian di touch up itu make up Mbak Reva.”

Reva dan Prima mengiyakan ajakan Seto, karena melihat keringat yang cukup membasahi kaos pemuda itu. Pun Reva memang merasa riasan di wajahnya perlu untuk dipoles lagi. Mereka pun menuju ke salah satu warung tempat Sukirlan menunggu bersama seorang perempuan yang merupakan karyawan barunya. Yeni, yang bekerja di kios buahnya akibat dari perjanjiannya dengan Sadikin.

Di salah satu meja sudah tersaji minuman kemasan, air mineral dan juga buah-buahan. Sukirlan nampak masih cuek bermain HP sambil merokok, sedangkan Yeni diam saja menunggu Sukirlan.

“Udah beres?” tanya Sukirlan tanpa melihat ke arah datangnya 3 orang itu.

“Belum Mas, ini istirahat dulu. Ngelak aku,” jawab Seto yang langsung membuka dan meneguk minuman kemasan yang diberikan oleh Yeni. Begitupun dengan Reva dan Prima yang juga menerima minuman dari Yeni.

“Bentar ya Mas, aku mau touch up dulu,” ucap Reva berpamitan kepada calon suaminya.

Opo kuwi, tacap?” tanya Sukirlan yang menatap Reva dengan wajah bingung.

“Ini lho Mas Lan, mau dipoles lagi riasan di wajahku,” jawab Reva, menahan tawa mendapat pertanyaan dari Sukirlan.

“Halah, kok yo tacap tacap, bilang aja mau dandan lagi. Mbak Yeni, tolong kamu temani Reva ya.”

Yeni mengangguk, lalu mengikuti langkah Reva. Gadis itu kembali dibuat heran dengan sikap Sukirlan, yang sejak pagi tadi hingga sekarang tak sedikitpun tatapan maupun ucapannya mengarah ke hal-hal mesum. Sangat berbeda dengan sosok Sukirlan dalam 2 hari pertama dirinya di Kampung Bawukan ini.

Namun Reva tak mau ambil pusing.

Justru itu bagus. Kalau dia bisa kayak gitu terus, sampai aku pulang nanti, pasti hari-hariku disini akan jauh lebih tenang.

Sekitar 10 menit Reva merapikan riasan wajahnya, ditemani oleh Yeni. Mereka tidak banyak ngobrol karena memang tidak saling mengenal. Setelahnya Reva kembali ke tempat calon suaminya menunggu. Di sana, ternyata Sukirlan sudah berganti posisi. Tubuhnya berbaring di salah satu kursi panjang, dengan mata terpejam. Sedangkan Prima dan Seto nampak masih ngobrol, tapi Prima terlihat beberapa kali menguap.

“Mas, ayo lanjut lagi,” ajak Reva, yang kembali mengambil botol minumnya lalu menenggak isinya.

“Bentar ya Dek, aku masih capek ini.”

“Ya udah, tapi aku mau kesana dulu ya Mas? Mau lihat-lihat pemandangan, hehehe…” ucap Reva sambil menunjuk ke salah satu tempat.

Prima mengangguk saja, membiarkan sang kekasih untuk pergi menikmati keindahan di kawasan Pager Jurang ini. Tempat itu sebenarnya pernah mereka datangi, namun saat itu malam hari, jadi sudah pasti pemandangannya tak terlihat jelas. Yang Prima tidak tahu, di tempat itu sebenarnya sang kekasih mendapatkan pelecehan dari Sukirlan, saat ia tinggalkan Reva sendirian akibat sakit perutnya.



.::..::..::..::..::.



“Mbak, ini mau lanjut fotonya?”

Pertanyaan dari Seto mengagetkan Reva yang sedang menikmati keindahan pemandangan lereng Gunung Mandiri dari Pager Jurang ini. Reva membalikkan badannya, tapi hanya melihat Seto sendirian. Tak nampak ada Prima di belakang pemuda itu.

“Iya Mas. Tapi, Mas Prima mana ya?”

“Nah itu Mbak…”

“Kenapa Mas?”

“Mas Prima-nya… tidur jeh.”

“Loh, kok? Masa sih?”

Ingin memastikan sendiri, Reva berjalan menghampiri kekasihnya. Dan benar saja, posisi Prima sudah sama seperti Sukirlan, yang berbaring di salah satu bangku panjang. Bahkan Prima nampak sudah lelap sekali tidurnya, membuat Reva jadi ragu untuk membangunkan sang kekasih.

“Duh Mas Prima gimana sih. Kok bisa-bisanya malah tidur, acaranya lho belum selesai.”

Reva menggerutu, tapi tetap tak berani membangunkan kekasihnya itu.

“Gimana Mbak?” tanya Seto yang ternyata sudah ada di belakangnya, bersama dengan Yeni.

“Gimana apanya Mas? Apa ya bisa dilanjut kalau Mas Primanya tidur gini?” balas Reva kesal.

“Yaa bisa aja, tapi Mbak Reva sendiri. Kan tadi yang sama Mas Prima udah lumayan banyak Mbak.”

Reva tak menjawab. Wajahnya masih cemberut karena kesal kepada calon suaminya itu. Tiba-tiba saja Yeni menghampiri membawa air mineral.

“Minum, Mbak. Udah, jangan marah dulu, siapa tahu Mas Prima lagi capek. Tuh, Mas Lan juga lagi tidur,” ucap Yeni dengan lembut, membuat kekesalan Reva mulai memudar.

Gadis cantik itupun mengambil air mineral yang diberikan oleh Yeni, lalu meminumnya.

“Ya udah Mas, kita lanjut dulu aja. Sambil nungguin Mas Prima bangun. Jadi, kita mau lanjut dimana?”

Seto tersenyum dan kemudian menunjuk ke salah satu arah. Ia berjalan mendahului, disusul oleh Reva dan Yeni di belakangnya. Di spot yang ditentukan oleh Seto, Reva kembali diarahkan untuk berpose. Meski masih agak kesal, namun Reva yang saat di kota kerap kali diminta menjadi model endorsement pakaian, bisa tetap berpose dengan luwesnya. Wajah ayu dan senyum manisnya pun tak sedikitpun menunjukkan kalau dia sedang kesal. Model seperti ini yang tentunya disukai oleh para fotografer, termasuk Seto.

Mereka sampai pindah ke spot lain yang memiliki pemandangan tak kalah indah. Kembali Reva berpose sesuai dengan arahan dari sang fotografer. Cuaca saat ini benar-benar mendukung, sehingga foto-foto yang dihasilkan benar-benar bagus. Reva terlihat sangat puas, sehingga tak menolak saat Seto memintanya berganti-ganti pose.

Namun cuaca yang cukup sejuk dan angin sepoi yang berhembus, tak membantu Reva mengusir rasa gerah yang perlahan datang. Ia mulai tak nyaman dengan kondisi ini, namun masih berusaha untuk tersenyum dan berpose seperti yang diminta oleh Seto. Reva tak sadar wajahnya sudah mulai memerah, tapi Seto jelas menyadari hal itu, dan ia tersenyum karenanya.

“Kamu kok foto sendiri Va? Itu si Pe ngapain malah tidur?”

“Eh… Mas Lan?”

Reva terkejut ketika Sukirlan datang.

“Nggak tahu Mas, mungkin Mas Prima masih capek.”

Sukirlan menggelengkan kepala, untuk kesekian kalinya. “Piye tho cah iki, dia yang punya hajat tapi malah tidur. Udah tadi nggak bawa apa-apa, sekarang malah calon istrinya ditinggal tidur. Jan ra nggenah.”

Suasana nampak mulai canggung. Seto dan Yeni tidak berani menjawab ucapan Sukirlan, sedangkan Reva nampak tak enak pada pria yang sudah 2 kali menolongnya itu, apalagi ia mulai melihat raut kekesalan di wajah Sukirlan.

“Kamu juga, kalau capek sebaiknya istirahat dulu. Ngapain dipaksain? Sampai wajahmu merah gitu lho,” ucap Sukirlan yang membuar Reva terkejut, karena ia memang tidak tahu kalau wajahnya sudah mulai memerah. “Kamu juga To, Seto. Udah tahu Reva kecapekan, masih aja difoto!”

“Eh… Ma-Mas Lan, bukan salah Mas Seto. Tadi, aku yang minta.”

Reva yang masih tak enak pada Sukirlan akibat ulang calon suaminya, ia tambah merasa tak enak karena pria itu malah memarahi Seto. Ia berusaha membela sang fotografer, dan untungnya Sukirlan mendengarnya. Ia tak lagi memarahi pemuda itu.

“Ya udah, kamu kesana dulu, kasih waktu Reva buat istirahat. Mbak Yeni, temenin Seto ya, layani dia dengan baik!”

Yeni menunduk, namun kemudian mengangguk. Sedangkan Seto, tersenyum mendengar ucapan Sukirlan.

“Duduk dulu Va. Nih minum kalau haus. Kalau kamu mau sih.”

Sukirlan meletakan sebuah botol air mineral yang terlihat masih tersegel di sebuah bangku. Ia sendiri berjalan menuju ke sisi Pager Jurang, untuk menghirup udara segar dalam-dalam. Reva yang memang sudah merasa kurang nyaman dan gerah, segera duduk di bangku dan mengambil botol air mineral yang dibawa Sukirlan tadi. Dan memang benar, masih tersegel dengan rapi. Tak menunggu lama, dia membuka dan meneguknya.

“Dari dulu aku selalu iri sama pacarmu,” ucap Sukirlan tiba-tiba, mengejutkan Reva. Masih dengan menatap ke pemandangan nun jauh disana, tanpa melihat ke arah Reva.

“Apa yang bikin iri?”

“Banyak, Va,” Sukirlan menjeda cerita untuk meneguk isi botol minumnya. “Sejak kecil, dia itu sudah pintar, sering jadi juara kelas. Dia juga tampan, manis, banyak cewek yang suka sama dia. Sedangkan aku, udah jelek, item, bego lagi.”

Reva hampir saja kelepasan tertawa, mendengar ucapan sang preman. Karena, mau dibandingkan dari sisi apapun, memang benar ucapan Sukirlan, Prima jelas lebih unggul daripada dirinya.

Sukirlan melanjutkan, “Padahal aku yang berasal dari keluarga terpandang. Aku yang berasal dari keluarga paling berpengaruh di daerah ini. Sampai akhirnya, rasa iri sama si Pe bikin aku jadi melakukan segala cara, untuk menarik perhatian orang-orang.

“Kalau mau bikin prestasi, jelas aku nggak bisa, wong aku ki bodoh. Ya akhirnya aku sering bikin onar. Di sekolah dulu, sering aku berkelahi. Guru-guru nggak ada yang berani negur, karena mereka segan sama keluargaku. Begitupun orang tua yang anaknya babak belur aku hajar, nggak pernah sekalipun ada yang datang minta pertanggungjawaban. Mereka semua takut sama keluargaku.

“Semua itu bikin aku jadi makin besar kepala. Aku tahu, nggak akan ada yang bisa nahan aku. Jadi aku semakin nakal, semakin kurang ajar. Aku anggap semua itu sebagai pembalasan dendamku sama si Pe. Termasuk, urusan cewek.”

Lagi, Sukirlan menjeda ceritanya untuk membasahi kerongkongannya.

“Karena nggak mungkin bersaing sama Prima dengan cara sehat, yang jelas-jelas para cewek bakal milih dia, akhirnya aku pakai cara yang salah. Aku paksa mereka. Aku perkosa mereka. Semua itu terus kebawa meskipun Pe udah nggak disini lagi, udah kuliah di Ibukota. Aku sudah terlanjur ngerasa bisa memaksa, atau merebut pasangan orang, dan nggak pernah ada yang berani melawan.

“Aku udah nggak tahu lagi, berapa cewek yang udah takluk sama kontolku. Aku nggak pernah ngitung. Perawan, istri orang, janda. Semua pernah.”

Omongan Sukirlan yang sejak pagi tadi jauh dari kemesuman, mulai mengarah kesana. Mulai memperlihatkan Sukirlan yang selama 2 hari sebelumnya dikenal oleh Reva.

“Cewek-cewek yang udah ngerasain kontolku, satupun nggak pernah ada yang nggak puas,” ucap Sukirlan sambil untuk pertama kalinya, ia membalikkan badan untuk menatap Reva, sambil tersenyum.

Pria berwajah ganjil itu tersenyum begitu lebar, saat melihat kondisi Reva yang sudah begitu kepayahan. Reva bukan kelelahan, Sukirlan tahu itu. Dia paham, sudah menebak, ketika melihat botol minum yang ia berikan kepada Reva tadi telah kosong. Ia tahu, sesuatu yang ia masukkan ke sana telah mulai bekerja di dalam tubuh Reva.

Dara manis nan cantik itu nampak tak memperhatikan lagi ke arah Sukirlan. Ia sibuk dengan kondisi tubuhnya yang ia sendiri tak tahu kenapa bisa begitu. Ia merasa sangat gerah, ingin sekali melepaskan kain demi kain yang menutupi tubuhnya. Ia juga merasakan sensasi gatal-gatal aneh di beberapa bagian sensitif tubuhnya. Kedua bukit di dadanya, serta area genitalnya. Rasa yang hampir tak pernah ia rasakan selama ini, membuat Reva bingung harus melakukan apa.

Di sisi lain, Sukirlan yang merasa obatnya bekerja dengan baik, mulai berjalan mendekat. Seringai jahat tak lepas dari bibirnya, sangat puas melihat rencananya berjalan dengan sangat mulus, seperti biasa. Sesekali ia perhatikan di tempat lain, terlihat Prima masih tidur dengan sangat pulas, yang kemungkinan baru akan bangun beberapa jam dari sekarang. Sedangkan Seto dan Yeni, telah menghilang dari pandangannya, menuju ke tempat yang juga telah dipersiapkan.

“Reva, kamu kenapa?” tanya Sukirlan saat ia telah berdiri tepat di hadapan dara jelita.

“Ssshhh…” Reva menggelengkan kepalanya, “Ng-Nggak tahu, Mas…”

Sukirlan tersenyum, dengan berani ia letakkan tangannya di kepala Reva. Gadis itu tersentak saat merasakan belaian dari pria lain di kepalanya. Ingin ia menghempaskan tangan Sukirlan, tapi tubuhnya menolak. Tubuhnya justru membiarkan, bahkan menginginkan. Sentuhan yang masih terhalang oleh kain jilbabnya itu, serasa menghantarkan aliran aneh ke seluruh tubuhnya, aliran yang membuat tubuhnya sedikit menggelinjang.

Usapan demi usapan Sukirlan di kepala Reva, kian membuat gadis itu nyaman, sekaligus blingsatan. Tubuhnya merespon aneh usapan itu, padahal tangan Lan masih terhalang oleh kain jilbabnya, tak langsung menyentuh rambutnya. Ia tak paham kenapa tubuhnya bisa seperti ini.

“Ssssshhhhh…”

Reva tak sadar mendesis saat sesekali usapan tangan Sukirlan mengenai bagian telinga dan tengkuknya. Tubuhnya pun ikut menggelinjang beberapa kali, lebih sering daripada sebelumnya. Bersamaan dengan itu, rasa gatal yang tadi hanya ada di bagian dada dan kewanitaannya, mulai menyebar ke seluruh tubuh. Bulu kuduknya seperti sudah meremang semua. Bahkan kini gesekan antara kulit dengan kain bajunya saja membuat tubuhnya bergerak tak karuan.

Melihat Reva yang makin tak mampu menguasai dirinya, membuat Sukirlan kian tersenyum lebar merasa semakin di atas angin. Tangannya tak lagi hanya berada di kepala sang bidadari pujaan hati, namun sudah mulai travelling menyusuri punggung Reva. Jelas tujuannya bukan untuk membuat sang bidadari tenang, justru sebaliknya, membuat gadis jelita itu makin tak karuan.

Kesadaran Reva akan keadaan sekitar semakin menipis. Matanya tidak tertutup, tapi tatapannya mulai kosong. Deru nafas gadis cantik itu kian memburu, seiring dengan tangan Sukirlan yang menjelajah semakin banyak bagian tubuhnya. Reva tak melawan, bahkan bisa jadi tak sadar, saat tubuhnya disandarkan ke belakang, dengan kedua tangan lunglai tanpa tenaga di samping kiri dan kanan tubuhnya.

Gerahnya tubuh Reva serasa sedikit berkurang kala ia merasakan hembusan angin sejuk menerpa area dadanya. Terpaan lembut yang membuatnya melayang hingga matanya terpejam, membuat dirinya tak bisa lagi melihat apa yang sedang terjadi pada dirinya. Membuat ia tak bisa lagi melihat bagaimana satu persatu kancing bajunya telah lepas dari tempatnya, membuat kulit putih mulus bak pualam itu terbuka lebar, selebar-lebarnya.

Sukirlan menatap nanar pemandangan indah itu. Bukan sekali dua kali ia menelanjangi seorang wanita, yang entah masih gadis ataupun sudah bersuami. Bukan satu dua wanita cantik yang telah ia nikmati tubuhnya, namun tak satupun yang membuatnya bisa seterpana ini. Reva adalah sesuatu yang berbeda, terlalu indah jika dibandingkan dengan yang lain. Membuat tangannya tak tahan untuk hanya sekedar diam. Tangan yang biasa kokoh itu, saat ini sedang bergetar menuju ke salah satu dari sepasang bukit indah yang mempesona di tubuh Reva.

“Aaaaaaaaaaaahhhhhhh…”



.::..::..::..::..::.



Tak begitu jauh dari tempat dimana Sukirlan sedang akan memetik ranumnya kenikmatan yang ditawarkan oleh sang gadis jelita, di salah satu warung yang biasa menjadi tempat Sukirlan menikmati tubuh wanitanya, seorang pria dengan tangan dan kaki terikat tengah menangis meraung-raung melihat pemandangan miris di depan matanya.

Seorang wanita yang begitu ia cintai, yang telah sekian tahun hidup bersamanya, mengabdi padanya sebagai seorang istri, sedang berada dalam kekuasaan pria lain. Wanita kalem yang kesehariannya tak pernah macam-macam, hanya mengurus kedua anak mereka, kini sedang berbaring tanpa daya tanpa busana dihentak-hentak oleh pria yang tak berhak atas dirinya.

“Sudah Masss… Sudaaaaahhh…”

Tangisan pria itu tak bisa berhenti, apalagi melihat wajah istrinya yang terus meringis menahan sakit.

“Hahaha… Dikin Dikin… lagian kamu aneh-aneh aja. Kok bisa-bisanya mau ngelawan Bos Lan. Pakai bikin rencana mau merkosa si Reva, ngajak-ngajak orang TPS lagi. Kamu ini bodoh apa gimana, kok bisa nggak tahu kalau mereka-mereka itu semua anak buahnya Bos Lan, hahahaha…”

Ucapan Kohar benar-benar menampar telak Sadikin. Pria itu benar-benar gegabah. Dia benar-benar tak menyangka kekuasaan Sukirlan seluas itu. Dia tak menyangka, orang-orang di Tempat Pembuangan Sampah Sementara yang hendak ia ajak kerjasama untuk memberi pelajaran pada Sukirlan, ternyata adalah anak buah sang juragan buah.

Kini, bukan hanya sekedar punya hutang menumpuk pada Sukirlan, istrinya telah menjadi korban, sedang disetubuhi dengan brutalnya oleh pria dari TPSS, yang tadinya hendak ia suruh untuk memperkosa Reva. Yang lebih menyakitkan, semua itu diabadikan oleh Seto yang sebelumnya telah menikmati tubuh Yeni. Hanya tinggal Gandos yang sedang menunggu giliran, sambil memegangi kepalanya dan memaksanya untuk terus melihat Yeni diperkosa pria-pira lain.

Sadikin menyesal. Ia teringat ketika sudah sejak awal Yeni memperingkatkan agar sampai berurusan dengan Sukirlan dan keluarganya. Tapi dia merasa tak punya pilihan lain, tak tahu lagi harus minta tolong ke siapa. Dan seharusnya, jika dia tak punya rencana untuk menganggu keinginan Sukirlan yang menginginkan Reva, istrinya tak harus jatuh sedalam ini menjadi korban. Namun semua sudah sangat terlambat. Ia hanya bisa melihat, untuk kedua kalinya ada pria yang mengejang menembakkan sperma di dalam rahim Yeni istrinya.

Pria itu mencabut penisnya, lalu Kohar memaksa Sadikin untuk melihat lebih jelas lagi bagaimana kini bentuk dan rupa bibir kemaluan sang istri. Dikin tambah menangis melihat hal itu, apalagi ia tahu semua ini belum berakhir. Masih ada Gandos, dan mungkin pria-pria lain lagi yang akan dipanggil datang oleh Kohar, untuk menghukum dirinya, dengan menikmati habis-habisan tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu.

“To, si bos udah beres belum ya?” tanya Gandos yang mulai melepaskan pakaiannya, untuk selanjutnya mengambil jatah dari tubuh Yeni.

“Belum. Baru juga mulai,” jawab Seto yang membidikkan kamera ke arah dimana Sukirlan berada. “Wuiiiih anjeeeeeng… Mulus cooook…”

“Mana mana mana?”

Gandos yang sudah telanjang bulat dan baru saja mau mendekati Yeni, teralihkan perhatiannya oleh pekikan Seto. Pria yang sedang berpura-pura menjadi fotografer itu bisa melihat dengan cukup jelas apa yang terjadi di tempat Sukirlan menggunakan kameranya. Kohar yang penasaran pun segera merebut kamera itu, lalu membidikkannya ke arah yang sama.

“Jancoooooookkk… kok iso koyok ngono siiiih… muluuuuus… bangsat jadi pengen ngerasain juga cooook…”

Gandos yang melihat lewat kamera tak kalah hebohnya dengan Seto.

Dari kamera itu, setelah di-zoom beberapa kali, membuat Kohar bisa melihat dengan jelas bagaimana Reva begitu pasrah ditelanjangi oleh Sukirlan. Gadis cantik yang tak pernah mempertontonkan tubuh polosnya secara utuh, kecuali saat kemarin hendak diperkosa Sadikin itu, kini terlihat hanya memakai BH dan celana dalamnya saja, ditambah jilbab yang sepertinya sengaja tak dilepaskan dari kepalanya.

Hari masih terang, membuat Gandos bisa dengan sangat jelas melihat lekuk tubuh sang bidadari. Benar-benar sempurna. Penisnya semakin tegang dan kencang saat melihat Sukirlan perlahan melepaskan BH yang dipakai Reva dan membuangnya, membuat sepasang buah dada sentosa yang selama ini tersembunyi dengan baik itu, terlihat begitu memanjakan mata.

Gandos tak bisa mendengar, tapi ia bisa melihat bagaimana Reva seperti mendesah mendongakkan kepalanya ke belakang saat bibir tebal Sukirlan menyosor payudara sang dara. Sukirlan terlihat tak buru-buru melumat bukti indah yang bulat dan masih kencang itu. Ia memainkan lidahnya menjilati permukaan kulit kenyal payudara Reva. Lidahnya berputar-putar di sekitar puting mungil yang mulai menegang itu, tanpa mengenainya.

“Gantian cok!”

Seto merebut kembali kamera miliknya, membuat Gandos begitu jengkel namun tak membantahnya. Pria yang sudah terlanjur sange melihat bagaimana bosnya mencumbui Reva langsung menghampiri Yeni yang masih terisak. Tanpa ampun, ia langsung menjejalkan penis besarnya yang sudah begitu tegang akibat pertunjukan yang ia lihat barusan. Ia menyetubuhi Yeni dengan begitu kasar membuat wanita itu berteriak kesakitan. Dalam benaknya, Gandos sedang membayangkan tubuh luar biasa milik Reva yang barusan ia lihat tadi. Ia sedang berkhayal bahwa wanita yang sedang ia nikmati ini adalah Reva.

Tak hanya Yeni, Sadikin pun kian menjadi meraung-raung memohon ampun. Namun bagaimanapun ia tak bisa bergerak akibat kencangnya ikatan di tubuhnya. Ia benar-benar tak tega, tak tahan melihat bagaimana istrinya disiksa sedemikian kejam dan brutal oleh batang kejantanan milik Kohar dan Gandos. Yeni terus menangis tanpa henti, untuk membuat suaminya berpikir kalau ia masih kesakitan sedari tadi. Ia tak ingin suaminya tahu, bahwa penis dari pria-pria yang telah menyetubuhinya, sejatinya jauh lebih nikmat dari milik Sadikin.

“Jancook… Kalau aja si bos kasih aku kesempatan buat bisa nikmatin tubuh seindah itu, aku nggak bakal berhenti sampai kontolku nggak bisa berdiri lagi cok!”

Seto terus saja bergumam tak peduli dengan keadaan Yeni yang terus menjerit sejak tadi. Sebenarnya ia yakin teriakan Yeni terdengar sampai di tempat Sukirlan. Tapi, mana peduli si Lan, ketika dia sendiri sedang menikmati perempuan yang jauh lebih indah dari Yeni? Pun dengan Reva, mana mungkin dia memperhatikan teriakan Yeni, sedangkan dirinya sudah tak lagi memiliki kesadaran penuh akan dirinya, yang saat ini sedang pasrah sekujur tubuhnya dijilati oleh lidah bau si Lan.

Seto yang tadi sudah menuntaskan hajatnya di tubuh Yeni, mulai berdiri kembali senjata andalannya. Bagaimana tidak, kali ini dia disuguhi pemandangan yang benar-benar erotis. Yang bisa ia lihat hanya tinggal Reva. Sukirlan sudah tak nampak dari tempatnya melihat ini. Pria itu sedang menunduk, menikmati sesuatu di bagian bawah tubuh Reva. Seto yakin, saat ini sang bos sedang melumat dan menjilati area genital sang bidadari.

Kepala Reva nampak bergeleng-geleng dengan cepat. Nampaknya gadis itu sedang berada di persimpangan, antara menolak atau tak tahan. Terlihat kedua tangannya memegang sesuatu, yang diyakini oleh Seto adalah kepala Sukirlan yang tengah berada di selangkangannya. Tak butuh waktu lama hingga Seto melihat tubuh Reva mengejang. Kepalanya kembali mendongak dan ia bisa melihat Reva membuka bibirnya lebar-lebar. Seto tahu, Reva baru saja orgasme.

Kali ini gantian Seto yang menggelengkan kepalanya saat melihat adegan selanjutnya yang tersaji. Sukirlan telah berdiri, dan ternyata pria buruk rupa itu sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Jelas terlihat bagaimana besar dan panjangnya penis milik lelaki itu, yang kini tepat berada di depan wajah Reva.

Reva yang masih terengah-engah akibat orgasme, nampaknya belum menyadari hal itu. Matanya masih terpejam, tubuhnya semakin lemas, namun birahinya belum benar-benar tuntas. Gejolak dalam tubuhnya masih meletup-letup. Itulah kemudian yang membuat matanya langsung terbelalak saat terbuka, karena penis besar Sukirlan, akhirnya bisa ia lihat lagi, namun dengan jarak yang sangat-sangat dekat.

Reva, sekali lagi terpaku. Seolah tak ada keinginan untuk berlari pergi. Seolah tidak ada hasrat untuk menolak. Mata Reva justru berbinar, melihat sesuatu yang mungkin bisa membantunya menuntaskan nafsu, yang entah kenapa bisa muncul dengan tiba-tiba dan tak tertahan seperti ini. Nafsu yang membuat sang bidadari diam saja ketika Sukirlan bergerak maju hingga ujung penis yang kemarin ia lihat memancarkan air seni dengan derasnya itu, kini telah tepat menempel di bibir manisnya.



.::..::..::..::..::.



Sukirlan tersenyum puas. Meski pelayanan dari mulut Reva jauh dari harapan, sangat jauh dibandingkan wanita-wanita yang pernah melayaninya, namun mengingat bahwa Reva memanglah gadis lugu yang belum pernah melakukan ini, membuat lelaki itu cukup puas bisa memerawani bibir Reva.

Kini, gadis yang seharusnya beberapa bulan lagi menikah dengan Prima itu masih terengah-engah setelah beberapa menit dipaksa oleh Sukirlan mengulum penisnya yang besar. Reva tergolek tak berdaya, tanpa sedikitpun menutupi tubuhnya yang telah telanjang bulat. Tubuhnya telah basah, baik itu oleh keringat maupun oleh jilatan-jilatan dari Sukirlan. Tak sejengkal pun luput dari sapuan lidahnya, yang membuat Reva sampai 2 kali merasakan orgasme.

Sebenarnya, akal pikiran Reva tidak benar-benar tertutup. Ia sadar apa yang terjadi. Ia sadar bahwa ini semua salah, tidak seharusnya terjadi. Tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya. Tubuhnya berkhianat. Tubuhnya justru menginginkan ini semua. Bahkan tubuhnya menagih, meminta lagi, memohon untuk diberikan orgasme lagi. Sebuah sensasi luar biasa nikmat yang baru pernah sekali ini ia rasakan.

Terlihat jelas dari bibir vaginanya yang terbuka, masih begitu becek. Seolah rangsangan demi rangsangan tak berhenti menggoda dirinya, padahal saat ini Sukirlan hanya diam menatap sang mangsa. Lalu, darimana rangsangan itu datangnya?

Obat itu benar-benar top, nggak pernah gagal. Nggak rugi aku jadi suplayer disini, dapet duit, dapet memek, hahahaha.

“Hhhh… hhhh… hhhh… Maasshh…”

Nafas Reva bukannya mereda, malah semakin tak teratur. Tangannya yang tadi nampak lunglai tak bertenaga, kini sedikit demi sedikit terangkat dan mengarah ke dadanya. Bukan untuk menutupi, sesuatu yang sudah seharusnya ia lakukan. Tangan itu justru meremas buah dadanya sendiri, yang membuat tubuhnya kembali menggelinjang.

Sukirlan sendiri masih saja terdiam, berdiri beracak pinggang memamerkan kejantanannya kepada Reva. Ia masih ingin Reva lebih terangsang lagi tanpa ia sentuh. Ia ingin obat yang telah ia berikan tadi semakin menguasai tubuh sang bidadari. Meskipun untuk itu, kali ini Sukirlan harus benar-benar menahan diri. Penisnya yang sudah terlanjur tegak maksimal ini menuntut untuk segera dimasukkan ke sangkarnya.

Belum. Belum saatnya. Bentar lagi.

Seringai Sukirlan tambah lebar kala tangan Reva tak berhenti hanya di buah dadanya yang begitu sekal dan menggemaskan itu. Tangan kanan sang dara beranjak turun, membelai perut, hingga ke pangkal pahanya. Sempat ia tarik sedikit ke atas, menunjukkan bahwa ia masih memiliki keraguan, yang artinya kesadarannya belum benar-benar hilang. Tapi hanya sebentar, karena tangan itu kembali bergerak turun hingga akhirnya sampai ke tempat tujuan.

“Aaaaahhhhhh…”

Ujung jari Reva mulai menggesek-gesek kemaluannya. Sesuatu yang hampir tidak pernah ia lakukan, namun kali ini naluri kewanitaan dan nafsu birahi menuntun dirinya hingga dengan mudahnya melakukan hal itu.

Mata Reva terpejam, seolah sedang menikmati apa yang dilakukan oleh jarinya sendiri. Bahkan bukan lagi hanya sekedar menggesek, Reva mulai memberanikan diri unutuk memasukkan ujung jari itu sedikit demi sedikit.

“Aaaaaaaggghhhh… Mmmmmppphhhh…”

Tubuh Reva kembali menggelinjang, bergerak tak karuan diiringi dengan desahan dan rintihan yang benar-benar menggoda Sukirlan untuk segera menikmatinya. Dan lagi-lagi, pria itu masih berusaha untuk bertahan.

Reva sendiri merasakan kemaluannya bukannya reda gatal yang ia rasakan sejak tadi, tapi justru seperti menuntut untuk digaruk lagi, lebih dalam lagi.

Jari Reva sudah ia colok-colokkan, namun ia merasa kurang. Kurang besar. Kurang dalam. Kurang bisa menghentikan rasa gatal yang menyerang. Ia kesulitan. Ia makin tak tahan.

“Maaassshhhh…”

Ia mendesah manja dalam birahinya, saat matanya menatap penis Sukirlan yang terlihat begitu menggodanya.

Gede…Panjang… Mauuuu…

Akal Reva mulai tenggelam dalam lautan nafsunya. Rasa gatal yang makin tak tertahan di kemaluannya itu nampaknya bisa diatasi jika digaruk oleh benda sebesar dan sepanjang itu.

Jangan…! Tidak mau…! Sadar Reva… Sadar…!!! Pergi dari sini…! Cepaattt…!!!

Sisa-sisa kesadaran Reva seolah berusaha untuk membangunkannya dari buaian nafsu. Namun semua itu seolah tak cukup. Birahinya terlampau besar, terlanjur menggulung akal sehatnya. Membuat Reva malah reflek membuka kedua kakinya semakin lebar, saat Sukirlan yang masih saja tersenyum itu mendekat kepadanya.

“Maassshhh… sssssshhhhhh…”

“Kenapa, gadisku? Apa yang kamu mau?”

Reva menggeleng. Air matanya mengalir. Tapi Sukirlan tahu bahwa itu hanyalah sisa-sisa dari kesadaran Reva yang sudah tak seberapa, dan akan segera hilang saat sedikit saja ia menyentuh tubuh sang bidadari.

“Bilang aja sayang, apa yang kamu rasain?”

Reva kembali menggeleng, namun lemah. Nampaknya kesadaran yang ia miliki memang sudah semakin tipis.

“Ga-Gateell… Sssshhhhh…”

Sekali lagi, Sukirlan tersenyum. “Mau digarukin?”

Kali ini, dengan cepat Reva mengangguk, membuat sang preman tertawa lepas.

“Mau digarukin pakai apa, gadisku?”

Reva tak menjawab, namun ia hanya menatap penis besar yang jaraknya sudah tak terlalu jauh dari bibir kemaluannya itu. Karena Reva yang tak mengeluarkan jawaban, sekali lagi Sukirlan melontarkan pertanyaan serupa.

“Mau digarukin pakai apa, gadisku?”

“Maaaaasssshhhhh… aaaaaggghhhhh… Maaaaassshhhhhh…”

Reva tetap tak mau menjawab. Jika sebelum-sebelumnya, Sukirlan akan tetap bertahan, dan memaksa calon mangsanya untuk mengatakan seperti apa yang dia mau. Namun kali ini beda.

Reva berbeda. Kecantikannya. Tubuh indahnya. Kulit putih mulusnya. Sekal dan kenyal payudaranya. Belum lagi, desahan yang barusan keluar dari mulutnya, ternyata membuat bajingan kelamin seperti Sukirlan benar-benar tak bisa menahan dirinya.

Ia pun segera maju dan mendekap pinggang Reva, membuat gadis itu memekik lalu diikuti dengan desahan yang terdengar sangat menggoda di telinga Sukirlan, yang membuatnya kian tak tahan.

“Uuuugghhhh… Maaaassshhhhhh…”

Desahan kembali terdengar saat ujung gundul penis besar Sukirlan menyentuh bibir hangat nan basah kemaluan sang bidadari yang masih begitu sempit.

“Aaakkhh… gendheeeeng… nggak tahan aku… uughhh,” Sukirlan sampai menggigit bibir saat mendorong pinggulnya, membuat kepala penis Sukirlan mulai masuk membongkar pertahanan ketat kemaluan Reva.

“Aaaccckkkk Maaasssshhh… Sakiiiiittt…”

Reva mulai menjerit saat bibir kemaluannya diseruduk paksa oleh ujung penis Sukirlan. Bagaimana tidak, lubang sempit yang tak pernah dimasuki apapun itu, tiba-tiba harus menerima serangan dari sebuah batang yang begitu besar baginya.

“Tahan dulu sayang… Aaahh bangsat, sempit banget ini memek…”

Sukirlan memegang pinggul Reva begitu kuat. Ia bahkan sampai memejamkan matanya merasakan bagaimana batang penis yang telah merasakan banyak sekali lubang kenikmatan itu, saat ini sedang menyesap kenikmatan paripurna yang jauh lebih nikmat dari sebelum-sebelumnya.

“Aaaaaaaarrrggghhhhh… Maaassshhh… Uuuuughhhhh…”

Kedua tangan Reva mencengkeram lengan Sukirlan kuat-kuat, kukunya menancap di lengan Sukirlan, namun pria itu sama sekali tak peduli, tak sedikitpun merasakan sakit. Meski Reva telah dikuasai oleh birahi akibat campur tangan obat yang diberikan Sukirlan, meskipun ia telah dirangsang sedemikian rupa sampai mendapatkan 2 kali orgasme, tapi dia tetaplah seorang perawan yang sedang dimasuki batang penis yang luar biasa besar, untuk pertama kalinya.

“Aaaaaakkhhhh…”

Sukirlan, mendesah hebat saat ia merasakan ujung penisnya menyentuh sesuatu di dalam sana. Ia berhenti sejenak, untuk melihat wajah sang bidadari yang sebentar lagi akan ia ambil kesuciannya.

Reva masih meringis, mengernyitkan dahinya. Ia masih menahan sakit. Air matanya masih terus mengalir membasahi pipinya. Sebuah pemandangan yang sama sekali tidak membuat Sukirlan iba. Justru, ini adalah pemandangan indah dari seorang gadis perawan yang sebentar lagi akan menjadi wanita seutuhnya.

“Takdir telah bekerja, Reva. Cepat atau lambat, kamu akan menjadi milikku, seutuhnya. Kamu adalah milikku, Reva… Hengggkkkkhhhh…”

Sebuah hentakan keras dilakukan oleh Sukirlan demi bisa membobol selaput dara sang bidadari.

Zleeeeeeeeebbbb…!!!

Mata Reva terbuka lebar, terbelalak. Mulutnya terbuka tak kalah lebar. Teriakan kencang nan memilukan menghiasi langit kawasan Pager Jurang.





BAGIAN 16 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17
 
Terimakasih updatenya suhu. Mudah-mudahan kondisi Reva baik2 saja setelah ditusuk begitu keras oleh Sukirlan.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd