Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 17 | TERBUKANYA PINTU HASRAT
Cerita oleh @pujangga2000 | Editing oleh @killertomato






Ayu mengeluarkan selembar tissue basah dan mengelap keringat yang mulai membasahi wajahnya. Walau Matahari belum meninggi namun suasana tempat ini cukup gerah, mungkin karena desa ini dikelilingi sawah yang terbentang dari ujung ke ujung atau mungkin karena akan segera turun hujan. Biasanya hawa panas datang sebelum hujan turun mejelang.

Berbeda dengan tubuhnya yang terasa gerah, Ayu tersenyum memandang sawah yang menghampar hijau dan asri. Matanya terasa sejuk menikmati keindahan pemandangan di desa ini. Semua terlihat meneduhkan. Misalnya saja saat melihat seorang bapak yang duduk santai di sebuah gubuk di pinggir pematang sawah sembari menggerakkan seutas tali yang terhubung dengan plastik-plastik seperti layang-layang di tengah ladangnya.

Ayu terkenang masa kecilnya setiap liburan ke rumah Mbah Uti di desa dahulu kala. Dulu Ayu juga sangat senang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak itu. Ia tahu tujuan penggunaan plastik-plastik itu adalah untuk mengusir burung-burung yang datang untuk menyambar padi.

Ayu berlalu sembari mengangguk kepada sang Bapak sebagai tanda menyampaikan salam.

“Permisi, Pak.” ucap Ayu sembari menyunggingkan senyum ramah.

Monggo.” Balas bapak itu dengan nada yang juga ramah.

Mendengar balasan yang menyenangkan itu pun Ayu kemudian berinisiatif untuk bertanya lokasi balai desa. Satu karena penjelasan sebelumnya dari Pak RT masih lumayan membingungkan, membuatnya meragukan jalan yang ia ambil. Dua karena Bapak ini sepertinya orang baik.

“Permisi, Pak. Maaf mengganggu. Kalau diperkenankan saya ingin bertanya, Pak. Kalau saya mau ke Balai Desa, kira-kira lewat mana, ya?” Ayu berusaha sesopan mungkin mengajukan pertanyaan.

“Oh. Balai Desa, nggih?”

Leres, Pak. Betul.”

Pria itu berdiri dan menunjuk ke sebuah arah, “Mbaknya lurus aja lewat jalan ini ndak usah ngiwo nengen. Nanti nek wes sampai di Tugu Lele seng wonten corak warna ijo tua di dasarannya, belok kiri. Nah, nanti setelah melewati Kios Buah di sebelah kanan, lurus terus sampai mentok, sampai ujung. Nanti Balai Desa ada di sana. Ndak bakal keliru, gedungnya yang paling besar. Ada di samping TK Tadika Mesra.”

“Oh. Nggih. Nggih. Matur nuwun sanget, Pak,” ujar Ayu berterima kasih sembari mengatupkan kedua tangannya.

Sami-sami, Mbak,” Bapak tadi pun mengangguk sambil tersenyum.

Ayu kemudian berjalan mengikuti petunjuk yang diberikan bapak tadi, sepanjang perjalanan, Ayu tak bertemu orang lain lagi. Sebenarnya gadis jelita itu sedikit heran kenapa jalan ini sangat sepi, tidak seperti ketika terakhir kali dia melalui jalanan lain di kampung ini. Tapi mungkin itu karena dia melalui jalanan yang dari ujung ke ujung hanya terlihat sawah dan kebun, bukan jalan umum dan tidak dekat dengan pemukiman.

Ayu menggerutu, kenapa juga sih Pak RT ngasih petunjuk lewat jalan yang seakan tak pernah dilewati oleh orang begini? Kan jadi takut. Banyak sekali pepohonan, semak belukar, dan ilalang liar di sepanjang jalan setapak yang dilaluinya.

Tiba-tiba Ayu menghentikan langkah.

Wajah cantiknya sontak berubah menjadi wajah ngeri dan ketakutan. Seekor ular berwarna hitam pekat dengan ukuran yang tak terlalu besar tiba-tiba muncul di hadapannya, sangat dekat tak ada satu meter. Kaki Ayu terasa kaku seketika, otaknya memerintahkan kakinya untuk lari, namun justru kini seolah terpaku di tanah yang dipijaknya.

Sebisa mungkin Ayu berusaha mencoba menggerakkan kakinya, langkahnya mundur perlahan dengan hati-hati agar tidak mengagetkan reptil ganas di depannya itu, namun sial, tumitnya justru tak sengaja menumbuk sebuah batu besar.

Bkkkh!

Tubuh Ayu terhuyung dan terpelanting dengan keras ke tanah, sebelah telapak kakinya terlipat, Ayu menutup mulut menahan rasa sakit yang menangkup mata kaki dan betisnya. Gadis jelita itu mulai meneteskan air mata karena perasaannya berkecamuk karena munculnya campuran rasa sakit dan takut reptil ganas itu akan menyerangnya.

Ular itu semakin mendekat dan mendekat dan mendekat.

Ce-celaka… kalau begini aku bisa…

Sekelebat sesuatu melintas dan sempat tertangkap oleh ekor matanya. Tak lama kemudian terdengar derapan kaki orang berlari di telinga Ayu. Tak sampai beberapa detik kemudian, terlihat seorang pria dengan perawakan pendek dan perut tambun berlari mengejar si ular. Meski gemuk, ia ternyata cukup lincah. Ular yang tadinya maju perlahan-lahan, ditangkap dengan cekatan dan dilemparkan ke tepian parit basah yang cukup jauh dari tempat Ayu terjatuh.

Dia sepertinya cukup menghargai kehidupan di alam bebas dan tidak ingin membunuh makhluk yang kemungkinan besar juga kaget dan ketakutan itu.

Sang dara tentu saja terkejut dengan kedatangan sang penolong. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk berdiri, tapi tiap kali ia melakukannya, ia selalu jatuh terduduk kembali. Kakinya terasa nyeri.

Pria di hadapannya membalikkan tubuhnya. “Kamu tidak apa-apa, Nduk? Ularnya sudah dibuang. Bisa berdiri?”

Siapa itu? Ayu mencoba memicingkan matanya agar fokus.

I-itu kan?

“Mbah Jo…!?”

Ayu terkejut karena ternyata ia kenal dengan sosok yang datang. Siapa juga akan melupakan adegan pelecehannya di teras rumah Mbok Giyem. Pria tua, tambun, dan pendek itu mendekat. Dia berjongkok di depan Ayu.

Mbah Jo juga mengenali siapa Ayu, “Lohhh… mbak iki… bukannya ini Mbak yang kemarin datang ke rumah?”

Ayu menelan ludah sambil memejamkan mata, ia bergumam dalam hati.

Aduh! Kenapa juga dia yang datang sih? Sial banget hari ini. Pertama ketemu ular berbisa, eh sekarang malah justru ketemu orang yang pernah melecehkannya.

“Ini kan Mbak… aduh sopo sih jenenge… Mbah lupa namanya… hahaha. Namanya juga wong tuwo ya. Orang tua mudah lupa…. Hahaha…” Mbah Jo berkelakar garing sambil tersenyum, memperlihatkan gusinya yang besar, menonjol, dan menjijikkan. Gigi lelaki tua itu sebagian besar sudah hilang hanya menyisakan sedikit yang tak rapi dan berbongkah-bongkah, itupun kelihatan kuning menjijikkan, “Oalah inget! Parasnya ayu, namanya Ayu! Hahahah… bener to, Mbak?”

Aroma amis dan kecut keringat tercium dari tubuh lelaki tua di depannya itu, Ayu mencoba menahan ketidaktahanannya, “Betul, Mbah. Leres. Saya Ayu yang kemarin datang ke rumah.”

“Oalah… iyo iyo. Lho, tapi kenapa ada di sini, Nduk? Aduh, mana bajunya kotor semua itu,” tanya Mbah Jo sambil matanya jelalatan melihat kedua bukit kembar Ayu yang membusung. Gadis itu sebenarnya sangat tahu kemana arah mata tua itu menuju. Dengan kesal Ayu berusaha bangkit, namun sesaat kemudian dia berteriak kesakitan dan kembali jatuh.

“Aduuuuh!”

“Eh awas-awas!”

Ayu memejamkan mata karena nyeri. Tapi sesaat kemudian ia buka dengan terbelalak karena sesuatu terasa menyentuh mata kakinya.

Eh, a-apa ini!?

Darah Ayu bagaikan berhenti saat tangan sang pria tua tiba-tiba saja memegang pergelangan kakinya! Kenapa pria tua itu begitu berani memegang kakinya tanpa ijin!? Enak saja! Dia pikir Ayu siapa semudah itu dipegang-pegang!? Ta-Tapi… tapi… kaki Ayu sepertinya memang butuh dipijat.

“Waduh… loalah! Ini kaki kamu terkilir, Nduk. Tadi jatuhnya pasti tidak pas, jadi rasanya jelas sakit sekali. Ayo biar Mbah gendong sebentar, di sana ada gubuk kecil. Nanti Mbah bantu urut di sana. Kalau di sini takutnya ada ular lagi. Ayo…” Mbah Jo berdiri sambil menjulurkan tangannya ke arah Ayu yang saat ini dalam posisi setengah duduk.

Karena Ayu jongkok dan Mbah Jo berdiri, tatapan sang dara tepat lurus menatap celana sang pria tua. Mata Ayu terbelalak saat pandangannya tertumbuk pada siluet tongkat besar Mbah Jo di balik celana pendek kusamnya.

Apa kakek tua ini tidak mengenakan celana dalam? Kok bisa-bisanya dibiarkan lepas bebas begitu sih? Padahal kan ukurannya cukup besar jadi terlihat jelas. Besar. Be-besar sekali…

Ada yang berkecamuk di batin Ayu. Sesuatu yang ia sesali karena tiba-tiba saja dia teringat mimpinya semalam. Kenapa juga ia harus teringat?

“Lhoalah, kok malah bengong, Nduk?”

“Sa-sakit Mbah….” bisik Ayu sedikit merengek, sebenarnya ia tak ingin terdengar manja, namun memang rasanya sangat nyeri sehingga ia tak bisa mengatur nada suaranya. Bagi telinga Mbah Jo, rengekan Ayu itu seperti suara indah yang membangkitkan syahwatnya.`

Pria tua itu melirik ke bawah, ke tubuh indah sang dara yang memang amat ranum menjelang matang.

“Mbah angkat sekarang.”

Mbah Jo sedikit membungkuk, tanpa meminta izin lagi, kedua lengan kekar sang kakek tua mengangkat tubuh Ayu ke gendongannya. Ayu hanya menjerit kecil karena terkejut tak menyangka, akan terjadi hal semacam itu.

Ayu hanya terpaku dan salah tingkah, hatinya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Aroma tubuh si Mbah yang asem, kecut, dan kurang enak tercium oleh hidung mancung Ayu. Namun Ayu tentu tak sempat untuk mencernanya, pikirannya kalut dipenuhi rasa yang bercampur antara malu, rikuh, dan kagum yang muncul bersamaan.

Mata Ayu kemudian terpaku pada gumpalan otot yang melingkar di lengan Mbah Jo. Tentu saja tak mungkin otot ini dihasilkan dari latihan di Gym. Otot semacam itu terbentuk secara alami karena kerasnya kehidupan yang dijalani oleh pemiliknya. Berbeda sekali dengan Erik yang hampir tak pernah bekerja keras.

Tanpa sadar sepasang tangan Ayu melingkar di leher Mbah Jo. Di dalam hatinya sang dara sebenarnya kagum dengan tenaga Mbah Jo yang masih kuat menggendong tubuhnya dengan jarak yang cukup jauh.

Mbah Jo perlahan meletakkan Ayu di sebuah saung, satu balai bambu di pinggir sawah dan kebun yang sepi yang mirip dengan pos Siskamling. Ayu beringsut agak mundur hingga bersender di dinding tempat itu, Mbah Jo duduk bersila sambil melihat kaki Ayu yang memang sudah agak bengkak.

“Kalau tidak segera diurut, ini akan membuat kamu sulit berjalan dalam beberapa hari ke depan. Beruntung Mbah punya kemampuan mengurut, jadi coba Mbah bantu benahi sebentar,” ucap Mbah Jo sambil mengelus punggung kaki Ayu.

Ayu agak sedikit merinding saat telapak kasar tangan Mbah Jo mengelus kakinya. Begitu kentara perbedaan warna kulit keduanya, tangan Mbah Jo hitam terbakar matahari, kulitnya yang mengendur semakin membuat kusamnya terlihat jelas, sementara kulit Ayu halus mulus putih terawat.

Ayu hanya memalingkan wajah sambil meringis nyeri saat jemari tangan tua Mbah Jo mulai bekerja mengurut pergelangan kakinya, “Aduhh… sa-sakit, Mbah…”

Ayu mengerang, tubuhnya menggeliat, gerakan Mbah Jo terasa konstant dari ujung punggung kaki sampai ke pergelangan kaki Ayu. Gerakan itu terlihat santai seolah tanpa tenaga, namun terlihat Ayu begitu kesakitan hingga menggeliat mencoba melepaskan diri.

“Tahan sedikit, cah Ayu,” bisik Mbah Jo pelan.

“Sakit Mbah…” Ayu mulai menangis, pasti begitu sakit terasa olehnya.

“Ya memang nyeri karena terkilir, tapi jangan khawatir, sudah Mbah benahi kok, Nduk. Ini sentuhan terakhir, kamu tahan kuat-kuat ya. Ini bakal sedikit sakit,” Mbah Jo mencoba menenangkan.

Ayu mengigit bibirnya dan mencoba bersiap.

Apa maksudnya sedikit sakit? Ini aja sakitnya sudah minta amp… aaduuuuuuuh!!

Ayu mencoba menahan jeritannya. Untuk sesaat jiwanya seolah lepas meninggalkan raganya. Tangan gadis itu mencoba bertahan dengan meremas pundak sang kakek tua. Mbah Jo memutar dan menarik telapak kaki Ayu.

Krtk.

“Nah. Akhirnya. Wes. Sudah selesai, Nduk,” ujar Mbah Jo sambil menepuk perlahan kaki halus mulus dan jenjang milik sang dara.

Ayu pun melipat kakinya dan mulai menangis tersedu-sedu sambil menundukkan wajahnya di atas lutut. Ia beringsut ke arah pojok, menjauh dari Mbah Jo.

“Ehhhmm…”

Tangis Ayu agak mereda saat dia menyadari kalau kakinya sudah tak terasa sakit saat ini.

Ternyata memang benar Mbah Jo cukup jago memijat. Terbukti kaki Ayu yang terkilir kini telah membaik. Ayu meluruskan dan melipat kakinya lagi, ia menghapus air mata yang menetes di pipi halusnya. Senyum mengembang membuat manisnya sang dara tak tertahankan.

Ayu menatap Mbah Jo dengan tatapan malu tapi senang, wajah manisnya memerah, bibir mungilnya terbuka untuk mengucapkan beberapa kata yang hanya lirih terdengar, “te-terima kasih, Mbah. Sudah membaik.”

“Tentulah cah Ayu. Begini-begini simbah juga digdoyo. Hahaha. Tadi urat kakimu terkilir saja, sudah simbah kembalikan ke posisi semula, tapi jangan dipakai lari-lari dulu,” ucap Mbah Jo sembari cengengesan sok ganteng.

Kejadian dan kesalahan menerka sikap membuat pandangan Ayu perlahan mulai berubah terhadap lelaki tua itu. Ternyata dia tidak sejahat yang dipikirkannya. Ayu menyesal telah berburuk sangka.

“Terima kasih, Mbah...”

Mbah Jo hanya mengangguk sambil cengengesan, dan anehnya Ayu sama sekali tak jijik lagi melihat gusi hitam Mbah Jo.

Sembari menunggu kaki Ayu lebih nyaman digunakan, mereka berdua kemudian mengobrol berbagai hal. Salah satunya tentang si ular nakal. Mbah Jo bercerita kalau ular itu dan ular-ular lain ternyata memang biasa muncul di area tersebut, karena persawahan memang habitat mereka.

Menurut Mbah Jo, dia sengaja tak membunuh ular tadi, karena Mbah Jo dan juga seluruh warga di desa ini percaya kalau mereka membunuh ular, maka mereka akan bertemu lagi dengan mahluk melata itu di kemudian hari.

Sesekali terdengar tawa renyah dari Ayu, gadis cantik itu terkadang geli dengan cerita-cerita Mbah Jo yang menurutnya lucu. Meski sudah tua tapi Mbah Jo sangat pintar bercerita.

Ayu menoleh ke kanan ke kiri seolah mencari sesuatu, “Tapi… Mbah Jo kenapa tiba-tiba sampai di sini? Bu-bukannya mau mempertanyakan, karena aku bersyukur Simbah tadi telah membenahi kakiku yang terkilir. Hanya saja aku merasa sangat beruntung kebetulan Mbah Jo ada di lokasi yang sama.”

“Lha sawah yang kami garap hari ini kebetulan ada di belakang sana tadi, Nduk. Itu di sebelah situ kan ada si Ganep tuh. Dia yang asik memandikan kerbau. Tuhh…” Mbah Jo menunjuk pada suatu tempat, Ayu mengikuti arah yang ditunjukkan Mbah Jo.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh sang pria tua. Tanpa sepengetahuan Ayu, Mbah Jo menggeser tubuhnya untuk bisa semakin dekat dengan gadis cantik itu.

Uhhh harum sekali tubuhmu cah Ayu. Mana yang terlihat saja mulus dan putih begini, bening sekali. Apalagi yang tak terlihat, hehehe.

Mbah Jo menelan ludah, matanya nanar melihat gundukan payudara Ayu nan sentosa.

Gadis cantik itu sebenarnya tahu kalau si aki-aki tua itu sedang menelanjangi dirinya dengan mata tua nakalnya, namun untuk kali ini Ayu membiarkan saja. Hitung-hitung sebagai hadiah karena pijatannya tadi telah menyembuhkan kaki Ayu.

Gadis jelita itu menghela napas panjang, laki-laki di mana-mana sama saja.

Ayu terus berpura-pura asik memandangi Ganep yang terlihat mulai naik dari genangan tempat mandi kerbau, pemuda yang pikirannya tidak ganep itu berlari kearahnya, rupanya mata tajam pemuda kurang setengah itu berhasil mengetahui keberadaan Ayu.

Ayu jadi salah tingkah namun ia tersenyum ramah saat menyambut Ganep yang semakin dekat.

Salah memang. Ayu menyesali keputusannya itu.

Sesaat kemudian Ayu terkejut ketika Ganep menghambur memeluk dirinya, Ayu beringsut ke belakang sebagai respon keterkejutannya.

Mbah Jo mencoba menahan Ganep dan menghardiknya, “Heh! Jangan seperti itu! Tidak sopan!”

Ayu cukup surprise karena tak menyangka Mbah Jo berusaha melindunginya.

Ganep sepertinya ngambek dan duduk di atas tanah yang cukup jauh dari Ayu sambil bersedekap, bibir tebalnya cemberut. Hapal dengan sikap Ganep, Mbah Jo mendekatinya. Keduanya saling berbicara dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti Ayu.

Mbah Jo melirik ke arah Ayu, lalu kembali beralih memandang Ganep dengan pandangan marah. Mbah Jo terdengar berkata dengan suara keras pada Ganep dan Ganep juga membalas dengan suara lebih keras. Mbah Jo terlihat mulai terpancing emosi.

Ayu bergegas sekuat yang ia bisa dengan kaki sakit ke arah Mbah Jo dan Ganep. Saat tangan sang kakek tua bergerak hendak menampar Ganep, Ayu ternyata datang tepat waktu dan segera menahan tangan Mbah Jo.

“Ja-jangan, Mbah. Kasihan dia tidak paham apa-apa...” Ayu dengan suara lembut berusaha menenangkan sang kakek tua.

“Tapi anak ini kurang ajar, Mbak! Memangnya Mbak Ayu tahu apa yang dikatakannya tadi?” Mbah Jo berapi-api, Ayu menggeleng. Mbah Jo jongkok di depan Ganep yang masih merajuk, kakek tua itu menghela napas, “Dia pikir Mbah Ayu itu si Mak’e, ibunya. Dia tiba-tiba saja berpikir bahwa dia itu bayi mungil dan ingin tidur di pangkuan mbak Ayu sambil menetek! Apa tidak kurang ajar itu namanya!?”

Ayu melongo.

Hah!? Begini amat ya bocah?

Dara berparas ayu itu hanya diam tak tahu harus bagaimana, ucapan Mbah Jo tadi jelas membuatnya kaget. Bocah sableng itu mau dia memangku dan me… menetekinya? Tidak! Jelas tidak! Tidak mungkin! Dia tidak mau!

Tapi

Ada sesuatu yang membuat Ayu galau.

Perlahan-lahan sebenarnya Ayu semakin simpatik dengan Mbah Jo karena beberapa kali ia diselamatkan dan dilindungi olehnya. Gadis jelita itu mulai melihat sang Kakek Tua dalam perspektif yang berbeda.

Bagaimana tidak, di saat genting, pria tua ini berulang kali membuatnya merasa tenang, Ayu tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya andai Mbah Jo tak datang tadi, belum lagi pengobatan Mbah Jo pada kakinya, dan kini Mbah Jo terlihat seperti seorang pahlawan yang sedang membela kehormatannya.

Hati Ayu agak bergetar karena perlakuan istimewa itu. Simpel sebenarnya tapi cukup berarti buat Ayu yang galau. Selama ini, Erik tidak pernah membelanya, dia tidak pernah datang saat dibutuhkan, dan justru selalu kabur saat Ayu butuh bantuan. Erik bahkan lebih sering mendahulukan kebutuhan cewek lain yang dekat dengannya dibandingkan kekasih sendiri.

Menyebalkan.

Ayu melirik Mbah Jo dan Ganep. Dia tahu dia tidak sedang jatuh cinta – tidak mungkin ia jatuh cinta pada seorang aki-aki tua. Dia hanya sekedar simpati saja… itu saja…

Tangisan Ganep terdengar menyeramkan, Mbah Jo semakin meradang. Emosi lelaki tua itu meledak-ledak. Ayu yang berhati lembut tak tega melihat Ganep seperti itu, lebih gak tega lagi Ayu melihat Mbah Jo marah-marah karena ingin melindunginya. Ayu menjadi serba salah.

“Duhh, gimana ini…?” gumam Ayu bingung, ia mungkin bertanya pada dirinya sendiri.

Kebetulan Ayu sama sekali tidak paham bahasa percakapan antara Mbah Jo dan Ganep. Karena mungkin Ganep bukan pribadi yang normal, keduanya bercakap-cakap menggunakan campuran bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa isyarat yang campur aduk yang membuat Ayu tak memahami apapun yang dibicarakan.

Hanya saja dari wajah Mbah Jo, terlihat tampang gusar dan emosi yang tak terkendali karena sikap Ganep yang menuntut hal yang tak wajar. Mbah Jo kemarin menuruti saja apa kemauan Ganep, tapi kali ini Mbah Jo berusaha melindungi Ayu sedemikian rupa, sampai-sampai di teramat gusar. Bahkan tangan Mbah Jo hampir saja melayang untuk menempeleng si Ganep yang tuntutannya harus dipenuhi.

Ganep melihat Ayu dengan pandangan menghiba, Ayu menjadi tak tega melihat wajah polos Ganep. Ayu memutuskan untuk buru-buru segera melerai. Ia berdiri di antara Mbah Jo dan Ganep, “Su-sudah, Mbah. Dia tidak salah kok. Dia kan tidak mengerti apa-apa.”

Gadis itu tersenyum pada Ganep, memastikan semua baik-baik saja. Semua aman. Mbah Jo jadi terdiam melihat hal itu.

Mbah Jo mendesah dan menghela napas panjang, sudah sering dia berhadapan dengan masalah seperti ini gara-gara si Ganep, tapi kali ini agak tak termaafkan karena Mbah Jo merasa hal itu akan membuat Ayu tak nyaman, “Maafkan Ganep, Mbak Ayu. Tidak biasanya dia banyak maunya begini. Biasanya dia anteng dan manut. Baru setelah bertemu dengan Mbak Ayu, Ganep jadi banyak ulah. Mbah minta maaf kalau Ganep punya keinginan yang kurang ajar dan tidak sepantasnya.”

“Ti-tidak apa-apa Mbah, Ayu paham kok. Mbah Jo juga tidak perlu marah-marah lagi sama Ganep, dia kan tidak mengerti apa yang dia inginkan, dia hanya menginginkan sesuatu berdasarkan insting,” Ayu melakukan pembelaan untuk sang pemuda yang tidak waras itu. Ayu yakin Ganep hanyalah seorang anak kecil di dalam tubuh seorang pria remaja.

Belum sempat Mbah Jo membalas ucapan Ayu, Ganep tiba-tiba berdiri dan memeluk Ayu dengan erat. Mata pemuda itu berkaca-kaca seakan ingin berterima kasih pada sang dara jelita.

“Ganep!! Bocah kok dikandhani ora iso!!” hardik Mbah Jo.

Ayu memberikan kode pada Mbah Jo dengan menggelengkan kepala dan menyorongkan telapak tangan, “Sudah, biarin saja, Mbah. Tidak apa-apa.”

Ayu membiarkan Ganep memeluknya erat. Dengan lembut ia mengelus rambut Ganep.

“Mbak…?” Mbah Jo tertegun dengan sikap Ayu.

Awalnya dia merasa sangat yakin kalau Ayu tidak akan terima begitu saja dipeluk oleh si Ganep yang kurang waras tapi ternyata Ayu melakukan sesuatu yang tidak ia sangka-sangka. Mbah Jo merasa panas, dia tidak ikhlas Ayu dipeluk si bocah edan, dia ingin Ayu hanya memeluk dirinya. Tanpa ia sadari, Mbah Jo mulai cemburu. Ia sebenarnya tidak pernah seperti ini sebelumnya, mungkin karena Mbah Jo mulai main hati.

“Takuuuut… takuuuuut…” Ganep menggoyangkan kepalanya di dada Ayu. Gundukan kenyal sang dara menjadi sesuatu yang nyaman bagi sang pemuda tak waras. Ayu yang tak bisa melihat Ganep juga tak bisa melihat cengiran di wajah sang pemuda.

Jika ini kondisi biasa, Ayu mungkin akan protes dan marah, tapi Ganep bukan pemuda dengan kondisi biasa.

Ayu tersenyum, ditepuk-tepuknya pelan punggung Ganep sebagai upaya untuk menenangkan sang pemuda yang tak waras, “Ganep? Kamu mau apa? Udah tenang ya… jangan nangis lagi… Kakak pasti bantu.”

Ayu mencoba menenangkan Ganep yang tengah sesunggukan sang pemuda dalam pelukannya. Mbah Jo semakin kesal melihat adegan mesra antara Ayu dan Ganep. Kakek tua itu mendengus kesal.

Wedhus! Asem! Bejane si Ganep! Menang banyak dia. Bisa-bisanya meluk bidadari semulus Ayu. Pasti kenyel banget itu dadanya. Wedhuuuus! Wedhuuus!

Tidak anak tidak bapak. Seperti Sukirman, Sukirlan, dan Sukirno yang punya sifat cabul, Mbah Jo memiliki sifat yang sama rupanya.

“Sudah… Ganep tenang ya… ada Kakak di sini,” Ayu terus menepuk lembut pundak Ganep hingga pemuda itu berangsur mulai agak tenang.

“Mmmuuu… cu… cucu…,” gumam Ganep dengan suara tak jelas. Ayu memandang Mbah Jo karena tak paham.

Mbah Jo mendesah dan geleng kepala, “Sama aja seperti tadi, dia pengen netek Mbak Ayu. Sudah jangan dipikirkan, Mbak.”

Tapi pikiran Ayu sudah pergi ke melanglang buana. Hati dara jelita itu tiba-tiba berdebar - isi kepalanya dipenuhi mimpinya semalam. Ya. Memang hanya mimpi, tapi Ayu sangat yakin kalau lelaki yang bercinta dengannya tadi malam adalah Ganep, dan walaupun hanya mimpi, namun Ayu sama sekali tak bisa melupakan apa yang dirasakannya, semua terasa begitu nyata malam itu.

Ayu memejamkan mata. Batinnya bergejolak.

Duh, aku ini kenapa sih? Masa bisa terpengaruh oleh mimpi?

Gadis jelita yang memiliki sifat sensitif itu mulai merasa iba pada Ganep sekaligus merasa berhutang nyawa dengan Mbah Jo. Memang absurd, tapi Ayu memang seunik itu. Saat ini pun kedua sisi hatinya sedang saling berperang. Di satu sisi, mungkin akalnya yang logis dan perasaannya yang jernih mengatakan kalau dia tak perlu meladeni kekurangajaran si pemuda tak waras, namun di sisi lain, ia seperti memiliki perasaan yang tak bisa dijelaskan pada Mbah Jo dan Ganep.

Sesuatu yang bahkan Ayu sendiri tidak paham. Batinnya meronta.

Aku ini kenapa? Kenapa aku jadi seperti ini sih?

Ayu jelas-jelas punya seorang kekasih, yang tampan, yang kaya, yang punya segalanya. Masa iya dia tertarik pada Ganep ataupun Mbah Jo? Tidak mungkin kan? Dia juga bukan gadis bodoh yang hanya dengan sekali sentuh akan membuka paha demi laki-laki lain. Apalagi untuk laki-laki yang seusia kakeknya dan untuk pemuda yang kurang waras? Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Sangat di luar nalar.

Tapi entah kenapa… seperti ada sesuatu yang membuatnya terikat. Ada sesuatu yang membuatnya terkait dengan kedua orang itu. Yang satu tua cabul tapi sudah menyelamatkannya dari seekor ular dan kaki yang terkilir, dan yang satu lagi seorang remaja gagah, dan kuat, tapi sayang kurang waras.

Mungkin Ayu juga mulai tidak waras.

“Mmmmm… cucuuuuu…” sekali lagi Ganep merengek dan mendesakkan kepala di belahan dada milik Ayu.

“Eh! Mmmhh…” Ayu mengerang. Ia mengelus rambut sang pemuda, “Ga-Ganep mau apa?”

Ayu bimbang. Apakah sebaiknya menuruti saja permintaan si Ganep yang tidak normal itu? Dia kan sebenarnya tidak paham apa-apa. Mungkin dia hanya ingin menetek saja? Mungkin teringat saat dia masih bayi? Kan dia bilang rindu sama ibundanya. Kasihan sekali anak ini. Meskipun terlihat besar dan bongsor, dia terjebak dalam persona seorang anak kecil yang tak bisa dewasa.

“Sudah ya jangan nangis lagi…” Ayu berusaha terus menenangkan Ganep. “Ka-Kakak akan bantu kamu. Sekarang bilang sama Kakak, Ganep minta apa?”

“Ma-mau cucucuuuuc cucucu cucucu…” Ganep mulai meronta dalam dekapan Ayu.

“He’em… tapi janji ya, kalau Kakak kasih nenen ke Ganep, Ganep tidak boleh marah-marah ya… yang nurut sama Mbah Jo dan Mbok Giyem. Setuju?” tanya Ayu sambil memandang ke arah Ganep, pemuda itu sumringah, kepalanya mengangguk-angguk.

Mbah Jo geram.

Wasyuuuuu! Apa bener bidadariku itu mau nurutin keinginan Ganep? Weladalah edyaaaan! Wah wah… mujur sekali nasibmu, Nep.

“Mbak, apa sebaiknya…” Mbah Jo mencoba mengingatkan tapi Ayu hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Ganep, sini kamu berbaring di pangkuan Mbak, tapi hanya sekali ini saja ya?” bisik Ayu.

Ganep segera mengangguk dan merubah posisinya menjadi berbaring di paha Ayu, wajah nggilani Ganep menghadap ke bukit payudara Ayu, Mbah Jo berkali-kali menelan ludah, tatapannya tajam mengawasi, Ayu sama sekali tak mempedulikan keberadaan Mbah Jo.

Ayu mulai melepaskan kancing blusnya satu persatu, tak lama mulai terlihat bra berwarna krem yang dikenakannya, Ayu mengangkat bagian bulat Branya, sehingga payudaranya memantul ke atas bawah. Buah nan putih mulus itu kini terpampang jelas, Mbah Jo menahan napas melihat keindahan payudara Ayu.

Edan! Itu yang namanya sempurna!

Tanpa merasa malu atau risih atau apapun namanya, Ayu membimbing bongkahan payudaranya menuju mulut Ganep.

Ganep tak menyia-nyiakannya.

“Ahhh aduuuuwww…” Ayu merintih dan menggigit bibirnya saat putting susunya terasa perih digigit pelan oleh Ganep, “Ja-Jangan digigit… Mbak sa-sakittt…”

Mbah Jo berulang kali menelan ludah saat menyaksikan pemandangan super erotis didepannya. Betapa tidak, seorang gadis cantik dengan kerudung yang menutup kepalanya kini sedang memberikan puting susunya untuk dihisap oleh lelaki dengan keterbelakangan mental.

Ganep mungkin tidak beruntung lahir dalam kondisi mengenaskan seperti itu, namun saat ini dia jauh lebih beruntung dari lelaki tampan dan sempurna manapun.

Batang kejantanan raksasa milik Mbah Jo semakin mengeras melihat ekspresi Ayu yang dibarengi dengan rintihan dan desisnya yang menyayat syahwat. Mata Ayu terpejam sambil menggigit bibir indahnya, seluruh pori-pori kulitnya seakan membesar akibat reaksi kimia mekarnya birahi dalam tubuhnya.

Ayu memang sebenarnya polos dan sama sekali belum mengenali tubuhnya sendiri, dia tak menyadari kalau payudaranya adalah termasuk bagian sensitif yang jika di-trigger akan memicu hasrat libidonya. Bodohnya, kini Ayu malah menyerahkan kelemahannya pada seorang pria yang kurang dalam segalanya namun sangat beruntung.

Ganep menjilati puting Ayu yang berwarna coklat muda terang, Ayu menutup mulutnya berusaha keras menahan desahannya yang tak tertahankan lagi, tanpa disadari Ayu, Mbah Jo tiba-tiba sudah berada dbelakangnya.

Tangan lelaki tua itu segera meremas payudara montok Ayu yang tak dihisap oleh Ganep, si jelita dengan tatapan sayu itu pun menoleh kaget, dia tidak menduga Mbah Jo akan ikut beraksi!

“Ja-jangaaan…” bisiknya.

Namun kenikmatan yang dirasakan dari hisapan Ganep membuatnya tak berdaya dan membiarkan saja lelaki tua seumur kakeknya itu membelai dan meremas payudaranya.

“Mbaaaahh. Ja-jangannnnnn… ahhh… eeesssshhh… ahhhhhhhh…”

Ayu berusaha menolak perlakuan Mbah Jo, namun alih-alih berhenti, Mbah Jo malah mengunci bibir Ayu dengan bibirnya yang tebal, Ayu semakin bingung dengan reaksi tubuhnya yang bertentangan dengan akal sehatnya, bukan menghindar dan berusaha melepaskan diri dari ciuman Mbah Jo, Ayu malah membalas dengan sama ganasnya.

Birahinya memang sedang terbakar dan membuat Ayu terjebak dalam suasana erotis yang tak terbayangkan. Tubuhnya terasa panas.

Dara jelita yang tadinya jijik dengan gusi hitam Mbah Jo itu kini malah asyik bertukar-liur dengannya, Ayu seolah kehilangan akal sehatnya, ini semua karena hisapan Ganep di payudaranya, Ayu mulai merasakan vaginanya lembab, Ayu sudah tak peduli lagi dengan jatidirinya.

Hasrat dan birahi sudah menguasai tubuhnya, Ayu semakin larut dalam permainan lidah Mbah Jo dan Ganep.

Tiba-tiba Mbah Jo menghentikan ciumannya, Ayu yang sejak tadi terpejam kini membuka matanya seolah ingin protes pada lelaki tua yang tiba-tiba meninggalkan bibirnya.

Rupanya Mbah Jo mendengar teriakan dari Mbok Giyem yang memanggil-manggil Ganep, dan suara teriakan itu semakin mendekat.

Kesadaran Ayu mulai kembali.

Ayu segera menarik payudaranya dari mulut Ganep yang rupanya telah tertidur, Ayu segera menurunkan branya, dan mengancingkan blusnya dengan cepat, Mbah Jo juga segera beranjak dari belakang Ayu dan dengan cekatan berdiri.

“Ealah… di situ rupanya kalian,”

Mbok Giyem terbelalak melihat Ganep tertidur di pangkuan Ayu.

“Lhadalah kok si Ganep ada di situ!?” Mbok Giyem memandang Mbah Jo dengan seribu pertanyaan.

“Tadi mbak Ayu ini menceritakan dongeng buat Ganep, ehh bocah ini malah ketiduran, mau dibangunkan tapi kok ya nggak tega. Tidurnya nyenyak begitu,” ujar Mbah Jo memberikan alasan.

Ayu memandang Mbah Jo dengan pandangan mata sayu yang masih belum lepas dari hasrat dan birahi. Tubuhnya masih terasa panas.

“Ya ampun, maaf ya, Nduk. Jadi merepotkan Mbak Ayu.”

“Ti-tidak apa-apa kok, Mbok…” jawab Ayu sedikit mendesah.

“Itu kenapa bibir Mbak Ayu kok basah kaya air liurnya?” tanya Mbok Giyem bingung.

Ayu buru-buru membersihkan sisa liur Mbah Jo yang masih tertinggal di sekitar bibirnya, “A-anu Bu… saya kebetulan juga ikut ketiduran, sa-sampai menetes juga liurnya. Duh, jadi malu…”

Ayu menundukkan wajahnya berusaha menghindari tatapan Mbok Giyem.

“Oalaaaah, hahaha. Ya udah, sudah hampir sore ini. Sebaiknya kita pulang,” ujar Mbok Giyem sambil melirik Mbah Jo, wanita tua itu seperti menyadari ada yang tidak beres yang telah terjadi di tempat ini.

“Ya… ya… sebaiknya kita pulang, apalagi sudah mulai mendung…”

Mbah Jo kemudian duduk dekat kaki Ganep dan dibantu Mbok Giyem, Mbah Jo menggendong Ganep di punggungnya.

“Waduh tambah berat aja ini bocah.” Kata Mbah Jo.

Mbah Jo sempat melirik ke arah Ayu sambil tersenyum penuh arti, Ayu hanya menunduk tak kuasa menahan Malu ketika menyadari apa yang telah dilakukannya bersama Mbah Jo tadi.

Mbah Jo dan Mbok Giyem mulai berjalan, Ayu ikut berjalan dibelakang mereka, kesempatan itu digunakan Ayu untuk memperbaiki bra dan pakaiannya yang berantakan. Dengan sopan Ayu kemudian menolak ketika ditawari bermalam oleh Mbok Giyem, di perjalanan Ayu sempat meminta Erik untuk segera menjemputnya.

Dalam perjalanan pulang, Ayu hanya diam tak bicara, Ayu merasa bersalah dengan Erik, Ayu juga merasa kesal dengan dirinya yang begitu mudah bersimpati, rasanya tak ada orang sebodoh dia yang menawarkan bagian tubuhnya yang sangat privasi untuk dinikmati orang lain. Bodoh dan gila. Kenapa tiba-tiba saja terbersit hal seperti itu di pikirannya?

Mobil Erik berhenti.

Erik agak heran melihat kekasihnya hanya diam, pemuda itu menyentuh bahu Ayu. Gadis cantik itu terlihat kaget dan menyadari kalau dia sudah berada di depan kostnya. Di sepanjang perjalanan keduanya hanya terdiam. Erik merasa heran dengan sikap sang kekasih, kenapa pula sih ini cewek? Dianya di mana pikirannya di mana. Untungnya dia cantik banget jadi Erik mencoba memaklumi.

“Ketiduran, Ay?” tanya Erik lembut, “sepertinya capek banget.”

“Iya, aku memang capek banget. Aku masuk dulu ya. Thanks udah jemput aku pulang.” bisik Ayu.

Erik mengelus pipi sang kekasih, “Ya udah kamu istirahat aja. Aku sayang kamu, Ay.”

Ayu hanya tersenyum tanpa membalas.

Erik menyentuh pipinya sendiri dengan telunjuk. Ayu paham maksudnya. Ia mengecup pipi sang kekasih. Menciumnya pipi Erk lembut dengan bibir yang tadi sudah dikulum oleh seorang kakek tua yang buruk rupa.

Ayu kemudian membuka handel pintu mobil dan turun, Erik memandang kekasihnya yang berjalan sampai pintu gerbang kostan, Ayu melambaikan tangan pada Erik, mobil Erik melaju sambil membunyikan klakson.

Ayu menangkupkan tangan di wajahnya.

Ia bersalah.

Sangat bersalah.

Mungkin dari mereka semua, dialah yang idiot.



.::..::..::..::..::.



Ayu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Tangannya meraba-raba kasur mencari remote AC. Ayu kemudian menyalakan AC kamarnya, dan berbaring dengan nyaman.

Tubuhnya terasa begitu letih sehingga membuatnya malas untuk berganti pakaian, Ayu masih berbaring dengan mata memandang langit-langit kamar kostnya.

Kejadian di saung tadi kembali terputar di benaknya.

Apa-apaan kamu, Yu? Kamu sudah tidak waras? Apa bedanya kamu sama si Ganep? Mereka itu warga desa, kenapa kamu malah melakukan hal seperti itu dengan mereka? Bisa-bisanya kamu! Lagipula apa menariknya sih mereka? Nggilani kamu, Yu! Kamu itu menjijikkan!

Ayu memegang bibirnya, masih terasa dingin lidah Mbah Jo meliuk-liuk dalam mulutnya. Masih terbayang bagaimana rasanya. Hati Ayu berdesir-desir, tangannya bergerak memegang bongkahan payudaranya,

Ayu tak pernah tahu kalau payudaranya ini ternyata begitu sensitif, rasa geli, dan gatal putingnya saat dihisap Ganep masih sangat terasa, satu-satunya tangan yang pernah menyentuh payudaranya adalah tangannya sendiri, dan tadi adalah pertama kali orang lain begitu bebas mengakses payudaranya.

Bahkan Erik pun selalu kamu tepis, Yu. Bagaimana bisa kamu ijinkan orang gila itu melakukannya? Bahkan lebih gilanya kamu yang menyuruhnya! Edan kamu, Yu!? Buat apa!? Demi apa!? Mana harga dirimu? Kenapa bisa dengan mudahnya? Apa kamu itu memang aslinya lonte? Kenapa tidak sekalian saja?

Lonte kamu itu, Yu!


“Aaaaahhmmm…”

Tangan Ayu menjalar ke bagian bawah dan menyelusup ke balik celana dalamnya, pikiran absurd Ayu muncul. Gadis yang sebelumnya lurus itu kini memiliki pikiran kotor. Bagaikan setetes noda hitam yang bercampur di belanga berisikan putihnya susu.

Ba-bagaimana rasanya kalau bagian ini yang disentuh seperti tadi?

“Aaaaaahhhhh…”

Hati Ayu semakin berdesir-desir, pori-porinya meremang. Tiba-tiba suara seorang penjaja makanan terdengar di dekat tempat kostnya. Kesadaran Ayu seolah muncul kembali. Gadis cantik itu buru-buru menarik tangannya, ada rasa takut dan malu yang membuatnya gemetar.

Ayu menutup wajahnya, malu sendiri dengan kelakuannya tadi.

Apa yang terjadi dengan diriku?



.::..::..::..::..::.



.:: SEMENTARA ITU



Mbah Jo asyik duduk di kursi goyangnya, matanya memandang Ganep yang menelungkup sambil mencoret-coret kertas. Malam terasa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan serangga malam yang terdengar saling bersahutan, Mbok Giyem datang membawa secangkir cawan kaleng yang berisi teh hangat untuk Mbah Jo. Ia meletakkannya di meja yang ada di samping sang kakek tua.

“Aku mlebu ndhisik, Pak’e. Wes ngantuk. Nanti suruh Ganep tidur lebih cepat, jangan dibiarkan begadang terus. Dia itu susah sekali dibangunkan pagi kalau malamnya begadang.”

“Ya wes, Bu’e. Tapi kalau sekarang sudah biarin saja dulu. Hawane sumuk malam ini, apa mau hujan ya?” Mbah Jo memandang langit yang gelap gulita.

“Mungkin, yo wis aku masuk dulu.”

Mbok Giyem kemudian kembali masuk ke rumah meninggalkan Mbah Jo yang sedang mengipas-ngipas tubuhnya yang terasa gerah dengan secarik karton.

“Yaaaaghhh…”

Ganep tiba-tiba bangkit dan berteriak dengan tinju dilempar ke atas. Tapi setelah begitu, tak lama kemudian dia kembali menelungkup dan tenggelam lagi dalam aktifitasnya. Entah apa yang tengah terjadi dalam benaknya.

Mbah Jo melihat kelakuan Ganep sambil tersenyum.

Terkadang Mbah Jo merasa kalau Ganep hanya pura-pura edan dan di balik sosok gemblung-nya itu tersimpan otak yang jenius.

Namun Mbah Jo tahu itu tak mungkin, Ganep memang memiliki sikap yang tak bisa diduga, sekali waktu dia bisa mengamuk seperti seekor singa, tapi di lain waktu bisa menjadi kucing manja. Terkadang dia bisa diam seperti seorang psikopat sadis, namun dalam momen tertentu Ganep bisa bersikap seperti seorang anak muda yang normal dan mampu beradaptasi seperti siang tadi.

“Meskipun kamu itu gila, tapi tetap lanangan normal toh, Le? Kamu tahu mana apem yang legit dan mana bakpao yang empuk, hehehe.” Mbah Jo berkelakar sambil menyeruput teh hangat yang disediakan istrinya.

Tiba-tiba saja Ganep bangun dan berlari ke Mbah Jo sambil membawa kertas. Wajahnya terlihat berseri-seri dengan senyum lebar yang tak bisa dibilang menarik dan tampan, Ganep menyerahkan kertas coretannya tadi pada Mbah Jo.

“De… de… iki… iki…”

Mbah Jo menerima dan melihat coretan Ganep yang seperti lukisan abstrak, Mbah Jo seperti kebingungan, “Opo toh iki? Apa ini, Le?”

“Cucu… cucu… Mbak yuuu… cucu… cucu… enen… hahaha.. hahaha…”

Ganep terlihat kesenangan, tangannya menunjuk-nunjuk suatu gambar, lalu bertepuk tangan. Mbah Jo melihat gambar berbentuk dua bulatan dengan masing-masing bulatan kecil dibawahnya, kening Mbah Jo berkerut tak paham dengan gambar yang ditunjukkan ganep, namun sesaat kemudian bola mata Mbah Jo membulat, mulutnya tersenyum, dia mulai menangkap maksud ponakannya ini.

Mbah Jo menepuk pundak Ganep, “Iki pentile mbak Ayu toh? Hahahahaha. Iso wae kowe. Bisa saja kamu ini gambar susune Mbak Ayu. Hahaha. Kamu mau nenen lagi yo?”

Ganep tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang besar dan tumbuh semrawut di mulutnya, kepalanya mengangguk-angguk cepat.

“Tenang saja, Le. Sepertinya kelinci manis itu sudah mulai jinak. Tidak lama lagi pasti kita bisa icipin kelezatannya, hahahaha.” Mbah Jo terbahak-bahak geli, dikeplaknya lembut kepala ponakannya yang dipenuhi pitak itu, Ganep hanya senyum-senyum sambil mengelus kepalanya.

Tanpa sepengetahuan Mbah Jo dan Ganep, sesosok pria menguping pembicaraan mereka, awalnya pria itu sebenarnya hanya iseng saja mendengarkan obrolan keduanya, tetapi lama-lama ia sungguh penasaran.

Begitu penasarannya sang stalker, sampai-sampai ia tak menyadari kakinya menginjak sepotong ranting kayu.

Krk.

Mbah Jo menoleh. Ia mendengar sesuatu, tapi suasana sudah terlalu gelap untuk bisa melihat ke arah sumber suara, ditambah lampu jalan dan rumah tidak seterang seharusnya. Tapi dia bisa membedakan mana yang natural dan mana yang tidak. Ia juga tahu ada yang aneh saat terdengar suara langkah kaki berlari.

Sopo kuwi?” tanya Mbah Jo.

Tapi tak ada jawaban, siapapun itu yang sebelumnya berada di sana, dia telah pergi dengan tergesa-gesa. Mbah Jo mendengus menatap keremangan malam. Siapa itu?

Mungkin bukan siapa-siapa.

Pakde ngantuk, Nep, kowe ra turu? Kamu ndak tidur?” Mbah Jo beranjak dari kursinya dan berjalan hendak masuk ke dalam rumah, “Awas mengko kalau ada genderuwo di luar.”

Wajah Ganep tiba-tiba pucat mendengar itu, dia berlari mengikuti Mbah Jo masuk ke dalam rumah.

Mbah Jo tersenyum.

Oalah, Nep… Ganep. Bocah bejo tapi kok ora ganep.



.::..::..::..::..::.



Ayu berjalan tergesa-gesa menelusuri koridor kampus, berkali-kali dia melihat jam tangan yang dikenakannya.

Aduh kenapa kesiangan begini sih!? Ahh jadi berantakan semua nih…! Ayuuu Ayuuuuuuu, cerobohnya kamu ini.

Saat hampir tiba di depan ruangan dosen pembimbing akademiknya, Ayu memperlambat langkah. Ia lantas berhenti sejenak mengatur napasnya yang tersengal-sengal, ia juga memastikan pakaian yang dikenakannya sopan dan rapi. Setelah memastikan dirinya presentable, diketuknya pintu ruangan tersebut. Terdengar suara dari dalam menyuruhnya masuk, Ayu pun masuk ke dalam ruangan tersebut.

Here goes nothing.

Hampir setengah jam kemudian Ayu keluar dari ruangan dengan wajah sedikit kesal. Ia menarik napas panjang. Ayu menyender ke dinding sambil menepuk kepalanya dengan map yang dibawanya.

“Astagaaaaa. Kok bisa kelupaan begini sih, ampuuuun deh. Kok ya ada aja.”

Ayu kemudian duduk di kursi di depan ruangan penasehat akademik, diambilnya hp di dalam tas. Sejak sore kemarin dia belum membuka hpnya, ternyata sudah banyak chat masuk, yang terbanyak dari grup KKP-nya. Ayu hanya membaca sekilas, kebanyakan chat dari teman-temannya itu menanyakan tentang kunjungan Ayu kemarin, entah kenapa Ayu merasa malas menjawabnya.

Dia melihat ada beberapa chat dari Erik pacarnya, belum sampai Ayu membalas chat dari Erik, terdengar suara memanggilnya.

“Ayuuuu……”

Ayu menoleh dan melihat dua orang teman kelompok KKP-nya berjalan ke arahnya, Ayu pun melambaikan tangan pada mereka, padahal tadi ia merasa malas membalas chat siapapun di grup.

“Ya ampyuuuunn, Say! Dari semalam akikah jefry nikol kok kagak dibaca!? You tepar semalam, cyinnn? Abis diapain sama Bebeb Erigo?” tanya Dedi dengan logat khasnya yang melambai bagai daun ditiup puting beliung.

“Iyaaaaa. Maaf banget ya. Kemarin aku sudah tidur karena kecapekan sepulang dari Kembang Arum. Pulang-pulang ya langsung bobo. Malah tadi bangun juga kesiangan pula, sial banget ga sih?”

“Ya ampuuuun. Kasihan banget sih si cantik ini. Pasti cape banget ya, Yu? Duuuh… kasian…” ujar Eva sambil memijat pundak Ayu.

“Heh, apaan sih kalian berdua?” Ayu tertawa melihat kekonyolan teman-temannya itu.

“Trus gimana, Say? Udah dapat surat resmi dari PA? Bisa jalan kita?” tanya Eva.

“Justru itu. Udah sampai di ruangan Bu Gina, eh aku ternyata lupa minta surat tanda menerima KKP dari Balai Desa. Aaaaahhh bikin kesel. Mesti balik ke sana lagi nih.” Keluh Ayu yang menghela napas panjang.

Kedua temannya saling berpandangan sambil melongo. Dedy yang pertama kali bertanya, “Haaah!? Ciyusan, Cyinnn..?? Ya ampuuuuuun. Lha trus you kemarin ngapain aja di sonoooo, bengaaaaa.”

Äyu hanya bisa mengangkat bahu.

“Iya sih, Yu. Tadi kamu kan bilang capek banget habis dari sana. Tapi kok bisa-bisanya ketinggalan belum minta surat izin dari Balai Desa? Bukannya kamu kemarin ke sana mau minta itu?” Eva bingung, “Kamu beneran ke sana kan kemarin?”

“Iyaaaaaa. Aku beneran ke sana,” Ayu menghela napas panjang dan geleng kepala, “Sori banget gaes… asli sori banget. Ya udah, ntar siang deh aku balik ke sana lagi.”

Dedi dan Eva saling berpandangan. Mereka merasa bingung dengan semua itu, tumben-tumbennya si Ayu kelupaan sesuatu yang urgent dan jadi tujuan utama. Sangat tidak Ayu sekali. Apalagi Ayu juga kelihatannya tidak ingin cerita apa yang terjadi di desa kemarin sampai-sampai dia lupa tujuannya ke sana. Jangan-jangan dia madol sama si Erik?

Eva menyentil tangan Dedy. “Ya udah, kita ke kantin aja yuk. Laper nih. Pagi tadi belum sarapan. Kita cari brunch dulu.”

Dedy mengangguk, “Yuuuk. Yukkk.”

Tapi ternyata Ayu menggeleng, “Kalian aja deh. Aku tadi udah makan juga. Kayaknya aku mau ke desa aja sekarang. Takutnya keburu tutup.”

“Mau ke sana naik apa? Dianter lagi sama Erik?” tanya Eva.

“Naik motor aja kayaknya, Erik lagi ada urusan jadi gak bisa nganterin.”

Eva sedikit khawatir, “Apa perlu kita temenin, Yu? Aku boncengin yuk.”

“Eh, nggak usah lah, ini kan kesalahan aku juga. Nggak apa-apa santai aja. Pokoknya aku bakal jamin kita bisa menyelesaikan tugas KKP ini tepat waktu.”

Eva agak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Entah kenapa tapi dia tahu ada sesuatu yang terjadi di balik layar, “Hmmm ya udah deh. Hati-hati ya, Say. Kabarin aja kalau kamu butuh apa-apa. Kita pasti ke sana buat bantu.”

“Ho’oh, Cyinnn. Hati-hati yaaaa. Yakin nih gak mau sarapan dulu? Atau ngeteh dulu?” tanya Dedi.

Ayu hanya tersenyum, “Lain kali aja, say. Mau buruan naik ke Gunung Mandiri. Takutnya Balai Desa-nya tutup.”

Dengan perasaan berat, Eva dan Dedy akhirnya pergi meninggalkan Ayu.

Setelah kepergian dua temannya itu, sekali lagi Ayu melirik ke arah hapenya kembali.

Tuh kan ceroboh lagi. Sekarang kelupaan nge-charge. Mana tinggal 20% lagi. Mana ya chargernya?

Ayu mencari di tas. Wajahnya makin lama makin pucat.

Astaga! Jangan bilang kalau… ya ampuuuuuun! Kenapa bertubi-tubi begini sih?

Ayu lemas saat sadar kalau charger-nya juga ketinggalan di tas ransel yang kemarin dia bawa ke desa. Hari ini dia hanya membawa tas kecil dan totebag. Gadis itu menangkupkan tangan di wajah dengan kesal.

Dia ingat sekali apa yang diucapkan oleh Bu Gina tadi. Kata demi kata masih terekam jelas di ingatan sang dara jelita.

Deadline kamu kan sudah jelas, Ayu. Kenapa bisa lupa? Ya sudah, pokoknya besok surat ijin dari pihak berwenang setempat sudah harus ada supaya kampus juga bisa mulai menyusun surat pengantar. Dari semua kelompok bimbingan saya, hanya kelompok kamu yang masih belum ada suratnya. Kamu kan juga tahu kalau saya bakal cuti seminggu ke depan.

Ayu berjalan menuju tempat parkir di mana motor berada. Sebenarnya dia malas ke Desa menggunakan motor, karena jaraknya lumayan jauh dan cuaca hari ini begitu terik. namun mengingat ucapan Bu Gina tadi mau gak mau Ayu harus kembali ke desa itu hari ini juga.

Selalu saja begini, tiap kali dia membutuhkan, Erik tak pernah hadir. Kekasihnya itu lebih memilih bermain dengan kawan-kawannya daripada mengantarkan Ayu ke tempat KKP. Kalau Ayu memaksa atau merajuk, Erik akan marah seharian.

Ayu sudah malas berantem.

Karena merasa segan meminta Erik mengantarnya lagi, apalagi Ayu tau hari ini adalah jadwal Erik bermain Futsal dengan gengnya, Ayu lebih memilih berangkat sendiri.

Ayu kemudian mengambil hpnya lagi, dia mematikan sambungan datanya agar bisa menghemat baterei, tidak mungkin dia kembali ke kost hanya untuk mengambil charger-nya yang tertinggal kalau ingin mengejar jam buka Balai Desa. Dia harus buru-buru.

Ayu kini telah berada di atas motornya, untuk sesaat dia merasa ragu jika harus kembali ke desa itu, tentu saja dengan adanya kejadian yang tak diduga siang kemarin, rasanya Ayu belum siap untuk bertemu lagi dengan Ganep dan Mbah Jo secepat ini.

Tapi… Ayu tak bisa mengingkari kalau benaknya terus dipenuhi apa yang ia alami saat Ganep menghisap putingnya dan juga saat dia melayani ciuman Mbah Jo.

Gila, kamu mikir apa sih Yuuuu? Sudah edan kamu sekarang? Sejak kapan kamu penasaran sama ODGJ? Ngapain penasaran sama aki-aki mesum? Kamu mau dientotin mereka!? Yang bener aja! Ngapain penasaraaaaan!?

Ayu menghela napas.

Setiap kali ke desa, selalu saja ia memikirkan hal yang di luar nalar itu. Entah kenapa dia selalu terjebak dalam situasi cabul yang seharusnya tidak terjadi dan dapat dengan mudah dihindari. Setiap ada Mbah Jo dan Ganep, hatinya selalu berdesir kuat. Itu kan gila! Siapa mereka coba! Erik lebih baik kemana-mana dibandingkan mereka berdua! Erik lebih segalanya! Tapi… punya Ganep dan Mbah Jo… besar sekali… mereka… apakah tidak bisa Ayu mendapatkan kepuasan dari mereka semua, apakah bisa dia…

Ahhhh! Bodoh kamu, Yuuu! Bengaaaaa! Mikir apaaa kamuuuuuu!

Ayu menundukkan wajahnya. Ia memaki-maki dirinya sendiri. Pertentangan mulai terjadi antara hasrat dan akal sehatnya. Ayu memejamkan mata dan menghela napas panjang.

Aku ke sana bukan karena siapapun, aku ke sana karena untuk kami membutuhkan surat dari Balai Desa. Demi kepentingan KKP kami semua. Akulah yang telah melakukan kesalahan, maka akulah yang harus menyelesaikan.



.::..::..::..::..::.



Mbok Giyem yang sedang menyapu halaman menghentikan kegiatannya saat melihat satu motor mendekat. Jarang-jarang sekali jam segini ada motor berkeliaran di area rumah. Biasanya pula pada jam segini, sebagian penghuni kampung sudah bekerja di kebun, sawah, atau sudah sejak pagi turun ke kota.

Motor itu berhenti di depan halaman rumah, mata wanita sepuh itu pun memicing untuk melihat siapa yang datang. Dia tidak bisa melihat dengan jelas dari jarak yang sudah cukup jauh baginya karena besarnya halaman rumah yang sekitar dua lapangan bulutangkis. Motor itu diparkir tak jauh dari pagar rumah, pengendaranya melepaskan helm dan diletakkan di atas spion.

Mbok Giyem pun tak perlu terlalu lama memicingkan mata karena kemudian sang pengendara yang ternyata sesosok wanita cantik berkerudung berjalan perlahan menuju ke arahnya. Saat dekat, barulah wanita sepuh nan ramah itu tahu siapa sosok berkerudung yang datang.

Sosok jelita yang berjalan dengan anggun tengah tersenyum kepadanya itu adalah Ayu.

Gadis jelita itu menghampiri Mbok Giyem dan bersalaman sambil mengucapkan salam keagamaan. Ia mencium tangan sang nenek tua dengan sopan, “Selamat siang, Mbok. Saya datang lagi. Maaf merepotkan.”

“Oalah Mbak Ayu toh, tak kira sopo. Mari-mari sini, Mbak.” Mbok Giyem tersenyum lebar.

Mbok Giyem melirik ke arah motor seolah mencari sesuatu, “Kok naik motor sendiri, Nduk? Apa ndak diantar mas Ganteng kemarin toh Mbak?”

Mas Ganteng? Apa Erik yang dimaksud Mbok Giyem?

Dengan sopan Ayu menjawab sembari tersenyum lebar, “Ohh Erik? Nggak, Mbok. Kali ini saya datang kesini sendiri pakai motor. Sekalian belajar karena setelah ini kami-kami tidak bisa mengandalkan orang lain kalau sedang tugas kemari.”

“Ohhh… nggihnggih… lha ini Mbak Ayu langsung dari kampus?” tanya Mbok Giyem.

“Leres, Mbok. Kebetulan saya baru dari kampus langsung ke sini,” Ayu menjawab dengan singkat.

Mbok Giyem mengangguk-angguk, “Weh lha pasti capek ya, naik motor sendirian ke sini. Mana perawan begini berangkat sendirian. Monggo pinarak mbak, masuk dulu ke dalam.”

Ayu mengangguk, “Terima kasih, Bu.”

Gadis jelita itu mengikuti saja ketika Mbok Giyem meletakkan sapunya di sisi rumah dan melangkah bersama ke teras di mana meja dan kursi untuk tamu berada. Di tempat inilah tempo hari Ayu mengalami pelecehan dari si Ganep. Duh, males banget kalau ingat kejadian menyebalkan itu!

Si Ganep mana ya? Mudah-mudahan sedang tidak ada.

“Kok t-tumben sepi, Mbok?” tanya Ayu mencoba menyelidiki. Ia gugup saat menanyakan hal itu.

“Ohhh ya, Mbah Jo ya biasa toh, Nduk. Kalau siang begini, dia baru ngusirin burung-burung pemakan padi di sawah. Belakangan ini burung-burung yang datang kan banyak sekali. Kalau dibiarkan tentu pas panen nanti kami ndak kebagian opo-opo.”

Ayu mengangguk-angguk mendengar ucapan Mbok Giyem.

“Apa Mbak Ayu ada perlu dengan Mbah Jo? Biar nanti si Mbok panggilkan. Sawahnya tidak jauh dari sini,” Ujar Mbok Giyem, “Mbok panggilin dulu ya, Nduk…”

“Eh… tidak usah, Mbok. Tidak perlu kok. Saya justru mau ke arah Balai Desa, kemarin ada yang kelupaan,” sanggah Ayu cepat.

“Oalah gitu toh, eh… lha sekarang jam berapa? Ini kan sudah siang. Kalau Mbak Ayu mau ke Balai Desa sebaiknya berangkat sekarang saja. Setahu Mbok, kantor Balai Desa itu tutupnya jam 12.”

Ayu melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam 11 siang.

Waduh mepet sekali. Mana belum hapal jalan lagi, duh gimana ini ya?

“Ehmm… ma-maaf, Mbok. Ta-tapi Ayu lupa jalan ke arah Balai Desa. Kira-kira gimana ya? Apa ada yang bisa dimintain tolong mengantarkan sampai ke…”

“Oalah. Ya wes toh, Mbak Ayu tunggu Mbah Jo aja, paling sebentar lagi dia pulang, soalnya anak saya Sukirman yang jadi ketua RT sedang pergi sama Ganep,” ujar Mbok Giyem menenangkan, “tidak sampai setengah jam.”

“Oohh saya kira Ganep ikut ke sawah sama Mbah Jo,” Ayu keceplosan. Dia mengutuk dirinya sendiri saat mengucapkan hal yang tidak perlu.

“Iya e, Nduk. Tadi pagi Ganep diajak Si Man ke Kantor Pak Dukuh, katanya ada pembagian Dana Bansos dari pemerintah. Nah syaratnya yaitu si penerima diwajibkan datang sendiri ke kantor Pak Dukuh untuk tanda tangan dan cap jempol. Resmi kok kalau yang ini,” Mbok Giyem memberikan penjelasan.

Sebelum Ayu mengiyakan, terdengar suara benda bertumbukan

“Nah itu Mbah Jo sudah pulang,” ujar Mbok Giyem.

“Aduh kenapa sih kok aku jadi deg-degan begini ya?” hati Ayu berdesir-desir begitu kuat saat ia melihat sang pria tua yang beberapa kali bertemu dengannya itu semakin mendekat.

Mata Mbah Jo membulat. Senyumnya tersungging lebar saat melihat Ayu ada di rumahnya, sungguh suatu kejutan yang tak disangka-sangkanya. Sebaliknya Ayu hanya menunduk tak kuasa memandang lelaki tua yang semakin mendekat kepadanya,

Sial. Sial sial. Kenapa juga si tua bangka ini datang-datang sudah senyam senyum tidak sopan? Bikin aku jadi makin tidak nyaman nih. Mana ugh… itu celana gagal nyembunyiin batangnya! Emang orang ini tidak pernah pakai celana dalam ya?

Hati Ayu berkecamuk resah.

“Oalaaah aku kira siapa?! Tak kiro aku sudah sampai di surga dan bertemu bidadari nan cantik jelita,” ucap Mbah Jo ngegombal.

Ah bapak iki bisa aja…” Mbok Giyem tersenyum malu-malu, Mbah Jo mendengus dan memandang istrinya dengan pandangan malas.

“Bukan Kowe!!” ketus Mbah Jo.

Mbok Giyem terkikik mendengar ucapan ketus dari Mbah Jo, Ayu pun mau gak mau ikut senyum melihat candaan dua manusia sepuh ini.

“Ini lho Pak’e. Mbak Ayu ini minta diantar ke Balai Desa. Sejak tadi dia nungguin sampean,” Mbok Giyem memonyongkan bibir untuk mencibir sang suami.

“Ohh iyakah? Saya jadi tersanjung ini ditungguin wanita secantik Mbak Ayu.” Ucap Mbah Jo sembari mengedipkan mata pada Ayu..

“Oalah Mbah Jo Mbah Jooo… mbok ya eling. Umurmu kih wes tuwo. Kulitnya udah kayak krecek koyor gitu masih aja sok-sokan nggodain anak perawan,” cibir Mbok Giyem, “Rumangsamu kamu itu…”

Hus! Ra usah kakean cangkem!” balas Mbah Jo sambil bersungut-sungut,

Ayu tertawa lepas mendengar ucapan keduanya.

Mbah Jo melirik ke arah sang gadis jelita dan kembali fokus, “Mbak Ayu mau ke Balai Desa? Wah harus cepat-cepat kita. Ini sudah mau tutup. Sebentar ya, Mbah ganti pakaian dulu. Ini kotor sekali tadi ngarit di sawah.”

Pria tua itu pun bergegas masuk ke dalam, meninggalkan Mbok Giyem dan Ayu di teras rumah.

“Maaf yo, Mbak. Itu Mbah Jo memang suka begitu. Lupa kalau sudah tua padahal giginya tinggal dua. Sukanya menclok di jendela.”

Ayu tertawa renyah, manis sekali, “Tidak apa-apa, Mbok. Wajar kok. Yang penting Mbok dan Mbah Jo sama-sama sehat.”

“Iyo, Mbak.”

Tak lama kemudian Mbah Jo keluar dengan menggunakan kemeja batik berwarna hijau dengan paduan celana panjang berwarna coklat tua, Mbok Giyem terheran-heran dengan dandanan yang hanya pernah dipakai Mbah Jo ke kondangan penting itu.

Namun sebelum wanita tua itu sempat mengucapkan apapun, Mbah Jo segera menarik Ayu pergi, “Sudah hampir tutup kantornya, kita berangkat sekarang.”

Ayu memandang Mbok Giyem dengan bingung, namun dia juga buru-buru mengikuti Mbah Jo karena tahu waktunya tidak banyak. Mbok Giyem yang tersenyum dan mengangguk membuat Ayu jadi sedikit merasa tenang.

Tentu saja – Ayu yang harus memboncengkan Mbah Jo. Tidak mungkin kan Mbah Jo yang sudah sepuh itu di depan? Walaupun bisa, Ayu merasa kurang sopan melakukannya.

Ayu sebenarnya tidak masalah dan sudah terbiasa mengantarkan orang tua dan kakek neneknya menggunakan motor. Bedanya kali ini, Mbah Jo duduknya mepet sekali dengan Ayu. Rapat banget. Gadis jelita itu merasa risih dengan dengus napas Mbah Jo di telinganya yang tertutup hijab, seolah napas lelaki tua itu menembus kain hijabnya.

Tak hanya napas, Ayu bahkan tak mungkin bisa melarang saat Mbah Jo melingkarkan tangannya di pinggang gadis cantik itu, untungnya jarak Balai Desa tak terlalu jauh, sehingga sekitar 10 menit kemudian mereka telah tiba di tujuan mereka.

Rupanya kehadiran Mbah Jo menemani Ayu membuat segalanya mudah bagi sang dara. Kenapa? Petugas Balai Desa terlihat begitu segan bahkan bisa dikatakan takut dengan Mbah Jo yang menuntut ini itu untuk persiapan KKP Ayu dan kawan-kawannya.

Dari pengamatannya, Ayu yakin petugas di Balai Desa ini setali tiga uang dengan petugas kelurahan tempo hari, memang budaya pungli susah dihilangkan karena masyarakat juga yang membuka peluang para petugas itu pungli, pengaruh Mbah Jo yang merupakan sesepuh desa dan juga ayah kandung dari Sukirman, Sukirno, dan Sukirlan rupanya membuat petugas Balai Desa tak terlalu bertanya-tanya terlalu lama dan langsung mengeluarkan surat ijin yang diperlukan Ayu.

Mbah Jo dan Ayu akhirnya menyelesaikan seluruh kebutuhan KKP Ayu di Balai Desa. Mereka melangkah keluar dan berjalan menuju ke arah motor. Suasana sudah sangat mendung saat itu.

“Wah, kok tiba-tiba saja sudah gelap nduk…” kata Mbah Jo sembari mendongak ke atas.

Ayu memandang langit yang gelap begitu cepat, padahal tadi masih terik membakar kulit. Terdengar suara dentuman di awan tak jauh dari tempatnya dan Mbah Jo berdiri.

“Sebaiknya kita segera pulang Mbah, sebelum hujan turun. Mbah tunggu di sini ya, biar saya yang ambil motornya.”

Baru saja Ayu selesai bicara, gerimis sudah mulai turun.

Ayu pun berlari kecil menuju motor. Ia menyalakannya dan menjemput Mbah Jo yang berdiri di depan gerbang Balai Desa. Keduanya bersiap untuk buru-buru pulang.

Gerimis mulai rancak turun dengan deras, membasahi tanah Kembang Arum dari ujung ke ujung, menyegarkan tanah, tumbuhan, kembang, ladang, kebun, dan sawah yang terbentang di sisi lereng Gunung Mandiri.

Baru sebentar motor Ayu berjalan, hujan ternyata turun dengan deras.

“Mbak! Kita sebaiknya meneduh!” teriak Mbah Jo yang mulai basah kuyup. Pria tua itu menunjuk-nunjuk saung tempat mereka berdua kemarin berbagi waktu. Meski enggan, hujan yang turun tiba-tiba membuat Ayu terpaksa menurut. Ia pun meminggirkan motornya dan keduanya bergegas masuk ke dalam saung.

“Mbak Ayu tidak ada jas hujan?” tanya Mbah Jo.

Ayu menggeleng tanpa menjawab sembari menarik-narik blusnya yang basah. Ia enggan melayani percakapan dari pria tua itu karena teringat apa yang telah dilakukan Mbah Jo pada dirinya saat pertama kali bertemu dan juga apa yang terjadi kemarin.

Mata sang pria tua itu sendiri tak lepas tanpa kedip menatap sepasang gundukan membusung di balik kemeja basah sang dara jelita. Ayu tahu pasti apa yang diperhatikan sang pria tua sehingga ia dengan canggung berusaha menutupinya dengan menyilangkan tangan.

Mudah-mudahan tidak ada geledek. Mudah-mudahan tidak ada geledek.

Ayu mencoba berharap. Tapi sayangnya tak berhasil karena setelah itu petir dan geledek silih berganti saling menyambar.

Hujan yang semakin deras disertai suara petir yang kian menggelegar membuat Ayu yang sejak kecil takut dengan suara petir menjadi resah, ia mulai gelisah dan tak nyaman. Ia mencoba melirik ke samping. Apa yang dilakukan pria tua itu sekarang?

Mbah Jo ternyata justru membuka kemejanya yang basah dan mengantungnya di sebuah paku yang tertancap di dinding saung. Ia lantas duduk dengan santai tanpa takut masuk angin meski membuka baju di tengah terpaan angin dingin hujan nan deras mendera.

Ayu sendiri terdiam tak tahu harus bagaimana, apalagi kilatan dan gelegar petir semakin membuatnya takut. Gadis jelita itu mati kutu.

“Bajumu basah tuh, Nduk. Dadanya nyeplak banget. Apa tidak lebih baik dibuka saja daripada masuk angin?” tanya Mbah Jo perlahan. Kalimatnya terdengar mesum dan cabul, membuat Ayu tak nyaman.

Apa-apaan sih!? Masa ya usulnya begitu banget?

Ayu menoleh tak percaya dengan pertanyaan Mbah Jo yang konyol, tapi ia berusaha tetap menahan diri dan bersikap sopan terhadap lelaki tua itu, “Tidak usah. Tidak apa-apa kok, Mbah.”

Ayu mendesah. Ia benci situasi ini. Dia merasa sendiri dan terkucil. Teman-temannya jelas mengharap kepadanya, sementara Erik tidak dapat diharapkan. Ia menarik napas panjang dan melengos. Ayu kembali mengalihkan pandangan ke arah hujan yang turun deras.

“Kamu masih marah, Nduk?”

Ayu terdiam tanpa banyak kata.

“Mbah minta maaf soal kemarin. Kalau-kalau apa yang terjadi kemarin membuat Mbak Ayu marah.”

Ayu memejamkan mata, dia tidak ingin membahas hal ini. Sudah cukup. Jangan dibahas. Jangan ditanyakan. Jangan diingat kembali. Ayu ingin melupakan kejadian memalukan itu. Cukup. Cukup sudah.

“Maksud Mbah tentang ciuman kemarin,” ujar Mbah Jo mencoba menjelaskan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan.

Kenapa malah disebutkan!

Hati Ayu berdetak keras, dia tak sanggup menoleh untuk menatap pada lelaki tua di sampingnya, antara malu, geram, kesal, sebal, sedih, semua rasa menjadi satu.

Mbah Jo meringis, ia menatap ke arah Ayu dengan tatapan cabul, “Tapi Mbah tidak menyesal, Nduk cah Ayu. Sampai sekarang Mbah masih bisa merasakan manisnya air liur Mbak Ayu.”

“Tidak usah dibahas.” Ayu ketus menjawab.

Hujan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti, tak ada percakapan lagi di saung itu sampai beberapa saat lamanya. Mbah Jo yang bersandar di salah satu tiang menghadap ke arah Ayu. Pria tua itu terus menatap dan menelanjangi gadis bertubuh indah itu dengan mata tuanya yang cabul. Ia menyeringai saat mendapati baju Ayu yang basah menunjukkan gundukan lezat di dadanya. Pasti enak sekali rasanya buah dada gadis jelita itu.



Ayu memejamkan mata. Semua masalah ini membuatnya lelah dan kesal. Kenapa ia justru terjebak di tempat ini dengan orang yang sama sekali tidak dia kehendaki? Ia mengurut-ngurut lehernya yang kaku dan kencang. Leher dan kepala gadis itu terasa aneh hari ini. Ia pusing sekali.

“Kamu sakit kepala, Nduk? Urat Lehermu kelihatannya tegang.”

Ayu terdiam tanpa peduli, dia tidak ingin menjelaskan apapun pada seorang pria cabul seperti Mbah Jo. Antara takut dan jengkel. Tapi mau tak mau Ayu penasaran, bagaimana bisa aki-aki cabul ini bisa tahu kalau kepalanya sedang terasa sakit.

“Sini Mbah urut sedikit. Kamu kan juga tahu kalau Mbah punya kemampuan memijat,” ujar Mbah Jo yang beringsut mendekat ke arah Ayu.

Gadis itu menggeleng karena enggan menjawab, ia hendak menjauh tanpa mengucapkan sepatah katapun, tapi belum sampai memisahkan diri dari Mbah Jo, aki-aki tua itu sudah berpindah ke belakang Ayu dengan cekatan.

“Ah!” Ayu menjerit lirih saat merasakan ada jemari menekan pundak dan bagian bawah lehernya.

Mbah Jo menekan pundak sang dara jelita dengan sentuhan yang lembut tapi tepat sasaran. Sakit tanpa harus keras menekan.

“Nah iyo toh. Sakit toh, Mbak? Lha ya ini nih. Ini lehernya terasa keras, uratnya kaku semua makanya aliran darah ndak lancar. Ini salah satu yang bikin sakit kepala, coba mbak Ayu nunduk.”

Entah kenapa Ayu mau saja mengikuti perintah Mbah Jo, kepalanya menunduk. Bagai orang di bawah pengaruh hipnotis. Mbah Jo pun semakin berani karena melihat Ayu mulai menuruti kemauannya. Ia menyingkap bagian belakang hijab Ayu sehingga leher jenjang putih mulus sang dara terlihat menggoda.

Mbah Jo mulai mengurut leher Ayu dengan lembut - mungkin lebih tepatnya mengelus leher nan putih mulus itu. Bulu kuduk Ayu meremang saat tangan Mbah Jo mengelus lehernya.

Bibir Mbah Jo mendekat ke telinga sang dara dan berbisik lirih, membuat bulu kuduk Ayu kian merinding, “Longgarkan kemejanya sedikit, Nduk. Biar Mbah bisa memijat pundak kamu.”

Sama seperti tadi, Ayu seperti terhipnotis dan mulai membuka dua kancing atas kemejanya, menunjukkan tampilan pundak putih mulus menggiurkan yang membuat setiap orang yang melihatnya ingin menyentuh bahkan menjilatnya.

Dengan berani, Mbah Jo menyingkap bagian Pundak Ayu hingga ke sebagian punggungnya.

“Hggkhh!’ Ayu terkesiap. Ia tak menduga Mbah Jo akan seberani itu.

Gadis jelita itu pun memejamkan matanya saat tangan kasar Mbah Jo mengelus kulit halus mulus di pundaknya dengan lembut. Tangan kasar itu menekan dan mengelus pundak Ayu di tengah deru hujan yang terus mendera di sekeliling mereka.

Ayu menggigit bibir, ia berusaha keras untuk tak larut dalam sentuhan Mbah Jo itu. Entah kenapa ia justru tenggelam dalam suasana yang tercipta, ia seakan lupa bahwa laki-laki yang sedang bersamanya bukanlah Erik yang tampan dan gagah, melainkan seorang aki-aki tua yang cabul.

“Mmmhh… essst… sshh… Mb-Mbaaaah…”

Melihat Ayu yang mulai tak tahan, Mbah Jo kian nekat. Tangan pria tua itu tiba-tiba bergerak maju ke depan, melewati sisi badan Ayu, dan memeluk tubuh sang gadis jelita itu. Mbah Jo tanpa permisi membuka satu persatu kancing kemeja sang dara.

“Mmmhh… Mbaaaahhh… nga-ngapain!? Ja-jangaaaaaan…! Aku bakal teriaaak! Mbaaah! Jangaaaan!!” Ayu merintih lirih di sisa-sisa kewarasannya yang kian tenggelam. Dia menolak, tapi terdesak.

“Hmmp.”

“Aaaaaaaah! Jangaaaaan! Aaahhhhmm!”

Ayu mengerang saat mulut Mbah Jo mencaplok kulit pundaknya, terasa lidah Mbah Jo menjilati pundak Ayu yang putih mulus. Udara yang dingin dan tubuh hangat pria di belakang membuat Ayu sedikit nyaman.

Tapi ini tidak aman!

“Mbaaaaahh.. aaaaah! To-tolong hentikan! Ja-jangan… ahhhhhhhh!”

Ayu semakin larut dalam cumbuan lelaki tua di belakangnya itu, lehernya yang sensitif kini tengah dijilati Mbah Jo dengan penuh napsu, bercak-bercak liur menjejak di leher indah sang dara.

Hngkh! Ayu terhenyak dan tersadar. Kenapa dia diam saja!? Kenapa dia tidak melawan? Bisa-bisanya dia tidak melawan! Dia tidak mau ini terjadi!

“Lepaskan! Lepaskaaaaaaaan!!”

Ayu meronta dan coba mendorong tubuh pria renta itu ke belakang. Dia masih muda dan kuat bukan? Lawannya hanya seorang tua bukan? Ayu mencoba menendang dan Mbah Jo terjerembab ke belakang. Ayu hendak lari dari saung, tapi tangannya berhasil digamit sang kakek tua. Ayu kembali mencoba menendang tubuh Mbah Jo.

Sayangnya Mbah Jo bukanlah sekedar simbah-simbah desa biasa.

Dengan mudahnya kaki gadis itu ditelikung dan dia terjebak. Siapa yang menduga dalam tubuh renta seorang Mbah Jo terdapat tenaga ekstra seorang pemuda perkasa? Ayu panik. Sangat panik, keringat turun, jantung berdegup kencang.

“Aaaaaaaah! To-tolooooooong!!” Ayu meronta, tapi suara teriakannya teredam oleh hujan yang deras.

Sembari menelikung tangan Ayu, Mbah Jo memeluk erat tubuh ranum sang dara. Gadis jelita itu mencoba menahan tangan Mbah Jo yang berusaha mengangkat cup branya, namun serangan lidah Mbah Jo di lehernya membuat pertahanan Ayu semakin melemah. Dia terlalu sensitif di bagian itu dan tak butuh waktu lama sebelum semua perlindungannya runtuh. Air mata Ayu turun tak terhentikan.

Tangan Ayu yang tadi kuat menahan Mbah Jo, kini terlihat berpegangan tanpa tenaga di lengan lelaki tua itu, Ayu sudah kehilangan pertahanannya, ia lemas tanpa bisa bergerak. Tubuhnya bersandar pasrah di dada Mbah Jo, kepalanya terkulai di bahu lelaki tua perkasa itu.

Mbah Jo membuka beha Ayu.

Mbah Jo tak ingin membuang waktu. Dia langsung memelintir puting gadis cantik itu. Erangan dan rintihan bergantian terdengar dari bibir menggairahkan sang dara, tubuh indah Ayu beberapa kali terhentak dan bibirnya mendesis saat Mbah Jo dengan kasar mencubit, menarik, putingnya dengan kasar.

Erangan dan desahan Ayu kian tak terhentikan. Bibir merah muda dengan lipstick tipis itu… terlalu menggairahkan untuk dilewatkan. Sang kakek tua meringis. Mbah Jo tak tahan lagi untuk melumat bibir Ayu yang teramat menggoda.

Slrp. Slrp. Slrp.

Bibir hitam menjijikkan sang kakek tua menangkup bibir Ayu. Lidahnya keluar dan menjilat, bibirnya mengecup dan mencium.

Entah apa yang terjadi, tapi Ayu juga membalas lumatan lelaki tua itu dengan penuh napsu, suara kecipak ludah keduanya terdengar indah diderai suara hujan, Mulut Ayu terbuka lebar seakan hendak memakan mulut renta Mbah Jo, Ayu pasrah menelan liur Mbah Jo yang sengaja di ludahkan ke mulut indahnya.

“Mmmhh… slrrp… mmmhh…” Ayu memejamkan mata, seperti menikmati apa yang tidak sepantasnya ia nikmati. Bibir menjijikkan Mbah Jo bagaikan permen termanis di dunia yang tidak ada taranya.

Ayu seperti terkena sirep magis yang datang entah dari mana. Ayu terhipnotis tanpa daya walaupun Mbah Jo sepertinya tidak melakukan apa-apa. Ayu sangat menikmati diperdaya sang pria tua. Ia tenggelam dalam nikmat tabu yang tak terbayangkan sebelumnya. Mana mungkin ia membayangkan tenggelam dalam nikmat yang diberikan oleh seorang pria tua.

Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama.

Entah karena apa tiba-tiba saja Mbah Jo menghentikan semuanya. Ia melepaskan diri dari Ayu, dan semua yang ia lakukan terhenti. Mulai dari remasan tangannya pada payudara Ayu sampai lumatannya di bibir sang dara jelita.

Mata Ayu terbuka.

Wajah cantiknya menyiratkan rasa penasaran dan bingung, wajah yang menunjukkan rasa kecewa seperti seorang anak kecil yang baru saja dirampas mainannya. Mbah Jo tersenyum dan mengancingkan kembali kancing kemeja Ayu.

Tangan Ayu pun menahan tangan keriput Mbah Jo. Ditatapnya lelaki tua itu dengan pandangan mata sayu. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun sudah bisa dipahami kalau Ayu menanyakan satu hal yang tidak ingin dia tanyakan.

Kenapa berhenti?

Hujan masih turun deras. Sosok anak manusia berwajah jelita dan bertubuh indah itu pun terpaksa memendam sejuta pernyataan. Ia juga heran pada diri sendiri, kenapa harus kecewa? Bukankah seharusnya ia lega?

Mbah Jo tersenyum dan mengecup dahi sang dara yang masih mengenakan kerudungnya. “Untuk sementara cukup. Kamu tidak mau dipaksa, kan? Mbah bukan kriminal. Mbah tahu kok perasaanmu. Mbah bisa memberikan kenikmatan yang tak akan terlupakan olehmu tapi hanya jika kamu menginginkannya, Nduk. Mbah tidak ingin memaksa. Kalau memang kamu mau, Mbah akan layani. Kamu tahu kemana harus datang setiap harinya nanti saat KKP berlangsung.”

Wajah Ayu terlihat muram. Ia menunduk, bibirnya bergetar, air matanya deras mengalir, mungkin sama derasnya dengan hujan yang tengah turun. Entah apa yang diinginkannya kini. Tapi satu hal yang telah disadarinya… entah bagaimana Mbah Jo telah mengunci hasrat dan syahwat tubuhnya.

Mungkin mulai sekarang, Ayu hanya bisa menuntaskan hasratnya dari seorang Mbah Jo.





BAGIAN 17 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 18
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd