Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Matursuwun updatenya suhu2. Beruntung sekali mbah Jo bisa dapetin Ayu.
 
Suwun update panjangan
Duh Ayu, ternyata kau ini diam2 binal, wkkkkkk
Semakin seru dan seru, mantep emang TS-nya
 
Pintu pintu teater syahwat mulai dibuka, penonton harap bersiap menyaksikan adegan yang "menyayat syahwat"


Aih kata menyayat syahwat itu terasa menarik, suhu double pujangga
 
BAGIAN 18 | MENGULANG TERULANG
Cerita oleh @Balanewpati | Editing oleh @killertomato






Sebuah rumah tua yang tak terawat nampak berantakan pagi ini seperti pagi-pagi lainnya. Bagi orang asing atau minimal orang yang bukan asli Kampung Bawukan dan tidak sengaja lewat depan rumah itu pasti akan mengira rumah tersebut tidak berpenghuni. Rumput liar tumbuh subur di beberapa sisi halaman. Dedaunan yang gugur dari pohon yang berada di pekarangan juga tampak berserakan dimana-mana. Daun-daun yang sudah mengering itu tidak pernah disapu. Jangankan menyapu pekarangan, menyapu lantai dalam rumah saja mungkin belum tentu sebulan sekali.

Satu-satunya yang mungkin membuat orang berpikir kalau di rumah tersebut terdapat penghuninya adalah sebuah gerobak tua yang di sisi depannya bertuliskan Martabak Mini. Meskipun sudah tua tapi mungkin hanya gerobak tersebutlah satu-satunya benda yang dirawat dengan sangat telaten oleh sang pemilik rumah. Gerobak yang menemani hampir separuh dari umurnya, tua tapi berharga, begitu banyak kenangan yang tersimpan bersama dengan gerobak tua tersebut.

Jiancok!! Kintil!! Video apaan ini?”

Pak Hasbi - sang pemilik rumah yang sudah berusia senja ternyata sedang berada di balik gerobak kesayangannya, dia tengah beristirahat sembari memainkan ponsel setelah membersihkan gerobak. Saat ini pria tua itu tampak kaget dengan berita heboh yang menggemparkan seluruh warga Kampung Bawukan. Dengan asyik, sang pria tua sesekali men-zoom-in dan zoom-out video yang tengah dia putar karena penasaran dengan sosok yang berada di dalam video tersebut.

Putihe rek, jian tanpa cela, ayune puol, kalau perempuannya seperti ini mana mungkin ada yang bisa menahan diri. Kampret emang si Juki. Tapi dasar ****** pol! Juki ga main rapi, bisa-bisanya video seperti ini bisa tersebar,” Pak Hasbi meringis sembari berbicara dalam hati, “pengalaman memang tidak bisa berbohong, hahaha.”

Sang pria tua tersebut meracu panjang yang diakhiri dengan kalimat memuji diri sendiri.

Tentu saja dia membandingkan apa yang terjadi di dalam video yang baru saja dia terima dari salah satu warga Kampung Bawukan tersebut dengan keberhasilannya semalam menaklukan salah satu ibu muda cantik yang juga sama-sama penghuni cluster kembang arum sari.

Keduanya berbeda jauh, tentu saja.

Jika Pak Hasbi bisa bermain dengan rapi, maka apa yang terjadi di dalam video yang tersebar seperti sebuah rencana yang tidak terencana dengan baik.

Hal paling mendasar yang menjadi pertanyaan tentu saja adalah bagaimana bisa ada yang mendokumentasikannya? Apakah itu memang disengaja lalu tidak sengaja tersebar? Atau memang orang yang mendokumentasikannya sebenarnya tidak terlibat langsung dengan perbuatan si Juki dengan si perempuan, yang artinya perbuatan mereka berdua tidak rapi hingga diketahui oleh orang lain?

Banyak pertanyaan, belum ada jawaban.

Wes mbuh lah, ra peduli dengan si Juki. Tapi kalau dilihat lebih jelas lagi, lonte ini kan… siapa ya namanya? Nita? Nina? Eh, bukan. Nisa atau siapa ya? Iya, kalau tidak salah Nisa namanya, aku beberapa kali lihat dia bareng Shinta belanja di warung Mbok Jum. Ayu banget. Kalau tidak salah sudah punya anak dua. Masih kenceng aja tubuhnya. Pasti memeknya legit ini. Kampret si Juki.

Pak Hasbi mencoba mengingat-ingat. Dia sebenarnya malas mengingat-ingat sesuatu yang tidak penting baginya. Akhir-akhir, mengingat-ingat sesuatu adalah kegiatan melelahkan.

Kalau tidak salah sama lonte satu lagi namanya… A-amy ya? Iya… iya… Amy. Ah, mereka bertiga itu memang kumpulan primadona-nya cluster Kembang Arum Asri. Ibu-ibu muda yang selalu menjadi buah bibir Kampung Bawukan dan Kampung Growol sana. Semua laki-laki dewasa pasti punya cita-cita buat ngenthu mereka bertiga, dan aku beruntung sudah nyobain salah satunya, wahahahahahaha.”

Pak Hasbi terdiam. Ia kembali menikmati video di ponselnya. Ia menghentikan adegan, lalu memperbesar wajah Nisa yang jelita.

Tapi…kok aku tetap penasaran yo. Apa iya wanita yang berada di dalam video ini benar-benar Nisa? Atau hanya perempuan lain yang memiliki wajah dan perawakan yang mirip? Atau…

Pak Hasbi mendengus, lalu tersenyum sadis.

Daripada bertanya-tanya, aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku harus mencari tahu berita yang lebih akurat dari Shinta langsung. Si seksi itu pasti tahu kejadian yang sebenarnya. Siapa tahu tidak hanya Shinta yang bisa aku kenthu. Wahahahaha.”



.::..::..::..::..::.



Langit mulai gelap, suasana terasa tidak nyaman di cluster Kembang Arum Asri.

Shinta sedang bersantai di dalam kamarnya yang nyaman setelah menyusui sekaligus menidurkan buah hatinya. Jam-jam seperti ini memanglah waktu untuk dirinya istirahat setelah seharian bercapek ria mengurus rumah tangga. Apalagi bagi seorang ibu muda dengan anak yang masih kecil seperti Arga seperti tidak ada kesempatan untuk melakukan apapun, semuanya nonstop.

Arga adalah anak balita yang belum genap satu tahun, sudah bisa merangkak tapi belum bisa berjalan. Usia seperti itu adalah masa-masa yang harus selalu dalam pengawasan. Meleng sedikit bisa-bisa Arga terjatuh atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

Untungnya pola tidur Arga sudah mulai teratur dan masih cukup panjang. Biasanya sore hari seperti ini si kecil itu akan tidur sampai menjelang magrib. Bahkan tidak butuh waktu lama karena siangnya sudah sibuk bermain, jadi kalau sudah jam segini tinggal disusui sebentar pasti langsung tidur.

Sambil berbaring malas di samping tubuh mungil buah hatinya, Shinta kembali membuka handphone. Tujuan utamanya tentu saja adalah grup WA Keluarga Besar Cluster Kembang Arum Asri.

Dia masih tidak percaya dan tidak menyangka juga bagaimana bisa wanita yang ada di dalam video tersebut melakukan hal yang tidak terpuji dan membuat gempar seluruh warga di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

Bahkan siang tadi dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kisruhnya warga Kembang Arum Asri, kampung growol, dan Kampung Bawukan melakukan demo di depan rumah Nisa. Wajar sih memang jika warga langsung tersulut emosinya saat menyaksikan sendiri video syur tersebut, apalagi bagi keluarga atau kerabat terdekat baik dari sisi Nisa maupun Mang Juki.

Ngomong-ngomong soal perbuatan tidak terpuji, Shinta justru kembali mengutuk dirinya sendiri. Dia merasa tidak enak karena sempat ikut berpikir yang tidak-tidak tentang Nisa, wanita yang sudah dianggap seperti kakak kandungnya sendiri. Padahal, dirinya sendiri saat ini juga sudah sangat ternoda. Bagaimana tidak, baru semalam ada pria selain suaminya yang bisa menyemprotkan air mani ke dalam liang senggamanya. Kalau bukan perbuatan tidak terpuji, apalagi istilah yang tepat untuk perbuatan tersebut?

Meskipun Shinta merasa sangat kotor, namun rasa bencinya terhadap seorang wanita lain yang bernama Intan ternyata jauh lebih besar. Rasa cemburu yang sudah terakumulasi sejak sekian lama itu menggunung menjadi satu bak gunung api aktif yang siap erupsi kapan saja. Rasa amarah itu redup siang tadi, sakit hati Shinta sedikit terobati saat mendengar cerita dari Sabrina, mantan kakak iparnya, yang bercerita bagaimana dia melabrak perempuan tidak tahu diri tersebut.

Tepat setelah video syur itu tersebar siang tadi di grup keluarga besar Kembang Arum Asri, Shinta sebenarnya ingin langsung menghampiri Nisa. Apapun kebenarannya dia merasa harus segera berada di sana bersama dengan Nisa.

Kalau berita itu benar, dia ingin dengar dari yang bersangkutan langsung. Jika berita itu salah, maka sebagai seorang tetangga baik sekaligus seseorang yang sudah dianggap adik sudah menjadi kewajibannya untuk menenangkan sang kakak. Dan tentu saja sebuah support pada momen berat seperti ini pasti sangat berarti.

Sayangnya kondisi rumah Nisa pagi menjelang siang tadi sangat kacau. Hampir chaos. Masa yang berkumpul sangat banyak, dan semuanya berkerumun penuh dengan amarah. Apalagi dengan Mpok Winda, istri dari Mang Juki. Sempat berkali-kali wanita menjelang paruh baya itu memaki-maki Nisa dengan kalimat-kalimat kasar.

Lonte!!

Pelacur!!

Kerudung Dusta!!


Shinta juga berusaha menghubungi kakaknya yang satu lagi, Amy, namun entah kenapa sudah coba dihubungi berkali-kali panggilan Shinta tidak terjawab. Ingin menghampiri ke rumah Amy pun dia tidak berani karena kacaunya keadaan di luar. Serba salah.

Dia takut kalau harus membawa Arga pergi, tapi juga tidak mungkin meninggalkan anaknya sendiri di rumah. Akhirnya sampai sore hari dia hanya bertukar kabar dengan sang suami. Dia sudah mewanti-wanti pada suaminya itu untuk segera pulang begitu pekerjaan selesai di kantornya. Shinta masih takut kalau-kalau terjadi perbuatan anarkis lanjutan.

Terdengar suara mobil berhenti di luar rumah.

Hal yang ditunggu-tunggu Shinta pun datang juga. Apalagi kalau bukan kepulangan suaminya dari tempat kerja. Shinta melirik jam dinding. Tapi… kok secepat ini? Biasanya jam segini dia belum pulang.

Tapi Shinta masa bodoh. Yang penting suaminya pulang cepat hari ini. Dia pun langsung bergegas ke depan.

Karena tidak mau kejadian semalam terjadi kembali, Shinta menyambut kedatangan sang suami dengan pakaian yang jauh lebih sopan. Bahkan kalau dilihat sekilas justru agak aneh bagi seorang istri menyambut kedatangan suami sendiri dengan baju yang serba tertutup seperti ini.

Dengan muka ceria, Shinta membuka pintu depan rumahnya. Sama seperti semalam, raut wajahnya malam ini kembali dibuat kaget dengan keberadaan orang lain yang bersama dengan suaminya itu.

Tapi untungnya orang lain tersebut bukanlah Pak Hasbi. Pria tua yang memperkosanya semalam. Karena orang bersama dengan Ardian tersebut ternyata adalah…

“Lho!? Mbak Sabrina?”

“Haaaaai!”

“Ih! Kok ga bilang-bilang sih kalau mau mampir? Ya ampun seneng banget deh Mbak mau main ke sini, baru juga siang tadi rencanain mau ketemuan, ternyata bisa terealisasi secepat ini, iihhh sengaja ya kasih kejutan?”

Shinta memberondong Sabrina dengan begitu banyak pertanyaan. Belum sempat dijawab pun Shinta sudah langsung memeluk erat mantan kakak iparnya tersebut. Terasa sekali buah dada keduanya sama-sama saling tergencet satu sama lain.

“Hihihi, dadakan kok, Say. Tadi pas mau balik ke kantor kok kepikiran mau main ke sini dulu. Kebetulan Ardian bilang mau pulang cepet, ya udah sekalian aja.”

“Wah kebetulan sekali ya, tapi seneng deh pokoknya bisa ketemu sama Mbak Sabri yang makin hari makin cantik aja, hehehe,” balas Shinta masih dengan memeluk tubuh mantan kakak iparnya tersebut.

Tanpa disadari baik oleh Shinta maupun Sabrina, Ardian menatap dua wanita cantik yang saling berpelukan melepas kangen itu dengan sorot mata yang berbeda. Memang sakit suami si Shinta ini.

Jika semalam dia terangsang hebat saat melihat Shinta digauli dengan brutal oleh Pak Hasbi, sore ini tanpa dia sadari ada getar-getar aneh yang menjalar di tubuhnya yang membuatnya bergairah saat tiba-tiba melihat buah dada milik istrinya itu berlama-lama berdempetan dengan buah dada milik Sabrina. Getaran aneh itu membawa semacam sensasi gila yang membuat fantasi liarnya membuncah kemana-mana. Pikiran gila Ardian sepertinya makin menggila setelah kejadian semalam.

Sabrina seksi juga ya. Bagaimana rasanya di tempat tidur ya? Bodoh banget mantannya melepas bidadari seperti ini untuk dikawinin oleh cowok lain. Tolol banget.

Tapi karena tidak ingin perasaannya disadari oleh dua wanita di depannya itu, Ardian langsung membuang jauh-jauh pikiran tersebut dan berakting biasa-biasa saja. Apalagi meskipun Shinta tidak mengutarakan secara langsung, Ardian sadar kalau istrinya tersebut masih sangat shock dengan peristiwa yang terjadi semalam. Shinta memang tidak menceritakan apa-apa tapi rasa canggung itu tetap ada.

“Kalian berdua mau sampai kapan berpelukan di pintu? Ini bawaannya berat lho,” kata Ardian yang

“Hihihi, iya yah? Ya udah yuk, masuk dulu, Mbak. Mbak mau nginep kan?”

Mereka bertiga lalu masuk ke rumah bersama-sama. Shinta menggandeng Sabrina ke dalam, sementara Ardian memasukkan tas kerja dan beberapa tas lain.

“Gak bisa dong, Say. Aku mesti pulang hari ini. Pertama ga bawa baju ganti, kedua belum pamit sama orang rumah, nanti dicariin repot deh.”

“Kan tinggal bilang nginep di sini, Mbak? Mas Andre pasti setuju.”

“Ya kan ga segampang itu juga, Say. Mas bojo sih oke, lha anak-anak gimana? Kamu nanti bakal ngerasain kalau Arga udah TK atau SD. Eh, ngomong-ngomong keponakan Mbak yang ganteng itu mana yah? Kok ga keliatan?”

“Yah jam-jam segini jamnya Arga tidur, Mbak.”

“Yaaaah, sayang banget. Padahal kangen banget nih. Pengen bisa main bareng sama si ganteng Arga, huhuhu.”

“Masuk ke kamar aja yuk mbak kalau mau lihat, ganteng loh dia sekarang.”

“Bapaknya siapa dulu,” sahut Ardian dari ruang tamu. Dia tidak ikut langsung masuk karena selain sedang meletakkan barang-barang dari mobil, ia juga canggung kalau Sabrina masuk ke dalam kamarnya.

“Huuu. Narsis!”

“Hihihi, lah kalau bukan dari bapaknya, dari siapa lagi, Say?”

“Udah ah mbak, lagi males sama abang,” bisik Shinta pelan.

Sabrina dan Shinta pun masuk ke dalam kamar. Sayang sekali Arga sedang tidur sehingga Sabrina tidak bisa meluapkan rasa kangennya dengan lebih dalam. Dua ibu yang berbeda usia sekitar lima tahunan itu saling bertukar cerita sehari-hari. Agak lucu memang, karena kalau mereka telponan pun yang diceritakan itu-itu juga. Tapi begitulah namanya perempuan, hal yang sudah biasa diceritakan pun akan tetap terasa menarik saat bisa menceritakannya secara langsung.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka berdua lalu keluar, harapannya agar tidak mengganggu Arga yang sedang tidur. Saat mereka berdua tiba di ruang tamu gantian Ardian yang masuk ke dalam kamar.

“Mau kemana, Ar?” tanya Sabrina.

“Bebersih, Mbak. Badannya serasa lengket. Kenapa memang?” tanya Ardian balik.

“Oh, enggak, kirain ga senang aku berada di sini,” balas Sabrina.

“Ya enggak lah, masa ga senang Mbak Sabri ada di sini, ada-ada aja mbak ini.”

Ardian pun meninggalkan mereka berdua. Dua ibu muda cantik itu itu kemudian duduk berdampingan di sofa panjang ruang tamu. Saat itu barulah Shinta sadar sedari tadi ia belum menjamu sang kakak ipar.

“Eh iya, sampai lupa ditawarin minum,” ucap Shinta.

“Apaan sih, Say. Udah ga usah repot-repot, air putih ini aja,” balas Sabrina yang langsung mengambil sebotol air mineral yang memang selalu tersedia di dekat ruang tamu. Sebagai mantan anggota keluarga, Sabrina ternyata masih hapal lokasi apa-apa saja di rumah Shinta.

“Bener air putih aja?”

“Iya, udah sih santai aja.”

“Oke deh, eh ngomong-ngomong…” ucap Shinta sambil melirik ke arah dalam. “Mba Sabri lagi ada masalah pekerjaan dengan si Abang?”

“Masalah apa? Enggak Lah, kok kamu nanya begitu?”

“Ya enggak, soalnya tadi kayaknya ngobrolnya enggak santai gitu.”

“Hahaha, itu toh? Ga tahu juga sih, tadi aku iseng aja mancing dia. Soalnya suamimu itu dari siang ga tahu kenapa mukanya bete terus. Nah pas tadi aku bilang mau nebeng sekalian main ke sini makin bete dah tuh muka, ya ga tahu ya, cuma kepikiran aja bisa jadi si gatel Intan itu ngadu ke suamimu, soalnya kebetulan banget ga siiih…? Siang si cewek dilabrak, sorenya si cowok incaran bete.”

“Masa sih abang jadi bete, Mbak? Dia marah-marah gitukah di tempat kerja?”

“Aku ga merhatiin jelas sih, tapi masuk akal banget kan, Say? Sumpah rasanya makin tambah kesel sama tuh Intan gatel, pengen labrak lagi jadinya, huh!”

“Intannya sendiri tadi gimana di kantor?”

“Duh, itu masalahnya, aku tadi lumayan sibuk. Kan aku juga datang ke situ buat audit, jadi ga merhatiin detail mereka ngapain aja. Tapi tadi sih dari siang sampai sore aku ga lihat lagi tuh perempuan gatel kemana.”

“Dinas keluar?”

“Bisa jadi.”

“Itu kali yang bikin abang bete yah, ditinggal pergi Intan, ihhh sebel sebel sebel!!”

“Sabar say, perempuan itu pasti tidak berani lagi deketin suami mu, soalnya aku udah ancam dia, kamu tenang aja. Kalau ada masalah lagi, bilang aja. Aku bisa ambil jalur tindakan lewat perusahaan. Ardian tidak akan berkutik kalau HRD sudah turun tangan.”

“Iya mbak makasih banyak ya.” Shinta tidak mengira Sabrina akan sejauh itu turun tangan.

“Sama-sama. Tapi…”

“Tapi kenapa mbak?”

“Aku masih ga percaya dengan ceritamu tadi siang.”

Wajah Shinta memerah. “Suer mbak, buat apa juga aku bohong. Sumpah demi…”

“Tidak perlu sumpah. Aku selalu percaya kok sama kamu. Yang bikin heran itu kenapa Ardian diem aja gitu kamu di… ehem… sama Pak Hasbi?”

“Tapi kenyataannya begitu mbak, gak mungkin abang ga sadar, tapi dia diem aja. Aku bener-bener shock.”

“Hmmm. Kamu pernah dengar istilah cuckold?”

Cuckold? Apa itu? kayaknya baru pertama denger deh…”

Sabrina tersenyum, Shinta memang lugu dan naif, “Duh, kudet banget sih kamu sama yang beginian, kalau dari artikel yang pernah aku baca, cuckold itu semacam kelainan perilaku sexual yang justru malah sangat terangsang hebat saat melihat pasangannya berhubungan sexual dengan orang lain.”

“Ihh! amit-amit, masa ada sih kelainan seperti itu?”

“Lah, itu kamu lihat dengan mata kepala sendiri.”

“Aku masih kepikiran kalau Bang Ardian jadi secuek itu semua karena si gatel Intan sih, Mbak. Makanya aku ga berani bahas ini dengan Abang karena pasti percuma. Abang pasti akan belain perempuan gatel itu mati-matian.”

“Masuk akal sih, tapi kalau aku sih cenderung melihatnya kalau suamimu itu… maaf-maaf aja ya, punya kelainan seksual, no offense ya, just in my humble opinion. Tapi ini kemungkinan saja, semacam fetish aneh begitu. Dia jadi ngaceng justru ketika lihat istrinya di-ewe sama orang lain yang secara status sosial lebih rendah.”

“Gitu yah?” Shinta melongo.



“Ini masih kemungkinan lho yaa. Tapi ada kemungkinan di dalam permasalahan ini ada peran Intan juga, tapi setahu Mbak perilaku seperti itu tidak mungkin terjadi karena pengaruh wanita lain. Bahwa Intan mendapatkankan perhatian lebih dari Ardian itu betul, tapi tidak mungkin Ardian mendapatkan penyimpangan seksual seperti itu dari Intan. Jadi hal itu muncul antara dari diri sendiri atau dari…”

“Pak Hasbi?” ucap mereka berdua berbarengan.

“Apa mungkin Pak Hasbi mencuci otak suamimu?” Sabrina mengetuk dagunya dengan telunjuk bak seorang detektif.

Kali ini Shinta yang skeptis, “Halah. Apa mungkin Pak Hasbi mengerti konsep cuci otak, Mbak? Cuci baju seminggu sekali aja belum tentu beres. Dia bener-bener jorok dan kotor. Badannya juga bau kayak jarang mandi.”

“Hihihi, ga gitu juga kali korelasinya, hihihi.” Sabrina melirik dan mengedipkan mata ke arah Shinta, “Jadi…gimana rasanya, Say?”

“Ra-Rasa apanya? Mulai deh…” wajah Shinta memerah. Ia benar-benar malu. Sesuatu seperti zina sebenarnya tidak baik dibicarakan dengan siapapun karena merupakan dosa besar. Tapi Sabrina sepertinya sudah paham dengan hal itu. Lirih Shinta berucap, bak bisikan, “Rasa apanya, Mbak?”

“Pisang tanduknya? hihihi.”

“Kan…”

“Cerita dong. Bener-bener penasaran.”

“Kalau nepsong sendiri ga tanggung ya…”

“Iya…”

“Ya gitu deh. Gede banget segede-gedenya. Jadi penuh banget lah rasanya, sampai sesak, apalagi pas awal-awal, rasanya kayak diperawani untuk yang kedua kalinya mbak, sakit, perih…”

“Tapi abis itu enak kan?”

“Enak ga enak mbak, dibilang ga enak tapi memang enak, dibilang enak tapi kok rasanya masih ada yang nyesek.”

“Itu wajar, Say. Namanya juga perempuan, apa-apa serba pakai perasaan, kita ini sebagai perempuan kan pasti dengan senang hati melayani suami-suami kita, mau dipakai kaya gimana pasti seneng-seneng aja, tapi kalau di colek dikit aja sama pria lain pasti ga terima kan?”

“Pastinya…”

“Tapi meskipun kita ini perempuan, kita juga tetap manusia biasa, Say. Psunya rasa iri, rasa cemburu, dan rasa ingin membalas dendam.”

“Maksud mbak?”

“Masalahmu dengan Intan itu memang masalah yang harus diselesaikan karena menyangkut orang ketiga. Tapi masalahmu dengan Pak Hasbi itu juga sangat pelik dan seharusnya diperbincangkan dengan suamimu secara empat mata. Kalian sebenarnya tahu sama tahu ada yang aneh di sini. Suamimu menikmati kamu ditidurin laki-laki tua buruk rupa berkontol raksasa dan kamu menikmati di-ewe sama si Shrek itu.”

“Jujur aku bingung, Mbak.” Shinta menunduk, antara malu, risih, sekaligus merasa amat berdosa. “A-aku sudah berdosa. Aku berselingkuh. Aku bukan ibu yang baik buat Arga. Aku gagal jadi istri yang setia dan seharusnya menjaga mahkota, tapi malah merenggangkan kaki buat pak Hasbi.”

“Duh, adikku yang cantik ini ternyata lemotnya cuma berkurang sedikit dari sebelum-sebelumnya.”

“Kan memang kenyataannya seperti itu.”

“Inilah yang harus kamu manfaatkan. Jadi coba bayangkan seperti ini, suamimu itu selama ini sudah membuatmu makan hati terus dengan kedekatannya dengan si gatel Intan, sekarang ditambah lagi punya penyakit seperti semalam. Apa kamu tidak punya niatan untuk menuntaskan semuanya? Membalas dendam?”

“Membalas dendam? Sama abang? Kenapa? Ba-bagaimana caranya? Untuk apa?”

“Ya… sebenarnya ga ada tujuan untuk apa-apa sih kalau kalian berdua sama-sama menikmati fetish aneh kalian, tapi apa kamu tidak ingin keadaannya jadi lebih seimbang?”

“Ta-tapi maksud mbak balas dendam itu dengan cara gimana?”

“Duh, bener-bener deh, maksud mbak ya dengan menikmati saja semua permainan suamimu itu say, duh gimana sih?”

Jantung Shinta berdebar kencang karena sebenarnya ia sudah menduga apa yang hendak diusulkan oleh Sabrina. Bagi Shinta, masalah sebenarnya adalah sebuah konfirmasi, ia bertanya lagi, “A-apa maksud Mbak aku sebaiknya menikmati setiap apapun perlakuan Pak Hasbi?”

“He’em.”

Betapa ngerinya Shinta saat melihat Sabrina mengangguk.

“Nanti kalau bang Ardian mikir macam-macam gimana? atau jangan-jangan dia hanya mau mengetes aku aja gimana?”

“Duh, logikanya! Ngetes buat apa coba? Kalau dia mau mikir macam-macam, ya kamunya jangan pasrah-pasrah amat. Melawan dikit gitu bikin drama, bukannya malah seru ya? hihihi.”

“Mbak masih suka nonton film porno pasti ini makanya ngomongnya gitu,” sergah Shinta.

Secara tidak langsung dia berusaha menepis masukan dari mantan kakak iparnya itu. Tapi dari dalam hatinya tiba-tiba terbersih sebuah pikiran gila yang entah datang dari mana, dan pikiran gila tersebut adalah…

Bagaimana kalau aku bisa memanfaatkan Pak Hasbi untuk memberi pelajaran pada si Intan itu? Dengan iming-iming tubuhku, Pak Hasbi pasti tidak akan menolak kalau aku suruh dia untuk…ya…mungkin melecehkan Intan, sukur-sukur Pak Hasbi mau menculik perempuan gatal itu, menyekapnya berhari-hari di hutan, memperkosanya berkali-kali sampai depresi, lalu jadi orang gila, Bang Ardian tidak akan meliriknya lagi.

“Kenapa? Apa kamu sudah kebayang usulanku?” tegur Sabrina yang membuat lamunan Shinta akan Pak Hasbi langsung buyar. “Atau… si mungil Shinta sang ibu muda mempesona sedang kebayang pentungannya Pak Hasbi yang burik?”

“Idih! Apaan sih, Mbak. Enggak, lagi kepikiran aja. Kalau misal aku panggil Pak Hasbi-nya kesini, lalu aku minta Aki-aki itu buat make tubuh mbak Sabrina aja gimana ya? buat gantiin tubuhku, hahaha.”

“Lah, dodol, tega bener Mbak yang dijadikan tumbal.”

“Lagian kasih masukan aneh-aneh aja, hahaha.”

Sekali lagi Shinta menepis masukan dari Sabrina tadi. Tapi di dalam hatinya dia sudah membulatkan tekad dengan akan memanfaatkan Pak Hasbi untuk memberi pelajaran pada Intan. Perkara apakah dia akan menerima dan menikmati kelainan suaminya itu akan dipikirkan nanti.

Rasa cemburu yang sudah menyelimuti hatinya itu ternyata membuat Shinta gelap mata. Apapun akan dilakukan demi membuat hidup Intan tidak bahagia lagi.



.::..::..::..::..::.



Dua jam berlalu dengan begitu cepat. Tepatnya pukul lima lewat lima belas, Sabrina pamit untuk pulang. Sudah beberapa kali Shinta merayunya untuk menginap, namun Sabrina tidak bisa mengabulkan permintaan itu karena kedatangan Sabrina kali ini yang dadakan. Seperti yang Shinta tahu, Sabri juga punya keluarga yang harus diurus.

Awalnya Sabrina ingin pulang sendiri, meskipun cukup jauh tapi tidak masalah baginya. Meskipun berada di daerah pinggiran dan terletak di kaki gunung, akan tetapi kemajuan teknologi jaman sekarang tidak mengenal jarak dan lokasi. Hampir semua masalah bisa teratasi dengan solusi online.

“Dianter Abang aja, Mbak. Kalau naik taksi online sampainya pasti malam ih, takut ah kalau ada apa-apa di jalan, bayangin aja mereka mesti naik ke sini dulu, lalu balik ke bawah, baru deh nganterin Mbak ke kota sebelah,” tawar Shinta kembali. Tentu saja dia tidak tega bila harus melihat wanita yang sudah menjadi bestie nya itu pulang sendiri dengan jarak yang cukup jauh, malam-malam pula.

“Ga usah ah, takut ngerepotin, aku pesen taksi online aja.”

“Apa ga mahal? mending buat jajan Rizki.”

“Kan bisa di reimburse, hihihi.”

“Tapi…”

Di saat Shinta mulai kehabisan akal untuk merayu mantan kakak iparnya itu, tiba-tiba terdengar pintu gerbang rumahnya ada yang membuka. Tentu saja mereka bertiga kaget. Tidak satupun dari mereka bertiga yang sedang menunggu kerabat baik dekat maupun jauh, jadi sangat aneh kalau ada tamu yang tiba-tiba nyelonong masuk. Dengan kompak mereka bertiga berdiri dan melongok ke arah luar.

“Lah?”

Seorang aki-aki tua dengan dandanan yang cukup necis berjalan dengan riang menuju ke dalam rumah. Wajahnya tampak segar, pria tua itu pasti baru selesai mandi. Rambutnya tampak klimis sedikit basah dan disisir dengan rapi. Ia memakai baju batik yang meskipun lusuh dan memudar, mungkin merupakan pakaian terbaik dan terbersih miliknya.

Pak Hasbi!?

Shinta mengerutkan kening melihat pria yang kemarin menyetubuhinya itu. Ada angin apa ini? Kenapa dia dandan seperti mau ke kondangan?

“Selamat sore semuanya… weladalah, rupa-rupanya ada tamu,” ucap salam Pak Hasbi tanpa sadar bahwa dirinya sendiri juga adalah seorang tamu di rumah itu.

“Eh, ada Pak Hasbi. Tumben rapi bener, Pak? Perasaan hari ini tidak ada undangan hajatan di sekitar sini.”

“Hehehe, bisa aja Mas Ardian.”

“ini beneran Pak Hasbi kan? hehehe,” goda Ardian.

“Bukan mas, saya ini lelembut jadi-jadian penunggu kebun belakang komplek yang lagi nyari bidadari-bidadari cantik, ternyata ada di sini, hahaha.”

Shinta tadinya hampir tertawa mendengar lelucon dari pria tua tersebut, tapi tentu saja dia menahan diri mati-matian karena harga dirinya yang masih tinggi. Sedangkan Sabrina yang mulai sadar kalau pria tua di depannya itu adalah si kuda liar Hasbi yang baru saja membuat selangkangan mantan adik iparnya susah untuk dirapatkan itu hanya bisa mengulum senyum mendengar tingkah konyol sang pria tua.

Apakah dia datang rapi begini untuk… memenangkan hati Shinta?

“Dua-duanya ini sudah ada yang punya Pak, jangan macam-macam,” balas Ardian.

Shinta mencibir tanpa diketahui siapapun.

Tumben ngomong begitu, biji salak? Semalam aja aku digagahi, disodok depan belakang, tubuhku dibolak balik udah ga tau seperti apaan tahu di depan mata kamu. Tapi kamu malah diem aja bang? Pencitraan banget sih mentang-mentang ada mbak Sabri? Kamu pikir istri semacam apa aku ini?

“Makanya menurut saya beruntung sekali bagi dua pria yang sudah berhasil memiliki kedua bidadari ini, Mas, hehehe.”

“Begitu ya, Pak. Hahaha. Untung salah satunya punya saya.”

“Ngomong-ngomong, sedang apa nih Mbak-Mbak dan Mas bertiga berdiri di depan pintu? Apa sedang ada keperluan hendak bepergian bersama?”

Ardian tersenyum dan menggeleng, mau tau aja nih aki-aki kepo, “Hahaha. Ah iya, sebelumnya kenalin dulu, Pak. Ini namanya Mbak Sabrina, kerabatnya Shinta, sore tadi bertamu ke rumah saya dan ini lagi mau pulang.”

“Oalah, ngono? lha mbak nya yang cantik ini tinggal dimana toh?”

“Saya tinggal di kota lain, Pak. Ini hanya mampir saja pas ada kegiatan di sini. Kebetulan saya kerja di perusahaan yang sama dengan Ardian.”

“Oalaaah, nggih nggih. Lha terus ini udah mau malam mau pulang naik apa?”

“Tinggalnya di kota sebelah, Pak. Saya mau naik taksi online, ini baru mau pesan…”

Pak Hasbi geleng kepala sembari mendorong pelan bahu Ardian dengan gestur bercanda, “Weleh-weleh, sampeyan niku piye to mas, lah moso ada mbakayu… eh, siapa tadi namanya?”

“Sabrina Pak,” balas Sabrina sendiri.

“Nah, moso yo Mbak Sabrina disuruh pulang sendiri, mbok yo diantar gitu…”

“Tadi sudah dipaksa sama Shinta, Pak. Tapi ini Mbak Sabrina-nya sendiri yang ga mau.”

“Lho-lho… Mbak Sabrina. Hati-hati loh, biar kata njenengan percaya sama supirnya, tapi tetep harus waspada. Ingat kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan hanya adanya niat dari pelaku, tapi karena adanya kesempatan. Belum lagi dari sini ke sana kan lewat hutan lereng Gunung Mandiri. Sudah jauh, sepi juga kalau malam, lah terus kalau nanti pak supire khilaf terus terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, piye? Sopo seng meh nanggung? Yaaa, saya ini khawatir aja. Soale Mbak Sabrina ini cantiknya bukan main.”

“Tuh kan, Mbak Itu juga yang aku khawatirkan sedari tadi,” sela Shinta yang baru sekali ini mendukung pernyataan Pak Hasbi setelah hanya diam saja dari tadi.

“Hmm… gimana ya? Kamu beneran ga apa-apa nganterin aku?” tanya Sabrina pada Ardian.

“Ga apa-apa, gampang aku mah, yang penting sudah dapat ijin dari Shinta, hahaha.”

“Bener Shin, ga ngerepotin?”

Shinta menggeleng, “Udah ga apa-apa, kalau buat nganterin Mbak Sabri aku sih masih ikhlas, kalau buat perempuan lain, apalagi si itu, hmm… awas aja.”

“Mulai lagi… kan Abang udah sering jel…”

“Au ah!!”

“Ya udah, mumpung ada Pak Hasbi di sini, gimana kalau selama Abang nganter Mbak Sabrina, kamu ditemenin dulu sama Pak Hasbi, kan kamu tadi yang minta Abang pulang cepat karena takut, kan?”

“Eh, ga gitu juga kali, Bang? Masa iya aku berdua doang di rumah sama…” protes Shinta yang tidak suka dengan ide gila suaminya itu. Lelaki normal manapun tentu saja tidak suka jika pasangannya berduaan dengan pejantan lain. Lah ini suaminya sendiri malah minta dia ditemani oleh predator tua seperti Pak Hasbi. Ardian memang sudah benar-benar gila. Pikirannya kotor banget.

“Sudah Shin, biar sama-sama aman. Kan kamu sendiri yang cerita kalau tadi siang hampir saja terjadi kerusuhan di komplek ini. Siapa yang bisa jamin kalau malam ini tidak ada keramaian lagi? Atau kalau engga Ardian ga usah jadi nganter deh, mending aku pulang sendiri dari pada kamunya yang sendirian di rumah.”

Shinta tampak risau dengan situasi saat ini. Dipikirnya dengan pembelaan dari Ardian tadi, suaminya itu tidak akan memberikan ide gila kembali kepada si aki-aki tua. Tapi nyatanya, ini malah dengan jelas menyuruh si bangkot tua menemaninya berdua di rumah. Ini sih sama saja mengumpankan dirinya pada si makhluk buruk rupa.

“Abang, ih! Kenapa jadi begini sih? Memangnya Abang percaya sama Pak Hasbi? Nanti kalau tiba-tiba dia…” bisik Shinta yang langsung dihentikan oleh Ardian.

“Pak Hasbi kan orangnya baik. Kita sudah lama kenal beliau, Mama tenang aja. Atau kalau Mama memang tidak nyaman ya udah Abang di rumah aja.”

Shinta tampak semakin kesal. Bisa saja suaminya itu memainkan kartunya. Dia juga tidak ingin Sabrina pulang sendirian.

“Ya sudah deh kalau gitu, tapi nanti pulangnya hati-hati dan langsung pulang.”

“Hehehe, iyalah mau kemana lagi, Mama tenang aja.” Ardian menepuk pundak Pak Hasbi, “Pak, aku titip istri ku sebentar ya.”

“Hehehe, tenang saja, Mas. Pasti saya jaga baik-baik.”

“Ma, jangan lupa buatin Pak Hasbi kopi biar kuat melek nemenin Mama, hehe.”

“Iya…” balas Shinta sewot.

Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan, Sabrina pun pamitan. Saat cipika cipiki dengan Shinta, tak lupa perempuan beranak dua itu membisikan ide konyolnya sore tadi. Shinta membalasnya dengan sebuah cubitan di pinggang Sabrina. Sabrina tampak puas karena bisa menjahili perempuan yang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri itu.

Ardian dan Sabrina pun berangkat, menyisakan Shinta dan Pak Hasbi di ruang tengah mereka, dan Arga di kamar yang masih tidur.

“Memang kalau sudah jodoh itu semua terasa gampang yo, Nduk? Ada saja sesuatu yang bisa bikin kita berdua sayang-sayangan. Hahaha.”

“Bapak jangan macam-macam yah, mentang-mentang bang Ardian udah ngijinin bapak nemenin aku bukan berarti Bapak bisa ngelakuin apapun ke aku,” ancam Shinta. Ancaman yang terdengar sangat naif. Mana mungkin ancaman seperti itu membuat predator tua seperti Hasbi gentar. Yang ada justru semakin penasaran untuk bisa menggagahinya kembali.

Namun, kalimat yang diucapkan oleh ibu muda yang cantik jelita tadi ternyata memang disengaja. Dia sengaja membuat Pak Hasbi semakin penasaran dengan dirinya guna untuk membuat posisi tawarnya semakin kuat. Posisi tawar yang semakin kuat untuk memastikan rencananya membuat hidup Intan sengsara berjalan dengan mulus.

“Dari pada ngomel-ngomel begitu, mending kamu buatkan dulu saja kopi buat aku, cah ayu, malam masih panjang,” balas Pak Hasbi dengan santai. Pria tua itu lalu duduk dengan santai di sofa ruang tamu rumah Shinta setelah sebelumnya mencolek dagu Shinta.

Shinta memendam perasaannya dalam-dalam. Dia punya sesuatu yang harus diselesaikan dengan memanfaatkan sang pria tua cabul ini.

Tunggu saja Intan! kamu pasti akan merasakannya! kamu sudah salah mendekati suami orang.

Shinta menyeringai jahat setelah membalikkan badan mungilnya dan berjalan menuju dapur. Wanita yang biasanya tampak polos dan innocent itu seketika berubah menjadi seperti nenek lampir yang dipenuhi dengan pikiran dengki.



.::..::..::..::..::.



Sesaat setelah Shinta membuatkan Pak Hasbi segelas kopi setelah suaminya berangkat mengantar Sabrina, tiba-tiba Arga terbangun dari tidurnya.

Pak Hasbi yang tadinya sudah melancarkan aksinya untuk mendekati Shinta terpaksa harus merelakan bidadari mungilnya yang cantik jelita masuk kembali ke dalam kamarnya untuk menidurkan kembali si kecil.

Saat Shinta keluar, ia menyambutnya.

“Sudah tidur dia?”

“Sudah.”

“Bocah pinter. Paham banget kalau sekarang gantian Mbah Kakung-nya ini yang mau nyusu, hehehe.”

“Amit-amit. Jangan sampai Arga punya Mbah Kakung seperti bapak.”

“Welah, amit-amit piye to? Sebaliknya. Arga kalau punya darah keturunanku pasti bakalan mewarisi keperkasaan kontol besarku. Hidupnya bakal menyenangkan karena dia pasti bisa memuaskan semua wanita yang akan hadir dalam hidupnya.”

“Amit-amit. Jangan samakan Arga dengan laki-laki berotak mesum seperti Bapak.”

“Hahaha, gini-gini banyak loh wanita yang puas dan bertekuk lutut kepada ku setelah merasakan kejantanan rudal yang seperti kontol jaran.” Pak Hasbi mendekat ke arah Shinta dan sekali lagi malam ini, ia mencolek dagunya.

Melihat Shinta hanya diam saja, Pak Hasbi memberanikan diri untuk mengecup pipi mulus Shinta meski ibu muda itu cuek dan ketus. Hmm, lezat banget pipi lembut ini dikecup, halus, mulus, dan harum.

Ia berbisik pelan, “Bahkan Mama-nya Arga juga sudah berhasil dipuaskan kontolku, kan?”

“Bisa ga sih Pak Hasbi itu tidak ngomongin selangkangan terus?Jijik tahu!”

“Weeh…yo piye yo? Susah kalau bahas liyane, susah kalau ga bahas selangkangan, apalagi bahasnya sama wanita cantik seperti kamu. Lagipula… kamu itu kenapa to kok selalu judes terus karo aku? Apa aku punya salah sama kamu?”

“Edan! Setelah kejadian semalam, Bapak masih nanya seperti itu? Bapak waras? Sadar Pak sadar! Bapak itu sudah berbuat apa!? Lagipula… tidak usah sok perhatian, aku tidak butuh perhatian Bapak. Aku sudah menikah dan punya keluarga yang bahagia. Jijik aku lihat bajingan tua cabul seperti Bapak.”

Hampir saja Shinta kelepasan untuk tidak bisa menahan senyumnya. Aneh. Meskipun dia masih belum bisa memaafkan perbuatan Pak Hasbi semalam, tapi kata-kata terakhir dari Pak Hasbi barusan sungguh sangat menggelitik lubuk hatinya yang paling dalam.

Apaan sih nih aki-aki pakai nanya punya salah atau enggak segala? Kaya ABG pacaran aja.

Eh tapi…

Lucu juga sih, kalau dipikir-pikir.

Dibanding Bang Ardian yang cuek, cuma Pak Hasbi yang pernah nanya begitu ke aku. Bang Ardian malah gak pernah peduli perasaanku. Artinya kan dia ga pernah merasa punya salah ke aku. Ini aki-aki jompo malah perhatian banget. Cringe sih, tapi hampir bikin aku tertawa. Dasar!


Pak Hasbi tetap nekat, ia mengelus-elus pipi Shinta dengan punggung tangan kanannya, sementara tangan kiri memeluk tubuh mungil sang ibu muda sehingga mereka berdua sangat berdekatan. Awalnya Shinta kaget dan ingin menjauh, namun kemudian dia bisa mengendalikan diri dan membiarkan tubuh mungilnya didekap oleh si Pria Tua.

“Hehehe. Aku ini hanya memenuhi keinginan suamimu. Apa itu juga salahku? Ini namanya bukan salah, cah ayu. Ini namanya aku beruntung.”

“Udah ah, capek aku berdebat sama bapak.”

“Capek sama kelakuan Intan?”

“Bukan urusan Bapak.”

“Mulai tadi malam, apapun yang menjadi masalahmu otomatis akan menjadi urusanku, cah ayu. Kita berdua sudah jadi satu kesatuan.”

“Mana bisa begitu, memangnya siapa Bapak? Aku tidak butuh.”

“Bukan siapa aku bagimu, tapi siapa kamu bagi aku, Nduk.”

“Lha siapa?”

“Kamu bidadari surga-ku, cah ayu, hehehe.”

“Najis! Gombal banget sih aki-aki!”

Kali ini Shinta tidak bisa menahan senyumnya sambil memaki Pak Hasbi dengan sebutan aki-aki. Tapi bagi siapapun yang mendengarnya pasti akan langsung sadar kalau makian tersebut tidak sepenuh hati. Hanya sebuah makian manja.

Pak Hasbi mulai paham kalau Shinta punya masalah. Ia menggandeng ibu muda itu ke arah sofa di ruang tamu. Ia duduk di sana dan membiarkan Shinta berdiri di hadapannya. Pak Hasbi benar-benar terpesona pada sosok mungil sang ibu muda yang saat ini hanya mengenakan baju rumahan dengan tali kecil di pundak, dada rendah yang memberikan pemandangan belahan dada super seksi, dan bagian bawah tinggi yang semakin menampilkan keindahan paha Shinta.

Entah kenapa Shinta berani memakai pakaian seperti ini setelah masuk ke kamar tadi. Tapi Pak Hasbi paham Shinta sedang memancingnya untuk melakukan sesuatu. Tidak masalah kalau itu demi sang bidadari.

“Kamu mau cerita? Cerita saja padaku, kalau memang ada yang mau diceritakan. Aku tahu kamu sedang mengalami masa-masa sulit saat ini dengan suami yang sedang tergoda wanita lain.”

Pak Hasbi menepuk pahanya sendiri saat menatap mata Shinta yang terlihat amat gelisah. Ibu muda itu meneguk ludah.

Jika saja saat ini usia Pak Hasbi tiga puluh tahun lebih muda, bukan tidak mungkin Shinta akan kesengsem dengan perhatian dari Pak Hasbi barusan yang meskipun terkesan sepele namun terasa sangat berkesan dan berhasil menyentuh hati perempuannya yang lembut. Shinta yang awalnya berencana untuk memanfaatkan Pak Hasbi itu, kini tanpa sadar dirinya justru tersentuh dengan sikap hangat dari sang pria tua.

Aki-aki cabul ini bisa aja sih bikin aku senyum-senyum dalam hati? Abang aja kayaknya udah lama banget ga pernah perhatian sama aku. Ah, tapi Pak Hasbi bersikap begitu paling juga karena ada maunya.

Aku juga ada maunya.


Shinta lalu termenung sejenak. Dia ingin menjiwai kalau dirinya memang benar sedang ada masalah, tapi tanpa dijiwai pun ternyata gejolak hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya memang sedang tidak baik-baik saja.

Shinta mendesah dan memejamkan mata. Dengan terpaksa ia duduk di pangkuan sang pria tua. Tangan kiri Pak Hasbi memeluk pinggangnya sementara tangan kanannya dengan bebas mengelus-elus buah dada Shinta yang montok. Kepala pria tua itu didesakkan ke leher Shinta yang halus dan harum.

Ia mengecup dan mencium leher itu dengan lembut. Membuat Shinta mendesis lirih.

“Sshssshhh… eeehhmm…”

Shinta memejamkan mata. Ia berusaha bertahan tapi rangsangan dari Pak Hasbi memang menyebalkan enaknya. Dia tidak kasar dan mampu membuat Shinta terbuai perlahan. Ardian bahkan jarang melakukan foreplay dan langsung main tusuk saat birahinya tebal.

“Jadi… apa yang mau kamu ceritakan, sayang?” Tangan Pak Hasbi kini naik, membawa pipi Shinta ke samping, membuat bibir mereka dipertemukan.

Pak Hasbi mengulum bibir sang ibu muda dengan kerinduan yang nyata, kecupan lembut dan penuh rasa, membawa Shinta naik ke awang-awang. Saat ciuman itu dilepas, Shinta menatap mata pak Hasbi dari jarak hanya beberapa sentimeter. Setiap ucapan mereka dilakukan dengan bisikan.

“Aku bingung. Enaknya perempuan seperti Intan itu diapain, Pak? Jujur di sini cuma Bapak yang peka dengan masalahku, Bang Ardian jelas membela Intan. Makin hari kelakuannya malah makin bikin makan hati. Apa dia ga mikir kalau istrinya ini cemburu sama perempuan itu? Sampai sekarang tetep aja masih deket. Aku harus ngomong gimana lagi ke Abang? Aku capek Pak. Aku lelah.”

Pak Hasbi yang mencium aroma perempuan yang sedang galau dan rapuh langsung meraih tubuh mungil sang bidadari. Dengan lembut dia memeluk tubuh Shinta dari samping. Ia mengangkat wajahnya, dan keduanya kembali berciuman.

Sungguh pemandangan yang tidak nyaman. Seorang wanita muda yang tidak hanya cantik namun juga seksi dan mempesona tengah berciuman dengan seorang pria buruk rupa, tua, dan seenak wudelnya sendiri. Kali ini lidah pak Hasbi keluar untuk menyusuri bibir mungil Shinta, masuk ke mulutnya dan beradu dengan lidah sang dewi. Kedua lidah bertautan sementara bibir berpagutan.

Sekali lagi, ciuman itu dilepaskan.

“Kalau tidak salah, dia itu menantunya si Sukirno ya? Bapaknya si Hendra yang sampai lumpuh karena kecelakaan itu?”

“Bapak kenal mereka? Aku tidak tahu silsilah keluarganya, ga pengen tahu juga.”

“Yah, kalau cuma orang Kampung Growol mah siapa sih yang ga aku kenal? Kami sama-sama penduduk asli sini, mana mungkin ga kenal.”

“He’em.” Shinta menatap wajah pak Hasbi, lelehan air mata mengallir tipis di pipinya, “Aku harus bagaimana lagi, Pak? Aku pindah ke sini karena ingin hidup tenang dan bahagia. Tapi Bang Ardian malah makin jauh dariku dan satu-satunya yang dekat malah laki-laki seperti Bapak… aku harus bagaimana ini?”

Pak Hasbi menghapus air mata itu dengan punggung jemarinya, “Cup cup… tidak usah menangis, kan masih ada aku di sini.”

“Aku sudah tidak tahu lagi, Pak. Pengen nyerah rasanya.”

“Hus. Masa menyerah. Kamu mau memberi pelajaran ke si Intan?”

Shinta mengangguk. “Pengennya sih gitu, habisnya sudah berkali-kali diberi peringatan ga ngerti-ngerti orangnya, kegatelan banget pak, deketin bang Ardian terus, tapi… bagaimana caranya supaya dia jera?”

“Woalah. Cuma itu yang bikin kamu sedih? Sudah, kamu tenang wae. Gak perlu bingung, selama masih ada aku disampingmu. Serahkan padaku maka semua masalah pasti akan terselesaikan.”

“Menyelesaikan masalah apa malah bikin masalah?” ledek Shinta.

“Apa kamu perlu bukti?”

“Bukti? Bukti apa? Apa yang bisa bapak buktikan?”

“Lah, tadi katanya pengen kasih pelajaran ke Intan, pengen bikin hidupnya ga bahagia, piye to? jadi ndak?”

“Alah, palingan bapak kena kedip sekali langsung mleyot kaya kangkung kemarin sore. Intan kan cantiknya ga main-main. Dia jauh lebih cantik dan tinggi kalau dibandingkan aku yang membosankan dan pendek.” Shinta merajuk manja.

“Weh, yo jelas enggak to. Pak Hasbi itu sayangnya cuma sama kamu. Pak Hasbi bukan Ardian yang menyia-nyiakan berlian demi dapat pasir Kali Mambu. Heheh.” Pak Hasbi menyentil lembut hidung Shinta dengan telunjuknya, “Sudahlah, tenang saja. Biar aku yang menyelesaikan masalahmu itu. Selama ada…”

“Ada apa? Aku ga punya uang banyak kalau bapak minta imbalan uang.”

“Walah jan sontoloyo, apa kamu pikir Hasbi ini kekurangan uang? Biarpun aku ini kelihatan kere dan ga punya apa-apa, tapi aku ini tidak pernah kekurangan uang.”

“Jadi Bapak mau apa?”

“Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan.” Pak Hasbi menempelkan dahinya di dahi Shinta.

“Sudah kutebak,” bisik Shinta lirih. Kali ini ibu muda jelita itu yang memajukan bibirnya, ia memejamkan mata, seakan menuntut sang pria tua untuk kembali menciumya.

Keduanya kembali berpagutan, kali ini lebih buas. Lidah bertemu lidah, bibir saling menangkup bergantian, suara kecipak makin terdengar. Tapi hanya sebentar. Keduanya sama-sama menahan dan sama-sama terengah. Bukan karena lelah, tapi karena menahan birahi yang kian terarah.

“Sudah pasti kan? Aku mau enak-enak. Aku mau mendapatkan pelayanan seperti tadi malam dari kamu,” ucap Pak Hasbi sambil mengecup bibir Shinta lembut. Pelan dan cepat saja kali ini. “Anggap saja sama-sama untung, Aku bisa ngentotin memek kamu, kamu dapat enak-enak dari aku. Bonusnya adalah aku bisa menjauhkan Intan dari suamimu.”

“Aku tidak merasakan enak-enak itu. Sembarangan.” Harga diri sang ibu muda cantik itu masih tinggi. Dia tidak akan pernah mengakui nikmat dari Pak Hasbi. “Lagipula apa untungnya buat Bapak? Tanpa membantuku pun Bapak sudah punya kuasa atas tubuhku? Memangnya aku bisa menolak? Memangnya Bapak tidak akan mengancam lagi seperti semalam? Ada-ada saja.”

“Heheheh. Dasar anak muda taunya cuma untung rugi, hidup itu tidak melulu tentang untung rugi, kadang hidup itu tentang memberi kepuasan, terhadap diri sendiri maupun orang lain.” Pak Hasbi kembali mengendus-enduskan hidungnya di leher Shinta, membuat ibu muda itu mendesah-desah, “Memekmu yang legit itu sudah memberikanku kepuasan, kamu juga pasti sudah mendapat kepuasan dari kontol jaran-ku. Kamu tidak mau mengakuinya, tapi aku tahu pasti kalau kamu merasakan nikmat.”

“Shhh… so-sok tahu… esssstttt… mmmhhh…”

“Sudah pasti. Aku mendapatkan kepuasan kalau orang yang memberikanku kepuasan juga mendapatkan kepuasan.”

“Muter-muter ah ngomongnya, sok filsuf lagi.”

“Hehehe, kamu itu, bener-bener nggemesin, cah ayu. Tapi kamu tahu nggak?”

“Apa?”

“Gara-gara kejadian semalam aku jadi pengen ngenthu lagi.”

“Gak kaget.”

“…tapi aku pengen ada yang lihatin kaya kemarin. Aku pengen dilihatin suamimu yang gemblung itu, heheheh.”

“Bapak!” Shinta memukul dada Pak Hasbi dengan perlahan, “Aku tidak suka yang seperti itu, tahu!? Sebel ah!”

“Hahaha, kira-kira berapa lama lagi suamimu sampai rumah?”

“Bapak ngomong apa sih? Kan aku sudah bilang aku tidak mau lagi seperti semalam! A-aku juga wanita biasa yang mau biasa-biasa saja. Mana bisa aku puas kalau dilihatin Abang? Ada-ada saja ih! Syebel!”

“Berapa lama?” kali ini suara Pak Hasbi lebih tegas dan berat. Ia menatap Shinta dengan pandangan tajam.

“Ma-maksa banget sih!?”

“Be-ra-pa la-ma?”

Shinta bergidik melihat Pak Hasbi terlihat menakutkan. Ia tak lagi nampak seperti pria tua lemah yang sakit-sakitan. Ia lebih terlihat seperti orang jahat yang mengerikan.

“Le-lebih kurang tiga jam. Mbak Sabrina tinggal di luar kota. Kalau lancar tidak macet, sampai sana satu setengah jam. Kalau macet… dua jam.”

“Hmm… dia cantik juga. Siapa sebenarnya dia, Nduk?”

“Ma-mantan Kakak Ipar-ku.”

“Welah rumit. Mantan. Kakak. Ipar. Mantan bojone Mas-mu gitu?”

“He’em…”

Dengan nakal tangan Pak Hasbi menelusup melalui sela-sela di baju seksi Shinta, tujuannya sudah jelas. Payudara montok sang ibu muda.

“Sabrina cantik ya?”

Shinta mengangguk. Tangan Pak Hasbi sudah mencapai bulatan kenyal di dada sang ibu muda. Shinta memejamkan mata sembari menggigit bibir bawah. Jari jemari kasar sang pria tua itu sudah mulai meremas-remas buah dadanya nan sensitif.

“Dia seksi ya?”

Shinta kembali mengangguk. Ia menggelinjang saat tangan lebar Pak Hasbi menangkup buah dada kanannya dan meremas-remasnya dengan lembut.

“Ja-jangan kencang-ken… ahhhmmm… essst… sshh…” tanpa bisa berpikir jernih, Shinta mengalungkan tangannya di leher Pak Hasbi, “Bapaaaak…”

“Lebih besar mana, susu kamu atau tetek Sabrina?”

“Kok gitu sih pertanyaannya? A-aku tidak mau jawab ah! Aku… aaaaah! Aaaah!”

“Lebih besar mana, susu kamu atau tetek Sabrina? Aku lihat susunya gede juga.”

“Paaaaak! Sshhhh… mmmmhhhh! Aaaaaaaaaahhh! Aaaahhh!!”

Remasan jemari kasar Pak Hasbi di payudara sang ibu muda membuatnya kian tenggelam dalam lautan birahi yang tak terkendali. Remasan itu tak berhenti bahkan ketika jemari Shinta mencengkeram pundak sang pria tua.

“Lebih besar mana? Susu kamu atau Sabrina?”

“Pu-punya Mbak Sabrina… punya Mbak Sabrina le-lebih gede…”

“Wah, jadi kepengen meremas-remas punya dia. Aku jadi kebayang menunggangi tubuh mantan kakak ipar kamu itu, meremas-remas payudara Sabrina yang menggantung sementara aku menusuk-nusuk memeknya dari belakang, pakai jurus anjing. Heheheh. Tusuk lepas, tusuk lepas, tusuk lepas, heheheh.”

“Ja-jangaaaaaaan! Jangan apa-apakan Mbak Sabri! Jangaaaan!”

“Memangnya kenapa?”

“Aku sayang Mbak Sabri! Jangan apa-apakan dia, Paaaak! Jangaaan!”

“Kenapa aku harus menurut sama kamu? Akan kucari rumahnya, kubuka pintunya, kusekap suami dan anaknya, lalu kuperkosa dia habis-habisan. Setelah puas kunikmati, akan kuikat dia di ranjang, kubentangkan dan kuikat kedua tangannya di ranjang pernikahannya, kulebarkan kedua kakinya dan akan kuikat juga. Lalu akan kuundang teman-teman penjual makanan di depan sekolah, dan akan kuajak mereka menggilir mantan kakak iparmu itu…”

“Jangaaaaaaaaaaaaaan!! Mmmmhhh… mmmhhhh… mmhhh…”

Shinta mencium bibir Pak Hasbi supaya dia tidak meracau lagi. Ciuman Shinta kali ini bukan ciuman mesra dan lembut seperti sebelumnya. Ciuman kali ini benar-benar penuh nafsu. Ciuman yang penuh tuntutan.

Shinta melepas ciuman itu, “La-lakukan. Sekarang. Lakukan saja sekarang. Selesaikan. Aku tidak mau kamu mengganggu Mbak Sabri. Lakukan dan pulang. Jangan pernah kembali ke sini lagi!”

“Tidak. Aku akan menunggu Ardian, baru aku akan menyetubuhimu. Aku maunya begitu. Heheheh.”

“Ke-keterlaluan! Aku sudah…”

“Sudah apa?”

“Sudah….”

“Sudah apa?” Pak Hasbi nyengir lebar, “Kamu sudah apa?”

“Hih! Aku sudah tidak tahan! Menyebalkan banget ih!”

“Heheheh. Di bagian mana yang tidak tahan?” tangan kanan Pak Hasbi keluar dari sela-sela baju Shinta, lalu masuk dari bawah. Ke bagian terbuka, dan langsung ke tujuan utama. Selangkangan Shinta.

Pak Hasbi tersenyum lalu menurunkan celana dalam sang ibu muda. Ia lantas membuag celana dalam itu sangat jauh, “Hmm. Kamu tidak pakai apa-apa di bawah sini, Nduk. Nakal sekali.”

“Aku benci kamu, Pak. Benci banget. Aku benci banget… banget… banget…” Shinta terisak, menyadari hubungannya dengan Pak Hasbi sudah sangat jauh sampai-sampai membicarakan hal yang seperti ini pun seperti sudah biasa.

“Kamu membenciku, tapi ini sudah sangat basah. Heheh.”

Shinta menggigil dan menangis. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana.

Pak Hasbi mengecup pipi Shinta yang berlinangan air mata, “Cup cup cup… jangan menangis. Tidak lama lagi akan kugenjot memekmu. Tapi kita harus bersabar menunggu suamimu pulang, heheheh. Sekarang sebaiknya kamu ganti baju lagi, pakailah kerudung dan baju yang sopan.”

“Bapak tidak suka baju yang ini?”

“Suka sekali. Tapi aku ingin Ardian hadir saat kamu mengenakan baju ini hanya untukku. Eheheh.” Pak Hasbi terkekeh-kekeh, “Kira-kira nanti mau bikin sandiwara apa lagi ya? Kamu ada ide, cah ayu?”

“Bapak pikir aja sendiri!”

“Hahaha.”

Tanpa disadari oleh Pak Hasbi, hati Shinta berdebar juga membayangkan kejadian semalam akan terulang lagi. Padahal sebenarnya jika Pak Hasbi minta untuk dilayani sekarang juga dengan imbalan perjanjian tadi, dia akan mengabulkannya. Tapi ternyata bandot tua itu memiliki kecerdasan lebih dari yang dibayangkan. Kejadian semalam ternyata memberikan sensasi lebih yang membuat pria tua itu ingin melakukannya lagi.

Apapun itu, Shinta tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau saat ini, jantungnya ikut berdebar dengan kencang.

Dia juga menginginkannya.



.::..::..::..::..::.



Ardian memarkirkan mobilnya dengan jantung berdebar.

Beruntung sekali Sabrina turun di stasiun dan memilih pulang menggunakan kereta terakhir ke kotanya. Dengan begitu ia tidak perlu berlama-lama mengantarkan si cantik itu sampai rumah.

Karena pria itu ingin segera pulang dan mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Pak Hasbi pada Shinta.

Ardian memang suami yang sakit jiwa, mengetahui istrinya berduaan dengan laki-laki lain malah membuatnya exited. Bahkan saat perjalanan pulang tadi, dia memacu kendaraannya dengan cukup cepat karena tidak sabar ingin mengetahui istri tercintanya sudah melakukan apa saja dengan si kakek tua.

Ardian membuka pintu rumah dengan mengucapkan salam.

Saat membuka pintu rumahnya, Ardian mendapati Shinta dan Arga berada di ruang tamu bersama dengan Pak Hasbi. Shinta tampak tengah menundukkan wajah sementara Pak Hasbi tengah menceritakan sesuatu. Sedangkan Arga anteng duduk di pangkuan Shinta.

“Syukurlah sudah sampai rumah juga Mas, tadi Mbak Shinta ini khawatir loh soalnya Mas Ardian ga pulang-pulang.”

“Iya, Pak. Rumahnya memang jauh, tapi tadi Mbak Sabri minta turun di stasiun jadi ya aku anter aja kesana. Untungnya dapet kereta terakhir. Berhubung kayaknya mau hujan, makanya langsung buru-buru pulang. ini aja tadi udah kenceng bawa mobilnya.”

“Iya, tadi Mbak Shinta cerita sudah di-WA sama Mbak Sabrina. Jadi kami di sini sudah mendengar kalau Mas Ardian akan pulang lebih cepat. Mungkin Mbak Shinta khawatir Mas Ardian-nya nyasar atau salah jalan ke rumah…”

Shinta mendongak dan mendengus kesal, “Apaan sih Pak. Mana mungkin Abang nyasar, ya kan, Bang? ada-ada aja emang Pak Hasbi ini.”

“Iya lah, gini-gini saya ini ga pernah macem-macem Pak, saya ini tipe suami yang betah di rumah, iya ga, Ma?”

“Iya.”

Prett banget sih, Bang! Ga macem-macem apanya? Orang pulang kerja aja sering banget bareng sama Intan. Kalau Intan manggil kamu malam ini pasti kamunya juga langsung siaga. Apa-apa Intan. Semua Intan. Ga macem-macem apa kalau kaya gitu?

“Sungguh beruntung kalian bisa dipertemukan sebagai pasangan suami istri, yang satu ganteng, sukses, yang satu cantik, pinter merawat keluarga.”

“Hahaha, Pak Hasbi bisa aja.”

Di tengah keasyikan ngobrol, Arga yang tadinya duduk anteng tiba-tiba berubah menjadi gelisah. Anak kecil itu menggeliat kesana kemari dengan sesekali diiringi dengan rengek tangisan.

“Arga sayang, kenapa kok tiba-tiba rewel sih?” tanya Shinta dengan lembut.

Bocah yang belum genap berusia satu tahun itu tentu saja tidak menjawabnya. Rengekannya justru terdengar semakin kencang. Shinta terus berusaha menenangkan anak itu namun tetap tidak berhasil.

“Anak kecil itu kalau rewel kemungkinannya cuma ada dua, kalau ga ngantuk ya lapar, tadi kan nak Arga sudah tidur lama, jadi kemungkinannya cuma sedang lapar, mungkin nak Arga minta dinenenin, hehehe,” ucap Pak Hasbi.

“Ah iya, Arga pasti lapar, soalnya terakhir aku menyusui nya itu sore tadi, hmm…ya udah, aku ijin masuk dulu ya Pak, mau nyusuin Arga dulu,” balas Shinta.

“Loh? kenapa harus masuk? Di sini kan juga bisa?”

“Malu ah Pak, masa saya nyusuin Arga di sini.”

“Halah, namanya ibu menyusui anak itu kan sudah biasa. Mbak Shinta ya ndak usah malu, sudah kodratnya, ibu-ibu jaman dulu yo biasa wae kalau netein bayine di jalan. Bener kan, Mas Ardian?” tanya Pak Hasbi sembari senyum licik. “Lagipula saya sudah biasa banget lihat ibu-ibu netekin anak.”

Penyakit Ardian kumat lagi. Dia sudah bisa menebak arah pembicaraan dari Pak Hasbi. Belum apa-apa dia sudah membayangkan bagaimana sensasi yang muncul saat dia melihat istrinya yang cantik jelita menyusui anaknya di depan mata kepala Pak Hasbi.

Ahh! Kok malah jadi aku yang terangsang ya? Pak Hasbi pasti akan jelalatan matanya melihat puting susu Shinta dikenyot sama Arga.

Cukup lama Ardian terdiam, tidak membalas pernyataan dari Pak Hasbi. Lalu tiba-tiba…

“Gimana, Bang? Apa tidak apa-apa kalau aku nyusuin Arga di sini?” tantang Shinta.

“Eh, hmm…itu…anu…”

“Gimana? boleh ga? jangan lama-lama mikirnya, ini keburu Arga tantrum kalau nungguin kelamaan.”

“Hmm… ya udah boleh deh,” balas Ardian yang kemudian ikut duduk di sebelah Shinta, di seberang tempat Pak Hasbi duduk.

Shinta yang malam ini mengenakan hijab terusan itu menyingkap bagian depan hijab nya ke belakang hingga bagian atas dadanya terlihat. Ibu muda itu memang langsung mengganti pakaian setelah mendengar kabar dari Mbak Sabrina kalau Ardian pulang lebih cepat.

Dengan begini, Ardian tidak akan curiga kepadanya – ataupun Pak Hasbi.

Dia lalu membuka tiga kancing baju tidur yang dia kenakan, kemudian menyingkap salah satu sisinya ke samping guna memberikan akses kepada Arga. Terakhir, dia menyingkap cup BH sebelah kirinya yang membuat pucuk puting payudaranya mencuat keluar yang langsung dilahap oleh Arga.

Meskipun momen tersebut berlalu dengan sangat cepat, namun baik Ardian maupun Pak Hasbi bisa dengan jelas melihat pucuk puting payudara Shinta yang menggemaskan keluar dari sarangnya. Buah dada Shinta terlihat amat putih dan bersih sampai-sampai urat yang ada di sana terlihat bagaikan kulit transparan. Pak Hasbi meneguk ludah. Memang indah bener tubuh wanita cantik satu ini.

Shinta menunduk, tak ingin menatap dua pria yang saat ini ada di depannya. Ia pun menyusui Arga.

Beberapa saat kemudian, Arga pun sudah tenang kembali seperti tadi. Semuanya diam. Hening. Hanya suara kenyotan Arga yang sesekali terdengar menghiasi momen menegangkan tersebut.

Menegangkan untuk Ardian tentunya.

Menggairahkan untuk Pak Hasbi.

Mendebarkan untuk Shinta.

Beberapa menit berselang, Arga mulai tidur dengan pulas dengan bibir masih mengatup di puting payudaranya. Tidak ada kenyotan lagi dari bibir mungilnya. Shinta pun menarik puting payudaranya dari mulut Arga. Bibir bocah kecil itu tanpa sadar sempat mengejarnya sebentar namun kembali tertidur pulas. Shinta mengusap-usap wajah dan kepala Arga dengan lembut. Penuh dengan kasih sayang.

Sebentar!

Ada yang lupa. Atau sengaja lupa. Shinta tidak segera menutup kembali buah dadanya. Buah dada yang mungil namun terlihat kencang itu terpampang dengan jelas di depan mata tua Pak Hasbi.

“Bang?” panggil Shinta.

“Y-Ya, Ma?” Ardian tersadar dan meneguk ludah.

“Ehmm… Abang bisa bantuin sebentar ga naruh Arga ke kamar? Mendadak kaki aku lemes banget nih,” balas Shinta yang masih belum menutup kembali buah dadanya. Cup BH nya sudah dikembalikan ke posisi semula tapi baju tidur itu belum dikancingkan kembali.

“Eh? Hmm… bo-boleh…”

Seperti orang yang kena hipnotis Ardian lalu mengambil Arga dan menggendongnya menuju kamar. Hal tersebut tentu saja membuat Pak Hasbi tersenyum girang.

Tidak lama kemudian Ardian sudah kembali. Namun dia tidak langsung ikut bergabung dengan Shinta dan Pak Hasbi. Dia mengintip dari dalam karena melihat istrinya itu berbisik-bisik dengan Pak Hasbi. Dia tidak bisa mendengar apa yang mereka berdua ucapkan. Tapi dari sudut pandangnya terlihat Pak Hasbi seperti meyakinkan sesuatu kepada Shinta

Pikiran Ardian langsung traveling kemana-mana.

Jangan-jangan itu Pak Hasbi sedang merayu Shinta lagi. Mana Shinta ga langsung nutup bajunya kembali lagi. Duh pengen nyamperin tapi kok gue malah horny banget ya. Apa malam ini Pak Hasbi akan dapet enak-enak lagi ga ya?

Tidak lama kemudian terlihat Pak Hasbi mendekat ke arah Shinta. Terlihat obrolan mereka semakin intens. Sesekali Shinta manyun, tapi sesekali juga ibu muda yang cantik jelita itu menunduk dan tersipu malu, meskipun wajahnya masih tetap ketus. Bahkan sekali dua kali, Shinta sampai tersenyum!

Ah sial! Itu Pak Hasbi pasti sedang menggoda Shinta. Mana Shinta kadang senyum-senyum gitu lagi. Sange gue anjir!

Tidak lama kemudian Shinta bangkit setelah terlebih dahulu memberikan sebuah kode kepada Pak Hasbi. Shinta lalu berjalan masuk ke dalam. Ardian yang melihat itu langsung beranjak dari tempat mengintipnya. Dia pura-pura ke dapur untuk minum. Mereka lalu bertemu di ruang keluarga.

“Loh, Mama sudah bisa jalan? Kok Pak Hasbi-nya ditinggal?”

“Iya, Bang. Tadi Pak Hasbi nawarin buat pijit Mama, katanya urat-urat di kaki memang tegang semua, sama…”

“Sama apa mah?”

Wajah Shinta memerah, ia mengalihkan pandangan ke arah lain bagaikan gadis yang tengah malu bertemu dengan kekasihnya, “Sama… tapi kalau Mama ceritakan, Abang jangan marah ya. Kalo ga diijinin juga ga apa-apa kok.”

“Mana bisa ga ngijinin kalau tidak tahu mau ijin buat apa.”

“He’em. Itu lho, kata Pak Hasbi… tadi pas lihat aku nenenin Arga ada urat di sekitar dada dan leher juga yang tegang, pas aku pegang ternyata iya juga, sama ini kaya ada gumpalan asi di dalam nenen aku, katanya sih kalau mau, pak Hasbi bisa ngurut biar asinya lancar Bang.”

“Hah? Ja-jadi Pak Hasbi akan mijitin su… eh, dada mama juga?”

“Ya kalau Abang ngijinin… gimana?”

“Hmm…”

“Kalo ga boleh juga ga apa-apa sih, tapi Abang yang bilang yah, aku ga enak. Aku akan selalu ngikut apa kata Abang.”

Pasti dibolehin! Batin Shinta.

“Hmm…ya kalau buat kebaikan boleh deh.”

Shinta memasang wajah khawatir, ia mendekat ke arah Ardian dan berbisik, “Tapi nanti Abang temenin yah, soalnya aku takut, kalau Pak Hasbi-nya curi-curi kesempatan. Kalau ada Abang kan aman.”

“Ya wes nanti Abang temenin. Tenang aja. Lagipula kenapa curiga sih? Pak Hasbi kan orangnya baik, tidak akan dia melakukan apa-apa seperti tuduhan Mama begitu.”

“Ya udah. Minta tolong ambilin minyak urut di kotak obat ya, aku mau ganti baju dengan daster dulu. Oh iya sekalian ambil tikar yang di belakang juga ya bang buat alas,” pinta Shinta.



Ardian mengangguk dan menuruti perintah Shinta. Birahinya meletup-letup tidak karuan membayangkan fantasinya selama ini akan kejadian lagi. Sedangkan Shinta mengganti bajunya dengan daster selutut. Dia sengaja mengganti baju dengan yang tidak terlalu terbuka tapi tetap akan memudahkan Pak Hasbi mengerjainya malam ini.

Setelah tiba di ruang tamu, Shinta menutup pintu depan agar tidak terlihat dari luar. Shinta juga meminta Ardian untuk menggelar tikar yang diminta tadi di samping meja di depan televisi.

“Ijin ya mas Ar, ini saya lihat kaki Mbak Shinta uratnya tegang semua, sepertinya kecapekan karena keseringan gendong Arga,” ucap Pak Hasbi basa basi.

“I-iya Pak, monggo, silahkan, tolong dibantu biar ga tegang lagi,” balas Ardian.

Sesi pijat pun dimulai. Shinta tidur telungkup di tikar yang digelar di lantai. Awalnya tidak ada yang aneh. Pak Hasbi masih dengan sopan memijat kedua betis mulus Shinta. Shinta tampak nyaman dan menikmati setiap urutan dari tangan kasar Pak Hasbi. Sedangkan Ardian sendiri memilih menemani mereka sambil duduk di sofa dan menonton televisi.

Beberapa menit kemudian pijatan Pak Hasbi mulai bergerak naik. Ujung daster yang tadi menutupi paha Shinta mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Ibu muda yang cantik jelita itu tak bisa memungkiri nikmatnya pijatan dari si pria tua. Ditambah dengan momen dia mendapatkan perlakuan seperti itu di depan mata sang suami membuat getar-getar sensasi yang diceritakan oleh Sabrina muncul kembali. Dia ingin menepis segala macam sensasi yang muncul tapi tetap saja hal yang aneh tersebut menjalar keseluruh tubuh indahnya. Apalagi tangan nakal Pak Hasbi yang sesekali sudah mulai berani menggerayangi sampai ke pantat bulatnya yang seksi.

“Yang bawah sudah, Mbak, sekarang giliran yang atas ya,” pinta Pak Hasbi.

Shinta menatap sekilas ke arah Ardian dengan pandangan sayu. Meskipun tidak berbicara tapi jelas sekali dia sekali lagi meminta ijin kepada suaminya. Ardian yang sudah dilanda birahi hanya bisa menganggukan kepalanya tanda setuju.

Shinta pun lalu menarik dasternya ke atas hingga lepas. Kini yang menutupi tubuhnya hanya celana dalam tipisnya saja. Namun dia segera menutup bagian depan tubuhnya dengan daster yang dia kenakan tadi.

Pak Hasbi lalu melanjutkan pijatannya di area punggung. Shinta semakin terlena dengan pijatan tangan pria tua tersebut. Pijatan itu lama kelaman berubah menjadi usapan-usapan sensual yang membuat sang ibu muda semakin melayang. Apalagi tangan jahil Pak Hasbi yang sesekali berusaha menyelinap dari sela-sela ketiaknya guna mengincar gundukan daging kenyal di dadanya.

“Ahh…” desah Shinta pelan.

“Eh, terlalu keras ya, Mbak?”

“Ah, enggak kok Pak, sudah pas, lanjutin aja Pak.”

“Baik, tapi maaf selanjutnya saya perlu mengurut bagian depan juga Mbak biar aliran asinya tidak ada yang tersumbat.”

Sekali lagi Shinta menoleh ke arah Ardian dengan tatapan yang semakin sayu. Dan lagi-lagi Ardian hanya menganggukan kepala. Shinta pun langsung menaruh daster yang kenakan tadi. Dengan gerak cepat Pak Hasbi langsung meraba bagian depan tubuh Shinta. Mulai dari sekitar leher lalu merembet ke bawah hinga kedua buah dada ranum milik Shinta di jamahnya dengan sempurna.

“Ahh…” Shinta kembali melenguh sambil memejamkan mata.

Pijatan atau lebih tepatnya remasan tangan Pak Hasbi di payudara Shinta terlihat jelas sangat menggairahkan.

“Mbak maaf, boleh rubah posisinya jadi merangkak ya, biar posisi nenenya lurus kebawah, jadi pijatannya jadi sempurna,” saran Pak Hasbi. Entah ide ngaco dari mana itu tapi Shinta patuh menurutinya.

Pak Hasbi lalu bergeser ke samping Shinta. Dengan telaten dia lalu mengurut payudara Shinta yang menggantung indah.

“Ahh…ahh…”

Shinta kembali melenguh beberapa kali yang dibarengi dengan asi nya yang menetes. Tubuhnya menggeliat kesana kemari menahan rangsangan dari tangan jahil Pak Hasbi.

“Kenapa Mbak? Sakit ya?”

“Ahh…emhh…enggak pak…enggak sakit kok…lanjut aja…”

Pak Hasbi pun melanjutkan pijatannya. Namun tubuh Shinta masih terus menggeliat seiring dengan rangsangan dari Pak Hasbi. Apalagi tangan kiri Pak Hasbi ikut menjamah bongkahan pantat bulat Shinta. Tangan tua itu ikut meremas dan meraba pantat bulat itu.

“Wah, kalau Mbak Shinta masih gerak-gerak gini pijatannya jadi tidak maksimal.”

“Ahh terus gimanah dong Pak?”

“Saya ijin menahan tubuh Mbak Shinta dari belakang ya?”

Sekali lagi Shinta menoleh ke Ardian yang langsung dibalas dengan anggukan kepala. Ardian sendiri sudah dari tadi tidak tenang dan berkali-kali diam-diam mengurut kemaluannya sendiri karena tidak tahan.

Pak Hasbi lalu kembali berlutut dibelakang Shinta. Dengan gerakan kilat dia memelorotkan celananya hingga kontol kudanya yang sudah berdiri tegak mencuat keluar. Kontol raksasa itu lalu ditempelkan ke bibir vagina Shinta. Shinta yang sudah kehilangan akalnya itu tidak memperdulikan lagi apa yang dilakukan oleh Pak Hasbi.

Pak Hasbi lalu meremas pantat bulat Shinta. Remasan itu semakin lama semakin berani. Gerakan meremas itu diselingi dengan pelan-pelan menyingkap celana dalam Shinta ke samping. Hal tersebut kini membuat ujung kepala penis Pak Hasbi menempel langsung ke bibir vagina Shinta.

Shinta merasakan sensasi yang begitu nikmat. Dia tidak ingat lagi betapa buruk rupanya Pak Hasbi. Yang dia ingat hanyalah batang kejantanan itu sekarang sudah bersiap menyodok liang kenikmatannya. Kontol kuda Pak Hasbi sekali lagi akan menembus liang senggamanya. Sekali lagi rongga paling privatnya itu akan diisi kembali oleh si pria tua.

Pak Hasbi pun tidak tahan.

“Ahh…” desah Shinta saat dia merasakan ada benda tumpul yang berusaha menyeruak masuk. “Ahh…”

“Tahan ya, Mbak. Saya akan berusaha untuk melancarkan kembali aliran asi yang tersumbat,” bisik Pak Hasbi sambil menundukkan badannya ke depan. Kedua tangannya sekarang menelangkup buah dada Shinta yang sedari tadi menggantung indah. Dia gunakan buah dada indah itu sebagai pegangan.

Ditariknya pinggul Shinta, lalu dihentakkannya pinggulnya sendiri dengan sangat kencang. Kali ini dengan sekuat tenaga.

“Ahhhhaaaaaaaaagghhh…!” Shinta melolong panjang.







BAGIAN 18 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 19
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd