Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Aku bacanya kalau ada waktu senggang sebelum atau setelah bekerja, atau malah weekend, baru bisa all in baca

Penghormatan tertinggi untuk para AUTHOR yang sudah meluangkan waktu RL nya membuat cerita yang begitu indah ini
 
BAGIAN 19 DI PINTU PRAHARA
Cerita oleh @CemplungKalen | Editing oleh @killertomato





“Ha-Halo, Tante Nisa?”

Ha-halo Da. Ma-Maaf ya aku semalam nggak angkat teleponmu, aku lagi kurang enak badan. A-aku tidak… maksudku… aku… maaf, Da.

“Oh… I-Iya Tante. Maaf kalau aku ganggu istirahatnya Tante…”

Aida jelas merasa tak enak. Meskipun sebenarnya dia tak bisa disalahkan karena tidak tahu kondisi tantenya itu. Namun tetap saja ia merasa telah menganggu sang tante, terbukti dari panggilannya yang pada akhirnya ditolak. Hal yang tak pernah sekalipun dilakukan oleh Nisa sebelumnya.

A-apa apa Da? Apa ada sesuatu di toko?

Dengan perasaannya yang masih tak enak pada Nisa, entah mengapa Aida merasakan sesuatu yang berbeda dari tantenya itu.

Sekian lama bekerja dengan tantenya, tentu saja ini bukan kali pertama Nisa sakit. Tapi meskipun sedang sakit, bahkan pernah sampai harus bedrest, Nisa tidak pernah seperti ini. Biasanya masih akan tersisa ‘kehangatan’ dalam setiap tutur kata Nisa. Kali ini Aida merasa tantenya agak, ketus.

Aida pun juga pernah melakukan beberapa kesalahan, yang tak luput dari kemarahan Nisa. Namun semarah apapun Nisa kepadanya, tidak pernah sampai seperti ini. Hal inilah yang membuat Aida jadi sungkan untuk melaporkan apa yang baru saja terjadi. Tapi, tidak mungkin pula ia tidak mengatakan apapun setelah panggilannya kali ini dijawab, hingga akhirnya ia teringat sesuatu.

“Oh, itu Tante. Kemarin bu Sarmanto bilang mau pesan kue lagi untuk minggu depan. Variannya sama Tante, tapi jumlahnya tiga kali lipat dari yang kemarin,” jawab gadis cantik itu, berusaha mengeluarkan nada yang lebih ceria. Dengan harapan, balasan dari tantenya akan lebih lembut dan sopan masuk ke telinganya.

Oh ya? Bagus deh. Kamu bisa handle kan Da? Aku kayaknya masih belum bisa ke toko untuk beberapa hari ke depan.

Degh.

Kembali Aida merasakan satu keanehan lagi dari sang tante.

Nisa tidak seperti ini. Ini bukan sifat Nisa yang sesungguhnya. Ia sudah sangat hafal bagaimana Nisa ketika mendapatkan pesanan. Jangankan dalam jumlah besar, ada seorang pelanggan yang membeli 1 biji kue saja, dia tak pernah lupa bersyukur.

Setiap rupiah yang kita terima itu harus disyukuri, Da. Karena kita nggak pernah tahu, dari rupiah yang mana yang membuat hidup kita menjadi semakin berkah.

Pesan itu tak pernah lepas dari ingatan Aida. Sikap tak pernah lupa bersyukur dari Nisa telah menular kepadanya, yang juga selalu mensyukuri sekecil apapun yang ia dapatkan.

Namun kali ini berbeda. Respon Nisa benar-benar flat.

“I-Iya Tante. Insyaallah bisa kok. Kebetulan ini…”

Ya udah, makasih ya Da. Tante tutup dulu.”

“Iya Tan…” belum selesai Aida menjawab Nisa, panggilannya sudah terputus.

Tante Nisa kenapa?

Benar-benar, ini di luar kebiasaan.

Tak mengucap syukur ketika dikabari mendapat pesanan dalam jumlah banyak, dan kini bicara kepadanya dengan nada yang ketus. Bukan hanya sekedar ketus, tapi Nisa sampai memotong ucapan Aida yang belum sempat selesai, dua kali berturut-turut. Apalagi yang terakhir, tak mengucapkan salam ketika mengakhiri percakapan mereka. Ini benar-benar bukan Nisa yang biasanya.

Aida jadi sangat cemas sekarang. Khawatir.

Ia sudah cukup lama mengenal Nisa sampai bisa merasakan kalau ada sesuatu yang terjadi kepada tantenya itu. Padahal ia sudah berjanji dalam hati untuk melindungi Nisa, terutama setelah tahu kalau tante cantiknya itu diincar oleh Pak Tarun.

Eh, apa mungkin? Pak Tarun? Ah nggak… nggak… kan dia tadi kesini masih nanyain tante Nisa. Jadi, pasti satpam brengsek itu belum menyentuh tante Nisa. Tapi, apa yang terjadi pada tante ya?

Aida benar-benar tak bisa tenang kali ini. Ia ingin sekali pergi untuk memastikan kondisi tantenya. Tapi dia juga belum bisa pergi sekarang, karena tidak ada yang menjaga toko. Mira, keponakan Nisa yang lain, baru saja ijin tidak akan bisa datang hari ini.

Tante, semoga tante baik-baik saja. Semoga itu semua cuma perasaanku saja.



.::..::..::..::..::.



.:: KEESOKAN HARINYA



“Mir, hari ini kamu nggak ada acara kemana-mana kan?”

“Nggak ada kok Da, emang kenapa?”

“Aku mau keluar sebentar, kebetulan lagi ada perlu. Tapi nggak tahu juga sih bakal sebentar atau lama.”

“Oooh, iya iya, gampang. Aku bisa kok jaga toko sendiri. Kan semua udah kamu catat. Sorry yaa aku yang kemarin ngerepotin kamu, jadi kamu harus jaga sendirian, hehehe.”

Aida tersenyum lega. Untung sekali Mira hari ini bisa ia tinggal sendiri. Dan untungnya juga Mira tidak terlalu kepo dengan urusannya.

Jika Aida adalah keponakan Nisa, maka Mira adalah keponakan Haris. Mereka berdua sudah kenal sejak lama, dan semakin dekat sejak bekerja di toko kue milik Nisa ini. Mereka pun cukup terbuka dan sering saling berbagi cerita.

Namun kali ini, Aida belum ingin menceritakan keresahannya tentang Nisa, karena ia sendiripun belum tahu apa yang terjadi kepada tantenya. Ia ingin memastikannya dulu hari ini.

Tiiing…

Aida melirik ke layar ponselnya, sebuah notifikasi pesan muncul disana.

Nanti agak siangan aku jemput di toko, Sayang.

Tak menunggu lama, Aida pun segera membalasnya.

Iya.

Ya, ia memang meminta pria yang telah menikmati keperawanannya itu untuk mengantarnya melihat kondisi Nisa. Memang terlalu beresiko harus mengajak pria tua nan cabul itu. Apalagi sebenarnya ia bisa pergi kesana sendiri, toh rumah Nisa sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 menit naik ojek dari sini.

Namun Aida tak yakin untuk pergi seorang diri. Bukan tentang dirinya, tapi tentang Nisa.

Ia merasa tak tenang, seperti memiliki firasat yang tidak baik. Ia takut ada sesuatu yang terjadi pada Nisa, yang pada akhirnya harus membutuhkan bantuan orang lain. Ia tahu Haris masih di luar kota, jadi kalau ada apa-apa tak ada yang bisa segera membantunya.

Jalan paling mudah yang diambil oleh Aida, akhirnya ia harus mengajak seseorang. Sialnya, orang yang paling ia percayai untuk saat ini, tak lain dan tak bukan adalah Pak Sarmanto. Ini adalah pilihan yang jauh lebih masuk akal daripada ia harus mengajak Pak Tarun.

Mengajak kepala keamanan ruko itu untuk mengunjungi Nisa yang sedang tidak baik-baik saja adalah bunuh diri. Lelaki itu jelas-jelas memiliki niat jahat untuk bisa menikmati tubuh indah tantenya. Jika saat ini kondisi Nisa memang benar-benar sedang sakit dan tak berdaya, keberadaan Pak Tarun sudah pasti akan menjadi bencana untuk tantenya itu. Alih-alih menolong, Aida yakin kalau lelaki itu justru akan mengambil kesempatan yang terbilang langka ini.

Setidaknya, meskipun Pak Sarmanto sudah berhasil menundukkan dirinya, membuatnya menjadi lelaki yang mereguk manisnya keperawanan Aida, yang bahkan sudah menikmati setiap jengkal kulit mulus di tubuh sang dara, namun lelaki itu juga telah berjanji untuk melindunginya dan juga Nisa dari siapapun.

Meski Pak Sarmanto adalah seorang preman, tapi ada keyakinan dalam diri Aida, bahwa lelaki itu bukanlah orang yang akan ingkar janji. Tentu saja, Aida sangat paham apa yang menjadi konsekuensinya, dimana ia harus siap kapanpun sang bos preman itu ingin menikmati tubuhnya.

Hingga menjelang siang Aida masih membantu Mira untuk melayani beberapa pelanggan yang datang. Ia sebenarnya sangat senang bekerja disini. Toko ini selalu ramai, meskipun saat ini ada toko serupa yang hadir tak jauh dari sini. Cita rasa kue-kue yang dibuat oleh Nisa memang berbeda. Cita rasa itu sudah terlanjur melekat pada lidah para pelanggannya, sehingga mau ada toko-toko baru bermunculan sekalipun, selera mereka masih tetap ada di toko ini. Apalagi Nisa juga lebih senang mempekerjakan saudara-saudaranya sendiri ketimbang orang lain, sehingga suasana di toko ini selalu diliputi oleh nuansa kekeluargaan yang kental.

Maafin aku ya, Tante.

Aida sempat teringat, bagaimana ia berjanji pada Pak Tarun untuk menjebak tantenya itu, agar bisa terhindar dari pemerkosaan. Pikirannya pendek, tak mempertimbangkan bagaimana kebaikan demi kebaikan yang diberikan oleh Nisa selama ini kepadanya. Ia hanya berpikir untuk mempertahankan kehormatannya dengan mengorbankan orang lain.

Padahal, pada akhirnya dia harus menebus semua itu dengan sesuatu yang lebih berbahaya. Ia harus berurusan dengan kelompok misteriusnya Pak Sarmanto. Dan yang lebih parah lagi, akhirnya ia juga harus kehilangan kegadisannya di tangan Pak Sarmanto.

Sekilas ia menatap Mira yang dengan penuh senyum kebahagiaan melayani pelanggan. Sebuah attitude yang diajarkan oleh Nisa untuk bekerja di toko kue ini. Sebuah sikap yang wajib harus mereka miliki dalam melayani setiap pelanggan yang datang. Sikap yang juga sempat dimiliki oleh Aida, yang perlahan mulai luntur sejak dirinya hampir diperkosa Pak Tarun kala itu.

Tiiing…

Hanya sebuah lirikan tanpa membuka pesan, Aida pun minta ijin kepada Mira untuk bersiap.

“Mira, aku tinggal dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa, kamu hubungi aku aja.”

Mira yang masih melayani pelanggan pun mengangguk tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

Baru selangkah keluar dari toko, Aida menghentikan langkahnya. Ia menolehkan kepalanya. Kiri, kanan. Mencari-cari sosok yang sangat ingin ia hindari. Pak Tarun.

Entah kenapa sejak kemarin, saat hal aneh itu terjadi, Aida belum sekalipun melihat Pak Tarun lagi. Termasuk sekarang, di pos keamanan yang terlihat dari tempatnya berdiri, hanya ada 2 orang satpam muda disana. Meskipun sangat ingin menghindar, tapi entah kenapa Aida malah penasaran, kemana lelaki mesum itu?

“Siang Pak,” ucap Aida menyapa kedua satpam muda itu saat melewati pos keamanan.

“Eh iya, siang Mbak Aida. Mau pergi Mbak?” tanya salah satu dari mereka dengan sopan. Memang berbeda dengan Pak Tarun, yang Aida ketahui satpam-satpam lain disini cukup sopan orang-orangnya.

“Iya Pak. Ini, lagi jaga berdua aja?” tanya Aida.

“Iya Mbak Aida. Seharusnya kita bertiga, sama Pak Tarun. Tapi dari kemarin sore dia sakit.”

“Sakit? Kayaknya kemarin masih sehat-sehat aja pas ke toko.”

“Iya Mbak. Katanya habis dari toko Mbak itu, badannya mulai nggak enak. Saya sendiri yang kemarin ngatar Pak Tarun pulang.”

Aida berpikir sejenak. Seingat dia kemarin, Pak Tarun terlihat begitu sehat, bahkan masih saja menjengkelkan. Tapi kok sehabis dari tokonya malah sakit?

Eh, apa jangan-jangan

Aida menatap toko milik tantenya itu.

Kemarin siang dia mengalami kejadian aneh. Ia ingat ada seorang wanita yang datang memesan kue. Lalu, saat kuenya sudah siap, wanita itu sudah tidak ada, hanya tersisa Pak Tarun yang entah kenapa malah terengah-engah. Saat Aida menanyakan keberadaan wanita itu, tak lama kemudian kue yang ia persiapkan tiba-tiba hilang. Pikiran liar Aida mulai menebak-nebak, apa terjadi sesuatu di luar nalar di toko itu kemarin? Apalagi sampai membuat Pak Tarun sakit dan tidak masuk kerja sampai saat ini.

Iiiih amit… amit…

Aida berlalu begitu saja meninggalkan pos keamanan, meninggalkan kedua satpam muda yang bengong kebingungan dengan sikap aneh Aida barusan.

“Mbak Aida kenapa yo? Kok aneh ngono?”

Embuh, ra ngerti aku. Ayu ayu kok aneh.”



.::..::..::..::..::.



Beberapa saat setelah Aida pergi, Mira akhirnya bisa santai sejenak setelah sejak tadi melayani pelanggan yang terus berdatangan. Melelahkan memang, tapi dia cukup senang karena toko milik om-nya ini masih saja ramai meski pesaing sudah mulai bermunculan.

Dengan kondisi seperti ini, ia masih bisa bekerja di toko ini dengan tenang. Meski badannya lelah, tapi setidaknya ada kegiatan nyata yang bisa ia kerjakan untuk mengisi kekosongannya sehari-hari.

Di sela istirahat, sebenarnya ia tetap sibuk dengan ponselnya. Selain bekerja di toko ini, memang ada hal lain yang harus ia urus, meskipun itu masih lebih fleksibel, bisa ia urus kapan saja. Saking asyiknya ia dengan ponselnya, sampai tak menyadari seseorang masuk ke dalam toko.

“AIDAAAAAAAAA!! Mana Aida?!”

Sontak Mira terkejut sampai-sampainya ponselnya hampir terjatuh. Suara itu bukan sekedar bertanya, namun intonasinya sedikit menghentak.

“Iih kirain siapa. Om Pong ngapain sih teriak-teriak gitu?”

Mira yang tadinya kaget menjadi kesal saat melihat siapa yang datang. Ayah tiri Aida yang ia tahu beberapa hari lalu digelandang ke pos keamanan setelah babak belur dihajar para satpam, kini datang lagi ke toko. Mira bisa melihat kalau lelaki yang sehari-hari jadi pengemudi angkot itu tidak sepenuhnya sadar. Matanya agak memerah, dan dari baunya yang baru saja tercium, Mira tahu lelaki itu sedang mabuk.

Ini orang nggak ada kapoknya… Bisa-bisanya bawa angkot sambil mabuk gitu, pengen mati apa gimana?

“Aida kemana??!!”

Mira jadi semakin kesal pada orang ini. Kalau saja bukan ayah tiri dari Aida, sudah sejak pertama kali bertemu bakal ia beri pelajaran lelaki ini.

“Nggak ada, lagi pergi!” jawab Mira tak kalah ketus.

Sama sekali tak nampak rasa takut dari gadis yang seumuran dengan Aida itu. Dengan cueknya dia terus melanjutkan aktivitas dengan ponselnya. Hal ini tentunya memancing emosi Om Pong yang sudah terpengaruh oleh alkohol.

“Heh! Cewek kurang ajar! Ditanya sama orang tua nggak sopan gitu jawabmu!”

Mira yang makin kesal dengan ucapan Om Pong langsung berdiri dan menghampiri laki-laki itu.

“Saya nggak sopan? Emangnya situ sopan? Datang ke tempat orang main bentak, nggak ada unggah ungguhnya, gitu kok mau dihormatin! Aida nggak ada! Udah sana pergi!”

Wajah Om Pong terlihat semakin memerah. Pria gendut itupun melangkah maju mendekati Mira. Meski begitu, Mira masih terlihat tenang, tak nampak rasa takut dari gadis berwajah manis itu.

“Sundal…!!! Bocah baj…”

Plaaak…

Seetttt…

Duuuggg…

Braaakk…


“Aaarrrkkkk…”

Teriakan pilu terdengar dari mulut Om Pong yang tak sempat menyelesaikan ucapannya. Tangannya yang tadi hendak menggapai Mira mendapatkan kibasan dari gadis itu. Bukan hanya sebatas kibasan, tapi dengan gerakan yang sangat cepat, namun tepat dan mematikan, Mira melayangkan tendangan karate yang mengenai dada Om Pong hingga lelaki tua gendut itu terjatuh ke belakang menghantam meja.

Melihat Om Pong yang meringkuk kesakitan, Mira dengan beraninya mendatangi lelaki itu.

“Saya tahu, Om Pong berkali-kali bersikap kurang ajar disini. Saya tahu Om Pong berkali-kali memaksa Aida memberikan uang, sampai Aida harus berhutang karena terpaksa mengambil uang toko. Saya masih menahan diri, karena saya menghargai Aida. Tapi kalau Om mau kurang ajar sama saya, jangan harap! Ini peringatan terakhir, kalau sampai macam-macam lagi di toko ini, saya akan bikin Om Pong lebih menderita dari ini!”

Lelaki yang mulai tersadar dari mabuknya akibat tendangan dari Mira itu pun sedikit ketakutan. Mira yang ia kira lemah, seperti halnya Aida anak tirinya, ternyata bisa membuatnya tersungkur hanya dengan satu serangan. Om Pong memang tak pernah mempelajari satupun disiplin ilmu beladiri, tapi banyaknya pengalaman yang ia punya membuatnya paham kalau gadis yang sedang berdiri di depannya itu memiliki basic beladiri yang cukup bagus, yang tak bisa ia lawan begitu saja.

Akhirnya, tanpa mengucapkan apapun Om Pong dengan tertatih-tatih pergi meninggalkan toko kue tempat Mira bekerja. Ia kesal, karena selain tak bisa mendapatkan uang lebih dari Aida hari ini, ia juga harus menahan rasa sakit akibat serangan dari Mira. Ia tak membayangkan betapa malunya jika teman-temannya tahu kalau dia baru saja dipecundangi oleh seorang gadis muda yang terlihat lemah itu, hanya dengan satu tendangan yang mendarat di dadanya.

Awas kamu Mira! Hari ini kamu sudah mempermalukan aku. Kamu boleh ketawa sekarang, tapi tunggu saatnya nanti. Kamu, juga Aida. Harus membayar semua ini dengan tubuh kalian!

Selepas kepergian Om Pong, Mira yang sudah lebih bisa mengendalikan emosinya mengambil ponsel untuk mengirimkan pesan kepada seseorang. Ia sangat paham kalau orang seperti Om Pong tidak akan bisa menerima rasa malu seperti ini. Dan ia juga tahu, orang seperti Om Pong akan melakukan segala cara untuk bisa membalas dendam. Kalau hanya sekedar berkelahi dengan lelaki itu satu lawan satu, tentu Mira percaya akan dirinya sendiri. Tapi hal itu sepertinya tidak mungkin. Lelaki itu pasti akan mencari bantuan, yang mungkin tidak akan bisa diatasi oleh Mira seorang diri.

Apalagi Mira tahu kalau sebenarnya lelaki itu mengincar Aida, yang lebih tak bisa melindungi dirinya sendiri. Berkali-kali ia memergoki Om Pong memaksa Aida memberinya uang. Jika tidak ada, maka lelaki itu tak segan untuk memakai kekerasan, bahkan kadang melecehkan Aida.

Meskipun sangat kesal, tapi Mira cukup paham keadaan keluarga Aida, sehingga tidak ingin ikut campur terlalu banyak. Selama ini, ia hanya melindungi Aida dengan cara tidak membiarkan Aida sendirian dengan ayah tirinya itu.

Namun dengan kejadian barusan, Mira tahu ia butuh bantuan seseorang yang sangat ia percaya.



.::..::..::..::..::.





“Aaaaahhhhh… Kamu cepet belajar ternyata sayang…”

“Mmpphh… Sluurrpph… Mmpphh…”

Di dalam mobil, Pak Sarmanto merem melek menyandarkan tubuhnya pada jok. Celana dan celana dalamnya telah turun, dimana penis perkasanya sedang mendapatkan pelayanan dari mulut Aida. Gadis cantik yang masih berpakaian lengkap itu memberikan pelayanan itu sebagai bayaran untuk jasa Pak Sarmanto mengantarkan dirinya menemui Nisa.

Tadinya Aida mengira kalau Pak Sarmanto meminta jatah lebih, dan ia pun sebenarnya juga sudah bersiap. Tapi lelaki itu ternyata hanya meminta Aida untuk mengoral penisnya saja, bahkan tanpa gadis cantik itu disentuk sedikitpun olehnya.

“Man, matamu jangan ngelirik spion terus. Lihat depan, nggak usah kepo…!”

Di sela sedang menikmati servis dari budak barunya itu, Pak Sarmanto menyadari kalau supirnya sedang mengintip apa yang sedang terjadi di bangku belakang.

“Siap, Bos. Siap.”

Tanpa berani membantah, Ponadi sang anak buah Pak Sarmanto langsung berusaha fokus untuk melihat ke depan dan tidak memperhatikan apapun. Hal yang cukup sulit karena suara mulut Aida yang sedang mengulum penis bosnya masih terdengar cukup jelas di telinganya, tapi dia juga tahu seperti apa hukuman yang akan diberikan oleh bosnya kalau dirinya tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Pak Sarmanto.

“Sssshhh… Uuugghhh lebih dalam lagi sayang…”

Kali ini Pak Sarmanto sampai menahan kepala Aida yang masih terbungkus jilbab pink-nya, memaksa gadis itu untuk mengulum lebih dalam penis besarnya. Aida sampai kesulitan bernafas, sampai terbatuk-batuk, tapi tak berani melawan tuannya itu.

Pak Sarmanto benar-benar menikmati kuluman dari gadis yang baru ia perawani itu. Meskipun Aida masih sangat amatir dalam urusan oral sex, tapi justru itulah puncak kenikmatan yang paling disukai oleh Pak Sarmanto. Ia merasa mendapatkan sensasi yang lebih nikmat dari Aida seperti ini dibandingkan dari wanita yang sudah ahli dalam urusan oral sex. Ada kebanggaan tersendiri, apalagi kalau gadis yang masih amatir itu, melakukan oral sex untuk pertama kali dengan dirinya.

“Iyaaahh… Aaahhh bentar lagi sayaang…”

Tubuh Pak Sarmanto mulai menegang. Tangannya masih menahan kepala Aida agar tak sampai melepaskan penisnya. Hal itu membuat Aida gelagapan, tak ingin lelaki itu memuntahkan lahar panasnya ke dalam mulutnya. Tapi apa daya seorang Aida yang tak punya kekuatan sebesar Pak Sarmanto, hingga akhirnya ia harus pasrah memejamkan mata menerima semburan demi semburan yang menghantam telak di tenggorokannya.

“Aaaaaaaahhhhhh…”

Terdengar desah kepuasan Pak Sarmanto seiring cairan kentalnya keluar memenuhi mulut mungil sang bidadari. Untuk sesaat kepala Aida masih tertahan, yang membuat mau tak mau gadis cantik itu menelan sebagian besar sperma kental milik Pak Sarmanto. Dia tidak ingin, bahkan serasa mual saat cairan kental itu mulai masuk ke perutnya, namun ia tak bisa apa-apa selain menahannya.

“Phuuaaaahhh… Uhuuk uhuukk uhuuukk…”

Akhirnya kepala Aida terlepas dari cengkraman Pak Sarmanto. Ia terbatuk-batuk mengeluarkan sisa cairan sperma lelaki itu yang belum sempat ia telan. Meskipun Pak Sarmanto bisa melihatnya dengan jelas, namun dia tak marah dan memaksa Aida untuk menelan semuanya.

Ia tahu, ini adalah pertama kali sang gadis mengecap bagaimana rasa sperma seorang pria perkasa seperti dirinya. Ia membiarkan saja, karena nantinya, gadis itu juga akan terbiasa dengan rasa sperma, bahkan bisa jadi justru akan meminta duluan untuk bisa menelan sperma sang pejantan itu, seperti yang sudah pernah terjadi pada beberapa wanita yang telah ia taklukan.

Selepas itu Aida membersihkan mulutnya, juga pipi dan bagian-bagian wajahnya yang belepotan oleh sperma Pak Sarmanto, maupun air liurnya sendiri. Matanya memerah. Ada setetes dua tetes air mata yang keluar, namun ia seka duluan sebelum sempat turun membasahi pipinya. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang telah menaklukannya itu. Pria yang kini ia percayai untuk menjadi pelindung dirinya dan Nisa.

Pak Sarmanto pun hanya tersenyum melihat tingkah Aida. Dari sekian wanita yang telah berhasil ia taklukan, mungkin Aida bukan yang tercantik, bukan yang paling seksi, bukan pula perawan pertama yang ia renggut kesuciannya. Namun entah kenapa Aida seperti punya daya tarik yang disukai oleh lelaki itu dibandingkan dengan wanita-wanita lain.

Biasanya, Pak Sarmanto bukanlah bos yang egois. Hampir semua wanita yang pernah ia cicipi, pada akhirnya akan dinikmati juga oleh anak buahnya. Ia tak pernah memiliki keinginan untuk menahan, atau menikmati sendirian wanita yang telah ia taklukan. Meski seorang penjahat kelamin, semua kelakuannya benar-benar berhenti di kelaminnya saja. Tak pernah ia main hati, sama sekali. Untuk masalah perasaan, ia sangat setia kepada istrinya.

Tapi dengan Aida, entah kenapa ada getaran lain yang tak biasanya. Pak Sarmanto menampik kalau itu adalah perasaan sayang, atau cinta. Tapi sebenarnya ia sendiripun masih tak yakin. Hanya saja sejak mengantar Aida pulang malam itu, baru saja mobil berjalan meninggalkan kost Aida, ia sudah langsung merasa rindu pada gadis itu. Sebuah perasaan yang sama sekali belum pernah ia rasakan terhadap para mangsanya.

Setiap tingkah Aida, semuanya masuk ke dalam ingatan Pak Sarmanto, yang tak lantas hilang begitu saja. Ia benar-benar menikmati, bahkan benar-benar masih teringat, bagaimana detik-detik saat ia berhasil menembus selaput dara milik Aida. Ia merasakan betul setiap kenikmatan dari jengkal demi jengkal penisnya yang dijepit erat oleh dinding vagina Aida. Ia masih ingat betul bagaimana desahan-desahan yang keluar dari mulut Aida, yang terekam jelas dalam memorinya.

Aida adalah seorang bidadari kenikmatan yang tak akan puas ia rengguk madunya.

Pak Sarmanto pun tak habis pikir, karena baru kali ini ia merasakan hal seperti ini. Jangankan dengan wanita-wanita lain, saat dulu pertama kali berhubungan dengan istrinya sekalipun, ia tak pernah sampai terngiang-ngiang seperti ini. Semua itu membuat Pak Sarmanto begitu merindukan Aida, dan betapa senangnya ia saat menerima pesan dari sang bidadari untuk mengantarkannya ke tempat Nisa.

Pak Sarmanto tidak peduli apapun urusan Aida dan Nisa. Toh kalau memang terjadi sesuatu pada Nisa, ia tinggal menghubungi anak buahnya saja. Yang paling penting saat ini adalah ia bisa bertemu kembali dengan Aida.

Saat Aida tadi masuk ke dalam mobilnya, ia benar-benar tak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya. Untung saja tak ada yang melihatnya, termasuk Ponadi supirnya, karena ia pasti akan bingung dengan perubahan sikap dari bosnya itu. Sungguh out of character.

“Mbak Aida, beneran ini kan alamatnya?” tanya Ponadi yang tiba-tiba membuyarkan kesunyian di dalam mobil.

Aida pun tersadar dan melihat ke sekitar.

“Iya, benar. Tapi kok…”

Aida, Pak Sarmanto dan Ponadi bingung melihat kerumunan orang yang sedang berkumpul di salah satu rumah. Aida belum benar-benar melihat dengan jelas rumah siapa yang sedang menjadi tempat berkumpul orang-orang itu. Tapi yang jelas, itu dekat dengan rumah tantenya.

“Ada apa ya itu? Coba kamu cari tahu, Pon.”

“Baik, Bos.”

Setelah memarkirkan mobil, Ponadi pun turun dan berjalan perlahan menuju kerumunan itu. Dari dalam mobil, Aida dan Pak Sarmanto mengamati dalam diam. Meski tak bisa mendengar, mereka bisa melihat kalau orang-orang itu sepertinya sedang marah. Seperti ada sesuatu yang membuat mereka begitu marah.

Sepeninggal Ponadi, Aida terlihat sangat resah. Keramaian itu terjadi di sekitar rumah tantenya. Apakah firasat buruk yang ia rasakan tadi benar adanya? Apakah terjadi sesuatu pada tante Nisa sampai begitu banyak orang yang datang? Tapi kalau iya, kenapa orang-orang itu sepertinya berdatangan dengan keadaan diliputi emosi?

“Itu, kayak lagi pada marah-marah nggak sih Pak?” ujar Aida pelan, ragu, meminta pendapat dari Pak Sarmanto.

Lelaki itu mengangguk meski Aida tak melihatnya.

“Sepertinya begitu,” jawab lelaki itu singkat.

Meskipun jarak mereka tak terlalu dekat dengan kerumunan itu, namun tentu saja Pak Sarmanto yang sudah kenyang pengalaman bisa membaca situasi itu. Itulah kenapa ia menyuruh Ponadi untuk mencari tahu dulu apa yang terjadi, alih-alih terus mendekat dan langsung bergabung di kerumunan itu. Bisa jadi situasi akan berubah menjadi berbahaya untuk mereka mengingat Aida ada hubungan dengan Nisa.

Tak berapa lama kemudian Ponadi terlihat berjalan kembali ke mobil. Lelaki itu tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Datar-datar saja. Begitu masuk kembali ke mobil, Ponadi langsung diberondong pertanyaan oleh Aida.

“Gimana, Pak Ponadi? Ada apa disana? Apa itu di rumahnya tante Nisa? Atau di rumah tetangganya?”

Aida benar-benar terlihat resah dan cemas, sampai-sampai Pak Sarmanto harus merangkul pundak sang gadis untuk menenangkannya.

Ponadi sendiri tak langsung menjawab, ia sepertinya ragu. Lelaki muda itu kemudian menatap Pak Sarmanto, seolah meminta ijin atau juga menunggu perintah dari bosnya itu. Pak Sarmanto menganggukkan kepala, karena ia juga penasaran terhadap apa yang sedang terjadi.

“Iya, itu rumahnya Bu Nisa,” ucap Ponadi.

“Hah? Jadi bener itu rumahnya tante Nisa? Ada apa disana Pak? Apa ada yang terjadi sama tante Nisa? Kenapa orang-orang itu kelihatan marah? Apa ada yang menyakitin tante Nisa?”

Aida terus memberondong Ponadi dengan pertanyaan sampai-sampai tak sadar air matanya telah jatuh membasahi pipinya. Terlihat sekali kecemasan pada wajah gadis muda itu. Dia benar-benar takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap tantenya. Apalagi mengingat di rumah itu masih ada sepupunya yang masih sangat kecil, terlebih Haris masih berada di luar kota.

Ponadi terlihat menghela nafas, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Aida.

“Para warga, mereka menggerebek kediaman Bu Nisa.”

“Hah? Digerebek? Kok… Kok bisa?!”

Ponadi mengangguk, “Terkuaknya kasus perselingkuhan Bu Nisa dengan tukang bangunan komplek ini telah membuat heboh, Mbak. Ini menjadi pengadilan jalanan setempat. Mereka menghendaki pengakuan langsung dari Bu Nisa.”

Aida benar-benar shock mendengar jawaban Ponadi.

Tante Nisa, selingkuh? Sama tukang bangunan?

“Nggak. Nggak mungkin Pak. Fitnah itu. Nggak mungkin tante Nisa ngelakuin itu! Pak Sarmanto, ini fitnah Pak. Tolongin tante Nisa, Pak.”

“Tenang dulu, Sayang. Ponadi! Kamu kalau cerita jangan sepotong-potong gitu, nggak jelas!”

“Iya Bos. Tapi memang itu yang saya dengar dari warga. Mereka bahkan punya bukti foto sama videonya. Tadi saya sempat lihat dan minta, ini coba Mbak Aida lihat, bener Bu Nisa atau bukan.”

Ponadi memberikan ponselnya kepada Aida, yang menerima dengan tangan bergetar hebat sampai harus dibantu oleh Pak Sarmanto.

A-Astagaaaa!? Nggak!!! Nggak mungkin!!!

Tangis Aida benar-benar meledak dalam pelukan Pak Sarmanto, saat melihat foto di ponsel Ponadi. Itu, adalah foto tantenya. Itu, adalah foto Nisa.

Nisa terbaring di sebuah ranjang dengan pria yang jelas-jelas bukan Haris. Foto dimana Nisa dan lelaki itu terbaring tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka. Dan yang membuat Aida semakin shock, karena ia tahu siapa lelaki itu. Aida kenal dengan Mang Juki. Ia pernah bertemu lelaki itu saat main ke rumah Nisa. Mang Juki sering ditunjuk untuk memperbaiki rumah Nisa.

Saat itu tak ada firasat apapun tentang Mang Juki. Kesan yang ia tangkap adalah Mang Juki lelaki yang baik dan tidak kurang ajar kepadanya. Aida benar-benar tak menyangka kalau tantenya bisa punya hubungan gelap dengan pria itu.

Kenapa harus Mang Juki sih, tante?

Aida benar-benar menyesalkan kenapa tantenya bisa berselingkuh dengan seorang tukang bangunan seperti Mang Juki. Nisa jelas memiliki wajah yang begitu cantik, yang seandainya ia benar-benar ingin selingkuh, ada banyak lelaki yang jauh lebih baik ketimbang Mang Juki yang mau dengannya. Bukan sekali dua kali Nisa digoda saat ada pelanggan datang ke toko kuenya. Pun yang menggodanya adalah lelaki-lelaki dengan kualitas tinggi.

Eksekutif muda, pegawai kantoran, bahkan sampai anak kuliahan pun pernah menggoda Nisa. Dan tentu saja, mereka punya paras yang tampan, tubuh yang tegap berisi, juga yang jelas memiliki pundi-pundi kekayaan yang jauh di atas Nisa dan keluarganya. Namun semua itu tak pernah menggoyahkan kesetiaan Nisa kepada Haris. Lalu, kenapa saat ini malah ia berselingkuh dengan pria seperti, Mang Juki?

Bukan. Masalahnya bahkan bukan berselingkuh dengan siapa. Tapi, kenapa Nisa harus berselingkuh? Apa yang kurang dari Mas Haris? Apa yang kurang dari keluarga kecil Nisa yang terlihat bahagia dan berkecukupan? Apa yang kurang dari itu?

Aku sudah mengorbankan diriku. Aku sudah mengorbankan keperawannku untuk melindungi Tante. Tapi kenapa Tante malah seperti ini? Lalu, buat apa semua pengorbananku ini? Bukankah lebih baik memang Tante kujebak saja, biar diperkosa sama Pak Tarun sekalian? Ataukah Tante Nisa tanpa dijebak pun sudah akan menikmati diperkosa oleh Pak Tarun? Tidak kukira Tante Nisa yang baik ternyata menyimpan gejolak nafsu tabu yang tak layak.

Keterkejutan dan kesedihan Aida mulai diambil-alih oleh perasaan marahnya.

Ia benar-benar marah kepada Nisa.

Setelah semua yang ia lakukan. Setelah semua yang ia korbankan, yang semata-mata hanya untuk melindungi sang tante, orang yang ia anggap sebagai penyelamat hidupnya dengan memberinya pekerjaan dan semua fasilitas penunjang. Setelah semua itu, ternyata, pengorbanannya sia-sia belaka?

Ternyata Tante Nisa tak lebih dari seorang lonte? Jadi kenapa dia harus berkorban? Apakah semuanya sia-sia?

Keperawanan yang seharusnya ia jaga untuk sang calon suami, keperawanan yang telah ia berikan kepada Pak Sarmanto sebagai syarat untuk melindungi Nisa. Apakah kini, hal tersebut tak ada gunanya lagi?

Semurah itukah harga keperawanannya? Air mata tipis leleh di pipi sang dara. Apakah semuanya sia-sia saja? Apakah begini saja?

“Tunggu dulu,” ucap Pak Sarmanto yang sedari tadi diam mengamati foto di ponsel Ponadi, “Sepertinya, ada yang aneh.”

Dia memang tadinya sempat menikmati pemandangan dari foto itu. Tubuh molek nan sintal milik Nisa, untuk sesaat mampu mengalihkan fokusnya. Bahkan kalau boleh jujur, penis Pak Sarmanto sempat mengeras melihat betapa indahnya tubuh ibu dua anak itu. Bagaimana bisa sudah punya dua anak tapi masih seseksi itu?

Namun kemudian Pak Sarmanto menyadari satu hal.

“Apa Pak? Apanya yang aneh?” tanya Aida yang sudah mulai emosi, namun penasaran dengan ucapan Pak Sarmanto.

“Kalau memang tantemu selingkuh, bahkan tidur sama pria ini, lalu siapa yang mengambil foto? Dari situ saja sudah aneh sekali. Ini artinya ada yang dengan sengaja mengambl gambar saat mereka berdua tengah terlelap. Jelas ini bukan foto hasil tangkapan kamera CCTV.”

Pak Sarmanto kemudian menggeser layar ponsel, untuk melihat foto lainnya.

“Aneh sekali jika mereka hanya tertidur. Sebegitu lelapkah mereka berdua sampai-sampai tak sadar saat orang itu masuk dan mengambil gambar keduanya secara bebas? Lihat ini, sudutnya berbeda – ini tidak diambil oleh kamera tunggal. Artinya, foto dan video ini diambil oleh seseorang entah menggunakan HP atau multikamera. Eh, naaah yang ini… dan ini…”

Tiba-tiba saja di foto yang kedua, Pak Sarmanto tertegun.

“Apa Pak? Ada apa? Yang ini apaaaa…!?”

Aida yang tadinya marah kepada Nisa, untuk sesaat mereda emosinya. Ia tadi sepakat dengan ucapan Pak Sarmanto soal siapa yang mengambil foto. Kemudian sekarang, ia semakin penasaran dengan ucapan lelaki yang telah memerawaninya itu. Aida dibuat penasaran, apalagi Pak Sarmanto tak langsung menjawab.

Pria tua itu mencoba memperbesar foto di ponsel. Sayangnya, fotonya telihat pecah, namun begitu Pak Sarmanto masih mengangguk dengan yakin. “Aida, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.”

“Apa itu Pak?”

“Pertama, tentu saja kemungkinan yang paling jelek adalah tantemu mungkin saja memang telah berselingkuh dengan lelaki ini. Tapi hal itu bukan murni karena keinginannya. Kamu lihat disini,” ucap Pak Sarmanto sambil menunjuk sebuah titik di foto itu. “Tidak terlalu jelas memang, tapi itu seperti botol obat. Mungkin saja, tantemu dicekokin obat perangsang sampai akhirnya bisa berselingkuh sama lelaki ini. Botol itu diletakkan secara asal-asalan. Kemungkinan karena pemiliknya terburu-buru dan lupa menyembunyikannya secara aman.”

Aida meneguk ludah.

Penjelasan dari Pak Sarmanto memunculkan pikiran positif terhadap tantenya. Dia memang cukup kenal Tante Nisa, dan rasanya sangat sulit untuk mempercayai kalau Nisa bisa berselingkuh dan memberikan tubuh indahnya itu begitu saja kepada Mang Juki. Rasa-rasanya hal itu di luar nalar.

“La-Lalu, apa kemungkinan keduanya?”

“Kemungkinan kedua, tantemu dan laki-laki jelek ini, telah dijebak oleh orang yang mengambil foto, dia dengan sengaja menempatkan mereka berdua dalam situasi yang tidak sedap,” ucap Pak Sarmanto dengan yakin sembari menyeringai.

“Dijebak? Kok Bapak bisa punya pikiran gitu?”

Pak Sarmanto menggeser kembali layar ponsel untuk menampilkan foto yang pertama.

“Coba lihat baik-baik, di bagian kepala lelaki ini.”

Pak Sarmanto membiarkan Aida dan Ponadi melihat dengan lebih teliti foto itu.

“Kayak ada bekas luka, Boss,” ucap Ponadi yang lebih dulu menyadari maksud Pak Sarmanto.

“Betul. Memang tidak terlalu terlihat, tapi kita-kita pasti paham bentuk seperti ini bekas apa,” ucap Pak Sarmanto.

Aida mengernyitkan dahinya. Ia memang melihat ada sesuatu di bagian kepala Mang Juki, tapi tidak bisa menyimpulkan apa itu. Sedangkan Ponadi, yang tentu familiar dengan bentuk bekas luka seperti itu, langsung bisa menebak setelah melihatnya lebih teliti.

“Siapapun yang melihat foto ini, perhatian pertama mereka pasti akan mengarah kepada Nisa. Melihat tubuh telanjang cewek yang setiap hari berpakaian tertutup dan berpenampilan sopan, pasti mereka akan fokus kesana. Yang cowok, ya pasti akan sange. Yang cewek, bisa saja shock, ada juga yang marah karena merasa tertipu pada sosok Nisa yang sehari-hari alim ternyata mesum. Tapi mana ada yang bakal merhatiin si cowoknya. Padahal justru di sosok dialah ada jawabannya.”

Aida menggeleng. Ia memang baru menyadari hal itu. Saat pertama kali melihat foto itu, memang perhatiannya hampir seluruhnya tercurah pada sosok Nisa. Ia hanya sekilas saja melihat sosok pria, yang setelah ia tahu kalau itu adalah Mang Juki, tak lagi ia perhatikan lebih detail.

“Jadi, bisa saja tantemu diperkosa oleh seseorang dengan bantuan obat perangsang, lalu menjebak lelaki itu dan membuat mereka berdua seolah-olah baru saja kelelahan setelah bermain cinta.”

“Hahhh!? Ja… Jadi, tante Nisa, diperkosa?” Aida memekik tertahan.

Pak Sarmanto mengangkat bahunya. Ia mengembalikan ponsel itu kepada Ponadi, lalu duduk bersandar. Matanya nampak tajam melihat ke arah kerumunan, mengamati lebih detail orang-orang yang sedang berkumpul disana. Rasa-rasanya semua orang yang datang kesana terlihat begitu marah kepada si pemilik rumah, alias Nisa.

Loh, itu.



Mata tajam Pak Sarmanto melihat sebuah anomali. Di antara orang-orang yang sedang marah ketika mengerebek rumah Nisa, ada satu sosok yang berdiri di belakang, justru terlihat senang. Senyum yang keluar dari orang itu tentu saja sangat mencurigakan. Tak perlu menjadi orang yang punya banyak pengalaman untuk bisa tahu kalau sikap orang itu terlalu aneh. Apalagi Pak Sarmanto yang sudah begitu paham dengan dunia tipu-tipu premanisme yang ia jalani bertahun-tahun.

Apakah orang itu yang telah membuat Nisa dan Mang Juki menjadi…!? Eh!?

Namun, tak lama kemudian Pak Sarmanto kembali dikejutkan oleh satu sosok yang berdiri tak jauh dari kerumunan orang yang menggeruduk rumah Nisa. Jika sejak tadi ekspresi wajah Pak Sarmanto begitu tenang, termasuk ketika melihat dan menganalisa foto bukti perselingkuhan Nisa, kali ini wajah Pak Sarmanto sedikit berubah.

Ada campuran antara ketegangan, ketakutan, amarah, dendam, dan kekhawatiran yang bercampur dari ekspresinya. Mulutnya terus diam, tapi otaknya berpikir keras. Hingga ia sampai pada sebuah kesimpulan yang mengharuskannya memperingatkan seseorang.

Sebenarnya, Pak Sarmanto ingin segera pergi dari tempat itu. Ia tak ingin kehadirannya disini menimbulkan kecurigaan. Namun ia tahu, Aida tak mungkin mau diajak pergi. Gadis lugu itu tentu saja ingin menyelamatkan tantenya dari amuk massa. Meskipun untuk melakukan itu, pastinya juga akan menjadi hal yang sangat sulit.

Di saat Pak Sarmanto sedang berpikir keras, ia sedikit tersenyum mengetahui seseorang berjalan di samping mobilnya, menuju ke arah rumah Nisa.

Meski tak kenal secara dekat, tapi Pak Sarmanto tahu siapa orang itu. Dia adalah Sukirman. Dengan adanya Sukirman disana, ia pikir keadaan akan menjadi lebih tenang, warga juga akan bisa dikondisikan sehingga tidak perlu mengkhawatirkan Nisa terlalu jauh. Meskipun, mungkin saja Sukirman tidak akan menyelamatkan Nisa begitu saja dari amuk masa. Pak Sarmanto cukup tahu bagaimana watak dari kakak Sukirlan itu.

“Kalian tunggu disini sebentar, aku mau menghubungi seseorang,” ucap Pak Sarmanto yang bersiap keluar dari mobil.

“Loh Pak. Bapak mau kemana? Itu tolong selamatkan dulu tante Nisa, Pak.” Aida menggoyang-goyang lengan Pak Sarmanto.

Aida protes keras karena Pak Sarmanto seperti ingin pergi dan tak peduli mengenai nasib tantenya. Apalagi saat ini rumah Nisa ramai dengan warga yang marah. Menyelamatkan Nisa dan membawanya pergi dari sana justru akan membahayakan mereka sendiri.

“Tenang aja, tantemu tidak akan kenapa-kenapa kok. Itu, orang yang barusan lewat, namanya Sukirman. Dia salah satu tokoh masyarakat di desa ini. Dia cukup dihormati di sini. aku yakin dengan adanya dia, tantemu tidak akan kenapa-kenapa. Sukirman yang akan menyelamatkan.”

“Bapak janji yaa, kalau tante saya nanti bakal diselamatkan?!”

“Iya, kamu tenang saja sayang. Ini juga aku mau panggil bantuan kok.”

Aida tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Pak Sarmanto. Tapi saat ini, dia tahu yang dia harus lakukan hanyalah mempercayai bos preman itu. Ia hanya berharap kalau Pak Sarmanto benar-benar akan bisa menyelamatkan tantenya dari situasi yang terdesak ini.

Sekeluarnya dari mobil, Pak Sarmanto menuju ke sebuah titik yang ia rasa aman untuk menghubungi seseorang. Terdengar nada tunggu berkali-kali, namun teleponnya tak kunjung diangkat. Pak Sarmanto bukan orang sabar, dia tidak ingin menunggu apapun. Lelaki tua berperut tambun itu pun mulai tersulut emosinya. Beberapa kali diulangi menghubungi orang itu, namun tak kunjung diangkat juga.

Ini yang terakhir, kalau sampai nggak diangkat, awas kamu!!!

Tuuuutttt… Tuuuutttt… Tuuuutttt…

Nada sambung terdengar, telepon diangkat setelah sekian lama dihubungi oleh Pak Sarmanto.

“……………………….”

Wedhus! Ditelpon ora diangkat-angkat! Darimana saja kamu?”

Pak Sarmanto sebenarnya sudah cukup marah, namun dia masih bisa mengendalikan dirinya agar tak sampai berteriak, karena itu akan mengundang perhatian warga sekitar.

“……………………….”

“Halah… Mangsa baru mangsa baru. Alesanmu basi! Kalau sudah urusan sama memek, susah mau nyari kamu! Jingan! Ini ada urusan penting yang mesti kamu ketahui…”

“……………………….”

Wes, itu kapan-kapan aja! Aku lagi nggak minat yang begituan! Aku ada berita penting buat kamu, sekaligus kasih kamu peringatan!”

“……………………….”

“Obat itu. Kamu masih punya stok?”

“……………………….”

“Oke. Untuk sementara tahan, jangan diedarin.”

“……………………….”

“Kamu tahu kan, ada sesuatu yang terjadi di cluster Kembang Arum Asri di lereng Gunung Mandiri? Ada kehebohan di sana. Aku tertarik dengan itu jadinya aku datang. Ada sesuatu yang menurutku mencurigakan dari peristiwa ini.”

“……………………….”

“Iya, aku lagi disini. Barusan aku lihat juga si Sukirman lewat mau ke rumah si Nisa yang ayu itu. Tidak apa-apa, kita biarkan saja dia mengamankan situasi untuk saat ini, toh itu memang tugas dia. Tapi yang pasti, kita tidak ingin ada keterlibatan polisi. Kalau ada mereka, bakal merembet kemana-mana urusannya.”

“……………………….”

“Apalagi aku juga melihat ada yang mencurigakan.”

“……………………….”

“Iya. Aku lihat ada orang yang mencurigakan. Kalau menurut tebakanku, dia orang yang jadi dalang si Nisa digerebek. Aku juga tahu ada keterlibatan obat itu pada peristiwa ini, pasti orang itu dapat obat itu dari kamu! Siapa lagi kalau bukan kamu!? Satu-satunya dealer di sini kan kamu!”

“……………………….”

“Iya siapalah namanya, aku nggak peduli. Yang penting, sekarang kamu tahan dulu stok yang masih ada, jangan diedarin dulu! Jangan sampai ada orang lain tahu peredaran obat itu sudah sampai di Lereng Gunung Mandiri. Wedhus pancene!”

“……………………….”

“Betul sekali. Kemungkinan ada intel di daerah ini. Aku tidak tahu siapa dan aku tidak peduli juga dia yang mana. Yang penting namaku tidak disangkutpautkan dengan urusan apapun di tempat ini, apalagi yang ada urusannya dengan selangkangan kalian! Polisi bisa dengan mudah mengendus masalah obat ini gara-gara diekspos seperti ini dan aku tidak mau terlibat”

“……………………….”

“Iya. Aku belum yakin, nanti aku cari informasi lagi. Makanya, untuk saat ini kamu tiarap dulu. Kasih tau semua anak buahmu untuk tidak gegabah, jangan gunakan dulu apa-apa sampai suasana aman. Beritahu semuanya tanpa terkecuali!”

“……………………….”

“Iya. Ingat baik-baik dan jangan lengah! Apa yang barusan aku bicarakan ini masalah serius. Kenapa aku benar-benar menegaskan ke kamu, karena aku kenal kamu, Lan! Kamu itu bakal lengah kalau sudah ada cewek buka selangkangan lebar-lebar! Begitu ada memek kamu sering meleng dan tidak fokus. Kali ini kamu harus benar-benar serius, jangan macam-macam!”

Tanpa menunggu jawaban dari orang yang ia hubungi, Pak Sarmanto mengakhiri panggilannya.

Wedhus! Masa harus diajarin mengurusi hal semacam ini!? Semoga kali ini Sukirlan manut, nurut dan nggak macam-macam. Bisa bahaya kalau dia nggak mau ngikutin perintahku. Nama baikku bisa tercoreng dan terbawa ke dalam masalah yang membagongkan. Wedhus pancene.

Pak Sarmanto kembali masuk ke dalam mobil, saat melihat keluar ia menyaksikan Aida sedang mengamati kerumunan warga dengan tegang. Berulang kali gadis itu meremas-remas tangannya dan menengok ke arah Nisa dan lelaki buruk rupa yang konon meniduri Tante-nya itu dengan pandangan cemas. Dia tidak ingin sang Tante kenapa-kenapa.

Pak Sarmanto mengelus-elus dagunya, “Bagaimana menurutmu, Pon?”

Ponadi melirik bos-nya dan melihat ke arah kerumunan, ia menahan diri sebentar untuk berpikir sebelum akhirnya memberikan komentar, “Sepertinya amarah warga sudah mulai mereda. Mereka tidak sebuas sebelumnya, Bos. Situasi sudah aman. Ada yang sudah menenangkan publik. Saya tidak tahu siapa, tapi yang jelas Non Aida akan baik-baik saja di sana.”

Pak Sarmanto tersenyum, Ponadi tahu betul apa yang ia pikirkan. Bos preman itu melirik ke arah kerumunan warga. Ada seseorang yang tengah menengahi semuanya. Dia yang membuat suasana menjadi lebih kondusif. Nisa yang molek harus berterima kasih pada orang itu.

Lelaki yang berdiri di depan warga sepertinya memang sangat berkharisma, Ia benar-benar bisa meredakan amarah warga, entah apapun yang dikatakannya di sana. Setelah ia berhasil menenangkan warga, barulah Sukirman berdiri menggantikannya. Sarmanto mendengus dan geleng-geleng kepala, Sukirman memang bisa diandalkan di saat-saat seperti ini.

Bajingan memang kamu, Man. Pinter banget bersilat lidah di depan warga. Aku benernya tahu, kamu pasti juga mengincar memeknya si Nisa kan, Man? Memang kelihatannya legit dan sedap. Siapa yang tidak mau. Heheh. Tapi ya sudah lah, yang penting kondisinya aman dulu.

Lalu orang yang di sana itu, sepertinya aku harus benar-benar hati-hati menghadapinya
. Siapa dia? Dia sangat mencurigakan.

Pandangan tajam Pak Sarmanto kembali menatap seorang pria yang berdiri tak jauh dari kerumunan warga, menyaksikan keributan yang sedang terjadi di rumah Nisa dengan seksama. Lelaki itu terlihat begitu tenang, mengamati keadaan dari samping gerobak sayur, yang hanya tinggal menyisakan sedikit dagangan saja.

Terlalu tenang. Terlalu santai. Terlalu biasa. Terlalu tanpa rasa penasaran. Orang biasa akan merasa penasaran, tegang, tertarik, ataupun kebingungan menghadapi kericuhan semacam ini.

Sikapnya mencurigakan. Siapa dia? Apakah dia orang sini?

Benarkah dia seorang tukang sayur?

Atau jangan-jangan…





BAGIAN 19 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 20
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd