Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
selalu terbaik sih ceritanya
ceritanya sudah dibangun dengan baik, tapi setiap update selalu konsisten menyuguhkan drama yang gak kaleng2
emosi selalu diaduk2
 
pembaca baru datang.. diliat2 baru baca bab 3 udah keren abis
ditunggu lanjutannya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAGIAN 20 | BUAH SEMANGKA BERDAUN SIRIH
Cerita oleh @fathimah | editing oleh @killertomato








Amy ketakutan.

Ibu muda jelita itu benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan. Ia merinding, jika ia tidak bisa mencari jalan keluar, ia harus melayani nafsu birahi orang yang di depannya ini!

Tangannya mencoba meraih apapun yang bisa diraih tanpa hasil. Tidak ada senjata yang bisa ia gunakan.

“Mau cari apa he? Daripada tidak ada gunanya, lebih baik kamu letakkan saja tangan kamu di atas meja. Nah iya begitu, terus mundurin bokong kamu yang seksi ini ke belakang, Dek Amy. Naaaah betul. Hahaha... huff, seksinya bokong kamu ini.”

Tangan pak Barsono melayang.

Plaaaak!

“Hnngh! Saya mohon jangan Paak... Aaaahhhh...!”

“Yakin mau berhenti sekarang? Lha wong tubuh kamu ini sepertinya malah pengin saya buat lanjut kok? Coba deloken dewe, pinggul kamu saja sudah maju mundur begini.”

“Tapi kan Bapak yang tarik-tarik badan saya. Jangaaaaaan! Saya mohon, Pak! Hentikan! Paaaakkk...! Ampuuuunnn... Aaaahhhhh...”

“Mana coba? Ini tangan saya sudah lepas tapi masih gerak-gerak sendiri tuh. Hahaa...”

“Ngghhh... Jangaaaannn Paaaakkk...”

“Tanggung, Dek Amy. Sudah kepalang basah ini... Yang penting kamu jangan bilang apa-apa sama Pak RT. Bisa habis saya dihajar olehnya nanti.”

“Stoooppp... Pleaaaasseeee... Ngggghhh...”

“Waduhh... Tiba-tiba kok jadi sok nginggris. Memang rasanya bagaimana sih Dek Amy? Enak banget ya? Enak mana sama suamimu yang loyo itu? Padahal ini belum masuk sama sekali lho, baru digesek-gesek ujungnya doank. Hahaa...”

I-Ini tidak akan muat. Tidak akan muat!! Terlalu besar!!

“Aaaaaaahhhh...”

Amy berusaha berteriak, meski tahu bahwa tidak akan ada seorangpun yang menyelamatkannya dari nasib buruk ini. Di waktu-waktu seperti ini, penduduk cluster Kembang Arum Asri memang biasanya sudah pergi ke lokasi kerja mereka di kota, atau tengah sibuk menggarap sawah yang ada di sekitar kampung.

Perempuan cantik itu mengutuk kesalahannya sendiri yang membiarkan Pak Barsono masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Kecerobohan dan kelambanannya dalam mengambil keputusan telah membuat dirinya masuk ke dalam jebakan syahwat dari Pak Man sang ketua RT dan rekannya yang sama-sama berotak cabul ini.

Sifatnya yang ceroboh dan lambat dalam mengambil keputusan bahkan sempat membuat keperawanannya hampir lepas di tangan dosennya sendiri saat kuliah dulu. Untungnya, sang dosen bisa menahan diri karena khawatir jabatannya di kampus terganggu, dan merasa cukup hanya dengan memeluk tubuh Amy dalam kondisi telanjang. Padahal, saat itu hanya tinggal ada mereka berdua di ruangan dosen tersebut.

Namun Amy tentu tidak bisa mengharapkan hal yang sama dari Pak Barsono, yang dari wajahnya saja sudah terlihat begitu bernafsu untuk menikmati liang senggamanya yang suci itu. Nafasnya sudah sangat menderu, seperti seekor serigala yang tak tahan untuk segera menyantap mangsa favoritnya.

“Betapa hinanya diriku apabila orang kedua yang berhasil menembus vaginaku ini, setelah suamiku tercinta, adalah pria desa tua dengan wajah buruk rupa seperti Pak Barsono,” batin Amy.

Hanya satu orang yang mungkin bisa menyelamatkannya, yaitu Ghema Mahardika, yang merupakan ayah dari anak semata wayangnya. Sayangnya, pria tersebut saat ini justru tengah berada ratusan kilometer dari tempatnya berada saat ini.

“Benar-benar simposium sialan! Karena itu istrimu ini sebentar lagi akan dinodai kesuciannya oleh pria tua ini, Mas Geeeeee!” Teriak Amy dalam hati.

“Tahan sebentar ya, Dek Amy. Sesaat lagi pentungan raksasa milik saya ini akan segera menembus liang memekmu yang pasti terasa legit dan sempit ini.”

Namun tiba-tiba...

Broom... Broom...

Terdengar suara deru mesin mobil dari arah luar rumah. Kian lama, suara tersebut semakin terdengar jelas, seperti tengah memasuki pekarangan rumah pasangan Amy dan Ge. Hal itu pun langsung membuat Pak Barsono merasa panik, khawatir tindakan mesumnya saat ini akan diketahui orang lain.

“Siapa itu Dek Amy, suami kamu kah? Bukannya dia belum waktunya pulang?” Tanya sang pria tua sambil ngacir ke arah jendela depan dan mengintip keluar. Ia seperti lupa bahwa kemaluannya yang tegak berdiri itu sudah hampir mendapatkan kenikmatan surgawi yang selama ini ia inginkan.

Bajinguk! Ternyata itu benar mobil suami kamu, Dek. Kok nggak bilang sih kalau dia sudah pulang hari ini!”

“Ehmm... a-aku tidak...”

Amy sempat ingin membantah kata-kata tersebut, karena ia baru saja selesai melakukan video call dengan sang suami yang memang masih berada di lokasi simposium di seberang pulau. Mustahil kalau Ge tiba-tiba sudah langsung berada di cluster Kembang Arum Asri. Memangnya suaminya itu punya pesawat jet pribadi yang dipakai para calon presiden untuk kampanye ke sana ke mari?

Untungnya, untuk pertama kalinya dalam hidup, Amy bisa berpikir dengan cepat. Alih-alih mengatakan hal yang sebenarnya, ia merasa bahwa sebuah kebohongan bisa mengusir Pak Barsono dari rumahnya, serta menyelamatkannya dari mimpi buruk harus melayani nafsu bejat pria tersebut. Karena itu, ia pun mengatakan hal yang berkebalikan dari apa yang sebenarnya terjadi.

“I-Iya, Pak. Itu suami saya. Sepertinya saya sudah bilang kalau Mas Ge akan pulang hari ini.”

“Kapan bilangnya? Saya tidak pernah dengar!”

“Masa sih, Pak? Apa saya yang lupa ya?” Lanjut Amy pura-pura bodoh.

“Ahh... Sialaaann...!”

Tanpa menunggu aba-aba, Pak Barsono langsung lari tunggang langgang menuju dapur, menembus pintu rumah yang berada di bagian belakang, lalu kabur ke arah kebun pisang yang memang berada di belakang rumah tersebut. Ia lari dengan begitu cepat, seperti seekor kambing yang kabur dari kejaran cheetah yang ingin memangsanya. Begitu paniknya, pria tua itu bahkan sampai tidak sadar kalau ia tidak mengenakan alas kaki sama sekali saat keluar.

“Dasar tua bangka. Tadi saja berasa seperti orang paling hebat sejagad raya. Paling tampan, paling macho, paling perkasa. Eh, begitu ada orang datang langsung ngacir kayak ayam betina...”

Amy luruh ke bawah, napasnya yang menderu diatur sebisa mungkin, dadanya yang terus berdegup ia tahan semampunya. Ia sesunggukan. Wanita mana yang akan kuat jika diperlakukan bak mainan seks begini?

Dalam hati, Amy merasa bersyukur karena kedatangan sebuah mobil di pekarangan rumahnya berhasil mengusir Pak Barsono dan mencegahnya dari pelecehan yang tidak dia inginkan.

Namun perempuan itu jadi bertanya-tanya, mobil siapa yang tiba-tiba datang itu? Apakah benar suaminya sedang memberikan kejutan dengan tahu-tahu pulang ke rumah? Amy menghapus air matanya dengan punggung tangan dan berusaha tampil tegar.

Ia memastikan diri dulu seperti apa penampilannya di cermin.

Ibu muda itu lantas membereskan pakaiannya kembali agar terlihat rapi, setelah tadi dibuat berantakan oleh Pak Barsono. Siapa pun yang baru saja datang, tentu tak mungkin melihat dia dalam kondisi seperti baru saja diperkosa seperti ini. Ia sempat mencari-cari celana dalam yang sebelumnya ia kenakan, tetapi tidak kunjung menemukannya.

“Duh, apa jangan-jangan tadi dibawa sama pria tua bejat itu. Hufth...”

Sang perempuan cantik itu akhirnya membiarkan begitu saja selangkangannya tanpa penutup yang biasa menyertai. Toh busana luaran yang ia pakai juga masih tampak sopan dan tertutup, semoga saja tidak akan ada yang menyadari bahwa di baliknya ia tidak mengenakan pakaian dalam.

Ia kemudian keluar dari pintu rumah dan langsung mengenali mobil yang terparkir tepat di hadapan sebagai mobilnya. Semua penghuni cluster pun tahu hal tersebut, karena warna mobil yang memang cukup mencolok.

“Assalamualaikum...” tiba-tiba terdengar suara lantang dari seorang pria yang turun dari mobil tersebut.

“Waalaikumsalam...” jawab Amy dengan kecewa, karena dari nada bicaranya saja ia sudah langsung tahu bahwa pria tersebut bukanlah suaminya, melainkan Pak Dul alias Abdul Masturi, warga sekitar yang memang biasa diminta tolong Ge untuk menjadi sopir sewaan.

“Ada apa tiba-tiba ke mari, Pak?”

“Eh, ini. Saya izin mau mengembalikan mobil ya, Mbak Amy.”

“Lho, kemarin Mas Ge bilang sama saya kalau mobilnya akan dititip di rumah Pak Dul. Katanya biar kalau Mas Ge pulang dari Manado, Pak Dul bisa langsung jemput di Bandara dan baru mengembalikan mobil tersebut ke sini.”

“Iya sih. Kemarin sebelum berangkat Mas Ge juga bilang begitu sama saya, Mbak. Tapi setelah beberapa hari mobil ini di rumah, saya malah merasa khawatir takut mobilnya hilang digondol orang.”

“Kalau ditinggal di sini bukannya lebih bahaya, Pak? Kalau ada apa-apa saya pasti tidak akan bisa melawan.”

“Ya, setidaknya kalau di sini Mbak Amy tinggal teriak ada maling, dan semua penduduk cluster pasti akan datang membantu. Siapa sih yang nggak mau tolongin warga cantik seperti Mbak,” ujar Pak Dul sambil tersenyum ramah. “Kalau rumah saya kan Mbak Amy tahu sendiri, jauh dari mana-mana. Kalau ada apa-apa, saya tidak bisa minta tolong siapa-siapa. Yang ada, malah saya dibunuh duluan sama malingnya.”

“Hmm, begitu ya?”

Ini si Bapak benar-benar bikin aku pusing deh. Hal yang tadinya sederhana kok malah jadi ribet begini sih, pikir Amy.

“Jadi, bagaimana Mbak? Boleh kan saya tinggal mobil di sini?”

“Kalau masalah boleh atau tidaknya, ya silakan saja ditinggal di sini mobilnya. Tapi apa nanti Bapak nggak tambah repot, karena harus datang ke sini dulu kalau mau jemput Mas Ge?”

“Ya namanya juga tugas, Mbak. Masa iya nggak mau dibikin repot? Hehehe. Lagian, justru saya yang harusnya bersyukur bisa ada kesempatan sering-sering ketemu Mbak Amy.”

“Pak Dul ini bisa saja. Ya sudah, nanti tinggalkan saja ya kuncinya di atas meja ruang keluarga seperti biasa.”

“Baik, Mbak... Eh.”

Kata-kata Pak Dul mendadak terhenti, saat pandangannya tiba-tiba menangkap sebuah sandal yang berukuran cukup besar, tengah tergeletak begitu saja di dekat teras.

“Mbak Amy sedang ada tamu?”

“Tamu apa ya, Pak? Bukan tamu bulanan pakai tanda kutip kan, Pak?”

“Aishh, Mbak Amy ini ngajak bercanda melulu. Maksudnya ya tamu beneran.”

“Nggak ada kok, saya sendirian saja di rumah. Kenapa Bapak tiba-tiba nanya begitu?”

“Habisnya ada sandal di sini, punya siapa dong?” Tanya Pak Dul sambil menunjuk ke arah alas kaki yang ia lihat tadi.

Amy tampak kaget dan kebingungan menjawab, karena dari bentuknya saja sandal tersebut jelas milik seorang lelaki. “Oh, itu sandal yang baru saya beli, Pak.”

“Baru beli kok bentukannya sudah buluk banget begini? Lagipula ukurannya gede banget! Kayaknya lebih besar deh dari kaki Mbak Amy.”

“Namanya juga beli online, Pak. Yang saya pesan apa, yang datang malah apa,” jawab Amy berkelit. “Tadinya saya mau kasih Mas Ge saja, eh pas kemarin saya cobain jalan keluar malah kena lumpur. Jadi begitu deh bentuknya sekarang.”

“Ohh...” tanggap Pak Dul yang sebenarnya masih ragu dengan jawaban tersebut.

Namun ia tidak mau ambil pusing, dan langsung berusaha menuntaskan obrolan ini agar tidak jadi berkepanjangan atau malah jadi bahan gunjingan para tetangga. “Ngomong-ngomong, saya boleh izin minta air minum dulu gak, Mbak?”

“Oh, boleh dong, Pak. Silakan saja langsung ke dapur seperti biasa,” ujar Amy sambil mempersilakan Pak Dul untuk masuk ke dalam rumahnya. Pria tersebut tampak tidak canggung, karena ini bukanlah kali pertamanya memasuki rumah pasangan Ge dan Amy yang sering meminta bantuannya tersebut. “Saya izin langsung ke kamar ya, mau nemenin Kevin. Nanti sebelum pulang, pintu depan ditutup saja seperti biasa ya, Pak.”

“Baik, Mbak.”

Begitu berpisah dengan sang pemilik rumah, Pak Dul langsung menuju bagian belakang rumah yang sudah ia hafal betul tata letaknya. Karena itu, ia pun tidak kesulitan untuk menemukan ceret air minum berwarna putih yang ada di atas meja dapur, serta gelas kaca yang ada di laci dapur bagian atas. Ketika tengah menuangkan air ke dalam gelas, ia kembali menemukan sebuah keanehan di rumah tersebut.

Hmm… tadi katanya Mbak Amy nggak ada tamu. Hanya sendirian saja di rumah. Tapi kenapa pintu belakang malah dibiarkan terbuka lebar begini? Jangan-jangan ada maling yang baru masuk?” Gumam pria tersebut.

Kecurigaannya semakin meningkat saat ia melihat ada jejak kaki yang mengarah ke kebun pisang di belakang rumah Amy.

Jejak kaki?

Masalahnya, tidak ada jejak kaki lain di arah sebaliknya, yang menunjukkan bahwa pemilik jejak kaki tersebut tidak memasuki rumah dari pintu belakang tersebut. Tapi seingat dia, tidak ada barang berharga di dalam rumah itu yang hilang dari posisi yang seharusnya.

Pak Dul menengok ke kanan ke kiri, mencari dari ujung ke ujung tapi tidak terlihat apapun. Malam tetap menjadi malam.

“Ah, bodo amat ah. Pusing banget mikirin masalah orang lain,” ujarnya sambil menutup kembali pintu belakang rumah, lalu menguncinya dengan sebuah kunci yang menempel di pintu tersebut.

Setelah itu, pria tua tersebut pun langsung kembali pulang ke kediamannya dengan berjalan kaki sambil mendengungkan sebuah lagu lama.

“Aku begini… engkau begitu… sama saja…”



.::..::..::..::..::.



Saat hari sudah menjelang sore, Amy duduk di teras, dengan tatapan kosong yang mengarah ke sebuah jalan kecil di depan rumahnya.

Dalam hati, ia bertanya-tanya dosa apa yang pernah ia lakukan di masa lalu, hingga dirinya sampai jatuh ke dalam jebakan birahi yang dibuat oleh Pak Man dan Pak Barsono. Ia bahkan masih belum bisa melupakan apa yang dilakukan salah satu dari mereka terhadap dirinya tadi pagi.

Di saat yang sama, suami yang seharusnya bisa melindungi dirinya dan mengusir kesendiriannya di masa-masa sulit seperti ini, justru tidak kunjung pulang dari perjalanan dinas ke sebuah kota nun jauh di sana.

Karena begitu fokus akan pikirannya sendiri, Amy sampai tidak menyadari kalau anak semata wayangnya yang masih berusia belia baru saja keluar dari rumah untuk menghampirinya.

“Mama...”

Panggilan lembut sang buah hati akhirnya seperti membangunkan Amy dari lamunan yang tidak ada ujungnya tersebut.

“Eh, Kevin. Ada apa Nak?”

“Epin bosen main sendirian di dalam.”

“Terus Kevin mau ngapain sekarang?”

“Epin mau main sepeda di luar. Boleh kan Ma?”

Selama beberapa minggu terakhir, sang anak memang sedang hobi sekali untuk belajar naik sepeda, tentunya masih dengan roda bantuan di kiri dan kanan agar tidak mudah terjatuh. Karena itu, setiap sore biasanya suami Amy yang bernama Ge selalu menemani Kevin untuk latihan sepeda.

“Main sepedanya nunggu Ayah pulang saja ya, Nak. Sekarang kan Ayah masih kerja.”

“Ayah pulangnya lama banget, Epin sebel. Kalau kelamaan nggak main, nanti Epin lupa caranya naik sepeda,” ujar sang anak dengan nada bicara sebal, tapi menggemaskan. Amy jadi bingung antara harus sedih atau tertawa akan tingkah anaknya tersebut.

“Epin harus jadi anak yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi Ayah pulang kok. Anak yang sabar disayang semua…”

“Epin nggak mau sabar! Epin maunya main sepeda sekarang. Se-ka-rang!”

Tiba-tiba, Amy melihat air mata mulai menetes dari ujung mata sang anak. Bocah tersebut memang punya kemauan yang keras, tak jauh berbeda dengan ayahnya. Bila ia meminta sesuatu, maka keinginan tersebut harus dipenuhi saat itu juga.

Amy sebenarnya tidak mau jadi orang tua yang memanjakan anak dengan memberikan apapun keinginannya. Namun kali ini, permintaan Kevin sebenarnya sangat sederhana, dan tidak ada alasan untuk tidak memenuhinya.

“Ya sudah. Kevin boleh deh main sepeda sore ini, tapi ditemani Mama ya.”

“Yeayyy... Baik Ma. Epin ambil sepedanya dulu ya di belakang.”

“Iya, tapi ada syaratnya.”

“Apa syaratnya, Ma?”

“Nanti mainnya jangan lama-lama ya. Sebelum Maghrib harus sudah pulang.”

“Siap, Ma.”

Dasar anak bocah, apabila ada maunya saja menangis meraung-raung. Tapi bila sudah dipenuhi, langsung girang begitu, batin Amy.

Dalam hati, Amy sebenarnya punya alasan lain mengapa ia setuju untuk menemani anaknya bermain sepeda di luar rumah. Ia sebenarnya juga ingin menenangkan suasana hatinya yang masih galau, setelah tubuh indahnya berkali-kali disentuh oleh para pria tua yang sebenarnya tidak berhak untuk melakukannya.

Tapi…

Amy menyentuh perlahan dada dan pantatnya.

Kenapa sekarang jadi berbeda? Kenapa Amy justru seperti terbiasa? Apakah ia mulai… mulai merasa menikmati perlakuan mereka yang kasar, yang jelas tidak pernah ia dapatkan dari suaminya yang sah?

Hiiiy! Ogah! Amit-amit!

Tak lama kemudian, Kevin sudah mengeluarkan sepeda dari dalam rumah, lalu mulai menggenjotnya di jalanan beton di depan rumah. Permukaan jalanan di cluster Kembang Arum Asri memang cenderung rata, sehingga sang anak bisa dengan mudah mengendarai sepeda tanpa harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menggenjot pedal dan menarik rem.

Kevin pun belum berani untuk mengendarai sepeda terlalu cepat. Karena itu, Amy tidak memaksakan diri untuk terus mendampingi sang anak yang sebenarnya sudah cukup mahir, dan hanya memperhatikannya dari belakang.

Saat tengah asyik memantau sang anak bermain sepeda, pandangan Amy tiba-tiba tertuju pada sebuah rumah di samping tempatnya berdiri saat ini, yang selama ini terlihat kosong. Namun kali ini rumah tersebut sudah tampak meriah, tanda sudah mempunyai penghuni.

Tak lama kemudian, sebuah mobil tampak berhenti di depan rumah tersebut, dan seorang pria kemudian keluar dari dalamnya. Saat akan masuk ke dalam pekarangan, pria tersebut terkejut saat seorang perempuan yang tidak ia kenal tiba-tiba menyapanya.

“A-Assalamualaikum Mas...” secara spontan Amy menyapa pria tersebut, yang mempunyai tinggi di atas dirinya.

“Eh...?” sang pria tampak terkejut, entah karena heran akan keberadaan Amy di depan rumahnya atau kagum akan paras Amy yang memukau. “Wa-Waalaikumsalam Mbak.”

“M-Mmm... Anu... Mas penghuni baru di rumah ini ya?”

“I-Iya, saya baru pindah ke sini bersama keluarga saya Mbak.”

“Oh, kalau begitu perkenalkan, nama saya Amy. Penghuni di cluster ini juga.”

“Nama saya Ervan.”

Entah siapa yang memulai, tapi tangan mereka pun saling bersalaman. Namun celakanya, jabatan tangan tersebut seperti berlangsung lebih lama dari yang seharusnya. Mata mereka berdua juga saling menatap tanpa berkedip sama sekali.

“Ehemm...”

Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran sosok perempuan yang baru saja keluar dari rumah dan menghampiri keduanya. Melihat situasi yang sedang terjadi di depan rumahnya, perempuan tersebut pun berdehem kencang.

“Eheeem!”

“Eh!”

Ervan sontak langsung melepas jabatan tangannya dengan Amy, begitu melihat kedatangan sang perempuan dari dalam rumah. “Mbak Amy, perkenalkan ini istri saya, Maya.”

“Selamat sore, Mbak Maya. Perkenalkan saya Amy, penghuni di cluster ini juga. Kebetulan saya lagi nemenin anak saya main sepeda,” ujar Amy sambil tersenyum dan menunjuk anaknya yang tampak tidak peduli dengan obrolan para orang dewasa itu. “Salam kenal.”

“Salam kenal juga, Mbak,” ujar Maya dengan tatapan tajam yang sulit dimengerti artinya.

“Ngomong-ngomong, kalau kalian butuh apa-apa, jangan sungkan untuk bicara dengan saya atau penghuni cluster yang lain. Di sini semuanya baik-baik kok,” lanjut Amy. Meski dalam hati dia sedikit menekankan nama Pak RT dan Pak Barsono sebagai pengecualian.

“Baik, Mbak Amy.”

“Nah, pas tuh. Kamu bukannya kemarin bingung cari tempat beli sayur?” Ujar Ervan kepada Maya, yang langsung dibalas dengan tatapan kesal sang istri.

Amy yang belum menyadari kecanggungan antara pasangan suami istri tersebut justru menanggapi pertanyaan tersebut.

“Oh, kalau mau beli sayur Mbak Maya bisa nunggu Mbah Wier yang biasanya lewat di jalan ini, teriakannya khas – sayuuur sayuuurr – gitu. Nah, meski sudah sepuh tapi sodokan… eh, dorongannya kuat, jadi mesti cepat memanggil kalau tidak dia akan keburu kabur. Terus biasanya yang dijual juga kurang lengkap. Kalau mau yang lebih lengkap, bisa langsung ke warung sayur Bi Jum saja.”

“Tempatnya di mana tuh, Mbak Amy?”

“Dekat kok dari sini. Kalau mau beli sayur ke sana samperin saya saja ke rumah, biar kita bisa bareng. Nanti saya kenalkan dengan para penghuni cluster yang lain, seperti Mbak Nisa dan Shinta.”

“Oh, boleh Mbak Amy.”

“Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Takut anak saya nanti terlalu jauh main sepedanya. Mari Mbak Maya dan mas Ervan.”

“Sampai ketemu Mbak Amy.”

Sepanjang perjalanan menyusul sang anak yang masih berputar-putar dengan sepeda di jalanan cluster, Amy pun memuji ketampanan suami Maya yang memang jauh di atas rata-rata. Paras suaminya sendiri pun seperti kalah oleh sang penghuni baru tersebut.

“Duh, apa lagi sih yang kamu pikirkan Amy. Cowok itu kan sudah jadi suami orang, bukan jatah kamu lagi! Kenapa kamu jadi binal begini sih! Uh! Ada-ada saja! Apa ini gara-gara terangsang tapi tidak terlampiaskan!?” ujarnya dalam hati.

Drrrttt... Drrrrttttt...

Tiba-tiba Amy merasakan sebuah getaran dari ponsel di kantong celananya. Ia pun langsung merogoh ke dalam dan mengeluarkan ponsel tersebut dan membuka kuncinya. Ternyata, ada sebuah pesan WhatsApp dari seorang pria yang sebenarnya ia ingin hindari.

“Haeh. Sepertinya malam ini aku harus kembali minta bantuan Mbah Tri untuk menemani Kevin,” ujar Amy pelan.

Sejenak ia kembali menoleh ke arah rumah Maya dan Ervan, pasangan suami istri yang tampak mesra dan harmonis. Kehidupan mereka pasti sangat bahagia, berbeda dengan dirinya yang sudah tercabik-cabik karena kesalahannya sendiri.



.::..::..::..::..::.



“Skak!”

Seorang pria paruh baya berteriak dengan penuh semangat, sembari memindahkan sebuah bidak catur ke arah pertahanan lawan. Ia lantas tertawa terbahak dan bertepuk tangan.

Sambil mengedipkan mata, pria itu menggoda sang lawan yang langsung berpikir strategi balasan macam apa yang seharusnya ia lancarkan untuk merespon serangan tersebut. Gawat ini. Dia sudah kehilangan ratu dan hanya menyisakan satu benteng untuk melindungi sang raja, padahal lawan mengepung dari semua penjuru.

Wasu! Kok bisa-bisanya aku lupa nutup pertahanan di situ sih,” ujar pemain lain yang kini tengah berada di kondisi terdesak, sambil garuk-garuk kepala.

Mereka berdua tidak sendirian, karena ada dua orang bapak-bapak lain yang turut menyemarakkan suasana “duel sengit” di dalam pos ronda malam ini.

“Makanya Pak Santo, jangan kelamaan membujang. Kalau kata orang pintar, keseringan buang peju di kamar mandi itu bisa bikin konsentrasi jadi lemah. Jadi nggak fokus kan kalau main catur, hahahaha.”

“Pak RT ini ngawur saja. Apa hubungannya jadi jomblo sama jago atau nggaknya main catur?” balas Pak Santo sambil bersungut-sungut. Rajanya tersudut dan sindiran Pak RT Sukirman semakin membuatnya emosi jiwa, “Lagipula, memangnya semua laki-laki bujangan sudah pasti nggak pernah kenthu? Belum tahu aja Pak RT ini.”

“Hla! Ya sudah! Coba saja buktikan, pernah nggak Pak Santo selama ini dapet jatah kenthu? Setahun ini saja saya rasa belum tentu pernah turu sama cewek, hahaa. Dari badannya saja sudah kelihatan.”

“Kelihatan bagaimana?”

“Itu, lihat saja otot tangannya kayak lebih sering dipakai ‘olahraga’ dibanding otot paha. Apalagi coba kesimpulannya? Hahaa,” ujar sang ketua RT bernama Sukirman tersebut, yang tidak bosan-bosan menggoda lawan mainnya tersebut.

Dua orang pria tua lain yang berusia sepantar dengan mereka hanya tertawa saja melihat keseruan pertarungan Pak RT dan Pak Santo, baik di atas papan catur maupun perkataan.

“Enak saja Pak RT ini kalau bicara. Otot lengan saya jadi berisi begini karena beneran rajin olahraga, bukan karena keseringan coli,” tanggap Pak Santo kesal.

“Sudah... sudah... jangan berantem. Lebih baik fokus ke papan. Mari kita lihat apakah kejeniusan pak Santo mampu meloloskan rajanya dari patukan ular-ular pak Sukirman,” Pak Hamzah mencoba menengahi, karena dia memang sosok yang paling bijak di antara keempat pria tua itu. “Tapi… ngomong-ngomong saja nih, saya mau protes sama Pak RT.”

“Lho? Protes apa tho, Pak Hamzah? Sudah kayak anggota DPR saja njenengan ini, kerjaannya protes melulu.”

“Saya serius ini. Kok Pak RT nggak pernah cerita sih kalau bakal ada bidadari yang jadi penghuni baru di cluster ini? Mau dijadikan santapan sendiri ya? Hayo ngaku!”

“Lha iya! Iya nih, saya juga mau protes soal itu. Bisa-bisanya nggak kasih informasi dulu ke kita kalau ada bidadari mau datang!” Pak Santo menambahkan.

“Hla? Penghuni baru yang mana ya?” Jawab sang ketua RT dengan nada bingung. Ia bengong karena kebingungan.

“Itu lho, istrinya Mas Ervan. Yang sekarang nempatin rumah kosong itu.”

“Owalaaahh... Maksudnya Dik Maya... Hahaaha...”

“Lho... Lho... Pak RT kok malah ketawa?” Tanya Pak Hamzah. Dia dan Pak Santo saling berpandangan.

Kedua orang itu memang jadi kebingungan. Pak Santo bahkan tidak lagi bisa fokus memikirkan bidak rajanya yang sebenarnya tengah begitu terancam di atas papan catur karena lebih tertarik dengan berita mengenai Dik Maya yang sensual itu.

“Buat apa saya cerita-cerita, toh kalian juga pasti akan bergerak sendiri kan? Bener gak? Lah wong rumahnya dekat dengan rumah kalian.”

“Iya sih...” Pak Hamzah menyeringai.

“Tuh kan... Hahaa.”

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Tapi biasanya Pak RT ini kan setiap ada perempuan cantik yang datang ke cluster ini, pasti langsung sumringah nggak karuan begitu lho. Nah sekarang-sekarang ini kayak beda aja, jadi lebih pendiam gitu,” ujar Pak Hamzah. “Ono opo toh, Pak? Ada apa?”

Pak RT tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, dan malah melirik ke arah Pak Barsono yang duduk di sampingnya. Kedua pria tersebut pun tersenyum penuh arti, membuat kedua rekannya yang lain tambah bingung.

“Eladalah, kok malah senyum-senyum berdua koyok wong gendheng. Jangan-jangan Pak RT ini sudah ketularan si Ganep yang nggak waras itu.”

“Hushhh... Kamu itu kalau ngomong ya Hamzah. Punya mulut itu dijaga!”

“Ya maaf, Pak RT. Habis sepertinya Pak RT ini sekarang sukanya main rahasia-rahasiaan sama kita. Sudah tidak transmigran.”

“Transparan kali maksudnya?”

“Iya, itu maksud saya. Transferan!”

Kepala lingkungan yang bernama asli Sukirman tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar kata-kata Pak Hamzah yang berantakan. Ia sempat berpikir sejenak, sebelum kemudian menoleh ke arah Pak Barsono. “Kita kasih lihat aja kali ya Bar? Biar mereka nggak nanya-nanya melulu.”

“Iya, Pak RT. Kasih lihat saja biar mereka nggak berisik, heheh.”

“Kasih lihat apa sih?” Tanya Pak Hamzah yang makin kebingungan.

“Ini lho Bapak-Bapak...”

Pak RT akhirnya membuka sebuah foto di dalam smartphone miliknya, lalu menunjukkannya kepada kedua pria tua yang tengah menemani dirinya di Pos Ronda tersebut.

Pak Hamzah dan Pak Santo langsung terbelalak.

Foto tersebut menampilkan seorang perempuan dengan pakaian yang begitu seksi, tengah dipeluk dari belakang oleh seorang pria yang juga berpakaian minim. Adegan tersebut sepertinya diambil di malam hari, dengan latar belakang daerah pegunungan, lengkap dengan deretan pohon di sana sini.

Meski tidak menunjukkan wajah keduanya sama sekali, foto tersebut tetap saja terlihat erotis, dan memancing gairah siapapun yang melihatnya, termasuk Pak Hamzah dan Pak Santo.

“Waduh...! Gleg! Edian! Foto siapa ini Pak RT? Penghuni cluster ini juga?”

Pak RT hanya nyengir tanpa banyak bicara.

Pak Hamzah mendengus kesal dan kembali mengamati foto.

“Tapi… memangya penghuni cluster sini ada yang suka pakai baju seseksi ini? Kayaknya ngga ada deh.”

Pak Hamzah mulai bisa merasakan bagaimana kemaluannya perlahan-lahan membesar hanya karena melihat foto tersebut sekilas pandang. Bagaimana jadinya kalau dia bisa melihat adegan tersebut, atau menyentuh tubuh pelakunya secara langsung? Bisa-bisa langsung njeblug!

“Ada deh. Kalian ini mau tahu aja!”

“Jadi ini yang bikin Pak RT kurang semangat sama perempuan-perempuan lain di cluster ini? Karena sudah ada cem-ceman baru ya?” Kali ini giliran Pak Santo yang mencecar Pak RT dengan rentetan pertanyaan.

“Bukannya nggak semangat sama perempuan lain, Pak Santo. Cuma ada perubahan fokus saja. Hahaa...”

“Hahaha. Pak RT memang patut diacungi empat jempol satu kontol. Wahahaha. Tapi ngomong-ngomong, udah sempet dientot belum tuh targetnya? Kalau saya bisa dapet cewek yang bodinya bahenol kayak gitu, pasti nggak tahan banget buat segera eksekusi. Ini lebih menggiurkan daripada es teler-nya Yu Nani, Pak!”

“Nah ini neh penyakitnya cowok kesepian...”

“Maksud Bapak?”

“Ya kamu itu lho Pak Santo. Kebanyakan ngejomblo bikin kamu grasak-grusuk nggak karuan. Ibarat lagi ngejar ayam, kamu itu cuma bisa lari ke sana ke sini nggak pakai perhitungan. Yang ada ya lari semua itu ayam-ayam. Bagaimana sih?”

“Memangnya Bapak nggak pengin cepet-cepet ngewe kalau lihat cewek yang badannya semlohai kayak gitu?”

“Pengin lah, tapi ada waktunya. Akan lebih enak kalau dia mau kasih memeknya ke kita secara sukarela, tanpa paksaan. Dia naik ke atas tubuh kita dengan kemauan dia sendiri, terus naik turunin sendiri pinggulnya di atas pangkuan kita. Behhh, pasti lebih legit rasanya Pak Santo... jangan dipaksa.”

“Iya sih... tapi bagaimana caranya ya? Perempuan di cluster ini kan alim-alim semua. Mana mau dientotin secara ikhlas sama kita-kita ini?”

“Makanya mending Pak Santo belajar strategi dulu deh, biar paham. Ini aja main catur sama saya nggak pernah menang.”

Pak Santo hanya tersenyum kecut mendengar ledekan dari lawan mainnya tersebut. Namun ia jadi terpikir sesuatu, dan langsung melirik ke arah Pak Hamzah. “Tapi perempuan tadi bukan Maya kan ya, Hamzah?”

“Kayaknya sih bukan. Kalau Maya kan toketnya lebih berisi karena masih menyusui. Yang di foto Pak RT itu kayaknya lebih kecil, meski tetep nggak kalah seksi juga.”

“Kok tahu kalau toketnya berisi, Pak Hamzah?”

“Eladalah, Pak Santo. Kamu nggak usah munafik deh. Waktu pindahan kemarin juga mata kamu melotot terus ke toketnya Maya. Ngaku kamu!”

“Heh, kamu itu yang lebih kelewatan! Memangnya saya nggak tahu kalau kemarin kamu nganterin pulang Maya!? Dari mana tuh coba? Pakai mampir-mampir segala lagi ke dalam, terus keluarnya lama. Ngapain tuh? Ingat Hamzah, kamu itu sudah punya istri!”

“Lah, Pak RT yang istrinya sudah dua saja masih boleh lirik kanan-kiri, kenapa saya nggak boleh? Limitnya kan empat! Lagipula itu kan manusiawi, Santo. Yang namanya lelaki ya lihat cewek mulus dikit pasti langsung berdiri. Justru yang bahaya itu yang nggak bisa berdiri alias inosen!”

“Impoten kali?”

“Ya kamu itu kali impoten... inosen... ibuprofen... Apalah itu!”

“Sudah, sudah! Kok malah jadi kalian berisik di sini? Kalau mau berantem mending di Pager Jurang saja sana, biar nggak ada yang denger!” lerai Pak RT.

“Iya, Pak RT. Maaf deh,” ujar Pak Hamzah. “Tapi saya masih penasaran lho sama cewek yang di foto tadi. Itu siapa sih Pak RT? Kasih bocoran dong.”

“Tahu neh, Pak RT. Pelit banget bagi-bagi informasi,” lanjut Pak Santo.

“Ya kalian tebak saja sendiri. Memangnya ada berapa sih cewek cantik di daerah sini. Hahaa. Yang jelas dia benar-benar penghuni di cluster ini. Hehehe.”

“Hmm, yang paling top sih kayaknya Si Intan menantunya Pak Sukirno. Saya nggak pernah kuat lihat body-nya kalau lagi mau berangkat ke kantor. Tapi masak iya Pak RT mau embat menantu kakaknya sendiri?”

“Namanya Bandot tua kita tidak pernah tahu, Pak Hamzah.”

“Asem Pak Santo! Masa saya dibilang Bandot tua!” Pak RT bersungut-sungut.

Pak Hamzah menepuk lutut. “Oh, mungkin Nisa kali ya? Kan suaminya lagi tugas di luar kota tuh, makanya bisa difoto-foto kayak gitu? Si Nisa kan bidadari surga banget! Alim, baik, alus, sikap dan perilakunya terjaga, pokoknya jaminan mutu! Istri yang idaman sekali. Jadi pengen banget bisa ngentotin dia sampai teriak-teriak. Hahahaha.”

Pak Santo kembali membayangkan satu sosok wanita lain, “Atau jangan-jangan keponakannya Nisa ya? Siapa tuh namanya? Aida ya Pak Hamzah?”

“Iya bener Aida, kecil-kecil cabe rawit itu. Sekali kepatil kayaknya langsung menggigit, haha. Tapi… selain Nisa, ada Bu Amy yang suaminya juga lagi dinas ke luar kota bareng suaminya Nisa. Amy kan yang paling cantik di cluster ini!? Mungkin bisa tuh diajak buat foto di luar rumah begitu.”

Pak Santo geleng kepala, “Tapi feeling saya sih lebih ke Mbak Shinta yang aduhai itu. Aura binalnya itu lho! Kerasa banget, heheheh. Apalagi yang di foto itu kan masih kelihatan muda dan kenceng gitu.”

“Apanya yang kenceng?”

“Susunya!”

“Hahaa...” Keempat pria tua bangka tersebut pun langsung riuh menertawai komentar Pak Santo yang jujur itu.

“Ya kalian pikir-pikir saja sendiri lah, kira-kira siapa cewek itu. Nggak seru kalau saya buka-bukaan di sini. Nanti malah kalian embat juga!” Ujar Pak RT.

“Eh, tapi selain bidadari-bidadari tadi, saya kayaknya sering lihat ada cewek muda yang suka mondar-mandir deket sini. Ayu banget wajahnya. Kayaknya sih masih kuliahan. Itu siapa sih Pak RT?” Tanya Pak Hamzah.

“Bener kata Santo, kamu ini sudah punya istri tapi matanya masih awas juga ya, Hamzah. Hahaa. Itu namanya Ayu, Pak.”

“Eladalah, Pak RT ini. Tadi kan saya sudah bilang memang orangnya Ayu. Yang saya mau tahu itu jenenge sopo cah wedhok kuwi!”

“Makanya dengerin saya kalau ngomong, Hamzah! Cah ayu iku yo jenenge Ayu!”

Tenanan, Pak?”

“Iyo!”

“Eladalah. Benar-benar kenyataan kalau nama adalah doa sih itu namanya. Hahaa. Dia penghuni baru di daerah sini juga, Pak?”

“Bukan, dia itu mahasiswi yang mau KKP di sini.”

“Korupsi Kolusi Nepotisme?”

“Itu KKN, Pak. Tapi meskipun bener pun, bukan KKN yang itu yang dimaksud,. Pak Santo. Dia dan teman-temannya akan mengadakan penelitian di sini. KKP - Kuliah Kerja Praktik!”

“Wah, bisa diajak kali ya buat bikin lanjutan dari film KKN di Desa Penari. Kan ada adegan mesum-mesumnya juga tuh. Haha.”

“Bisa saja kamu, Pak Hamzah. Digentayangin Badarawuhi nanti baru tahu rasa.”

“Ihh, jangan dong Pak. Sereeeemmm.”

“Kalau cewek muda yang kemarin saya lihat lagi berduaan sama Sukirlan di Pagar Jurang itu siapa, Pak RT?” Kini giliran Pak Santo yang bertanya. Kesendiriannya memang membuat pria tua itu suka berkeliling ke sana ke mari, dan melihat hal-hal yang tidak banyak dilihat oleh penduduk lain.”

“Yang mana sih, Pak? Tahu sendiri kan kalau si Lan itu ceweknya mesti ganti-ganti. Saya aja kakaknya nggak tahu dia sudah ngewe sama berapa cewek sampai sekarang.”

“Kayaknya itu tunangannya si Pe deh, Pak RT,” ujar Pak Barsono yang sedari tadi hanya diam mendengar obrolan ketiga pria lainnya.

“Pe temannya Sukirlan? Oh, orang kota yang katanya mau prewedding itu ya?”

“Iya betul, Pak RT.”

“Namanya siapa tuh, Pak Barsono? Saya lihat-lihat penampilannya anggun banget kayak artis di sinetron. Orang kota memang beda ya gayanya.” Pak Santo tak kalah penasaran.

“Namanya kalau nggak salah Reva, Pak Santo.”

“Lah, mirip merek motor saya. Hahaa...”

“Itu mah Revo!”

“Pak RT, sudah jam berapa neh?” Tegur Pak Barsono tiba-tiba.

Sukirman langsung melirik ke arah jam tangannya, dan tiba-tiba merasa panik. “Wah, untung kamu ingetin. Sudah waktunya neh, Bar. Bapak-bapak, kami permisi dulu ya.”

“Lho, mau ke mana sih Pak? Ini mainan caturnya belum selesai lho. Saya kan belum kalah!”

“Males saya mainan yang keras-keras kayak gitu, sekarang pengin mainan yang lembut-lembut. Hahaa... Tapi abis itu jadi keras juga!”

Pak Hamzah dan Pak Santo hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Pak RT gemblung itu, tanpa merasa bahwa mereka sendiri juga tidak kalah gemblungnya.



.::..::..::..::..::.



“Haaaaah!? Bapak serius? Mau foto di sini?” tanya Amy yang sangat terkejut begitu mobil yang tengah ia tumpangi memasuki area sebuah instansi pendidikan. Ibu muda jelita itu jelas terkejut karena ia sangat mengenali tempat yang dimasuki. Bagaimana tidak, di sanalah suaminya biasa bekerja sehari-hari.

“Iya, apa ada masalah Dek Amy?” Tanya Pak Sukirman yang kali ini duduk di bangku depan dan membiarkan istri sah dari dosen bernama Ghema Mahardika tersebut duduk sendirian di bangku belakang.

“Kalaupun aku menolak, pasti dia akan mengancam untuk menyebarkan foto tubuhku yang terbuka. Ketebak banget. Mending aku nurut saja agar ini semua cepat selesai,” batin Amy.

“Ng-Nggak ada masalah, Pak RT.”

“Tuh kan, manggilnya Pak RT lagi. Baru juga ditinggal sebentar, sudah lupa lagi ya?”

“Eh, maksud saya nggak apa-apa, Mas Man.”

“Nah gitu dong,” jawab Pak RT sambil cengengesan.

“Ta-Tapi. Mas janji kalau ini yang terakhir kan?”

“Iya, kamu bisa pegang janji saya. Ini adalah sesi terakhir. Setelah itu, foto-foto kamu akan saya hapus semua dari HP saya.”

Amy sebenarnya masih sangsi akan kebenaran kata-kata sang ketua RT. Namun ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari masalah yang tengah ia hadapi, selain menuruti permainan dari pria tua tersebut. Di saat yang sama, ia berharap suaminya segera pulang agar bisa melindungi dirinya dari terkaman pejabat mesum itu.

Seperti biasa, selain Amy dan Pak RT, ada juga Pak Barsono yang tengah mengemudikan mobil. Tanpa disadari oleh kedua orang lain yang ada di mobil itu, Pak Barsono sebenarnya beberapa kali melirik ke arah Amy lewat spion tengah.

“Asu tenan, perempuan ini. Bisa-bisanya bohong sama saya tadi pagi. Bilang suaminya datang, padahal cuma Pak Dul yang mau mengembalikan mobil. Tunggu saja pembalasanku nanti perempuan setan!” gumam Pak Barsono dalam hati.

Mobil tersebut akhirnya berhenti tepat di pintu depan gedung utama kampus. Karena hari sudah begitu larut, gedung tersebut tampak sepi senyap tanpa kehadiran seorang pun.

Namun ada seorang petugas keamanan dengan seragam berwarna krem dan celana panjang coklat tua, lengkap dengan pentungan hitam di tangannya.

Amy sempat bernafas lega, karena satpam tersebut mungkin akan mengusir Pak Sukirman dan Pak Barsono dari area yang seharusnya kosong itu. Namun harapannya pupus ketika Pak Sukirman, begitu keluar dari mobil, justru saling berjabat tangan dengan petugas keamanan tersebut. Ia tak menyangka kalau sang ketua RT punya kuasa yang luar biasa besar di daerah tersebut, bahkan sampai ke wilayah kampus.

Sugeng ndalu. Selamat datang, Pak Man,” ujar sang petugas keamanan.

“Hehehe. Terima kasih, Pak Joko. Semuanya aman?”

“Beres, Pak. Tidak ada lagi seorang pun di kampus ini selain kita berempat.”

“Kalau CCTV bagaimana?”

Seng teng mriki pun rusak sedoyo, Pak. Pokoknya Pak Man tidak usah khawatir. Semua CCTV di kawasan ini sedang rusak. Saya sudah memastikannya.”

“Nggak salah memang saya mengandalkan njenengan, Pak Joko.”

“Haha. Ngomong-ngomong, ada sesi foto sama siapa sih kali ini Pak Man? Ada modelnya juga? Kalau tidak salah yang terakhir mahasiswi sini.”

“Ada dong. Tuh yang baru turun dari mobil.”

Petugas keamanan tersebut tampak kaget ketika melihat Amy yang baru saja membuka pintu dan turun dari mobil. Bertahun-tahun menjadi petugas keamanan di kampus tersebut, ia jelas tahu siapa sosok perempuan tersebut.

“I-Itu kan?”

“Pak Joko kenal? Hehe...”

Amy yang tahu siapa itu pak Joko langsung menundukkan kepala, berusaha bersembunyi di dalam renungan, meski tak ada yang bisa melindunginya. Dia hanya bisa memejamkan mata sesekali menahan kesal, malu, dan marah. Dia berharap semua ini segera berakhir.

Pak Joko sebaliknya. Dia menatap ibu muda jelita itu tanpa berkedip. Seakan tak percaya kehadiran seorang bidadari yang amat ia kenali di sini, malam ini, bersama dengan orang-orang ini.

“I-Itu kan Bu Amy, Pak Man! Istrinya Pak Ghe yang dosen di sini? Betul kan Pak? Saya sering melihat mereka berdua di acara-acara kampus bersama anaknya mereka!” Pak Joko yang terbengong-bengong berusaha memastikan. Dia tidak pernah salah mengingat wajah secantik Amy yang menjadi salah satu istri dosen idaman.

Leres, Pak.”

“Hahh!? Kok bisa? Bagaimana? Maksud saya kok bisa-bisanya…”

“Sudah… sudah… Saya tahu Pak Joko pasti punya banyak pertanyaan. Tapi daripada bingung, lebih baik Bapak ikut lihat sesi foto kami saja ya. Mau?”

“Ma-Mau, Pak,” ia tentu tidak akan melewatkan kesempatan langka tersebut.

Ketika seorang dosen baru bernama Ghema Mahardika datang untuk pertama kalinya ke kampus itu, Pak Joko tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang spesial. Kampus tersebut memang sering menjadi batu loncatan para akademisi untuk nantinya naik jabatan di perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta yang lebih bonafide. Karena itu, siklus pergantian dosen memang terjadi sangat cepat, hingga petugas keamanan seperti Pak Joko pun sudah tidak ambil pusing lagi.

“Paling sebentar datang, sebentar juga pergi,” pikirnya saat itu.

Namun momen kedatangan dosen baru tersebut menjadi spesial karena sosok perempuan yang datang bersamanya. Pak Joko bahkan masih ingat betul busana yang dikenakan oleh sang bidadari waktu itu, jubah panjang berwarna krem dan kerudung berwarna senada. Perempuan tersebut tampak begitu ceria saat menyambut rekan-rekan baru sang suami, serta begitu lincah menjaga anak semata wayangnya yang sedikit hiperaktif.

Ketika tiba momennya berkenalan dengan sang perempuan, Pak Joko merasa sedikit gemetar. Apalagi ketika pria tua yang sudah cukup lama ditinggal mati istrinya tersebut bisa menghirup aroma parfum istri dosen baru itu yang begitu semerbak. Hampir saja ia pingsan saat tangannya bersentuhan dengan perempuan tersebut untuk pertama kalinya.

“Halo, Pak. Perkenalkan nama saya Amy, istri dari Pak Ge, dosen baru di kampus ini. Nama Bapak siapa?”

“Sa-Saya... Joko...” Ujar sang pria tua dengan terbata-bata. Sejujurnya, baru kali ini ia merasa begitu terhipnotis oleh kecantikan seorang perempuan. Sewaktu berkenalan dengan istri Haris yang bernama Nisa saja, ia tidak sampai terpana seperti ini.

Senyum Amy yang begitu manis, suaranya yang begitu merdu, ditambah lagi dengan tubuhnya yang begitu sensual di balik jubah yang sedikit membentuk posturnya tersebut, membuat birahi petugas keamanan yang sudah puluhan tahun berjaga di kampus tersebut jadi meninggi. Apabila tidak ada suara anak kecil bernama Kevin yang tiba-tiba memanggil, Pak Joko mungkin sudah akan pingsan di tempat itu.

“Mamaa... Mamaa...”

“Duh, kenapa lagi sih itu anak. Sebentar ya Pak Joko, saya mau samperin anak saya dulu...”

“I-Iya Bu...”

Sejak saat itu, entah sudah berapa kali Pak Joko membayangkan istri dari dosen di tempatnya bekerja tersebut sebagai objek fantasi saat masturbasi. Tak henti-hentinya ia bermimpi bisa kembali menyentuh permukaan kulit Amy yang begitu halus.

Sayangnya, sejak pertemuan tersebut, tidak pernah sekalipun Amy kembali menjejakkan kaki di kampus di mana suaminya bekerja, membuat Pak Joko patah hati dibuatnya.



.::..::..::..::..::.



Entah sudah berapa menit dihabiskan Amy untuk memandang cermin yang ada di hadapannya. Tidak ada satu kata pun yang ia ucapkan, membuat suasana ruangan berdinding keramik dengan beberapa bilik di dalamnya tersebut terasa begitu hening. Bila ada sebuah jarum kecil yang terjatuh ke lantai, pasti akan langsung terdengar jelas suara dentingannya.

Amy hanya menatap wajahnya sendiri, dengan kulit yang putih dan hidung yang mancung. Bibirnya yang sensual seperti menambah kecantikan dirinya, membuat perempuan muda tersebut layak untuk menjadi pendamping bagi pria berkelas manapun di luar sana.

“Tapi kini yang tengah menungguku justru tiga orang pria tua yang tidak ada ganteng-gantengnya sama sekali,” batin Amy, “…dan aku lagi-lagi harus berpenampilan seperti ini di depan mereka semua.”

Wanita jelita itu mengamati pakaian yang tengah ia kenakan, yang tampak berbeda 180 derajat dari busana yang biasa ia pakai sehari-hari. Pakaian tersebut tentu bukan miliknya, melainkan ia terima dari Pak RT saat mereka baru turun dari mobil. Meski awalnya hendak menolak, tetapi tatapan penuh harap dari pria tua tersebut membuat Amy mengurungkan niatnya. Perempuan itu sudah tidak mau berdebat panjang, dan hanya ingin penderitaan ini cepat selesai.

Busana tersebut adalah sebuah kaos lengan panjang yang ukurannya tidak terlalu besar, sehingga tubuh indah Amy pun jadi terbungkus erat olehnya. Lekukan payudaranya yang membusung pun jadi terlihat jelas.

Pak RT memang memberikan pakaian luaran berupa jas almamater dengan warna khas kampus tersebut, yang bisa digunakan untuk menutupi kaos ketat tersebut. Sayangnya, jas almamater itu juga berukuran kecil, sehingga kancing di bagian depannya tidak bisa tertutup.

Untuk bawahan, Amy hanya diberikan rok span berwarna hitam yang ukurannya juga cukup kecil, membuat perempuan tersebut tidak leluasa untuk berjalan. Selain itu, Pak RT juga memberikan sebuah lipstik dengan warna merah menyala, yang membuat bibir perempuan yang sudah bersuami tersebut jadi tampak lebih menonjol.

“Sebenarnya apa yang diinginkan pria tua bangka itu sih dengan membuatku memakai pakaian ala mahasiswi seperti ini?”



.::..::..::..::..::.



Beberapa menit kemudian, Amy sudah kembali di sebuah ruangan tempat Pak Sukirman dan Pak Barsono berada. Sembari menunggu sang model berganti pakaian, mereka berdua ternyata sibuk mengatur posisi kamera dan pencahayaan, membuat ruangan yang seperti sebuah kelas tersebut tampak seperti studio foto yang ideal. Sedangkan petugas keamanan yang tadi menyambut mereka bertiga ikut sesekali merapikan ruangan, sebelum akhirnya duduk manis di sudut.

“Coba sekarang Dek Amy berdiri di dekat meja dosen itu,” ujar Pak RT sambil menunjuk ke sebuah meja yang berada dekat dengan papan tulis. Ia sendiri kemudian menempatkan wajahnya di balik lensa kamera, seperti sedang mengatur fokus.

“Be-Begini, Mas?”

Amy merasa canggung karena saat ini ada tiga pasang mata lelaki tua menatapnya dengan pandangan cabul. Ia merasa terintimidasi dengan pak Sukirman, takut dengan pak Barsono, dan merasa malu dengan pak Joko.

“Nah, iya benar begitu. Sekarang coba ganti-ganti pose, biar saya bisa ambil beberapa foto.”

Amy pun menuruti permintaan sang ketua RT dengan patuh. Ia yang sebenarnya tidak mempunyai pengalaman sebagai model, berusaha menampilkan pose alami, yang sering ia lihat dari para influencer-influencer di Instagram. Tak sekalipun ia berusaha membuat mimik wajah yang binal atau sensual.

Namun hal itu ternyata membuat Pak RT jadi kurang puas dengan hasil foto yang ia tangkap.

“Hmm, agak kurang sensasional. Padahal Dek Amy sudah sangat ayu. Mungkin Pak Joko bisa bantu kami?”

“Ba-Bantu apa, Pak Man?”

“Itu kasihan kalau Dek Amy hanya berdiri sendirian, Pak Joko bisa temani?”

“Maksudnya bagaimana Pak? Saya kurang paham.”

“Ya Pak Joko berdiri di situ, di samping Dek Amy, ikut sebagai model.”

“Memangnya boleh Pak?”

“Pake nanya boleh atau nggak, lah ini kan saya yang lagi minta Bapak. Mau bantu nggak sih?”

“Ma-Mau Pak... Mau banget,” tanpa menunggu aba-aba lagi, Pak Joko langsung mendekati Amy dan berdiri di belakangnya. Pria tua itu tampak begitu kaku, sehingga pose keduanya tampak seperti seorang bapak dan anak yang sedang menunggu giliran foto wisuda.

“Duh, jadul banget sih posenya. Coba sekarang Pak Joko dan Dek Amy saling berhadapan. Nah iya begitu... Lalu kalian saling menggenggam tangan.”

“Hah, maksudnya bagaimana Mas Man?”

“Ya kamu pegangan tangan sama Pak Joko. Gampang kan Dek Amy?”

Amy pun menurut, dan mengulurkan kedua tangannya yang kemudian langsung diraih oleh sang petugas keamanan.

“Ma-Maaf ya Bu Amy. Saya hanya menuruti permintaan Pak Man. Tolong jangan diadukan ke Pak Ge atau pihak kampus,” bisik Pak Joko dengan pelan, agar suaranya tidak terdengar oleh Pak Sukirman atau pak Barsono.

“I-Iya, nggak apa-apa Pak. Saya juga melakukan ini karena terpaksa. Jadi Bapak jangan berpikiran yang macam-macam,” balas Amy.

“Nah, begitu lebih bagus,” ujar Pak Man setengah berteriak, mengingat jarak antara dirinya dengan kedua model tersebut memang cukup jauh. “Tapi sekarang ada perbedaan format ya.”

“Perbedaan format bagaimana, Pak?” Tanya Amy dengan nada protes.

“Saya tidak akan mengambil foto, melainkan video. Jadi, saya harap Dek Amy dan pak Joko bergerak sesuai dengan arahan saya.”

“Tapi kan perjanjiannya...”

Pak Man menatap tajam ke arah Amy. Pria tersebut tidak perlu mengeluarkan kata-kata agar sang perempuan muda paham apa yang ia maksud. “Jadi Dek Amy mau atau nggak?”

“I-Iya, Pak. Saya mau.”

“Nah, gitu dong. Kan jadi enak. Sekarang kalian berdua dengarkan arahan saya baik-baik...”

Amy menatap wajah Pak Joko yang berkulit hitam, dengan tinggi yang sedikit lebih pendek dari dirinya. Hidungnya yang pesek dan bibirnya yang tebal membuat parasnya jelas jauh lebih buruk dari suaminya yang sah. Namun malam ini, Amy jelas tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindar dari sentuhan pria tersebut, karena kekuasaan tetap berada di tangan Pak RT.

“Oke, bersiap, ready... Action!” Pak Barsono memberikan arahan sesuai kesiapan kamera.

Pak Man memberikan arahan gaya, “Pak Joko, kamu coba belai pipi Dek Amy dengan lembut, tunjukkan perasaan cinta kamu kepada Dek Amy.”



“Jangan kaku begitu dong, Pak Joko. Anggap saja Dek Amy ini mahasiswi di kampus ini, dan Bapak tertarik sama dia. Ya aneh banget sih kalau ada mahasiswi secantik ini dan Bapak nggak tertarik. Hahaha.”



“Nah, betul begitu. Dek Amy kamu jangan berontak terlalu berlebihan, secukupnya saja. Dan tidak perlu malu waktu pipimu yang merah itu disentuh oleh Pak Joko.”



“Kamu tidak perlu menutup-nutupi kalau kamu sedang takut, Dek Amy. Keluarkan saja, agar gerakannya jadi lebih natural. Ya, seperti itu.”



“Sekarang Pak Joko lanjutkan usapan dan belaiannya ke lengan Dek Amy yang masih tertutup jas almamater itu dengan lembut, sambil dekatkan kepala Bapak seperti ingin mencium Dek Amy. Jarang-jarang kan Bapak bisa dekat dengan mahasiswi sebening Dek Amy.”



“Ya, cara kamu menghindari ciuman Pak Joko itu sudah sangat alami sekali, Dek Amy. Kamu coba berontak sedikit. Sedangkan Pak Joko tetap genggam lengan Dek Amy dan jangan dilepaskan.”



“Pak Joko dorong Dek Amy sampai terdesak ke meja dosen, himpit tubuhnya, lalu benamkan wajah Bapak ke leher dan pundak Dek Amy.”



“Tidak perlu sungkan, Pak Joko. Sudah mulai panas kan? Dilepas saja kancing kemeja Bapak satu per satu, plus kaos dalam Bapak juga boleh.”



“Dek Amy jangan terlalu kencang berontaknya. Nikmati saja kecupan demi kecupan Pak Joko di leher kamu yang masih tertutup jilbab itu. Duh, bagus neh. Gerakan Dek Amy yang jinak-jinak merpati itu sensual banget di kamera. Kira-kira judul videonya apa neh nanti, Barsono?”

“Bagaimana kalau Skandal Mahasiswi Alim dan Satpam Mesum, Pak RT?” usul Pak Barsono yang meneguk ludah melihat aura sensual luar biasa yang dikeluarkan Amy.

“Nah, bagus juga ide kamu. Ayo lanjutkan Pak Joko dan Dek Amy.”



“Jangan dilepas jas almamaternya, Pak Joko. Nanti nggak kelihatan kalau Bapak lagi grepe-grepe mahasiswi. Jilbabnya juga jangan dilepas, biarkan tetap menempel di kepala Dek Amy.”



“Dek Amy kok sampai merem melek begitu? Memangnya sudah diapain sama Pak Joko? Hahaa... Belum juga lihat pentungannya.”

“Kayaknya gara-gara tangan Pak Joko mulai masuk ke balik kaos ketatnya, terus elus-elus toketnya Dek Amy yang sensitif itu, Pak RT. Lihat saja gerakan tangan pak Joko terlihat mulai buas dan Dek Amy tidak dapat menahan diri.”

“Oh iya, benar juga kamu Barsono. Saya sampai tidak lihat, saking serunya adegan mereka berdua.”



“Pak Joko sekarang boleh angkat ujung rok span Dek Amy ke atas, sampai sebatas pinggang, sambil elus-elus lembut pahanya Dek Amy. Nah iya betul begitu. Pelan-pelan saja hey, nggak usah buru-buru. Hahaa...”



“Apa? Pak Joko mau lepas celana? Boleh kok... Saya juga pengin lihat reaksi Dek Amy kalau lihat langsung pentungan hitam Bapak.”



“Kenapa bengong begitu Dek Amy? Hahaa... Punya Pak Joko besar ya? Besar mana sama punya suamimu yang dosen di kampus ini?”

“Sama gedenya tuh Pak RT.”

“Apanya yang sama gedenya, Barsono?”

“Itu lho, pentungan plastik satpam sama pentungan dagingnya Pak Joko.”

“Bisa saja kamu, hahaa.”



“Kalau didiemin begitu, nggak akan tambah besar Dek Amy. Coba aja dielus, pasti langsung tuing. Nah, iya begitu. Bener kan kata saya.”



“Wah, Pak Joko udah gak sabar ya, langsung nyipok-nyipok bibir Dek Amy begitu. Ayo coba balas, Dek Amy. Jangan mau kalah.”

“Wah, pak Joko benar-benar sudah bernafsu sekali sama model kita, Pak RT. Cipokannya maut seakan-akan mau melepas bibir mungil Dek Amy untuk ditelan.”

“Hahaha. Bener banget, Barsono.”



“Wah, Dek Amy sampai jatuh ke atas meja begitu. Pak Joko gak sabaran banget langsung nindih Dek Amy. Jangan-jangan udah lama punya fantasi pengin kenthu sama mahasiswi berjilbab yang wajahnya cantik kayak Dek Amy?”

Pak Barsono menelan ludah melihat Amy ditindih oleh pak Joko. Tanpa sepengetahuan pak Sukirman, ia mulai mengelus gundukan yang mulai membesar di celananya. Dalam hati ia ingin sekali bertukar peran dengan pak Joko.



“Apa, Pak Joko? Lebih enak kenthu sama istri dosen yang lagi ditinggal tugas ke luar kota? Hahaa... Bisa saja Bapak ini.”



“Iya nggak apa-apa kok Dek Amy kalau mau mendesah. Keluarkan saja, namanya juga manusia kan pasti punya nafsu. Tidak perlu munafik.”



“Sepertinya tanpa perlu disuruh sudah langsung tindih-tindihan aja neh, Bar. Jadi lebih enteng tugas kita sebagai sutradara. Pak Joko itu tangannya kok nganggur aja sih? Nggak doyan sama toketnya Dek Amy kah?”



“Eh, baru juga diingetin, udah langsung diremas-remas aja. Hati-hati nanti keluar susunya lho, hahaa...”



“Walah, Dek Amy sudah sampai peluk-peluk tubuh Pak Joko yang keringetan segala. Memangnya nggak geli ya sama keringat pak Joko yang lengket-lengket gitu?”

“Mana pasti baunya juga aneh ya, Pak RT.”

“Atau mungkin justru Dek Amy sukanya yang lengket dan bau begitu, Bar. Hahaa...”



“Iya, lanjutkan saja Pak Joko. Angkat satu kaki Dek Amy ke atas meja seperti itu, tapi nggak usah dilepas celana dalamnya ya. Kemudian Bapak maju mundurkan pinggul Bapak. Nah iya benar begitu...”



“Ingat, jangan dilepas celana dalamnya. Bapak pura-pura saja sedang ngentotin Dek Amy, tapi saya tidak mau kontol Bapak masuk beneran ke dalam. Iya, gesek-gesekin di luar saja bisa kan?”



“Hahaa, Dek Amy sepertinya sudah tidak tahan ya, Bar. Pinggulnya jadi ikut naik turun begitu. Memangnya Pak Joko sudah bikin nafsu banget ya?”

“Mungkin Dek Amy waktu masih mahasiswi ada rasa kepengin dientotin sama satpam kampus, Pak RT. Makanya sekarang jadi horny banget begitu.”

“Bisa jadi sih, Bar. Lihat tuh, sudah binal banget ekspresinya.”



“Duh, kalian ini mesra banget sih. Sampai matanya tatap-tatapan begitu, sementara pinggul kalian saling beradu tanpa henti. Benar-benar adegan yang romantis nan seksual.”



“And... Cut! Hahaha! Seru sekali! Sekarang semuanya selesai. Pak Joko coba mundur dan kembali pakai seragamnya kembali. Dek Amy juga silakan ganti baju lagi.”

Tanpa diketahui oleh Pak RT, Amy dan Pak Joko sempat saling bertatapan penuh arti. Keduanya sama-sama tahu bahwa ada sebuah gejolak birahi yang sebenarnya sudah hampir meledak, namun sayangnya harus tertahan oleh tingkah konyol sang sutradara amatiran itu.

Pak Joko terengah-engah menatap sang bidadari, sementara Amy membalas tatapannya dengan penuh nafsu, tapi ia kemudian sadar diri dan menundukkan kepala.



.::..::..::..::..::.



Beberapa jam kemudian, Amy sudah kembali berada di dapur rumahnya. Sembari meneguk air dingin yang baru ia keluarkan dari kulkas, ia pun mengisi kerongkongannya yang sedari tadi terasa kering. Mbah Tri, tetangga yang ia minta untuk menjaga anaknya saat ia pergi tadi, sudah ia suruh pulang ke rumah. Karena itu, saat ini Amy praktis hanya berdua saja dengan sang anak di kediaman mereka.

Meski ia sudah berada di rumah, namun pikirannya masih melayang-layang pada kejadian yang baru saja terjadi di kampus tempat suaminya bekerja. Awalnya, kebersamaan dirinya dengan Pak Joko sang petugas keamanan kampus memang hanya sebatas memenuhi permintaan dari Pak RT dan Pak Barsono untuk berpose di depan kamera. Namun sentuhan demi sentuhan yang terjadi di antara keduanya telah menyalakan saklar birahi, setidaknya di tubuh Amy, sehingga membuat libidonya membludak.

Semua yang diperintahkan oleh pak Man sejak kemarin, semakin membuatnya tenggelam dalam gejolak nafsu yang memburu dan ia tak pernah cepat bertindak. Amy selalu ceroboh dan lambat dalam mengambil keputusan, lalu menyesalinya kemudian.

Sebenarnya saat sesi pengambilan gambar tadi, Amy sempat beberapa kali berusaha mengelak, tetapi Pak Joko seperti sudah terjerat oleh hasrat yang membara, sehingga bisikan demi bisikan yang disampaikan sang perempuan untuk menghentikan aksinya hanya dianggap sebagai angin lalu. Permintaan demi permintaan Pak RT untuk terus berbagi keintiman pun menambah panas adegan mereka berdua.

“Hhh… hhh… sial… kenapa hari ini panas sekali? Hhh… hhh…” Amy berbicara kepada dirinya sendiri sambil berdiri di depan kulkas yang masih terbuka.

Bayangan Amy tidak berada di tempat ini. Ia masih terbayang apa yang tadi terjadi.

Amy tidak pernah menyangka kalau petugas keamanan yang ia temui saat pertama kali mengunjungi kampus suaminya tersebut ternyata mempunyai tubuh yang cukup kekar dan berisi. Selain itu, ia juga mempunyai ukuran kemaluan yang cukup besar, yang langsung menegang saat disentuh oleh jemari Amy. Ingatan akan kejadian itu kembali membuat Amy panas dingin.

“Betapa hina aku di mata suamiku, apabila ia tahu kejadian ini,” gumam Amy dalam hati, ”Gila! Apa sih yang kamu pikirkan Amy bodoh?! Kamu itu selalu saja terbawa suasana yang membuat kamu terbuai dan lambat bertindak! Seharusnya tadi menolak dan melawan sampai habis! Bukannya malah terlena oleh barang punya orang!

Namun hal yang paling tidak disangka oleh Amy adalah bagaimana Pak RT berotak mesum tersebut ternyata benar-benar memenuhi janjinya. Adegan dirinya dengan Pak Joko di kampus tadi tidak sampai membuat dirinya harus bersetubuh dengan sang petugas keamanan. Setelah itu, Pak Sukirman pun mengantarnya pulang kembali ke rumah, tanpa permintaan aneh-aneh lainnya.

Yang paling aneh, sang ketua RT tersebut bahkan langsung menghapus semua foto dan video Amy yang ada di ponselnya, tepat di depan mata Amy.

“Mungkin sebenarnya Pak RT itu orang baik. Namun dia hanya mempunyai fetish yang aneh jadi dia memaksaku.” pikir Amy. “Buktinya, kalau memang tujuannya mau dihapus, kenapa juga harus repot-repot melakukan ini semua? Bukannya itu artinya sia-sia!?”

Amy buru-buru menghapus pikiran-pikiran aneh di kepalanya, dan memutuskan untuk menikmati kebebasannya kali ini. Dan situasi pasti akan kembali normal ketika nanti suaminya kembali pulang. Ia pun berniat untuk langsung masuk ke kamar tidur untuk menemani anaknya, Kevin.

Amy menutup kulkas, meletakkan gelas, dan melangkah kembali ke kamar.

Namun baru saja Amy hendak masuk ke dalam kamar, ia mendengar suara aneh dari arah depan rumahnya.

A-apa itu?” Amy berbisik dalam hati. Karena khawatir, ia pun mencoba memeriksa asal suara tersebut. Akan tetapi...

“Aaaahhhh... Hentikan bajingaaaaannn!”

Amy langsung kalap begitu tubuhnya ditarik dan dihempaskan ke atas sofa yang berada di ruang tamu oleh seorang tamu yang tidak diundang. Sang pelaku bahkan langsung menindih tubuh Amy yang mungil.

“Akhirnya kini aku mendapatkan kamu, Manis. Seharusnya tadi aku yang melakukan ini, bukannya satpam yang dapat keberuntungan tiba-tiba itu. Aku yang lebih mendambakanmu dibandingkan siapapun!”

“P-Pak Barsono!? Bapak mau apa!? Lepaskan!!”

“Kamu jelas sudah tahu apa yang kumau, Manis. Kamu wanita tercantik di komplek ini dan aku ingin mendapatkan hadiah utamanya.”

Perempuan tersebut memang sudah hapal betul nada bicara rekan satu tim Pak RT itu, karena sudah berkali-kali dirinya berusaha melecehkan Amy. Di bawah cahaya lampu ruang tamu yang temaram, sang ibu muda tersebut bisa melihat wajah Pak Barsono yang sudah begitu bernafsu, sangat menyeramkan. Mungkin pria tua itu sudah begitu menahan diri sejak adegan sensual antara Amy dan Pak Joko yang terjadi tepat di depan matanya.

“Malam ini kamu akan menjadi milikku, Amy. Aku akan menggenjotkan kontolku di memekmu dan menyemprotkan pejuhku sampai kering di dalam rahim kamu! Aku mau terus membuat kamu merem melek sampai kamu hamil anakku!”

“Hentikan, Pak. Saya mohon...”

“Berani-beraninya kamu bohongi aku tadi pagi. Hah!”

“Maafkan saya, Pak. Saya mohon hentikan semua ini...”

“Jangan coba-coba teriak kamu, atau nanti kamu dan anakmu saya bunuh sekalian. Mau? Aku sudah tidak peduli lagi! Aku harus mendapatkan tubuhmu!”

Amy mendadak kecut saat mendengar nama anaknya disebut-sebut. Seketika, ia langsung pasrah, karena tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada buah hatinya.

Karena itu, ia hanya diam saat Pak Barsono mulai melepas kancing piyamanya satu per satu, menampilkan bra berwarna merah muda yang ia kenakan. Rambutnya yang kini tergerai bebas pun mulai dibelai-belai oleh pria tua tersebut.

“Indah sekali toketmu ini, Amy. Saya suka. Saya suk… hngh!”

Baru saja Pak Barsono akan menyosorkan mulutnya ke payudara Amy, tiba-tiba saja tubuhnya seperti ditarik ke belakang. Tanpa babibu, tubuh Pak Barsono terlempar ke arah pintu rumah Amy. Sang perempuan yang baru saja hendak diperkosa tersebut coba memicingkan mata, demi mengetahui siapa sosok yang baru saja menyelamatkannya.

“Pak RT? Kenapa Bapak di sini?”

Terdengar deru kekesalan Pak Barsono yang harus menerima rencananya untuk menikmati tubuh Amy kembali gagal.

Gek kowe ki arep ngopo? Apa-apaan kamu, Barsono? Mau ngapain?”

“Te-Tenang Pak. Saya bisa jelaskan.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu sudah lancang menyentuh tubuh Dek Amy. Padahal saya kan sudah bilang, yang satu ini bagianku!”

“Tapi... Kita bisa berbagi kan Pak RT!”

“Berbagi ndasmu! Memangnya Dek Amy ini kue bisa dibagi-bagi. Sekarang juga kamu pergi dan angkat kaki dari Kampung Growol dan Bawukan ini. Saya tidak mau lihat wajah kamu lagi atau saya bakar semua yang kamu punya!”

“Tapi, Pak... sa-saya bisa jelaskan… saya benar-benar sudah sangat ngebet dengan Dek…”

“HALAH! MBELGEDES! APALAGI YANG PERLU DIJELASKAN!? Tidak ada tapi-tapian! Sekarang juga kamu pergi sana!”

Pak Barsono akhirnya menurut. Entah apa yang dimiliki Pak RT, sehingga pria tua tersebut tidak berani lagi melawan perintahnya. Dengan langkah gontai Pak Barsono meninggalkan rumah Amy tanpa sekalipun melirik ke belakang. Malam itu adalah malam terakhirnya tinggal di lereng Gunung Mandiri.

Tapi mau apapun yang terjadi pada pria bejat itu, Amy tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah dirinya kembali berhasil diselamatkan. Ia pun kembali menutup kancing piyamanya yang tadi baru saja dilepas oleh Pak Barsono.

“Kamu tidak apa-apa, Dek Amy?”

“Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya,” ujar Amy dengan kepala menunduk.

“Kurang ajar memang si Barsono. Dasar tidak tahu diuntung. Sudah saya larang berulang-ulang untuk tidak mengganggu Dek Amy.”

“Ba-bagaimana Mas Man bisa tahu kalau Pak Barsono berniat tidak baik sama saya? Saya kan… maksud saya pak Barsono kan tinggal di…”

“Saya sudah melihat tindak tanduk mencurigakan dari dia saat mengantarkan kamu pulang tadi. Makanya setelah dia menurunkan saya di rumah, saya ikuti lagi. Eh ternyata benar, bukannya pulang, dia malah datang ke rumah ini untuk mengganggu kamu.”

“Sekali lagi, terima kasih, Mas.” Ada suara sendu di nada kata Amy.

“Kamu tidak usah khawatir. Selama ada saya, kamu dan Kevin akan selalu aman tinggal di tempat ini.”

Tanpa direncanakan sebelumnya, Amy tiba-tiba langsung memeluk tubuh Pak RT yang sedang duduk di sebelahnya. Dalam pelukan tersebut, ia merasakan kehangatan yang begitu dalam, melebih apa pun yang ia pernah rasakan sebelumnya. Ibu muda itu menangis sejadi-jadinya di pelukan sang pria tua.

Pak Man hanya tersenyum dan membalas pelukan Amy, merapikan rambutnya, dan mengecup dahi sang ibu muda.

“Tenanglah… tenang… semua akan baik-baik saja.”

Pak Man menepuk-nepuk punggung Amy.



.::..::..::..::..::.



.:: MALAM BERIKUTNYA





“Pak RT?”

“Selamat malam, dek Amy.” Sukirman nyengir lebar saat Amy membuka pintu rumahnya.

“Lho-lho… kok ada Bapak? A-ada apa ya?” Wajah Amy memerah. Ibu muda jelita itu salah tingkah.

Amy yang hanya mengenakan kerudung sekedarnya buru-buru membenahi penampilan. Ia sama sekali tidak menutup aurat karena tadinya ia tidak berpikir akan ada orang yang datang. Ia hanya hendak mengganti keset depan rumah dengan yang bersih. Sang ibu muda jelita itu tidak mengira akan ada si tua cabul itu di depan pintu sambil nyengir lebar mengerikan.

Saat ini Amy mengenakan cardigan rajut panjang warna biru tua untuk menutup tanktop putih yang secara jelas menunjukkan keindahan tubuhnya yang lekuknya bagaikan sirkuit Monaco, buah dada indahnya membentuk belahan indah yang membuat mata Sukirman seperti mau copot. Belum lagi celana pendek jeans yang gagal membuat keindahan paha mulus putihnya gagal tertutup.

Karena sudah malam, ia tidak mengira ada orang yang akan menjumpainya dengan kondisi seperti itu.

“Kok manggilnya Bapak terus sih? Masa harus selalu diingatkan?”

“Ma-maaf, Mas Man.” Amy masih kagok jika harus memanggil laki-laki tua itu dengan sebutan Mas, rasanya aneh sekali. “Ke-kenapa Mas Man ada di sini?”

“Ya tidak karena apa-apa. Setelah kejadian kemarin malam dengan Pak Barsono, saya ingin memastikan dek Amy baik-baik saja.”

“Sa-saya baik-baik saja kok, Mas.” Amy menunduk dan menyembunyikan rona merah di wajahnya yang jelita.

Pak RT terpesona, bahkan dengan hiasan seadanya begini, Amy tetap terlihat bak bidadari yang turun dari khayangan. Luar biasa cantiknya istri sang dosen ini.

“Indah sekali kamu, Dek Amy… tubuhmu indah, wajahmu cantik, kulitmu putih, dadamu sempurna, pantatmu bulat… tidak rugi saya menunggu setengah jam di sini hanya untuk menanti kamu keluar rumah,” puji Pak RT dengan tulus sekaligus nakal.

“Hah!? Setengah jam? Ngapain sih, Mas!? Kenapa tadi tidak mengetuk pintu?”

“Sst… sekarang kan kita sudah bertemu, kalau Dek Amy kagetnya seperti itu, takut ketahuan tetangga,” Sukirman nyengir lebar, “Boleh saya masuk?”

Beberapa hari yang lalu dia menolak keras memasukkan pria hidung belang ini masuk ke dalam rumah, apalagi di saat Mas Ge tidak ada. Tapi hari ini? Dia entah kenapa seperti terhipnotis dan justru dengan malu-malu mengangguk. Wajah Amy yang memerah sangat terlihat di bawah lampu temaram teras rumah sang ibu muda jelita itu.

“Si-silakan masuk, Mas,” ucap istri Ge itu sembari membuka pintu.

Tapi ketika Amy sudah membuka pintu lebar, Pak Man justru tak kunjung masuk ke dalam dan bersidekap saja di depan pintu.

Amy meneguk ludah, waduh. Kalau ada tetangga yang lihat bagaimana ini? Pak Man bilang dia sudah setengah jam di depan pintu, tadi bilang malu kalau ketahuan tetangga, sekarang malah berdiri tidak mau masuk. Semuanya kontradiktif. Amy yang memang kurang bisa cepat paham akan semua situasi kembali kebingungan. Bagaimana kalau ada orang lihat?

“Ma-Mas? Kenapa tidak masuk?”

“Kamu indah sekali…”

“Ih, Mas apaan sih. Ayo cepetan, takut ketahuan orang! Nanti mereka mengira yang tidak-tidak!” Amy menggandeng tangan Pak Man untuk segera masuk ke dalam dan menutup pintu.

Pak Man tersenyum senang.

Keduanya masuk ke dalam dan Amy langsung menutup pintu. Ia melongok ke luar melalui jendela untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang melihat kedatangan pak Man ke rumahnya. Ia melihat ada seseorang di kejauhan, tapi sepertinya orang itu fokus pada hal lain dan sedang tidak menyadari apa yang terjadi.

Amy menarik napas lega.

“Apa-apaan sih, Mas Ma…”

Pak Man yang belum melepas gandengannya menarik tangan dan tubuh sang bidadari dan mendorongnya agar menempel ke dinding. Amy jelas terbelalak dengan kelakuan si tua cabul itu. Tapi sebelum ia sempat melakukan apa-apa, Pak Man sudah memegang sisi-sisi wajahnya dan mencium bibir merekah sang ibu muda.

“Hmmph!”

Bibir sang pria tua nan buruk rupa itu menjajah dan menangkup bibir istri sang dosen yang kini tak tahu harus berbuat apa. Amy justru diam saja dalam kebingungan ketika bibir Pak Man menjajah bibir indahnya. Berdasar insting yang terus menerus didera oleh kondisi sensual yang tak tersalurkan, Amy kemudian membalas ciuman itu. Keduanya beradu bibir, saling berpagut, saling menangkup. Ibu muda itu perlahan-lahan memejamkan mata, lalu mengalungkan tangannya di leher sang pria tua.

“Mmhhh… mmhh…”

Kedua orang itu seakan sudah lupa waktu, lupa lokasi, lupa diri, lupa status, lupa segalanya. Siapa dan di mana mereka.

Tangan pak Man naik ke atas dan mulai meremas bongkahan kenyal di dada Amy.

“Ahaaaaakkghh…” Amy membuka matanya, ia menggigit bibir bawah, “Ja-jangan, Mas… susu aku… susu aku…”

“Kenapa susu kamu?”

“Ja-jangan di…”

“Di apa? Diremas-remas begini?”

“Maaassss! Aaaah! Aku paling tidak tahaaaaaan kalau digituiiin!”

Pak Man mendekatkan wajahnya ke wajah Amy. Hidung mereka bertemu, napas mereka bersatu. Keduanya sama-sama saling menatap. Keduanya saling-saling mendalami entah apa yang ada di perasaan mereka.

Sang pria tua melepas kerudung sang ibu muda. Entah sudah berapa kali Pak Man mengucapkan ini dalam hati, tapi dia sedang sangat beruntung menatap wanita tercantik di cluster Kembang Arum Asri.

Pak Man memainkan jemarinya di telinga sang ibu muda, merapikan rambut panjang yang kini sudah tergerai indah di hadapan pria yang bukan suaminya.

“Mas…” desah Amy lirih, “Mas mau ngapain…?”

“Kamu cantik…”

“Mmmmhh… udah ah, Maasss! Jangan diremas teruuuus! Aahh! Ahhh! Ahh! Aahh!”

Amy bingung sendiri, dia ingin menolak perlakuan ini. Dia jelas menolak diperlakukan seperti ini. Dia tidak mau ini terjadi! Dia… dia harus apa ini!? Apa yang harus ia lakukan? Aduuuh, kenapa dia selalu kebingungan ketika harus memutuskan sesuatu? Bukankah sudah jelas apa yang harus dia lakukan? Dia istri Ge! Kenapa melakukan zina seperti ini dengan pak RT yang cabul!?

“Maaas! Aku… ahaaaaakgh!” Amy terbelalak!

Tangan pak Man telah menelusup ke dalam celana jeans pendeknya dan memasukkan salah satu jarinya ke liang cinta sang Ibu Muda!

“Mas Man! Apa-apaan ini!? Aku tidak mau!!”

“Tidak mau? Kenapa sudah basah banget begini kalau tidak mau!? Itu tandanya kamu kepengen, sayang. Kamu kepengen dientotin kan? Kamu rindu belaian. Kamu haus pelukan. Kamu ingin memasukkan kontol ke memek kamu yang kesepian.”

“Lepaskaaaan! Lepaskan Mas!”

Pak Man jelas tidak mau melepaskan Amy begitu saja. Ia tetap meremas-remas dada Amy dan mengobok-obok liang cintanya.

Amy hanya bisa mendesah-desah dan mencengkeram pundak sang pria tua cabul.

“Masshhmm Maaannmmm…! Please… lepasin Maassshhh! Aku tidak kuaaaaathhh!”

“Aku mau mengajakmu berfoto lagi. Tapi kali ini tidak akan kuhapus sama sekali. Apakah kamu mengijinkannya?”

“Tidaaaak! Tidak mauuu! Jelas tidak mauuu! Ngghhhh!”

“Kenapa tidak mau? Aku akan mengajakmu berfoto denganku dalam foto yang akan kau pajang di tembok rumah untuk selamanya. Heheh.”

“Aku tidak…”

“Mama?”

Saat itulah Amy terhenyak! Tak jauh darinya, dari balik pintu kamar, Kevin yang tengah mengucek-ngucek mata berjalan tertatih. Dia sepertinya masih sangat mengantuk. Amy mencoba mendorong Pak Man menjauh, tapi laki-laki tua itu justru semakin kencang mengobok-obok dan meremas-remas dada Amy.

“Pak! Jangan!! Itu adaaaa… ahaaaaaaahhh…!”

“Mama?”

“Halo Nak. Kamu baru bangun ya?” Pak Man menoleh ke belakang untuk melihat ke arah Kevin. Dari sisi bocah itu, Mama-nya ada di sebalik sang pria tua yang tubuhnya besar, sehingga tidak terlihat sedang apa.

“Ke-Kevin terbangun?” tanya Amy gagap. Dia bingung harus berbuat apa. Dia mencoba mendorong Sukirman, tapi pria itu masih tetap kokoh tak bergeming. Amy semakin merem melek dibuatnya. Liang cintanya semakin membanjir. Ia pun berbisik, “Paaaakkhh! Sudaaah! Itu anakku sudah banguuuun! Sudaaaaaaah Pak!”

“Mama sedang apa?” Kevin melangkah maju perlahan.

“Kevin di situ aja!” tanpa sengaja Amy berteriak. “Ma-Mama… nggh… aahhh… ahh… ahhh… be-belum selesai!”

“Mama? Belum selesai apa?”

“Be-belum selesai…. Ahhh! Ahhh! Ahhh! Jangan Pak! Ahhh! Ma-Mama belum selesai berolahraga dengan Pakdhe RT!”

“Olahraga apa?”

“Pakdhe RT sedang mengajarkan Mama-mu ini olahraga senam, Nak. Heheheh,” Pak Man berusaha membuat suasana semakin runyam.

“Senam? Senam apa?” Kevin yang bocah memang selalu ingin tahu. Apalagi posisi sang Mama yang dihimpit Pak Man tak terlihat dari posisinya. Ia makin mendekat karena penasaran.

“Kevin! Di situ aja! Mama sedang… ahhh! Ahhh! Ahhh! Sedang belajar Senam Kesegaran Jasmani!” Amy asal ucap. “Ke-Kevin mau apa?”

“Kevin aus!”

“O-oooh! Tu-tunggu di ka… ahhh! Ahh! Iih! Mas kok bandel banget… Kevin tunggu di kamar yahh! Aaaaaakkkkhh! Nanti… nanti Mama anterin air minumnya. Mama se-selesaikan dulu o-olahraganya!”

“Kevin juga mau olahraga ah.”

“Kevin! Masuk kamar dulu!” Amy sedikit menahan agar tidak membentak, air matanya meleleh. “Masuk kamar, Kevin. Mama mohon… masuk… jangan keluar masuk yaaa, jangan keluaaaar, masuuuk… ahh… ahh…”

“Kok tidak boleh? Kevin mau olahraga juga! Sekarang!”

Amy mengatur napas dan detak jantungnya yang hancur-hancuran, “Kevin… anak baik… senamnya hanya untuk orangtua saja… untuk Mama dan Pakdhe. Kevin… Kevin kan masih kecil, belum boleh senam ini dulu. Paham kan”

Kevin mendesah kecewa.

“Ya udah! Kevin balik! Tapi Kevin cebel!” bocah kecil itu melangkah kembali ke kamarnya, hal yang membuat Amy menarik napas lega, tapi sesaat kemudian Kevin kembali berucap, “Kalau Ayah sudah pulang, Kevin bilang ke Ayah! Mama melarang Kevin olahraga!”

“Kevin!”

Saat Kevin masuk ke kamar, Pak RT tertawa terbahak-bahak.

“Ish! Mas Man! Nyebelin banget sih! Itu anakku tahu lho!”

“Tidak, dia tidak bisa lihat.”

“Udah ah! Sebel aku!”

“Mirip banget kalau lagi sebel gini sama Kevin.”

“Bodo amat!”

“Ya udah. Kasih kecup, abis itu aku lepas.”

“Sebel banget!”

Amy memajukan bibirnya dan mengecup bibir Pak Sukirman, tapi pria itu kembali menangkup bibir sang ibu muda. Keduanya kembali berpagutan dalam deru yang memburu. Napas mereka berpacu.

Sampai akhirnya Pak Man melepas bibir dan tangan-tangannya yang nakal.

“Heheeh. Makasih untuk malam ini, Dek Amy.”

Amy mencibir kesal sambil menghapus bibirnya dengan punggung tangan seakan-akan jijik dengan ciuman si tua cabul.

“Tapi bukan kecupan itu yang saya minta loh.”

“Apalagi sih, Maaas!? Udah deh! Buruan sana pergi!”

Pak Man membuka kait celananya. Gundukan kemaluan di sebalik celana dalam pria tua itu sudah sangat besar dan kokoh. “Maksud saya kecup di ujung jagoan saya ini.”

“Hahhhh!? Sudah gila ya! Nggak ah! Saya nggak mau! Sudaaaah! Sana pergi Mas! Saya mau mengambilkan air minum untuk…”

“KEV-“ belum sampai Pak RT berteriak memanggil anak tunggal Amy, ibu muda itu menutup mulut sang pria tua dengan tangannya.

“Edan! Mas Man sudah edan ya!? Bisa-bisanya! Ya udah iya! Buruan!”

Pak RT cengengesan dan membuka celananya. Sang jagoan yang sudah kokoh dan besar itu menjulang keluar dari balik celana dalam sang ketua RT cabul.

Amy pun membungkuk.

“Ha-hanya ujungnya kan?”

“Hanya ujungnya saja, Dek Amy.” Pak RT tersenyum, “Dek Amy ijin dulu dong. Mau minta ujung apa saya, Dek?”

“Sebel banget nggak sih!?”

“Ujung apa saya?”

“Penis!”

“Hmm… KEV-“

“Kontol! Ujung kontol Mas Man! Saya minta ijin mengecup ujung kontol Mas Man! Puas!?” Amy mendengus kesal. Ia pun mendekatkan wajahnya ke batang kejantanan sang pria tua itu dan mengecup ujungnya.

“Sudaaaah!”

Pak RT nyengir lebar dan mengecup pipi Amy yang halus mulus tanpa cela. “Terima kasih, sayang, Mas pamit dulu ya. Sampai bertemu kembali.”

Amy tak menjawab. Ia masih bersimpuh di lantai.

Pak RT tertawa-tawa sambil membenahi celananya dan melangkah keluar dari rumah sang ibu muda jelita itu.

Amy menatap ke atas, ke dinding. Ke arah foto keluarganya.

Air matanya meleleh.



.::..::..::..::..::.



.:: KEESOKAN PAGINYA



Amy tengah menyempatkan diri untuk menyiram bunga di halaman rumahnya. Dalam keasyikannya tersebut, perempuan berparas cantik itu sempat mengingat semua kejadian yang berlangsung akhir-akhir ini, semua kejadian yang membuatnya bergidik.

Apa yang terjadi di desa ini?

Kenapa semua menjadi begitu gelap dan penuh masalah di cluster yang dulu terlihat terang benderang, tenang, dan bersahabat ini? Ia ketakutan, sendirian, suaminya tak ada di sisinya di saat paling mengerikan, dan dalam kesendirian ini dia harus melindungi sang putra.

Satu-satunya cahaya yang ia dapat justru dari orang yang pertama kali menjerumuskannya ke dunia gelap. Entah kenapa ketika ia mengingat perlakuan Pak RT yang membuatnya kembali tenang, Amy pun jadi tersenyum sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Pak Sukirman yang membuatnya merasa lebih nyaman sekarang. Dia tidak se-creepy yang ia perkirakan.

Lalu kejadian semalam…

Semalam… semuanya tenang, indah, dan menyenangkan. Dia tidak mengira akan melakukan hal sesat seperti yang ia lakukan semalam bersama dengan Pak Man. Apa sih yang dia pikirkan semalam!? Sesaat kemudian ia terdiam. Lalu memejamkan mata dan mengutuk diri sendiri.

Edan kamu Amy! Kenapa jadi merasa tenang dan nyaman dengan keberadaaan Pak Man? Memangnya kamu siapa!? Kamu istri Ge! Kamu sudah menikah! Sudah punya anak! Bisa-bisanya malah merasa nyaman dengan orang tua buruk rupa yang bahkan sudah punya dua istri! Orang yang sudah menjerumuskanmu ke pemotretan super edan!

Secara tidak sadar Amy menyentuh bibirnya, lalu perlahan mengelus pantatnya, dan kemudian menyentuh dadanya.

Pak Man… apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kenapa kamu membuatku seperti ini? Apa yang kamu lakukan? Apakah kita akan bertemu hari ini? Apakah nanti malam kamu akan membawaku menuju hutan lagi? Melakukan sesi foto bejat yang membuat hatiku berdesir? Apakah hari ini kamu akan…

“Selamat pagi, sayang.”

Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang membuyarkan lamunan Amy. Ia pun langsung memandang ke arah asal suara yang terasa begitu familiar tersebut. Su-suara itu kan…!?

“Ma-Mas Ge!?”

Suami Amy yang tampan tersenyum lebar di hadapan wanita berkerudung nan jelita itu. Membentangkan tangan tanda siap menerima pelukan. Amy pun terbelalak melihat kehadiran pria yang tak disangka-sangka telah pulang dari simposium dan seminar yang menyita waktunya selama seminggu ini.

“Halo, sayang.” Ge nyengir lebar.

“Mas Ge! Kok tahu-tahu sudah pulang!? Tidak kabar-kabar ih!”

Amy langsung menghambur ke arah sang suami, dan memeluknya erat. Lebih erat dari pelukan yang selama ini pernah mereka lakukan. “Aku kangen banget tahu! Gimana sih pulang tidak ngabarin. Tahu begini kan bisa aku jemput di bandara.”

“Aku juga kangen banget, Sayang. Tapi jangan peluk-pelukan di sini dong, malu nanti dilihat orang, hehehe.”

“Bodo amat, pokoknya aku kangen sama Mas Ge. Huhuu... Lama banget sih dinas luarnya.”

“Yang penting kan aku sudah pulang sekarang.” Ge mengecup ujung dahi sang istri tercinta. Istri yang tanpa sepengetahuannya telah dipotret telanjang oleh segerombolan pria tua kurang ajar dari lereng Gunung Mandiri.

Amy teringat saat ia dipeluk dan dicium oleh laki-laki selain suaminya beberapa hari ini.

“Iya sih. Kok mendadak banget sih pulangnya? Terus tadi pulang naik apa? Kok nggak dijemput Pak Dul?”

“Lho, lha ini yang namanya surprise, sayang. Aku sengaja mau bikin kejutan buat kamu. Kamu kaget nggak?”

“Kaget banget lah mas. Ayo masuk ke dalam, Kevin juga sudah kangen banget sama ayahnya.”

“Hahaa, mana tuh jagoan Ayah.”

Drrrttt... Drrrttt...

Langkah keduanya tertahan saat ada bunyi notifikasi yang tiba-tiba masuk.

Baik Amy maupun Ge sama-sama tertegun.

Bunyi notifikasi tersebut ternyata bersumber dari ponsel mereka berdua, sehingga keduanya pun langsung melihat isi notifikasi tersebut di ponsel masing-masing.

Betapa terkejut mereka berdua saat melihat kiriman video yang ada di grup komplek.

“Eh ini kan...” ujar Ge sambil menatap wajah sang istri, yang juga tak kalah heran dengan dirinya.

“A-aku tidak…”

Amy menutup mulutnya dengan tangan. Matanya terbelalak. Dia tidak mempercayai apa yang ia lihat. Apa yang terjadi di grup itu sungguh mengejutkan.

“Ka-Kak Nisa!?”





BAGIAN 20 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 21
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd