Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 21 | KESEMPATAN
Cerita oleh @Balanewpati | editing oleh @killertomato








Seorang perempuan cantik berkerudung dan mengenakan rok panjang duduk manis di salah satu sudut restoran sebuah hotel di pinggiran kota kabupaten. Di depannya ada secangkir es kopi susu latte beserta dengan beberapa dessert menemaninya siang menjelang sore hari ini. Perempuan cantik itu tampak mulai bosan. Dirinya ditinggal seorang diri sudah sekitar tiga puluh menit yang lalu. Selama setengah jam itu pula dia hanya bisa memainkan smartphonenya. Men-scroll timeline Instagramnya, melihat beberapa story dari teman-teman, check whatsapp, dan berulang begitu seterusnya.

Hiih, jan nyebelin tenan kok si Pak Wing ini, dia yang ngajakin jalan tapi akunya malah di tinggal sendirian di sini. Ketemu klien sih ketemu klien, tapi apa gunanya aku di bawa ke sini kalau cuma di suruh nunggu sendiri di sini? Lama pula.

Ya, perempuan tersebut adalah Intan. Dirinya memang pergi ke tempat ini janjian dengan Pak Wing, meskipun seperti yang sudah diatur semula, tidak barengan baik itu waktu dan kendaraan. Tapi pas ketika sampai tadi, tiba-tiba Pak Wing harus ketemu seorang klien di tempat ini. Katanya sih teman lama yang kebetulan punya bisnis berkorelasi dengan bidang usaha tempat Intan bekerja. Tidak ingin menyia-nyiakan momen tersebut, maka Pak Wing meminta izin untuk menemui kawan lamanya tersebut untuk bertegur sapa.

Tapi ternyata tegur sapanya bapak-bapak lima puluh tahun ke atas itu butuh waktu tiga puluh menit lebih.

Pak Wing sebenarnya bukan tidak mau mengenalkan Intan ke kawan lamanya tersebut. Tapi hubungan mereka berdua belumlah terlalu kental, sehingga dia tidak berani gegabah. Dia ingin bermain aman, sambil cek ombak terhadap respon dari kawan lamanya tersebut. Tapi dia sudah merencanakan suatu saat nanti pasti akan mengenalkan Intan ke kawan lamanya tersebut. Tentu saja sebagai umpan.

Hotel tempat Intan berada saat ini berada tepat di ujung jalan menuju kaki Gunung Mandiri. Jadi jika ke arah timur, maka itu adalah satu-satunya jalan menuju kaki Gunung Mandiri, tempat kampung growol, cluster kembang arum, dan kampung bawukan berada. Sedangkan jika ke arah barat, maka itu akan menuju ke kota kabupaten.

Udara di sekitaran hotel tersebut masih cukup sejuk, meskipun tidak sedingin di tempat tinggal Intan. Pepohonan pun juga masih cukup banyak dan rindang-rindang. Ditambah dengan pemandangan taman yang tertata rapi, meskipun kesal karena ditinggal oleh bosnya itu, Intan masih cukup terhibur dengan suasana yang ada.

Sambil memainkan smartphonenya, sesekali Intan memperhatikan suasana sekitar. Karena hari ini masih hari kerja, tidak cukup banyak pengunjung yang menginap di hotel tersebut. Hanya terlihat rombongan kantor dari sebuah instansi dari luar kota yang sepertinya sedang ada pelatihan di hotel tersebut.

Buang-buang anggaran pasti, habisin budget.

Intan membatin. Ibu muda cantik itu lalu melihat ke sekitar lagi. Ada juga satu keluarga yang entah orang asli sana atau bukan yang juga sedang menginap di hotel. Cukup lama Intan memperhatikan keluarga kecil tersebut. Awalnya Intan tersenyum. Lalu tanpa disadarinya tiba-tiba air matanya mengalir.

Ih, kenapa jadi nangis sih?

Intan kesal pada dirinya sendiri. Sekuat apapun dirinya ingin mencoba dewasa, tetap saja dia hanya seorang perempuan biasa. Perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Tulang rusuk yang tidak kuat-kuat amat. Yang mudah rapuh. Yang kadan keinginannya suka belok ke sana kemari.

Ya, Intan merasa sedih karena dia sendiri sudah lupa kapan terakhir kali dia bisa we time bersama keluarga kecilnya, bersama anak-anaknya, dan tentu saja bersama dengan Hendra, suami tercintanya yang sekarang lumpuh karena kecelakaan.

Ditambah lagi dengan kenyataan yang dihadapkan pada dirinya. Kelakuan bejat dari bapak mertuanya, dan juga dirinya yang karena keadaan terjebak pada kontrak tidak masuk akal dengan Pak Wing, semuanya menjadi satu seolah jadi seperti batu raksasa yang menimpa tubuh lemahnya. Sedihnya, tidak ada satupun yang bisa membantunya, bahkan suaminya sendiri yang sekarang, minimal perkataan dari bapaknya sendiri justru ikut menjadi beban untuk dirinya.

Memang betul ada Ardian yang selalu ada untuk dirinya selama ini, tapi setelah mendapat pandangan dari sisi yang berbeda dari bapak mertuanya, Intan jadi berpikir dua kali akan ketulusan Ardian. Belum lagi setelah kejadian tadi siang yang tidak mengenakan hatinya, semakin membuatnya ragu akan ketulusan hati seorang Ardian.

Apa iya masih ada orang setulus itu zaman sekarang ini? Untuk mengetahuinya sepertinya aku harus mengetesnya secara langsung.

“Hei, bengong aja saya perhatikan dari tadi,” ucap seseorang yang ternyata Pak Wing yang sudah berada di sampingnya.

“Eh, nggak, lagian sejak kapan bapak merhatiin aku? Orang akunya aja ditinggalin dari tadi,” balas Intan.

“Dari pas jalan dari lobby tadi saya sudah merhatiin kamu,” ucap Pak Wing yang langsung duduk di sebelah Intan.

“Masa?”

“Ga percaya!”

“Sudah kangen-kangennya sama sahabat lamanya?”

“Hehehe, sudah dong, maaf ya, lama ya?”

“Bukan lama lagi, hampir saja aku lumutan di sini, Pak.”

“Maaf deh, sebagai gantinya saya traktir kamu makan enak hari ini.”

“Memangnya kalau tidak ditinggal, bapak akan split bill dengan aku? Yakin? Ga malu?”

“Hahaha, iya-iya maaf…kan kerjaan kamu udah aku kurangi, senyum dong.”

“Jadi ga ikhlas nih?”

“Aduh, memang agak sulit kalau ngobrol sama perempuan yang lagi gundah hatinya, ada apa sih cantik? Cerita dong sama bapak.”

“Ga ada yang nyuruh bapak juga buat ajak aku kesini. Ga mau cerita, aku kalau cerita panjang, ga mau kalau setengah-setengah.”

“Aku pasti akan mendengarkannya sayang, pasti.”

“Gombal!”

“Gimana kalau supaya ceritanya nyaman, kita…open kamar?”

“Bisa banget menebar jalanya, udah biasa ya?”

“Hahaha, yuk.”

“Yuk apa?”

“Cerita di kamar aja.”

“Dih maksa banget, emang aku udah iyain apa?”

“Ayolah, aku lihat kamu sedang ada masalah sepertinya.”

“Masalahku itu kontrak dengan bapak.”

“Ya udah janji deh hari ini kita belum bahas itu.”

“Bener?”

“Bener dong, Wing mana mungkin ingkar janji.”

“Ya udah.”

“Ya udah ayok.”

“Ya bapak duluan aja, whatsapp in nomor kamarnya.”

“Oke.”

Pak Wing lalu meninggalkan Intan. Intan tersenyum tipis sambil memandangi pria tua itu berlalu.

Senang juga rasanya bisa dapat perhatian lebih dari seseorang. Meskipun Pak Wing jauh banget dari kata good looking, tapi tidak masalah. Dari pada Mas Ardian yang belum tentu bisa diandalkan penuh, mending aku memanfaatkan Pak Wing aja.

Mas Hendra, maafin aku, Mas. Semua ini demi keluarga kecil kita.


Intan lalu bangkit setelah mendapat pesan whatsapp yang berisikan nomor kamar Pak Wing. Dia berjalan pelan menuju lift agar tidak terlalu dekat dengan Pak Wing. Kamarnya berada di lantai tiga. Kamar tersebut ada sebuah balkonnya dan menghadap ke arah belakang bangunan hotel, sehingga jika dari view balkon tersebut terasa sekali privasinya.

“Bagus juga kamarnya,” ucap Intan saat sudah masuk ke dalam kamar. “Seumur-umur aku belum pernah menginap di hotel ini, padahal udah banget sering lewat depan,” lanjutnya.

“Mau nginep aja?”

“Gila aja, bakal dicariin sama orang rumah aku, memangnya bapak!”

“Hehehe, kenapa dengan saya?”

“Ga ada yang nyariin kan? Kalaupun ada pasti bapak punya seribu satu alasan untuk berbohong, tipe-tipe bapak-bapak nakal yang tidak betah di rumah.”

“Yah kurang lebih seperti itu, kamu beruntung masih ada yang nyariin, kalau aku sih kadang dicariin, kadang juga enggak.”

“Enak dong bisa bebas pergi kemanapun bapak mau?”

“Ada enaknya, ada ga enaknya, oh iya, ini aku bawa sesuatu buat kamu,” ucap Pak Wing sambil menyodorkan sebuah kantong kain yang berisi sesuatu. Karena tidak berpikir macam-macam Intan langsung menerimanya. Namun betapa terkejutnya dia saat membuka bungkusan itu.

“Apaan ini?”

“Baju ganti.”

“Untuk aku?”

“Iya.”

“Buat apa?” tanya Intan bingung.

“Ya siapa tahu kamu tidak mau baju kerjamu lusuh.”

“Memang kita mau ngapain, Pak?” tanya Intan lagi sambil melotot.

“Cerita, ngobrol, curhat?”

“Curhatnya sambil atraksi gitu?” tanya Intan kembali yang kali ini sambil menahan senyum.

“Hahaha, dipakai saja, aku sudah siapin semuanya buat kamu loh.”

“Punya siapa ini? Bapak mengoleksi baju perempuan seperti ini?” tanya Intan yang setelah mengambil dari kantong tersebut ternyata isinya sebuah dress selutut yang terlihat casual namun di bagian bahunya terbuka. Sedikit terbuka dan seksi tapi tidak terkesan murahan.

Ih, lucu banget sih ini baju, jadi inget dulu pas Mas Hendra masih sehat dia rutin beliin aku baju-baju lucu kaya gini. Dulu Mas Hendra selalu… tidak. Yang dulu ya dulu, yang sekarang ya sekarang. Sabar Intan, kamu harus sabar dengan keadaan.

Sebentar lagi kamu akan mendapatkan semua yang kamu mau. Bersabarlah.


“Enggaklah, buat apa coba.”

“Ini punya ibu ya? Seleranya oke juga,” balas Intan sambil membolak-balikan dress tersebut. Meskipun masih jaim, tapi sesekali dia menempelkan dress pendek tersebut di badannya. Benar kata Pak Wing, dress itu sepertinya akan sangat pas di tubuhnya.

“Bukan juga.”

“Lalu?”

“Haha, tapi kamu jangan tertawa ya.”

“Enggak…janji…”

“I-itu…punya anakku.”

“Hahaha…apa? Bapak memang gila ya? Baju anak perempuannya sendiri dicolong.”

“Tadi katanya janji ga tertawa. Lagian itu ga dicolong, nanti juga dikembalikan.”

“Siapa yang janji begitu?”

“Tadi barusan…”

“Hahaha, itu maksudnya nggak janji tanpa koma, hahaha, bapak aja yang ga jeli.”

“Kena deh saya, sudah pakai sana buat ganti, kalau mau mandi-mandi dulu juga boleh.”

“Bapak ga niat untuk…”

“Apa?”

“Minta aku cosplay jadi anak bapak kan?”

“Kalau iya kenapa?”

“Benar-benar gila!”

“Kan cosplay bisa dalam banyak hal, pikiranmu saja yang sudah gila.”

“Eh, nggak gitu, bapak tuh niat banget, tahu dari mana coba kalau ukurannya bakal pas? Terus kalau anak bapak nyariin bagaimana?”

“Pasti pas, tinggi kalian kurang lebih sama, posturnya juga kurang lebih sama, yang pasti aman, anakku lagi di luar kota, aku kangen sama dia, makanya aku pengen aja ngobrol sama kamu pakai baju itu, sudah sana ganti baju.”

“Cara mengobati kangen yang aneh!” ucap Intan sambil berlalu meninggalkan Pak Wing.

Intan pun lalu pergi ke kamar mandi setelah mendengarkan penjelasan Pak Wing. Entah kenapa dia merasa lucu saja diminta hal seperti itu oleh si pria tua. Itung-itung menyenangkan hati si bos pikirnya. Dan meskipun dia tahu sembilan puluh sembilan persen ending dari sesi curhat ini akan seperti apa, tapi melihat usaha Pak Wing yang tidak langsung to the point justru malah membuatnya merasa nyaman. Hampir tidak ada rasa keterpaksaan yang dia rasakan.

Setelah selesai mengganti bajunya, Intan sempat mematut sebentar dirinya di depan cermin. Beberapa kali ibu muda itu tersenyum memandangi tubuhnya sendiri yang…terlihat beberapa tahun lebih mudah dengan baju tersebut.

Memang kalau baju mahal beda ya sama baju seratus ribuan. Bahannya pun enak banget. Duh, kok aku malah jadi senyum-senyum sendiri gini ya? Perhatian ini, aku rindu perhatian seperti ini. Seandainya kamu masih bisa memberikannya, Mas Hendra.

Sekilas memang Intan tampak lebih muda. Bagi yang tidak kenal, pasti akan mengira dirinya masih anak kuliahan. Tubuhnya masih sangat ramping. Lengannya kecil. Kakinya juga jenjang. Rambutnya yang diikat ke belakang menambah kesan manis dan unyu-unyu dari dirinya.

Saat keluar dari kamar mandi, Intan tidak melihat Pak Wing ada di dalam kamar. Setelah mencari-cari dia akhirnya menemukan bosnya tersebut ternyata sedang duduk santai di balkon kamar hotel tersebut.

Meskipun agak berat, tapi Intan juga terpaksa harus melepas kerudungnya karena sangat aneh bila tetap mengenakan kerudung dengan baju dress selutut yang dia kenakan. Itulah yang membuat ibu muda yang cantik jelita itu tampak malu-malu saat menghampiri si pria tua. Sesekali dia harus menyampirkan poni rambutnya ke telinga yang beberapa kali terjatuh ke depan.

“Kan, apa kata saya, pas kan baju itu untuk mu?”

“Hehehe,” Intan hanya nyengir kuda. Dia masih terlihat canggung dengan posisinya saat ini.

“Duduk sini,” pinta Pak Wing pada Intan sambil menunjuk kursi satu lagi yang ada di balkon tersebut.

Intan pun duduk melipat kakinya. Dress itu sedikit tertarik hingga membuat ujung bawah paha putihnya terbuka. Kaki jenjang yang saling menopang itu tampak semakin mempermanis penampilan Intan siang menjelang sore ini.

“Anak bapak, memang lagi kemana?”

“Anak bungsuku kan memang lagi kuliah di ibu kota, jadi kadang paling sebulan sekali pulangnya, kalo ga aku yang ke sana.”

“Oalah, pantes berani mengambil baju anak gadisnya, sudah tingkat berapa ngomong-ngomong?”

“Hehehe, nanti juga dikembalikan dengan rapi kok, sudah tingkat akhir, tahun depan harusnya udah wisuda.”

“Hmm…berarti kemungkinan besar aku sama anak bapak itu palingan beda…lima atau enam tahunan kayanya.”

“Iya mungkin.”

“Tadi bapak bilang anak bungsu, kalau yang pertama?”

“Yang pertama udah nikah, sekarang tinggal ikut suaminya di kota sebelah, kayanya seumuran sama kamu deh.”

“Hmm…iya mungkin, bapak sudah punya cucu?”

“Sayangnya belum, padahal udah tiga tahun menikah.”

“Sabar pak, mungkin memang belum rejeki.”

“Kamu dulu langsung isi ga?”

“Langsung sih, hehehe.”

“Tokcer berarti suamimu, ngomong-ngomong, bapak-bapak yang ketemu di rumah sakit itu bapakmu atau mertuamu?”

“Itu mertua, Pak, kenapa?”

“Enggak, cuma…”

“Cuma apa?”

“Kaya ada yang aneh aja, tapi mungkin cuma perasaanku saja.”

“Aneh gimana?”

“Ga tahu ya, tapi pokoknya ada yang aneh aja, kalau kamu itu dekat ya sama Ardian?”

“Kenapa langsung berbelok ke sana deh topiknya?”

“Biasanya masalah itu justru berkaitan dengan orang-orang terdekat sendiri, baik orang terdekatmu di rumah maupun orang terdekatmu di kantor, tapi mungkin aku salah.”

“Bapak ga salah.”

“Hah? Jadi bener?”

Intan hanya mengangguk lemah.

Intan memandang ke arah Pak Wing. Dari raut wajahnya dia melihat ketulusan hati dari si bos. Bahkan terlihat lebih tulus dari Ardian.

“Ada banyak masalah yang menimpaku akhir-akhir ini, pak.”

“Cerita saja kalau ada yang ingin kamu ceritakan.”

“Bapak tidak salah pas tadi bilang ada yang aneh dengan mertuaku.”

“Maksud kamu?”

“Ka-kami…”

“Ya?”

“Kami telah melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan.”

“Maksud kamu?”

“Iya…”

“Bagaimana bisa?”

“Panjang ceritanya, tapi memang dasar mertuaku itu yang bajingan.”

“Di saat istri dan anaknya sendiri sedang sakit?”

“Iya.”

“Maafkan aku.”

“Kenapa bapak minta maaf?”

“Karena aku juga jadi masalahmu yang ketiga.”

“Hahaha, sudah terlanjur pak, lagi pula aku juga butuh bantuan bapak untuk menolong ibu mertuaku.”

“Masalah yang sangat rumit.”

“Bapak tidak perlu khawatir soal itu, aku tidak akan memohon belas kasihan, aku akan melakukan apapun untuk membalas budi.”

“Baiklah, aku suka dengan sikapmu, lalu kalau Ardian?”

“Mas Ardian, muncul di kala suamiku tidak bisa aku andalkan lagi.”

“Oh, ya ya paham, menurut kamu sendiri bagaimana dengan Ardian?”

“Tidak tahu pak harus bersikap bagaimana, entah sikap baiknya itu tulus atau hanya kedok untuk mendapatkan sesuatu dariku.”

“Berarti kamu bete tadi siang itu karena Ardian?”

“Bukan karena Mas Ardiannya, tapi memang ada kaitannya dengan dia.”

“Apa itu?”

“Bapak kenal dengan Sabrina kan?”

“Ya, aku kenal.”

“Sabrina itu kakak iparnya istri Mas Ardian.”

“Oalah…ya ya, aku paham sekarang, benang merahnya sudah tersambung.”

“Tadi siang Sabrina mengungkit hubunganku dengan Mas Ardian.”

“Tapi kamu sendiri ada sesuatu ga sama Ardian?”

“Tidak ada, demi Tuhan.”

“Ya ya aku percaya, apa yang bisa aku bantu untukmu? Melaporkan mertuamu ke polisi?”

“Tidak-tidak, aku tidak mau mas Hendra dan ibu jantungan.”

“Jadi apa?”

“Ga tau pak,” balas Intan sambil menyeka air matanya yang sekali lagi mengalir kembali.

“Eh eh, duh jangan nangis, maaf kalau pertanyaanku malah bikin kamu sedih.”

“Tidak apa-apa, mungkin memang sudah nasibku pak seperti ini.”

“Apa aku boleh memelukmu?”

Tidak ada jawaban. Pertanyaan itu terdengar sangat mencari-cari kesempatan, tapi kemudian Intan mengangguk pelan. Pak Wing pun lalu menggeser meja kecil yang memisahkan mereka berdua. Dia lalu menggeser kursinya mendekat ke arah Intan. Pria tua itu lalu memeluk tubuh mungil Intan dari samping. Seolah tanpa beban, Intan langsung membalas pelukan Pak Wing. Ibu muda itu langsung menyandarkan kepalanya ke dada Pak Wing.

Dua insan berlainan kelamin yang tidak punya hubungan apa-apa selain pekerjaan itu saling meresapi pelukan yang ada. Intan kembali merasakan pelukan yang jauh lebih hangat dari pelukannya dengan Ardian tempo hari. Dada ini, dada laki-laki seperti ini yang dia cari-cari selama ini. Yang lapang dan memberikan kehangatan. Sekarang bukan hanya Pak Wing yang memeluknya, tapi Intanlah yang memeluk Pak Wing dengan sangat erat.

“Pak?”

“Ya?”

“Ba-bawa aku masuk ke kamar,” bisik Intan malu-malu. Mukanya memerah. Meskipun ini sesuai dengan rencananya yang hanya ingin memanfaatkan Pak Wing, namun tidak dapat dipungkiri kalau getar-getar hatinya sebagai seorang perempuan berirama juga mendapatkan perlakuan lembut dan hangat dari Pak Wing.

Pak Wing pun bangkit dengan diiringi oleh Intan. Pria tua itu terlihat bagaikan seorang ksatria muda yang baru saja memenangkan sebuah peperangan besar. Rasa bangga dan jumawa tentu saja membuncah dari dalam egonya. Sang kesatria pun berjalan dengan gagahnya menuju ke peraduan. Sang kesatria semakin bertambah jumawa manakala sang bidadari cantik merangkul tangannya dan berjalan dengan anggun di sampingnya.

Pak Wing dan Intan lalu berhenti tepat di tepian ranjang empuk hotel. Mereka saling berhadapan dengan sangat erat. Kedua tangan mereka saling menggenggam satu sama lain saling menguatkan. Memberikan getar-getar saling menguatkan satu sama lain. Getar-getar kasih yang membuat mereka ingin segera menjadi satu.

Intan mendongak, Pak Wing menunduk. Mereka berdua saling merapatkan dahi, seolah masih malu-malu untuk merapatkan bagian tubuh yang lain. Getar nafas yang menderu menjalar ke tubuh masing-masing. Genggaman jari tangan mereka berdua semakin erat. Intan yang mulai tidak tahan dengan sikap hangat dari atasannya itu lalu menarik tangan Pak Wing kebelakang untuk memeluk pinggangnya kembali. Sedangkan tangannya sendiri dikalungkan ke leher Pak Wing. Semakin tidak tahan, Intan menarik leher dan kepala sang pria tua hingga kedua bibir mereka beradu.

Kecupan pelan. Lepas. Kecup lagi. Lebih lama. Bibir terbuka. Lalu lumatan itu berubah semakin lama semakin panas. Jaim dan malu-malu dari keduanya mulai memudar. Diganti dengan lumatan dan desahan nafas yang semakin menderu.

Puas dengan lumatan bibir, Intan mulai melolosi satu persatu kancing kemeja Pak Wing. Pak Wing yang ingin melakukan sebaliknya langsung ditahan oleh Intan. Pak Wing pun heran. Sejenak dia berpikir, apakah Intan mulai ragu?

“A-aku ingin melakukannya masih dengan baju ini, boleh yah?” bisik Intan.

Pak Wing pun mengangguk sambil tersenyum. Apalagi ketika Intan mendorongnya pelan hingga terduduk di tepian ranjang. Pria tua atasan Intan itu lalu mencoba pasrah dan menunggu kenikmatan seperti apa yang akan dia terima dari anak buahnya tersebut.

Intan lalu melanjutkan kembali usahanya melolosi kancing kemeja Pak Wing. Tentu saja dengan senyuman nakal dan tatapan mata sayu dari dirinya. Jiwa dan raganya sudah terlanjur terbuai dengan situasi yang ada saat ini. Tidak ingin menikmatinya pun sudah terlanjur basah. Dirinya sudah terlanjur basah. Apa bedanya jika dia hanya bermain dengan bapak mertuanya dibanding dengan dia juga bermain dengan bosnya. Jika bermain dengan bosnya, dia bisa mendapat keuntungan lebih. Jadi kenapa tidak?

Setelah kancing kemeja terlepas semua, Intan lalu berlutut. Giliran ikat pinggang berwarna hitam yang sekarang menjadi incarannya. Tidak berselang lama, celana bahan milik Pak Wing lolos juga. Ibu muda cantik itu melolosinya hingga mata kaki. Pun begitu dengan celana dalam yang dikenakan si Pria tua. Sekarang, terpampanglah kejantanan seorang pria yang beberapa waktu lalu sudah merasakan hangatnya mulutnya itu.

Intan lalu memajukan tubuhnya. Dicengkramnya benda tumpul itu. Di urutnya ke atas dan ke bawah. Benda berurat itu semakin lama semakin keras sempurna. Namun bukan itu yang membuat Pak Wing melenguh keenakan.

Rupanya Intan melakukan jurus yang biasa dia lakukan ke suaminya, yaitu menjilati area seputar dan puting suaminya. Jilatan yang diselingi dengan hisapan dan gigitan itu menyalurkan getar-getar sensasi seperti sengatan listrik yang mengalir ke tubuh pria tua.

“Apa aku boleh gantian?” tanya Pak Wing dengan lembut.

Sekali lagi sikap dan perilaku Pak Wing yang mendadak menjadi sangat sopan dan gentle itu menyentuh hati Intan. Sang ibu muda yang cantik jelita itu pun tersenyum.

“Gantian apa?”

“Aku ingin susumu.”

“Susuku?”

“Iya.”

“Sudah tidak ada susunya tapi.”

“Aku hanya ingin melakukan hal yang sama dengan yang kamu lakukan ke aku barusan.”

“Menurut bapak, apa aku akan menolaknya?”

“Tentu saja tidak, sayang,” bisik Pak Wing.

“Kalau begitu, cepat lakukan, pejantan kuh,” bisik balik Intan dengan merdu.

Siapa yang tidak langsung turn on saat mendengar ucapan seperti itu dari bibir manis wanita secantik Intan. Pak Wing lalu menarik tubuh Intan dan mendudukkannya di pangkuannya. Akan tetapi, tiba-tiba dia bingung dengan dress yang dikenakan oleh Intan yang tidak ada kancing atau resleting yang memudahkannya untuk mengulum-ngulum puting payudara sang ibu muda. Padahal dia tadi sudah diwanti-wanti kalau Intan ingin melakukannya dengan masih mengenakan baju tersebut.

“Hihihi, bingung yah?” ledek Intan dengan geli. Pak Wing hanya bisa garuk-garuk kepala. Intan yang tidak tega langsung melakukan sesuatu. Dia menurunkan satu sisi dressnya hingga ke lengan. Hal tersebut tentu saja memungkinkan untuk mengeluarkan salah satu payudara indahnya.

“Kenapa melongo?”

“Benar-benar indah.”

“Kalau cuma diliatin gitu mending aku tutup kembali, malu.”

“Jangan.”

Pak Wing lalu melakukan tugasnya dengan cepat. Dia caplok ujung buah dada itu dengan rakus. Lidah dan giginya beraksi dengan bermain-main di seputaran area sensitif itu.

“Ahh…”

Desahan Intan mulai menggema. Berulang dan berulang. Seiring dengan jilatan dan lumatan yang berulang.

“Ahh…”

Sang ibu muda pun tidak mau kalah dengan membalas lumatan itu dengan kocokan pelan pada kejantanan si pria tua.

“Pak?”

“Ya?”

“Kalau celana dalamku, bapak bisa buka sendiri, atau harus aku yang bukain? hihihi.”

“Hahaha, kamu ini, bikin aku terlihat sangat cupu.”

“Padahal suhu ya?”

“Kita coba saja.”

Intan tersenyum dan mengangguk. Dia bangkit dan membelakangi Pak Wing. Di tunggingkannya tubuhnya ke arah Pak Wing. Dengan gerakan sensual ibu muda itu menarik pelan-pelan dress yang dia kenakan hingga lama-lama celana dalam tipis yang dia kenakan terlihat oleh Pak Wing.

“Coba pak, lucuti celana dalam aku,” bisik Intan.

Pak Wing pun dengan senang hati langsung melakukannya. Kini terpampang dua lubang sempit di sela-sela lipatan bokong bulat Intan.

“Basahin, pak.”

Pak Wing pun mengerti harus apa. Pria tua itu lalu memajukan tubuhnya. Lidahnya menjulur lalu dengan tanpa rasa jijik sama sekali pria tua itu menjilati kedua lubang itu secara bergantian dengan rakusnya.

“Ahh…ahh…ahh…”

Desahan Intan tidak hanya menggema kembali, tapi menggelegar. Memenuhi seluruh isi ruangan. Memberikan suasana panas meskipun udara terasa cukup dingin di dalam kamar tersebut.

“Ahh…ahh…ahh…”

Jilat hisap dan sedot lagi lagi dan lagi. Intan merasa mabuk kepayang dengan perlakuan dan sensasi yang dia rasakan. Bagaimana bisa terbayang sebelumnya, atasannya yang seharusnya dia hormati itu saat ini justru dengan patuh menjilati dua lubang pembuangannya yang salah satunya seharusnya tidak untuk dijilati.

“Ahh…ahh…ahh…”

“Ahh…ahh…ahh…”

“Ahh…ahh…ahh…Pak, sudah pak sudah…” pinta Intan sambil menggeliat-geliat.

“Apa kamu yang sudah tidak tahan?”

“Dasar, ngebales ngeledek nih…” protes Intan manja sambil mencubit hidung Pak Wing.

Intan lalu berlutut kembali dan kini gantian memberikan oral sex kepada sang bos. Namun oral sex yang dia berikan tidak lama. Dia hanya ingin sebatas juga membasahi setiap inchi kemaluan Pak Wing. Karena seperti yang diledek oleh Pak Wing tadi, Intan sudah tidak tahan menahan birahi yang membuncah.

“Pak?”

“Ya?”

“Intan minta izin, hihihi.”

“Izin apa?”

“Izin ngelangkahin tubuh bapak, hihihi.”

“Hahaha, silahkan.”

Selanjutnya adalah giliran Intan sepenuhnya. Dia menyuruh Pak Wing untuk merebahkan tubuhnya. Lalu seperti permintaannya tadi, dia melangkahi tubuh Pak Wing dengan salah satu kakinya, lalu memposisikan diri duduk tepat diatas kemaluan Pak Wing. Diarahkannya benda keras itu ke sela-sela liang senggamanya. Lalu ketika sudah pas, tubuh ibu muda yang cantik jelita itu melakukan penetrasi ke bawah secara perlahan namun pasti.

“Ahh…….”

“Ahh…sempit…” dengus Pak Wing.

“Ahh…Apanya?” tanya Intan berpura-pura.

“Memek, kamu, sayang.”

“Jorok ih ngomongnya.”

“Apa dong yang ga jorok?”

“Emh…apa yah, ini tuh…lubang, ahh…lubang kenikmatan.”

“Ahh…sempit banget lubang kenikmatan kamu.”

“Mau yang lebih enak lagi?”

“Mau dong, apa itu?”

“Ahh…yang lebih nikmat itu, kalau lubang kenikmatannya aku goyang seperti ini, ahh…ahh…”

“Ahh…iyah sayang ahh…goyang terus ahh…”

“Ahh…pak…ahh…”

“Aku keluaaaaaaaaaaaaaaaaarr!”

“Paaaaaaaaaaaaaaaaakghhh!”



.::..::..::..::..::.





Setelah berhasil klimaks secara bersamaan, kedua insan itu masih terbaring lemah di ranjang empuk hotel yang menjadi saksi bisu pertarungan panas mereka berdua. Nafas keduanya mulai teratur setelah sebelumnya saling memacu satu sama lain. Rileks setelah olahraga.

“Apa sih lihatin terus!? Kan sudah menikmati semuanya? Kenapa masih aja lihat dadaku segitunya? Malu, Pak.” rajuk Intan.

Dia yang pada saat bercinta dengan atasannya tidak melepas dress yang ia kenakan langsung membenahi kembali posisi bajunya itu sehingga buah dadanya kini tersembunyi kembali.

“Intan, kamu memiliki buah dada terindah yang pernah aku nikmati seumur hidupku, tidak salah aku memilihmu.”

“Halah, masih saja gombal. Tidak butuh gombalan Bapak, yang aku butuhkan itu… eh tapi bukannya masih lebih indah punya ibu kan?”

“Tentu saja tidak, lebih indah punyamu.”

“Tapi, lebih besar punya ibu.”

“Lebih besar tapi sudah kendor buat apa, punyamu pas, pas ditangan untuk diremas.”

“Sudah-sudah, nanti aku terbang kalau dipuji terus.”

“Kan memang itu gunanya mulut seorang pria bisa berbicara.”

“Ya ya, tapi kalau…”

“Apa?”

“Hihihi, kalau sama punya anak bapak? besaran mana? bagusan mana? pasti bagusan punya anak bapaklah, masih kuliah masih gadis, kalau aku kan sudah dua kali menyusui.”

“Pertanyaan macam apa itu? Mana aku tahu.”

“Tidak usah bohong, laki-laki macam bapak, kalau sekedar curi-curi pandang atau memperhatikan sekilas, pasti pernah kan, meski punya anak sendiri, jujur saja sama aku. Be-sar pu-nya si-a-pa?”

“Heh!? Kok ngomongnya jadi ngawur begini!? Kamu bukan seperti Intan yang aku kenal! Hayo ngaku, siapa kamu sebenarnya?” canda Pak Wing.

“Hahaha, salting kan jadinya, dasar memang bapak ini, sudah diam-diam nyolong dress anak gadisnya sendiri, lalu dikasihkan ke perempuan mainannya, jangan-jangan tadi pas nyodok-nyodok tubuh aku, bapak sambil ngebayangin nyodok tubuh anak gadis bapak yah? ngaku!”

“Jangan-jangan… kamu anakku yang menyamar ya? hahaha,” canda Pak Wing sambil mencolek-colek tubuh Intan.

“Hahaha, udah ah udah, ampun, geli pak, aww.”

“Aku mau minta tolong boleh?”

“Apa?”

“Tolong ambilkan handphoneku, ada di saku jaket di lemari kalo tidak salah tadi, duh mudah-mudahan ga jatuh, maaf ya faktor U, jadi gampang lupa.”

“Laksanakan bos,” balas Intan yang lalu bangkit dan mengerjakan apa yang diinstruksikan oleh Pak Wing. Setelah mendapatkan handphone yang dicari, Intan langsung kembali dan memberikannya kepada Pak Wing, namun dia tidak ikut kembali naik ke atas ranjang melainkan duduk di kursi yang ada di depan cermin.

Ibu muda cantik itu mematut diri sendiri di depan cermin. Merapikan bajunya yang agak berantakan. Mengencangkan ikat rambutnya yang kendur akibat pertempurannya tadi dengan Pak Wing.

Dibanding Bapak, stamina Pak Wing ternyata tidak ada apa-apanya. Meskipun tadi bisa sampai bikin aku klimaks bersamaan, tapi kalau Bapak kan semalam dan tadi pagi bisa lebih dari dua kali.

Intan menatap dirinya sendiri di cermin.

Apa-apaan sih!? Kenapa malah mempertanyakan hal itu!? Sial! Semakin dalam saja aku terjerumus. Bisa-bisanya aku malah membandingkan kedua pria tua itu. Tapi kalau dari sisi sikap dan kehangatan, ternyata Pak Wing oke juga. Meskipun dulu awalnya terkesan melecehkan banget, ternyata bisa hangat juga.

“Sayang, baru saja aku transfer lima juta ke rekening kamu,” ucap Pak Wing yang langsung membuyarkan lamunan Intan.

“Hah? Untuk apa?”

“Kan tadi kamu yang bilang tidak butuh gombalanku, siapa tahu yang kamu butuhin tuh transferan.”

“Padahal hanya bercanda saja tadi, tapi ya udah makasih loh, bapak peka sekali jadi cowok, oh iya, anak bapak yang bungsu namanya siapa.”

Ih kok aku malah jadi penasaran sama anaknya yang bajunya lagi aku pakai ini ya? Sepertinya bermain-main sebentar bisa nih.

“Gita. Kenapa?”

“Gak, aku kaya ngerasa jadi seperti anak bapak yang bungsu, terus tadi abis dapat transferan bulanan.”

“Aku tadi juga kepikiran seperti itu tadi, hahaha, kalau lihat kamu duduk dari belakang seperti ini memang mirip banget dengan dia kalau di rumah.”

“Masa sih pah, eh Pak, eh anak bapak kalau manggil papa atau ayah atau bapak atau daddy?’

“Papa sih, iya mirip sekali seperti itu, rambutnya juga panjang seperti rambutmu, seperti copy paste beneran, ah jadi kangen sama anak itu.”

“Bapak sepertinya sangat menyayanginya.”

“Tentu saja aku sangat menyayanginya.”

“Ya udah, biar kangennya ilang, bagaimana kalau hari ini sampai besok, bapak jangan anggap aku sebagai Intan.”

“Lalu sebagai siapa? Gimana mau sampai besok, kan kamu tadi bilang mau pulang malam ini.”

“Anggap aja aku ini Gita, hihihi. Bapak kan tadi sudah transfer, dengan uang itu aku bisa minta tolong tetanggaku untuk mengurus rumah malam ini. Anak-anakku aman, mas Hendra aman, mertuaku aman, si brengsek pemerkosa itu pun aman. Aku benernya tidak mau dia aman sih. Lebih baik sih dia ke laut aja.”

“Benar-benar pintar kamu. Eh tapi, kalau kamu jadi Gita, aku tidak bisa menikmati tubuhmu lagi dong? Mana nafsu aku kalau kamu berpura-pura jadi Gita?”

Dalam benak Intan terbersit sesuatu.

Jika tidak ingin menjadi mangsa, jadilah predator.

Di dunia yang kejam ini semua serba saling makan. Siapa yang tidak ingin dimakan, lebih baik memakan dulu. Siapa yang punya kesempatan harus memanfaatkan sebaik-baiknya. Kesempatan tidak datang dua kali, dan ini adalah kesempatan terbaiknya
.

Jalur kehidupan ke depannya nanti akan bergantung pada bagaimana caranya memanfaatkan kesempatannya saat ini. Walaupun untuk itu dia harus membuang semua idealisme dan prinsip yang dia pegang teguh selama ini.

Mas… maafkan aku. Istrimu sudah tiada malam ini. Namaku masih Intan, tapi aku sudah bukan lagi Intan yang sama. Aku Intan yang akan berjuang untuk hidup.

Intan melirik ke arah cermin dan memantapkan diri dalam hati.

“Ah masa sih pah? Yakin?” tanya Intan dengan lembut dan sensual.

Ibu muda cantik itu lalu berjalan dengan gemulai menghampiri Pak Wing. Pak Wing tampak kaget dan bertanya-tanya dengan apa yang akan dilakukan oleh Intan. Tapi dia diam saja dan hanya menunggu di ranjang empuk itu.

“Pah?”

“I-iya?”

“Menurut papah, anak gadismu ini cantik nggak?” tanya Intan sambil merebahkan tubuhnya di samping Pak Wing. Ditariknya lengan kiri Pak Wing lalu di kalungkan di bahunya untuk memeluknya dari samping. Dia sendiri balas memeluk perut Pak Wing yang membuncit itu.

“Kamu ini ya, hahaha, udah ah.”

“Cantik ga pah?”

“Cantik.”

“Beneran?”

“Bener dong…”

“Makasih…oh iya pah, di kampus aku ada anak yang rese masa pah, ikut campur urusan aku terus masa.”

“Hah? masa sih, siapa namanya?”

“Namanya itu Sabrina pah, anaknya jelek banget, gembrot, kulitnya item, kusam, dekil, bau, ihhh jijik deh…”

“Hahaha, kamu kesal sekali sepertinya sama anak itu,” Pak Wing tertawa mendengar penjelasan Intan yang berpura-pura jadi Gita.

“Iya pah, aku kan punya temen cowok, namanya Ardian, masa aku ga boleh deket sama temen cowok itu, kan nyebelin ya, kita kan harusnya bebas ya berteman dengan siapa aja, toh dia juga ga punya hubungan apa-apa juga.”

“Suka kali si Sabrina itu sama Ardian.”

“Iya kali ya pah, makanya Sabrina cemburu sama aku, Papah bantuin aku dong, kesel banget ih sama tu nenek lampir.”

“Hahaha, papa bisa bantu apa?”

“Papa kan punya kenalan sama orang-orang kampus pah, bikin tu anak ga lulus-lulus, bisa kali pah?”

“Hmm…kamu ini kalau sudah punya mau, pasti mengandalkan segala cara.”

“Habisnya anak itu udah kelewat batas pah, mau ya pah?”

“Memangnya papah bisa menolak permintaan kamu?”

“Hihihi, makasih yah pah, beneran yah, kalau perlu bikin wanita itu sengsara juga boleh pah, atau, kalau perlu, gimana kalau kita jebak dia pah? Biar papah bisa menikmati tubuhnya juga tuh pah, perkosa aja pah ramai-ramai, ajak sopir papa, pekerja-pekerja papa, biar tahu rasa tuh anak di pakai ramai-ramai, janji deh ga bilang-bilang ke mama, hihihi.”

“Lah tadi katanya gembrot item dekil, masa dikasih ke papa?”

“Hihihi, sebenarnya sih cantik pah, sangat cantik malah. Tapi ya gitu, sebel aja makanya tadi aku bilang gitu.”

“Tapi kamu ember ga ke mama?”

“Galah pah, selama papah bisa bantuin aku buat kasih pelajaran ke si Sabrina itu, semua rahasia bakal terjamin, uhh jadi makin sayang deh sama papa.”

Intan mendongak ke atas sambil membisikkan kalimat terakhirnya tersebut. Tubuh mungilnya semakin mendusel-dusel tubuh Pak Wing. Satu kakinya juga ditopangkan pada paha si pria tua. Sesekali kaki jenjang itu menggesek-gesek manja pada kaki Pak Wing.

“Papa juga makin sayang sama kamu, hahaha,” tawa Pak Wing dengan suara besarnya menggelegar memenuhi kamar.

“Kenapa bapak tiba-tiba tertawa kencang seperti itu? bikin kaget aja.”

“Hahaha, nggak, lucu aja sama usaha kamu ngerayuku buat membantu mewujudkan tujuanmu.”

“Hehehe, ketahuan lagi ya?”

“Iyalah, aku ini jauh lebih tua dari kamu, aku sudah banyak makan asam garam dunia pernegosiasian. Tapi tidak apa-apa, aku tetap suka dengan sifat karaktermu yang penuh dengan ambisi, itu sangat bagus untuk perusahaan. Aku akan membantumu kali ini.”

“Terima kasih pak.”

“Kamu benar mau nginap malam ini?”

“Ya…kalau dipaksa sih mau-mau aja, kecuali kalau bapak pulang hari ini ya aku pulang juga.”

“Tetap ya, maunya dipaksa, maunya dikerasin ya?”

“Emh…sedikit keras aja mungkin ya, akan terasa lebih seru kayaknya.”

“Baiklah, ngomong-ngomong kamu ga pengen cerita tentang bagaimana kamu dengan mertuamu itu bisa punya affair?”

“Bukan affair sih lebih tepatnya, tapi dipaksa.”

“Pantes kamu jadi suka dipaksa, sudah lama?”

“Dilecehkannya sih sudah, tapi pertama dan baru pertama kami melakukan itu tuh baru semalam dan tadi pagi.”

“Sudah berapa lama?”

“Lupa pak, udah lama pokoknya.”

“Kamu diam aja?”

“Ya gimana? Cerita ke suami dan ibu mertua ga mungkin. Aku cuma bisa menghindar dan menghindar.”

“Kamu menikmatinya ga semalam?”

“Mau gantian ngeledek ya?” tanya Intan sambil melotot.

“Biar impas, hehe.”

“Kalau semalam sih terpaksa, tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi semalam itu aku sambil dicekoki alkohol, lupa-lupa ingat juga semalam tuh gimana aja.”

“Ya ampun, sampai mabuk kamu?”

“Iya pak.”

“Baru pertama minum ya?”

“Iyalah, menurut bapak aku perempuan tukang minum?”

“Hehehe, ya kan cuma nanya, mau minum lagi ga?”

“Ga ah, pahit rasanya, ga enak.”

“Ya dikit-dikit aja, biar rileks dan pikiranmu tenang.”

“Hhh. Lagi-lagi deh. Mau minum di mana?”

“Malam ini kita jalan keluar yuk.”

“Kemana?”

“Kemana aja, jalan-jalan yang jauhan dikit, biar kamu happy.”

“Bapak kenapa baik banget sama saya?”

“Ga apa-apa, itung-itung permintaan maafku untuk sikapku selama ini, biar semakin dekat juga kita.”

“Ah masa cuma karena itu aja?”

“Dulu aku sering jalan-jalan sama anakku kalau ibunya sedang pergi, aku pengen nostalgia lagi.”

“Hahaha, aku balik jadi Gita lagi dong?”

“Mau ya?”

“Bajunya? Masa aku keluar pakai baju seperti ini?”

“Harus pakai kerudung ya?”

“Kalau tempatnya jauh, ga harus sih, tapi kalau pendek banget seperti ini nanti aku jadi pusat perhatian pah, eh pak, hahaha.”

“Kamu pikir aku cuma bawa satu bajunya Gita?”

“Apa? Ada lagi?”

“Ada tuh di tas, lihat aja.”

“Benar-benar niat bapak satu ini.”

Intan langsung memeriksa tas yang dimaksud oleh Pak Wing. Dan benar saja, didalamnya terdapat beberapa stel baju wanita yang terlipat rapi. Namun dari semua baju itu ada satu menarik perhatiannya.

“PAK WING!!” teriak Intan spontan sambil mengeluarkan sesuatu.

“Hehehe.”

“Pakaian dalam pun dibawa loh.”

“Hehehe.”

“Bapak ini ya, nakal banget sih!”

“Sudah mandi sana, siap-siap.”

“Mandiin…”

“Ayoklah.”

“Tapi, becandyaaa…becandyaaa…

“Eh, rese ya.”

“Hahaha, lagian baru jam segini, memang sudah buka tempat minum-minum begituan?”

“Eh iya, masih sore ya?”

“Iya, masih sore, tuh di luar aja matahari masih terang.”

“Ngapain dulu dong kita? Udah bener mandi sekarang aja biar seger, nanti kita makan dulu, baru berangkat.”

“Ada maunya kan tapi, ngajakin mandi?”

“Ayuk…”

“Ga mau, mandi sendiri-sendiri aja.”

“Ah!”

“Hihihi.”

Intan mengambil beberapa helai pakaian dari tas dan melangkah ke kamar mandi. Wajahnya yang manja, nakal, dan binal berubah seketika saat Pak Wing tidak lagi memperhatikan. Ia menjadi sangat serius dan berubah menjadi seorang ibu muda kembali.

Ia tertatih dan oleng saat melangkah ke kamar mandi, Intan melirik ke belakang, memastikan pak Wing tidak melihatnya. Intan harus menggunakan dinding untuk tetap berdiri tegap. Ia memejamkan mata sesaat dan kembali berjalan.

Bertahanlah.

Tidak apa-apa, kamu pasti bisa, Intan. Buang jauh-jauh idealisme tak bergunamu, buang semua harga diri yang tidak perlu. Idealisme apaan kalau kamu sudah tidur dengan laki-laki selain suamimu? Tidak ada jalan mundur. Kamu pasti bisa bertahan.

Manfaatkan kesempatan.

Jadilah predator
.



.::..::..::..::..::.





Pak Wing sudah rapi terlebih dahulu dengan setelan rapinya. Seperti biasa, dia nampak seperti bapak-bapak kantoran berumur senja yang hobi main golf kalau senggang. Celana bahan dan polo shirt yang dimasukan ke celana.

Sedangkan Intan baru saja selesai dengan riasan dan baju pilihannya. Sebuah kemeja kebesaran yang panjangnya sedikit di atas lutut. Kali ini dia tampil sangat berani dan tidak mengenakan celana panjang untuk bawahannya.

Intan ingin tampil beda malam ini. Intan ingin menjadi dirinya sendiri. Intan ingin lepas dari belenggu yang mengikatnya selama ini. Bukan dari segi

Jam sudah menunjukkan jam tujuh malam, mereka pun lalu berjalan keluar kamar bersama-sama.

“Baju yang kamu pilih ini tidak lebih tertutup dari dress yang tadi.”

“Tertutup dong, atasnya.”

“Atasnya tertutup, tapi paha kamu yang mulus kelihatan semua gitu. Sama saja.”

“Jelek ya?”

“Tidak-tidak, bagus kok, bagus banget malah.”

“Dasar, lihat yang terbuka sedikit langsung bilang bagus.”

“Heheheh. Kalau boleh tahu, kenapa kamu milih baju itu? Itu juga baju favorit Gita loh.”

“Bagus aja kayaknya, dan bener enak dipakainya, pasti baju mahal ya?”

“Tidak tahu, kayaknya sih begitu. Dalemannya pas ga?”

“Mau tahuuu aja, hihihi. Ngomong-ngomong mau kemana kita pak?”

Pak Wing tersenyum, “Mau tahu dong. Saya penasaran sama apapun yang kamu pakai, termasuk dalemannya. Aku mau kamu yang sudah cantik begini tampil jauh lebih sempurna dari biasanya. Mumpung bisa bebas.”

“Nanti malam kan bapak bisa melihat sendiri, jadi sabar yah, hihihi.”

“Wah, jadi penasaran, tapi kalau dilihat-lihat kayaknya sih pas.”

“Pokoknya bapak bisa lihat sendiri, tapi nanti. Sekarang – kita mau kemana?”

“Kita santai aja, minum-minum sebentar. Kita cari tempat yang jauh, yang tidak ada orang yang kenal sama kita. Aku tahu di mana tempat terbaik.”

“Minum? Euhh…”

“Kenapa? Ragu-ragu? Kelak kamu harus melayani klien yang…”

“A-aku mau. Tapi aku tidak mau yang sampai mabuk yah pak.”

“Oh?” Pak Wing mengerutkan dahi. Kenapa Intan jadi seperti ini? Pak Wing mengira Intan akan menolak habis-habisan. Tapi sudahlah, dia lebih tertarik hal lain dari sang ibu muda jelita ini dibandingkan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan lebih lanjut, “Jangan khawatir. Kita cari yang soft. Aku juga tidak mau sampai mabuk, aku kan nyetir mobil.”

Pak Wing tidak melihat Intan yang tengah memejamkan mata dan meremas jari-jemarinya dengan sangat erat. Dia tidak melihat getaran dari tubuh indah Intan.

Intan hanya melihat keluar jendela.



.::..::..::..::..::.



Jalan-jalan Intan dan Pak Wing ternyata memang jauh. Sampai ke ibu kota provinsi. Sampai yakin tidak ada seorangpun yang mengenali mereka berdua. Setelah tiba di tempat yang dituju, mereka berdua jalan dari mobil ke klub dengan bergandengan tangan.

Terlihat mesra sekali.

Seperti paman dan ponakan, seperti ayah dan anak, seperti sugar daddy dan lonte-nya.

Intan sebenarnya agak sedikit gugup dengan penampilannya kali ini. Baru sekali ini dia keluar rumah tanpa pakaian tertutup. Namun segala kecanggungannya dia buang jauh-jauh. Intan yang sekarang bukanlah Intan yang dulu lagi. Semua itu dia lakukan demi memuluskan semua keinginannya. Pasti ada yang harus dikorbankan untuk sebuah tujuan yang besar, pikirnya.

“Bapak pernah kesini sebelumnya?”

“Pernah, beberapa kali.”

“Dengan perempuan juga?”

“Enggaklah, biasanya sama kolega aja, ngobrolin bisnis.”

“Bisnis kantor atau bisnis bapak sendiri?”

“Dua-duanya.”

“Oh…”

“Kamu mau minum apa?”

“Bapak saja yang pesankan, saya mana ngerti minuman begituan, pokoknya pesankan yang paling tidak pahit dan tidak terlalu manis.”

“Oke-oke…”

Pak Wing lalu memilih satu set minuman yang di-bundling dengan table yang sudah dipesan sebelumnya. Setelah langsung membayar di kasir, pria tua itu lalu menggandeng Intan menuju meja. Karena masih hari kerja, tempat hiburan malam tersebut tidak terlalu ramai, meskipun juga tidak terlalu sepi. Ada saja geliat penghamba dunia malam yang menjadikan tempat seperti ini sebagai tempat untuk melepas kepenatan.

“Pak?”

“Ya?”

“Bapak kenal dengan atasan langsungnya Sabrina?”

“Kenal, kenapa?”

“Pokoknya janji ya, bikin wanita itu tidak bahagia.”

“Pasti sayang, semua akan aku lakukan untukmu.”

“Makasih pak.”

Cup!

Sebuah kecupan ringan Intan berikan ke Pak Wing. Di depan umum. Meskipun tidak ada yang memperhatikan karena hingar bingar klub malam tersebut, namun getar-getar sensasi yang asing menjalar ke tubuhnya.

“Ibu mertua kamu jadi apa kabarnya?”

“Tadi nanya ke iparku katanya udah baikan, tapi belum boleh pulang.”

“Bapak mertuamu makin leluasa dong?”

“Iya, tapi ya udahlah biarin aja, dilawan juga aku ga bisa ngelawan, sudah terlanjur nyebur.”

“Cerita dong, gimana bisa sampai kamu di…”

“Panjang, memang sudah dari lama, tapi selama ini masih bisa menghindar karena ada ibu, sampai terakhir kali aku udah ga tahan dan kesal aku ijinin aja satu kali buat muasin dia, kejadiannya semalam, udah ga bisa ngelak lagi, ibu ga ada, suamiku juga ga bisa apa-apa. Mudah-mudahan sih dia tidak nyadar istrinya disetubuhi sama Bapaknya sendiri. Kasihan suamiku.”

“Berarti cuma sekali aja semalem?”

“Menurut Bapak?”

Pak Wing hanya mendengus dan tersenyum sinis, “Tidak.”

“Sama. Saya juga ga yakin pak, menurut bapak kalau laki-laki udah dapet enak seperti itu akan puas dengan sekali aja atau minta nambah?”

“Sudah pasti nambah. Saya aja tidak pernah puas sama kamu kalau cuma sekali saja.”

“Ish. Cowok di mana-mana sama aja. Kalau dulu-dulu sih sering banget setiap pagi sebelum berangkat kerja atau malam sepulang kerja mertuaku cari-cari kesempatan buat megang-megang tubuhku.”

“Hah? Megang saja?”

“Ya nggak dong, Pak. Dia kadang ngremas dada aku, pantat aku, meluk-meluk, seperti ini,” jelas Intan sambil melihat sekitar lalu menarik tangan kiri Pak Wing buat memeluknya dari samping. Lalu dengan hati-hati dia mengarahkan telapak tangan atasannya itu ke payudaranya sebelah kiri. Intan berani melakukan itu karena suasana klub yang tidak terlalu rame dan lampu yang tidak terlalu terang.

“Lalu seperti ini juga,” jelasnya sambil menarik tangan Pak Wing dan mengarahkannya ke pantat bulatnya.

“Pernah juga aku dipaksa buat megang kemaluannya pak seperti ini,” lanjut Intan yang tanpa ijin meremas selangkangan Pak Wing.

“Ahh…ternyata begitu ya.”

“Iya pak, double-double-lah bebanku selama ini tuh, untungnya Pak Wing tidak hanya memanfaatkan aku, paling tidak aku dapat solusi untuk masalah lain yang aku hadapi.”

“Apa itu?”

“Ya transferan dari bapak tadi lah, apa lagi? Aku butuh dukungan financial yang pasti. Suamiku sudah tidak kerja pak, aku jadi tulang punggung keluarga sekarang. Bisa apalagi aku sekarang selain melakukan ini?”

“Soal itu tidak perlu khawatir lagi mulai sekarang, selama kamu bisa muasin klien kita, pundi-pundi uang akan mengalir terus ke rekening kamu.”

“Ehm… muasin Bapak juga gak?” Intan menatap ke arah Pak Wing penuh arti.

Kali ini, Pak Wing meneguk ludah, “Hahaha, minum dulu biar tenang.”

Intan pun ikut minum dengan Pak Wing. Bahkan dia mau saja diajak bersulang dengan Pak Wing.

“Ngomong-ngomong rencana minggu depan gimana pak?”

“Oh Iya, ya seperti bos-bos besar seperti biasanya, suka cari-cari hiburan di luar rumah, kamu cuma perlu melayani seperti yang kamu lakukan tadi, cuma yang aku tahu, bos yang satu ini suka main peran.”

“Oh, pantes.”

“Pantes apa?”

“Bapak sengaja membawa baju Gita supaya ngetes aku bisa bermain peran atau enggak kan? Jadi gimana hasil asesmen Bapak? Aku lulus tidak?”

“Hahaha, sekali lagi aku kagum dengan kepintaran kamu, ya begitulah, aku mau tahu seberapa jauh kamu bisa mendalami peran kamu nanti, dan tentu saja kamu lulus dengan nilai yang jauh lebih tinggi dari yang aku perkirakan. Kamu melebihi ekspektasiku.”

“Oooh. Kirain bapak memang ada fantasi juga.”

“Aku justru mulai berfantasi karena permainan kamu. Kamu jadi fantasiku sekarang.”

“Gombal! Ehm, Bapak ada fotonya Gita?”

“Ada. Kenapa?”

“Aku boleh lihat?”

“Tentu saja, sebentar.”

Pak Wing lalu mengambil handphonenya dari saku. Membuka folder foto dan mencari-cari foto anak bungsunya.

“Ini.”

“Woow, cantik banget, putih, langsing, glowing, good looking banget.”

“Sama aja sama kamu.”

“Galah, kalau sama ini mah aku ga ada apa-apanya. Sudah punya pacarkah?”

“Udah setahuku.”

“Kira-kira…hihihi…”

“Apa?”

“Hihihi, Gita pernah tidur bareng pacarnya ga ya?”

“Hahaha, ga tahulah, aku bebasin aja dia, yang penting ga pakai narkoba aja, mau larang-larang juga sadar diri, bapaknya aja seperti ini.”

“Hahaha, kalau ibu?”

“Kenapa?”

“Ga nyariin kalau bapak ga pulang seperti ini?”

“Ga, dia paling juga sibuk dengan brondong-brondongnya sendiri, selain sibuk dengan bisnis juga.”

“Bapak ga marah? Bapak sama ibu punya banyak bisnis ya?”

“Ga, sama-sama tahu aja, mungkin sudah jenuh juga, mungkin kamu nanti kalau udah umur lima puluhan bakal ngerasain juga. Bisnis? ada beberapa, kenapa?”

“Enggak, lagi kepikiran aja, mau manfaatin mertuaku.”

“Manfaatin apa?”

“Hmm… jadi setahuku, mertuaku itu punya tanah di Kampung Growol, kalau ga salah sih lumayan luasnya. Tapi ya sayanhnya dibiarkan mangkrak gitu aja. Tidak terurus dan terus digerus pedagang yang bikin warung di depannya. Memang dasar malas orangnya. Sayang banget kan? Sekarang jadi kepikiran itu tanah sebenarnya bisa dimanfaatkan. Tapi untuk apa ya? Jujur kalau mau mulai usaha selain tdiak punya modal juga tidak punya pengalaman untuk mengurusnya.”

“Hmm… investasi? Arah pembicaraannya mulai menarik nih. Apa yang kamu pikirkan sekarang, sayang?”

“Kalau bapak mau, kapan-kapan Bapak lihatin yah, siapa tau Bapak bisa bantu ada ide apa gitu, nanti aku bantu rayu ke mertua, tapi aku ga mau sistem sewa lahan.”

“Maunya?”

“Bagi hasil. Tapi aku yang ada di tengah. Aku jadi perantara antara Bapak dengan mertuaku. Aku tidak mau semua pembagian hasil lari ke dia. Keenakan.”

“Benar-benar pintar dan ambisius, aku suka aku suka, bersulang lagi, minggu depan kita lihat sama-sama.”

“Siap.”

Intan menatap Pak Wing dengan pikiran yang terus berputar, dalam hati ia bergumam.

Hehehe, memang Pak No saja yang bisa nyuruh aku buat manfaatin orang lain? Kamu juga aku manfaatin, Pak. Bapak tidak tahu saja semua yang sudah aku rencanakan. Eh, tidak usah tahulah ya. Kiri kanan depan belakang pokoknya harus bisa aku manfaatin semua demi tujuan besarku.

Intan dan Pak Wing lalu bersulang kembali. Alunan musik yang menggetarkan seluruh sisi tempat hiburan malam tersebut menambah adrenalin yang terpacu baik dari sisi Intan maupun Pak Wing sendiri. Mereka berdua lalu lanjut menikmati malam dengan obrolan ringan seputar kehidupan. Satu sama lain sekarang saling tahu akan kehidupan masing-masing.

Intan tahu akan Pak Wing yang meskipun tercukupi segala hal yang berbau materi, tapi sebenarnya hidupnya tidak bahagia-bahagia juga. Keluarga yang dingin. Jauh dari anak, jauh juga dari Istri yang punya kesibukan sendiri. Satu-satunya pelampiasan ya hanya dengan perempuan-perempuan muda seperti Intan. Beruntung saja dia bisa bertemu Intan. Kalau sebelumnya Pak Wing hanya bisa sekedar menikmati tubuh perempuan-perempuan muda tersebut, tapi dengan Intan berbeda. Intan memiliki otak dan kecerdasan yang ada di atas rata-rata perempuan lainnya. Intan bukan perempuan yang hanya mengandalkan tubuhnya untuk mengikat pria-pria mapan seperti Pak Wing. Intan punya aura dan daya tarik yang berbeda.

Hanya saja… dia belum binal dan memang dia bukan tipe seperti itu.

Pak Wing semakin tahu akan sifat dan perangai Intan. Jika sebelum hari ini dia menganggap Intan sama seperti perempuan lain yang bisa ditaklukkan hanya untuk kesenangan sesaat, maka pandangan itu berubah untuk saat ini. Intan lebih dari itu. Intan perempuan yang pintar dan cerdas. Intan punya ambisi.

Maka kali ini Pak Wing melihat Intan dari sudut pandang yang berbeda. Intan sekarang adalah partner kerjanya. Bukan sekedar wanita yang hanya bisa dinikmati tubuhnya. Lebih dari itu, Intan adalah partner kerja yang juga bisa dinikmati tubuhnya. Partners with Benefit.

“Intan?”

“Ya pak?”

“Tadi kamu bilang mau jadi yang di tengah kan?”

“Iya, kenapa?”

“Hahaha, kebayang tidak kalau kita main bertiga sama mertua kamu itu. Pasti asyik sekali ya. Tubuh kamu ini memang terlalu indah untuk dinikmati sendirian.”

“Ihh, serem, ga mau, ga berani.”

“Kenapa ga berani?”

“Kan sakit kalau main di belakang.”

“Kaya pernah rasain aja.”

“Idih. Ya tidak perlu ngerasain pasti sudah kebayang, Pak. Pasti sakitlah. Mulai kambuh lagi gila bapak ini, ga mau pokoknya.”

“Lagian kan ga harus lewat belakang.”

“Terus? Aku main sama mertuaku dan bapak nontonin aja gitu?”

“Ya galah, kan bisa ganti-gantian, kamu kan juga punya mulut yang atas ini,” bisik Pak Wing di telinga Intan sambil menunjuk bibir Intan. Bukan hanya menunjuk, Pak Wing juga berusaha memasukan dua jarinya kedalam mulut Intan.

“Jilat,” bisik Pak Wing kembali. Intan menurutinya sebentar lalu melepas jilatannya.

“Bapak pernah main bertiga?”

“Emhh…pernah sih.”

“Sama dua cewek sekaligus?”

“Kadang begitu, kadang aku sama kolega garap satu perempuan, hahaha.”

“Luar biasa. Memang kalau sudah bejat tidak ada batasnya.”

“Hahaha, mau ya? Siapa tahu bisa memuluskan rencana kamu. Enak tahu, kamu pasti akan merasa jadi ratu.”

“Mana ada begitu. Nggak ah. Nggak mau.”

“Ga percaya?”

“Iyalah, aneh aja dua lawan satu. Nggak mau.”

“Ga aneh dong, bahkan sudah umum. Kamu akan merasakan nikmat maksimal, selagi memek kamu di sodok-sodok, ada pria lain yang merangsang bagian tubuh kamu yang lain,” ucap Pak Wing sambil curi-curi meremas payudara Intan.

“Contohnya seperti ini,” ucap Pak Wing kembali sambil menjilat daun telinga Intan. “Bayangkan saat rongga kenikmatan kamu sudah penuh oleh kontol, ada yang menjilati telinga kamu, leher kamu, puting payudaramu.”

“Ahh…pak…”

“Kenapa sayang?” tanya Pak Wing kembali sambil merangsang tubuh ibu muda tersebut.

“Pulang aja yuk pak…ahh…”

“Pulang? Pulang ke rumah?”

“Enghh…enggak…ahh…”

“Terus?”

“Pulang ke hotel…ahh…sekarang!”

“Hahaha…sebentar, aku mau cari seseorang dulu,” ucap Pak Wing yang tiba-tiba menghentikan aksi nakalnya dan meninggalkan Intan.

“Bapak mau kemana? kok aku ditinggal lagi?”

Tidak ada jawaban dari Pak Wing. Pria tua tambun itu berjalan menuju kasir dan mengobrol dengan si penjaga. Tidak lama kemudian muncul seorang pria berbadan besar yang datang dari arah luar lalu berbicara sesuatu dengan Pak Wing.

Entah apa yang mereka bicarakan, tidak terdengar sama sekali dari dimana tempat Intan duduk. Suara musik yang mengalun kencang mengalahkan semuanya. Tapi untungnya tidak lama berselang Pak Wing sudah kembali.

Tanpa basa-basi pria tua itu membisikkan sesuatu ke telinga Intan.

“Apa?” Intan langsung melotot setelah mendengarkan bisikan Pak Wing.

Otak Intan masih berputar memikirkan perkataan tadi saat tiba-tiba Pak Wing menarik tangannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Ta-tapi pak?”

Intan yang sedari tadi sudah minum beberapa tegukan minuman keras mulai sempoyongan juga saat mengimbangi jalannya Pak Wing. Akan tetapi Pak Wing terus saja menggandeng Intan melewati beberapa orang hingga mereka berdua keluar dari klub malam tersebut. Mereka berdua terus berjalan hingga tiba di tujuan akhir, basement gedung tempat mobil Pak Wing terparkir. Saat tiba di mobil Pak Wing, Intan mendapati pria yang tadi berbincang dengan Pak Wing itu sudah menunggu di sana.

“Kamu jaga di sini ya, Pon,” pinta Pak Wing kepada pria yang bertubuh tinggi dan gempal itu.

“Siap, Bos.”

Pria itu adalah kepala security di tempat hiburan malam ini. Karena seringnya Pak Wing berkunjung ke sini, mereka berdua sudah saling kenal dan tahu satu sama lain. Makanya pria bernama lengkap Poniman itu menyanggupi permintaan Pak Wing tadi. Tentu saja dengan imbalan rupiah yang lumayan yang masuk ke kantong.

Setelah memberikan instruksi kepada Poniman, Pak Wing lanjut menarik Intan ke arah belakang mobilnya sendiri yang kebetulan parkir di area paling sudut basement gedung. Kiri dan belakang mobil Pak Wing adalah tembok, sedangkan kanan ada mobil pengunjung lain yang terparkir di sana.

“Pak, meskipun tadi aku minta balik cepet, tapi ga gini juga maksudnya, ih bapak ah!”

“Ga apa-apa sayang, aman kok, lagian kamu sudah tidak tahan kan? Aku juga sudah tidak tahan sayang,” balas Pak Wing sambil memeluk pinggang Intan. Wajah Pria tua itu juga berusaha mendekati wajah Intan. Rupanya sekarang gantian Pak Wing yang tidak tahan untuk mendapatkan kenikmatan dari tubuh Intan.

“Iya, tapi aku ga nyaman kalau ditempat seperti ini, nanti kalau ada yang lihat bagaimana?” tanya Intan kembali sambil berusaha menghindari ciuman Pak Wing. Namun sesekali bibir mereka saling bertemu, saling melumat sebentar lalu lepas.

“Aman kok, aku udah minta Poniman jaga, lagian jam segini itu jam-jam nanggung, jarang yang pulang jam segini dan juga jarang juga yang datang jam segini,” balas Pak Wing kembali sambil masih berusaha mencium bibir tipis Intan.

Semakin lama usaha Pak Wing semakin membuahkan hasil. Intan sedikit demi sedikit mulai luluh. Apalagi dengan ditambah tangan Pak Wing yang juga mulai bergerilya menjamah area-area sensitif tubuh sang ibu muda. Payudara yang menantang dan pantat yang membulat itu tak henti-hentinya menjadi sasaran tangan jahil Pak Wing.

“Ahh…ahh…”

“Gimana sayang, seru kan main di tempat seperti ini?”

“Ahh…ahh…gila memang bapak…”

“Berasa kan sensasinya?”

“Ahh…ga tahu ahh…” balas Intan balik mengejar mulut Pak Wing dan melumatnya dengan ganas.

Cumbuan demi cumbuan dilancarkan si pria tua kepada si ibu muda. Satu tangan meremas pantat, satu tangan lagi melucuti kancing kemeja. Satu dua tiga empat lima dan seterusnya. Tanpa sadar seluruh kancing kemeja yang panjangnya selutut Intan itu terlepas semua. Kini terpampanglah kembali buah dada Intan yang indah. Dua bukit kembar itu tampak semakin membusung dengan sempurna karena ditopang oleh bra yang memiliki kawat.

“Indah sekali, tepat seperti dugaanku, bra-nya pas sekali ukurannya dengan buah dada kamu yang indah ini,” bisik pelan Pak Wing ke telinga Intan sambil membelai dua bukit kembar itu.

Pria tua yang sudah berpengalaman itu lalu memelorotkan celana legging pendek yang dikenakan Intan beserta dengan celana dalamnya.

“Ahh, P-pak… saya malu…” ucap Intan mencoba menahan tangan Pak Wing berusaha menelanjanginya. Namun meskipun mulut bilang malu, tapi tetap tidak bisa berbohong kalau dia juga menghendakinya.

“Yang malu dan menegangkan seperti ini kan justru yang nikmat,” balas Pak Wing sambil membuka pintu bagasi belakang mobilnya.

Kini Intan setengah telanjang. Hanya kemeja panjang dan bra yang menutupi tubuhnya. Pak Wing lalu meminta intan untuk duduk di ujung pantat mobilnya itu. Intan menuruti perintah sang penguasa sambil sesekali membenahi poni rambutnya yang jatuh ke depan.

Di sisi lain Pak Wing mulai melucuti celananya sendiri. Karena celananya celana bahan, maka ketika ikat pinggang dan kaitan hak serta resletingnya terlepas, celana tersebut langsung meluncur ke bawah. Pak Wing lalu memelorotkan celana dalamnya hingga sepaha.

Kejantanan Pak Wing sudah tegang rupanya. Sesekali pria tua itu mengurut batang beruratnya sambil memandangi belahan dada dan belahan vagina Intan. Pak Wing mendekat sambil terus mengurut batang keras itu. Intan yang sudah terbawa suasana langsung mengerti apa yang dimau oleh atasannya tersebut.

Intan memajukan tubuhnya menyambut kontol Pak Wing dengan mulutnya. Ibu muda berparas cantik itu langsung melahap batang keras itu dengan lahap. Akibat pengaruh alkohol yang meskipun tidak seberapa tadi ikut membuat jiwanya menjadi lebih rileks. Tidak peduli sedang berada dimana dia saat ini. Yang dia inginkan hanyalah dia ingin menjadi diri sendiri.

“Aku ingin menjilati bibir vaginamu seperti tadi siang,” ucap Pak Wing setelah merasa puas dengan oral sex dari Intan. “Putar badanmu dan bertumpu pada mobil,” lanjut si pria tua.

Setelah Intan membalikan badannya lalu menungging, tanpa disadari sang ibu muda, Pak Wing memberi isyarat kepada Pak Poniman untuk mendekat. Kepala security yang sudah cukup berumur namun masih tegap itu langsung menghampiri. Pak Wing lalu memberikan isyarat agar Ponimanlah yang menjilati vagina Intan. Kondisi basement yang remang-remang, pengaruh alkohol, dan birahi yang memuncak membuat Intan tidak sadar akan hal itu.

“Ahh…pak pelan-pelan ajah…ahh…gelihh…”

Intan merasakan jilatan dan hisapan dari pria yang ada di belakangnya itu terasa lebih kuat dan lebih brutal dari yang dia rasakan tadi siang. Tapi dia tidak memperdulikan hal tersebut. Mana peduli kalau sedang birahi-birahinya lalu ada yang menjilati area sensitif kita?

“Ahh…ahh pak sudah…cepet…masukin…!” desah Intan cukup keras sambil menahan dahsyatnya serangan birahi yang menyelimuti tubuhnya.

Pak Wing lalu meminta Pak Poniman untuk menyingkir kembali. Sekarang giliran dia kembali yang siap melakukan penetrasi.

“Ahh…”

“Ahh…”

Desah mereka berdua bersamaan.

Plok!! Plok!! Plok!!

Plok!! Plok!! Plok!!

Plok!! Plok!! Plok!!


Rupanya Pak Wing langsung mengambil RPM tinggi saat menggenjot tubuh Intan. Bunyi benturan pahanya dan pantat Intan itu terdengar begitu nyaring.

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

Tidak ada komunikasi diantara mereka berdua selain suara desahan dan suara tubuh mereka yang saling beradu.

Ahh! Sompret! Aku pasti cepat mau keluarnya kalau mainnya seperti ini.

Pak Wing menggerutu dalam hati. Secara stamina dirinya memang tidak buruk-buruk amat, tapi jelas tidak sebanding dengan stamina Pak No yang terbiasa dengan pekerjaan berat dan kasar. Sehingga kadang ketika nafsunya sudah diujung, dirinya tidak mampu mengontrol diri dan yang terjadi seperti sekarang ini. Dia sudah berada di ujung titik ejakulasi.

“Ahh…” Pak Wing mendesah panjang disertai dengan semburan sperma hangatnya. Disertai juga dengan sodokannya yang sampai mentok pada dasar rahim Intan.

“Loh? Kok? Ahh…pak…kok sudah…? Ahh…”

“Ma-maaf In…a-aku…”

“Ah bapak mah ahh,” Intan tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pinggulnya bahkan masih sesekali bergerak sendiri ke belakang berharap masih ada sisa-sisa kenikmatan dari batang kejantanan Pak Wing yang sudah loyo.

“Ma-maaf, sebagai gantinya, aku sudah ajak Poniman ke sini, hehehe,” kekeh Pak Wing.

“Eh, maksudnya? Kejutan apa lagi yang bapak berikan buat aku? Ahh…” belum selesai Intan dengan rasa kagetnya, dia kembali melenguh saat Pak Wing menarik penisnya yang sudah lemas itu dari tubuh Intan.

Dengan cepat Pak Wing pindah ke depan Intan. Pria yang baru saja berejakulasi itu menahan beban tubuh Intan. Intan masih sedikit bingung lalu tiba-tiba dia merasakan ada benda tumpul lagi yang menempel pada lubang kenikmatannya.

“Ahh…pak…kelakuan bapak bener-bener yah…ahh…”

“Hehehe, maafin aku ya ga bisa muasin kamu kaya tadi siang, kamu tenang aja, Poniman pasti akan bikin kamu puas sampai lemas,” bisik Pak Wing.

“Ahhaaaaahhh… ahh… uhhh…”

Plok!! Plok!! Plok!!

Plok!! Plok!! Plok!!

Plok!! Plok!! Plok!!


Poniman rupanya juga tidak mau berlama-lama. Kepala security itu langsung menggenjot tubuh Intan dengan RPM sangat tinggi. Tubuh Intan sampai terayun-ayun ke depan akibat sodokan pria kekar itu.

Pemandangan itu terasa sangat kontras. Intan bertubuh mungil dengan kulit yang putih halus. Sedangkan di belakangnya, pria berbadan tubuh besar dengan kulit hitam kasar sedang memompakan kontolnya yang juga besar ke liang senggama si ibu muda yang cantik jelita.

Ahh emmhhh uuhhh uuhhh…ini rasanya sama seperti semalam dengan Pak No, keras, kencang, kasar, dan brutal. A-aku harus bagaimana ini… kenapa… kenapa lama-lama jadi… aaaah… aku tidak tahan lagi… aku tidak bisa bertahan… kalau begini bisa-bisa aku akan…

Intan membatin membandingkan ketiga penis yang dalam dua puluh empat jam terakhir bergantian memasuki lubang vaginanya. Semuanya membuatnya tidak karuan, semuanya besar, semuanya mengisi penuh liang cintanya dengan tanpa sela. Semua membuatnya bingung harus berbuat apa. Ketika pikiran tak lagi ada, hanya nikmat yang terasa.

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

Plok!! Plok!! Plok!!

“Ahh ahh ahh…”

“Enak, kan main bertiga?” bisik Pak Wing sambil menjilati daun telinga Intan. Tangan pria tua itu juga tidak tinggal diam dengan meremas dan memilin puting dan payudara Intan.

“Ahh…ahh…ahh pak…ahh…”

“Ahh…ahh…iyaahh…cepat…lebih cepat lagi…iyaah…”

“Ahh…ya ya ya…cepat cepat…ahh…”

“Auuuuuhh………”

Intan melolong panjang yang dibarengi dengan orgasmenya yang sangat dahsyat itu. Tubuh Intan lemas, semakin tersungkur menimpa tubuh Pak Wing yang ada di depannya.

Namun di saat tubuh Intan yang sudah tidak bertenaga itu, ternyata Pak Poniman belum apa-apa. Pinggulnya masih bergerak maju mundur dengan kencang. Tidak ada penurunan intensitas sedikitpun. Tubuh Intan yang semakin lemas hanya bisa pasrah menerima lubang sempit miliknya itu jadi tempat pelampiasan sang kepala security.

Anehnya, tidak lama setelah dirinya memasrahkan tubuhnya untuk dinikmati, gelora-gelora birahi itu muncul kembali. Belum pernah dia kembali turn on dengan cepat seperti ini.

Intan mengalungkan tangannya pada leher Pak Wing. Dia melumat bibir pria tua itu dengan ganas. Ditatapnya pria tua itu dengan nafsu yang kembali menggelora. Satu step lagi telah Intan lewati dalam menembus batas-batas norma kehidupan.

Persetan dengan semua aturan kehidupan dan pandangan orang! Tidak ada yang peduli kepadaku, jadi buat apa peduli pada orang lain? Akulah yang mengatur hidupku sendiri. Mulai sekarang, akulah yang menjadi pengaturnya.

Intan tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. Terlihat sangat nakal saat dia dengan penuh penjiwaan menikmati setiap sodokan demi sodokan dari sang kepala security bertubuh besar dan kekar.

“Ahh… ahh… ahh… ahhh… ahhh…”

Desahan ibu muda itu makin memabukkan. Ia tenggelam dalam lautan birahi.

Dia tahu, kehidupan lamanya telah berakhir.





BAGIAN 21 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 22
 
Puas sekali melihat Intan sang ibu muda makin binal. Penasaran batang tua siapa lagi yg nyicipin jepitan lubang m*m*k sempit intan.
 
Keren nih, cewenya ngga pasrah gitu aja dalam posisi sulit. tp malah mamfaatin buat bangkit. Makasih upadatenya Om @killertomato
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd