EPISODE 9
--DISAAT AKU UDAH YAKIN, RAGU KEMBALI MUNCUL--
“Lo yakin nih tahu tempat kerjanya Arga?”
“Iya sayaaaangg.. gak percayaan ya lo sama gue lagi.”
“Hmmm.. makasih ya.”
“Sama sama.. gue gak mau kalau lo kek gini terus, lebih baik gue antar kan.”
“Hmmm…”
“Jadi kan lo tadi hubungi dia?”
“Gak.”
“Laaaaaa… kok gak lo hubungi.”
“Gue maunya langsung ketemu gitu Je.”
“Cieeee.. jadi kisahnya kasih surprise nih?”
Sepulang kegiatannya, Tari dibawa oleh Jeje menuju tempat kerjanya Arga. Dengan kabar yang diberikan Jeje tadi pagi tentang Arga, membuat Tari super khawatir. Hal yang aneh jika dilihat dari rentang waktu perkenalannya dengan pemuda tersebut. Tapi memang ini adalah nyatanya. Untungnya kekhawatiran Tari sedikit bisa diatasi oleh Jeje dengan pandangan bahwa Arga hanya luka kecil dan tak terlalu parah.
“Bentar lagi sampe kok neng. Diam aja.”
“Gak sih. Emang mas Rian gak bawa mobil?”
“Kan gue bilang tadi ke mas Rian buat antar lo. Antar ke tempat pujaaan hatinya.. hahahaha”
“Apaan sih lo.”
“Tuh tempatnya.”
“Haaahh?? Inikan…….”
Tari terkejut dengan mobil yang dikendarai oleh Jeje berbelok ke dalam sebuah gedung yang memang ia pernah singgah ke sini. Tempat dimana Icha, temannya bekerja. Ia tak menyangka kalau ia kembali ke tempat ini tapi tidak dengan tujuan menemui temannya tersebut.
“Apaan? Lo tau tempat ini?”
“Ini kan tempat kerjanya Icha, teman kecil gue dulu Je.”
“Yang cuti kuliah itu?”
“Iyaaaa…”
“Hahahaha.. emang benar kata mas Rian. Dunia Terlalu Sempit jika kita menyadarinya.”
“Tapi kok vespa nya Arga gak ada ya?”
“Emang lo kira Arga bisa bawa vespanya dengan kondisi kek gitu. Elo aneh aneh aja.”
“Tapi kan kata lo tadi, dia hanya cidera ringan.”
“Itu Cuma buat lo gak terlalu khawatir. Gue gak mau kalau kerjaan lo berantakan lagi. Jadi gak mau turun nih?”
“Eh iyaaa… trus ntar Arganya pulang?”
“Lo yang antar lah. Gantian lo yang jagain diaaa.. cieeee….”
“Apaan sih lo Je.”
Setelah sampai di salah satu kontraktor ternama di Negara ini, Tari ditemani Jeje untuk memasuki tempat ini. Memang sih Tari mengetahui ini dari Jeje yang kebetulan hanya tahu tempat kerja ini satu satunya petunjuk Arga. Namun, Tari sangat bersyukur akan info ini. Apalagi ia sudah tahu akan bertanya ke siapa dan dimana ia menemukan orang yang akan ia tanyai tersebut.
“Siang buk.”
“Iya buk. Eh, lo Tar. Kirain gue siapa. Ada perlu sama gue?”
“Lo masih jam kerja ya?”
“Yaaa gitu deh. Tapi bisa diatur lah. Mumpung si bos ada urusan diluar.”
“Eh, kenalin dulu nih, Jeje, teman kantor gue.”
Icha yang terkejut akan kedatangan teman kecilnya yang memang dahulu Tari lah yang menemani Icha untuk mengantarkan berkas lamaran kerja disini disaat ia butuh kerjaan. Setelah berkenalan dengan Jeje, Icha mengajak Tari dan Jeje untuk duduk di ruang tunggu yang terletak di samping meja resepsionist tempatnya bekerja tersebut. Untung saja Yona ada urusan di luar kantor setelah makan siang tadi, yang membuatnya sedikit bebas akan menyambut kedatangan Tari.
“Cha, lo kenal yang namanya Arga gak?”
“Mas Arga?”
“Iya. Arga yang bervespa hijau itu hmmm.. asli Pekanbaru sih katanya.”
“Lo kenal Mas Arga darimana?”
“Lah elo belum jawab pertanyaan gue, udah ngasih pertanyaan ke gue. Elu selalu gitu.”
“Yaaa.. gue kenal lah, kan termasuk atasan gue. Emang kenapa?”
“Jadi pertanyaan lo yang mana nih gue jawab duluan?”
“Terserah sih”
“Gue ke sini mau ketemu sama Arga. Kalau pertanyaan lo awal tadi ntar bakalan gue ceritain kok. Dia ada gak? kok gue liat tadi vespanya gak ada.”
“Hmmmm.. Ada kok Tar.. masih ada di atas mas Arganya…………”
NING NONG…
Alarm tanda datangnya orang memasuki gedung ini membuat Icha beranjak dari Tari dan Jeje. Walau ia telah menyambut kedatangan beberapa mandor dan HSE Man yang datang untuk mengantarkan laporan, ia masih teringat ingat akan sahabatnya yang menanyai keberadaan Arga, orang yang juga telah mengusik pikirannya sejak mulai kedatangannya ke sini.
“Gue ngomong apaan ya ntar Je?”
“Ya terserah lo dong.”
“Kasih saran kek.”
“Emang tadi lo ngomong sama Icha gue yang nyaranin?”
“Itu mah teman kecil gue Je. Nah Arga?”
“Arga kan calon teman hidup lo Tar. Ya gak gue juga dong yang harus usulin apa yang bakal lo omongin.”
“Ahhh lo mah.”
“Keenakan lo. Udah gue antarin, nah sekarang gue juga harus mikir?”
“Nolongin mah gak setengah setengah Je.”
“Terserah lo.”
“Ehhhh bentaarrr.. itu keliatannya suara Arga.”
Tari yang mendengar suara Arga membuatnya langsung berdiri dan mengikuti sumber suara yang telah membuat dia khawatir tadi pagi. Melihat Arga yang memang masih memangku tangan kirinya yang penuh akan perban tersebut Tari kembali khawatir, namun mengingat bahwa Arga masih bisa beraktifitas membuat khawatirnya berkurang. Apalagi saat Arga menoleh ke arahnya setelah ngobrol sama Icha, membuat hatinya sedikit berbunga dengan senyuman Arga yang melangkah mendekat ke arahnya.
“Kok kamu ada disini?”
“Ya kamu sih gak ada kabar. Ya aku samperin aja.”
“Kok kamu tahu aku kerja disini?”
“Itu tuh yang ngomong dan anterin.”
***
“Kok lo bengong non? Bukannya kata lo tadi mau ngantar Arga pulang?”
“Gak tau Pit.”
“Eh, kek nya ada sesuatu nih.”
Pita yang memang baru menyelesaikan kerjaannya yang bertambah karena kondisi Arga melihat sahabatnya, Icha duduk tanpa semangat di meja resepsionistnya. Apalagi ditambah dengan pertanyaannya tentang Arga yang dibalas datar oleh Icha. Biasanya Icha seakan menggebu gebu menjawab pertanyaan Pita yang menyangkutpautkan Arga.
“Kok lo baru turun?”
“Kerjaan gue bertambah karna Arga kan gak bisa ngetik. Ya, lembur dikit lah. Lo kenapa?”
“Gak apa apa.”
“Ichaaaaa… lo kenapa?”
“Hiiikkkksssss….”
Pita yang terkejut akan kondisi yang dilihatnya sekarang hanya bisa menarik kepala Icha menuju bahunya. Icha yang akhirnya gak bisa membendung tangisnya, lepas selepasnya di pangkuan Pita. Pita yang kembali mengingat momen dimana ia bisa dekat dengan Icha langsung mencoba menenangkan Icha sambil mengelus lembut kepalanya.
“Lo kenapa? Cerita sama gue.”
“Mas Arga pit….”
“Yaaaa.. kenapa si Arga?”
“Ehh.. mas Argaaa…”
“Iyaaa kenapa Fan?”
“Mas Arga pulangnya naik apa?”
“Aku sama kereta sih. Ya naik gr*b dulu lah. Kenapa?”
“Gak sih mas. Tapi ada yang nyariin mas.”
“Nyariin? Siapa?
Arga yang sadar akan sosok Tari sedang berdiri di pintu ruang tunggu, langsung meninggalkan Icha yang hanya melihat ekspresi Tari dan Arga yang sedang senyum tersebut. Icha menyadari akan sikap teman kecilnya, Tari yang memang menyukai Arga Nampak dari senyumannya. Sampai akhirnya Tari dan Arga masuk ke ruangan yang berada di dekatnya bekerja. Sangat dekat, menyebabkan apa yang terjadi dan apa yang berbunyi di ruangan tersebut terdengar sampai tempat Icha berdiri.
“Lho mbak bukannya?”
“Iyaaaa… kamu masih ingat ya? Mas Rian titip salam.”
“Jadi mbak sama Tari?”
“Hmmm.. iyaaa.. saya teman kerjanya Tari.”
“Waaahhh.. kok bisa kebetulan gini yaaa..”
“Kali aja jodoh.. hihihihi”
“Apaan sih lo Je.”
“Yaaaa.. muka lo merah Tar… hihihihi..”
“Resee lu.”
“Oh iya. Kamu pulang pake apaan Ga?”
“Rencana sih naek kereta mbak.”
“Just Jeje.”
“Ketuaan lo.”
“Sialan lo Tar. Yuk, gue antar kalian ke stasiun.”
“Kalian?”
“Iyaaa.. kamu sama Tari lah.”
“Tari? Tari teman kecil lo yang sangat berjasa di hidup lo itu?”
“Hiiikkksss… iyaaaa…”
“Emang dia kenal Arga dimana?”
“Gue gak tauuu.. gue jujur gak kuat liatnyaaa…”
“Lo ngeliat reaksinya Arga?”
“Gak terlalu sih.”
“Yaaa.. ngapain lo nangis sampai segini?”
“Tari itu gak pernah yang namanya pacaran. Banyak sih yang mau, tapi dianya selalu cuek Pit. Dan itu pertama kalinya gue liat Tari senang melihat cowok.”
“Hmmm…”
“Kan belum terbukti juga kalau mereka hmmm.. lagian buk Yonaaa……”
“Stop tentang buk Yona sama Arga. Gue gak mikirin itu, tapi yang iniiiiiii gue gak bisa bayangin kalau akhirnya Tari suka sama Arga.”
“Ya berarti lo harus mutusin buat bersaing atau mengalah demi dia.”
“Hiiiikkkkssss.. gue gak bisa lepasin Arga gitu ajaaa…”
“Walau lo akan bersaing sama Tari yang telah banyak berkorban di hidup lo?”
“Iyaaaa… hikkksss…”
***
“Lo jagain tuh Arganya, kan gantian”
“Apaan sih lo.”
“Makasih ya Je.”
“Sama sama Ga. Sorry gue hanya bisa antar sampai sini.”
“Ini mah udah menolong Je. Salam buat mas Rian ya.”
“Iyaaaa.. eh Tar. Ditolongin tuh Arganya turun.”
“Iyaaa bawel lo.”
“Ihhh elo gak ada terima kasihnya sama gue. Udah gue rela jadi obat nyamuk, eh terima kasih aja gak dapat. Hufftttt”
“Iya iyaaa.. makasih Jeje cantiiikkk.. salam ke mas Rian ya. bilang makasih.”
“Hahahahha.. oke Tari sayaaangg.. gue duluan ya Tar, Ga. Selamat berpacaran yaaa..”
“Apaan sih lo Je.”
“Hihihihihi”
Sampai di stasiun Gondangdia, Arga turun yang dibantu oleh Tari. Memang selama perjalanan, Arga duduk di belakang persis saat kemaren ia dibantu oleh Rian dan Jeje. Bedanya sekarang tidak ada Rian yang duduk di bagian depan. Tadi, disaat Jeje duduk di tempat pengemudi, disampingnya terdapat seorang yang sempat khawatir dengan keadaan Arga, Tari.
Sekarang Arga telah dibimbing oleh Tari berjalan sampai memasuki stasiun yang memang berada di lantai atas tersebut. Meski jalan mereka bergandengan, tapi tiada suara yang terucap dari kedua bibir mereka. Seakan mereka tenggelam dalam suasana yang sedang mereka jalani.
“Eh, Tar. Kok aku digandeng terus sih, kan yang sakit tanganku, bukan kakiku.”
“Ehhh.. gak kok. Maaf. Aku Cuma memastikan kamu aman aja.”
“Hehehehe.. makasih yaaa.. harusnyaaa…..”
“Sstttt.. sekarang kondisinya beda, dan aku masih kesel sama kamu.”
“Masih karena aku gak nepati janjiku?”
“Salah satunya”
“Trus apa lagi?”
“Kenapa kamu gak ngomong kalau kamu sampai kek gini?”
“Kepanikan akan membuat harimu hilang.”
Jawaban Arga memang betul dan membuat Tari seakan gak bisa berkata apa apa lagi. Kata kata Arga tersebut memang tadi sempat membuat harinya hampir hilang. Tapi untung ada Jeje yang menjelaskan dan memberi pengertian akan keadaan Arga yang ia dapatkan dari Rian.
KRRRIIIIINGGGG….
“Bentar ya Tar. Aku terima telpon dulu.”
“Hmmm….”
“Ya mbak.”
“………………………………”
“Di stasiun Gondangdia mbak.”
“………………………………”
“Aku gak apa apa kok. Mbak udah dimana?”
“………………………………”
“Aku sama Tari kok mbak.”
“………………………………”
“Iyaaa.. tadi dia jemput aku. ntar deh aku ceritain.”
“………………………………”
“Iyaaaa entar aku salami ke Tari nya. Mbak hati hati nyetirnya ya.”
“………………………………”
“Byeee mbak.”
“Kok tadi aku dengar namaku disebut sebut?”
“Nguping ya?”
“Ehh.. gak kok, tadi kedengar aja namaku disebut sebut.”
“Kepo yaaaa?”
“Ihhh.. Arga maaahhh…”
“Haduuuhhh.. sakit Tar.”
“Ehhh.. maaf”
Tari yang lupa akan kondisi tangan Arga, dengan santainya mencubit tangan Arga karena Arga telah membuatnya kesal akan candaannya Arga. Arga yang sedikit mengiris saat cubitan Tari hampir tepat di luka yang memang kemaren tempat keluarnya darah Arga berlebih tersebut. Tari yang sedikit panik akan “haduh” nya Arga, langsung memasang wajah ketakutan dan khawatir.
“Cemas yaaa?”
“Ihhhh Argaaaaa…”
“Hahahahha.. maaf.. yuk siap siap, kereta kita mau datang tuh.”
Akhirnya mereka bisa duduk di kereta yang memang sudah sesak ini. Karena Arga yang terlihat sedang cedera, membuat orang yang sedang duduk mengalah dan memberikan tempat duduknya kepada Arga dan Tari yang memang sedari masuk tadi saling gandengan. Dan sekarang pun saat duduk bersebelahan, Tari masih menggandeng tangan kirinya Arga yang membuat tubuhnya seakan turun ke bahunya Arga. Dengan posisi itu, Arga bisa merasakan kehangatan lengannya karena tubuh bagian atas Tari langsung terbenam di lengannya Arga.
Meski sudah merasakan hangatnya tubuh Yona saat memeluknya waktu itu, sekarang Arga merasakan hal yang berbeda. Seakan kehangatannya tak hanya berlandaskan nafsu semata. Tetapi seakan perasaannya juga berpengaruh akan kehangatan yag dirasakan lengan kirinya tersebut. Sama halnya dengan Arga, Tari memang pertama kalinya menggandeng pria seumur hidupnya. Ia memeluk lengan Arga yang berbalut perban tersebut dengan perasaan yang tak karuan. Ia masih tak percaya akan bisa memeluk lengan Arga yang jika Arga menyadarinya, Arga akan merasakan langsung detak jantungnya yang seakan menempel di lengannya Arga.
“Makasih ya.”
“Sama sama Ga.”
Mereka sama sama tersenyum sambil lirik lirikan sepanjang perjalanan sampai stasiun yang mereka tuju sampai. Sekaan waktu yang mereka lalui terasa cepat sekali saat mereka senyum senyuman begitu. Walau sebenarnya sudah 45 menit mereka berada dalam situasi yang sama tanpa ada perubahan posisi antara mereka berdua.
“Hampir sampai nih. Yuk siap siap.”
“Ehh iyaaa.. mari aku bimbing.”
Sampai akhirnya peron stasiun Klender telah menyambut kedatangan kereta yang ditumpangi oleh Tari dan Arga. Sesudah mereka berhasil keluar dari kereta, Tari kembali membimbing Arga sampai keluar dari stasiun ini.
“Aku antar ya pulang.”
“Ehhh.. kan kamu yang sakit.”
“Gak apa kok. Lagian aku gak mau kamu diikuti lagi sama yang kemaren.”
“Gak apa kok.”
“Biar aku pesan gr*b ya.”
“Argaaaaaaa………”
Arga yang menyadari akan namanya dipanggil langsung menoleh ke arah sumber suaranya. Tari pun mengikuti pandangan Arga yang membelakang dan menatap seorang wanita yang masih dalam mobilnya memakai kacamata hitam.
“Siapa wanita ini?” batin Tari berbicara.
“Yuk Tar.” Ajak Arga sambil menarik lembut tangan Tari yang masih terpaku akan kedatangan Yona.
“Mbak jemput aku?”
“Iyaaa.. yok naik.”
“Ayok Tar, naik. Aku anterin kamu sampai rumah juga, tapi maaf mbak, aku gak bisa nyetir.”
“Udaaahhh.. naik aja. Bawa tuh Tarinya.”
Tari yang mengikuti tarikan lembut Arga membawa dirinya kini berada di kursi belakang mobil yang dikendarai oleh Yona dan Arga berada disamping Yona. Tari yang seakan canggung akhirnya diam dengan situasi yang lumayan akrab dirasakannya antara Yona dan Arga. Dia udah mencoba beranggapan kalau Yona adalah kakak atau keluarga Arga, tetapi dengan tampang Yona yang menunjukkan khasnya yang keturunan, dan Arga yang memang gak punya garis keturunan, membuatnya berpikir panjang sampai ia hanya terdiam terpaku di kursi belakang tersebut.
“Gimana tangan kamu?”
“Aman kok mbak.”
“Kamu mah aman aman aja. Besok aku antar deh ke klinik, biar periksa lebih lanjut.”
“Udah mbaaakkk.. kata mas Rian, hanya kegeser doang.”
“Gitu kamu bilang hanya?” gak ada cerita, kamu besok harus nurut. Urusan kantor mah gampang.”
“Urusan Kantor?”