Episode 5
Sembunyi Dulu
POV Dani
Pukul 10 pagi, rumah Hari sudah dipenuhi saudara serta kerabat ibunya.
Dini hari tadi gue menelepon ambulans untuk langsung menjemput ke Karang Tengah. Informasi yang dipublikasikan oleh polisi adalah kecelakaan tabrak lari yang menewaskan satu orang. Tentunya ini atas bantuan koneksi dari A.T.C.U. Oleh karena itu juga, motor Hari harus dikondisikan ringsek.
Setelah proses dengan polisi dan rumah sakit yang singkat, ambulans mengantarkan jenazah ke Tanah Abang. Bagusnya, Hari bisa bohong kepada publik soal kejadian semalam.
Pur dan Laras sudah gue suruh langsung ke Depok, menempati penthouse kami. Keberadaan mereka masih gue rahasiakan dari A.T.C.U. untuk sementara. Dengan kata lain, yang tertulis di berita acara A.T.C.U. adalah abhwa Hari menghadapi puluhan orang sendirian. Memang sangat mencurigakan karena Hari bukanlah tentara terlatih, tapi rekaman kemapuan perkelahian Hari di Tonga cukup untuk menutupi alibinya.
Beberapa jam kemudian, bangunan Roxxon itu disisir dan ditangkaplah orang-orang berbadan besar yang terkapar pingsan. Gak ada yang mati malam tadi.
Di saat yang bersamaan ketika ambulans Hari datang tadi, Eda juga datang dengan taksi konvensional. Dia masih tampak shock setelah katanya diserang sekelompok orang gak dikenal. Dia sekarang sedang tertidur pulas di kamar Hari, belum sanggup kembali sendiri ke Depok. Kami semua pun sepakat untuk membahasnya nanti setelah kegiatan pemakaman dan tahlilan selesai.
“Kak Erna belum dateng?” Kenia menghampiri gue.
“Belum ada kabar.” Jawab gue.
“Yaudah, kita jalan ya. Yakin gak ikut?” Hari menyahut.
“Gak usah, di sini aja, nunggu Kak Rivin dateng jemput tuh anak.” Gue menunjuk ke lantai dua.
Kenia dan Hari pun pamit untuk mengikuti iring-iringan pemakaman ibunya. Begitu iring-iringan mobil pergi, gue masuk ke kamar Kenia untuk membuka laptop. Gue harus mencari dengan cepat karena gak enak dengan keluarga Hari di sini.
Gue mencari-cari informasi soal Roxxon Medical Indonesia dan dua orang bernama Jenggo dan Niken. Asumsi yang paling pertama muncul, kedua nama tadi adalah alias. Sama sekali bukan nama asli. Maka dari itu, perusahaan Roxxon lah fokus pertama pencarian gue.
Tak butuh waktu lama, info umum Roxxon langsung muncul berderet di mesin pencari. Perusahaan tersebut merupakan multibisnis, dengan bisnis utama berupa perminyakan. Sejak delapan tahun lalu mereka resmi merambah produksi alat dan obat untuk kesehatan. Hal itulah yang saat di ini diekspansi di Indonesia. Badan usaha mereka di Indonesia tidak lain adalah PT. Roxxon Medical Indonesia, dengan CEO bernama Rangga Sudrajat. Itu si Jenggo, mungkin.
Gue memerhatikan foto-foto orang bernama Rangga ini. Dia berwajah keras dengan kumis tipis. Usianya masih 45 tahun, namun perutnya gak membuncit layaknya orang-orang paruh baya bertitle CEO.
“Ini datanya gue save aja kali ya. Siapa tau ini si Jenggo Jenggo itu.” Gumam gue sendiri.
Semua data tadi gue save dalam format html untuk bisa dibuka nanti dalam kondisi offline. Setelah itu, gue keluar kamar untuk membantu saudara-saudaranya Hari menyiapkan keperluan dari siang hingga malam nanti. Membeli air mineral, snack, dan berpartisipasi mencuci piring gue lakukan secepat mungkin.
“Nak Dani, ada temannya di depan tuh.” Seorang tante memanggil gue.
“Iya, tante, sebentar.” Gue yakin yang dateng pasti Kak Rivin.
Lucu juga kalau gue bayangkan tantenya Hari yang banyak sekali ini. Satu pun belum ada yang gue hafal namanya. Jadi, ya dari tadi gue manggil pake tante tante aja biar sekedar terasa dekat.
“Eh, Kak Rivin, mau jemput Eda kan, ya?” Gue menghampiri Kak Rivin di depan rumah.
“Iya.” Jawab Kak Rivin kaku.
“Naik aja ke atas, Kak. Lagi sakit orangnya.” Gue ngasal.
Mantan teman ML mengantar pacar baru mantannya untuk ketemuan di rumah sahabat mereka. Rumit. Canggung. Kami berdua berjalan pelan ke depan pintu kamar Hari. Di dalam sana, Eda sedang tertidur pulas. Kak Rivin gue izinkan berjalan masuk duluan untuk membangunkan laki-laki satu itu.
“Sayang, Eda, bangun.” Kak Rivin menguncang badan Eda.
Iyuh, jijik ya kalo diliat dari pihak ketiga. Padahal gue juga dulu gitu, tapi minus kata sayang.
“Ehhmmm... Jam berapa sekarang~?” Eda ngelindur.
“Jam 11. Udah siang.” Gue menyahut, setengah ketus.
Eda langsung loncat dari dari tidurnya hingga terduduk. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti kucing habis nyemplung di air. Kesadarannya perlahan utuh.
“Kalian? Ngapain?” Eda nunjuk kami berdua.
“Ada juga aku yang nanya, kamu ngapain malah ke sini?” Kak Rivin membalas.
“Eh, Hari mana?” Eda acuh.
“Lagi ke Karet Bivak.” Jawab gue sambil melipat tangan.
Di Karet Bivak ada tempat pemakaman umum, tempat ibunya dimakamkan sekarang.
“Astaga, gue ketiduran.” Eda mengusik rambutnya yang tebal.
“Ada apa sih ini?” Kak Rivin mulai bingung.
“Ibunya Hari meninggal pagi ini. Eda kecelakaan. Gitu.” Jawab gue singkat.
Untuk menghindari ditanya lebih banyak, gue izin pergi membuat minum untuk mereka berdua. Teh manis panas untuk Eda, dan mungkin sirup cocopandan dingin untuk Kak Rivin. Gue membiarkan mereka berbincang berdua dulu tanpa ada mantan pacar di sebelahnya. Semoga mereka gak berantem di sini.
“Nak Dani, nanti malam ikut tahlilan kan?” Seorang tante berbeda bertanya ke gue.
“Iya, tante.” Sahut gue standar.
“Kalo gitu pulang dulu aja, ganti baju.” Sarannya.
“Saya tinggal di sini kok, tante.”
Sial, salah ngomong.
“Sa-Saya tidur sama Kenia di kamarnya.” Ralat gue buru-buru.
Masih salah ngomong ya? Si tante malah senyam-senyum sendiri. Dia bergumam sendiri, menyinggung kelakukan anak muda zaman sekarang. Yah, memang kami masih muda kok.
Beberapa waktu kemudian, gue mengantar nampan berisi tiga gelas minuman. Satu buat Eda, satu buat Kak Rivin, satu lagi buat gue. Di dalam kamar, Kak Rivin meminta penjelasan lebih kepada gue yang udah ada di rumah ini selama beberapa hari.
Sejujurnya, gue memang gak tau apa-apa sejak Eda pamit kemarin siang. Gue fokus bermain laptop, yang aslinya mengawasi Hari, Pur, dan Laras yang sedang di Karang Tengah. Penjelasan Eda sebenarnya juga sudah cukup jelas, kalau dia dibegal.
“Eda dibegal dengan cara yang luar biasa aneh. Udah gitu perlindungan yang dirasanya tepat adalah ke sini. Bukan ke Depok, bukan ke tempat lu.” Jawaban ini gue simpan sendiri dalam hati.
Eda juga udah menjelaskan kalau hapenya pecah terjatuh sehingga gak bisa menjawab telepon Kak Rivin. Tapi kesalahannya adalah tetap memilih ke sini daripada ke Depok.
“Ayo pulang!” Kak Rivin ngambek, dia buru-buru membereskan tas tentengnya.
“Tehnya belum abis.” Eda salah ngomong.
“Aku bela-belain cuti buat jemput kamu. Ayo pulang!” Kata Rivin lagi.
“Beklah.” Jawab Eda pasrah.
Mereka berdua berjalan keluar, menunggu taksi online, lalu pergi begitu saja. Kayanya Eda gak akan diizinin dateng tahlilan malem nanti.
Hari dan Kenia kembali dari Karet Bivak satu setengah jam kemudian,. Wajah Kenia murung, matanya merah. Hari terpaksa menyeimbangkan suasana dengan raut muka yang lebih tegar. Keluarga dan koleganya bergantian memberi ucapan duka cita dan pelukan. Beberapa diantaranya menawarkan untuk tinggal bersama, tapi Hari menolak. Dia beralasan sudah memiliki pekerjaan tetap dan sanggup membiayai Kenia sendirian.
---
POV Laras
“Apartemennya bagus.” Aku memuji selera orang yang memilih ruangan ini.
“Namanya juga Penthouse.” Pur melempar tasnya ke depan pintu salah satu kamar.
Aku menyalakan AC, lalu bersantai di ssebuah sofa panjang. Aku mulai mengingat-ngingat kamar mana yang harus kami tempati selama menginap di sini. Ada tiga kamar ukuran besar dan satu kamar ukuran kecil. Kalau gak salah, Dani bilang kami bisa menempati kamar berstiker Wildlife Indonesia. Katanya, itu kamarnya Erna, tapi jarang ditempati. Pur sendiri boleh di kamarnya Hari.
Di sudut ruangan, tertempel pita merah yang membentuk bujur sangkar di lantai. Ukurannya lumayan luas, mungkin ukuran 4x4 meter. Ada pula matras di atasnya. Tepat di tengah-tengah matras tergantung samsak tinju. Di pojokan dinding, berjejer peralatan tanding lainnya seperti manusia kayu, pelindung kepala, dan sarung tinju.
“Sekarang kita ngapain di sini?” Pur mondar mandir.
“Ngumpet kan.” Aku menjawab.
“Tugas kita bukan ngumpet kan.”
Pur meninggi nada bicaranya.
“Iya gue juga tahu, tapi kondisi di luar sana langsung panas. Coba lu liat berita.” Aku menyalakan tivi.
Muncul berita kecelakaan lalu lintas tadi malam yang bersifat tabrak lari. Beberapa media yang jurnalisnya kritis atau demi sekedar mengisi konten harian mulai latah membuka perbicangan panjang soal kejadian tersebut.
Di Salah satu channel, pakar forensik yang bukan terafiliasi pemerintah menanggapi diskusi sang presenter soal kejanggalan TKP kecelakaan di Karang Tengah tersebut. Pasalnya, gak banyak darah yang tercecer, gak ada saksi mata yang mendengar hantaman, dan sang anak yang tenang-tenang saja menghadapi situasi tersebut.
Tadinya si presenter mengira arah pembicaraan ini membawa spekulasi ke pembunuhan seorang anak kepada orang tuanya sendiri. Tapi rupanya pakar forensik membelokkan opini hingga tersangkut pada kejadian di Thamrin akhir pekan lalu. Si pakar forensik ini berkata bahwa kasus tersebut berkaitan dan sangat berbau inhuman.
“Tuh, denger.” Aku memandang Pur.
“Ah, manusia ******. Bengong deh kita di sini.” Pur membanting diri ke sofa.
“Gue sih bisa sambil baca buku.” Aku memandangi rak buku di salah satu tembok.
Aku suka dengan selera si pemilik, entah Hari, Dani, atau siapapun yang menaruh interior berupa buku-buku menarik di sini. Semuanya bahkan keluaran terbaru sejak tahun 2010. Banyak sekali pilihan, ada novel, ensiklopedia, majalah populer, jurnal ilmiah, hingga biografi.
Aku melangkah ke rak tersebut, memilih sebentar, lalu mengambil satu buku novel karangan Aditya Mulya.
“Buku mulu. Seribu tahun, gak bosen apa?” Celetuk Pur.
“Belajar itu wajib, Pur.” Jawabku.
“Apaan belajar, itu novel kan.” Sahut Pur lagi.
“Jangan salah, di novel biasanya banyak kutipan fakta sains, sejarah...” Aku retoris.
“bla bla bla... let’s do a quicky.”
Pur mendekatiku, lalu dengan seketika menyambar bibirku dan melumatnya habis-habisan. Kaki kiriku diangkatnya setinggi pinggang. Aku yang tadinya kagok, perlahan mengikuti mau Pur. Kujatuhkan buku dari tangan ke lantai, lalu Pur mendorong hingga badanku rebah di sebuah sofa panjang lagi.
Tangan Pur mulai menyelinap ke dalam kaosku. Jemarinya lincah menjamah seluruh tubuh bagian atasku. Pelan-pelan, Pur menyingkap bra, lalu mulai meremas-remas buah dadaku sebelah kiri. Aku tak tahan, kubuka sendiri baju dan braku sendirian. Kutekan kepala Pur di puting dada kanan agar dia menghisapnya lebih kuat.
“Pur.. ahh.. kita baru dateng...” Desahku.
“Tapi enak, kan?” Tanyanya.
“Banget...”
Pur memilih memainkan lidahnya lebih lama di putingku, silih berganti antara dada kiri dan kanan. Tangannya kini mulai menjamah menyusup ke balik celana jeans belelku. Dua jarinya langsung menggesek rambut-rambut kemaluanku. Klitorisku digeseknya kuat-kuat sampai pinggulku naik tinggi sekali.
Pur semakin menggairahkan, dia menjilat panjang dari tengkuk sampai naik ke daun telingaku. Lalu dia berbisik seksi dengan hembusan nafasnya yang hangat.
“Kamu nakal.” Bisiknya di telingaku.
“Pur... terusss...” Aku menggelinjang nikmat.
Pur dengan jarinya bermain di selangkanganku, dengan lidahnya dia menjilati seluruh tengkuk dan telingaku. Aku di bawahnya hanya tergeletak pasrah menunggu kejutan selanjutnya.
Lama-lama, Pur meningkatkan intensitas gerakan jemarinya. Dia langsung menerobos liang senggamaku dengan kedua jarinya yang aktif, namun masih terasa sulit karena celana jeansku menekan gerakannya. Spontan aku mendorong celanaku jauh-jauh ke bawah dan meloloskannya.
“Kamu buka juga.” Pintaku.
Pur menghentikan kegiatannya merangsangku. Dia melepaskan seluruh pakaiannya di depan mata. Penisnya sudah tegak menjulang dengan ukuran yang sepadan buat vaginaku. Batangnya agak sedikit melengkung ke kiri, namun itu yang membuatku tergila-gila.
Apalagi kami seorang Einherjar. Gak ada yang gak sempurna dari otot-otot kami, begitu pula otot-otot perut Pur yang berkotak-kotak. Belum lagi bisep dan trisepnya yang sanggup mengangkatku kala kami dikejar raksasa Jotun ratusan tahun lalu, saat kami pertama kali bertemu.
“Masukin, Pur.” Aku siap mengangkang.
“Buru-buru banget sih?” Ledeknya.
“Siapa yang ngajak quicky coba.”
Aku mengusap pintu liang senggamaku dengan dua jari, lalu kutunjukkan lendirnya kepada Pur.
Pur langsung bergerak ke atas tubuhku. Aku reaktif dengan semakin melebarkan kakiku. Tangan Pur pun bertumpu pada sandaran sofa. Penisnya sudah berada tepat di lubang masuk yang tepat. Pur memasukkannya pelan, lalu mengeluarkannya lagi. Dia melakukannya berulang-ulang hingga darah perawanku berhenti mengalir. Sedikit sakit, namun sudah biasa.
“Shhh... Shhhh...” Aku menikmatinya.
“Muka kamu binal banget sih.”
“Kamu yang binal.” Ledekku balik.
Pur membenamkan penisnya dalam-dalam. Batang bengkoknya terasa sekali, namun itulah menambah rasa nikmat di dalam sana. Pur juga melumat bibir bawah dan lidahku ganas sekali. Kalau sudah begini, tandanya dia akan memulai permainannya sendiri.
Aku telentang pasrah dengan kepala bersandar pada pinggiran sofa. Pur mulai menggenjot dengan gerakan cepat. Lendirku keluar semakin banyak dan terasa meleleh hingga ke lubang anus.
“Pur... Ahhh... Puuuur!!!” Aku melenguh keras.
“Nghhh...” Hanya terdengar suara dengusan dari Pur.
Pur terus bergerak maju dan mundur sampai membuatku mendesah tanpa bisa berbicara lagi. Pur bergerak sangat beringas, namun nikmat. Kemampuan fisik einherjarnya sangat membantu untuk momen-momen seperti ini, selain di peperangan tentunya.
Tangan Pur kembali menjamah dadaku. Tapi kali ini dia meremasnya sangat keras, semakin mempertegas kalau permainan ini dikendalikan Pur sendirian. Aku lagi-lagi pasrah akan tempo yang dimainkan olehnya.
“Purrr... Please.. ahh....” Aku mulai lemas.
“Keluarin aja, Ras... ahh...”
Pur sama sekali gak menghentikan atau memperlambat temponya. Aku pun hanya fokus demi mencapai puncak kenikmatanku sendiri. Pinggulku naik semakin tinggi lagi. Lendirku terciprat akibat benturan selangkangan kami berdua.
“Puuuurr.. Stooop... Ahh...” Aku menekan pinggul Pur lekat lekat.
Aku pipis. Cairan yang lepas itu menyembur hingga membasahi perut kami berdua, lalu turun ke sofa sampai basah kuyup. Begitu aku lemas, Pur sama sekali gak mau tau. Dia kembali menggoyang dengan tempo serupa seperti sebelumnya. Aku yang lemas hanya bisa menunggu Pur menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan.
“Raass... Shhh... Keluarin di mana??” Tanya Pur dengan nafasnya yang memburu.
Tanpa menunggu, Pur melepas batang penisnya dengan tiba-tiba. Dia melangkah ke atas badanku dan menyodorkan penis kerasnya. Pur mengocoknya sendiri. Aku selalu tahu momen ini, lalu aku menunggu di bawah batang penis Pur dengan lidah menjulur.
“Raas... keluarhh... keluarhhh....” Nafas Pur masih memburu.
Satu, dua, empat semprotan sperma hangat memabasahi dagu, pipi, hingga rambut panjangku.
Begitu muncratannya selesai, aku segera membersihkan kepala penis Pur. Kuhisap sperma-sperma yang masih tersisa dari saluran urinnya. Kulumat batang penisnya jauh hingga ke pangkal beberapa kali. Pasti itu juga yang diinginkan Pur usai tiap kali spermanya memancar membasahi tubuhku.
Ratusan tahun kami melakukan ini sejak menjadi partner, dan tidak ada bosannya. Apalagi keesokan harinya keperawananku selalu kembali seperti semula. Hanya saja, pengalaman tak bisa membohongi kemampuanku yang terus berkembang.
Kami lanjut beristirahat setelah permainan yang seksi dan cepat tadi. Aku beranjak dari sofa untuk mencuci muka.
“Sekarang apa?” Tanya Pur.
“Sembunyi di sini sampai tiga hari, kan?” Aku mengonfirmasi.
BERSAMBUNG