Episode 21
Terluka
POV Hari
“Minggir! Minggir!”
Itu kayanya Dani yang teriak. Gak keliatan. Kepala gue sekarang cuma menengadah ke langit sembari ditandu pergi entah ke arah mana. Yang menandu pun gue gak bisa tau siapa.
Panas sekali, sangat terik cuaca hari ini di Vanaheim. Pandangan gue yang tadinya silau lambat laun menjadi kabur. Lama-lama jadi pening. Gue ngantuk rasanya, letihnya gak terbayangkan. Apalagi tadi gue disuruh minum apa itu.
“Hari... Jangan tidur...”
Itu suara siapa.
“Tahan... Sebentar sakitnya...”
Itu suara siapa lagi. Sakit apa coba? Gue ngantuk banget.
Semuanya mendadak gelap. Ini gue tidur apa bukan? Tapi suara-suara yang tadi terdengar tetap masih ada. Tapi kok gelap. Tapi kok adem. Biarlah, gue mau tidur. Ngantuk banget. Badan letih.
---
POV Dani
“Hari pingsan!” Teriak gue.
“Oke, gapapa. Kita operasi di sini aja.” Rosi datang belakangan.
Beberapa orang lainnya terlibat dalam upaya operasi dadakan ini. Tidak ada dokter asli di sini, semuanya hasil belajar karena tuntutan perang. Operasi pun dilakukan di salah satu rumah penduduk tempat kami istirahat tadi.
Hari diberikan sejenis air minum yang katanya mirip campuran opium Midgard. Itu pun a diberikan dalam dosis yang dipertanyakan. Awalnya, air itu cuma diniatkan supaya jadi bius lokal. Tapi dosisnya kelebihan sampe-sampe Hari ini pingsan.
“Tolong keluar.” Rosi meminta semuanya keluar.
“Gue juga?” tanya gue.
“Satu orang boleh tinggal.”
Gue menoleh kepada Erna, Erwan, dan Julia yang mengekor di belakang. Dengan tatapan mata penuh ratap, gue meminta izin supaya gue aja yang tinggal. Semoga dimengerti.
“Gue aja.” Erna memotong.
“Eh??” Gue bengong.
“Oke yang lain silahkan keluar.” Respon Rosi tanggap.
Badan gue didorong keluar oleh salah seorang yang ditugaskan mengoperasi. Ternyata Rosi juga ikut keluar. Nah, lalu siapa orang yang mengeluarkan itu peluru-peluru dari kakinya Hari? Gue gak kenal mereka. Kalau pendarahan gimana? Cari darah yang cocok dari siapa di negeri asing begini?
Gue mondar-mandir di depan teras rumah. Gelisah.
Cuma ada Erwan bersama gue. Dia cuma diam aja sambil duduk. Sementara itu Pur dan Laras tidak ada di sini. Mereka dan banyak orang yang lainnya sedang melucuti baju-baju zirah robot milik lawan. Nantinya, mereka akan menghancurkan jembatan, merusak jalan-jalan utama, dan menutupinya dengan batang-batang besar pohon yang tumbuh di sekitar situ.
Gak jauh dari gue, Rosi menarik Julia pergi. Tapi gak cukup jauh untuk bisa gue dengar apa yang terjadi di antara mereka. Rosi marah besar sama Julia.
“Lu kenapa!? Kenapa bisa seceroboh itu!?” Bentak Rosi.
“hhhhh...” Julia membalas dengan nafasnya.
“Liat gue. Kenapa rune ini ditinggal?” Tanya Rosi lagi
Selesai cecaran pertanyaan Rosi. Julia menjelaskan pelan-pelan bahwa dia percaya dengan ramalan rune. Dia percaya inhuman bisa membantu mereka memenangkan perang. Dia percaya. Terlalu percaya, sampai melupakan hal-hal yang biasanya dilakukan saat di medan pertempuran, sebelum kedatangan kami.
“GILA!!” Suara Rosi
“Iya, sorry.” Suara Julia.
“SORRY APA. COBA KALO GUE GAK NEMU INI RUNE PAS NGEJAR ERNA, MATI KALIAN SEMUA DI DEPAN SANA!”
Baru kali ini ge melihat Rosi marah besar. Gue jadi pengen ikut meledak. Gimana mungkin Julia sang tangan kanan Raja Frey bisa jadi ceroboh karena sebuah ramalan.
Gue lantas berjalan cepat-cepat untuk menuju ke tempat mereka berantem di sana, di balik tembok. Tanpa berniat, gue mendadak langsung mendorong Julia sampai terbentur ke tembok. Punggungnya dan tembok itu menghasilkan bunyi yang dalam dan tegas.
“Gaggghhh!” Gue menggeram.
Rasanya gue mau ngeluarin semua kata-kata kotor di ujung mulut ini. Tapi gak bisa keluar satu pun. Jadi, beginilah rasanya kalau pikiran lagi kalut.
“Dani. Stop.” Rosi menahan gue.
Datang jugalah Erwan untuk melerai gue yang sebenarnya juga gak tau mau apa sama Julia. Julia pasti lebih kuat daripada gue kalau sekarang gue bertingkah makin jauh di luar kendali. Setelah akal sehat gue balik pelan-pelan, gue merasa beruntung Julia gak melawan balik.
Setelah itu, kami hanya berdiam diri di tempat masing-masing. Di jarak yang lumayan jauh antara satu sama lain.
Kurang lebih saat matahari udah condong ke tempat terbenam, barulah Erna keluar dari dalam rumah tempat operasi Hari. Kami berjalan pelan untuk segera berkerumun di depan Erna.
“Mau kabar yang mana dulu?” Kata Erna
“Tunggu, bukannya dokter yang harus bilang begini?” Erwan memotong.
Erna melotot.
“Oke, terserah.” Tanggapan Erwan.
“Kabar bagusnya, operasi berhasil. Ada tiga peluru yang aneh itu masuk di paha kanan Hari.” Jelas Erna.”
Erna menjelaskan secara gamblang bahwa pelurunya gak sampai pecah di dalam jaringan otot Hari. Lebih beruntung lagi, karena pelurunya itu gak sampai menembus ke arteri besar, padahal itu tinggal sekian centimeter lagi. Lalu, seekarang semua proyektil itu udah aman dikeluarkan.
“Berita buruknya?” Tanya gue.
“Dia gak boleh ikutan perang ini lagi.”
Erna kembali menjelaskan bahwa Hari harus istirahat. Malam ini mungkin cukup kritis buat dia, karena sistem imunnya lagi ngelawan calon-calon agen infeksius. Badannya bakal demam. So pasti, karena tempat ini gak steril sama sekali. Lalu, begitu selesai masa kritis pun dia harus nunggu semingguan sampai bisa jalan normal lagi.
Kami semua bubar dengan hanya sedikit kelegaan. Masa kritis Hari tetap bikin gue khawatir.
“Gue bilang gini dari dokternya yang di dalem ya.” Erna menghampiri gue.
“Kita pulang besok.” Gue langsung membalas jawaban Erna.
Ini memang keputusan sepihak yang mendadak. Tapi kami harus logis. Perang ini memang bukan milik kami. Tau bahwa Hari jadi begini aja udah bikin ngeri. Apalagi nanti di depan sana, pasti situasinya lebih buruk.
Gak lama kemudian, orang-orang Pur dan Laras kembali dari garis depan. Muka mereka kuyu, rautnya seolah mampu menggambarkan beratnya pekerjaan hari ini. Tapi di balik itu, mereka bersorak bahagia. Ada tawanan perang yang berbaris mengular sampai jauh ke belakang. Semuanya telanjang, hanya tersisa celana dalam yang masih sanggup menutupi kelamin mereka. Zirah-zirah robot hasil sitaan di tumpuk dalam beberapa gerobak kayu yang dibuat dadakan.
“Akses ke Kraun udah selesai diblokade.” Kata Laras.
“Mana Julia? mau lapor nih gue.” Pur dengan bangganya.
Yang muncul dari banyaknya kerumunan adalah Rosi. Dia datang dengan muka seriusnya setelah puas ngomelin Julia di sesi ketiga. Dia mengatakan bahwa semua orang penting harus segera berkumpul ke tenda besar. Tendanya Rosi dan Julia.
Berkumpulah kami. Gue, Erna, Laras, Pur, Rosi, dan Julia. Erwan tetap di luar karena merasa dirinya gak turut andil dalam perang ini. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang bersama-sama.
“Udah kumpul kan?” tanya Rosi.
Kami mengangguk tanpa suara. Tidak ada muka bahagia dari pimpinan kami.
“Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kecerobohan tadi siang. Saya minta maaf sama Hari. Sama semuanya pokoknya. Kalian boleh pulang besok, biar Alex dan Anders yang antar. Jalur ke portal Midgard udah aman.” Pidato Julia.
Tepat sekali. Kami memang harus pulang. Erna meski gak sanggup menerima, dia harus tau kami harus pulang.
“Oke. Good deal. Kita emang mau pulang besok.” Jawab gue.
“Tapi...” Erna memotong.
“Aduh, apalagi, Na? Tadi kan kita sepakat.” Gue mulai ketus.
Erna menarik nafas.
“Tadi siang, saya sama Dani udah ketemu jalur frekuensi intinya mereka. Posisi pemancar dan kontrolnya juga udah ketemu. Kita bisa terusin ini sedikit lagi.” Jelasnya.
“ERNA!” Gue meninggi.
Ide gila apalagi yang Erna usulkan ini.
“Gak perlu banyak orang. Kita cuma perlu mutus jaringan mereka. Semua teknologi di dalam kota langsung lumpuh....”
Erna minta maaf sebentar sama gue, lalu dia meneruskan ide gilanya. Dia bilang cukup empat atau lima orang menyelinap ke dalam kota. Kami harus bergerak seperti hantu, lalu menghancurkan sistem mereka. Setelah lumpuh, semua menjadi terserah pimpinan pemberontak ini, mau melakukan invasi atau apa.
Erna kembali meminta hal yang mustahil. Satu, dia cukup butuh dirinya sebagai pencari sumber frekuensi. Kedua, dia butuh seorang ahli teknologi untuk merusak frekuensi itu, yang tidak lain adalah gue. Cuma gue di sini yang bisa melakukan itu. Tadi siang terbukti.
“Lu tau gue gak bakal ikut, Na.” Kata gue.
“Dani. Kita pulang abis ini.” Pintanya.
“Itu kalo masih bisa pulang kan.”
Erna terdiam sebentar. lalu, dia kembali meminta beberapa orang tambahan untuk menjaga kami. Pastilah Pur dan Laras langsung mengajukan diri jadi relawan. Yang mengejutkan adalah Rosi ikut mengajukan diri.
“Gue, Pur, sama Rosi bakal ikut nih ya." Rangkum Laras.
“Gue nggak.”
"Dani, ini semua tergantung elu.” Laras menatap gue.
“Dani, taktik gue yang mana yang pernah gagal. Lu sebutin satu, kalo ada, kita pulang besok.”
Gue gak pernah bareng Erna. Kami cuma benar-benar bersama-sama pun waktu itu setelah jadi agen lapangan. Gue memikirkan satu-satu pengalaman kami yang sedikit itu. Ada satu, momen waktu nyari kristal terrigen inhuman di kosan gue, itu ide Erna memang lumayan bagus dibanding ide gue. Terus apalagi?
Kayanya ide Erna emang gak ada yang gagal deh ya. Aduh, pusing gue.
“Pfftt...” Gue menghela nafas.
“So?” Tanya Erna.
“Jagain gue jangan sampe mati ya.” Gue pasrah,
Dengan tambahan Alex dan Anders yang udah kami kenal. Jadilah kami berenam akan berangkat. Besok, pagi buta.
---
POV Eda
“Ke mana deh ini Hari, Dani, Erna, gak ada yang bisa ditelepon.”
Gue bergumam sendiri di peron stasiun kereta Sudirman. Sore ini gue sedang menuju jalan pulang selepas dari seleksi tahap dua di perusahaan obat-obatan multinasional itu. Seleksi tahap dua artinya tahap wawancara. Senengnya bukan main. Yang namanya wawancara itu ternyata seru dan ada deg-degannya juga.
Harus menjelaskan data diri, pengalaman penelitian, pengalaman organisasi, dan lain-lain. Itu pun ternyata harus ada strateginya. Percaya diri, gak boleh anu-anu, tegas. Seru deh.
Rasa seru ini menutupi kekesalan gue tadi pagi. Padahal, tadi pagi ada yang mau ngajak ribut gue di kereta. Ada seseorang yang mikir gue mau nyolek pantatnya. Aslinya, gue cuma kesenggol sedikit karena kereta penuh. Sumpah ya gue bukan homo. Gue punya pacar lawan jenis yang cakepnya minta ampun.
Udah gitu, orang itu ikut turun sama-sama di Sudirman. Kemudian, meski keadaan ramai begitu, dia langsung mukul gue. Tiga kali gue kena tampol di muka. Abis itu, siapa yang sangka dia ditampol balik sama satu orang yang mau nolongin gue. Beberapa detik kemudian satpam langsung ngumpul. Gue diliatin orang-orang.
“Gapapa kan?” Kata satu orang yang nolongin gue.
Dia orang chinese. Mata sipitnya keliatan dengan jelas. Badannya ternyata cenderung kurus tipikal chinese yang gak suka angkat-angkat berat. Tapi tetap aja gue gak nyangka dia bisa nampol sebegitu kuat sampe orang asing tadi jatoh.
“Gapapa. Gak nyangka aja ada yang gampang tersulut di kereta.” Balas gue.
“Oknum aja itu mah hahaha. Kami kereta-ers selalu sabar kok.” Candanya.
“Bisa silat, Mas?” Tanya gue.
Gue geli sendiri. Memang udah budayanya orang Jakarta manggil laki-laki asing dengan sebutan ‘Mas’. Kadang-kadang ‘Bang’. Tapi begitu ngeliat lagi matanya yang sipit, rasanya aneh aja.
“Ah, biasa aja.” Katanya.
Selesailah basa-basi kami. Gue pamit pergi naik gojek. Dia juga pamit naik grab jemputannya. Tapi rupanya kami bertemu lagi di depan kantor obat itu. Naik lift juga bareng sampai lantai puluhan.
Kami berkenalan. Namanya Samuel. Cara ngomongnya khas banget, dengan huruf-huruf vokal yang dilebarkan, dijelaskan sejelas-jelasnya. Seperti seakan pendengar gak akan kedengeran kalau dia kurang membuka mulutnya.
Dari puluhan orang yang mengikuti tes tulis, kami ternyata pernah berpapasan tapi gak saling kenal. Baru hari inilah, setelah terseleksi dan tersisa 12 orang, kami bertemu. Itu pun secara gak sengaja di stasiun kereta.
Dengan makin banyaknya kami saling bercerita, gue tau dia tinggal di Pejaten. Hari ini, katanya, dia milih berangkat naik kereta dari Pasar Minggu karena males bawa kendaraan sendiri. Macetnya pasti gila-gilaan di daerah Pancoran dan sekitarnya. Dia juga akhirnya tau kalo gue tinggal di Depok. Di apartemen tepatnya.
“Gila, boros amat.” Tanggapnya.
“Ya gitu lah hahaha.” Balas gue.
Dia gak tau aja gue tinggal bareng pacar dan udah diizinin orang tua sendiri.
Kami pulang naik kereta lagi, tapi kini kami udah kehabisan topik bicara. Tau kan, tipikal topik umum yang layak dibincangkan sesama kenalan baru itu. Kami kehabisan topik di momen itu, apalagi sekarang kereta lagi penuh-penuhnya. Gue jadi cuma bisa liat-liat hape.
“Ke mana deh ini Hari, Dani, Erna, gak ada yang bisa ditelepon.”
Di situlah gue bergumam sendiri. Udah dua hari ini Hari dan kawan-kawannya yang jadi agen itu susah dihubungi. Anwar bilang, dia juga kehilangan Erna buat latihan band. Gue jadi khawatir ada sesuatu hal yang berbahaya lagi yang dilawan mereka.
Tiba-tiba hape gue jatuh. Kemudian, badan gue didorong seseorang dari belakang, padahal kereta lagi penuh-penuhnya. Terjadilah kericuhan yang bermulai di gerbong nomor 4.
“Elu yang tadi pagi kan!?” Kata orang yang mendorong gue.
Itu orang yang ngedorong gue tadi pagi, ternyata satu kereta lagi. Sial.
“Eda, turun.” Ajak Samuel.
“Oh, ada elu juga. Bagus.” Kata orang itu.
Turunlah kami di Manggarai. Di stasiun yang ramai itu. Terjadi perkelahian sebentar antara Samuel dan orang gila itu sebelum dilerai keamanan setempat. Gue sempet kena tampol lagi satu kali meski keamanan telah melerai. Kami dikawal ke kantor untuk menjelaskan semuanya.
Cerita versi orang gila ini lebih gila dari yang gue kira. Gue dibilang sebagai maho yang sekedar naik kereta untuk colek-colek pantat pria. Ya kali. Gue balas dengan mudahnya dan menunjukkan bukti-bukti kalau gue habis tes wawancara. Gue tunjukkan kopian formulir perusahaan, cv gue, dan banyak lagi sertifikat dalam tumpukan kertas.
Kami selamat setengah jam kemudian. Perjalanan pulang gue menggunakan kereta kembali dilanjutkan.
“Orang gila.” Keluh gue.
“Biar jadi pengalaman lucu aja.” Kata Samuel.
“Iya, tapi ini gue kena pukul lagi.”
Pipi gue bengep setelah kena pukul yang sore ini. Padahal, tiga pukulan tadi pagi gak berasa apa-apa. Mau bilang apa gue sama Rivin. Dia malah makin protektif sama gue kalo liat bekas kena tonjok ini.
Sepuluh menit di kereta, pipi gue jadi highlight orang-orang sekitar. Gue, selain ngelamun, juga memang berasa risih diliat seperti ini sembari berasa perih. Memangnya kalian orang-orang gak pernah liat makhluk berkaki dua kena tonjok sampe pipinya biru.
“Kenapa? Sakit?” Samuel nanya.
“Gapapa. Risih aja diliatin.” Jawab gue.
“Mampir ke rumah saya dulu aja. Saya punya obatnya biar mukanya gak bengkak gitu lagi. Obat cina gitu sih, tapi biasanya mempan.”
Sungguh, iming-iming yang menarik. Gue makin terus kebayang muka Rivin yang ngomel gara-gara gue kena bahaya lagi. Otomatis, gue langsung mengiyakan ajakan Samuel. Semoga lekas sembuh buat gue.
BERSAMBUNG