Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Komen pertama ane di trit ini. Ngikutin dari awal, sekali baca lgsg suka:mantap:
Sampe skrg selalu nunggu update an.
Selamat berlibur suhu, :beer:ga sabar nunggu update selanjutnya:semangat:
 
Selamat tahun baru suhu RobbieReyes & suhu2 yg lain. Smg di tahun ini lebih baik & berkah bagi kita semua.
 
Selamat siang..
Wah ane apresiasi banget ada yang mau marathon baca meski udah ketinggalan jauh.

By the way, episode 40 tayang lagi nanti hari Sabtu ya. Suasana masih berasa liburan nih, jadi masih mau leyeh-leyeh dulu hehehe.
 
Selamat siang..
Wah ane apresiasi banget ada yang mau marathon baca meski udah ketinggalan jauh.

By the way, episode 40 tayang lagi nanti hari Sabtu ya. Suasana masih berasa liburan nih, jadi masih mau leyeh-leyeh dulu hehehe.

sabtu nih hu tumben sepi :bingung:
 
Selamat siang..
Wah ane apresiasi banget ada yang mau marathon baca meski udah ketinggalan jauh.

By the way, episode 40 tayang lagi nanti hari Sabtu ya. Suasana masih berasa liburan nih, jadi masih mau leyeh-leyeh dulu hehehe.
Udah Minggu nih hu, ditunggu updatenya
 
Biasanya sabtu suhu selalu update... skrg udah senen... update dong....
 
Bimabet
Episode 40
Hari Duka


POV Hari

Gue merasakan sepi di rumah ini semenjak gak ada lagi nyokap dan Kenia. Tinggal gue sendirian sekarang yang luntang lantung. Kerja sebagai agen membuat gue kehilangan kehidupan normal. Menjadi inhuman membuat gue kehilangan semuanya.

Dani pun kehilangan selera makannya sejak pulang dari Surabaya. Sejak musibah itu. Sangat aneh melihat di sekarang menolak makanan, padahal sebelumnya Dani selalu kalap kalau melihat makanan. Sebagai ganti diamnya, sekarang Dani lebih sering duduk di depan tivi.

“Dani, mau makan gak?” Gue basa basi.
“Nanti.” Dani menjawab singkat.

Dia konsisten dengan diet paksanya.

Erna dijaga lebih intens dijaga sama kakaknya di rumah. Kasihan Erna, perlahan dia stress dan itu merusak kewarasannya. Maka itu gue harus selalu berkabar dengan Erwan. Gue khawatir dia lama-lama kepikiran mau bunuh diri. Semoga Erwan dan orang tuanya di sana bisa menenangkan Erna.

Erna terlalu banyak tertimpa nasib buruk tahun ini. Sejak menjadi agen, dia kehilangan waktu untuk hobinya sendiri. Dia juga kehilangan teman-temannya di band. Dia bahkan kehilangan kehormatannya dengan cara yang gak manusiawi. Apa namanya itu semua kalau gak lebih buruk daripada mati.

Erna juga masih berkutat dengan kenyataan bahwa bapaknya mulai sekarat di rumah sakit. Erwan bercerita hal ini saat menjemput kami ke Surabaya. Kata Erwan, bapak mereka tiba-tiba menjadi kritis akibat kurang asupan makanan padat, otot melemah, dan segala komplikasinya. Semua itu bersumber dari satu hal, penyakit gangguan tidur.

Erwan bercerita bahwa dokter telah mendiagnosis bahwa bapaknya terjebak dalam tidur fase Rapid Eye Movement. Fase tidur itu sebenarnya dangkal dan mudah untuk dibangunkan. Tapi perubahan fungsi otak bapak Erwan merubah keadaan tersebut menjadi sulit.

“Baru kemaren dokter tes DNA ulang. Ketahuanlah kalo bapak gue inhuman.” Kata Erwan waktu itu.

Erwan juga bercerita kalau tim dokter sebenarnya pernah melakukan tes DNA saat pertama kali bapaknya masuk rumah sakit. Waktu itu beliau masih belum dicurigai sebagai inhuman meski beberapa mutasi memang terjadi. Tapi itu masih dalam batas manusia normal yang memiliki potensi kanker. Apalagi bapak Erwan udah berusia lanjut.

Terungkaplah juga sejak itu kalau ibu mereka menyembunyikan segala bukti dan kesaksian tentang sekam inhuman yang dilihatnya.

Hape gue bergetar. Ada telepon dari Erwan. Panjang umur.

“Halo, Hari.” Sapa Erwan dari seberang telepon.
“Kenapa, Wan?” Sahut gue.

Erwan diam sebentar. Gue merasakan hawa gak enak.

“Kabar buruk. Barusan bokap gue meninggal. Gak lama abis itu Erna mau bunuh diri.” Erwan bersuara lemah.

Gue kaget setengah mampus. Ketakutan gue beneran kejadian bahwa Erna akan punya pikiran untuk bunuh diri. Gue cuma gak nyangka akan secepat ini tindakan itu terjadi.

Tanpa mau banyak bertanya lagi, gue berkata kepada Erwan kalau kami akan menemui mereka segera. Erwan pun menjawab kalau kami bisa menunggu langsung di rumah mereka, di daerah Cipinang Baru. Selanjutnya, kabar duka ini pun gue sampaikan di grup angkatan, mungkin ada yang mau menjenguk lagi selain kami berdua.

Gue memboncengi Dani, meluncur lagi di siang hari yang terik. Perjalanan menuju Cipinang Baru beratnya minta ampun dengan pikiran yang penuh berbagai macam hal. Rasanya seperti mendaki gunung melewati lembah, tiga kali, ditambah ada banyak viper tanah dan macan tutul. Berat banget, berat.

Hampir satu jam kemudian, kami baru tiba di rumah Erna. Bendera kuning tampak telah berkibar dari ujung gang. Ini sangat familiar buat gue. Double familiar, karena pernah terjadi kepada diri gue di tahun yang sama dua kali.

“Dani.” Panggil gue.

Gue menegur Dani. Dia melamun. Hari ini bisa lebih berat lagi buatnya.

“Nicole.” Sahut Dani.
“Apa?” Kata gue.
“Gak sebaiknya kabarin Nicole?” Dani berbicara datar.

Dani belum tau. Dia belum tau bahwa gue dan Nicole bertengkar hebat kemarin. Saling bentak terjadi di tangga darurat, di rumah sakit, di Surabaya. Nicole bicara dengan bahasa Indonesianya yang baku dan gue menolak bicara berbahasa Inggris. Pur dan Laras juga ada di sana karena dalam situasi yang tersangkut paut.

Nicole membuka amarahnya dengan banyak pertanyaan bernada tinggi. Musibah yang dialami Dani dan Erna gak seharusnya terjadi, katanya. Akhirnya rentetan pertanyaan itu berujung dengan menyalahkan dua einherjar itu karena menyembunyikan rahasia.

“Seandainya kalian memberitahu ada batu ajaib kepada saya dari awal.” Kata Nicole.
“Bukan urusan anda.” Gue membantah.
“Tentu jadi urusan saya.” Jawab Nicole.

Nicole benar. Itu harusnya jadi urusan dia. Gue cuma kehabisan ide untuk melawannya.

“Saya pikir kita harusnya punya kepercayaan...” Kata Nicole lagi.

Gue memotong lagi pembicaraannya.

“Nicole! Bicara soal percaya, saya memang gak percaya dengan anda dari awal. Saya gak percaya dengan cara kerja anda.” Gue meninggi.

Gue terpicu membahas soal rasa percaya dalam sebuah tim. Gue gak percaya Nicole punya jiwa pemimpin. Dia terlalu egois dalam mengambil keputusan dan itu gak berbanding lurus dengan usianya. Padahal seharusnya dia udah punya banyak pengalaman di agensi seperti ini.

Mari berkilas balik jika itu yang Nicole mau. Dia datang ke penthouse tanpa kabar terlebih dulu, kemudian merombak sistem secara sepihak. Dia membagi kami menjadi dua tim yang porsi kerjanya gak berimbang. Tapi, dalam tindakan nyata, pada akhirnya kami bertugas juga dengan mekanisme seperti yang udah-udah. Gak ada bedanya.

Sekarang bicara soal simpati dan empati. Nicole bahkan gak berniat mengucapkan sesuatu kepada Pur dan Laras. Padahal mereka berdua sedang muram akibat Asgard yang udah hancur. Rumah mereka itu lho yang hancur.

Sepertinya Nicole harus punya rumah dulu, lalu dihancurkan permanen untuk merasakan kesedihan. Begitulah semua cerita gue tumpahkan kepada Nicole.

“Sekarang dari mana kita harus percaya!?” Kata gue.
“Jadi urusan personal termasuk pekerjaan sekarang!?” Sahut Nicole.

Gue menghela nafas. Memang iya, sekarang urusan pekerjaan kami telah menyangkut urusan personal. Itu karena Nicole gak punya jiwa kepemimpinan. Dia bahkan gak bisa memerhatikan anak buahnya dengan baik. Lihat Erna yang selalu dibentak setiap pulang larut malam sehabis pulang dari Bryophyte. Bahkan dia gak punya waktu menjenguk bapaknya sendiri.

“Kalian tau, urusan batu ajaib ini bisa saya beritahu kepada pusat.” Nicole mengancam.

Nicole sialan. Dia bahkan gak mencoba menyelesaikan topik yang gue angkat sejak tadi.

Pur dan Laras pun saling menoleh ketika Nicole mengancam mereka. Pur kemudian berusaha menjadi penengah dalam debat kami. Gue paham itu adalah salah satu sikap pertahanan diri sesorang ketika masuk ke dalam masalah.

“Nicole...” Kata Pur.
“ No negotiation!” Potong Nicole tegas.

Sayangnya, Nicole gak bisa diberi nasihat atau solusi 50-50. Dia bertindak sangat sesuai protokol. Sangat sangat harus sesuai protokol.

Buatlah tetek bengek protokol ini dalam contoh satu kasus keajaiban di sungai Hudson, New York, awal 2009 lalu. Waktu itu beritanya semua mesin pesawat airbus mendadak mati akibat menghantam kawanan angsa kanada. Si kapten kapal, Chesley Sullenberger, waktu itu akhirnya berhasil mendaratkan pesawat di Sungai Hudson karena menyintas protokol sehingga semua penumpang selamat.

Bayangkan kalau si kapten kapal waktu itu terus mengikuti protokol satu demi satu. Dia mungkin bahkan gak punya waktu untuk memilih berbelok ke sungai. Bisa aja badan pesawat turun menabrak gedung-gedung di New York, termasuk Stark Tower kala itu. Korban yang jatuh jelas bisa lebih banyak.

Kita bicara juga soal pengalaman si kapten Sullenberger. Tentu dia punya pengalaman penuh untuk menyintas protokol. Itulah yang seharusnya juga dimiliki oleh Nicole, mengingat dia udah senior. Nyatanya nggak.

“Kalian berdua saya jamin masuk The Raft.” Nicole menunjuk Pur dan Laras.
“Shut the fuck up!” Akhirnya gue mengumpat.

Gue benar-benar terpicu hingga melewati batas kesabaran. Gue keluarkan lisensi agen A.T.C.U. dari dompet. Gue tunjukan benda itu jelas-jelas ke mata Nicole, lalu gue lempar ke lantai.

“Saya keluar! Saya berhenti main-main jadi pahlawan! Dan jangan ganggu Dani sama Erna lagi!” Kata gue tegas.

Gue melempar juga jam tangan pengawasan manusia super ke lantai. Gue sadar kalau gue gak boleh lagi menggunakan kekuatan kalau jam tangan itu sekali-kali sengaja dilepas. Tapi masa bodo. Gue berhenti total. Gue mau balik jadi manusia biasa yang kehidupannya normal.

Gue pergi dari tangga darurat, disusul Pur dan Laras meski urusannya masih menggantung. Sementara itu Nicole gak terlihat ikut keluar dari tangga darurat. Biar aja, mungkin dia sedang meratap tentang keegoisannya.

Jadi, sampai hari ini gue gak tau kabar Nicole. Mungkin dia balik ke Amerika sana.

“Nicole balik ke Amerika.” Gue berkilah ke Dani.
“Balik?” Dani lumayan kaget.
“Laporan mungkin. Entah.” Gue bohong.

Dani belum waktunya untuk tau kenyataan. Dia belum pulih betul dari traumanya meski dia mengaku gak apa-apa. Dani gak pandai bohong kan.

“Laras sama Pur mana?” Dani bertanya lagi.

Dani juga belum tau soal dua einherjar itu. Begitu kami keluar dari tangga darurat, kami sadar tinggal menghitung jam atau menit sebelum Pur dan Laras disergap di tempat. Maka dari itu gue menyarankan mereka untuk menghilang. Menghilang dalam artian mereka jangan lagi ada di bumi, seenggaknya untuk sementara waktu.

Lebih bagus lagi kalau mereka jangan lagi ke bumi. Di sini terlalu banyak kepentingan dan ketakutan.

Gue juga udah gak berpikir lagi soal membalas Roxxon atau menyaksikan kasus Hammer Tech ini diselesaikan pengadilan. Keselamatan teman-teman gue sekarang di atas segalanya. Gak boleh lagi ada Kenia yang lain. Gak boleh ada lagi korban seperti Dani dan Erna.

“Kalian pergi sekarang.” Saran gue.
“Tapi kita masih ada janji sama lu.” Kata Pur.
“Lupain aja.”

Pur dan Laras memberi tatapan heran.

“Vanaheim lebih aman. Manusia gak ngejar sampai sana.” Balas gue.

Gue gak tau apa-apa soal permasalahan mereka setelah menangkap makhluk dari Jotunheim. Yang gue tau, mereka tetap harus pergi. Bumi bukan lagi tempat yang aman buat makhluk asing. Sebentar lagi mungkin inhuman juga diusir dari bumi.

Setelah itu Pur dan Laras berpisah dengan kami. Gue pastikan mereka udah ke Vanaheim karena Pur membuka portal di depan mata kepala gue sendiri. Sekarang, tersisa gue untuk memperbaiki segalanya. Erna adalah langkah pertama.

“Ayo masuk.” Gue mengajak Dani.

Pakaian kami hari ini hitam-hitam. Entah kenapa stereotipe pakaian duka masyarakat harus berwarna hitam. Padahal dalam agama gue yang disarankan adalah warna putih. Dan pemikiran acak macam begini sering muncul ketika gue banyak pikiran.

“Banyak yang berduka di grup.” Dani melihat hapenya.
“Tapi yang dateng belom ada.” Kata gue.

Dani celingukan mencari sosok teman-teman kami di depan rumah Erna.

“Itu ada Anwar sama Tika. Ada yang lain juga.” Tunjuk Dani ke bawah pohon mangga.

Selain teman kami yang gak seberapa banyak, ada juga beberapa tetangga rumah Erna yang gak gue kenal. Lebih banyak lagi keluarga besar Erna yang mulai berdatangan. Mayoritas obrolan yang bisa gue dengar menggunakan bahasa minang, dan gue gak ngerti.

Kami menghampiri dengan teman-teman kami yang sedang sibuk ngobrol dengan Erwan. Dia menjadi narahubung dadakan atas ucapan belasungkawa kepada keluarga kecilnya. Kami pun menghampiri mereka.

“Turut berduka cita.” Kata Dani.
“Iya.” Sahut Erwan.
“Wan, Erna mana?” Gue bertanya.

Erwan menunjuk satu kamar di lantai atas. Katanya, Erna sedang ditemani ibunya. Sudah pasti, siapa lagi yang berhak dan mampu menemani Erna selain keluarganya sendiri. Gue adalah orang ke sekian yang berhak, itu pun kalau kepepet.

“Doa dulu.” Ajak Dani.

Kami pun masuk ke dalam rumah untuk berdoa di depan jasad bapaknya Erna dan Erwan. Almarhum tampak jelas di depan mata gue terbaring kaku dalam tutupan kain batik berlapis-lapis. Sedih.

Setelah itu, kami keluar sambil mencoba melangkah dengan sopan.

Orang-orang semakin banyak datang saat prosesi pemakaman terus berlanjut. Setelah lewat jam dua siang, akhirnya almarhum telah dikebumikan. Selalu serupa prosesinya, sama seperti apa yang terjadi dengan nyokap gue dan Kenia. Itu membuat gue gak bisa lupa dengan kesedihan sendiri.


Tapi ada perbedaan dengan kesedihan sebelumnya dan yang terjadi sekarang. Gue merasakan gak ada lagi semangat untuk membalas dan mencari keadilan. Udah terlalu banyak korban dari orang-orang jahat. Gue gak mau lagi orang-orang terdekat gue jadi korban.

“Itu kan?” Dani bicara.
“Kenapa?” Lamunan gue buyar.

Dani menunjuk ke seberang jalan. Seseorang keluar dari mobil avanza yang sepertinya taksi online. Postur tubuh tegap dan rambut gondrong bergelombangnya sangat gue kenali. Dialah laki-laki gambaran para wanita di mimpi mereka.

Dialah seorang yang pintar bernyanyi dan mampu menjadi model, tapi lebih memilih sering masuk ke hutan bersama ular dan kera. Dia lah yang paling cepat lulus dari kalangan peminat hewan. Dialah yang dulu kami ketahui kembali ke tanah Sumatra untuk memperbaiki lahan-lahan bekas sawit. Nyatanya orang itu ada di sini.

“Kok ada Nando?” Kata Tika.

Gue buru-buru bangkit dari duduk. Gue hampiri Nando dan menjabat tangannya. Lebih dari itu, Nando memeluk tubuh gue. Pelukannya sehangat keluarga yang lama gak bertemu.

“Katanya kerja di Pekanbaru bro?” Tanya Anwar.
“Udah resign.” Jawab Nando.

Mulut gue membentuk huruf O, bundar.

“Erna lagi gak bisa ditemuin.” Gue memberi informasi.
“Gapapa. Gue cukup ngelayat bapaknya aja.” Jawab Nando lagi.

Mulut gue lagi-lagi membentuk huruf O, bundar. Semua teman kami yang datang hari ini juga ikut berbasa-basi sedikit. Sayangnya Nando gak bisa berlama-lama ngobrol dengan kami. Dia harus masuk ke dalam dulu untuk bertemu keluarga Erna meski udah ketinggalan prosesi pemakaman.

Sementara itu kami lebih baik menunggu di luar karena di dalam sana masih ramai. Setelah itu mungkin kami bisa ngobrol lagi.

“Eh, Jennifer mana?” Gue menepuk bahu Anwar.
“Sama Jamet kali, lagi asik-asikan.” Jawabnya asal.
“Eda juga mana nih?” Sahut Tika.

Kalau perihal Eda, gue bisa paham kalo dia pasti gak bisa diizinin pergi keluar sama bosnya di jam kerja. Nah, kalau Jennifer dan Jamet gue tau mereka sedang dekat. Tapi keterlaluan kalo sampai melewatkan waktu untuk menjenguk Erna. Apalagi mereka gak punya jam kerja yang ketat.

“Keterlaluan nih Jamet.” Gue geleng-geleng.

Gak lama kemudian Nando dan Erwan keluar dari dalam rumah. Sementara Nando ngobrol sama Anwar dan Tika, gue dan Dani ditarik Erwan bergeser menjauh. Dia menyodorkan hape milik Erna yang layarnya terbuka. Ada pesan wa di sana dari Jamet.

“Kalian tau ini gambar apa? Feeling gue gak enak.” Erwan berbisik.

Ada satu foto di sana. Satu buat obat berbentuk kapsul berwarna kuning. Samar-samar ada watermark dengan warna sama di obat tersebut. Gue dan Dani bergantian mencoba membaca obat itu untuk memastikan.

“R-o-x-x-o-n?” Gue mengeja.
“Roxxon!?” Dani tersentak.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd