Episode 50
Inhuman Tanpa Nama
POV Purnawarman
Tahun lalu waktu gue turun ke Midgard bareng Laras, gue udah belajar segalanya tentang Midgard. Yah, secara harfiah bukan segala-galanya, tapi seenggaknya beberapa hal penting supaya kami bisa menyintas apapun agar tetap hidup. Gue dan Laras belajar dalam waktu yang singkat supaya Sherly si monster Jotun cepat ditangkap.
Gue belajar tentang S.H.I.E.L.D., organisasi di bawah bayang-bayang itu, yang kemungkinan besar akan kami hampiri. Gue tau organisasi itu hancur saat tahun 2014 karena disusupi organisasi HYDRA dalam berbagai celahnya. Tapi S.H.I.E.L.D. sangat berpengalaman berkomunikasi dengan orang Asgard. Mereka pernah kerja bareng putra petir kami, nona Sif, dan bahu-bahu menangkap buronan Lorelei.
HYDRA, organisasi ini sangat tua. Tapi mereka terkenal sejak menyusup pertama kali dalam tim sains NAZI. Kemudian mereka di bawah tanah. Kemudian mereka menyusup ke dalam S.H.I.E.L.D dan setiap unit dalam berbagai negara. Dari data yang Laras peroleh, semua orang di dalamnya punya kepentingan masing-masing, makanya tiap unit mereka seperti punya otak sendiri. Red Skull, Arnim Zola, Whitehall, Alexander Pierce, von Strucker, Gideon Malick, sampai Hive. Mereka semua orang gila.
Siapa yang tau lagi kalau ada pemimpin Hydra lainnya yang masih sembunyi.
A.T.C.U. kemudian muncul selepas ‘wabah’ inhuman dan alien menyebar luas ke seluruh penjuru bumi. Tapi, organisasi ini harusnya cuma beredar di wilayah Amerika. Nyatanya, mereka dengan segala kuasa bisa melanglang buana ke negara manapun. Mereka punya solusi semacam Gel Doc yang bisa menyebabkan fase dorman buat inhuman yang meliar. Sayangnya, A.T.C.U. dulunya juga disusupi HYDRA.
A.T.C.U. sekarang harusnya udah bersih sejak masalah sama Hive selesai. Tapi mereka menjadi organisasi tanpa arah. Setelah memberi pertolongan pertama buat inhuman, lalu apa?
Inhuman, fraksinya pecah semenjak mereka memberontak dari Kree ribuan tahun lalu. Ada yang tinggal di Afterlife, ada juga yang tinggal di bulan. Gila, kan, berapa lama mereka sembunyi dari peradaban. Sayangnya ada aja yang ketinggalan kereta. Keturunan mereka akhirnya terkespos lagi di zaman sekarang setelah wabah kristal terrigen yang mencemari air dan makanan laut.
Semua ini soal mereka, yang hidupnya beririsan dengan kami saat mengejar Sherly.
Jalan hidup kamir akhirnya ditakdirkan untuk menjadi buronan A.T.C.U. sialan itu. Buktinya Nicole udah ada di atap rumah sakit dengan beberapa anggotanya yang bersenjata lengkap. Apalagi yang mau mereka lakukan selain memburu kami, iya kan. Toh gue dan Laras memang alien.
“Sial! Sial! Sial!” Gue teriakan sendiri sambil lari.
“Permisi! Permisi! Maaf!” Itu gue nyelip di antara orang-orang.
Gue harus lari-lari di dalam koridor rumah sakit, lompat-lompatan di tangga darurat, lalu lari-lari lagi di koridor. Mau gak mau gue harus nabrak orang sana-sini supaya bisa cepat kembali lagi ke tempatnya Laras dan Akmal. Padahal tadi tinggal beberapa langkah lagi bisa sampai kamarnya Dani sama Hari.
Sesampainya di tempat tunggu buat keluarga, gue keringetan meski AC rumah sakit menyala dengan mantap. Nafas gue ngos-ngosan sambil tolah-toleh. Keluarga pasien yang lain melihat gue dengan tatapan risih. Gak asik banget hidup gue 24 jam belakangan ini, apalagi sekarang belom mandi.
Di satu baris bangku, Laras duduk dalam diam, kepalanya bersandar, hampir tertidur. Akmal masih gelisah, dia berjalan mondar-mandir di pinggir jendela.
“Kok balik lagi?” Tanya Laras.
Gue berjalan ke arah Laras dengan terburu-buru. Akmal pun mendekat. Sekali dayung bla bla bla. gue langsung berbisik kepada dua orang yang kepalanya hampir beradu satu sama lain tentang kedatangan A.T.C.U.
Laras awalnya gak pecaya sampai dia mencoba memfokuskan pendengarannya. Gak lama kemudian, akhirnya dia mengamini penyataan gue, bahwa Sekarang A.T.C.U. udah menjelajah di lantai teratas gedung rumah sakit ini.
“Kita harus pergi sekarang.” Kata Laras.
“Ke mana?” Tanya Akmal.
“Vanaheim, simpel.” Kata Laras lagi.
Ini sebenarnya bukan masalah besar ternyata. Sialan, gue lari-larian tadi gak masuk di akal. Tengsin jadinya.
“Tunggu deh, kalian diincar gimana ceritanya?” Akmal bertanya lagi.
“Intinya kita alien ilegal.” Gue masih ngos-ngosan.
Akmal membulatkan bibirnya tanpa suara. Dia paham ini rahasia karena kami semua berbisik-bisik. Orang lain melihat kami mungkin ada di antara prihatin atau sebal. Prihatin karena mungkin keluarga kami terkena penyakit bahaya dan kami gak punya duit. Sebal karena mungkin mereka butuh ketenangan dan kami mengganggu.
Kami bertiga setuju untuk pergi sebentar. Saat situasi aman, kami pasti balik lagi kemari. Akmal kan masih butuh bimbingan supaya gak sembarangan bertingkah waktu ketemu Jenggo.
Kami bertiga berjalan dengan langkah cepat meninggalkan ruang tunggu. Kami menuju tangga darurat. Ada dua bapak-bapak yang merokok di sana, sehingga kami harus turun beberapa lantai lagi. Membuka portal harus di tempat yang tersembunyi kan.
“Aman.” Akmal tolah-toleh ke atas dan bawah.
Laras mengangguk.
“Ayo.” Sahut gue.
Laras merogoh sakunya. Ada batu rune pembentuk portal yang dikeluarkan. Pedang besar miliknya pun dia munculkan. Setelah satu gosokan batu dan satu putaran pedang, munculah portal.
“Kita pergi sekarang.” Kata Laras.
“A.T.C.U. gak bisa ke Vanaheim kan ya?” Balas Akmal.
“Kalau mereka bawa alat pelacak pun, gak akan bisa sampai Vanaheim sih.” Gue menjawab.
Akmal terbengong-bengong. Dia gak tertarik atau apa gitu dengan jawaban gue?
“Jadi kalian dilacak?” Tanya Akmal lagi.
“Nggak, kita bersih kok.” Sahut Laras.
Ada gitu yang dilacak A.T.C.U. selain kami? Mereka kan cuma berurusan sama alien. Satu-satunya yang bermasalah sama A.T.C.U. di sini kan cuma kami berdua. Itu pun karena kami lepas dari perjanjian waktu itu, selepas kasus di Bawean.
Siapa yang dilacak... Mendadak kami saling melotot satu sama lain.... Selayaknya pikiran anak sekolahan yang menemukan jawaban benar saat buntu dalam ujian...
---
POV Hari
Malam ini sunyi meski gue masih bisa melihat keramaian kota Jakarta tengah malam ini. Gue sengaja meminta perawat untuk gak menutup jendela dengan korden. Melihat kelap-kelip malam Jakarta dari ketinggian cukup bisa menghibur gue akibat kekalutan tiada henti.
Gak ada lagi infus yang terpasang di lengan gue setelah barusan. Jadi gue bisa berdiri tepat di jendela, menghela nafas dekat-dekat sampai uap airnya membentuk embun.
Mobil-mobil di luar sana membuat remang malam menjadi indah. Di tambah lagi dengan titik-titik putih dari lampu gedung yang masih menyala. Gue mampu membayangkan orang-orang di dalamnya sedang lembur menghadapi laporan keuangan, manajemen, atau data apapun yang harus diselesaikan super cepat.
“Hhhh...” Nafas gue berhembus lagi ke jendela.
Barangkali gue gak akan pernah mencicipi hidup membosankan seperti itu sampai kapanpun.
Dani tidur lagi di kasur sebelah. Dia gak mau lagi mengobrol kepada gue setelah perdebatan yang memuncak. Itu sekitar satu jam lalu sepertinya.
Gue sedang gak begitu peduli dengan berlalunya waktu. Satu tahun menjalani kehidupan roller coaster ini gak ada manfaatnya. Selama itu, gue hanya mengalami banyak kehilangan. Kehidupan normal, teman, bahkan keluarga. Semuanya, Puri, Nyokap, Kenia, dan sekarang ditambah Dani, lenyap begitu aja.
Nanti mungkin Jamet juga akan menyingkir setelah tau gue keturunan alien. Kejadian dan fakta yang dia peroleh malam ini pasti cukup membuat trauma. Eda juga pasti ikut menghindar dari setelah dia terlibat lagi. Apalagi kali ini dia sendiri yang mengalami bahaya.
Rumah gue gak keurus juga. Udah sebulan kayanya gue gak pulang. Pasti banyak sarang tikus, cicak, dan laba-laba sekarang. Debu juga pasti menumpuk di mana-mana. Mungkin juga rumah gue udah disatroni maling lewat plafon yang udah bobrok.
Berulang kali gue memikirkan semua yang telah hilang. Gak ada habis-habisnya.
“Stop. Tolong berhenti.” Ada suara dari luar kamar.
Itu suara polisi yang berjaga di luar kamar gue. Gue gak bisa melihat apapun tentang apa yang terjadi di luar sana, tapi dia terdengar berdiskusi dengan orang lain. Sepertinya alot, karena ada nada tinggi dalam percakapannya.
“Kamu harus izinkan kami masuk. Atau saya harus berkoordinasi lagi supaya kamu menyingkir?”
Kalimat bernada ancaman itu diucapkan oleh seorang perempuan. Bahasa Indonesia yang kaku itu sangat familiar di telinga gue. Gak mungkin...
Pintu dibuka! Satu orang bersenjata masuk terlebih dulu. Dia menenteng senjata laras panjangnya dengan mocong menghadap ke bawah. Kemudian masuklah seorang yang memimpin mereka. Nicole. Sudah pasti.
“Selamat malam, Hari.” Sapanya dengan dingin.
Gue berdiri dalam kaget. Harus bagaimana sekarang? Gak ada persiapan sama sekali dalam insiden gak terduga ini.
Dani pun terbangun dan dia ikut kaget.
“Hari, apaan nih?” Kagetnya
Apa maunya Nicole malam ini? Mengeksekusi gue? Apa salahnya gue? Satu kali pun gue gak menggunakan kekuatan inhuman saat kejadian di rumah Jenggo, jadi harusnya gak ada masalah. Satu-satunya kekuatan yang gue gunakan saat di rumah Jenggo adalah keras kepala yang kelewat tinggi. Sama kerasnya waktu gue melempar lencana A.T.C.U. di depan dia saat di Surabaya.
“Tenang, nak. kami bukan ingin menangkap kamu. Kamu tepat janji tidak menggunakan kekuatan inhuman. Tapi... Dani.” Nicole mulai berucap.
Dani? Ada apa dengan Dani?
“Kamu bahkan belum memberi tahu Dani soal keluar dari A.T.C.U.?” Kata Nicole lagi.
“Itu murni salah saya. Bukan Dani.” Gue membela.
“Tapi, tetap, penggunaan icer oleh orang luar organisasi adalah ilegal.” Kata Nicole.
Oh Tuhan, ini konsekuensi yang harusnya gue pikirkan. Dani masih menggunakan icer milik A.T.C.U. dan itu membuat dia menjadi pengguna senjata ilegal. Apa hukumannya? Gue gak tau, tapi yang pasti gak ada yang baik atas hukuman itu.
“Nicole, please, itu salah saya...” Pinta gue.
“A-a. Tidak bicara.” Potong Nicole.
“Nicole..!”
Gue mencoba mendekat selangkah ke arah Nicole. Tapi respon orang bersenjata yang mengawalnya sama-sama cepat. Dia menghalangi jalan gue untuk berbicara lebih dekat, untuk membela Dani. Kondisi ini sekali lagi membuat gue gak berkutik.
Nicole akan berbuat apa kepada Dani? Gue harap bukan hal yang buruk, tapi sepertinya gak mungkin. Gak akan ada hal baik yang terjadi ketika Nicole telah mengambil keputusan. Apa yang bisa diharapkan sama orang yang gak punya empati kaya dia.
“Sekarang di mana orang-orang Asgard itu?” Tanya Nicole.
“Apa?” Gue bingung.
“Oh, kamu tidak tahu rupanya. Teman-temanmu orang Asgard itu ada di sini.” Jelas Nicole.
Yang benar? Pur sama Laras ada di rumah sakit ini?
---
POV Purnawarman
“Minggir! Minggir!” teriak gue.
Sekarang gue lari-larian lagi di koridor rumah sakit. Kali ini ada Laras dan Akmal yang ikutan lari di belakang gue. Sungguh familiar apa yang kami lakukan. Dulu, di rumah sakit lain, gue dan Laras lari-larian di koridor rumah sakit untuk mengejar Rosi.
Sekarang kami mengejar Nicole. Bukan, kami mengejar waktu. Gak ada yang tau kapan Nicole akan beraksi aneh-aneh kepada Hari atau pun Dani.
"MINGGIR!" Teriak gue.
Tepat di satu lorong yang bercabang, dekat lift, kami mendadak berpapasan dengan dua orang bersenjata laras panjang. Pakaian mereka layaknya tim S.W.A.T. yang ada di film-film polisi, lengkap dengan penutup muka dan helm. Pembeda mereka dengan personil polisi Amerika itu adalah simbol di pakaian mereka. Ada tulisan A.T.C.U. yang dicetak bordir di dada sebelah kiri.
Mereka ternyata udah sampai di lantai tepat kami menunggu Jenggo. Cepat sekali mereka tau posisi kami. Mungkin benar kalau kami berdua, atau salah satu dari kami, masih dilacak selama ini oleh mereka.
“Oh, gak di sini, please.” Gue bergumam.
Kami berhadapan jarak dekat. Lalu, mau gak mau, keributan terjadi di tengah-tengah warga sipil. Satu orang A.T.C.U. dengan sigap memegang lengan gue. Gue balas merespon dengan menariknya balik hingga tumpuan kakinya goyah.
Laras menyambut dengan kejutan dari arah belakang, memanfaatkan benturan lengannya ke arah wajah. Orang pertama jatuh terjengkang. Kemudian, orang kedua berhadapan dengan dengan gue. Ini harus dihadapi, mau gak mau.
Gue langsung mengambil kuda-kuda dengan kepalan tinju di depan dada.
“Calm down, calm down.” Katanya.
Dia tidak menodongkan senjatanya. Pasti karena kami berhadapan sangat dekat. Tapi, dia gak juga mengacungkan pisau belatinya. Sebaliknya, dia hanya berusaha membuat kami tenang. Polisi macam apa dia, pengecut begitu.
Gue melangkah, makin mendekat. Dia justru mundur. Selangkah lagi gue mendekat, dia mundur lagi. Kemudian, dia malah menyambungkan gelombang radi dari walky talky yang terikat di bahu kirinya untuk bicara kepada seseorang.
“They are here, two Asg...” lapornya.
BUK! Satu tinju gue daratkan ke arah batang hidung polisi itu, yang rupanya cukup untuk membuat dia terkapar dan pingsan. Dasar lemah.
Kami lanjut berlari lagi karena masih terburu-buru untuk sampai ke kamar Hari. Lift bukan lagi pilihan karena bisa aja sewaktu-waktu kami dijebak di dalam sana.
“Tadi kita udah di tangga darurat ya!” Laras kesal.
“Kan gak tau bakal ketemu orang A.T.C.U.” Gue membela diri.
“Ya kan kalo..”
“SSSTT!!” Gue memotong.
Gak ada waktu untuk debat kusir. Kami harus menghemat suara supaya gak ada energi berlebih yang terbuang sia-sia. Sementara itu, Akmal masih diam-diam gelisah dalam urutan pelari paling belakang.
“Kalian bisa dengar langkah kaki A.T.C.U.?” Tanya Akmal, mendadak.
“Kalo fokus, bisa banget.” Jawab Laras.
“Berapa orang yang dateng ke sini?” Tanya Akmal lagi.
Gue masih terus berlari di urutan paling depan, karena gue alien. Mungkin di belakang sana Akmal udah capek, tapi dia gak boleh mengeluh. Dia kan pasukan polisi khusus, jadi fisiknya harus kuat. Gak boleh kaya orang-orang A.T.C.U. tadi yang sekali pukul langsung tumbang.
Kami akhirnya sampai di lantai tempat Hari dan Dani dirawat inap. Sebagai orang terdepan, pintu tangga darurat gue yang buka. Kemudian, disusul Laras dan Akmal berurutan keluar dari tangga darurat.
“Kalau sama Nicole, jadi enam orang.” Sahut Laras.
"Masuk akal." Kata Akmal.
“Terus ke mana yang tiga orang lagi?” Gue nyambung.
Entah butuh berapa percabangan di lorong ini untuk sampai di ruang rawat inapnya Hari dan Dani. Tapi, secepat kilat, akhirnya, yes, kami melihat dua orang bersenjata lainnya dari A,T.C.U. berjaga di depan salah satu ruangan rawat.
Ini bagus sekaligus buruk, Bagusnya, kami menemukan ruang rawatnya Hari. Buruknya, pasti Nicole udah ada dalam ruangan sana. Bayangan buruk tentang hal apapun yang bisa dilakukan Nicole makin terlintas di kepala gue. Sial, sial, sial!
“Penyergapan biasanya gak sesedikit ini...” Kata Akmal.
“Maksudnya?” Tanya Laras.
“Gue gak peduli, selametin Hari dulu!!” Gue berlari duluan.
Gue kembali berhadapan dengan dua orang dari A.T.C.U. bersenjata. Tetap juga, satu kali pukulan cukup untuk menumbangkan masing-masing dari mereka. Cih, reputasi tinggi pasukan bersenjata macam apanya yang dimiliki organisasi besar, tapi cepat tumbang karena sekali pukul. Pantas mereka gak kompeten melindungi apapun.
Gue melangkah masuk ke dalam ruangan. Di sana berdiri Nicole, satu orang bersenjata lagi, bersama dengan Hari. Sedangkan Dani terduduk di atas kasur rawatnya.
Keheningan sesaat terjadi waktu gue masuk, namun akhirnya berhenti saat penjaga Nicole mencoba menghalangi langkah gue. Gue kembali mengayunkan satu tinju, tapi justru dihentikan oleh teriakan dari Hari dan Dani, bersama-sama.
“Pur!” Suara Hari.
“Stoop!” Suara Dani.
Kenapa gue harus berhenti?
Akmal dan Laras masuk ke ruangan ini belakangan. Laras menatap gue sama bingungnya. Sedangkan Akmal memegang satu senjata milik orang A.T.C.U. yang tumbang di luar, lalu dia memberikannya kepada gue. Apa maksudnya?
“Gak ada pelurunya.” Tiga kata menyusul keluar dari mulut Akmal.
Alis gue berkerut.
“Te-rus?” Tanya gue lagi.
"Nothing." Sahut Nicole.
TAMAT