Chapter 5
Diary Sang Mawar Hitam
POV Kamila
7 Tahun Yang Lalu
Segalanya dimulai dari sini. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan yang kujalani, berawal dari sini. Jalan hidupku yang semula biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang, berubah menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan torehan tinta hitam. Jalan yang tak pernah terbayangkan sama sekali olehku sebelumnya. Awal perjalanan yang telah membuatku layaknya setangkai mawar hitam.
*****
Kamila
Ratna
“Dek, Mas pulang dulu ya,” ucapnya.
“Iya Mas, hati-hati ya,” jawabku tersenyum.
Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Hal yang dulu selalu menghadirkan senyum di bibirku. Namun akhir-akhir ini senyum itu terasa getir untukku. Bukan karena aku sudah tak menyukai saat bibirnya mengecupku, hanya saja peristiwa beberapa bulan yang lalu telah merubah semuanya.
Kupandangi kekasihku yang mulai beranjak menjauh. Jam 11 malam, sudah cukup larut memang untuk ukuran jam malam di kostanku. Seharusnya gerbang sudah digembok dari jam 10 tadi, tapi karena aku sudah ijin pada Pak Risman maka dia memberikan toleransi maksimal sampai jam 12 malam.
Aku dan Mas Ihsan tadi memang pergi ke sebuah rumah makan untuk merayakan tepat setahun kami berpacaran. Bukan perayaan yang besar karena hanya mengundang teman-teman sekontrakan Mas Ihsan bersama dengan pacar-pacar mereka. Mas Budi dengan Devi, Mas Dimas dengan Ayunda, dan Mas Sakti dengan Mbak Melly.
Aku sudah mengganti pakaianku dengan pakaian tidur saat berbaring di kasurku, menunggu kabar dari pacarku. Aku teringat lagi acara makan malam kami tadi, saat tingkah kocak Mas Sakti dan Mas Budi sukses mengocok perut kami semua. Aku sampai senyum-senyum sendiri mengingat lelucon-lelucon yang keluar dari mereka berdua.
Suara getaran dari ponsel di meja riasku terdengar, membuatku beranjak untuk melihat pesan di layar kotak itu.
‘
Dek, Mas udah sampai di kontrakan ini,’ BBM dari Mas Ihsan.
‘Ya udah Mas, cuci muka dulu, baru istirahat,’ balasku.
‘
Iya sayang. Met istirahat ya, love you :*’
‘
Love you too, honey,’ balasku lagi.
Lagi-lagi aku tersenyum getir. Sekali lagi, bukannya aku tak suka dengan ucapan sayang dari Mas Ihsan, namun peristiwa beberapa bulan lalu yang membuatku seperti ini. Peristiwa yang membuatku mengkhianati kepercayaan dari Mas Ihsan, mengkhianati komitmenku dengan Mas Ihsan. Dan aku mengkhianatinya bukan dengan orang lain, melainkan dengan sahabatnya sendiri, teman sekontrakannya, Mas Sakti.
*****
Aku sudah mengenal Mas Sakti sejak awal jadian dengan Mas Ihsan. Mereka tinggal satu kontrakan dengan Mas Budi dan Mas Dimas. Rumah yang mereka kontrak ini termasuk mewah untuk ukuran mahasiswa seperti kami, memiliki 4 buah kamar tidur, 2 kamar mandi, dapur, ruang tamu, ruang keluarga, garasi, dan juga halaman yang cukup luas. Harganya? Tentu saja mahal.
“Mas, kontrakanmu ini bagus banget, berapa pertahunnya?” tanyaku pada Mas Ihsan saat pertama kami diajak kesana.
“Tiga puluh juta setahun dek,” jawabnya.
“Hah, 30 juta? Mahal amat Mas?” tanyaku terkejut.
“Iya mahal banget. Kita sempat keberatan sih awalnya, tapi si Sakti ngotot mau ambil rumah ini, dia sampai mau bayar 20 juta sendiri, sisanya kita bagi bertiga,” jawab Mas Ihsan menerangkan.
“Mas Sakti sendiri 20 juta? Loyal banget Mas?” tanyaku, penasaran.
“Yah namanya juga anak orang kaya dek. Orang tuanya kan pengusaha sukses, jadi buat dia uang sih bukan masalah besar,” jawab Mas Ihsan.
Dari situ aku mulai penasaran dengan Mas Sakti. Secara fisik, dia termasuk
good looking. Wajahnya tampan, perawakannya tegap. Meskipun menurut Mas Ihsan dia termasuk
badboy yang doyan gonta ganti pasangan, tapi Mas Sakti ini memang teman yang enak untuk diajak ngobrol. Sedari awal kenal dia tak canggung untuk memulai obrolan, tak pernah kehabisan bahan dan selalu ceplas ceplos gaya bicaranya.
Semakin lama mengenalnya muncul sedikit ketertarikanku padanya. Namun semua itu kutepis karena aku sudah memiliki Mas Ihsan yang juga baik kepadaku, dan menyayangiku dengan tulus. Aku menganggap Mas Sakti hanya sebagai teman yang baik yang selalu siap mendengarkan unek-unek kami, dan kadang siap menjadi badut untuk menghibur teman-temannya yang sedang bersedih.
Sabtu pagi, aku main ke kontrakan mereka seperti yang sudah sering kulakukan. Aku pergi kesana tanpa memberi tahu Mas Ihsan terlebih dahulu. Tapi ternyata begitu aku sampai, hanya ada Mas Sakti saja di rumah itu, Mas Ihsan baru saja pergi untuk mengerjakan tugas kelompok. Aku menelpon Mas Ihsan dan dia bilang baru akan pulang paling cepat 2 jam lagi. Karena aku memang sedang ada perlu dengan Mas Ihsan maka kuputuskan untuk menunggunya saja.
Mas Sakti sendiri sedang sibuk main PES di ruang tengah. Aku pun menghampirinya karena tak enak juga menunggu sendirian di kamar Mas Ihsan. Akhirnya kami pun ngobrol disela-sela dia masih main PES. Obrolan yang biasa saja sebenarnya, tapi gaya bicaranya yang menurutku asyik dan juga diselingi dengan guyonan-guyonan segar memuatku begitu antusias dan betah untuk berlama-lama ngobrol dengannya. Mataku pun tak lepas dari Mas Sakti yang masih saja cuek namun tetap meladeni obrolanku.
Waktu 2 jam tak terasa hingga akhirnya Mas Ihsan pulang. Setelah menyelesaikan urusanku dengan Mas Ihsan aku pun pamit pulang. Di kost, entah kenapa aku malah kepikiran Mas Sakti. Rasanya ada sesuatu dari Mas Sakti yang menyedot perhatianku. Padahal sebenarnya kami sudah sering ketemu, orangnya memang asyik dan nyambung kalau ngobrol. Tapi tadi adalah pertama kalinya kami ngobrol berdua seperti itu.
Sampai beberapa hari kemudian aku masih kepikiran dengan Mas Sakti, kadang malah aku tersenyum sendiri dibuatnya. Entahlah, tapi ini rasanya sama seperti saat pertama aku tertarik dan mulai menyukai Mas Ihsan dulu. Tertarik? Apakah aku memang tertarik dengan Mas Sakti? Yah, mungkin saja. Tapi menyukai dalam artian yang lebih jauh? Ah nggak lah, nggak mungkin.
Seminggu kemudian aku pun pergi lagi ke kontrakan mereka, dan lagi-lagi hanya ada Mas Sakti di rumah itu. Seperti biasa Mas Sakti masih sibuk dengan gamenya.
“Loh Mila, ada apa Mil?” tanya Mas Sakti setelah sesaat tadi menoleh untuk melihat siapa yang datang, lalu kembali fokus pada gamenya.
“Hehe, nyari Mas Ihsan Mas, dimana ya?” jawabku, sekaligus bertanya.
“Lha kan dia hari ini ada kuliah pengganti sampai entar siang, emang kamu nggak dikasih tahu?” tanyanya, dengan pandangan masih fokus ke layar monitor.
“Eh, masa sih?” aku pun buru-buru membuka ponselku.
Astaga, iya benar. Tadi padi Mas Ihsan sudah memberitahuku kalau dia ada kuliah pengganti hari ini setelah kemarin dosennya tidak masuk. Kok aku bisa nggak nyadar ya? Maksudku, aku sudah membacanya sekilas tadi pagi, tapi kenapa aku tak memperhatikannya?
“Iya kan?” tanya Mas Sakti.
“Eh iya Mas, akunya yang kelupaan, hehe,” jawabku tersipu.
“Hadeeh gimana kamu ini,” ujar Mas Sakti, yang kemudian mematikan gamenya lalu menghadap ke arahku.
“Lho, udah ngegamenya Mas?” tanyaku.
“Udah ah, udah bosen. Lagian ada cewek cantik gini masa mau dianggurin, haha,” ucap Mas Sakti menggodaku.
“Ih Mas Sakti bisa aja,” jawabku, semakin tersipu.
“Mas Sakti kok ngegame mulu sih kerjaannya? Nggak kuliah?” tanyaku.
“Nggak Mil, semester ini aku nyantai kok, cuma ambil beberapa mata kuliah aja. Jadinya ya kayak gini, anak-anak pergi ke kampus, aku yang jadi penunggu kontrakan, haha,” jawabnya.
“Hoo gitu. Enak ya yang mau lulus. Eh tapi apa nggak lebih baik waktunya dipakai buat nyari bahan skripsi Mas?” tanyaku lagi.
“Haha, bahan buat skripsiku juga udah ada kok Mil, udah lengkap malah,” jawab Mas Sakti.
“Loh kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Yaa kan aku ngajuin tema skripsi yang nggak jauh-jauh dari bidang usaha orang tuaku. Dosen udah setuju, bahan-bahan udah disiapin sama anak buahnya papaku, kalau aku males ya tinggal suruh mereka sekalian ngetikin, beres deh,” jawabnya.
“Ih curang banget kayak gitu mainnya,” sahutku.
“Haha, kalau bisa dibikin enak, ngapain dibikin susah?” tanggapan Mas Sakti yang membuatku ikut tertawa.
“Oh iya, kata Mas Ihsan, Mas Sakti yang nanggung sebagian besar biaya kontrakan ini ya Mas? Kok bisa gitu?” tanyaku.
“Iya Mil, soalnya aku udah cocok banget sama rumah ini. Aku juga udah cocok sama mereka bertiga, jadi ya aku maunya tetep tinggal disini bareng mereka. Awalnya sih mereka nolak habis-habisan ideku itu, tapi ya setelah kupaksa mereka mau-mau aja,” jawab Mas Sakti.
“Hoo gitu,” sahutku manggut-manggut.
“Iya, dan mungkin karena ngerasa nggak enak akhirnya mereka mutusin kalau mereka yang bakal bayar listrik, air dan lain-lainnya, aku nggak boleh ngeluarin duit lagi. Padahal aku sih santai-santai aja lho, aku nggak mau itung-itungan kayak gitu, tapi merekanya maksa ya udah aku ikut aja, daripada mereka kabur kan, haha,” lanjut Mas Sakti.
Obrolan kami pun semakin mengalir. Namun kemudian dia mulai banyak memuji dan rasanya, menggombaliku. Anehnya, aku justru merasa senang dan tersanjung dengan semua itu. Bukankah seharusnya aku marah? Aku ini kan pacar sahabatnya, dan dia malah menggombaliku. Entahlah, aku sendiri juga bingung.
Setelah beberapa jam, dengan muka yang mungkin sudah memerah akibat pujian dan gombalan dari Mas Sakti aku pun pamit pulang tanpa menunggu Mas Ihsan datang. Mas Sakti mengantarku hingga ke pintu, dan saat aku hendak melangkah tiba-tiba tanganku dipegang olehnya. Aku yang terkejut memalingkan muka, namun yang kudapatkan justru bibirnya mengecup sesaat pipiku.
Aku hanya terdiam saja karena kaget, tak menyangka Mas Sakti melakukan itu. Tangannya pun tak melepaskan genggamannya di tanganku, bahkan sedikit meremasnya. Dia tersenyum menatapku, dan tanpa sadar aku membalas senyumannya itu. Beberapa saat kami terdiam dalam posisi itu, sampai akhirnya dia melepaskan tanganku.
“Udah sana, keburu ujan, tuh udah mendung,” kata Mas Sakti.
Aku tak menjawabnya, dan langsung saja beranjak meninggalkan Mas Sakti, meninggalkan rumah itu. Sesampainya di kost aku benar-benar semakin kepikiran dengan Mas Sakti. Rasa ketertarikan yang ada kurasakan semakin bertambah. Mungkin bukan hanya tertarik saja, tapi entahlah, aku tak bisa, hmm belum bisa memastikannya.
Beberapa hari kemudian aku datang lagi ke rumah itu. Kali ini aku sudah tahu kalau Mas Ihsan sedang pulang kampung karena ada hajatan saudaranya. Dari Mas Sakti aku tahu kalau Mas Budi pergi dan menginap di salah satu pantai di Gunung Kidul bersama pacarnya, katanya sekalian
hunting foto. Sedangkan Mas Dimas juga pergi entah kemana. Tahu seperti itu harusnya aku tak datang kesini, tapi entah kenapa waktu Mas Sakti memintaku untuk datang langsung aku iyakan.
Sesampainya aku di rumah itu, memang benar-benar sepi, hanya ada Mas Sakti seorang. Awalnya kami hanya ngobrol biasa di ruang tengah. Maksudku, selain lelucon-lelucon yang bisa membuatku tertawa lepas, gombalan dan rayuan Mas Sakti pun keluar lagi. Dan lagi-lagi, aku menyukainya. Rasanya nyaman aja kalau sama dia. Jika selama ini aku nyaman dengan sifat Mas Ihsan yang cenderung lebih pendiam, kali ini aku pun nyaman dengan Mas Sakti yang lebih ceplas-ceplos.
Obrolan kami masih terus berjalan, membuatku semakin nyaman dan melambung dengan semua rayuan gombalannya, sampai akhirnya Mas Sakti meraih dan menggandeng tanganku menuju ke kamarnya. Aku tahu aku bisa menarik kembali tanganku, aku bisa menolaknya, sangat bisa, tetapi tak kulakukan? Kenapa? Jangan tanya, aku sendiri pun tak tahu kenapa, yang jelas aku hanya diam dan mengikuti langkahnya.
Sampai di kamarnya, tanpa melepas tanganku dia menutup pintu tanpa menguncinya, mungkin karena penghuni lain memang benar-benar tidak ada disini. Melihat itu pun aku hanya diam saja. Kemudian dia menarikku dan mengajak duduk di ranjangnya, bersandar di tembok. Kami duduk bersebelahan, tangan kirinya masih menggenggam tangan kananku. Bukan genggaman yang erat, namun aku sendiri rasanya enggan untuk melepaskanya. Yang kurasakan adalah tenang dan nyaman, tidak ada takut atau khawatir sedikit pun.
Kami kemudian melanjutkan obrolan, yang kurasakan semakin banyak kata-kata manis yang keluar dari bibir Mas Sakti. Hingga entah bagaimana awalnya, yang kuingat hanyalah saat bibir kami saling bersentuhan. Lembut sekali, dan hangat. Ini adalah ciuman bibir pertamaku. Ya, aku bahkan belum pernah melakukannya dengan Mas Ihsan setelah beberapa bulan pacaran, paling jauh hanyalah sebatas dia mencium keningku.
Tapi kini sahabatnya lah yang telah mengambil kesempatan pertama itu. Mas Sakti lah yang telah memerawani bibirku. Aku yang terbuai hanya bisa pasrah dan bahkan membalasnya. Aku yang sama sekali belum pernah melakukan ini hanya mengandalkan naluriku saja saat mengikuti permainan Mas Sakti yang mulai memasukkan lidahnya untuk mencari-cari lidahku.
Kupejamkan mataku menikmati percumbuan pertamaku ini. Aku benar-benar melayang dibuatnya. Tak ku ingat lagi siapa aku dan siapa pria yang mencumbuku ini. Tak ku ingat lagi kekasihku yang saat ini sedang berada di kampung halamannya. Yang kurasakan sekarang ini hanyalah perasaan senang, nyaman, dan juga nikmat. Belum pernah aku dibuai seperti ini sebelumnya. Entah akunya yang kelewat polos atau Mas Saktinya yang memang jago, tapi kurasakan setiap sentuhannya begitu membuatku melayang.
Benar-benar tak kuperhatikan bagaimana keadaanku saat itu, hingga aku sadar bahwa kami berdua sudah tak memakai apa-apa lagi. Semua pakaianku termasuk kerudungku sudah jatuk ke lantai, begitu pula pakaian Mas Sakti. Sempat aku bimbang, haruskah kulanjutkan? Atau kuhentikan sampai disini? Aku tahu aku punya kesempatan untuk menghentikan semua ini sebelum terlambat.
Tapi saat perlahan kedua tangannya mendorong pundakku hingga rebah di kasurnya, aku menurut saja. Seketika kebimbanganku hilang saat bibirnya kembali menyusuri kulit putihku yang belum pernah tersentuh oleh siapapun. Cumbuannya di leher, pundak dan dadaku benar-benar membuatku melayang lagi, dan tak memberi kesempatan kepada logikaku untuk menolaknya.
Aku pasrah, terhanyut oleh setiap permainan yang dia bawa. Aku merasakan bagaimana gelinya lubang yang selama ini hanya aku pakai untuk buang air kini dia cumbui dengan lembut dan mesranya. Mataku masih terpejam, aku terlalu malu untuk melihatnya, untuk memberitahunya bahwa aku pun menikmatinya. Tapi aku yakin dia sudah mengetahui itu semua dari kedua tonjolan kecil di dadaku yang sudah mengeras, dan juga lubang kencingku yang sudah sangat basah.
Benar-benar hari ini menjadi serba pertama buatku. Pertama kali berduaan dengan seorang pria di dalam sebuah kamar yang tertutup, karena sebelumnya selama dengan Mas Ihsan, kalau kami sedang berada di kamarnya pintunya selalu terbuka. Ini juga pertama kalinya bibirku menerima sentuhan hangat dari bibir seorang pria. Pertama kalinya aku tanpa busana sehelai pun di depan seorang pria. Pertama kalinya setiap bagian dari tubuhku disentuh oleh tangan dan lidah seorang pria. Pertama kalinya area-area paling pribadiku dicumbui oleh seorang pria, dan aku dengan pasrah menikmatinya.
Sampai tak terasa badan Mas Sakti sudah berada di atasku, pinggulnya sudah berada di antara kedua pahaku yang telah terbuka lebar. Dapat kurasakan sesuatu yang hangat dan keras sedang menggesek-gesek pelan bibir kewanitaanku. Aku hanya bisa menggigit bibirku sendiri menahan geli yang berasal dari bawah sana. Aku kemudian membuka mataku karena merasa Mas Sakti sedang menatapku.
Pandangan kami bertemu. Tatapannya begitu tajam, namun penuh keteduhan. Dia menurunkan kepalanya, semakin lama semakin mendekati wajahku. Dapat kurasakan tarikan dan hembusan nafasnya yang sedikit berat, sama denganku. Tubuh kami pun rasanya semakin menempel, dapat kurasakan dada bidangnya mulai menekan kedua bukit payudaraku yang tak terlalu besar ini.
“Boleh?”
Tanyanya lirih saat wajah kami sudah sedemikian dekatnya. Tapi apalah arti jawabanku jika keadaan kami sudah seperti ini. Tanpa bertanya pun harusnya dia sudah tahu apa jawabanku. Aku terlalu malu hingga tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku, hanya mataku yang kemudian terpejam kembal menantikan apa yang akan dia lakukan kepadaku. Dan saat itulah, bersamaan dengan bibirnya yang ditempelkan ke bibirku, mahkota yang kujaga selama 20 tahun, yang seharusnya kuberikan pada suamiku kelak, akhirnya diambil oleh seorang pria, yang tak lain adalah sahabat dari kekasihku sendiri.
Rasanya benar-benar sakit saat benda keras itu masuk merobek selaput daraku. Aku tak mengaduh mengeluarkan suara karena bibirku erat dibekap oleh bibirnya. Hanya tanganku kemudian merangkul tubuhnya dengan begitu erat, ingin memberitahu kepadanya betapa sakit yang kurasakan di bawah sana. Dan dia sepertinya memahami itu. Dia memberikanku kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini.
Perlakuannya yang begitu lembut kepadaku akhirnya membuatku mulai bisa menikmati permainan itu. Aku hanya mengandalkan naluri betinaku saja, selebihnya aku ikuti semua apa yang dilakukan oleh Mas Sakti. Masih terasa sakit di bawah sana, tapi aku juga sudah mulai bisa merasakan kenikmatan-kenikmatan dari apa yang kami lakukan ini. Tak berselang lama aku pun merasakan sensasi yang luar biasa, dari pangkal paha menyebar ke seluruh tubuh hingga tubuhku serasa mengejang, dan sepertinya ada cairan yang keluar dari liang kewanitaanku.
Mas Sakti sempat memberiku istirahat sejenak sebelum dia melanjutkannya lagi. Entah berapa lama kami berpacu dalam birahi, hingga aku dibuat lemas olehnya. Mas Sakti yang begitu dominan terhadapku akhirnya mengeluarkan spermanya di perutku. Dia beristirahat sejenak sebelum akhirnya mengambil tissue dan membersihkan bagian tubuhku yang terkena semburannya, juga bercak darah di kemaluanku. Setelah itu dia memelukku erat.
Kepalaku kubenamkan di dadanya, tangisku pecah. Tak ada satupun kata yang terucap dari bibir kami. Tapi dia semakin erat memelukku. Tangannya mengusap lembut punggungku, bibirnya beberapa kali mengecup kepalaku. Hingga kurasakan letih dan akhirnya terlelap dalam dekapannya.
Saat terbangun, kulihat Mas Sakti masih terjaga dan memelukku, meskipun tak seerat sebelumnya. Tatapanku disambut dengan sebuah kecupan di keningku, lalu turun hingga ke bibirku, kami berciuman lagi. Namun hanya sebatas itu, kami tak melanjutkannya lagi karena aku masih merasakan sakit di liang senggamaku. Mas Sakti pun mengerti keadaanku dan tak memaksaku, meski ku tahu dia masih berhasrat untuk melakukannya lagi.
*****
Setelah peristiwa itu, aku masih beberapa kali ‘mengunjungi’ Mas Sakti di kontrakannya untuk mengulangi lagi permainan terlarang kami. Tentu saja kami harus curi-curi waktu, memastikan tidak ada orang lagi di kontrakannya, dan juga memastikan kalau kami punya cukup waktu untuk dihabiskan berdua.
Kami selalu melakukan hal itu di kontrakan Mas Sakti, tak pernah dia mengajakku bertemu atau janjian di luar. Mungkin ini adalah cara dia untuk menyembunyikan hubungan terlarang kami ini. Memang resikonya akan lebih besar jika kami main di luar, bisa saja kami tanpa sengaja bertemu dengan orang-orang yang mengenal kami, dan tentu akan menjadi tidak baik jika sudah seperti itu.
Sebenarnya selalu muncul rasa bersalahku pada Mas Ihsan dan Mbak Melly setelah kami selesai melakukannya, namun entah kenapa saat sedang bersama dengan Mas Sakti semua rasa bersalah itu terlupakan begitu saja, dan kami masih terus saja melakukannya. Aku bahkan kadang lebih merindukan sentuhannya ketimbang pacarku sendiri.
Aku mulai menikmati duniaku yang baru ini. Dunia yang belum pernah kumasuki sebelumnya. Mas Sakti memperkenalkan semua ini dengan cara yang sangat lembut. Dia bahkan memperlakukanku layaknya seorang pacar, seorang yang benar-benar dia sayangi, bukan sekedar selingkuhan.
Selingkuh? Ya, aku sadar sudah berselingkuh dari kekasihku. Rasa bersalah pastinya ada, tapi aku memilih untuk menikmatinya saja. Perasaanku pada Mas Ihsan masih sama, aku masih sangat menyayanginya. Tapi disaat yang bersamaan, aku telah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepada orang lain, dan aku rasa aku mulai menyayangi Mas Sakti. Entah sampai kapan seperti ini, aku hanya ingin menjalaninya saja.
*****
Fiuh, akhirnya selesai juga kegiatan hari ini. Seharian ini padat sekali, mempersiapkan ini itu untuk keperluan ospek. Yah, ini memang sudah memasuki libur semester genap. Kebanyakan teman-temanku pulang ke kampung halamannya, hanya beberapa yang masih tinggal disini karena sudah punya rencana kegiatan mereka masing-masing.
Aku sendiri memutuskan untuk tidak pulang kampung di liburan kali ini. Aku beralasan kepada orang tuaku kalau aku ikut menjadi panitia ospek untuk tahun ajaran baru. Namun bukan itu alasan sebenarnya kenapa aku tak pulang kampung. Aku memang tetap ikut dalam kepanitiaan ospek di kampusku, namun sebenarnya aku masih bisa pulang kampung dulu untuk sekitar sebulan.
Aku bertahan disini untuk melepas kepergian Mas Ihsan pacarku. Ya, tahun ini dia sudah lulus, dan kebetulan sudah langsung diterima kerja di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang pelayanan jasa listrik untuk masyarakat. Namun sayangnya Mas Ihsan harus ditempatkan di provinsi paling barat di negeri ini. Demi sebuah peluang karir yang menjanjikan untuk masa depan aku pun dengan ikhlas melepas kepergiannya.
Sama dengan Mas Ihsan, ketiga teman kontrakannya pun sudah lulus dan langsung mendapat pekerjaan. Mas Dimas diterima kerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan, sedangkan Mas Sakti kembali ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan orang tuanya. Hanya Mas Budi saja yang bertahan di kota ini karena dia diterima kerja di sebuah bank milik negara yang dan ditempatkan di kantor cabang yang bersebelahan dengan kampus kami. Tapi karena ketiga temannya harus pindah keluar dari Jogja maka Mas Budi pun lebih memilih untuk kost ketimbang meneruskan kontrakan mereka, karena biayanya yang terlalu mahal.
Sebelum pergi ke tempat kerja masing-masing mereka mengadakan sebuah pesta perpisahan di rumah makan yang sebenarnya terlalu elit untuk mahasiswa seperti kami. Namun sekali lagi, dengan adanya Mas Sakti yang menjadi bossnya, bukan persoalan besar bagi mereka. Dan tentu saja pada acara perpisahan ini mereka membawa pacarnya masing-masing.
Selain acara perpisahan itu, Mas Sakti rupanya sudah memiliki rencana tersendiri, yaitu membuat ‘pesta perpisahan khusus’, hanya beberapa hari setelah Mas Ihsan dan Mas Dimas berangkat ke tempat kerjanya, serta Mas Budi yang berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan terlebih dahulu.
Semula aku pikir, dia akan mengajakku untuk menghabiskan waktu berdua saja, menikmati kebersamaan yang mungkin adalah terakhir kalinya sebelum dia kembali ke kotanya. Namun betapa terkejutnya aku bahwa ternyata bukan hanya aku saja yang diundang ke pestanya itu. Ada dua orang wanita lain yang ternyata sudah menunggu di rumah kontrakan itu, yang tak lain adalah Ayunda, pacar Mas Dimas, dan juga Devi, pacar Mas Budi.
Kami bertiga saling berpandangan heran dan menduga-duga, sedangkan Mas Sakti malah tertawa-tawa melihat kami kebingungan. Akhirnya baru aku tahu, bahwa selain kepadaku yang pacarnya Mas Ihsan, Mas Sakti juga melakukan hal yang sama kepada Ayunda dan Devi. Itu artinya, pacar dari ketiga teman sekontrakannya sudah pernah dia tiduri semua. Kami hanya geleng-geleng saja mendengarnya,
what a lucky bastard.
Aku sebenarnya sempat marah mengetahui kenyataan ini. Kenyataan bahwa ternyata aku bukanlah satu-satunya, masih ada yang lainnya juga. Marah karena merasa dibohongi, marah karena merasa, cemburu. Kulihat ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh Ayunda dan Devi. Tapi aku sadar, Mas Sakti tidak membohongi kami, dia tak pernah mengatakan padaku bahwa akulah satu-satunya, mungkin kepada Ayunda dan Devi juga seperti itu. Dan juga, siapalah kami, bukan pacarnya yang berhak untuk cemburu.
Akhirnya malam itu kami lewati dengan penuh gairah. Ada rasa canggung awalnya karena harus melakukan hubungan badan seperti ini dan dilihat orang lain, juga menyaksikan orang lain berhubungan badan, namun akhirnya kami lebih memilih untuk menikmatinya. Jadilah malam itu kami bertiga menjadi dayang-dayang yang siap memuaskan Mas Sakti. Tak sampai disitu karena keesokan harinya kami diajak pergi ke Kaliurang dan menginap di salah satu villa disana. Entah apa yang membuat Mas Sakti begitu perkasa hingga mampu mengimbangi kami bertiga.
Setelah ‘pesta’ itu Ayunda dan Devi pulang kembali ke kost mereka masing-masing, sedangkan aku diajak Mas Sakti ke kontrakannya. Disana kami mengulanginya lagi. Seharian tubuhku digarap oleh Mas Sakti sampai kami benar-benar kehabisan tenaga. Saat itu Mas Sakti mengatakan kalau dia memiliki perasaan lebih kepadaku, tapi aku tak terlalu menanggapinya karena selain aku masih resmi menjadi pacar Mas Ihsan, aku juga masih agak marah kepadanya, hmm cemburu lebih tepatnya.
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan Mas Sakti karena keesokan harinya dia berangkat ke Ibukota. Tidak ada kata-kata perpisahan lagi darinya, dan aku pun memang tak terlalu mengharakannya. Namun satu hal yang aku tahu, aku pasti akan merindukan kebersamaanku dengan Mas Sakti, merindukan saat-saat indah kami memadu kasih dan memacu birahi, yang entah apa bisa terulang lagi atau tidak.
*****
Kini hari-hariku lebih banyak kuhabiskan di kostan, sambil menunggu teman-teman panitia ospek kampusku berkumpul. Tidak ada yang spesial, bahkan cenderung membosankan menurutku. Tapi kalau mau pulang kampung sudah nanggung, hanya tinggal seminggu lagi untuk rapat perdana. Untungnya aku tidak sendiri di kostan, masih ada Ratna yang katanya juga ikut jadi panitia ospek di fakultasnya, sedangkan teman-teman kami yang lain pulang kampung.
Ratna memang cukup aktif dalam kegiatan di kampusnya. Dia sering ikut acara-acara yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, karena dia bilang bisa menambah pengalaman dan kenalan, jadi banyak manfaat untuk kedepannya. Yah mungkin ada benarnya juga sih, semakin banyak kenalan bisa jadi semakin banyak kesempatan kita untuk sukses, karena kata orang, yang membuat kita sukses bukanlah seberapa banyak orang yang kita kenal, tapi seberapa banyak orang yang mengenal kita.
Aku mengenal Ratna sejak pertama kali masuk kuliah. Saat itu kami bertemu di kostan yang sekarang kami tinggali. Dia juga sama seperti aku, sama-sama mahasiswa baru dan sedang mencari tempat kost. Kebetulan sekali waktu itu di tempat Pak Risman tinggal ada dua kamar yang kosong dan bersebelahan, kamar yang akhirnya kami tempati sampai sekarang.
Perawakan Ratna ini hampir sama denganku, baik itu tinggi maupun berat badan kami. Kami berdua juga sama-sama berkerudung dalam keseharian. Tutur katanya begitu sopan dan lembut, yang membuatku senang dan nyaman berteman dengannya. Tapi jangan tertipu dengan kelembutanya, karena meski berpenampilan seperti itu, Ratna ternyata jago beladiri, lebih tepatnya taekwondo.
Dia memang sudah sejak dini diajarkan taekwondo oleh orang tuanya. Dan sekarang, di kampus dia juga aktif dalam UKM taekwondo, dan katanya menjadi salah satu pelatih juga. Kupikir dia sudah tinggi tingkatannya, tapi aku tak tahu karena memang tak paham dengan hal-hal seputar bela diri. Yang jelas dia pernah cerita padaku pernah menghajar 2 orang pria tinggi besar yang mencoba untuk merampoknya. Jika tak mengenalnya seperti ini, aku tidak akan percaya Ratna dengan tubuh seperti itu bisa melawan dia orang pria tinggi besar sekaligus.
Selain itu dia juga cukup berprestasi di bidang akademik. Sempat kulihat transkrip nilanya, hampir semua bertuliskan huruf A, hanya ada satu mata kuliah yang mendapatkan nilai B, saat kutanya kenapa bisa dapat B, dia menjawab, entah benar atau bercanda, kalau menurut dosennya di mata kuliah itu, nilai A hanya milik Tuhan, jadi nilai paling tinggi yang pernah diberikan oleh dosen itu kepada mahasiswanya yang paling pintar sekalipun hanyalah B. Aku hanya tergelak saja mendengar jawaban dari Ratna itu.
Mungkin karena memang sejak awal kuliah dan tinggal di kost kami sudah merasa ada kecocokan sehingga kami bersahabat baik hingga sekarang. Aku tentu saja senang memiliki sahabat yang jago taekwondo seperti dirinya, sehingga bisa lebih merasa aman dan terlindungi. Namun tak pernah kusangka, ternyata sahabatku ini menjadi salah satu yang membawaku ke dalam lubang hitam yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sore ini aku pulang diantarkan oleh temanku karena tadi waktu berangkat aku dibonceng oleh Ratna. Sebentar saja aku sudah sampai di kost karena jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kampus. Kulihat sudah ada motor Ratna, berarti dia sudah pulang. Aku segera bergegas menuju ke kamarku, namun saat hendak masuk aku dikejutkan oleh suara pekikan dari kamar Ratna.
Aku pun menuju kamar Ratna bermaksud untuk mencari tahu apa yang terjadi. Namun sesaat sebelum aku mengetuk pintu aku mendengar suara yang tak kalah mengejutkan lagi. Suara orang yang, mendesah, dan bersahut-sahutan. Tak hanya suara Ratna yang terdengar, tapi ada juga suara seorang pria yang sangat ku kenal, Pak Risman!
Aku jadi khawatir, apa yang terjadi di dalam? Apakah Pak Risman berbuat sesuatu yang kurang ajar kepada Ratna? Aku harus menolongnya. Aku pun mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sesuatu yang bisa kupakai untuk menolong Ratna. Kulihat ada sebuah batu seukuran kepalan tangan, aku segera mengambilnya. Namun saat aku hendak membuka pintu kamar itu, aku langsung terdiam saat mendengar perkataan Ratna yang disahuti oleh Pak Risman, di antara desahan mereka.
“Aaahh teruusss Paak, yang daleem, Ratna mau keluaaarrhh.”
“Tahan bentar Rat, Bapak juga mau keluaarr”
“Aaaahhh Pak Rismaann, Ratna keluaaarrrhhhh.”
“Bapak jugaaahh, Bapak pejuhin memek kamu Raattt aaaahhh.”
Hening.
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Aku masih berdiri mematung di depan pintu kamar Ratna, dengan tangan kananku masih memegang batu yang tadinya mau kugunakan untuk menolong sahabatku itu. Tubuhku rasanya gemetar, nafasku memburu. Aku tak tahu, di antara terkejut, marah, ah entahlah.
“Bapak pake obat ya? Nggak kayak biasanya, kayak nggak ada capeknya aja,” kudengar Ratna bertanya.
“Haha nggak lah, ngapain juga pake obat? Bapak kan kangen banget sama kamu, udah lama kan kita nggak ngentot,” jawab Pak Risman.
“Halah kan baru semingguan Pak, biasanya juga Bapak ngentotin saya seminggu sekali” jawab Ratna.
“Itu kan kalau ada Dhea sama Windy jadi bisa gantian, sekarang kan tinggal kamu doang,” ucap Pak Risman.
“Yaa kan kemarin Ratna lagi halangan Pak. Baru juga bersih sehari udah digenjot aja,” sahut Ratna.
“Haha, ya resikomu cuma tinggal kamu yang disini,” ucap Pak Risman.
“Udahan ya Pak, entar keburu Mila pulang lho. Udah dari siang juga, Ratna udah capek nih,” ucap Ratna.
“Iya iya.”
Aku semakin terbengong mendengar percakapan mereka. Itu artinya bukan kali ini saja mereka melakukan ini. Dan bahkan, selain dengan Ratna, Pak Risman juga melakukannya dengan Dhea dan Windy. Kalau dengan Dhea dan Windy mungkin aku tak terlalu terkejut karena aku cukup mengenal keduanya, tapi Ratna? Bagaimana dia bisa seperti ini? Benar-benar sangat jauh dari Ratna yang aku kenal selama ini.
Bagaimana Ratna bisa jatuh ke pelukan Pak Risman? Apakah Pak Risman memaksanya? Tapi kan Ratna ini jago taekwondo, yang pernah menghajar dua orang preman yang hendak menjahatinya. Apa dia tak mampu melawan Pak Risman? Apakah Pak Risman lebih jago ketimbang Ratna? Atau ada sebab lain? Ah entahlah, aku benar-benar bingung.
Menyadari Pak Risman yang hendak keluar dari kamar Ratna, aku pun segera beranjak ke depan, berpura-pura kalau aku baru saja datang, tak lupa kutaruh kembali batu yang sedari tadi kupegang. Dan benar saja, saat aku berjalan menuju kamarku, terlihat Pak Risman berjalan dari arah kamar Ratna, dengan wajah yang sumringah.
“Baru pulang Mil?” tanya Pak Risman.
“Iya nih Pak. Dari mana Pak?” aku mencoba bersikap senormal mungkin.
“Barusan dari kamar Ratna, ngecek kamar mandi katanya bocor tadi,” jawab Pak Risman sambil senyum-senyum.
“Oh ya udah kalau gitu, Mila masuk dulu Pak,” ucapku.
Aku pun segera masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Perasaanku benar-benar kacau, mengingat apa yang terjadi tadi. Aku memang tak melihatnya secara langsung, namun aku mendegarnya dengan jelas, dan aku cukup tahu apa yang terjadi. Aku benar-benar tak habis pikir dengan Ratna. Orang yang begitu baik dan menjaga dirinya, tutur katanya yang sopan dan lembut, tak kusangka berbuat hal seperti itu dengan Pak Risman.
Yah, aku memang bukan orang suci karena aku sendiri sudah melakukan hal seperti itu. Aku mengkhianati pacarku, melakukan itu bersama dengan Mas Sakti, sahabatnya. Tapi apa yang dilakukan Ratna barusan masih belum bisa kuterima. Jika dia melakukannya kekasihnya, atau paling tidak dengan pria yang masih pantas jika disandingkan dengannya, aku mungkin akan lebih bisa menerimanya. Tapi ini dengan Pak Risman, bapak kost kami sendiri!
Dan Pak Risman sendiri, dia sudah menikah meskipun istrinya tidak tinggal disini karena bekerja di luar kota. Selama ini dia selalu baik dan perhatian kepada kami. Dia pun sepertinya begitu protektif kepada kami dengan melarang membawa tamu pria ke dalam kamar, kecuali orang tua dan saudara kandung kami. Tapi nyatanya, dia sendiri yang justru memangsa anak kostnya, bukan hanya 1 tapi ada 3, itu baru yang aku tahu dari percakapan mereka tadi, selain itu aku tak tahu.
Aku begitu pusing memikirkannya, bagaimana semua ini bisa terjadi. Tiba-tiba muncul ketakutan dalam diriku. Jika Pak Risman benar telah berhasil mendapatkan ketiga teman kostku, apakah dia masih ada keinginan untuk mendapatkan yang lainnya juga, termasuk aku? Ah tidak, jangan sampai hal itu terjadi. Aku harus semakin waspada sekarang, aku harus lebih bisa menjaga diriku lagi.
*****
Sudah hampir 2 minggu sejak aku mengetahui apa yang terjadi antara Ratna dan Pak Risman. Sampai saat ini semuanya berjalan seperti biasanya. Setiap bersamaku, Ratna masihlah Ratna yang kukenal. Ratna yang selalu menjaga tutur kata dan tingkah lakunya, yang menjaga tubuhnya dengan pakaian yang selalu tertutup. Pak Risman pun juga tak terlihat berubah, sikapnya kepadaku masih seperti yang dulu. Hal ini membuatku sedikit lebih lega, karena nampaknya ketakutanku tak akan terjadi.
Aku pun semakin disibukkan dengan persiapan menjelang ospek yang tinggal seminggu lagi. Hampir tiap hari aku ke kampus untuk rapat dengan teman-teman panitia yang lainnya, yang biasanya baru selesai menjelang maghrib. Kegiatanku yang padat ini sedikit banyak membuat pikiranku tentang Ratna dan Pak Risman sedikit teralihkan. Apalagi setelah hari itu aku belum pernah mendengar mereka melakukannya lagi.
Namun aku tetap menjaga kewaspadaanku. Selalu kupastikan pintu sudah dalam keadaan terkunci setiap akan tidur. Aku tak mau kalau sampai Pak Risman bisa masuk dan mengambil kesempatan dengan melakukan hal buruk kepadaku. Tapi nampaknya aku lupa akan sesuatu, ya sesuatu yang sebenarnya sangat sepele, yang menjadi awal kelamnya hari-hariku.
Hari ini rapat persiapan ospek di kampusku berjalan lebih lama dari biasanya. Entah kenapa semakin mendekati hari pelaksanaan justru semakin banyak hal yang diperdepatkan. Seksi P3K dimana aku menjadi bagian di dalamnya sebenarnya tak terlalu banyak dibahas, namun rasanya tak enak bila harus pulang duluan meninggalkan teman-teman lain yang masih rapat.
Cukup melelahkan memang, tapi untungnya bagian konsumsi dengan sigap menyiapkan makan malam dan snack untuk kami. Akhirnya jam 8 malam ketua panitia memutuskan untuk menunda rapat keesokan harinya karena belum ditemui kata sepakat dari perdebatan tadi. ‘
Haduh, kalau tahu begini kenapa nggak dari tadi aja distop rapatnya,’ keluhku dalam hati.
Setelah dibubarkan aku segera saja pulang karena sudah merasa sangat letih. Sesampainya di kost ternyata suasana sangat sepi. Motor Ratna tak ada, kamarnya juga kelihatan kosong, ah mungkin dia sedang keluar cari makan. Aku pun segera masuk ke kamar, tak lupa kembali mengunci pintu, dan kemudian membersihkan diriku. Dinginnya air yang mengguyur tubuhku membuat merasa lebih segar, rasa letihku sedikit berkurang.
Setelah mandi aku memakai piyama tanpa pakaian dalam di baliknya. Selama ini jika tidur aku memang tak pernah memakai pakaian dalam sama sekali, kecuali saat kedatangan tamu bulanan. Kemudian kurebahkan badanku di kasur. Ah nikmatnya bisa meluruskan badan setelah seharian mengikuti rapat ujung-ujungnya harus ditunda sampai besok.
Kuraih ponselku untuk sekedar memberi kabar kepada Mas Ihsan. Setelah menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, aku tetap berusaha untuk menjaga komunikasi kami berjalan lancar. Tapi aku juga mencoba untuk tahu diri dengan tak menghubunginya setiap saat, karena dia pasti sedang sibuk disana. Sebagai pegawai baru, pastinya dia harus lebih aktif dan giat mempelajari pekerjaannya supaya kedepan bisa lebih memudahkannya.
Setelah cukup lama menunggu dan tak mendapat jawaban dari Mas Ihsan aku pun memutuskan untuk tidur saja. Aku mencoba untuk berfikiran positif saja pada Mas Ihsan, mungkin dia juga kelelahan karena harus beraktivitas seharian. Yang harus kulakukan saat ini adalah memberinya dukungan dan juga mendoakannya supaya bisa sukses, demi kehidupan kami kedepannya. Karena memang masih merasa letih tak lama kemudian aku pun mulai terlelap.
Entah sudah berapa lama aku terlelap, saat kurasakan aku sedang bermimpi. Aku seperti berada di sebuah pandang rumput yang sangat luas. Seluas mata memandang hanya tersaji hamparan hijau yang menyejukkan mata. Aku tak sendiri, di sampingku sudah ada seorang lelaki yang belum lama pergi, tapi sudah sangat kurindukan. Bukan, dia bukan Mas Ihsan, dia adalah Mas Sakti.
Tak ada sepatah katapun yang terucap dari kami, hanya saling tatap dan saling senyum. Tak lama kemudian wajahnya mulai mendekat, hingga bibir kami pun bersentuhan. Pelan dia melumat bibirku sambil kedua tangannya yang sudah berada di pundakku mendorong perlahan hingga aku rebah beralaskan rerumputan.
Cumbuan lembutnya begitu terasa nyata, entah karena aku memang merindukannya atau bagaimana, aku tak tahu. Dia mulai membuka kancing bajuku satu persatu hingga terlepas semua dan membukanya ke kiri kanan. Tanpa bra, terpampanglah kedua buah dadaku yang tak terlalu besar ini.
Bibirnya mulai meninggalkan lumatannya di bibirku, dan perlahan menuju ke bukit payudaraku. Terasa geli namun nikmat, terlebih saat lidahnya bertemu dan bermain dengan salah satu putingku yang sudah mulai mengeras. Dia menjilatinya perlahan, dan rasanya, rasa nikmatnya benar-benar begitu nyata, sepertinya aku benar-benar merindukan kehadirannya.
Cumbuannya berpindah dari payudara kiri ke payudara kananku, membuatku semakin melayang menikmati tiap sentuhannya. Rasa geli yang muncul di titik-titik yang dicumbu Mas Sakti tak ayal membuat bagian bawahku juga ikut meresponnya. Rasa geli itu semakin bertambah saat kumisnya yang kasar ikut menusuk kulit payudaraku yang halus, membuat sensasi yang kurasakan semakin bertambah, dan terasa kian nyata.
Eh, kumis? Sejak kapan Mas Sakti punya kumis? Apalagi setebal ini kumisnya, seperti punya Pak Risman saja. Tunggu dulu! Rasa geli yang begitu nyata, dan kumis tebal Pak Risman? Jangan-jangan? Entah kesadaran darimana tiba-tiba membuat tubuhku tersentak dan mataku langsung terbuka.
Aku terbelalak menyaksikan pemandangan di depanku. Bukan, ini bukan padang rumput dalam mimpiku. Bukan pula Mas Sakti yang menindih tubuhku, tapi benar-benar si pemilik kumis tebal itu, Pak Risman! Dan dia benar-benar sedang mencumbui payudaraku, yang sudah terbebas dari piyamaku. Ini bukan mimpi, ini, aah tidaak!
“Pak, apa yang Bapak lakukan? Hentikan!” pekikku sambil berusaha untuk berontak, membuat Pak Risman terkejut.
“Udah bangun tho kamu Mil? Bagus deh, kita bisa nikmatin ini sama-sama, haha,” ucapnya dengan santai yang terdengar begitu menjijikan olehku.
“Nggak, Mila nggak mau! Lepasin!” pekikku semakin keras, begitu pula dengan rontaanku yang membuat Pak Risman sedikit kewalahan.
“Iiissh bandel banget sih kamu. Rat, taruh aja kameranya di meja, bantuin Bapak pegangin Mila,” ucap Pak Risman.
Aku terkejut, karena baru kusadari ternyata di kamar ini ada Ratna juga. Dia memegang sebuah
handycam dan mengarahkannya kepadaku yang sedang dikerjai oleh Pak Risman, dan yang lebih mengejutkan lagi, Ratna hanya memakai sepasang pakaian dalam untuk menutupi tubuhnya.
Segera saja Ratna mengikuti perintah Pak Risman, dia meletakkan
handycam itu di meja namun tetap diarahkan kepadaku. Setelah itu dia menghampiriku dan segera meringkus kedua tanganku, lalu menariknya ke atas kepalaku. Aku mencoba untuk melawan, tapi apalah dayaku menghadapi kedua orang ini. Seorang pria yang dikuasai oleh nafsunya, dan seorang lagi adalah sahabatku sendiri yang aku tahu di dalam tubuhnya yang mungil itu tersimpan tenaga yang besar.
“Ratnaa, lepassiiiin akuu, tolooong,” pintaku memelas, yang hanya ditanggapi oleh senyuman dari Ratna yang aku tak tahu apa artinya.
“Raaat pliiiiss lepasiinn, aaahhhh Paak jangaann,” pintaku kepada Ratna, diselingi desahanku karena Pak Risman semakin buas mencumbui kedua buah dadaku.
“Ssssstttt tenang Mila sayang, jangan teriak-teriak gitu dong, entar kamu pasti bakalan nikmat dan ketagihan deh kalau udah kena kontolnya Pak Risman,” ucap Ratna dengan santainya.
“Nggak mauuu, lepasiinn aarrggghh,” pekikku saat Pak Risman dengan kuat menyedot salah satu buah dadaku.
“Aaaaarrrggghhh bajingan kalian berduaa, apa salahkuuhhmpp,” teriakanku terhenti saat tanpa kuduga Ratna membekap mulutku dengan mulutnya.
Tak hanya membekap, Ratna juga dengan rakus melumat bibirku. Tak siap dengan semua itu hanya membuatku semakin meronta. Terlebih saat kurasakan tangan Pak Risman dengan kasar menarik celana yang kukenakan hingga terlepas dari kakiku. Mengetahui aku kini sudah telanjang bulat di depan kedua orang itu membuatku semakin kuat meronta, tapi jadi tak berarti apa-apa karena kuatnya Ratna mengunci kedua tanganku dan juga Pak Risman yang memegangi kakiku.
Sesaat kemudian kedua kakiku dibuka lebar-lebar oleh Pak Risman. Kini bandot tua itu bisa dengan leluasa melihat daerah paling pribadiku yang selama ini hanya pernah dilihat oleh Mas Sakti. Tak berselang lama kurasakan dengan buas Pak Risman mencumbui dan menjilati bibir vaginaku. Tenagaku semakin terkuras karena rontaan yang sia-sia ini. Hanya air mataku yang kini deras mengalir membasahi pipiku.
Beberapa saat kemudian kurasakan jilatan Pak Risman berhenti, namun justru ini yang kutakutkan, karena setelah ini dia pasti akan melanjutkan ke tahap selanjutnya. Dan benar saja, kurasakan sesuatu yang hangat dan keras digesek-gesekkan di bibir vaginaku. Aku menjadi semakin panik dan mencoba untuk kembali meronta, namun sia-sia karena kini tubuh Pak Risman sudah berada diantara kedua pahaku.
“Hhmmppphhh.”
Kurasakan kepala penisnya yang besar itu mulai menyeruak membuka bibir vaginaku. Aku mencoba menghindar namun kedua tangannya memegang erat pinggulku. Perlahan-lahan batang keras itu semakin masuk menembus ke liang senggamaku. Aku memejamkan mata semakin erat menahan sakit, karena penis ini lebih besar dari penis Mas Sakti yang pernah memasukiku, hingga pada akhirnya,
“Eeeehhhmmmpppp.”
Aku memekik tertahan saat tiba-tiba Pak Risman menghentakkan dengan keras penisnya hingga kurasa kepala penisnya menyentuk dinding rahimku. Sakit. Sakit sekali. Berbeda dengan Mas Sakti yang melakukannya dengan penuh kelembutan, Pak Risman melakukannya dengan sangat kasar, dan ini benar-benar menyakitkan.
Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya menangis. Orang yang selama ini kuhormati dan sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, dengan teganya mencampuriku. Bahkan orang yang selama ini sudah kuanggap sebagai sahabatku pun bukannya menolongku, tapi malah membantu pria jahanam ini memperkosaku. Aku benar-benar hancur, benar-benar sakit. Sakit di organ kewanitaanku, dan sakit di hatiku.
“Wah wah, udah jebol ternyata kamu Mil. Rat, kamu kalah, hahaha,” ujar Pak Risman yang masih mendiamkan penisnya di vaginaku.
“Masa sih Pak? Yah Mila, bikin kalah taruhan aja sih,” ucap Ratna begitu dia melepas lumatannya dari bibirku.
Ya Tuhan, aku ternyata dijadikan barang taruhan oleh mereka. Benar-benar biadab mereka berdua ini. Benar-benar tak kusangka, dua orang yang sangat dekat dan begitu baik kepadaku sebelumnya, sekarang justru memperlakukanku seperti ini.
Pak Risman kemudian mulai menggerakkan pinggulnya menghujam-hujamkan penisnya di dalam vaginaku. Sama seperti saat dia pertama kali memasukkan tadi, kali ini setiap hujamannya juga dilakukan dengan begitu kasar. Aku menutup rapat mulut dan mataku, menahan semua rasa sakit ini dan berharap ini akan segera berakhir.
Tubuhku terlonjak-lonjak tak karuan mengikuti setiap gerakan Pak Risman. Kedua tanganku yang sudah dilepaskan oleh Ratna hanya bisa meremas sprei yang kini kondisinya pun sudah acak-acakan. Entah apa yang dilakukan oleh Ratna selama Pak Risman mengerjaiku dengan kasar ini, aku tak tahu dan aku tak peduli. Aku benar-benar sakit hati kepada wanita yang beberapa saat yang lalu masih kuanggap sahabat itu.
Entah berapa lama Pak Risman menggenjot tubuh telanjangku, selama itu pula hanya rasa sakit luar biasa yang kurasakan. Tak ada sama sekali kenikmatan-kenikmatan bersenggama yang selama ini aku rasakan ketika melakukannya dengan Mas Sakti. Tubuhku pun entah sudah berapa kali di bolak balik oleh Pak Risman, aku tak peduli lagi, karena aku masih dengan kuat menutup mata dan mulutku.
Hingga saat kemudian tubuhku ditelentangkan, tiba-tiba saja irama sodokan Pak Risman berubah. Tidak lagi kasar seperti sebelumnya, tapi pelan dan begitu lembut. Dia bahkan dengan lembut mencium keningku, kemudian turun ke hidung lalu hinggap di bibirku yang masih tertutup rapat. Tangannya tak tinggal diam. Dengan sangat lembut pula dia merangsang kedua payudaraku bergantian.
Perubahan dari cara Pak Risman memperlakukanku ini rupanya mendapat reaksi dari tubuhku meskipun aku tak menginginkannya. Gerakannya benar-benar lembut, seperti saat Mas Sakti biasa mencumbuiku. Rasa-rasa geli kembali menghinggapi titik-titik sensitifku. Kurasakan kemaluanku pun mulai berkedut merespon setiap gesekan antara dinding vaginaku dengan dengan permukaan penis Pak Risman, sehingga mulai mengeluarkan cairan pelumasnya lebih banyak lagi.
Rangsangannya di kedua buah dadaku juga beberapa kali membuat tubuhku menggelinjang. Lenguhan-lenguhan lirih dariku pun mulai terdengar. Lidah Pak Risman mulai berusaha masuk ke dalam mulutku. Mendapatkan rangsangan seperti itu, membuat bibirku yang tertutup rapat sedikit demi sedikit mulai terbuka, dan akhirnya lidah itu berhasil masuk, mengait lidahku dan mengajaknya bermain.
“Nah kan apa kubilang Mil, kamu pasti menikmatinya,” ucap Ratna terdengar di telingaku.
Oh tidak. Jangan. Aku tidak mau. Aku sedang diperkosa, aku tak boleh menikmatinya. Tapi tubuhku bereaksi sebaliknya. Rangsangan yang diberikan Pak Risman terlalu nikmat untuk bisa kulawan. Penisnya, ough benar-benar terasa penuh di liang vaginaku. Rasa sakitnya perlahan menghilang, digantikan oleh kenikmatan. Tapi, tidak, aku tak mau. Aku tak boleh sampai menikmatinya. Tapi ini, aahhhh kenapa tubuhku seperti ini?!
“Memekmu enak banget Mil, Bapak kayaknya udah mau keluar ini,” ucap Pak Risman lirih, membuatku terkejut dan membuka mataku.
“Jangaan Pak, jangan di dalam. Mila nggak mau,” ucapku memelas menggelengkan kepala.
“Oke, Bapak keluarin di luar, tapi kamu ikutan goyang ya?” pinta Pak Risman.
Terpaksa aku pun mengangguk. Lebih baik menuruti keinginannya sekarang, daripada dia membuang spermanya di dalam vaginaku, karena sekarang ini adalah masa suburku. Dengan enggan aku pun mulai menggerakkan pinggulku, membalas goyangan Pak Risman. Temponya masih cukup lambat, tak terkesan buru-buru. Sepertinya dia ingin menikmati tubuhku sepenuhnya.