Somewhere In Kaliurang
Safitri
Elsa / Wanda
“Mbak Fit, bangun Mbak!”
Terdengar suara serak seorang wanita ingin membangunkan orang yang ada di sampingnya. Wanita itu baru saja tersadar dari pingsannya. Dia mengamati keadaan sekeliling, dan menemukan rekannya juga dalam keadaan tak sadarkan diri. Mereka sedang berada di sebuah ruangan yang mungkin mirip dengan ruangan interogasi di film-film. Kondisinya gelap, hanya ada dua buah lampu yang tidak terlalu terang disorotkan ke mereka berdua.
Keduanya duduk di sebuah kursi yang menempel ke dinding. Wanita yang sudah tersadar tadi mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya namun tidak bisa. Kedua kakinya terikat pada kaki kursi dengan sangat kuat, sedangkan kedua tangannya terentang dan terikat kuat pada dinding. Pakaian dinasnya masih lengkap menutupi tubuhnya. Kondisinya ini sama persis dengan wanita yang masih pingsan di sebelahnya.
“Mbaak, Mbak Fitri, bangun Mbak!” dengan suara lebih keras kembali wanita itu mencoba membangunkan rekannya.
“Hmmmm,” nampak wanita di sebelahnya mulai menggeliatkan badannya.
“Mbak Fitri, banguuun!”
“Hmm, Eee... Elsa?”
“Iya Mbak ini Elsa. Bangun Mbak Fit.”
Fitri nampak masih mengumpulkan kesadarannya. Badannya menggeliat, dia mengerjapkan matanya mencoba mengenali kondisi di sekitar. Perlahan pandangannya mulai jelas, dilihat keadaan sekitar yang gelap kecuali dirinya dan Elsa yang disorot oleh lampu. Dia terkejut melihat kondisi Elsa yang terikat kedua tangan dan kakinya dalam kondisi duduk di kursi. Dia pun semakin terkejut karena mengetahui kondisinya pun sama saja dengan Elsa.
“Eh Sa, ini kenapa? Kita ada dimana?” tanya Fitri yang mulai panik.
“Elsa nggak tahu Mbak, tadi pas sadar udah kayak gini.”
Fitri pun mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun tidak bisa, ikatannya terlalu kuat. Dia menajamkan matanya, mencoba untuk melihat kondisi sekitar yang tidak diterangi lampu, namun benar-benar gelap, dia tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba terdengar seperti pintu yang terbuka, dan suara-suara langkah kaki mendekati mereka. Baik Elsa dan Fitri bisa merasakan ada beberapa sosok tubuh yang mendekat, namun mereka belum bisa mengenali siapa orang-orang itu.
“Sudah sadar rupanya kalian ya? Ton, nyalain aja lampunya.”
Fitri dan Elsa terhenyak, karena mereka mengenali suara itu. Rasanya tidak percaya, namun suara itu benar-benar familiar. Dan betapa terkejutnya mereka ketika lampu-lampu utama ruangan ini dinyalakan. Keduanya sempat menutup mata karena silau, namun beberapa saat kemudian setelah bisa menyesuaikan diri, keduanya bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitar mereka.
Sebuah ruangan yang memang dindingnya dicat hitam, sehingga wajar saja jika mereka sangat kesulitan melihat dalam gelap. Tidak ada benda macam-macam di ruangan itu kecuali kursi yang mereka duduki, rantai-rantai yang mengikat kaki dan tangan mereka, serta beberapa kamera yang nampak menyorot ke arah mereka dari berbagai sudut. Tapi yang lebih membuat mereka lebih terkejut lagi adalah, tiga orang pria yang berdiri dengan senyum menjijikkan di depan mereka.
Ketiga itu sangatlah mereka kenal, terutama bagi Fitri. Lelaki pertama, yang menyalakan lampu tadi, tak lain adalah Tono, adik dari Toro, pimpinan kelompok Mata Angin terdahulu. Tono sudah mendekam beberapa tahun di penjara, namun kemudian dibebaskan setelah masa hukumannya berakhir. Sedangkan lelaki yang kedua adalah Rio. Elsa tak begitu mengenalnya namun berbeda dengan Fitri. Tentu saja dia sangat mengenalnya sebagai rekan dari suaminya.
Fitri sudah beberapa kali bertemu dengan Rio. Terakhir kali adalah sekitar setahun yang lalu ketika Rio berkunjung ke rumahnya. Bahkan dia dan suaminya sempat memiliki kecurigaan terhadap Rio perihal ponsel yang diberikan kepada Yani. Fitri maupun Marto curiga kalau Rio memiliki niat tidak baik kepada mereka, dan ternyata memang benar adanya, kini lelaki itu bersama dengan seorang penjahat, sedang menawan dirinya dan Elsa.
Lelaki ketiga, yang tadi memberi perintah kepada Tono untuk menyalakan lampu. Lelaki inilah yang paling membuat Fitri dan Elsa terkejut. Seharusnya lelaki ini sudah mati dalam operasi penggerebekan kelompok Mata Angin yang gagal tempo hari. Tapi sekarang, lelaki ini berdiri di hadapan mereka dalam keadaan segar bugar. Lelaki itu tak lain adalah Arjuna, atasan mereka.
“Arjuna?! Bagaimana bisa? Bukankan harusnya kamu sudah...”
“Mati? Haha, tak semudah itu aku mati sayang. Lagipula, mana mungkin aku mati dalam sebuah permainan yang aku buat sendiri, haha,” ujar Arjuna memotong perkataan Elsa.
“Permainan? Permainan apa komandan?” tanya Fitri tak mengerti.
“Mbak Fit, nggak usah lagi panggil bajingan ini komandan! Sudah jelas dia berkhianat, dia adalah orang yang selama ini bekerja sama dengan kelompok Mata Angin!” ujar Elsa dengan begitu emosinya.
“Haha, bekerja sama? Kamu salah sayang, aku bukan bekerja sama dengan mereka, tapi akulah yang kembali menghidupkan kelompok ini, dan mengatur semuanya dari dalam kantor polisi,haha.”
“Bajingan kau Arjuna. Harusnya kami sadar sedari awal bahwa kamulah yang telah berkhianat selama ini!”
“Harusnya sayang, harusnya. Tapi kalian terlalu bodoh, terutama kamu, yang terlalu lama menyelidikiku, bukan begitu Elsa Maharani? Atau aku harus panggil kamu, Wanda Masaru?”
“Aa... apa maksudmu?” Elsa tergagap saat Arjuna menyebutkan nama itu.
“Haha, kenapa terkejut? Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, dan apa yang kamu lakukan selama ini Wanda? Entah bagaimana mereka memilihmu, sebagai agen interpol kamu terlalu bodoh dan ceroboh dalam melakukan penyamaran.”
“Interpol? Sa, apa maksudnya ini?” tanya Fitri tak mengerti, menatap Elsa yang terlihat terkejut sekali wajahnya.
“Dia bukan Elsa, Fit. Apa kamu nggak denger kata-kataku tadi? Dia adalah Wanda Masaru, seorang agen interpol yang sedang menyamar menjadi polwan, untuk menyelidikiku,” jawaban dari Arjuna membuat Fitri terkejut, dan wajah Elsa semakin pucat.
“Sudah lama aku tahu tentang kamu, Wanda. Sejak kamu datang pertama kali aku sudah mencari tahu tentang latar belakangmu. Awalnya aku hanya tertarik dengan tubuhmu, tapi setelah ditelusuri, ternyata aku malah menemukan sesuatu yang lebih menarik. Semua laporan kamu kepada orang yang mengirimmu itu aku tahu. Tapi tak masalah, dengan memanfaatkan keinginanmu untuk mencari tahu tentang diriku, aku bisa menikmati tubuhmu itu, haha.”
Elsa, atau nama sebenarnya Wanda, benar-benar tidak menyangka penyamarannya selama ini telah diketahui oleh Arjuna. Dan dengan kurang ajar, Arjuna justru memanfaatkan dirinya. Dia berpikir bahwa semakin intim dirinya dengan Arjuna, dia akan bisa lebih mudah mendapatkan informasi yang ingin dia cari. Karena itulah dia merelakan tubuhnya dijamah dan dinikmati terus-terusan oleh pria itu. Namun kenyataan justru sebaliknya. Dia memaki dirinya sendiri yang sempat terlena oleh kenikmatan bersama Arjuna. Sudah berkhianat dari suaminya, kini misinya pun gagal total.
“Dan kamu Safitri sayang, sama saja dengan Wanda. Entah apa yang ada di kepala kalian. Apa kalian pikir dengan menyerahkan tubuh kalian, bisa dengan mudahnya mendapatkan informasi dariku? Kalau aku tidak menyadarinya dari awal, mungkin saja. Tapi sayangnya, aku sudah tahu tujuan kalian yang sebenarnya, jadi ya sekalian saja aku nikmati tubuh kalian, haha.”
“Mbak Fit?” giliran Wanda yang menatap Fitri tak mengerti setelah mendengar ucapan dari Arjuna barusan.
“Kamu nggak tahu ya Wan, kalau Fitri juga sedang melakukan hal yang sama denganmu? Bedanya kalau kamu itu mencari informasi untuk interpolmu itu, Fitri melakukannya untuk orang yang sudah mati.”
“Aa... apa maksudnya? Siapa yang sudah mati?” Fitri terkejut, dia sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Arjuna, tapi berharap lelaki itu menyebutkan nama lain.
“Siapa lagi kalau bukan orang yang menyuruh kamu Fit. Fadli, orang yang memberimu informasi sebelum kubuang dia ke daerah timur, yang membuatmu rela menyerahkan tubuhmu demi menyelidikiku. Orang itu sudah mati Fit, sudah dibunuh setelah 3 bulan bertugas disana. Bukan hanya dia, tapi anak dan istrinya juga. Harusnya kamu menyadari itu setelah tidak bisa berkomunikasi sama sekali dengannya bukan?”
Air mata Fitri mulai mengalir. Dia benar-benar tak mengira bahwa rekannya bernasib semalang itu. Memang sudah lama sekali dia tak bisa menghubungi Fadli maupun istrinya, bodohnya dia tak menyadari itu dan tetap melanjutkan penyelidikannya selama 3 tahun lebih, tanpa mendapatkan hasil apapun. Sama seperti Wanda, diapun mengutuk dirinya sendiri. Sudah berkhianat dari Marto suaminya, kini misinya benar-benar berantakan.
“Aku tahu setelah ini, suami-suami kalian pasti sibuk mencari kalian. Tapi tenang saja, mereka tidak akan secepat itu menemukan kalian. Dan sambil menunggu kedatangan mereka, aku sudah siapkan pesta penyambutan untuk kalian, yang pastinya akan membuat kalian berdua merasakan kepuasan yang tak ada hentinya. Kalian sampai rela menyerahkan tubuh kalian hanya untuk mendapatkan informasi tentangku, dan sekarang, kelompok Mata Angin yang sedang dicari itu ada di hadapan kalian. Pastinya kalian rela kan kembali menyerahkan tubuh indah itu, untuk dinikmati seluruh anggota kelompok Mata Angin? Haha.”
Fitri dan Wanda benar-benar terkejut dengan perkataan Arjuna. Tak bisa mereka bayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Anggota kelompok Mata Angin tentu saja tidak sedikit jumlahnya. Dan menyerahkan tubuh mereka kepada semua orang itu? Benar-benar sesuatu yang sangat mengerikan.
“Bajingan kamu Arjuna! Lebih baik bunuh saja kami! Lebih baik mati daripada harus menyerahkan tubuh kami!”
“Wanda Wanda, kamu ini munafik sekali. Kita lihat saja nanti, apakah setelah merasakan keperkasaan anak buahku, kamu masih ingin mati? Atau justru, kalian akan semakin ketagihan? Tapi tenang saja, untuk malam ini kalian baru akan pemanasan dulu. Kalian cukup melayani mereka berdua, kalau mereka sudah bosan, yaah anak buah kami yang mendapat giliran,” ujar Arjuna sambil menunjuk Rio dan Tono yang diam saja sedari tadi. Kedua pria itu sekarang nampak senyum-senyum melihat kedua calon mangsanya yang tak berdaya itu.
“Baiklah, aku tinggal dulu, masih ada wanita lain yang menunggu untuk kuhamili. Rio, Tono, selamat bersenang-senang. Nanti kalau kalian sudah bosan, aku datangkan lagi polwan-polwan yang lainnya. Tenang saja, stoknya masih banyak, haha.”
Arjuna pun segera meninggalkan ruangan itu. Kini hanya tinggal Rio dan Tono di hadapan Fitri dan Wanda yang sama sekali tak berkutik karena ikatan kuat di kedua kaki dan tangan mereka. Rio dan Tono hanya senyum-senyum saja melihat kedua wanita itu. Terutama Tono, yang memang memiliki obsesi untuk bisa meniduri wanita-wanita berseragam itu. Dia bertekat untuk menikmati habis-habisan kedua wanita di depannya ini. Apalagi tadi Arjuna sudah menjanjikan akan memberinya yang baru jika sudah bosan dengan Fitri dan Wanda.
“Ton, mbak mbak interpol itu jatah lu yee, gue pengen sama yang ini, bininya temen gue, haha,” ujar Rio sambil menunjuk Fitri.
“Haha, siap boss. Entar kalo boss Rio udah bosen, kasih ke saya ya, saya juga mau.”
“Beres.”
Riopun segera mendekati Fitri. Matanya begitu liar menatap tubuh Fitri yang terikat itu. Dengan kedua kaki dan tangan yang tak bisa digerakkan, tentu saja akan memudahkannya menikmati tubuh yang memang sudah cukup lama diincarnya itu, sejak dia menghadiri pernikahan Fitri dan Marto. Dan malam ini, niatnya itu benar-benar bisa dia lakukan.
“Rio, apa-apaan kamu? Jangan macam-macam, aku ini istri temanmu!”
“Istri temanku? Justru itu yang aku suka Fit. Aku sudah pernah meniduri istrinya Marto, sekarang istri keduanya pun akan aku nikmati juga. Haha, sial sekali ya nasibnya si Marto itu.”
“Istrinya? Apa maksud kamu?!”
“Oh iya, kamu belum tahu ya? Yani, wanita yang ada di rumah kamu itu, dia sebenarnya adalah Astri, istri pertama Marto,” Fitri terhenyak mendengar ucapan Rio. Rupanya memang benar, Astri dan Yani adalah orang yang sama, istri pertama Marto.
“Sejak pertama kali melihatnya aku sudah suka. Dan akhirnya, karena mendapat perintah dari bossku untuk membuat Marto yang baik menjadi jahat, aku menculik Astri. Aku memperkosanya habis-habisan waktu itu, tapi untungnya janin yang dikandung Astri tidak sampai bermasalah. Kemudian kami melakukan operasi kepada Astri, menukar wajahnya dengan wajah seorang wanita yang sebelumnya juga sudah aku hamili.”
“Setelah mereka bertukar wajah, kami juga membuat tanda lahir yang sama agar Marto mengira bahwa wanita itu benar-benar Astri. Dan ternyata benar, sejak itu Marto menjadi orang yang berbeda, dia menjadi orang yang jahat dan bergabung dengan Baktiawan. Sementara aku, masih terus menikmati tubuh Astri. Apalagi setelah kami mencuci otaknya, dia menjadi budak yang sangat menurut kepadaku.”
“Sampai akhirnya Astri melahirkan anaknya Marto itu, dia masih terus menjadi budakku. Kemudian dia kami pindahkan ke desa pelosok di kaki gunung itu, untuk menjalankan rencana selanjutnya. Tentang Marto yang hampir mati dan dirawat oleh Yani itu, semua sudah kuatur. Yah, beruntungnya Marto nggak mati waktu dilempar ke jurang itu.”
“Sampai Astri ikut pindah ke rumahmu dan aku berikan dia ponsel untuk selalu menghubunginya. Tapi lama-lama aku semakin bosan dengan Astri, karena aku semakin tertarik padamu. Dan malam ini, akan kita habiskan untuk mereguk kenikmatan berdua, haha.”
Jelas sudah sekarang. Fitri sudah mengerti semuanya ini. Tapi sudah terlambat, dia mengetahuinya disaat-saat seperti ini. Tak bisa lagi rasanya untuk memberitahu Marto. Kini dia hanya bisa berharap Marto atau siapapun akan datang untuk menyelamatkannya.
Sementara itu, di samping mereka nampak Tono sudah mulai beraksi. Kedua tangannya bergerak mengelusi kaki Wanda, mulai dari betis naik hingga ke pahanya. Wanda masih mencoba untuk berontak meskipun semua usahanya itu sia-sia belaka.
“Wuiih, mulus juga pahanya bu polwan ini yaa, nggak sabar lihat dalemnya kayak gimana.”
“Hentikan bajingan! Atau kupatahkan semua tulang di tanganmu itu!”
“Haha, coba saja bu polwan. Sebelum mematahkan tanganku, akan kubuat dulu kamu mengerang kenikmatan, haha.”
Kedua tangan Tono semakin bergerak ke atas, dan kini sudah sampai di payudara Wanda. Dia meremas pelan kedua gundukan buah dada yang tak terlalu besar itu, namun terasa begitu kenyal. Wanda hanya bisa menahan nafasnya. Meskipun dia termasuk wanita yang mudah terangsang, namun dalam kondisi seperti ini dia tidak mau menyerah kepada birahinya. Dia menolak untuk pasrah, dia ingin melawan, meskipun kedua tangan dan kakinya tak bisa digerakkan.
“Hei, berhenti! Jangan lakukan itu bangsaat!”
Wanda berteriak kencang saat tangan Tono mulai melepas kancing kemejanya satu persatu. Setelah semua terlepas, dia sibakkan kemeja Wanda hingga terlihat payudarannya yang tertutup oleh
sport bra berwarna cokelat, senada dengan kemejanya. Tak berhenti sampai disitu, tangan Tono kemudian menyingkap bra itu ke atas, hingga kini terpampanglah kedua payudara Wanda yang indah.
Mata Tono nanar menatap pemandangan di depannya. Meskipun sudah sering melihat hal seperti ini, bahkan yang lebih indah lagi, namun kenyataan bahwa wanita yang di depannya ini adalah seorang petugas penegak hukum yang masih berseragam membuat pemandangan itu terlihat lebih indah. Tanpa menunggu lama Tono segera menyerang kedua buah dada Wanda dengan mulut dan tangannya.
“Aaahhhh sstooopppp.”
Wanda terdengar mendesah kala Tono mencumbui kedua bukit payudaranya. Lidahnya dengan lincah memainkan puting mungil kecokelatan itu, bergantian kiri dan kanan. Tangannya pun tak tinggal diam. Diremasinya buah dada itu dengan gemas, sesekali jemarinya memilin puting payudara Wanda yang tidak dijilatnya.
Wanda berusaha mati-matian menahan semua rangsangan yang diberikan oleh Tono itu. Mata dan bibirnya tertutup rapat, menekan birahinya agar tak naik. Kedua puting payudarannya itu adalah salah satu titik rangsangan Wanda, yang membuatnya gampang naik jika terus dirangsang. Namun dalam suasana seperti ini, menyadari dirinya sedang diperkosa, dia benar-benar tak rela untuk menikmatinya.
Meski begitu Tono tak peduli. Pengalamannya dalam menaklukan wanita membuatnya tahu, lama kelamaan Wanda pasti akan menyerah juga. Tak henti dia mencumbui daerah buah dada Wanda hingga dia rasakan detak jantung wanita itu mulai tak normal. Badan Wanda dia rasakan mulai menghangat. Dia tahu wanita itu sudah mulai terangsang, hanya sedang menahan agar harga dirinya tak jatuh saja.
Tono kemudian mengarahkan lidahnya ke daerah leher dan telinga Wanda sambil kedua tangannya terus merangsang buah dada wanita itu. Sesekali dilihatnya wajah Wanda yang mulai memerah, tanda wanita itu semakin naik birahinya. Tono mencoba untuk mencium bibir Wanda, namun kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan menolaknya.
Bibir Tono kemudian kembali mencumbui daerah buah dada Wanda, namun tangannya kini bergerak kebawah, meraih ujung rok ketat Wanda dan menariknya ke atas. Agak kesulitan karena selain rok itu cukup ketat, posisi Wanda yang duduk di kursi kayu itu membuatnya perlu sedikit menghentak agar rok itu bisa terangkat.
“Aaahhh jangaaannhhh,, udaaaahhhhh.”
Desahan Wanda kian terdengar karena birahinya memang sudah mulai meninggi karena rangsangan di kedua buah dadanya. Celana dalam Wanda juga sudah terasa basah, akan sangat terlihat jika dia memakai celana dalam berwarna terang, untungnya dia menggunakan yang berwarna gelap, senada dengan
sport bra-nya.
Tono menghentikan cumbuannya di buah dada Wanda. Dia mengambi sebuah gunting yang memang sudah dipersiapkan sedari tadi. Sesaat dia memandang wajah Wanda yang masih menutup matanya. Nafas wanita itu nampak memburu, peluh sudah mulai membasahi keningnya, padahal udara di daerah ini sebenarnya cukup dingin.
Wanda kemudian membuka matanya dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Tono. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah saat Tono mulai menggunting celana dalam yang dia pakai dan membuangnya begitu saja. Kini daerah-daerah intim Wanda bisa dilihat dengan jelas oleh lelaki itu. Wanda yang tadi di awal begitu keras menolak dan memaki Tono kini seperti kehilangan tenaganya.
Memang selain karena birahinya yang sudah naik, Wanda merasa sangat malu karena mengetahui bagian bawahnya telah basah padahal dirinya saat ini sedang diperkosa. Air matapun mulai menetes membasahi pipinya. Dia mencoba mengatupkan kedua kakinya namun tak bisa karena terikat kuat di kaki-kaki kursi yang cukup lebar sehingga membuat kedua pahanya nampak cukup terbuka.
Berkali-kali dia menggelengkan kepala saat dilihat wajah Tono mulai mendekat ke daerah pangkal pahanya. Lidah lelaki itu beberapa kali menjilati paha bagian dalam Wanda yang begitu halus. Wanda kembali mengatupkan bibirnya menahan agar tak mendesah. Namun lama kelamaan kepala Tono semakin mendekat ke daerah liang kewanitaannya. Nafas lelaki itu kian terasa olehnya, hingga akhirnya lidah nakal Tono menyentuh bibir vaginanya.
“Jaangaaaaaaaaaaaannhhhhhhhhh.”
Sementara itu Rio nampak juga sudah mulai mencumbui Fitri. Sama halnya seperti Wanda tadi, Fitri mengatupkan erat bibir dan matanya. Dia tidak ingin melihat lelaki yang dulu adalah sahabat dari suaminya itu sedang menggerayangi tubuhnya. Kemeja Fitri juga sudah terbuka. Bra yang dia pakai juga sudah disingkap hingga kedua payudaranya yang lebih kecil dari milik Wanda terpampang jelas.
Fitri lebih berhasil menahan birahinya ketimbang Wanda, meskipun Rio terus menerus menyerang leher dan kedua payudaranya. Kedua tangan Rio sibuk memilin puting payudara Fitri sedangkan lidahnya masih menyusuri wajah dan leher Fitri, membuatnya terlihat basah. Rok pendek selutut yang dipakai Fitripun sudah terangkat sampai ke pinggang, namun celana dalamnya masih bertengger disana dan Rio belum menyentuhnya sama sekali.
Rio nampak ingin sekali menikmati tubuh Fitri di setiap inchinya. Status Fitri sebagai istri Marto membuatnya semakin bernafsu untuk menikmati Fitri. Tak hanya menikmati, Rio juga ingin membuat Fitri takluk, seperti yang pernah dia lakukan kepada Astri dulu.
Kini Rio menghentikan cumbuannya, lalu mengambil gunting yang tadi dipakai oleh Tono. Dia sempat melihat ke arah Tono dan Wanda, dimana kepala Tono nampak tenggelam di pangkal paha Wanda, sedangkan wanita itu nampak menengadahkan kepalanya. Mata Wanda tertutup namun bibirnya terbuka lebar tanpa mengeluarkan suara. Nampak Wanda sudah tak bisa lagi menahan birahinya, dan membiarkan harga dirinya jatuh di hadapan Tono.
Kembali Rio melanjutkan aksinya. Seperti halnya yang dilakukan Tono kepada Wanda, Rio juga menggunting celana dalam Fitri dan membuangnya sembarangan. Fitri diam saja, bukan karena sudah menyerah. Tapi dia tahu dirinya tak bisa melawan dalam keadaan terikat seperti ini. Berteriakpun percuma karena Rio akan tetap melanjutkan aksinya. Dan benar saja, tanpa menunggu lama Rio segera melahap daerah kewanitaan Fitri, membuat wanita itu tersentak badannya.
“Aaahh Riooo, henttikaaann.”
Tak mendengar teriakan Fitri, Rio terus melanjutkan aksinya. Dengan liar lidahnya menyusuri bibir kemaluan hingga liang anal Fitri, membuat wanita itu mau tak mau kelojotan menerima serangan Rio. Terlebih saat Rio berhasil menemukan biji kelentitnya, dijilati dan dihisapinya biji kelentit itu, membuat tubuh Fitri semakin tak karuan. Perlahan tapi pasti rongga senggamanya mulai basah.
Saat itu Fitri tanpa sengaja menatap Wanda yang tengah dikerjai oleh Tono. Terlihat badan Wanda mengejang-ngejang, matanya tertutup dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. Terdengar pula lenguhan lirih namun panjang dari mulut Wanda. Fitri tahu, rekannya itu baru saja mendapatkan orgasme dari lidah Tono. Fitri hapal betul karena pernah beberapa kali dia melayani Arjuna bersama dengan Wanda.
Tak lama kemudian Tono beranjak dari pangkal paha Wanda. Bibirnya tersenyum lebar melihat mangsanya itu sudah berhasil dia buat orgasme. Tono pun segera melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. Terlihat oleh batang kemaluan Tono yang sudah mengeras. Batang berwarna hitam itu cukup besar, meskipun tak sepanjang milik suaminya ataupun Arjuna, tapi terlihat lebih gemuk dan ada urat-urat di sekeliling permukaannya. Tak terbayang oleh Fitri jika kemaluan Tono ini memasuki liang senggama rekannya itu.
Wanda yang baru saja membuka matanya terhenyak melihat lelaki yang baru saja memberinya orgasme itu sudah telanjang bulat di hadapannya. Tono kembali mendekati Wanda dan mengarahkan ujung penisnya ke bibir vagina Wanda yang telah basah. Wanda menggelengkan kepalanya menolak perbuatan Tono yang lebih jauh lagi.
“Jangan Mas, tolong jangan,” pintanya lirih sambil tetap menggelengkan kepalanya.
“Jangan apa Bu?”
“Jangan diteruskan, saya mohon jangan,” air mata Wanda kembali mengalir. Tak terlihat lagi keberaniannya saat membentak Tono di awal tadi.
“Baiklah, tapi aku ingin menciumi bibirmu dulu.”
Masih dengan kepala penis yang menempel di bibir vagina Wanda, Tono mendekatkan wajahnya ke wajah cantik itu. Wandapun membuka mulutnya saat bibir Tono mendekat dan mulai menciuminya. Wanda pasrah saja, bahkan mulai membalas ciuman itu ketika dirasakan payudaranya kembali diremasi oleh Tono. Bahkan kepala penis yang sudah berada di bibir vaginanya itu mulai bergerak-gerak menggeseknya.
Nafsu birahi Wanda yang sempat mereda akibat orgasmenya kini naik lagi karena rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh Tono, hingga dia ikut membalas saat lidah Tono mulai membelit dan menghisapi lidahnya. Ciuman mereka begitu panas, hingga Wanda tak sadar kalau kepala penis Tono sudah merangsek masuk di celah kemaluannya.
“Hnngggkkkkkkk mmmmppphhhh.”
Wanda menjerit tertahan kala dirasakannya penis gemuk berurat itu melesak masuk ke vaginanya yang sempit. Didiamkan sebentar penis itu merasakan kedutan-kedutan vagina Wanda. Air mata Wanda semakin deras mengalir. Kini dia harus kembali merelakan vaginanya dimasuki oleh laki-laki lain, dan parahnya, dia mulai menikmati pemerkosaan atas dirinya itu.
Fitri melihat dengan jelas bagaimana Tono mulai menggerakkan pinggulnya. Masih dengan menciumi bibir Wanda, kini Tono menyetubuhi rekannya itu dengan liar. Terlihat olehnya tangan Wanda yang terikat mengepal, entah berusaha meronta atau justru menikmati sodokan pria itu.
Melihat adegan panas itu, disaat dirinya juga dirangsang oleh lidah Rio di vagina dan tangan Rio di kedua payudaranya membuat birahi Fitri semakin naik. Namun dia masih berusaha untuk menahannya, dia benar-benar tak ingin takluk begitu saja oleh teman suaminya itu. Fitri memejamkan matanya memikirkan hal-hal lain yang membuatnya bisa menahan lebih lama agar birahinya tak lagi tersulut. Dan saat itulah Rio menghentikan semua cumbuannya.
Namun begitu bukannya lega, Fitri justru semakin takut Rio akan bertindak lebih jauh lagi. Dan benar saja, ketika dia membuka matanya, terlihat Rio sudah menelanjangi dirinya sendiri. Terlihat oleh Fitri batang penis Rio yang juga sudah menegang. Tak sebesar milik Tono, tapi terlihat lebih panjang. Rio tersenyum saja melihat Fitri yang memandangi penisnya.
“Siap-siap yaa Fitri sayang, sebentar lagi Rio junior ini akan memberikan kenikmatan buat kamu. Nikmatilah penis sahabat suamimu ini, seperti kamu menikmati penis Arjuna dan juga Wijaya. Oh iya, dan juga Ramon, haha.”
Fitri terhenyak. Bagaimana Rio tahu tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Wijaya dulu? Apakah Marto pernah menceritakannya? Rasanya tidak mungkin? Apakah Wijaya? Ah, lebih tidak mungkin lagi. Lalu bagaimana dia bisa tahu? Dan bagaimana mungkin Rio tahu tentang Ramon? Tidak pernah dia menceritakan hal ini kepada siapapun kecuali suaminya. Masih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, Fitri sudah kembali dikagetkan oleh penis Rio yang menempel di bibir kemaluannya.
“Rio pliss jangan. Aku nggak mau, jangan lakukan ini.”
“Tapi aku mau sayang. Aku mau tahu rasanya vagina milik istri temanku ini. Seperti yang pernah aku rasakan pada Astri sebelumnya.”
“Tapi Rio, jangaaaaaaaaaaahhhhhhh.”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, penis Rio sudah masuk seluruhnya ke dalam liang senggamanya. Karena panjangnya penis Rio itu terasa oleh Fitri hingga mentok di dasar lubang vaginanya. Sejenak Rio mendiamkan penisnya untuk merasakan remasan-remasan dari dinding vagina Fitri, sambil mulutnya tak henti menciumi wajah wanita cantik itu. Sementara itu dalam tangis sesenggukannya, Fitri kembali menutup rapat bibirnya.
Dia tak ingin Rio dengan bebas menikmati bibirnya juga. Dia tak ingin Rio berkuasa penuh atas tubuhnya. Dia tahu, meskipun kini tubuhnya telah dinodai oleh Rio, ada satu hal yang harus dia pertahankan, yaitu harga dirinya. Dia tak ingin menyerah begitu saja kepada lelaki yang bukan suaminya itu.
Beberapa saat kemudian Fitri merasakan Rio mulai menggerakkan penisnya maju mundur. Gerakannya cukup pelan dan lembut, nampaknya benar-benar ingin menikmati setiap gesekan antara kedua permukaan kelamin mereka. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Tono kepada Wanda. Fitri dapat melihat Tono dengan kasar menyetubuhi rekannya itu. Pinggul Tono menghentak dengan kasar hingga membuat tubuh Wanda terlonjak-lonjak. Kedua tangannya meremas kasar bukit payudara Wanda, sedangkan bibirnya dengan ganas masih melumat bibir Wanda hingga teriakan wanita itu tertahan tak sampai terdengar.
Sementara itu Rio masih dengan lembut menggerakkan pinggulnya maju mundur, membuat tubuh Fitri semakin diserang oleh birahinya. Sodokan penis Rio mampu menyentuh titik-titik sensitif di rongga kewanitaannya, mengantarkan begitu banyak kenikmatan ke seluruh tubuh. Rio berusaha untuk mencium bibir Fitri, namun dia masih erat mengatupkan bibirnya. Bagi Fitri, menerima dan membalas ciuman dari Rio berarti dirinya telah menyerah total kepada lelaki itu, dan dia tak mau itu terjadi.
Merasa mendapat penolakan seperti Rio tak kehabisan akal. Dengan sangat tiba-tiba dia mengehentakkan penisnya beberapa kali dengan keras. Gerakannya yang tadi begitu lembut kini mendadak berubah jadi kasar. Hal ini tentu saja terasa menyakitkan bagi Fitri hingga tak sadar dia membuka mulutnya untuk berteriak. Saat itulah Rio langsung melumat bibir Fitri, menghisapnya berkali-kali, memasukkan lidahnya untuk mengait lidah Fitri dan mengajaknya bermain.
Fitri yang mendapat serangan seperti itu terpaksa melampiaskan rasa sakit akibat sodokan Rio dengan membalas lumatan di bibirnya. Ciuman mereka berubah menjadi memanas kini. Dan saat itulah kembali Rio mengurangi kecepatan sodokannya, dia kembali menggerakkan penisnya dengan lembut. Air mata Fitri semakin deras mengalir karena kini bibirnya pun telah berhasil dilumat oleh Rio. Harga dirinya benar-benar telah dijatuhkan oleh lelaki itu. Kini yang bisa dia lakukan hanyalah menahan diri agar tidak terlalu menikmati persetubuhan ini.
Di sebelahnya, gerakan kasar Tono dalam menyetubuhinya membuat Wanda semakin hilang akal. Dirinya sudah benar-benar dikuasai oleh birahinya sendiri, hingga kini pinggulnya ikut bergerak seirama dengan Tono. Dia merasakan orgasmenya tak lama lagi akan datang. Namun hanya tinggal sedikit saja mencapai puncak, Tono tiba-tiba mengentikan gerakannya. Wanda memandanginya dengan wajah tak percaya. Sedikit lagi, tapi pria ini benar-benar ingin mempermainkannya.
“Kenapa Bu kok mukanya gitu?” tanya Tono terkekeh.
“Sudaah Mas, hentikan. Cabut,” jawab Wanda dengan lemah, tak yakin dengan permintaannya itu.
“Oh mau dicabut. Oke deh kalau gitu.”
Perlahan Tono menarik penisnya hingga tinggal kepalanya saja yang bersarang di vagina Wanda yang sudah sangat basah. Namun ternyata tubuh Wanda mengkhianatinya. Saat itu tanpa sadar pinggulnya bergerak maju, seolah tak rela jika batang itu benar-benar keluar dari liang senggamanya.
“Loh katanya pengen dicabut, kok memek kamu ngikutin? Pengen dilanjut?” tanya Tono sambil kembali memasukkan penisnya dengan perlahan.
“Enggak aahh, cabut mass,” Wanda menggelengkan kepalanya, namun vaginanya berkedut memijat penis Tono.
Kembali Tono menarik perlahan penisnya. Wanda berusaha keras untuk menahan diri, tapi tubuhnya benar-benar tak mampu dia kendalikan, dan lagi-lagi bergerak seolah tak ingin penis itu lepas dari vaginanya. Tiba-tiba Tono melakukan gerakan yang cepat kembali menyetubuhi Wanda, membuat desahan wanita itu terdengar jelas oleh Fitri. Wanda merasa kali ini dia harus segera mendapatkan orgasmenya agar tak semakin tersiksa, namun lagi-lagi Tono mempermainkannya dengan menghentikan gerakkannya.
Tak mau kehilangan kesempatan Wanda menggerakkan sendiri pinggulnya untuk meraih puncaknya. Namun kembali Tono menarik penisnya, bahkan kini kepalanya pun hampir keluar. Dan lagi-lagi pinggul Wanda bergerak maju tak ingin kehilangan batang itu.
“Ja... jangan,” ucak Wanda lirih sembari menggelengkan kepalanya.
“Jangan apa sih Bu?”
“Jaa... jangan, dicabut,” wajah Wanda memerah menahan malu demi mengatakan kalimat itu. Dia benar-benar telah membuang harga dirinya sendiri dengan meminta pemerkosanya untuk tidak menghentikan tindakannya.
“Kenapa emangnya Bu? Jadi dicabut apa dilanjut ini?” tanya Tono menggoda Wanda.
Wanda hanya diam saja membuang mukanya kearah Fitri yang sedang disetubuhi Rio. Dia tak mau menjawabnya, tak ingin harga dirinya semakin hancur dengan meminta lelaki itu melanjutkan pemerkosaan terhadap dirinya. Tapi tak bisa dipungkiri, sedikit lagi Wanda benar-benar akan mendapatkan puncaknya, dan dipermainkan seperti ini benar-benar membuatnya tersiksa. Tonopun masih diam tak bergerak, menunggu jawaban wanita itu, sekaligus penyerahan dirinya.
“Terusin, dikit lagi,” ucap Wanda benar-benar lirih, namun cukup terdengar oleh Tono yang tersenyum lebar karena telah berhasil membuat wanita itu takluk kepadanya.
“Haha, baiklah kalau Ibu meminta seperti itu, berteriaklah sekencangnya menjemput puncak kenikmatanmu.”
“Ooouuukhhh aaaahhhhh aaaahhhhhh.”
Pekikan Wanda langsung terdengar karena kembali Tono menyetubuhinya dengan ganas. Bukan pekik karena sakit, namun lebih terdengar karena nikmat. Fitri yang mendengar itu melirik ke arah Wanda yang tubuhnya semakin terlonjak-lonjak. Adegan panas itu, dan penis Rio yang masih terus menyetubuhinya membuat gelombang birahi yang menderahnya semakin terasa besar, hingga puncak kenikmatannya pun datang tak lama kemudian.
“Aaaaaaaaaaahhhhhhhhhh,” lenguh panjang Fitri begitu bibirnya terlepas dari pagutan Rio.
“Aaaaahhhhh akkuuuu dapeeeetttttt,” bersamaan dengan itu Wanda berteriak keras ketika dia juga mendapatkan orgasmenya.
Kini kedua wanita itu telah benar-benar takluk oleh pejantan yang bukan suami mereka. Keduanya benar-benar dibuat tak berdaya melawan nafsu birahinya oleh Tono dan Rio. Dengan tangan dan kaki terikat, pakaian dinas yang sudah terbuka disana-sini, serta batang penis yang masih menancap di vagina setelah memberi mereka kenikmatan, tubuh keduanya menegang dengan nafas memburu menikmati orgasme yang baru saja mereka dapat.
Tak menunggu lama Tono maupun Rio kembali menggenjot kedua wanita itu dengan cepat. Kedua pria itu juga merasakan kalau mereka sudah akan orgasme. Perbuatan keduanya membuat Wanda maupun Fitri mendesah. Bedanya kalau Fitri mendesah lirih, desahan Wanda terdengar setengah berteriak.
Gerakan kasar Tono rupanya kembali membuat Wanda mendapatkan orgasmenya dengan cepat, namun Tono tak peduli dan terus melanjutkan sodokannya, membuat wanita itu semakin berteriak histeris. Sedangkan Fitri masih menahan desahannya agar tak terlalu terdengar di ruangan itu.
“Oooohhh oooohhh aaaaaaaarrgggghhhhhhh.”
Hampir bersamaan Tono dan Rio menyemburkan bermili-mili cairan spermanya di dalam vagina kedua wanita itu. Bersamaan dengan itu pula tubuh Wanda dan Fitri ikut mengejang, karena juga kembali mendapatkan orgasmenya. Kedua pria itu masih membenamkan batang mereka di liang senggama sang betina.
Tak lama kemudian Tono mencabut penisnya, hingga sebagian spermanya mengalir keluar dari vagina Wanda. Dia berdiri dan mendekat ke wajah Wanda, mengarahkan penisnya yang basah oleh sperma dan cairan kewanitaan Wanda itu ke mulutnya. Dengan penuh kesadaran dia membuka mulutnya dan membiarkan penis itu memasukinya. Dia menjilati penis itu untuk membersihkan sisa-sisa sperma yang masih menetes dari ujung kepala kemaluan Tono.
Riopun demikian. Dia mencabut penisnya dan terlihat lelehan spermanya mengalir keluar dari vagina Fitri. Dia juga mengarahkan penisnya ke wajah Fitri. Awalnya dia begitu enggan untuk membuka mulutnya, namun kemudian air matanya kembali mengalir sat akhirnya penis itu berhasil masuk ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata saat dengan terpaksa bibirnya menghisap penis itu dan lidahnya bergerak untuk membersihkannya. Rio membelai lembut rambut Fitri, membuat rasa bersalah wanita itu semakin besar.
Di ruangan itu kini terlihat kedua wanita yang terikat tangan dan kakinya, serta baju dinas yang sudah tak mampu lagi menutupi organ intim mereka, sedang memberikan pelayanan kepada kedua pria yang baru saja memperkosa mereka. Keduanya sempat saling lirik dengan tatapan penuh keputusasaan, terlebih saat dirasakan penis-penis di mulut mereka mulai mengeras lagi. Mereka tahu, permainan ini tak akan berhenti sampai disini. Entah sampai kapan, tapi di dalam hatinya mereka masih berharap, orang-orang yang mereka sayangi segera datang untuk menyelamatkan mereka.
*****
Pada saat yang bersamaan, di sebuah ruangan yang tak jauh dari tempat Fitri dan Wanda sedang dipaksa melayani Rio dan Tono, juga terdengar teriakan kesakitan dari beberapa wanita. Lebih tepatnya dua orang wanita yang sedang melayani empat pria sekaligus. Sementara itu tak jauh dari mereka, seorang wanita lagi sudah terbaring tak berdaya dengan kondisi tubuh tanpa tertutup benang sehelaipun.
Wanita itu adalah Beti. Dia sudah benar-benar tak punya tenaga setelah tadi habis digilir oleh dua orang pria yang sama sekali tak dikenalnya. Kedua kakinya terbuka lebar. Pangkal pahanya terlihat membengkak, dengan cairan putih kental mengalir keluar dari bibir vagina dan lubang analnya. Badannya benar-benar terlalu letih hanya untuk sekedar bergerak.
Matanya kian berat, tapi masih bisa melihat dua orang temannya disetubuhi dengan brutal oleh empat orang pria. Tata, sedari tadi sudah dihajar lubang kemaluan dan analnya, sedangkan Lusi baru saja dikerjai oleh dua orang yang sebelumnya memperkosa Beti. Kedua wanita itu berteriak sekuat tenaga mereka, merasakan sakit yang mendera di pangkal paha mereka.
Keempat pria ini benar-benar menyetubuhi mereka dengan brutal. Tubuh telanjang Lusi dan Tata tak lepas dari tangan-tangan kasar keempat orang itu. Payudara mereka diremas dengan kasar, pantat mereka ditampar-tampar hingga menimbulkan bekas kemerahan, sama seperti yang tadi dialami oleh Beti.
Air mata Beti belum berhenti mengalir melihat kedua temannya yang juga menangis histeris karena diperkosa dengan brutal oleh keempat pria bejat itu. Tak tahan dengan semua itu, juga karena tubuhnya yang begitu letih, membuat Beti perlahan kehilangan kesadarannya. Padanganya semakin kabur, namun samar-samar dia masih mendengar jeritan pilu Lusi dan Tata.
‘
Marto, atau siapapun juga, cepatlah datang kesini, selamatkan kami,’ ucap Beti dalam batinnya, kemudian semuanya menjadi gelap.
*****
to be continue...