Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wadah Gue Curhat (REAL)

Sebenarnya gue memang sudah terlahir sebagai mahluk tanpa perasa yang begitu egois, dan tidak pernah bisa mensyukuri apapun yang Tuhan berikan terhadap gue. Kenapa gue bisa bilang begitu?

Okay, kita mulai saja semuanya dari awal, saat itu gue masih kelas 3 SD. Bertepatan pada hari dimana papa membeli sebuah sepeda motor bekas, sepeda motor keluaran tahun 83 yang mungkin sudah terlalu ketinggalan beken di jaman era 2000an.

Keluarga gue bukan orang kaya, kita adalah keluarga minimalis nan sederhana yang tinggal di sebuah rumah petak di pinggiran kota c*imis. Sebagai guru honorer dengan gaji pas-pasan, papa sangat gembira bisa memiliki Honda Astera 700 itu. Mama juga bukan dari latar belakang orang hebat, hanyalah ibu-ibu rumah tangga biasa dengan lulusan ijasah SMA. Adik perempuan ku waktu itu masih balita, yang mungkin agaknya tidak ada hal istimewa yang bisa diceritakan.

Kalian mungkin tidak akan percaya tapi pada saat itu gue merupakan anak yang sama sekali tidak punya rasa bangga kepada sosok ayahnya. Jujur saja, papa tidak mencerminkan figur seorang guru. Jika guru-guru yang lain berpenampilan rapih, dan bergaya modis papa justru sebaliknya.

Papa ditakdirkan dengan sedikit kelainan pada wajahnya, ada sedikit luka bakar di bagian pelisis kiri nya yang dikombinasikan dengan badan kurus-kering, rambut plontos, dan tubuh boncel. Jujur saja, papa lebih mirip seperti tukang cor jalan daripada seorang guru.

Semua itu diperburuk karena papa mengajar di sekolah gue. Iya, kalian gak salah baca. Kita satu lokasi, satu tempat, satu sekolahan. Bisa kalian bayangkan sendiri semalu apa gue pas dibully sama teman-teman karena punya papa seperti "tukang cor jalan".

Ada gesekan moral yang rasanya sulit untuk gue terima pada saat bertemu dengannya. Di rumah mungkin kita sangat akrab layaknya keluarga kebanyakan, tapi di sekolah kita abai bagai orang asing.

Papa coba menyapa, gue pura-pura tidak dengar.

Papa coba menegur, gue berusaha untuk kabur.

Dan Setiap kali dianter ke sekolah pake motor "butut" itu, gue selalu minta diturunin jauh-jauh dari gerbang sekolah karena merasa malu kalau harus dilihatin teman-teman. Damn i was a spoiled and arrogant kid. A beggar can't be choosers really.

Dijatuhkannya gelar" tukang cor jalan" itu ternyata juga berimbas terhadap melemahnya kendali beliau sebagai sosok seorang ayah. Kalian coba posisikan pola pikir sakit ini:

Bahwa papa juga merasa "terintimidasi" akan sikap gue yang mencoba melarikan diri dan menolak mentah-mentah bahwa beliau adalah ayah dari anak muridnya sendiri. Papa harus menerima kenyataan jika ia bukan sosok yang gue inginkan kehadirannya di muka bumi ini.

Tahu gak sih, kayak dia itu merasa seperti "maaf ya Ale, karena aku gak bisa bahagiain kamu dan mencukupi kamu dari hal yang bersifat materi, kamu layak aku kasih kebahagiaan dalam bentuk yang lain".

Seiring dengan pertumbuhan umur gue yang semakin dewasa, Papa seperti mengasih gue "kebebasan" dan "melemahkan" kendalinya sebagai ayah terhadap gue, menukarnya dengan sesuatu yang dia pikir itu bisa membuat gue bahagia.

Papa yang baik akan menasehati anak-anaknya jika mereka berbuat salah. Papa gue tidak. Papa yang baik juga akan menghukum anaknya jika mereka berbuat nakal. Papa gue tidak.

Dengan kebodohan yang ia lakukan, papa justru seperti menciptakan sosok yang begitu rebel terhadap dunia. Papa tidak melarang gue untuk merokok dan bahkan minum-minuman keras. Papa tidak menyuruh gue sholat, papa tidak memarahi gue karena pulang malem gitar-gitaran gak jelas.

Mungkin iya papa seorang guru, mungkin iya papa juga seorang ayah. Tapi papa sudah gagal untuk mendidik dan merangkul ale seperti papa-papa yang lain.

Sorry to say, tapi papa yang selama ini ale kenal adalah memang seorang pecundang.

— *** —​

Beberapa tahun berselang kami dikaruniai oleh berita duka dan sekaligus suka. Berita dukanya, nenek kami meninggal dunia. Sukanya mama dapat warisan tanah sekian hektar. Karena merasa perekonomian kami cukup membaik, akhirnya mama memilih untuk mengambil keputusan membangun rumah sendiri.

Dijualah tanah tersebut sehingga kami tidak lagi harus hidup sempit-sempitan di rumah petak. Jujur saja, pada waktu masa awal-awal kuluah, gue sudah bisa merasa sosok papa sebagai kepala keluarga sudah mulai bergeser dan digantikan oleh mama.

Mama lebih punya pandangan yang lebih visioner, juga lebih tanggap dalam menghadapi segala situasi. Papa tetaplah seperti dulu, lemah tak bedaya dan tidak cakap sebagai sosok pemimpin.

Gimana ya, agak susah jelasin nya. Mungkin efek gaji pas-pasan, fisik pas-pasan, bikin papa jadi agak lebih merosot derajatnya daripada mama. Istilahnya papa gue kebanting lah, kalah sama mama.

Dari fisik mama lebih muda dan lebih cantik, dari segi penghasilan juga papa gak jos-jos amat. Ibaratnya kalau mama milih cerai dan nikah sama sosok laki-laki lain yang lebih unggul dari segi ekonomi dan fisik suaminya, gue yakin mama bisa. Dan itu yang bikin papa jadi agak kendor sama mama.

Berkat uang hasil jual tanah tersebut, mama jadi lebih punya kendali yang lebih. Papa jadi lebih segan, dan tunduk terhadap mama.

Serius, gue juga agak kaget kok bisa Mama mau menikah dengan papa. Bukan apa-apa ya, tapi rentang umur mereka itu cukup jauh. 9 tahun. Entahlah mungkin karena cinta atau kelilipan cinta, yang jelas mama sangat mencintai papa. Di saat itulah kami dikaruniai lagi seorang anggota keluarga baru, adik baru, adik perempuan.

2 bersaudari cewek semua dan gue yang paling sulung. Satu hal yang perlu kalian tahu, semenjak mama mengambil alih "peran pemimpin" di keluarga kami gue jadi merasa kalau mama sedikit agak pelit.

Apabila di mata mama mistar merupakan pengukur satuan jarak, maka uang adalah satuan pengukur kebahagiaan. Tahu gak sih, keluarga gue waktu itu jadi kayak kebelet pengen kaya. :o

Mama inisiatif buka stan jualan warung di depan rumah. Papa juga yang honorer sebentar lagi mau pensiun, jadi ya kalo dipikir-pikir sosok peralihan kepala keluarga ini cukup penting. Belum lagi gue kan kuliah, jadi harus pintar-pintar ngatur keuangan untuk bayar kebutuhan SPP dan lain-lain.

Terserah, mau bilang apa. Tapi gak selamanya laki-laki bisa diandalkan, ada satu waktu saat papa kehilangan mahkotanya sebagai kepala keluarga dan hidup di bawah tekanan—alpha male yang kering kerontang bikin papa jadi gampang terintimidasi.

Papa merasa terancam oleh kehidupan rumah tangga, yang menurutnya seperti jomplang ini. Sebabnya Papa jadi gampang marah-marah, papa juga jadi sering gak sabaran. Mereka yang sebelumnya hidup rukun sekarang rutin bertengkar.

Hampir seminggu sekali pasti ada aja sampah pecahan beling di belakang rumah. Beneran, pernah malam-malam jam setengah satu pagi, adek-adek gue pada ngumpet ke kamar gue karena papa sama mama lagi bertengkar hebat.

Hidup itu bagaikan rollercoaster yang tanpa aba-aba bisa membawa mu melaju sangat cepat. Titik puncaknya adalah saat mama melakukan tindakan terbodoh dalam hidupnya, mama yang merasa lebih superior dari papa memutuskan untuk sama sekali tidak membutuhkan pendapatnya lagi ketika hendak akan mengambil keputusan.

Hasilnya? Diam-diam mama ikut bisnis LSM, tanpa rundingan dari papa dan persiapan yang matang akhirnya uang warisan mama terkuras habis-habisan.

Fast forward beberapa tahun gue terpaksa untuk mengambil cuti kuliah, bertepatan pada momentum saat papa meninggal akibat penyakit jantung (selang beberapa tahun papa pensiun + tekanan pikiran dari kerugian bisnis LSM ini). Yang jelas sih papa sama sekali tidak merasakan kebahagiaan dalam masa-masa tuanya, dan harus "terbunuh" secara tragis seperti itu. Anehnya gak sedikitpun rasa iba dalam diri gue, entah karena apa?

Impact dari kematian papa memang tidak gue rasakan secara langsung sih, tapi lambat laun rasa bersalah itu muncul sendiri. Gue kayak terpukul setengah mati, kehilangan sosok orang yang dari awal kehadirannya gak pernah gue rindukan.

Mental gue serasa ditebas oleh arogansi gue yang tidak mau menerima sosok papa. Andai gue waktu itu jujur pengen diperhatiin dan pengen dimarahi mungkin gak bakal kayak gini. Gue merasa kayak kurang perhatian orang tua.

Karena sering nangis sendiri dan lagi dilanda mental breakdown gue jadi mutusin untuk cuti. Di saat itu juga gue positif kena bipolar. Lagian gue juga udah gak bisa fokus kuliah man, jadi buat apa dilanjutin. Terpaksalah gue ambil opsi cuti satu tahun. Gue beneran udah gak sanggup lagi. Sumpah.

— *** —

Jika kalian kira cerita ini akan berlangsung seperti cerita sex semprot kebanyakan kalian salah besar. Empat tahun setelah meninggalnya papa, semuanya menjadi tambah runyam. Uang warisan yang mama awet-awet dan ditabung itu akhirnya habis, dan gue masih inget banget tabungan Keluarga kita mulai menipis (gak sampe 5 juta lah pokoknya), itupun buat jaga-jaga kalo ada keluarga yang sakit atau butuh uang mendadak.

Lagian mengandalkan jualan warung makan di depan rumah sama sekali tidak membantu. Jujur guys, pada masa-masa itu adalah masa-masa titik terendah dalam hidup gue. Bayangin aja, cuma gue sosok yang bisa dongkrak perekonomian keluarga. Mama gue bahkan pernah nangis gara-gara botol minyak goreng tumpah di dapur. Ternyata, minyak gorengnya cuma tinggal buat sekali masak doang (itupun pake acara tumpah segala).

Mama yang pada dasarnya gak punya skill apa-apa, dan cuma ketiban hoki dapet warisan doang beneran kehilangan ketajamannya. Tiap hari kerjaannya ngeluuhhh melulu. Gak produktif seperti dulu, gue sih bisa wajarin di umurnya yang sudah menginjak 40-an (45/46 ya? Entahlah lupa gue bro), yang jelas mama cuma bisa menghasilkan uang dari jualan warung nasi di depan rumah.

Let me explain. Umur gue pada masa itu udah 25 tahun. Anak sulung dari 2 bersaudari. Punya tanggungan adek yang satu masih SD, dan yang satu bentar lagi lulus SMA mau cari kuliah. In others words, sejak 4 tahun meninggalnya papa dan setelah dapat kerja yang cukup layak kehidupan gue sama sekali tidak membaik.

Belum punya pacar dan sama sekali gak kepikiran untuk menikah. Honestly, I don't have many friends in real life or even on the net. Padahal dulu, gue udah mulai mikir-mikir tentang masa depan gue mau kaya gimana kedepannya.

"i want to become a rich person."
"i want to be socially accepted."
"I want to have a cute girlfriend."

Tapi walau gue berdelusi tentang hal - hal seperti itu, kenyataannya gue udah sangat despair sama lingkungan sekitar yang cuma bisa memberi gue rasa sakit. Really? Someone like me really not qualify for some tender of love.

Berkat bipolar itu, gue berubah jadi tipikal orang yang sangat pesakit jiwa. Gue jadi nggak bisa percaya sama orang lain. Bahkan sama keluarga gue sendiri.

Gue seperti tidak mendapatkan sebuah kehangatan di dalam dekapan keluarga. Atap rumah yang harusnya menjadi tempat untuk gue berteduh nampaknya harus hilang termakan waktu.

Gaji bulanan habis buat bayar uang makan, listrik, dan ngebiayain keperluan adek-adek gue yang masih sekolah. Pengen ngumpulin duit tapi gak bisa-bisa karena pasti disetor ke mama. Mama memang gak minta sih, tapi tetep aja cuma aku sumber mata uang dia. Peran hidup cuma buat dijadiin sapi perah sama keluarga. Anak = investasi masa depan itu nyata. Mau kerja banting tulang + saving 100% juga nggak bakal bisa kaya.

Beneran deh, waktu itu gue hidup kayak kosong aja. Bangun pagi subuh-subuh > berangkat ngantor > pulang kerja, tidur. Rutinitas repetitif yang selalu gue lakuin berulang-ulang setiap hari selalu sama.

Karena memang, kalo boleh jujur gue sama sekali gak punya tujuan hidup. Gak ada yang bisa gue tuju selain rumah dan kantor. Gue bukan hanya nggak dekat sama anggota keluarga aja, tapi juga sama orang lain. Terutama sama teman-teman di lingkungan kerja.

I hate my family. I hate my life. I hate everything.

- *** -

Chapter 01

Sore itu awan gelap bergelantungan menyelimuti langit-langit kota c*amis, angin berhembus lembut menerpa wajah. Dengan intuisi yang cukup tajam gue tahu ini adalah pertanda akan turunnya hujan.

Gue memacu motor gue lebih cepat dari biasanya, membelah jalanan sore yang cukup lenggang. Gue masih inget banget, waktu itu matahari udah mulai kekuning-kuningan, sewarna dengan suasana hati gue juga sedang dalam kondisi yang tidak baik.

Kalo dipikir-pikir waktu itu kesadaran gue kayak lagi dicabut aja, pernah gak sih kalian naik motor terus pikiran ke awang-awang. Dan tetiba kaget merasa waktu seolah-olah dipercepat?

Be like "lho kok sudah ditempat ini aja sih, perasaan tadi masih jauh". Gue ngalamin hal itu hampir setiap saat. Gue merasa baru keluar dari parkiran di tempat kerja, selang berapa menit tahu-tahu sudah di depan komplek perumahan aja.

Waktu itu gue sempat berat hati mau pulang ke rumah, soalnya malam sebelumnya gue sempat bertengkar sama mama.

Masalah sepele sih, hape adek gue yang cewek SMA hilang kecopetan gara-gara di hipnotis di angkot (katakanlah namanya Salma). Nah si salma ini minta dibeliin hape. Ngandunya sama mama.

Seperti yang sudah gue bilang sebelumnya, semenjak kejadian lama itu Mama gue orangnya jadi agak pelit. Semua hal di mata dia itu cuma uang, uang dan uang. Dia sama sekali gak punya indera perasa atas kebahagiaan anak-anaknya. Salah satunya dari faktor hape ini.

Pendek kata, si Salma minta dibeliin hape baru cuma sama mama gue dilarang. Nah, gue punya inisiatif buat beliin dia hape baru dari gaji yang gue sisihkan bulan ini. Karena masalah sepele itu kita malah jadi berantem hebat.

Iya gue tahu, kondisi ekonomi kita memang pas-pasan. Dan kita bukan sultan yang pas mau beli hape tinggal gesek kartu debit seenak jidat. Kita tetep jadi keluarga yang serba sederhana seperti dulu kala.

Tapi sumpah, waktu itu gue pengen banget beliin adek gue hape baru. Karena papa udah gak ada, gue pengen jadi sosok papa yang baru bagi keluarga kecil gue ini.

Anehnya mama dengan entengnya nolak, dan malah nyakitin perasaan gue. Gue udah lupa detail kalimatnya seperti apa, yang jelas maksud dia bilang kayak gini:

"Kamu itu semenjak ditinggal ayah jadi ngerasa paling hebat ya Al. Hijau-merahnya kamu terus yang selalu nentuin. Mama tahu kamu sekarang yang cari duit, tapi mbok ya prihatin dulu sama keadan kita".

Gue cuma bisa tahan napas.

"Sudahlah al, kamu cepet-cepet nikah aja. Buruan pindah dari rumah ini, gak usah satu atap sama mama. Ini rumah mama, mama yang beli. Kalau kamu masih tinggal di rumah, kamu juga harus nurut sama perintah mama".

Serius bro, gue paling males debat-debat masalah duit. Rasanya sesek banget di dada. Ya udah, karena kepancing emosi gue mengucapkan perkataan yang tidak sepantasnya gue ucapkan pada mama gue sendiri. Orang-orang kayak mama ini, sekali-kali perlu diingetin bahwa gak semua hal selalu bisa dalam kendalinya.

"Salah siapa kita hidup miskin?" Kata gue sambil banting remot.

(Btw biar jelas waktu itu kejadiannya malem-malem ya kita lagi nonton TV bareng di ruang keluarga, si salma ini nyeletuk pengen beli hape. Oke lanjut).

"Kalo mama rela buat jual diri dan ngangkat perekonomian keluarga sih, wajar mama marahin Ale. Tapi kalo masih butuh keberadaan Ale jangan pernah sekalipun komplain masalah uang. Mama inget papa meninggal karena apa? Karena mama kan? Karena arogansi mama dan keegoisan mama sendiri? Sumpah ma, kalau mama pengen kita hidup bahagia, yaudah sana jual diri aja."

Dan ya, terserah kalian mau bilang kalau gue udah sangat kelewat batas atau apa. Tapi gue beneran bentak dia seperti itu dihadapan adek-adek gue yang lain. Kata-kata nyuruh dia buat "jual diri", menurut gue pribadi udah kasar banget sih apalagi disaksikan sama anak perempuannya yang masih SMA.

Terus tahu gak bro yang bikin gue salut dan bikin pengen nangis?

Just for information kalo setiap pagi mama itu selalu rajin masakin gue sarapan. Dia rutin dari jam empat subuh selalu udah bangun pagi dan asik berisik di dapur. Coz memang buat siap-siap persiapan buka warung makan di depan rumah juga.

Nah, pagi itu selepas malem kita berantem mama gak seperti biasanya. Pagi itu memang seperti biasa udah ada makanan di meja dan lauk pauk untuk sarapan anak-anaknya. Tapi yang beda kali ini, mama gak keluar kamar.

Iya, etalase di ruang tamu juga gak ada tanda-tanda mau dibuka (itu artinya dia tumben gak jualan), gue ngintip di bibir pintu kamar ternyata dia balik lagi tidur sehabis masak (dengan posisi membelakangi gue, gak ngadap pintu otomatis gak lihat gue).

Gimana sih kalau lagi marahan sama keluarga? Semuanya jadi kayak sunyi gitu, kan. You know, dimana biasanya mama ngelakuin rutinitas siap-siap buat jualan, pagi-pagi biasanya gue bangun tidur selalu lihat dia ceria sibuk bikin masakan, tapi sekarang dia malah balik lagi ke kamar.

Kesannya dia kayak lagi hopeless sekali dengan keadaan dia sekarang. Dan itu bikin gue sedih setengah mati. Gue nggak mau, di masa-masa tuanya nanti mama akan berakhir seperti papa. Berangkat dari penyelasan itu gue jadi ingin lindungi semua keluarga gue dari rasa sakit.

Dan yang bikin gue salut adalah sikap profesionalnya sebagai seorang ibu. Mau apapun kondisi yang dia alami, dia tetap gak mau kalau anaknya berangkat sekolah/berangkat ngantor dengan keadaan perut kosong.

Mangkanya dia tetep masak, tapi berhubung suatu hatinya lagi hancur dia langsung balik lagi ke kamar (mungkin suatu upaya juga buat ngehindarin papasan sama gue).

Hanya terdengar sayup-sayup suara adzan yang berkumandang. Dan gemericik suara keran dari tower air yang menyala. Tanpa pikir panjang gue melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mama.

Gue peluk dia dari belakang, mama sedikit tersentak mungkin karena kaget. Langsung saat itu juga gue cium tengkuk leher belakangnya. Gue minta maaf yang setulus-tulusnya sama dia.

"Kita ini cuma hidup berempat le, papa udah gak ada. Kalo bukan kamu yang bisa jagain adek-adek kamu yang masih kecil itu terus siapa lagi?" Katanya, suranya lirih. Beneran lirih kayak orang lagi nahan tangis.

"Mama minta maaf kalau selalu perhitungan, tapi ini juga demi kamu. Demi masa depan adik-adik kamu. Mama sayang kamu, Salma, dan Natasha."

(I don't know dude, gue jadi cuddle sama nyokap sendiri. Tapi harus gue akui waktu itu pastu bukan horny kok.).

Tidak banyak kalimat yang kita ucapkan pada saat itu, kita hanya diam dan hanya saling berpelukan dalam keheningan yang begitu padat.

Seakan pergerakan jarum terperangkap dalam relung waktu dua mahluk yang sedang mengalami titik rendah dalam hidupnya, kita merasakan kehangatan yang telah lama kita rindukan. Kehangatan akan keluarga.

To be honest, gue bukan orang cabul yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan. Lagi pula dia mama gue, mungkin iya dia masih cukup cantik diumurnya yang sudah kepala empat. Mungkin iya, gue juga sedang kesepian dan ingin rasanya merasakan dahaga birahi.

Tapi serius deh, waktu itu gue sedang beneran lovely deeply sama mama gue sendiri. Rasanya nyaman aja pelukan sama dia.

Gak selamanya kata "love" harus didefinisikan ke dalam konteks pasangan kekasih. Love terkadang juga bisa menjadi pertanda atas kedekatan rasa emosional antar anggota keluarga.
Bakalan seru neh
 
ane tahu ente ga butuh pujian apalagi apresiasi yang berlebihan. terserah ente terima atau ga, yang jelas ane demen gaya pemaparan yang kayak gini, ga terlalu frontal "ah uh jleb crot ah uh jleb crot". penggambaran emosinya terasa rapih (se-real gambaran yang TS tuangkan) sampai cerita terbangun dengan apik. soal atheis atau agamis itu pilihan dan (mungkin) hak masing2 individu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd