Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 4

Tanpa sadar aku menyilangkan tangan menutup payudaraku yang sempat tersentuh Mang Gandi. Kurang ajar juga Mang Gandi menggunakan kesempatan dalam kesempitan menyentuh payudaraku. Aku yakin dia sengaja melakukannya. Tapi itu bukan salah Mang Gandi, salahku yang sudah memeluknya. Kejadian ini membuyarkan keinginanku untuk mengorek keterangan dari Mang Gandi. Ingin sekali rasanya lari meninggalkan Mang Gandi, tapi jarak rumahku masih cukup jauh harus melewati jalan setapak yang kiri kanannya pohon pohon bambu.

Gila, Mang Gandi melingkarkan tanggannya di pundakku, dia mulai berani kurang ajar gara gara kejadian tadi. Tapi kenapa aku tidak mampu menepiskan tangannya dari pundakku? Bau tubuhnya yang terbiasa bekerja keras seperti menghipnotisku, aku merasa nyaman dan merasa dilindungi. Kok bisa begini? Padahal sejak tadi aku mati matian berusaha menghindari Asep pemuda terganteng di desaku. Jantungku berdegup semakin kencang dalam dekapan tangan kekar Mang Gandi.

"Neng, sudah sampai..!" kata Mang Gandi melepaskan tangannya dari pundakku.

Benar, aku sudah berada dekat rumah, bqgaimana bisa ? Aku tidak menyadari telah melewati jalan setapak yang dipenuhi pohon bambu. Tanpa bersuara aku meninggalkan Mang Gandi di depan pagar rumahku. Aku tidak berani menatap wajah Mang Gandi. Hampir saja aku jatuh tersandung kalau saja aku tidak bisa mengendalikan keseimbanganku.

Aku menarik nafas lega saat kakiku berdiri di hadapan pintu rumah yang tertutup, aku baru berani menoleh ke arah Mang Gandi. Ternyata Mang Gandi sudah tidak berada di tempatnya. Tanpa mengucapkan salam aku membuka pintu yang tidak terkunci.

*****†

Rasa ingin tahuku semakin besar, apa benar orang tuaku adalah pelaku pesugihan seperti yang digunjingkan orang? Kekayaannya didapat dari jalan hitam. Memang seperti cerita ayahku yang lahir dari keluarga miskin, sejak remaja sudah merantau ke Jakarta jadi kuli bangunan. Lalu pulang ke desa ayahku membeli sebidang tanah yang penuh dengan pohon bambu. Lalu ayahku berternak itik petelur dan juga beberapa ekor ayam. Dari situlah usaha ayahku berkembang hingga mempunyai ribuan ekor itik dan belasan hektar sawah bahkan mempunyai penggilingan padi. Itu semua didapatkan dari hasil kerja keras, bukan pesugihan.

Sedangkan ibuku adalah anak yatim piatu yang terlunta lunta, lalu diangkat anak oleh tukang angon bebek. Setahun kemudian bertemu dengan ayahku dan menikah dengan ayahku yang sedang merintis usaha ternak bebeknya yang makin lama makin berkembang. Satu satunya hal yang aku tahu kakak pertamaku A Agus bukanlah anak ayahku, itu anak bawaan ibuku. Hanya itulah yang aku ketahui tentang ayahku.

Aku mulai mencari informasi di internet tentang macam macam pesugihan yang tanpa tumbal dan semua pesugihan ternyata memakai tumbal jiwa. Ada beberapa yang tidak memakai tumbal seperti memelihara tuyul, tapi kalau seseorang memelihara tuyul pasti ada kamar khusus yang tidak boleh dimasuki anggota keluarga lain dan semua kamar di rumah ini tidak ada yang khusus. Semuanya pernah aku masuki dengan bebas.

Lalu ada kandang bubrah, katanya pelaku pesugihan ini selalu membangun rumahnya sepanjang tahun, kalau dia berhenti membangun maka pelaku pesugihan itu yang akan menjadi tumbalnya. Setahuku, rumah ini sudah sejak aku kecil belum pernah direnovasi sama sekali. Kecuali mengganti cat dengan yang baru atau mengganti pagar rumah yang sudah jelek dan beberapa bagian yang mulai rusak.

Lalu apa lagi pesugihan yang tanpa tumbal? Gunung Kemukus, seperti yang aku dengar dari bapak bapak di angkot. Klik, aku mencari informasi tentang gunung Kemukus di internet. Banyak artikel yang mengulas Gunung Kemukus, intinya sarat untuk melakukan pesugihan Gunung Kemukus adalah melakukan hubungan sex dengan sesama peziarah sebanyak 7x pertemuan, maka keinginannya akan terkabul.

Membaca kalimat berhubungan sex, entah kenapa hatiku berdesir dan memekku seperti berkedut. Perasaan apa pula ini? Kenapa memekku menjadi sensitif setiap kali menyebut kata, sex. Aku menarik nafas sambil mengucapkan istighfar dalam hati. Ini dosa yang tidak kusadari.

Kenapa aku tidak kembali bertanya ke Mang Gandi yang sedang bikin kandang ayam di halaman belakang. Aku matikan laptop. Sampai ruang tamu aku melihat ke arah kalender, sekarang hari senin dan lusa adalah hari rabu, tanggalnya ditandai dengan lingkaran berwarna merah, itu artinya besok ibu dan ayahku pergi dan pulangnya hari minggu. Dulu aku pernah minta ikut, ibu dan ayah melarangku ikut. Pantas hari inji ibu dan ayahku keluar rumah. Ketika tadi aku tanya mau ke mana, ibu hanya menjawab mau beli tiket ke Cirebon. Aneh, ke Cirebon kenapa harus pake pesen tiket. Jarak dari sini ke cirebn kan gak begitu jauh dan bisa bawa kendaraan sendiri.

"Mang, tahu gak, Emak dan ayah berangkat ke mana?" tanyaku ke Mang Gandi yang sedang duduk santai di bale setelah selesai membuat kandang ayam.

"Rabu mau ke Cirebon, Nenk..!" kata Mang Gandi tersenyum melihat kedatanganku yang tiba tiba.

"Mamang bohong, ya?" tanyaku sok tahu. "Mang Gandi pasti tahu ayah dan emak mau ke mana?" kataku dengan nada yang meyakinkan.

"Beneran, Mang Gandi gak tahu Neng. Mang Gandi tahunya ke Cirebon." kata Mang Gandi.

Aku berhenti mendesak Mang Gandi, percuma kalau dia sepertinya memang tidak tahu apa apa. Karena kalau benar ke dua orang tuaku pelaku pesugihan, mereka tentu akan berusaha merahasiakannya. Karena ini adalah aib. Jalan satu satunya untuk mengetahuinya adalah mengikuti ke dua orang tuaku. Tapi bagaimana caranya mengikuti mereka tanpa diketahui.

"Mang Gandi tahu ke mana Pak Haji dan Bu haji pergi, tapi Mang Gandi sudah janji untuk tidak cerita ke orang lain." kata Mang Gandi menghentikan langkahku yang hampir sampai pintu dapur.

"Kenapa.Mang Gandi gak bilang dari tadi..!" tanyaku jengkel

"Mang Gandi sudah janji, lagi pula Mang Gandi sudah banyak berhutang ke orang tua, Neng Kokom." kata Mang Gandi sambil menatapku tajam. Tatapan yang membuat jantungku berdebar kencang karena mengingat kejadian semalam.

"Kokom gak akan ngadu, Mang..!" kataku berusaha meyakinkan Mang Gandi yang sedang asik merokok. Harapanku kembali hidup.

"Orang tua Neng Kokom setiap malam Jum'at Pon selalu ke Solo, sudah berlangsung selama.3 tahun belakangan ini" kata Mang Gandi menerangkan.

3 tahun, bukankah orang tuaku sudah kaya sejak aku lahir. Aku baru ingat, orang tuaku memang baru tiga tahun belakangan ini selalu menghilang sebulan sekali. Untuk apa? Kalau untuk pesugihan rasanya tidak mungkin, mereka sudah kaya sejak sebelum aku lahir. Berarti kalau pesugihannya dilakukan sejak tiga tahun lalu, itu salah.

Lalu untuk apa orang tuaku ke Solo? Lalu kenapa harus bohong dan mengaku ke Cirebon? Bukankah ini sangat mencurigakan. Sama mencurigakannya dengan bercak bercak merah di payudara dan leher ubu serta bau keringat yang menempel di tubuh ibuku.

"Solonya daerah mana, Mang?" tanyaku antusia dengan info dari Mang Gandi.

"Mang Gandi gak tahu, cuma kata Pak Haji dari terminal Solo masih naek bis lagi ke arah Purwodadi." kata Mang Gandi, informasi yang kuanggap cukup.

"Makasih ya, Mang atas unfonya.!" kataku sambil memberi Mang Gandi uang untuk beli rokok karena infonya yang menurutku sangat berharga.

"Kok cuma ngasih ini, Neng?" tanya Mang Gandi memperlihatkan uang yang kuberikan kepadanya.

"Masih kurang, Mang?" tanyaku jengkel. Orang tua ini sudah mulai berani memerasku.

"Cukup, cuma Mang Gandi pengen dapet upah nyium pipi Neng Kokom..!" kata Mang Gandi nyengir menunjukkan wajah serigalanya yang membuatku muak dan marah.

"Hahaha, Mang Gandi cuma becanda, Neng. Mang Gandi cuma mau ngingetin, jangan nanya macem macem sama Pak Haji." kata Mang Gandi tertawa melihat kemarahanku. Uang pemberianku masuk kantongnya.

Aku kembali masuk kamar meninggalkan Mang Gandi sendirian di halaman belakang. Aku harus mencari cara buat mengikuti mereka. Sekarang aku harus mulai dari mana. Aku berusaha memutar otakku yang cerdas menurut guru guruku. Ya, aku tau caranya. Besok rencananya akan aku jalankan.

Aku mengambil buku tabunganku, melihat isinya. Fantastis, di buku tabunganku ada uang sebesar 15 juta, uang yang kutabung sejak kelas 5 SD. Aku baru sadar, ternyata aku kaya, punya uang sebesar ini. Besok aku akan membeli pakaian untuk menyamar agar ke dua orang tuaku tidak mengenaliku.

******

"Kamu kenap, Cih?" tanyaku heran, sepanjang perjalanan kami ke tempat pengajian Ecih tidak bicara sepatah katapun seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Aku mau dijodohin sama orang kampung dolar...!" kata Ecih suaranya terdengar sedih.

"Kok gitu? Kamu kan belom lulus SMA. umur kamu juga baru 18 tahun..." kataku iba dengan nasib Ecih. Beginilah resiko hidup di kampung, gadis yang mulai beranjak dewasa dan berusia 18 tahun sudah dianggap cukup untuk menikah. kalau mereka belum mempunyai calon sendiri, mereka harus siap siap dijodohkan. Umur 18 tahun adalah usia yang matang untuk menikah. Lebih dari 18 tahun akan dianggap perawan tua.

"Aku gak suka sama cowoknya. Sudah tua dan jelek.!" kata Ecih lagi. Matanya mulai berkaca kaca.

Aku menarik Ecih agar merapat padaku. Perhatianku terpecah begitu melihat pohon waru besar yang di bawahnya ada kuburan pengantin. Untung saja masih jam 4 sore jadi belum terlalu menakutkan, tapi tak urung membuat bulu kudukku meremang. Sebegitu angkerkah kuburan pengantin itu sehingga mayoritas penduduk desa lebih memilih jalan melingkar yang lebih jauh, 2-3 x lipat jauhnya dibandingkan melewati kuburan pengantin.

Kenapa tiba aku ragu untuk melewati kuburan pengantin, tanpa berpikir panjang aku menarik Ecih berbelok ke kiri untuk menghindari kuburan pengantin. Kami harus berjalan melingkar. Padahal selama ini aku yang paling ngotot untuk melewati kuburan pengantin, jalan pintas terdekat dari pada harus menempuh jalan melingkar yang jauh. Hari ini pikiranku berubah, aku menghindari kuburan pengantin.

"Tumben kamu ngajak lewat sini?" tanya Ecih heran. Kesedihannya untuk sesaat teralihkan.

"Aku ada perlu sama kamu...!" kataku berdalih. Entah dari mana tiba tiba aku berpikir untuk mengajak Ecih mengikuti ke dua orang tuaku ke Solo. Melakukan sebuah petualangan baru, petualangan yang belum pernah kami lakukan. Aku sudah menghitung biaya yang harus aku keluarkan. Aku punya tabungan yang sudah aku kumpulkan bertahun tahun, rasanya lebih dari cukup. Aku mengajak Ecih ke sebuah saung yang berada di pinggir sawah.

"Besok kita ke Solo, yuk...!" ajakku. Aku yakin Ecih pasti mau, apa lagi kami sedang libur seminggu.

"Ngapain? Aku pasti gak boleh sama Bapak.!" kata Ecih heran dengan rencanaku yang tiba tiba.

"Aku mau ngikutin orang tuaku, kita ijinnya ke Loji, ke rumah uwa kamu pasti boleh..!" kataku. Dulu kami pernah menginap waktu kenaikan kelas. Kulihat Ecih yerlihat ragu, setelah agak lama baru dia mengangguk setuju.

Aku bersorak girang, Ecih benar benar sahabat terbaikku. Aku memeluk dan menciumi wajahnya dengan bahagia karena mempunyai sahabat yang selalu siap menemaniku ke mana saja.

"Apaan sich pake meluk dan nyiumin segala." kata Ecih berusaha melepaskan pelukanku.

"Kita ke rumah Teh Euis aja, yuk..! Gak usah ngaji..!" ajakku tiba tiba. Aku jadi bingung dengan jalan pikiranku sendiri, kemarin aku mati matian menghindari Teh Euis, tapi kenapa justru aku sekarang mengajak Ecih ke rumah Teh Euis.

"Ayu..!" Ecih terlihat antusias, mungkin dia sedang malas ngaji karena masalah yang sedang dihadapinya.

Ahirnya kami berbalik arah ke rumah Teh Euis yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tidak berapa lama kami sampai juga ke rumah panggung Teh Euis yang berdinding bilik bambu yang baru saja diganti. Aku tidak melihat Teh Euis di beranda rumah, pintunyapun tertutup rapat.

"Assalam mu'alaikum..!" setelah menungu sekian lama tidak ada jawaban. Lalu aku kembali mengucapkan salam. Seperti tadi, tidak ada jawaban bahkan sampai aku ulang kembali tetap tidak ada jawaban sama.sekali.

"Lagi mandi kali." kata Ecih setelah tidak ada jawaban.

Baru saja Ecih berkata begitu, kami mendengar langkah kaki dari dalam rumah terdengar sangat jelaa karena lantainya yang terbuat dari bambu yang dipecahkan menjadi gepeng. Pintu terbuka, bukan Teh Euis yang muncul melainkan Asep.

Bersambung....

kalo respon bagus, besok apdet lagi
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd