Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Mantap hu, agus vs ustadzah aisyah, kokom vs imron, kayaknya klo ustadzah aisyah dibikin side story bakalan rame nih hu
 
Chapter 36

"Gak mungkin, Mak..!" gumamku lemah, kenapa masalah belum juga pergi dari keluarga kami. Apa Polisi sudah menemukan bukti bahwa A Agus adalah dalang pembunuhan ayahku? Tapi sepertinya sangat tidak masuk akal, apa motif A Agus membunuh ayahku?

"Tapi Polisi sudah membawa Aamu pergi." kata Emak duduk lesu di pinggir ranjang. Ustadzah Aisyah merangkul bahu Emak seakan ingin memberinya kekuatan melewati semuanya.

"Dari mana Polisi tahu kita berada di sini, aneh?" kataku melihat kejanggalan yang terlalu mencolok. Sepertinya ada seseorang yang sedang berusaha menjebak A Agus. Atau bisa juga Polisi sudah mencurigai A Agus sehingga semua gerak geriknya diawasi pihak kepolisian hingga bukti yang terkumpul dianggap cukup untuk menangkap A Agus.

"Ya benar, dari mana Polisi tahu kita berada di sini?" tanya Ustadzah Aisyah, sependapat denganku. Kegelisahan terpancar dari wajahnya yang cantik, berkali kali Ustadzah Aisyah menggigit bibirnya yang tipis untuk menghilangkan kegelisahannya.

"Emak juga heran, sekarang apa yang harus kta lakukan?" tanya Emak terlihat shock dengan situasi yang mendadak berubah tanpa tanda tanda ke arah itu. Situasi yang sebenarnya bisa terjadi setiap waktu karena peristiwa A Agus menabrak orang dan kematian ayah, Polisi pasti akan mencurigai setiap orang dekat ayah yang dianggap mempunyai motif untuk melakukan pembunuhan. Biasanya, pelaku adalah orang terdekat korban. Deg, kenapa aku melupakan hal ini dalam penyelidikanku.

"Kita harus segsra mencari pengacara, Mak..!" kataku tidak mampu berpikir hal lain. Aku seperti menemukan titik terang pembunuh ayahku, sekarang aku hanya perlu membuktikan kecurigaanku ini. Aku harus benar benar mencari tahu motif terbunuhnya ayahku dan hal itu yang terlewat dalam penyelidikannku. Selama ini penyelidikanku lebih tertuju ke Mang Gandhi dan tidak berusaha mencari kemungkinan yang lainnya.

"Kamu benar, kita harus segera mencari pengacara. Tapi Emak gak tahu pengacara yang bagus di mana. Emak akan menghubungi Mang Jalu, siapa tahu dia tahu pengacara yang bagus.." kata Emak terlihat menaruh harapan ke Mang Jalu. Entah apa pekerjaan Mang Jalu sampai Emak sangat yakin bahwa Mang Jalu bisa membantunya.

"Iya, Mak. Sebaiknya Emak minta tolong Mang Jalu, sepertinya dia sangat berpengalaman dengan hal seperti ini..!" jawabku dengan wajah memerah saat menyebut nama Mang Jalu, pria yang sudah merobek selaput daraku dengan kontol jumbonya. Tanpa sadar memekku berdesir mengingat kejadian paling berkesan dalam hidupku. Aku masih bisa merasakan saat aku menduduki kontol Mang Jalu yang merobek selaput daraku.

Ya sudah, kamu bersiap dulu, Emak mau menelpon Mang Jalu sekarang." kata Emak yang terlihat mulai tenang.

Tanpa menunggu Emak dan Ustadzah Aisyah ke luar kamar, aku segera memakai pakaiannku. Sekilas aku melihat Imron yang duduk di ruang tengah menatap ke arahku dari pintu kamar yang memang tidak tertutup. Aku tersenyum ke arahnya, senyum termanis yang kuberikan. Aneh, bahkan saat A Agus sedang dalam masalah, aku merasa bahagia dengan tatapan Imron. Apakah ini cinta? Wajahku memanas saat memikirkan hal itu, hal yang selama ini belum pernah aku pikirkan.

Setelah selesai berpakaian dan sedikit berdandan dengan pulasan bedak tipis dan mengulas bibirku dengan lip gloss, aku menyusul Emak dan Ustadzah Aisyah yang sudah lebih dulu berada di ruang tengah. Aku memilij duduk di sofa panjang diapit Imron dan Ustadzah Aisyah. Aku membiarkan Imron meletakkan tangannya di pahaku, pria ini semakin agresif di hadapan Emak dan Ustadzah Aisyah.

"Emak sudah menghubungi Mang Jalu?" tanyaku ke Emak yang terlihat lesu. Kembali hatiku berdesir saat menyebut nama Mang Jalu, kemampuannya mampu menaklukkanku di atas ranjang. Bentuk kontol Mang Jalu melintas tanpa kusadari membuat memekku menjadi basah.

"Gak bisa, nomernya lagi gak aktif." jawab Emak membuatku ikut lesu. Putus sudah harapanku untuk kembali bertemu dengan Mang Jalu, terutama sodokan kontolnya. Gila, ada Imron di sampingku tapi kenapa aku masih memikirkan sodokan kontol Mang Jalu.

"Mungkin, Emak salah nomor?" tanyaku penuh harap, harapan yang sebenarnya nyaris mustahil. Nomer hp seseorang kalau dianggap penting, pasti akan tersimpan di memori hp. Kecil kemungkinannya salah.

"Enggak mungkin salah, Mang Jalu sendiri yang lebih dahulu miscall Emak saat kami bertukar nomer hp dan beberapa kali kami sempat bertukar pesan WA." kata Emak memperlihatkan isi chatnya dengan Mang Jalu kepadaku. Chat terahir mengabarkan keadaan A Agus yang ditangkap polisi.

"Terus kita harus bagaimana lagi, Mak?" tanyaku mulai putus asa, harapanku untuk bertemu dengan Mang Jalu hilang begitu saja. Gila, kenapa aku justru berpikir untuk bertemu dengan Mang Jalu? Kontolnya kembali berkelebat dalam pikiranku tanpa sadar aku meremas tangan Imron yang berada di pahaku.

"Kita ke Bogor nemuin Mang Jalu, mungkin sekarang dia lagi gak mau diganggu makanya hpnya dimatiin." kata Emak, membuat hatiku bersorak kegirangan, sebentar lagi aku akan bertemu Mang Jalu. Keputusan Emak sudah tepat, dari pada harus menunggu sesuatu yang belum pasti, tidak ada salahnya kami mendatanginya langsung ke rumahnya. Lagi pula menurut pengakuan Emak, A Agus adalah anak Mang Jalu dan Bu Lilis. Jadi aku bisa bertemu Mang Jalu tanpa kehilangan muka.

"Emak tahu, rumah Mang Jalu?" tanyaku pilon. Aku benar benar sangat berharap bisa menemui Mang Jalu, mengingat saat saat kontolnya menerobos memekku, kenikmatan dahsyat yang membuatku kehilangan rasa maluku. Kenikmatan yang menggodaku untuk mengulangnya kembali walau ada Imron di sampingku. Aku menoleh ke arah Imron yang juga sedang melihat ke arahku membuatku menunduk malu karena masih membayangkan sodokan kontol Mang Jalu.

"Tentu saja Emak, tahu. Ustadzah Aisyah dan Imron, terserah apa kalian mau ikut kami ke Bogor atau memilih pulang?" tanya Emak menatap Ustadzah Aisyah dan Imron yang duduk di sofa panjang mengapitku. Aku berharap mereka menopak ajakan Emak. Toh aku bisa menemui Imron dengan mudah, berbeda dengan Mang Jalu. Sangat sulit untuk bertemu dengannya.

"Aisyah ikut ke Bogor dengan Bu Haji, kalau Imron gak tahu dia mau ikut apa enggak..?" jawab Ustadzah Aisyah menatap Imron yang duduk di samping kananku dengan tangan di atas pahaku. Jawaban Ustadzah Aisyah di luar tidak sesuai dengan harapanku, membuatku agak kecewa.

"Imron juga kalau boleh, pengen ikut." jawab Imron, tanganya meremas tanganku seakan tidak rela harus berpisah denganku walau hanya sebentar. Gagal sudah harapanku berduan dengan Mang Jalu, jelas jelas Imron tidak mau melepaskanku begitu saja.

"Baik kalau begitu, kita berangkat sekarang ke Bogor." kata Emak, wajahnya terlihat semakin tenang karena menaruh harapan dapat pertolongan Mang Jalu untuk membantu A Agus terlepas dari masalah yang sedang dihadapinya, harapan yang berbeda denganku. Harapanku sudah melayang dengan kehadiran Ustadzah Aisyah dan Imron.

*********

Kita naek apa ke rumah, Mang Jalu? " tanyaku setelah kami sampai Bogor. Aku takjub dengan lalu lintas Bogor yang begitu padat, hijau oleh puluhan angkot yang berjalan beriringan seperti sebuah pawai yang terjadi setiap hari. Pemandangan yang tidak akan pernah kulihat di desaku yang di kelilingi oleh hamparan sawah.

"Emak pesen taxi online, kalau harus naik Angkot, Emak gak tahu harus naek jurusan mana." jawab Emak membuka aplilkasi untuk memesan taxi online, beruntung tidak terlalu lama kami menunggu, taxi yang dipesan Emak datang.

Lumayan lama waktu yang kami tempuh untuk ke rumah Mang Jalu, kami harus terjebak kemacetan di beberapa titik dan mobil tidak bisa melaju cepat karena padatnya lalu lintas kota Bogor. Diperparah lagi oleh Angkot yang sering kali menaik turunkan penumpang seenaknya, kadang kala merka melakukannya tanpa menepikan kendaraan. Caci maki terdengar menjadi hal yang lumrah di sini.

Ahirnya kami sampai di rumah Mang Jalu setelah beberapa kali bertanya pada penduudk setempat. Tidak terlalu sulit menanyakan rumah Mang Jalu, ternyata dia sangat di kenal oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Taxi berhenti tepat di depan rumah Mang Jalu yang terlihat asri dipenuhi tanaman hias dan dua buah pohon mangga besar yang membuat tempat ini menjadi teduh.

Setelah memencet bel yang berada di pagar, seorang wanita paruh baya keluar dari pintu menghampiri kami. Dilihat dari penampilannya dia pasti ART Mang Jalu.

"Cari siapa, Bu?" tanyanya ke Emak. Wanita itu terlihat sopan menurut ukuran kota besar, tapi menurut ukuran kami orang desa dia jauh dari kata sopan karena sama sekali tidak membuka pintu pagar mempersilahkan kami masuk.

"Pak Jalu, ada? Saya Rini dari Karawang." tanya Emak sambil memperkenalkan dirinya.

"Pak Jalu lagi keluar, Bu..?" kata wanita itu menatap kami penuh selidik. Hal yang mungkin biasa di kota besar, tidak boleh mempercayai orang yang belum dikenalnya.

Aku melihat ke belakang karena aku merasa ada yang sedang memperhatikan, benar dugaanku ada beberapa orang berwajah lumayan sangar memperhatikan kami penuh selidik. Ada lima orang yang duduk di pos ronda sambil bermain kartu, tapi mata mereka tertuju ke arah kami.

"Kalau istrinya, ada ?" tanya Emak belum mau menyerah, jauh jauh kami datang, tidak mungkin kembali tanpa sempat bertemu dengan orang yang kami cari. Yerlebih aku, ini kesempatan yang sulit aku dapatkan bertemu dengan Mang Jalu.

"Ada, tunggu sebentar...!" kata wanit itu meninggalkan kami di luar pagar yang maaih terkunci, membuatku sedikit jengkel karena wanita itu tidak membuka pintu pagar mempersilahkan kami masuk. Apa dia tidak tahu, kami berdiri kepanasana atau menganggap kami orang jahat. Sekali lagi aku melihat ke arah belakang, melihat orang yang berkumpul di pos ronda terus memperhatikan dengan tatapan curiga. Aneh, tiga wanita cantik rasanya tidak pantas untuk dicurigai.

Setelah menunggu yang terasa lama, wanita itu kembali datang dan membuka pintu pagar mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu kami disambut oleh wanita yang sangat cantik walau tubuhnya agak gemuk tapi terlihat tetap sexy. Lalu ke mana Bu Lilis? Kenapa bukan Bu Lilis yang menyambut kedatangan kami, siapa wanita yang tidak kalah cantik dibandingkan dengan Bu Lilis. Bukankah istri Mang Jalu adalah Bu Lilis yang pernah kutemui di Gunung Kemukus.

"Silahkan duduk, suami saya lagi keluar kota. Ibu ada perlu apa dengan suami saya?" tanya wanita itu dengan suara lembut yang akan menjatuhkan hati siapapun yang mendengarnya. Dia mengaku istri Mang Jalu, itu artinya Mang Jalu mempunyai benerapa orang istri, dasar buaya darat. Sehebat itukah kontol Mang Jalu sehingga mempunyai beberapa orang istri yang cantik cantik, dan aku sudah merasakan kehebatan kontol Mang Jalu mengaduk memekku.

"Ke mana Pak Jalu? Saya ingin minta tolong, anak saya Agus dalam masalah besar ditangkap Polisi karena dianggap terlibat dalam sebuah pembunuhan. Tolong beri tahukan hal ini pada Pak Jalu." kata Emak dengan suara memelas. Belum pernah aku melihat Emak memohon pada seseorang dengan suara memelas seperti sekarang. Biasanya orang yang memohon dengan suara memelas ke Emak.

"Iya, saya telpon suami saya dulu ya..!" kata wanita cantik itu mulai membuka hp nya dan menghubungi Mang Jalu, gagal. Tapi wanita cantik itu kembali menelpon hingga tiga kali baru diangkat.

"Assalam mu'alaikum A, ada Bu Rini dari Karawang datang nyari Aa mau minta tolong masalah anaknya yang bernama Agus, katanya masuk penjara karena dituduh terlibat pembunuhan." kata wanita cantik itu. "Iya, A..!" wanita cantik itu menutup HPnya.

"Ibu disuruh nyusul ke tempat A Jalu, sekarang juga. Mari ikut saya..!" kata wanita itu membuatku sedikit jengkel, baru juga duduk dan belum ada air yang disuguhkan untuk kami, sekarang kami sudah disuruh pergi. Dasar pelit, pikirku.

"Ke mana?" tanya Emak terdengar sama jengkelnya denganku. Apa orang di kota seperti wanita ini, tidak ramah pada setiap tamu yang datang, berbeda dengan kami pendudul desa yang akan menyambut tamunya dengan.jamuan yang layak.

Wanita cantik itu tidak menjawab, dia mengajak kami keluar seakan ingin menyuruh kami pergi dari rumahnya secepat mungkin. Di depan dia melambaikan tangannya ke arah gerbolan pria yang sedang mengobrol di Pos, salah seorang dari mereka langsung datang menghampiri kami.

"Pak, tolong antar Bu Rini dan anak anaknya menui Pak Jalu di xxx,." perinyah wanita cantik itu dengan suara lembutnya yang mampu menawan hati setiap orang yang mendengar.

"Baik, Bu..!" jawab orang itu menghampiri salah satu mobil yang terparkir di pekarangan.

"Maaf Bu Rini, bukannya saya ngusir tapi Pak Jalu menyuruh Bu Rini segera datang biar persoalannya cepat beres. Oh ya, kalau urusan dengan Pak Jalu sudah selesai, saran saya Bu Rini dan anak anak datang ke Rumah Ratna, dia kan adik Bu Rini." kata wanita itu menerangkan kenapa dia menyuruh kami secepatnya pergi, ternyata itu atas perintah Mang Jalu.

"Iya Bu, saya ngerti. Kalau boleh tahu nama Ibu siapa?" tanya Emak karena sejak tadi wanita cantik itu belum mengenalkan namanya.

"Ningsih, saya istri pertama Pak Jalu." jawab wanita itu me.perkenalkan namanya, nama yang terkesan desa tapi wajahnya tidak akan kalah oleh kecantikan para artis yang biasa wara wiri di layar televisi.

"Mari Bu, saya pamit. Terimakasih atas bantuannya,Bu..!" kata Emak berpamitan di susul olehku, Ustadzah Aisyah dan Imron yang bergantian mencium tangannya yang halus.

Kami segera melanjutkan perjalanan menemui Mang Jalu, jantungku berdegup kencang sepanjang perjalanan. Ahirnya aku akan bertemu dengan Mang Jalu. Sayangnya hanya sekedar bertemu dan aku tidak mungkin bisa merasakan sodokan kontol Mang Jalu. Ada Imron di sampingku dan pasti ada Bu Lilis, Mang Jalu tidak akan melirik ke arahku si anak bau kencur. Perjalanan yang sia sia untukku.

"Sudah sampai, Bu..!" kata Supir menghentikan mobilnya di dekat gang kecil yang tidak mungkin dilewati kendaraan roda empat.

Tanpa menjawab, Emak membuka pintu dan turun dari mobil, kamipun segera .mengikutinya turun. Mobil yang mengantar kami kembali jalan tidak menghiraukan kapan yang bingung harus ke mana.

"Loh kita malah ditinggal?" tanyaku heran.

"Iya, terus kita harus ke mana?" Emak malah balik bertanya. Berarti Emak tidak tahu kami harus ke mana.

"Mari Bu, Pak Jalu sudah menunggu..!" kata dua orang yang tiba tiba menghampiri kami.

Reflek kami menoleh ke arah dua orang yang rupanya orang suruhan Mang Jalu untuk menjemput kami. Tanpa banyak bicara kami mengikuti ke dua orang itu masuk ke dalam gang sempit yang panjang, kiri kananya tembok tinggi sepanjang kira kira 50 meter. Setelah melewati tembok panjang, di kanan kiri kami perumahan penduduk yang anehnya kebanyakan hampir sama bentuknya hingga ahirnya jalan berhenti pada sebuah rumah yang menghadap jalan. Rumah dengan pekarangan cukup luas.

"Mari Bu, Pak Jalu sudah menunggu..!" kata seorang wanita paruh baya membuka pintu mempersilahkan kami masuk. Sementara ke dua orang yang menjemput kami berlalu begitu saja tanpa berpamitan.

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tempat ini yang tidak bisa dikatakan perkampungan penduduk, karena aku tidak melihat seorang anak kecilpun yang biasanya bermain dengan teman temannya. Perkampungan ini hanya diisi oleh orang dewasa, dan semua rumah yang kami lalui pintunya terbuka.

Aku kaget saat Imron menarik tanganku mengikuti Emak dan Ustadzah Aisyah yang sudah berjalan lebih dahulu. Kami masuk ke dalam mengikuti wanita paruh baya yang mengajak kami melewati ruang tamu, ruang tengah hingga ahirnya kami sampai di sebuah perkarangan luas. Ada sebuah lapangan yang di kelilingi pohon pohon rindang.

"Selamat datang, Rini..!" kata Bu Lilis menyambut kedatangan kami. Tangannya mengajak Emak bersalaman.

"Iya, terimakasih..!" jawab Emak terdengar gugup dengan sambutan Bu Lilis. Wanita paruh baya itu terlihat sangat cantik melebihi kecantikan Emak. Baju muslimnya yang mengikuti mode, membuat auranya terpancar maksimal.

Aku segera mencium tangan Bu Lilis diikuti oleh Ustadzah Aisyah dan Imron. Tangan Bu Lilis sangat halus, membuatku iri.

"Saya datang ke sini..." Emak tidak .eneruskan kalimatnya saat Bu Lilis memberinya isyarat untuk diam.

"Kita tunggu A Jalu memeberi pelajaran ke Satria, baru setelah itu kita bicara." kata Bu Lilis membuat jantungku berdegup sangat kencang mendengar nama Satria disebut. Satria ada di sini. Dua pejantang tangguh yang pernah mengaduk aduk memekku berada di sini.

Bersambung
 
Setelah memberi pelajaran ke Satria, Mang Jalu kasih pelajaran juga untuk Kokom dan Ustazah Aisyah. Asih, luar biasa alur ceritanya. Makin menarik saja
 
ijin baca hu, baru masuk ke trit ini

terima kasih
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd